Anda di halaman 1dari 26

MENYIAPKAN PENDIDIKAN ANAK

DI ERA GLOBALISASI

Makalah

OLEH

SUPANDI, SE.

DEPARTEMEN AGAMA KABUPATEN PACITAN


MADRASAH TSANAWIYAH NURUL IMAN PUNUNG
TAHUN 2007
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sering sekali kita mendengar tentang rendahnya mutu lulusan

sekolah kita, mulai dari lulusan sekolah dasar sampai lulusan perguruan

tinggi. Mutu lulusan kita bahkan kalah dengan mutu lulusan sekolah di

negara-negara yang yang relatif baru merdeka, misalnya Thailand dan

Vietnam. Dengan kasat mata, kita juga bisa mengamati kebanyakan anak-

anak muda yang bermental lemah. Dalam arti, dalam mengerjakan segala

sesuatu mereka lebih suka mengambil jalan pintas atau cara instant.

Konsekuensi logis dari kecenderungan ini adalah mengabaikan kualitas dan

hasil pekerjaan , tidak kreatif, tidak memiliki mental kompetitif, kurang

berani menghadapi tantangan, kurang disiplin, dan lain sebagainya.

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam

kehidupan manusia, khusunya bagi mereka yang berfikir bagaimana

menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam

hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq

untuk beribadah. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh

Allah Subhanaha watta’alla dengan suatu bentuk akal pada diri manusia

yang tidak dimiliki mahluk Allah lainnya dalam kehidupannya, bahwa

2
untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui

suatu proses pembelajaran.

Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I,

bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut William F (tanpa tahun) Pendidikan harus dilihat di dalam cakupan

pengertian yang luas. Pendidikan juga bukan merupakan suatu proses yang

netral sehingga terbebas dari nilai-nilai dan Ideologi.

Kosasih Djahiri (1980 : 3) mengatakan bahwa Pendidikan adalah

merupakan upaya yang terorganisir, berencana dan berlangsung kontinyu

(terus menerus sepanjang hayat) kearah membina manusia/anak didik

menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (civilized).

Dari pengertian tersebut bahwa pendidikan merupakan upaya yang

terorganisir, memiliki makna bahwa pendidikan tersebut dilakukan oleh

usaha sadar manusia dengan dasar dan tujuan yang jelas, ada tahapannya

dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana

mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan

suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang

telah disiapkan. Berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus

sepanjang hayat, selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap

3
dibutuhkan, kecuali apabila manusia sudah mati, tidak memerlukan lagi

suatu proses pendidikan.

Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina, digunakan

asas atau pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan

aspek/potensi anak didik yang utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–

intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik

adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang

potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan dan kekurangan), diperlukan

dengan penuh kasih sayang, hangat, kekeluargaan, terbuka, objektif dan

penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan

apapun juga.

Betapa pentingnya peranan pendidikan dalam membentuk karakter

manusia, sehingga penempatan pendidikan dari segala aspek sangatlah

diperlukan. Pendidikan harus mendapatkan skala prioritas dibanding aspek

kehidupan yang lain. Karenanya konsep pembelajaran yang diberikan,

khusunya dilembaga pendidikan haruslah sesuai dan sejalan dengan

perkembangan hidup manusia. Konsep pendidikan terbaik menjadi tolok

ukur dari kemajuan sebuah bangsa dan negara. Mutu pendidikan yang

rendah menjadikan sebuah bangsa tidak berharga dihadapan bangsa lain.

Sebaliknya, mutu pendidikan yang tinggi menghadirkan kejayaan dari

sebuah negara.

Kegagalan dalam pelaksanaan pendidikan disinyalir diakibatkan

oleh kesalahan pendidikan itu sendiri, selain oleh terpaan budaya global

4
tentunya. Tulisan ini akan lebih memfokuskan pada faktor-faktor yang ada

dalam dunia pendidikan. Ditinjau dari sisi bidang pendidikan, secara garis

besar, faktor-faktor itu bisa diklasifikasikan menjadi dua sisi, yakni sisi

kurikulum dan sisi metode pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat disajikan dalam makalah ini

adalah:

1. Bagaimana hakekat pendidikan dalam membentuk karakter

manusia?

