Anda di halaman 1dari 23

20210910 21050514045 MOCH ALBAR RAHMANSYAH SINOPSIS

BAGIAN PERTAMA

BAB 1

PARADIGMA PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN

Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai suatu metode untuk


mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat
membuat seseorang menjadi lebih baik. Melalui pendidikan, terjadi proses di mana suatu
kompleks pengetahuan dan kecakapan diteruskan kepada generasi selanjutnya. Pada
generasi baru yang akan datang, maka telah tiba saatnya untuk menggali dan
mengembangkan pengetahuan baru yang sangat diperlukan untuk menanggapi dan
mengatasi tantangan yang tidak dikenal lewat pendidikan dan pengetahuan. Secara
fenomenologis, Langevelt (1952) mengatakan bahwa pendidikan itu pada hakikatnya
merupakan bantuan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang sedang berusaha
mencapai kedewasaanya dalam arti normatif dengan menggunakan cara berupa alat,
bahasa, dan media.

Pendidikan dengan demikian pada dasarnya merupakan sarana proses humanisasi,


proses pemberdayaan, dan sosialisasi, dalam kerangka mana terjadi proses pembangunan
manusia yang inovatif, berdaya kritik, berpengetahuan, berkepribadian, dan taat azas
(Zainuddin, 2010). Pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan,
sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik,
berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.

Dalam konteks globalisasi, pendidikan harus mampu mempertahankan budaya dan


jati
diri bangsa di tengah-tengah gencarnya gempuran beragam budaya dan peradaban bangsa
lain. Sebagai sebuah negara yang kaya akan suku budaya yang beraneka ragam
(heterogen), Indonesia harus mampu menjadi bangsa yang mandiri dalam arti sanggup
memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat sesuai dengan harapan dan cota citanya.

B. PERGESERAN MAKNA PENDIDIKAN

Paradigma diartikan sebagai alam disiplin intelektual, yaitu cara pandang seseorang
terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif),
bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti
seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek yang diterapkan dalam memandang
realitas kepada sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.

Paradigma ilmu dirumuskan oleh Kuhn sebagai kerangka teoritis, atau suatu cara
memandang dan memahami alam, yang telah digunakan oleh komunitas ilmuwan
sebagai pandangan dunianya. Paradigma ilmu ini berfungsi sebagai lensa, sehingga
melalui lensa ini para ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah
dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah
tersebut.

Dengan pengertian paradigma pendidikan seperti diatas, maka sulit menentukan


ukuran manusia terdidik. Manusia terdidik tersebut baru bisa dikatakan terdidik jika telah
mencapai kedewasaanya. Kedewasaan saat ini masih menjadi sebuah perdebatan dan
tidak
memiliki ukuran yang jelas dan pasti. Maka dibuatlah sebuah legalitas berdasarkan
tingkatan pendidikan formal. Namun, ijazah maupun sebagainya telah menjadi pilihan
solusi untuk menentukan antara siapa yang “terdidik” dan siapa yang “tidak terdidik”.
Substansi pendidikan sekarang justru dilupakan. Siswa sekarang lebih mementingkan
untuk mendapat nilai bagus agar bisa lulus dan mendapat pengakuan sebagai “manusia
terdidik” tanpa peduli terhadap pemahaman dan pengaplikasiannya. Sehingga di sekolah
sekarang hanya menjadi tempat untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
tersebut menjadi tolak ukur dalam penerapan dikehidupan nyata.

Terdapat dua hal yang sangat urgen dalam mendinamisir ilmu pengetahuan; yaitu
pemahaman ilmu yang sudah ada dan menciptakan pengetahuan baru. Jika proses transfer
pengetahuan yang sudah ada ini terus dilakukan tanpa ada perbaruan, maka makna
pendidikan sebagai ikhtiar pembudayaan yang melatari sejarah perkembangan peradaban
sulit untuk dicapai.

Jika masyarakat terdidik tidak sekedar mengetahui pengetahuan yang sudah ada,
tetapi juga mampu mengembangkan dan menciptakan pengetahuan baru. Jika kondisi
ideal
tersebut dapat dicapai maka pendidikan akan bisa mengambil peranan yang
cukup besar dalam pembangunan.

Paradigma pendidikan disini juga mempunyai penjelasan yaitu suatu cara


memandang dan memahami pendidikan. Dari sudut pandamg tersebut, maka kita secara
otomatis mengamati dan memahami masalah-masalah pendidikan yang dihadapi dan
mencari cara mengatasi permasalahan tersebut. Paradigma berpikir juga terdapat pada
ilmu pendidikan. Paradigma behavioristik, kontruktivistik, dan sosial kognitif yang
memiliki pengaruh dalam pendidikan.