2. Bagaimana tantangan pendidikan di masa yang akan datang?

3. Bagaimana konsep pendidikan terbaik yang harus diterapkan di era

global?

C. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan:

1. Mengetahui peranan pendidikan dalam membentuk karakter manusia

2. Mengetahui sistem pendidikan yang ada saat ini, sudah sesuaikah

dengan kebutuhan pelaku pendidikan

3. Mengetahui konsep pendidikan terbaik di era global

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakekat Pendidikan

Usia pendidikan sama tuanya dengan usia kebudayaan manusia.

Pendidikan mulai dilaksanakan semenjak manusia hadir di muka bumi. Pada

mulanya, tujuan pendidikan hanyalah sekadar mempersiapkan generasi

muda untuk bisa survive di tengah masyarakat luas. Karena itu, bentuknya

adalah berupa mewariskan wawasan, pengetahuan, dan ketrampilan yang

diperlukan untuk survival kepada generasi berikutnya. Masa ini, peran

pendidik dilaksanakan sendiri oleh orang tua.

Kemudian, peradaban umat manusia terus mengalami

perkembangan dan pertumbuhan. Sejalan dengan itu, mau tidak mau

pendidikan mesti mengikuti arus tersebut. Dan ia pun mengalami

penyempurnaan-penyempurnaan, baik isi, bentuk, maupun pelembagaan

penyelenggaraannya. Kalau pada mulanya pendidikan dilakukan sendiri

oleh para orang tua dengan cara yang tidak sistematis, maka seiring dengan

tuntutan perkembangan zaman, pola pendidikan mengalami pergeseran.

Pola pendidikan mulai disistematisasikan, dalam bentuk magang atau

nyentrik.

6
Pada saat itu, paradigma pendidikan mulai mengalami pergeseran.

Yang sebelumnya berada di tangan orangtua, kini mulai diserahkan kepada

orang lain yang dianggap lebih memiliki kompetensi. Tapi, pola pendidikan

ini masih bersifat individual. Namun, karena bertambahnya jumlah

penduduk dan semakin beraneka-ragamnya macam pekerjaan, bentuk

magang itu pun dirasa kurang memadai. Maka, kemudian muncullah

kelembagaan yang sekarang dikenal dengan nama sekolah, yang salah satu

karakteristiknya adalah dilakukan dengan sistem klassikal.

Jika disimak, misi pendidikan pada masa-masa awal adalah mempersiapkan

generasi muda untuk dapat hidup di masyarakat sesuai dengan pengetahuan,

nilai, tradisi, maupun budaya yang berlaku saat itu. Hal ini mengandaikan

bahwa pengetahuan, nilai, tradisi, maupun budaya tersebut merupakan

sesuatu yang relatif statis. Pendidikan dianggap berhasil bilamana individu-

individu memiliki seperangkat pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai yang

sesuai dengan yang berlaku di masyarakat.pada masa itu.

Dalam konteks demikian, pendidikan dipahami sebagai memberi

bekal wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang berguna bagi

individu untuk hidup di tengah masyarakat. Karakteristik dari pola ini,

subjek didik diasumsikan sebagai sesuatu yang pasif. Pendidik, yang

diasumsikan sebagai “maha tahu” segala hal, mentransfer pengetahuannya

tersebut kepada peserta didiknya. Peserta didik ini “wajib” menerimanya

tanpa punya daya apa-apa.

7
Faham demikian sempat sangat dominan, sehingga sisa-sisanya

masih terasa hingga detik ini. Akibatnya, setiap pembaharuan di bidang

pendidikan hanya diartikan sebagai pembaharuan isi kurikulum: dikurangi,

diganti, diubah urutannya, atau ditambah. Dan fenomena terakhir

merupakan yang paling sering terjadi, sehingga peserta didik nyaris tak

kuasa lagi memikul beban yang terus menggunung tersebut.

Perbaikan sistem penyampaiannya pun baru sebatas pada upaya

peningkatan tehnologi. Yang justru sangat esensial nyaris tak terusik, yakni

visi dan ciri hakiki hubungan pendidik-terdidik yang dikehendaki di dalam

proses pendidikan. Akibatnya, meski barangkali out put-nya laku di pasar

kerja, namun pendidikan ini tidak mampu melaksanakan fungsinya sebagai

pusat pendidikan, yang salah satunya adalah mengembangkan segenap

potensi peserta didik.

Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan benar-

benar merupakan upaya bantuan untuk menggali dan mengembangkan

potensi diri serta dunia kehidupan dari segala liku dan seginya. Menurut Ki

Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam pendidikan yaitu :

Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi

bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan

yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun

sebagai anggota masyarakat.

Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang

menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main

8
(Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk

berkembang secara wajar menurut kodratnya.

Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti

kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus

diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).

Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka

dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain,

menciptakan keserasian dengan bangsa lain.

Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai

dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.

Menurut Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal yang perlu di kaji kembali

dalam pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai

schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka

pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar

dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan

mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya membedakan antara

pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi dengan

menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang

peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam

kehidupan global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk

mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan

seluruh spektrum intelegensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya

perlu diberikan kesempatan didalam program kurikulum yang luas dan

9
fleksibel, baik didalam pendidikan formal, non formal dan informal. Ketiga,

pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih

penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan

penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000 : 14)

bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi

manusia yang berbudaya (educated and Civized human being).

Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai

proses hominisasi dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan

agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga,

masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.

B. Tantangan Masa Depan

Abad ini disebut abad post modern, gelombang ke III, post

industrial, atau abad informasi. Ciri utama abad ini adalah perkembangan

iptek yang sangat berakselerasi. Sebagai gambaran, publikasi ilmiah sebagai

hasil riset dan pengembangan di dalam tiga puluh tahun terakhir mengalami

multiplikasi yang luar biasa, yang setiap 5-7 tahun, menunjukkan adanya

ledakan informasi baru. Misalnya, 90% dari semua informasi ilmiah dan

tehnologi di dunia telah dihasilkan di dalam abad 20 ini, 60% daripadanya

diciptakan setelah Perang Dunia II. Sedangkan publikasi ilmiah dikeluarkan

lebih dari 6 juta buah per tahun, atau 17.000 setiap hari. Perkembangan luar

bisa ini diperumit lagi oleh semakin pendeknya jarak antara penemuan

10
ilmiah dan penerapan industrialnya. Kalau dulu, menurut Dr. Soedjatmoko,

jarak itu sekitar 20-30 tahun, sekarang ini beberapa tahun saja.

Fenomena di atas tentu akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan

masyarakat, termasuk di dunia kerja. Artinya, perkembangan riset dan

pengembangan IPTEK ini akan berpengaruh pada sifat kerja, tempat kerja,

kemungkinan-kemungkinan karier, dan kualifikasi tenaga kerja. Hal ini

mensyaratkan para tenaga kerja, selain menguasai ketrampilan-ketrampilan

yang dituntut oleh profesianya, juga memiliki kemampuan menyerap,

menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengatasi berbagai macam masalah,

dan mengolah sejumlah besar informasi dengan cara yang logis dan multi-

disipliner.

Substansi yang sangat esensial terkait dengan perkembangan

tersebut adalah perlunya membekali peserta didik dengan pendasaran

epistemologikal dalam membangun intelektualitas mereka. Ilmu, filsafat,

dan tehnologi merupakan cabang-cabang dari evolusi perkembangan

pengetahuan manusia. Pada umumnya, sistem pendidikan saat ini belum

menganggap penting faktor epistemologi sebagai fundamental

pembangunan pengetahuan. Padahal, faktor ini sejak awal tumbuh sebagai

bagian dari perkembangan masyarakat dan kebudayaan Eropa dan Amerika.

Dari sana mereka mengembangkan sains dan tehnologi yang terkait dengan

ekonomi dan industrialisasi sebagai kekuatan peradaban dunia dewasa ini.