Sudah banyak diketahui bahwa ternyata potensi otak yang dimiliki manusia itu
sungguh luar biasa. Namun, sebagian besar manusia belum bisa menggunakan dan
memanfaatkan potensi hebat yang dimilikinya. Metode dan suasana pembelajaran di
sekolah-sekolah yang telah diajarkan oleh sebagian besar guru tampaknya relatif
menghambat daripada memotivasi potensi pada otak kita. Oleh karena itu, perlu adanya
proses kreativitas dalam dunia pendidikan. Para ahli pendidikan juga perlu berdiskusi dan
menciptakan paradigma dan visi pendidikan. Perubahan paradigma teaching (mengajar)
dan learning (belajar) ini sangat cocok bagi tantangan zaman sekarang. Dengan
perubahan ini, proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru
dan peserta didik”. Pada konteks ini guru juga termasuk dalam proses belajar.

Paradigma pendidikan versi UNESCO yang berdasarkan pada paradigma learning,


tidak lagi pada teaching. Berikut ada empat paradigma pendidikan yang disebut sebagai
soko guru dari manusia abad ke-21 yang telah menghadapi arus informasi dan terus
menerusnya pertambahan perubahan kehidupan.
Pertama, learning to think (belajar berpikir). Dijelaskan sebagaimana pendidikan
berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga yang belajar berani untuk
bersikap kritis dan menyatakan pendapat sehingga literasi membaca juga akan
meningkat. Proses belajar yang terus menerus terjadi seumur hidup ialah belajar
bagaimana berpikir kritis. Disamping itu, penggunaan bahasa digital harus sudah dikuasai
oleh anak-anak karena dengan demikian dia dapat memasuki dunia tanpa batas.

Kedua, learning to do (belajar berbuat). Pada abad ke-21, manusia-manusia dituntut


untuk berbuat. Manusia yang berbuat disini dijelaskan yaitu manusia yang ingin
memperbaiki kualitas kehidupannya. Dengan berbuat, akan menciptakan generasi-
generasi baru dan meningkatkan mutu dari generasi tersebut. Berbuat tanpa pemikiran
atau konsep akan tidak mempunyai arti. Keterampilan seorang peserta didik dalam
menyelesailan masalah keseharian merupakan salah satu aspek yang harus dicapai dalam
visi ini.

Ketiga, learning to live together (belajar hidup bersama). Disini pendidikan akan
dijelaskan pada pembentukan seorang peserta didik yang mempunyai kesadaran bahwa
hidup dalam sebuah dunia yang global dan bersama banyak manusia dari berbagai
bahasa, dengan latar belakang etnik, agama, dan budaya. Sehingga pendidikan akan nilai-
nilai perdamaian, penghormatan HAM, pelestarian lingkungan hidup, dan toleransi
menjadi aspek utama yang harus memasuki atau paham dalam kesadaran.

Keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Berikut ini merupakan


pendidikan yang paling penting karena mengingat masyarakat jaman sekarang atau
modern yang saat ini telah dihantui oleh krisis kepribadian. Manusia sekarang juga
biasanya memamdang atau menilai dari segi luarnya saja. Oleh sebab itu, pendidikan
hendaknya mempunyai orientasi pada masa depan seorang peserta didik agar bisa tumbuh
dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri, dan mempunyai
karakter yang berdasarkan pancasila. Paradigma diatas tersebut jika disimpulkan akan
memperoleh kata kunci “belajar bagaimana belajar”. Sehingga pendidikan tidak hanya
berorientasi pada nilai akademik yang bersifat pemenuhan aspek kognitif saja melainkan
bisa mengembangkan sikap kreatif dan jiwa imaginatif.

Pendidikan akan efisien dan efektif, jika pendidikan telah diorganisir dalam suatu
struktur manajemen yang sentralistik agar nudah dikontrol, kurikulum juga telah
ditentukan dengan baik dari pusat, dan evaluasi akhir.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang dihasilkan oleh sistem pendidikannya. Oleh
karena itu, perananan peningkatan pendidikan di dalam mewujudkan suatu masyarakat
Indonesia baru merupakan perwujudan gerakan reformasi masyarakat dan bangsa
Indonesia. Masyarakat Indonesia baru yang akan dibangun bersama ialah masyarakat
madani Indonesia.