Lalu, bagaimana dengan kita ? Dengan tanpa berpretensi merendahkan

martabat bangsa sendiri, harus kita akui bahwa kita terbiasa mentransfer

11
produk dari proses epistemologi tersebut, tanpa mau memahami

karakteristik dasar serta proses epistemologi yang menjadi basis produk itu.

Pada masa mendatang, kalau hal ini tidak segera kita sadari, barangkali

tidak perlu ditangisi jika pada era pasar global kelak, tenaga-tenaga kerja

kita akan tergilas habis oleh tenaga-tenaga kerja asing. Karena, pada masa

mendatang, bidang sains dan industrial akan banyak diwarnai persoalan-

persoalan baru yang menuntut pemecahan baru secara kreatif. Tanpa

landasan epistemologi, mustahil hal itu bisa dicapai.

Untuk itu ke depan, membangun lembaga pendidikan harus

disertai dengan memberikan input mengenai perkembangan epistemologi di

dalam berbagai jenis disiplin. Karena, substansi dari pendidikan adalah

substansi yang bersifat epistemologikal: membangun kekuatan kualitas

pemikiran, kekuatan penalaran, kualitas kecerdasan, serta kualitas

pendalaman atas persoalan-persoalan aktual.

Memang, salah satu tugas lembaga pendidikan adalah mencetak

tenaga-tenaga trampil alias siap pakai, jika faktor epistemologi diabaikan,

maka tak lama lagi kita akan mendapati dengan hati gundah bahwa lulusan-

lulusan kita akan dicap “kurang memadai” untuk diterjunkan di bursa dunia

kerja. Output institusi kita barangkali akan gagap atau mengalami cultural

shock menghadapi informasi dan penemuan-penemuan mutakhir di berbagai

bidang disiplin ilmu. Mereka akan mendapati ilmu pengetahuan yang

mereka serap semasa kuliah sudah out of date.

12
Kalau sudah demikian, tentu tak lama lagi apresiasi masyarakat

tentang institusi pendidikan akan turun. Oleh sebab itu, pembenahan dan

perubahan dalam segala segi, terutama tentang visi dan misi pengajaran

yang dilakukan, menjadi prasyarat mutlak bagi strategi survival of the fights

kita dalam menghadapi berbagai macam tantangan di masa-masa

mendatang.

C. Inovasi Kurikulum

Kondisi kontemporer seperti digambarkan di atas, mewajibkan

setiap institusi pendidikan melakukan berbagai macam inovasi. Hal yang

paling esensial adalah inovasi di bidang kurikulum. Salah satu kelemahan

kurikulum pendidikan di negeri ini adalah terlalu berat memfokus pada

aspek kognitif. Lebih spesifik lagi, kurikulum kita terlalu membebani

mahasiswa dengan penumpukan knowledge. Telah dikemukakan di atas, hal

ini merupakan warisan dari paradigma pendidikan jaman dahulu, yang

sudah tak relevan untuk menjawab tantangan-tantangan kontemporer.

Akibat dari paradigma ini, aspek-aspek lain dari kepribadian

peserta didik relatif tidak dikembangkan. Namun, untuk merubah kurikulum

merupakan hal yang “haram” dalam dunia pendidikan kita. Karena sifatnya

yang sentralitis. Mudah-mudahan dengan otonomi pendidikan, institusi

punya sedikit “ruang” untuk melakukan inovasi.

Sehubungan dengan otonomi yang belum jelas benar, tentu belum

jelas pula seberapa besar kewenangan institusi dalam melakukan inovasi,

13
khususnya inovasi pada kurikulum. Namun demikian, masih ada ruang bagi

institusi pendidikan untuk melakukan inovasi, sejauh tidak merubah isi.

Sebelum membicarakan hal ini, terlebih dahulu akan dikemukakan model

kurikulum empat bagian yang ditawarkan oleh Jeannette Vos. Empat bagian

yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Kurikulum perkembangan pribadi. Kurikulum ini meliputi

pengembangan rasa percaya diri, motivasi, ketrampilan berkomunikasi,

dan ketrampilan menjalin relasi.

2. Kurikulum ketrampilan hidup, yang meliputi manajemen diri, creative

problem solving, ilmu ekonomi, manajemen, dan ketrampilan komputer.

3. Kurikulum “learn how to learn” dan “learn how to think”. Yang

dimaksud learn how to think adalah mempelajari cara kerja otak, cara

kerja memori, cara menyimpan, mengambil, dan menghubungkan

informasi dengan konsep lain serta mencari pengetahuan baru. Dengan

mempelajari semua itu diharapkan peserta didik mampu menemukan

tehnik-tehnik belajar seperti: accelerated learning, super learning,

whole-brain learning, dan integrative learning. Belajar cara berfikir

berarti mempelajari cara berfikir yang mudah. Di dunia ini sudah ada

metode-metode “cara berfikir” yang telah teruji, diantaranya adalah :

Lateral Thinking ( oleh Edward de Bono), Brainstorming (oleh Alex

Osbron), dan Creative Problem Solving (oleh Donald Treffinger).

Dengan bagian ini, diharapkan proses pembelajaran menjadi sesuatu

yang menarik, cepat, dan efektif.

14
4. Kurikulum isi. Berisi tema-tema sebagaimana dipraktekkan dewasa ini.

Dengan membagi kurikulum menjadi empat bagian, maka inovasi

pembelajaran tidak lagi harus diartikan sebagai perubahan isi kurikulum

sebagaimana dipahami saat ini. Barangkali bisa saja isi tidak berubah,

namun model pembelajarannya yang direnovasi. Artinya, dengan materi

yang sama, proses penyajiannya dengan mengikut-sertakan aspek-aspek

pengembangan pribadi, melatih ketrampilan hidup, dan pembimbingan

tentang belajar cara belajar. Dengan cara ini, kapan pun kita bisa

melakukan inovasi tanpa melanggar hal yang “diharamkan” di atas,

yaitu merubah kurikulum pembelajaran yang sudah ada.

D. Mengubah Paradigma Mengajar

Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan haruslah merupakan

bentukan pembelajar, bukan oleh pengajar. Peran pengajar lebih ditekankan

sebagai fasilitator yang membantu peserta didik agar belajar sendiri

membangun pengetahuan mereka. Untuk itu, sebagai fasilitator, pengajar

harus bersikap dialogis, mendengarkan, memberikan kebebasan dan

kesempatan kepada siswa untuk aktif dan belajar mengemukakan gagasan

mereka. Ini hanya mungkin terjadi jika pengajar mengubah paradigma

mengajar mereka, dari mengajar ke membantu peserta didik belajar.

Di negara kita masih banyak kita jumpai pengajar yang masih

menggunakan model pembelajaran banking system. Model mengajar mereka

kebanyakan berupa ceramah dan siswa mencatat. Mereka kurang memberi

15
kesempatan siswa mengemukakan gagasan-gagasannya. Banyak pengajar

yang tidak bisa menerima gagasan peserta didik yang berlainan dengan yang

mereke ajarkan. Hal ini karena mereka tidak mau mengakui bahwa para

peserta didik sesungguhya memiliki kemampuan untuk mengembangkan

diri. Dengan model ini, pengajar berasumsi bahwa merekalah satu-satunya

sumber pengetahuan bagi peserta didik. Pembelajaran seperti ini sudah tidak

sesuai dengan perkembangan jaman. Proses pembelajaran harus lebih

demokratis, di mana peserta didik dan pengajar saling belajar, saling

membantu, dan saling melengkapi. Pengajar sekarang sudah bukan lagi

satu-satunya sumber belajar dan sumber pengetahuan. Peserta didik dapat

belajar melalui perpustakaan, internet, media komunikasi, orang tua, buku-

buku, para praktisi, dan lain-lain. Dalam konteks ini pengajar harus benar-

benar meyakini bahwa setiap peserta didik telah dianugerahi talenta untuk

belajar. Peran utama pengajar adalah membantu peserta didik belajar dengan

memanfaatkan berbagai sumber belajar yang dapat mereka akses..