Masyarakat madani Indonesia yang bhineka ini tidak terlepas dari terbentuknya
masyarakat kelas menengah. Kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang terdidik
dan sudah memiliki suatu pandangan yang luas. Perwujudan dari masyarakat madani
Indonesia yaitu dengan sistem politik berkedaulatan rakyat. Sistem ekonomi yang
bertumpu pada kekuatan ekonomi masyarakat yang berdaya saing tinggi dan bertumpu
pada pasar domestik maupun pasar internasional dengan memanfaarkan keunggulan
sumber daya domestik.

Kehidupan beragama harus berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Seiring


berjalannya kehidupan dalam era globalisasi maka kita ikut serta membangun ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan hasil dari relasi antara manusia dengan
lingkungannya baik lingkungan alam maupun sosial. Dengan bengini pendidikan sebagai
proses pembudayaan akan lebih universal.

Bukan hanya sekedar untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan lebih
pada menanamkan dan membangun kebudayaan hingga akan terbangun masyarakat
terdidik, masyarakat yang mempunyai pola piker cerdas dan berbudaya. Macam-macam
paradigm juga dijelaskan sebagai berikut;
1. Paradigma Sistemik-Organik

Paradigma ini dibangun berdasarkan teori ekspansionisme dan teleologis.


Ekspansionisme ini merupakan teori yang menekankan bahwa segala objek peristiwa,
dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan
dikaitkan dengan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-
bagian.

Sementara teori teleologis, pendidikan ini dijelaskan bahwa pendidikan harus


menghasilkan manfaat bagi perkembangan dan dinamika masyarakat. Pendidikan
mayoritas mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan
dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan tersebut mempunyai arti bahwa prestasi
peserta tidak ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah,
melainkan juga ditentukan oleh hasil dari apa yang mereka lakukan di dunia kerja dan
dimasyarakat maupun publik.

Paradigma sistemik-organik menuntut pendidikan ini bersifat fleksibel-adaptif


dan kreatif-demokratis. Disini fleksibel-adaptif mempunyai arti bahwa pendidikan
harus ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching. Motivasi untuk
mempelajari sesuatu yang harus dipelajari tersebut diharap dapat terkoneksi oleh
peserta didik.. Namun, peserta didik disini tidak akan dipaksakan untuk mempelajari
sesuatu yang tidak ingin dipelajari.

Pendidikan sistematik-organik berpusat pada pembelajaran daripada kegiatan


mengajar. Peserta didik ditempatkan sebagai subyek belajar, sehingga kebutuhan,
kemampuan, potensi dan bakat siswa dapat terakomodir di dalamnya. Pembelajaran
yang baik disini adalah pembelajaran yang melibatkan interasi guru dengan siswa.
Paada interaksi tersebut, akan teridentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
peserta didik dalam proses pembelajaran.

Pendidikan sistematik-organik menghendaki agar komponen-komponen seperti;


proses pembelajaran; managemen sekolah; dan kultur sekolah saling
berinteraksi,menciptakan hubungan relasi yang sinergis, kreatif, menyambung, dan
saling mempengaruhi. Pola interaksi yang setara antar komponen tersebut dapat
dilihat pada skema berikut ini:

Dalam skema diatas dapat dijelaskan bahwa setiap komponen yang ada diatas
memiliki andil yang sama besar dalam mempengaruhi terciptanya pendidikan
sistemik-organik. Disini managemen sekolah mempunyai wewenang atau tugas
mengelola organisasi sekolah, harus jeli melihat proses pembelajaran yang sedang
berlangsung di sekolah, disamping itu juga, mempunyai tugas melihat kultur sekolah
yang sedang berkembang di lingkungan sekolah. Sehingga managemen sekolah dapat
menemukan arah kebijakan dengan memperhatikan sekaligus melibatkan dua
komponen.
Disamping itu, pandangan lain juga tidak bisa dipungkiri bahwa managemen
sekolah sangat dipengaruhi oleh dua komponen lainnya. Komponen masing-masing
ini memliki andil yang besar dalam hubungan saling mempengaruhi paradigma
pendidikan. Managemen sekolah yang solid, teroganisir secara sistematis tetapi tidak
meninggalkan peranan aspek-aspek yang lain akan tercipta proses pembelajaran dan
kultur sekolah yang baik dan cerdas.

Struktur pendidikan yang fleksibel ini menempatkan pada kehidupan yang


demokratis di lingkungan sekolah. Penyelenggaan pengelolaan yang demokratis tetap
harus sesuai dengan koridor berupa aturan sistem pendidikan nasional.

Berbagai kritik mengenai sistem pendidikan nasional yang diterapkan di


Indonesia, inovasi dan kreativitas pendidikan yang ditujukan perbaikan dan kemajuan
sistem pendidikan nasional harus sesuai dan berdasarkan hokum yang berlaku.

2. Paradigma Holistik-Intergralistik

Paradigma pada hakikatnya adalah asumsi-asumsi dasar dan teori yang umum
sehingga merupakan sumber nilai, hukum, metode penerapan dalam pendidikan
karakter. Sementara hakikat holistik-intergralistik disini dijelaskan yaitu dengan arti
menyeluruh, utuh, saling mempunyai keterkaitan dan hubungan antara satu dengan
yang lain sehingga membentuk satu sistem terpadu.

Paradigma pendidikan holistik-intergralistik disini memandang manusia sebagai


sarana prasarana untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi manusia secara
utuh dan menyeluruh. Kemanusiaan disini juga dipandang sebagai kesatuan yang
bulat, yakni kesatuan jasmani-rohani, kesatuan mahkluk yang memiliki pribadi sosial,
melangsungkan, melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya.
Pengembangan pembelajaran holistic-intergralistik telah terlihat pada ranah
tujuan pembelajaran, pengembangan materi, dan pengembangan kegiatan
pembelajaran dengan tujuan memberikan suasana pembelajaran yang lebih
menyenangkan, kondusif, dan efektif. Secara umum konsep holistik-intergralistik
yang digunakan guru dalam pembelajaran akan membantu keberhasilan dalam
mencapai target dari sebuah materi.

3. Paradigma Humanistik

Paradigma pendidikan humanistik memandang manusia sebagai makhluk ciptaan


tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup ia harus bisa dituntut
untuk melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup.

Secara teoritis, humanisasi dalam kehidupan manusia sangat berkaitan erat


dengan gelombang demokratisasi kehidupan masnusia pada akhir decade 80-an. Inti
dari kehidupan demokrasi ialah penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Jika
asas demokrasi dalam penerapan tidak dilakukan, sumber peningkatan hidup manusia
dapat terancam dan sulit berkembang.

Oleh karena itu, humanistik dalam dunia pendidikan dituntut memiliki proses
pendidikan yang bisa memperhatikan berkembangnya kreativitas yang ada didalam
pribadi anak sebagai inti dari kehidupan demokratis yang sangat menghormati nilai-
nilai kemanusiaan (H.A.R. Tilaar, 2001, 4-5). Jadi, gerakan humanistik tersebut
dalam dunia pendidikan merupakan sebuah usaha yang lebih mengedepankan nilai-
nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan.

Humanistik dimaknai sebagai potensi individu untuk mengukur dan mencapai


ranah ketuhanan serta mampu menyelesaikan persoalan dalam konteks sosial.
4. Paradigma Idealistik-Transformatif

Paradigma idealistik disini merupakan paradigma yang memandang bahwa


manusia adalah “makhluk semulia-mulianya makhluk” yakni ciptaan Tuhan yang
memiliki sebuah misi suci dengan tugas menata seluruh kehidupan di alam semesta
ini. Secara vertikal manusia berkedudukan sebagai “hamba” yang harus beribadah
dan mengabdi kepada tuhan, Sedangkan secara horisontal disini dijelaskan bahwa
manusia sebagai pemimpin yang harus menjadi suri teladan bagi sesama dan sebagai
pengatur serta melindungi atas semesta dan kehidupan.

Bentuk perilaku aktual anak didik disini diharapkan dapat ditransformasikan


sehingga ilmu, teori, moral, dan nilai dalam pendidikan tidak hanya berhenti pada
pikiran, tetapi dapat hadir dalam tindakan nyata keseharian anak didik dan setiap
warga bangsa. Dengan demikian, paradigma idealistik-transformatif dapat mencegah
terjadinya krisis moral, krisis kepercayaan, dan krisis akhlak yang menyebabkan
bangsa menjadi mengalami keterpurukan dan moral disini hanya hadir dalam pikiran
tetapi tidak menjadi tindakan yang logis.