Model pembelajaran model banking system sangat merugikan

peserta didik, terutama bagi perkembangan dan pemenuhan pribadimereka.

Talenta belajar mereka tidak dapat berkembang. Pengajar yang terbiasa

bergaya ceramah dan mengharuskan peserta didiknya hanya mencatat akan

menyebabkan peserta didik terbiasa pasif dan tidak punya inisiatif.

Pembelajaran dengan hanya ceramah mengakibatkan peserta didik terbiasa

dicekoki atau menerima saja. Akibatnya, ketika mereka mendapat tugas-

tugas yang membutuhkan inisiatif, kreatifitas, dan aktualisasi diri, mereka

16
benar-benar tidak siap dan tidak tahu harus berbuat apa. Mereka baru

bekerja jika sudah diberitahu apa saja yang harus dilakukan. Padahal dalam

kehidupan di masyarakat nyata, orang lebih dituntut berkarya, kreatif, dan

berinisiatif daripada menerima. Jadi model pembelajaran banking system

selain merugikan perkembangan pribadi peserta didik peserta didik juga

tidak sesuai dengan tuntutan dunia nyata.

Banyak pengajar yang berpandangan kurang tepat mengenai model

pembelajaran konstrukstivistik ini. Menurut mereka, model ini hanya untuk

mencari enaknya pengajar saja. Pengajar tinggal memberi perintah

sedangkan peserta didik dibiarkan sibuk sendiri. Anggapan ini sungguh

salah. Dalam model konstrukstivistik, pengajar tidak sekadar memberi

perintah. Ketika siswa sedang dalam proses mengerjakan tugas, pengajar

harus terus mengawalnya untuk memberi motivasi, bimbingan, dan

mengarahkan proses berpikir siswa. Karena, pada hakikatnya, salah satu

fungsi belajar adalah menata pola pikir siswa sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan tuntutan paradigma ilmiah. Selain itu, pengajar juga harus

menyadari dan mengikuti perkembangan mutakhir dari ilmu yang

diampunya supaya ia dapat mendorong siswanya untuk terus mengikuti dan

mencari perkembangan termutakhir dari keilmuan yang sedang

dipelajarinya.

Di samping itu, seperti dijelaskan di atas, peserta didik itu punya

talenta untuk belajar dan berkembang. Ketika mereka diberi kepercayaan

untuk membuat materi pembelajaran mereka akan menggunakan talenta

17
tersebut secara maksimal. Jika pengajar tidak memahami hal ini, dia akan

kelabakan menghadapi kemampuan yang ditunjukkan oleh siswa. Hal ini

pernah penulis alami. Saat pertama kali mencoba menerapkan model

konstruktivistik, penulis memberi tugas kepada siswa untuk menyusun

materi pembelajaran untuk satu semester. Di luar dugaan, ternyata mereka

mampu menyusun materi tersebut begitu kaya dan luas. Mereka

menggunakan berbagai sumber informasi, mulai dari buku-buku di

perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, pendapat praktisi, dan lain-lain.

Setelah semua kelompok mengumpulkan karyanya, diadakan diskusi kelas.

Masing-masing kelompok mempresentasikan bab yang menjadi

tanggungjawabnya. Hasilnya luar biasa. Masing-masing kelompok dengan

penuh semangat mengemukakan gagasannya, kelompok yang lain bertanya

atau mendebat. Di akhir sesi, tampak jelas bahwa informasi yang mereka

dapat jauh lebih kaya dan bervariasi. Dan karena mereka terlibat dalam

penyusunan materi, mereka dapat menerima dan memahami secara lebih

baik.

Di sini tugas sebagai pengajar hanyalah membimbing proses

berpikir siswa. Misalnya tentang cara membuat definisi istilah, bagaimana

menyusun sebuah karya tulis sehingga logikanya runtut dan jelas,

bagaimana mencari kesimpulan jika menghadapi dua pendapat yang saling

bertentangan, bagaimana menemukan sebuah permasalahan dan bagaimana

mengatasinya, dan lain-lain.