5. Paradigma Multikulturalisme

Paradigma pendidikan multikulturalisme mengarahkan anak didik untuk bersikap


dan mempunyai pandangan toleran dan inklusif. Apresiatif terhadap budaya lain,
perbedaan dan keberagaman harus kita tancapkan dalam diri kita, karena hal tersebut
merupakan kekayaan dan khazah bagi kita. Dengan demikian, pandangan tersebut
diharapkan mempunyai sikap ekslusif dan sikap membenarkan pandangan sendiri.

Konsep multi kulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan


bahwa sebuah negara atau masyarakat itu beragam dan majemuk. Sebaliknya, negara
tidak juga menganut kebudayaan nasional tunggal. Komitmen untuk mengakui
sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat dan negara bangsa.

BAGIAN KEDUA
BAB 1
PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Terdapat dua istilah dalam pemikiran pendidikan islam, yakni saling


memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Dua istilah tersebut adalah
“pendidikan” dan “pengajaran”. Dalam studi pendidikan islam tidak mengenal
pemisihan antara istilah pendidikan dan pengajaran. Kedua istilah tersebut
memiliki satu kesatuan integral, dalam artian dapat dibedakan tetapi tidak bisa
dipisahkan. Pendidikan merupakan salah satu nilai yang terus berjalan tanpa henti
agar dapat terwujud dalam pengajaran. Sedangkan pengajaran merupakan kiat
atau strategi untuk mengaktualkan pendidikan. Program pendidikan disini
memiliki target-target atau level-level tertentu, seperti diwujudkan dalam rencana
pembelajaran. Pengajaran disini dilandasi dengan nilai-nilai pendidikan,
sementara pendidikan selalu diwujudkan melalui kegiatan pengajaran.
Pendidikan merupakan suatu proses penyiapan sumber daya manusia
untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif
dan efisien. Pendidikan disini juga dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya keutamaan dalam kepribadian.

Dari definisi kedua yaitu pendidikan dan pengajaran diatas, terlihat antara
keduanya memiliki fokus yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu dengan
yang lain. Pendidikan lebih mengacu kepada kepribadian dan kesadaran peserta
didik, sementara pengajaran lebih kepada transfer ilmu pengetahuan kepada
peserta didik.

B. TUJUAN PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN ISLAM

Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau selesai.
Karena pendidikan merupakan usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-
tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat. Tujuan
pendidikan bukanlah sesuatu benda yang berbentuk tetap. Tetapi merupakan
sesuatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, dan berhubungan dengan seluruh
aspek kehidupannya.

Tujuan pendidikan agama islam adalah mendidik peserta didik supaya


menjadi seorang muslim sejati, beriman teguh, beramal shaleh, dan mempunyai
akhlak mulia, sehingga menjadi sanggup untuk menjadi anggota masyarakat yang
mengabdi kepada Allah SWT, dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya.

Peserta didik yang telah mencapai tujuan pendidikan agama islam dapat
digambarkan sebagai sosok individu yang telah siap menerima tanpa keraguan
sedikit pun akan kebenaran ajaran Islam. Berperilaku dan memperlakukan objek
keagamaan secara positif dan sosial kegamaan yang telah sesuai dengan ajaran
Islam.

Menurut Athbiya’ al-Abrasy mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam


ada 5 yaitu:
1. Membantu pembentukan akhlak yang mulia.
2. Mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan akhirat
3. Membentuk pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani
4. Menumbuhkan ruh ilmiah, sehingga, memungkinkan murid mengkaji ilmu
semata untuk ilmu itu sendiri
5. Mempunyai profesi dengan baik, atau singkatnya persiapan untuk mencari
rizki.

Dengan demikian, pendidikan agama Islam disamping bertujuan


menginternalisasikan nilai-nilai Islami, juga mengembangkan anak didik agar
mampu mengamalkan nilai nilai itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-
batas konfigurasi idealitas wahyu Tuhan.

Berikut ini formulasi Tujuan Pendidikan Agama Islam sebagaimana


digambarkan oleh Nizar (2001).
Menurut Nizar (2001) tujuan pendidikan agama islam secara umum dapat
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, jismiyah, ruhiyyat, dan aqliyyat. Tujuan
jismiyat berorientasi kepada tugas manusia. Ruhiyyat berorientasi kepada
kemampuan manusia. Aqliyyat berorientasi kepada pengembangan otak.

C. FORMULASI TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Dari beberapa penjelasan diatas, tujuan pendidikan agama Islam lebih


berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Allah SWT yang harus diinternalisasikan
kedalam diri individu anak didik lewat proses pendidikan. Selanjutnya, proses
tersebut akan mampu mengantarkan anak didik untuk bisa melaksanakan
fungsinya dan berguna untuk membangun dan memakmurkan dunia sesuai
dengan konsep-konsep yang telah ditentukan.

Dalam konsep Islam pendidikan itu berlangsung sepanjang kehidupan


manusia, dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam pada dasarnya sejajar
dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah dan
sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana diungkapkan oleh hasan Langgulung
bahwa “segala untuk menjadikan manusia ‘abid inilah tujuan tertinggi pendidikan
dalam Islam”

Perlu diperhatikan bahwa tujuan pendidikan agama Islam seperti gambar


diatas harus sesuai dan cocok dengan tujuan pembelajaran yang dirancang. Sebab
jika tidak selaras antara keduanya akan mengganggu realisasi target tujuan dari
keduanya.

Berikut ini gambaran secara lengkap tujuan pembelajaran agama Islam


seperti dinyatakan dalam kurikulum 2004:
1. Bidang studi Aqidah Akhlak:
a. Mendorong peserta didik untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.
b. Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia dan beradat
kebiasaan yang baik
c. Mendorong agar peserta didik meyakini dan mencintai aqidah Islam
d. Mendorong agar peserta didik benar-benar yakin dan taqwa kepada Allah
SWT.

2. Bidang studi Syari’ah:


a. Mendorong peserta didik untuk menebalkan iman
b. Mendorong untuk mensyukuri nikmat Allah SWT
c. Menumbuhkan pembentukan kebiasaan dalam melaksanakan amal Ibadah
kepada Allah SWT sesuai ketentuan-ketentuan agama dengan ikhlas
d. Mendorong pertumbuhan semangat untuk mengolah alam sekitar anugerah
Allah SWT.

3. Bidang studi al-Qur’an al-Hadits:


a. Memiiki kepribadian utama yang sesuai dengan norma-norma agama
b. Memimbing peserta didik untuk belajar, mengenali, mengetahui dan
paham untuk mengamalkan kandungan ayat-ayat suci al-Qur’an dan al-
Hadist
c. Membuat kelompok bidang studi lain dalam pengajaran Islam, khususnya
bidang studi Aqidah Akhlak dan Syari’ah

4. Bidang studi Sejarah Islam:


a. Mendukung perkembangan Islam masa kini dan mendatang, di samping
meluaskan cakrawala, pandangan kita terhadap makna Islam untuk
kepentingan kebudayaan umat manusia.
b. Membantu meningkatkan iman peserta didik dalam rangka membentuk
muslim dengan kepribadian cinta dan kagum terhadap Islam dan
kebudayaannya.
c. Memberi bekal kepada peserta didik dalam rangka melanjutkan
pendidikannya ke tingkat lebih tinggi dan menjadikan bekal untuk
menjalani kehidupan pribadi mereka.
D. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan dan


keseimbangan antara:
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT.
2. Hubungan manusia dengan sesama manusia.
3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
4. Hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungan.

Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang ditujukan


untuk dapat meserasikan, melaraskan, dan menyeimbangkan antara Imam, Islam,
dan Ihsan. Pendidikan Agama Islam disini mempunyai tujuh unsur pokok yaitu:
Al-Qur’an-Hadist, keimanan, syari’ah, ibadah, muamalah, akhlak, dan tarikh.

Islam merupakan suatu agama yang diturunkan Allah SWT yang berwujud ajaran
dan prinsip-prinsip atau pokok-pokok yang disesuaikan menurut lokasi atau
keadaan umatnya. Prinsip dan pokok tersebut disesuaikan dengan kebutuhan umat
manusia secara keseluruhan, yang dapat berlaku pada segala masa dan tempat.
Dengan demikian, bahwa ajaran yang diturunkan melalui Nabi Muhammad itu
merupakan ajaran yang melengkapi dan disempurnakan oleh nabi-nabi
sebelumnya.

Ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT berisi
pedoman hidup pokok yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya, dengan makhluk yang
bernyawa lain, dengan benda mati, dan alam semesta. Ajaran Islam diyakini
sebagai ajaran yang diturunkan Allah SWT untuk kesejahteraan hidup manusia di
dunia ini dan di akhirat nanti.
Setiap materi ajar selalu mempunyai karakteristik yang berkaitan erat dengan
tujuan pengajaran, tidak terkecuali mata ajar Pendidikan Agafria Islam. Adapun
karakteristik pendidikan agama Islam antara lain:

1. Pendidikan Agama Islam mempunyai kandungan dengan dua sisi,


diumpamakan sebuah mata uang yang memiliki dua muka. Pertama, sisi
keyakinan yang merupakan Wahyu Ilahi dan Sunnah Rasul, berisikan hal-hal
yang mutlak dan berada di luar jangkauan indra dan akal. Pada tataran ini,
wahyu dan sunah berfungsi memberikan petunjuk mendekatkan jangkauan akal
budi manusia untuk mengetahui dan memahami segala hakekat kehidupan.
Kedua, sisi pengetahuan yang berisikan hal-hal yang mungkin dapat diindera
dan dinalar. Sisi pertama lebih menekankan pada kehidupan akhirat dan sisi
kedua lebih menekankan kehidupan duniawi.
2. Pendidikan agama Islam merupakan pembentukan akhlak yang menekankan
pada pembentukan hati nurani dan penanaman sifat-sifat ilahiyah yang jelas dan
pasti, baik dalam hubungan manusia dengan maha pencipta, dengan sesamanya
maupun dengan alam sekitar.
3. Pendidikan agama Islam bersifat fungsional, sepanjang hayat akan penting
untuk manusia. Jika umur seseorang bertambah maka semakin dirasakan
olehnya kebutuhan dan keperluan akan agama. Untuk harapannya, semakin
dekat seseorang dengan ajalnya, semakin meninggi tingkat kebutuhannya akan
agama. Pada situasi dan kondisi apapun, sedih atau senang, sehat atau sakit,
kaya maupun miskin, diharapkan bisa mengaplikasikan ilmu pengetahuan
agamanya.
4. Pendidikan agama Islam bersifat doktrinal, memihak, dan tidak netral. Selalu
mengikuti garis-garis yang jelas dan pasti, tidak dapat ditolak atau ditawar.
Berpegang pada ajaran Islam selama hayat merupakan keharusan yang selalu
dikandung oleh badan. Manusia disini tidak diberi jaminan kebahagiaan dan
didorong untuk memiliki sistem nilai yang sesuai dengan ajaran agamanya,
melainkan juga akan merasa terancam jika melanggar atau mengingkarinya.
5. Pendidikan agama Islam tidak dapat diberikan secara parsial melainkan secara
komprehensif, dan holistik pada setiap level lembaga pendidikan yang
disesuaikan dengan tingkat berfikir mereka. Sifat pengajaran agama yang
berfungsi sebagai tuntunan hidup, maka harus dapat memenuhi kebutuhan anak
didik untuk menjalani kehidupan agama yang baik dan benar setelah
menyelesaikan suatu tingkat atau jenjang pendidikan tertentu. Dengan demikian
pengajaran agama harus diberikan secara menyeluruh dan berkenimbung pada
setiap jenjang pendidikan.
6. Pendidikan agama Islam diarahkan untuk menyempurnakan bekal keagamaan
anak didik yang sudah terbawa sejak dari rumah. Setiap anak didik sebelum
memasuki bangku sekolah, telah mempunyai sikap dan reaksi-reaksi tertentu
terhadap sesuatu yang diindranya. Secara langsung maupun tidak langsung
keragaman sikap dan reaksi mereka akan terbawa otomatis ke dalam kelas.
Sikap dan persepsi anak didik inilah yang harus mendapat perhatian dari para
guru, khususnya sikap dan reaksi yang negatif. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pengajaran agama dapat berfungsi meluruskan sikap dan
reaksi ke arah yang tepat, sehingga anak didik akan mengalami pembentukan
akhlak yang karimah.

Karakter pendidikan agama Islam seperti disebutkan diatas harus dipahami dan
diterapkan kepada anak didik. Di samping itu, harus mencerminkan setidaknya empat
nilai pokok, yaitu: nilai material,nilai formal, nilai fungsional, dan nilai esensial.

1. Nilai Material

Nilai material disini dijelaskan yaitu jumlah pengetahuan agama Islam yang
diajarkan. Jika anak didik semakin lama belajar maka semakin bertambah ilmu
pengetahuan agamanya. Pertambahan pengetahuan agama pada anak didik tersebut
berlangsung melalui proses pembelajaran tingkat demi tingkat dalam suatu jenjang
pendidikan. Jika dikaitkan dengan sisi aspek pengajaran pada setiap aspeknya.

2. Nilai Formal

Nilai formal merupakan nilai sebagai pembentuk yang berhubungan dengan daya
serap anak didik atas segala bahan yang telah diterimanya. Dengan itu, sejauh
manakah daya anak didik dalam membangun kepribadian yang kokoh, utuh, dan
tahan uji. Semuanya itu merupakan kerja mental sebagai reaksi atas pengaruh yang
diterimanya.