18
Dengan aktivitas seperti itu bisa dilihat bahwa tugas pengajar

bukanlah lebih ringan. Selain harus selalu mengikuti perkembangan ilmu

yang diajarkannya untuk mengimbangi pengetahuan murid-muridnya, juga

harus sangat memahami kaidah-kaidah berpikir ilmiah supaya dapat

membimbing murid-muridnya berpikir ilmiah saat mengerjakan tugas-

tugasnya.

E. Pendidik Yang Intelektual

Di atas telah sedikit disinggung bahwa guru harus selalu terus

meningkatkan pengetahuannya. Zaman ini ditandai dengan kemajuan

tehnologi informasi dan ilmu pengetahuan yang cepat. Kemajuan tehnologi

informasi menyebabkan pengaruh global, yang baik maupun yang buruk,

begitu mudah masuk ke Indonesia, termasuk dalam dunia pendidikan.

Akibatnya, tantangan zaman dalam dunia pendidikan juga semakin

kompleks. Dalam keadaan seperti ini, pendidik diharapkan terus mau belajar

dan mengembangkan diri supaya mampu bersikap kritis terhadap segala

pengaruh dan perkembangan yang ada, terutama terhadap berbagai nilai

yang masuk dalam dunia pendidikan. Pendidik perlu kreatif dan terbuka

terhadap segala perubahan dan kemajuan yang ada untuk memajukan siswa.

Pendidik yang melakukan tugasnya sebagai tukang, menjalankan apa yang

pernah diterima dikuliah dulu tanpa mengembangkan, di zaman sekarang

sudah tidak tepat. Sekarang ini dibutuhkan pendidik yang bersikap sebagai

seorang intelektual, artinya yang terus mau berkembang dan belajar seumur

19
hidup, tidak pernah puas dengan yang dimengerti, mau membawa

perubahan, berpikir kritis, rasional, dan bebas mengembangkan pikiran

untuk kemajuan. Inilah yang akan memunculkan inovasi pendidikan di

setiap institusi pendidikan

20
BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang paradigma pendidikan yang ada saat ini,

serta konsep pendidikan terbaik dimasa yang akan datang dapat diambil

beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan benar-benar

merupakan pilar dalam membentuk karakter manusia. Menurut Ki

Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam pendidikan yaitu : Asas

kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi

bukan kebebasan yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan

kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan

individu maupun sebagai anggota masyarakat. Asas kodrat Alam; Pada

dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat

alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi

keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar

menurut kodratnya. Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa,

namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman.

Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi

acauan utama (jati diri). Asas kebangsaan; Membina kesatuan

kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa,

dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan

bangsa lain. Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang

21
manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan. Menurut

Tilaar (2000: 16) ada tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam

pendidikan. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai

schooling belaka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk

mengembangkan intelegensi akademik peserta didik. Ketiga, pendidikan

ternyata bukan hanya membuat manusia pintar tetapi yang lebih penting

ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat tujuan

penciptaannya

2. Substansi yang sangat esensial terkait dengan perkembangan pendidikan

adalah perlunya membekali peserta didik dengan pendasaran

epistemologikal dalam membangun intelektualitas mereka. Ilmu,

filsafat, dan tehnologi merupakan cabang-cabang dari evolusi

perkembangan pengetahuan manusia. Pada umumnya, sistem

pendidikan saat ini belum menganggap penting faktor epistemologi

sebagai fundamental pembangunan pengetahuan. Padahal, faktor ini

sejak awal tumbuh sebagai bagian dari perkembangan masyarakat dan

kebudayaan Eropa dan Amerika. Dari sana mereka mengembangkan

sains dan tehnologi yang terkait dengan ekonomi dan industrialisasi

sebagai kekuatan peradaban dunia dewasa ini. Karenanya tantangan

pendidikan dimasa yang akan datang harus menjadi perhatian bagi

kalangan pemerhati dunia pendidikan

3. Konsep Pendidikan terbaik yang dapat diterapkan di era globalisai saat

ini diantaraya, menjadikan peserta didik sebagai pelaku utama dalam

22
proses pendidikan; mengurangi metode konvensional (ceramah) dalam

penyampaian pembelajaran; menyiapkan pendidik yang intelektual di

era global; dan melakukan renovasi kurikulum yaitu:

a) Kurikulum perkembangan pribadi. Kurikulum ini meliputi

pengembangan rasa percaya diri, motivasi, ketrampilan

berkomunikasi, dan ketrampilan menjalin relasi.

b) Kurikulum ketrampilan hidup, yang meliputi manajemen diri,

creative problem solving, ilmu ekonomi, manajemen, dan

ketrampilan komputer.

c) Kurikulum “learn how to learn” dan “learn how to think”. Yang

dimaksud learn how to think adalah mempelajari cara kerja otak,

cara kerja memori, cara menyimpan, mengambil, dan

menghubungkan informasi dengan konsep lain serta mencari

pengetahuan baru. Dengan mempelajari semua itu diharapkan

peserta didik mampu menemukan tehnik-tehnik belajar seperti:

accelerated learning, super learning, whole-brain learning, dan

integrative learning. Belajar cara berfikir berarti mempelajari cara

berfikir yang mudah. Di dunia ini sudah ada metode-metode “cara

berfikir” yang telah teruji, diantaranya adalah : Lateral Thinking

( oleh Edward de Bono), Brainstorming (oleh Alex Osbron), dan

Creative Problem Solving (oleh Donald Treffinger). Dengan bagian

ini, diharapkan proses pembelajaran menjadi sesuatu yang menarik,

cepat, dan efektif.

23
d) Kurikulum isi. Berisi tema-tema sebagaimana dipraktekkan dewasa

ini. Dengan membagi kurikulum menjadi empat bagian, maka

inovasi pembelajaran tidak lagi harus diartikan sebagai perubahan isi

kurikulum sebagaimana dipahami saat ini. Barangkali bisa saja isi

tidak berubah, namun model pembelajarannya yang direnovasi.

Artinya, dengan materi yang sama, proses penyajiannya dengan

mengikut-sertakan aspek-aspek pengembangan pribadi, melatih

ketrampilan hidup, dan pembimbingan tentang belajar cara belajar.

Dengan cara ini, kapan pun kita bisa melakukan inovasi tanpa

melanggar hal yang “diharamkan” di atas, yaitu merubah kurikulum

pembelajaran yang sudah ada.

24
DAFTAR PUSTAKA

---------, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yayasan Nida,


makalah, Yogyakarta, 1971.

---------, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,artikel, Jakarta:


Logos Wacana Ilmu, 1998.

------------, Manajemen Berbasis Sekolah, Remaja Rosda Karya, Bandung,


2002.

---------, Revolusi Pendidikan di Indonesia: Membedah Metode dan Teknik


Pendidikan Berbasis Kompetensi, Ar-Russ Media, Yogyakarta,
2005.

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Rineka


Cipta, Jakarta, 1993.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju


Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Brojonegoro, Satryo Soemantri, “Implementasi Paradigma Baru di


Perguruan Tinggi” dalam Reformasi Pendidikan Dalam Konteks
Otonomi Daerah, Bappenas-Depdiknas-Adicita Karya Nusa,
Yogyakarta, 2001.

Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992.

Hidayatullah, Syarif, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme,


Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Langgulung, Hasan, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Pustaka al-husna,


Jakarta, 1991.

Lie, Anita, Cooperative Learning, Gramedia Widiasarana Indonesia,


Jakarta, 2004,

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,


1999.

Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,


Gama Media, Yogyakarta, 2002.

25
Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.

Shalahuddin, Mahfudh, dkk., Metodologi Pendidikan, Bina Ilmu, Surabaya,


1987.

Shipman, M.D., Education and Modernization, Fober, London, 1972.

Supriyadi, Dedi, Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek,


Alfabeta, Bandung, 1994.

Sutrisno, Pengembangan Kreativitas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer


(Telaah Pemikiran Muhammad Iqbal), Tesis PPS IAIN Sunan
kalijaga Yogyakarta, 1996.

Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, alih


bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.

Sumber-sumber lain di internet.

26

Anda mungkin juga menyukai