Dalam pemahaman saja tidak cukup untuk mengurangi dan menghapuskan


tingkah laku yang negatif menuju pada pembentukan tingkah laku yang positif,
karena itu unsur keteladanan dan suasana lingkungan juga turut memegang peranan
utama dalam pembentukan kebiasaan yang baik. Dengan demikian, pemahaman,
keteladanan dan lingkungan yang selaras dengan petunjuk agama akan berpengaruh
pada anak didik dan didorong untuk membentuk seorang muslim yang ideal.

3. Nilai Fungsional

Sesuai dengan pengertian fungsional yaitu “dilihat dari segi fungsi”, yang
dimaksud dengan fungsional dalam kaitannya dengan pendidikan Islam adalah
penyajian materi pendidikan islam dengan menekankan pada segi kemanfaatannya
bagi anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Ramayulis menambahkan
fungsional adalah usaha memberikan materi agama menekankan kepada segi
kemanfaatan bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari sesuai pengembannya.

Nilai fungsional juga dijelaskan yaitu relevansi bahan ajar dengan kehidupan
sehari-hari. Jika bahan itu mengandung kegunaan dan dapat dipakai atau berfungsi
dalam kehidupan keseharian, maka itu berarti mempunyai nilai fungsional.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa nilai fungsional dalam Pendidikan
Agama Islam adalah nilai pendekatan yang mencoba mengkaji materi pelajaran
agama Islam dari segi kemanfaatannya bagi anak didik dalam kehidupan
kesehariannya disesuaikan dengan perkembangan anak didik itu sendiri.

4. Nilai Esensial

Nilai esensial ialah nilai hakiki. Agama mengajarkan bahwa kehidupan hakiki
atau hidup yang sebenar-benar hidup itu berlangsung dialam baqa. Jadi kehidupan itu
tidak berhenti hingga di dunia saja, melainkan kehidupan itu berlangsung terus di
alam akhirat. Kematian merupakan permulaan kehidupan hakiki itu, sebagai pembeda
antara dua kehidupan yang merupakan suatu keseluruhan hidup dan tidak terpisahkan.
Pergantiannya laksana pengertian siang dan malam dalam suatu kesatuan hari.

Begitu pentingnya nilai hakiki ini, maka pengajaran agama itu seharusnya
diupayakan dapat bermuara pada nilai hakiki tersebut. Nilai-nilai hakiki dapat berupa:

Pertama nilai pembersih atau penyucian yang dijelaskan seseorang siap


menerima, memahami, dan menghayati ajaran agama Islam sebagai pandangan
hidupnya.
Kedua nilai kesempurnaan akhlak merupakan akhlakul karimah yang terdapat
pada sesorang yang tercermin pada sifat-sifat nabi. Disamping itu juga tidak terlepas
dalam pengamalan ajaran agama islam secara sempurna pada kehidupannya.
REFERENSI

Dian R. (2016), Pergeseran Paradigma Pembelajaran Pada Pendidikan Tinggi. Retriveid from
https://journal.institutpendidikan.ac.id/index.php/petik/article/view/60
BSNP (2010), Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI, Retrivied from
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://akhmadsudrajat.files.wordpre
ss.com/2013/06/paradigma-pendidikan-nasional-abad-xxi.pdf&ved=2ahUKEwj-
rMnh__HyAhWUFLcAHW7RBFAQFnoECA8QAQ&usg=AOvVaw2eI3A3KvkYLjOaYINVD
3oS
Tim PGSD UHAMKA. (2015), Paradigma Pendidikan. Retrivied from
http://perspektifglobal5o.blogspot.com/2015/11/paradigma-pendidikan-babii-
pembahasan_30.html?m=1
Zuki Iriani. (2013), Pendidikan Sistem Organik. Retrivied from
https://www.academia.edu/5505286/PENDIDIKAN_SISTEMIK_ORGANIK
Imam S. (2016), Pendidikan dan Pengajaran dalam Islam. Retrivied from
https://tammimsyafii.blogspot.com/2016/12/pendidikan-dan-pengajaran-dalam-islam.html?m=1
Fitriana H. (2014), Formulasi Tujuan Pendidikan Islam. Retrivied from
http://fitrianahadi.blogspot.com/2014/12/formulasi-tujuan-pendidikan-islam.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai