Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

ANALISIS DILEMA ETIK DALAM DUNIA


PENDIDIKAN

Dosen Pengampuh: Dr. Hj. Een Kurnaesih, SKM., M.Kes

DISUSUN OLEH:

Kelompok 1

1. Muh. Irsan Muflih Mundzir (NIM: 0047.10.16.2021)


2. Sri Arnilasari Ms (NIM: 0042.10.16.2021)
3. Aulia Khaerunnisa (NIM: 0002.10.16.2021)
4. Munawwarah (NIM: 0035.10.16.2021)

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat serta karunia-
Nya. sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Analisis
Dilemak Etik dalam Dunia Pendidikan”

Allahummasholli alasayyidina Muhammad Salam dan shalawat senantiasa


tercurah kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri teladan dan memberikan
kesempatan kepada umatnya untuk mengenyam nikmatnya ilmu pengetahuan
yang telah mengantarkan umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah
seperti sekarang ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Hj. Een Kurnaesih,
SKM.,M.Kes, selaku dosen Mata Kuliah Etika dan Hukum Kesehatan, karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kritik
dan saran sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalah
selanjutnya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Waasalamualaikum


Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 22 Maret 2022

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan patut diakui bahwa usia pendidikan sama
tuanya dengan usia manusia. pendidikan telah dilaksanakan semenjak manusia
hadir di muka bumi dengan sebuah tujuan awal bahwa pendidikan hanyalah
sekedar mempersiapkan generasi muda untuk bisa survive di tengah
masyarakat luas. Oleh karena itu, bentuk pendidikan lebih berupa mewariskan
wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk survival
kepada generasi berikutnya.
Etika pendidikan merupakan dua pokok penting yang berbeda namun
tidak dapat dipisahkan dalam praktiknya. Untuk dapat memahami kedua
pokok ini sebagai modal awal dalam pemahaman yang benar tentang etika
pendidikan harus didasarkan pada suatu pengertian yang benar tentang etika
pendidikan itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa etika pendidikan merupakan sebuah proses
pendidikan yang berlangsung secara etis dan terus menerus dalam dalam
kehidupan seseorang melalui pengajaran dan penekanan terhadap etika itu
sendiri sehingga kemampuan, bakat, kecakapan dan minatnya dapat
dikembangkan seimbang dengan etika yang baik dan benar dalam
kehidupannya. “Hampir semua orang dikenali pendidikan dan melaksanakan
pendidikan. Pendidikan tidak terpisah dari etika dalam kehidupan manusia.
Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan manakala anak-anak
ini sudah dewasa dan berkeluarga, mereka juga akan mendidik anak mereka
dengan baik dan sopan sesuai dengan etika yang baik.
Etika dan pendidikan dua pokok yang saling terkait, seorang yang
memiliki pendidikan akan dilihat dari cara dan gaya hidupnya yang
menunjukkan sifat-sifat serta perkataan yang sopan dan santun. Hal ini
dibentuk untuk landasan etika, karena menurut Umar Tirtaraharja bahwa,
“Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuh

i
kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan
merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Pendidikan itu
berlangsung dengan baik dan berhasil, jika seorang pendidik memahami dan
menerapkan konsep keteladanan yang baik berdasarkan etika dan moral yang
baik.”
Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsip berbeda dari ciptaan
yang lainnya, salah satu perbedaan yang sangat nampak dalam kehidupan
manusia adalah cara hidup yang penuh dengan nilai-nilai baik dan luhur dalam
kehidupannya. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang
baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki
dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan
merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan[1]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalahnya adalah untuk
menganalisis dilema etik dalam dunia pendidikan.

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Pendidikan
2. Untuk Mengetahui Pengertian Dilema Etis
3. Untuk Mengetahui Pengertian Etika Pendidikan
4. Bagaimana Ruang lingkup Etika Pendidikan
5. Bagaimana Obyek Etika Pendidikan
6. Bagaiman Studi Kasus dalam Dunia Pendidikan
7. Bagaimana Penyelesaian Kasus dalam dunia Pendidikan

ii
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan
Modal awal dalam sebuah pemahaman yang benar tentang pendidikan,
harus didasarkan pada suatu pengertian yang benar tentang pendidikan itu
sendiri. Pendidikan merupakan sebuah proses yang dapat terjadi secara terus-
menerus dalam kehidupan seseorang melalui pengajaran sehingga
kemampuan, bakat, kecakapan dan minatnya dapat dikembangkan. Di bawah
ini, beberapa pengertian tentang pendidikan yaitu:
1. “Education is the process by which the human mind is disciplined and
developed.” (Pendidikan adalah suatu proses dengan mana pemikiran,
rasio, mental manusia didisiplin dan dikembangkan). Hal ini didasarkan
pada sebuah pemikiran bahwa manusia itu adalah “Homosapiens" artinya
jenis makhluk yang dapat berpikir dengan menggunakan logika.
2. “Education is the process by which the individual is thought loyalty and
conformity to the group and to social institutions” (Pendidikan adalah
kegiatan atau proses dengan fnana individual dibina agar loyal setia tanpa
syarat dan penyesuaian membuat pada kelompok atau lembaga sosial)
3. “Education is aprocess of growth in which the individual is helped to
developed his powers, his talent, his abilities, and his interest.”
(Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan dalam mana individu
dibantu mengembangkan daya-daya kemampuannya, bakatnya,
kecakapannya dan minatnya).

Tiga pengertian pendidikan di atas mengacu kepada pendekatan


antropologis, sosiologis dan psikologis. Dalam konteksnya, pendekatan
sosiologis meninjau proses pendidikan dalam kaitannya dengan kehidupan dan
lembaga sosial di luar individu, sedangkan pendekatan psikologis meninjau
proses pendidikan dari sudut proses internal dalam diri manusia, sehingga

1
lebih mengarah kepada peninjauan tentang konsep hakikat psikologis bukan
filosofis. Dari pengertian di atas (dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
merupakan suatu proses penyesuaian diri ke arah pendewasaan untuk
mencapai suatu kesuksesan dalam hidup.

Sebuah pengertian penting tentang pendidikan perlu dipahami adalah


“Education is the process by which a person adjusted to those elements of this
environment which are of concern in modern living so as to prepare him for
successful adult living” Hal ini merupakan suatu konsep pendidikan yang
lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern yang
kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualistis sehingga menuntut
kemampuan individual masing masing pribadi dalam mengadakan
penyesuaian kehidupan secara psikologis, “Pendidikan memperhatikan
kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek
sosial, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta segi serba keterhubungan
manusia dengan dirinva (konsentris) dengan lingkungan sosial dan alamnya
(horizontal) dan tangan Tuhannya (vertical).

1. Pendidikan sebagai proses tranformasi budaya.


Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai
kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-
nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke
generasi muda. Ada tiga bentuk tranformasi yaitu nilai-nilai yang masih
cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab dan
lain-lain.
2. Pendidikan sebagai prose pembentukan pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai
suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah -kepada terbentuknya
kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui dua sasaran
yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka
yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.

2
3. Pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara
Pendidikan sebagai penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu
kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik menjadi warga negara
yang baik.
4. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja
Pendidikan sebagai penyimpan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan
membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja.
Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena
bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia [1]
B. Pengertian Dilema Etis
Guru adalah designer dan pengelola pembelajaran sekaligus sebagai
pemimpin pendidikan (educational leader) di sekolah (Schlechty, 2009).
Dalam kapasitas tersebut, guru tidak hanya dituntut profesional dalam
menggunakan pendekatan, strategi, model, metode dan tehnik pembelajaran
yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang efektif
menyenangkan dan tercapainya kompetensi yang ditentukan. Guru juga
dituntut terampil dalam mencari solusi dan mengambil keputusan dalam
menghadapi kasus-kasus non-teknis pembelajaran yang bersifat dilema etis,
misalnya kasus bullying, pelecehan seksual, siswi hamil, pernikahan dini, dan
kasus-kasus serupa yang termasuk dalam kategori pelanggaran etika.
Apa yang dimaksud dengan dilema etis ? Menurut Duignan (2006) dilema
etis adalah sebuah situasi sulit dan menantang yang memerlukan satu pilihan
keputusan diantara beberapa kemungkinan yang sama-sama tidak dikehendaki.
Situasi dilema etis di sekolah bersumber dari empat hal pokok yaitu peserta
didik, personel sekolah, keuangan dan sumber daya, serta hubungan dengan
pihak eksternal sekolah (Cranston, 2006). Selain itu, situasi dilema etis di
sekolah juga bisa disebabkan oleh adanya kompleksitas, ketidakpastian, dan
keragaman. Keragaman (diversity) meliputi kategori kultural, ras, agama, kelas
sosial, gender, kecacatan (disability), orientasi seksual, dan perbedaan –

3
perbedaan individual dalam gaya belajar, perkecualian (exceptionality), serta
usia [2]
C. Pengertian Etika Pendidikan
Etika dan pendidikan memiliki pengertian masing-masing, yang
kemudian jika disatukan maka akan memiliki sebuah arti yang sepadan.
Karena itu, untuk memahami lebih jelas maka terlebih dahulu akan
dibahas tentang pengertian etika yang kemudian setelah itu akan dibahas
pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai yang
benar dan salah yang dianut masyarakat.” Jika diteliti dengan baik, etika
tidak hanya sekadar sebuah ilmu tentang yang baik dan buruk ataupun
bukan hanya sekadar sebuah nilai, tetapi lebih dari itu bahwa etika adalah
sebuah kebiasaan yang baik dan sebuah kesepakatan yang diambil
berdasarkan suatu yang baik dan benar.
Dari asal usul kata, “Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang
berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Perkembangan etika studi tentang
kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu
yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan
pada umumnya.” Kemudian secara etimologi Etika berasal dari bahasa
Yunani adalah “Ethos”, yang etimologi Etika berasal dari bahasa Yunani
adalah “Ethos", yang biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang
merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk
jamaknya “Mores", yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan
menghina dari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang
sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari hari terdapat perbedaan,
yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku”.

4
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: “Susila (Sanskerta), lebih
menunjukkan kepada dasar dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih
baik (su). Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak“
Kemudian Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Erika Nikomacheia,
menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
 Termmnus Techicus, pengertian etika dalam hal ini adalah, etika
dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah
perbuatan atau tindakan manusia.
 Manner dan Custom, membahas etika yang berkaitan dengan tata cara
dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in
human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu
tingkah laku atau perbuatan manusia.

Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis, dan dalam
kajian secara terminologi etika berarti sebuah cabang ilmu yang
membicarakan perbuatan/tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan yang baik dan yang buruk. Surajiyo mengatakan, “Secara
terminologi, etika adalah cabang ilmu yang membicarakan tingkah laku
atau perbuatan manusia hubungannya dengan yang baik buruk. Yang dapat
dinilai baik buruk adalah sikap manusia, yaitu yang menyangkut
perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata-kata, dan sebagainya.

Perlu diperhatikan bahwa ada tiga kata yang hampir sama yaitu etika,
moral dan etiket. “Secara etimologi, etika dapat disamakan dengan moral.
Moral berasal dari bahasa latin “mos” yang berarti adat kebiasaan. Moral
lebih kepada rasa dan karsa manusia dalam melakukan segala hal dalam
kehidupannya. Jadi moral lebih kepada dorongan untuk mentaati etika.
Etika pada dasarnya mengamati. Sedangkan kata “Etiket menyangkut cara
(tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia Misal Ketika saya
menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya
dengan menegunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan

5
tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket."" Etika menyangkut
cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari
perbuatan itu sendiri. Misal. dilarang mengambil barang milik orang lain
tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama
artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri" merupakan suatu norma etika.

Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan


tangan kanan atau tangan kiri. Etiket hanya berlaku dalam situasi di mana
kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita) dan etiket bersifat
relatif, karena yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja
dianggap sopan dalam kebudayaan lain Misal: makan dengan tangan atau
bersendawa waktu makan. Etika memiliki sifat kritis sebagai suatu sifat
yang mendasar, karena “Etika mempersoalkan norma norma yang
diangwap berlaku: memiliki dasar norma-norma itu: mempersoalkan hak
dari setiap lembaga, seperti orang tua, sekolah, negara dan agama untuk
memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati.”” Dari satu sisi,
etika membicarakan suatu fakta apa adanya tentang nilai dan perilaku
manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang
membudaya, ini dinamakan dengan etika deskriptif, sedangkan
menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya
dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia
dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini, merupakan sebuah
penekanan dari etika normatif.

Pada dasarnya etika pendidikan masing-masing memiliki pokok


pemahaman yang berbeda, yaitu etika menyangkut kebiasaan atau sikap
baik buruk seseorang sedangkan pendidikan menyangkut sebuah proses
yang secara terus-menerus berlangsung dalam kehidupan seseorang, yang
mengacu pada tujuan pendidikan itu sendiri, ingin menanamkan nilai nilai
yang baik, luhur, pantas, benar dan indah untuk kehidupan manusia itu
sendiri H. A. R. Tilaar mengatakan, “Suatu tindakan pendidikan atau lebih
tepat lagi suatu pertemuan pendidikan (pedagogical encounter) merupakan

6
suatu tindakan rasional etis. Hal ini membedakan manusia dengan
binatang yang tindakan-tindakannya berdasarkan insting dan bukan
berdasarkan pertimbangan rasional disadarkan pada etika Manusia hidup
untuk kebaikan dan oleh sebab itu pertimbanganpertimbangan etis
ditunjukkan pada perbaikan manusia sebagai makhluk yang baik. Ini yang
disebut manusia sebagai makhluk rasional etis.

Etika pendidikan berdasarkan pada sebuah kajian nyata bahwa manusia


harus melakukan sesuatu dalam tindakan yang beretika, termasuk di
dalamnya proses belajar mengajar dalam dunia endidikan. Proses
pendidikan harus dijalankan dengan etika yang baik dan benar, karena
pendidikan bukan saja berbicara dari sisi penanaman nilai yang baik
melalui pembelajaran tetapi juga berbicara dari sisi penerapan etika baik
kepada pendidik maupun peserta didik.

Salah satu pengertian pendidikan adalah proses transformasi budaya.


Dalam budaya konteks di Indonesia memiliki kandungan yang sangat
kental tentang etika dan moral yang sopan dan santun. Tilaar mengatakan,
“Tindakan manusia tidak terjadi dalam ruang yang hampa atau tanpa nilai.
Tindakan manusia selalu dalam satu wacana kebudayaan, yakni
kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang sedang menjadi
merupakan hasil karya dari seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.”
Kemudian dalam kaitan etika pendidikan dan pembelajaran sebagai proses
dari pendidikan itu sendiri, tugas dosen adalah sebagai perencana,
pelaksana dan sebagai penilai keberhasilan belajar mahasiswa. Tugas
tersebut Tintuk membantu mendapatkan pengetahuan, kemahiran dan
keterampilan serta dan sikap tertentu. Agar mahasiswa mempunyai nilai
dan sikap yang diharapkan, sesuai standar yang berlaku di masyarakat,
dosen atau harus melaksanakan tugasnya berdasarkan standar moral dan
etika yang baik dan benar. Dalam melaksanakan pendidikan, beretika yang
baik harus dipraktikkan oleh seorang pendidik, karena jika dikaitkan
dengan pemahaman Etika Pendidikan Kristen, maka seorang pengajar

7
bukan saja mampu mengajar dan berkualitas secara mtelektual tetapi juga
harus memiliki kualitas rohani dan moral yang baik [1]

D. Ruang Lingkup Etika Pendidikan


Menurut Mohd.Nasir Ibn Omar, lapangan kajian filsafat moral
(etika) pada masa itu berkisar pada persoalan-persoalan, sifat-sifat bajik
dan kebahagiaan jiwa, tiga daya jiwa dan pengaruhnya pada perilaku,
kontrol jiwa atau penyucian jiwa melalui ilmu pengetahuan, disiplin dan
hubungannyaa dengan masyarakat sehingga jiwa terbebas dari segala
kejahatan, mencapai kesempurnaan dan kabahagiaan yang tertinggi.
Ruang lingkup etika pendidikan tidak memberikan arahan yang
khusus atau pedomaan yang tegas terhadap pokok-pokok bahasannya,
tetapi secara umum ruang lingkup etika adalah sebagai berikut :

a) Sejarah tentang tingkah laku manusia


b) Cara-cara menghukum, menilai baik dan buruknya suatu pengajaran
atau pekerjaan
c) Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak, mempengaruhi
dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia, meliputi faktor manusia
itu sendiri, fitrahnya atau nalurinya, adat kebisaanya, lingkungannya,
kehendak, cita-citanya, suara hatinya, motif yang mendorongnya,
perbuatan dan masalah pendidikan
d) Etika menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Menurut
ajaran islam etika yang baik itu harus bersumber pada al Qur’an dan
hadits Nabi
e) Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga
dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan kebaikan dan
menjauhkan segala kelakuan yang buruk dan tercela [3]

E. Obyek Etika Pendidikan


Obyek Etika Pendidikan adalah setiap tingkah laku atau perbuatan
manusia yang berkaitan dengan norma yang belaku di masyarakat,
sehingga dapat dikatakan bahwasannya tingkah laku manusia itu, baik
yang dapat diamati secara langsung maupun tidak, dapat dijadikan sebagai

8
bahan tinjauan, tempat penilaian terhadap norma yang berlaku di
masyarakat. Perbuatan menjadi obyek ketika etika mencoba atau
menerapkan teori nilai.
Perpaduan antara nilai dengan perbuatan sebagai pelaksanaannya
menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Perbuatan yang
dapat dihubungkan dengan nilai etis adalah:
a. Perbuatan oleh diri sendiri baik dalam keadaan sadar maupun tidak.
b. Perbuatan oleh pengaruh orang lain bisa berupa saran, anjuran, nasehat,
tekanan, paksaan, peringatan, ataupun ancaman.
c. Menurut pendapat Dr. Achmad Amin yang mengemukakan bahwa
perbuatan yang dimaksud sebagai obyek etika ialah perbuatan sadar
baik oleh diri sendiri atau pengaruh orang lain yang dilandasi oleh
kehendak bebas dan disertai niat dalam batin [3]

F. Studi Kasus
Dengan melihat realita yang terjadi akibat dari krisis moral yang
terjadi dalam lingkungan masyarakat dan keluarga serta diri sendiri, maka
dapat ditarik kesimpulan dua contoh kasus yang nyata dalam dunia
pendidikan yaitu:
1. Menurunnya kualitas pendidik dan SDM yang tidak professional
Adanya tantangan zaman dalam dunia pendidikan yang semakin
membuat pendidik kesulitan sendiri dalam mengembangkan diri ke
arah kualitas yang lebih baik. Cukup banyak pengamat sosial yang
menyatakan bahwa di balik krisis moneter yang bukan hanya
menyebabkan krisis ekonomi, tetapi juga krisis politik dewasa imi
sebenarnya juga telah menjadi krisis moral yang ikut
menyebabkannya. Berbagai praktik korupsi, kolusi, manipulasi, dan
nepotismes selama ini telah menggerogoti sendi sendi ke onomi yang
sehat. Dalam dunia politik, juga telah lama terj pelanggaran etika
politik. Kepentingan politik kekuasaan yang tidak segan segan
mengorbankan rakyat jelata yang tidak berdosa melalui tindak

9
kekerasan, entah dengan menyulut api emosi seputar masalah SARA
atau dengan berondongan senjata, telah mendorong orang untuk
menghalalkan segala cara. Kebenaran terus ditutup-tutupi, kebebasan
dipasung, suarasuara kritis dibungkam. Akibatnya, kebocoran-
kebocoran terus terjadi tanpa kendali koreksi. Dalam masyarakat,
beragam bentuk keserakahan, ketidak-pedulian akan sesama, telah
menyebabkan rasa tanggung jawab dan solidaritas sosial amat merosot.
Masing-masing mencari untung selamat sendiri-sendiri. Hal ini pula
yang terjadi bagi seorang pendidik yang sangat dipengaruhi oleh
keadaan, sehingga makna pendidikan yang sebenarnya telah lama
mengalami pergeseran.
2. Peserta didik yang tidak sekolah, putus sekolah
Kasus putus sekolah atau tidak mau sekolah bagi seorang peserta
didik, tentunya disebabkan oleh kurangnya kesadaran benar tentang
makna pendidikan dan penerapan pendidikan jang baik dalam diri
peserta didik itu, yang berakar dari krisis moral yang dialami oleh
peserta didik itu sendiri. Sehingga banyak peserta didik yang putus
sekolah bahkan ada yang memilih untuk tidak mau sekolah. Tilaar
mengatakan bahwa, “Menurunnya moral peserta didik disebabkan
perubahan hidup, menyebabkan longgarnya ikatan ikatan moral
kehidupan yang mempengaruhi pula kehidupan generasi muda.
Pembinaan etnik dan moral generasi muda haruslah di mulai dari
keluarga, di dalam sekolah/di dalam masyarakat.” Banyaknya
pengangguran atau peserta didik yang tidak mau sekolah disebabkan
oleh sebuah krisis moral yang dialaminya, sehingga kejahatan semakin
banyak terjadi. Jika hal ini terus terjadi tanpa kepedulian pemerintah
dalam hal ini, untuk memperbaiki keadaan pendidikan maka bangsa ini
akan hancur, karena kekuatan sebuah bangsa ada pada tingkat
pendidikan yang dimiliki oleh warganya.” [1]

10
3. Studi Kasus tentang Siswi Hamil diluar nikah
Satu contoh kasus dilema etis di sekolah adalah kasus siswi hamil.
Kasus ini sering terjadi di beberapa sekolah Indonesia dan sering
menjadi polemik berkepanjangan. Seorang siswi yang satu minggu lagi
akan mengikuti ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN) ternyata
hamil. Sekolah sering salah tingkah dalam menghadapi kasus semacam
ini. Jika siswi tersebut dipertahankan maka akan menjadi preseden
buruk bagi siswi lainnya. Siswa lainnya akan memiliki alasan untuk
bersikap permisif (tidak apa-apa) terhadap kasus serupa jika terjadi lagi
di kemudian hari. Namun jika tidak diperbolehkan ikut US dan UN
maka bisa menghambat proses masa depan sang siswi.
Contoh kasus dilema etis yang paparkan di atas merupakan
gambaran situasi atau kejadian yang menimpa siswa atau komunitas
sekolah yang menimbulkan situasi sulit dan menantang yang membutuhkan
satu pilihan keputusan dari berbagai alternatif atau kemungkinan solusi
yang semuanya tidak dikehendaki. Sebagai decision maker, guru harus
mampu mengambil keputusan yang tepat dengan mengakomodir semua
pihak dan semua kepentingan dengan paradigma dan tahapan-tahapan
sistematis yang bisa dipertanggung jawabkan.
Dalam menghadapi kasus dilema etis, guru tidak hanya memilih
alternatif dan merespon masalah yang muncul tetapi juga harus
menyertakan analisis etika (ethical analysis) dalam proses pengambilan
keputusan, yaitu dengan mempertimbangkan aspek nilai-nilai, pilihan,
dilema, karakter dan wilayah abu-abu.[2]
Untuk menjaga konsistensi dan koherensi dalam pengambilan
keputusan, guru harus memahami metode dan langkah-langkah
pengambilan keputusan ketika berhadapan dengan masalah dilema etis.
Duignan (2006) merekomendasikan sepuluh langkah dalam membuat
keputusan etis, yaitu :
1. Menentukan sifat situasi. Guru perlu memahami dan menentukan
karakter situasi dilema etis yang dihadapi, apakah situasi dilema

11
tersebut antara benar-dan-benar (right-and-rigth), salah-dan-salah
(wrong-and-wrong), atau antara benar dan salah (right-and-wrong).
2. Memperjelas fakta-fakta. Pengambilan keputusan yang baik sangat
tergantung pada pengumpulan data dan pemahaman fakta-fakta yang
komprehensif. Guru harus melakukan penyelidikan secara cermat
tentang masalah sebenarnya.
3. Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat. Guru perlu memahami dan
melibatkan pihak-pihak yang terkait, alasan mereka terlibat, dan
motivasi mereka.
4. Memikirkan beberapa opsi tindakan. Guru perlu mempertimbangkan
berbagai cara, alternatif tindakan serta konsekuensinya masing-masing.
5. Mengevaluasi opsi-opsi dengan menggunakan pendekatan etika yang
berbeda. Guru bisa mengevaluasi beberapa alternatif pemecahan
masalah dengan menggunakan empat paradigma etika yang
dikemukakan Shapiro dan Stefkovich (2011), yaitu etika keadilan
(ethics of juctice), etika kritik (ethics of critique), etika kepedulian
(ethics of care), dan etika profesi (ethics of profession).
a) Etika keadilan (ethics of juctice) adalah sebuah paradigma etika
yang memandu pengambilan keputusan berdasarkan aturan hukum
dan konsep-konsep keadilan, kesamaan, dan ekuitas. Semua orang
diperlakukan sama sesuai standar keadilan yang disepakati bersama.
Dari perspektif paradigma keadilan, proses pengambilan keputusan
yang dilakukan guru ketika dihadapkan pada kasus dilema etis di
sekolah harus dipandu oleh aturan, tata tertib, hukum, kebijakan dan
prosedur yang berlaku di sekolah dan diterapkan secara obyektif,
rasional, logis, sistematis, transparan, tanpa pandang bulu dan
berlaku sama untuk semua warga sekolah.
b) Etika kritik (ethics of critique) memandang bahwa hukum, aturan,
tata tertib dan bentuk regulasi lainnya bisa menjadi penghambat
terciptanya keadilan karena sifatnya yang kaku dan menafikan
situasi unik individu. Dari perspektif ini, guru dituntut kritis

12
terhadap segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekolah agar
para siswa tetap diperlakukan secara adil sesuai dengan situasi unik
yang dihadapi.
c) Etika kepedulian (ethics of care) mengedepankan rasa belas kasih,
empati, menghargai martabat siswa, apresiasi, keteduhan,
komunikasi, menjaga rahasia siswa, kekeluargaan, melindungi,
mendengarkan, memahami secara mendalam situasi individual yang
dihadapi siswa, dan lebih mementingkan dampak jangka panjang
yang mungkin dialami siswa.
d) Etika profesi (ethics of profession) memposisikan siswa sebagai
pusat dari proses pengambilan keputusan dan fokus pada keputusan
yang terbaik untuk siswa, “the best interest of the students”. Salah
satu dokumen yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam
pengambilan keputusan yang komprehensif adalah standar etika
atau kode etik guru yang disusun oleh organisasi profesi guru. Guru
di Indonesia yang menerapkan paradigma etika profesi bisa
mengacu kepada Kode Etik Guru Indonesia (KEGI).
e) Memilih opsi yang terbaik. Opsi atau pilihan yang terbaik diperoleh
dari proses berfikir yang cermat dan prinsip-prinsip etika yang
kokoh.
f) Menjelaskan pilihan yang diambil. Guru harus siap menjelaskan
pilihan keputusan yang diambil, mengapa pilihan tersebut menjadi
pilihan yang lebih baik dibanding dengan pilihan-pilihan lainnya.
Sebuah pilihan keputusan harus bisa dipertanggungjawabkan
kepada publik.
g) Menentukan cara mengimplementasikan opsi tersebut. Guru harus
menyusun rencana implementasi secara rinci. Banyak keputusan
yang mengalami kegagalan dalam proses implementasi dikarenakan
perencanaan yang buruk.

13
h) Melakukan tindakan dengan cermat. Guru harus terbuka terhadap
umpan balik dan perspektif berbeda. Guru juga harus siap
memodifikasi keputusan jika ditemukan fakta-fakta baru.
i) Melakukan refleksi dan pembelajaran. Guru harus melakukan
refleksi kritis terhadap seluruh proses pengambilan keputusan dan
dampak dari keputusan tersebut.
Selain sepuluh langkah yang dikemukakan Duignan
tersebut, dalam pengambilan keputusan, guru perlu meminta
pertimbangan atau konsultasi dengan sumber-sumber otoritatif lainnya.
Yang dimaksud dengan konsultasi adalah melakukan musyawarah
dengan ahli atau profesional lainnya untuk memperdalam dan
memperluas pemahaman guru tentang masalah yang sedang dihadapi
sehingga keputusan yang diambil menjadi keputusan yang bijak.
Beberapa sumber konsultatif lain yang bisa dijadikan sebagai sumber
pertimbangan guru dalam pengambilan keputusan di sekolah adalah
pihak dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, teman
sejawat dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) , komite sekolah, orang tua siswa, siswa, dan
ahli atau professional lain yang kompeten
4. Studi Kasus tentang Guru Budi yang meninggal karena di pukul sama
muridnya sendiri
Mengajar menurut Arifin (1978) adalah suatu rangkaian kegiatan
menyampaikan bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima,
menanggapi, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran itu.
Sedangkan mendidik menurut UU No.14 tahun 2005 tentang
mendidik. Mendidik adalah kegiatan seseorang dalam mendidik secara
profesional yang membimbing, mengarahkan, melatih, dan
mengevaluasi peserta didik pada Pendidikan anak usia dini dengan
jalur yang formal yang dasar dan menengah. Jadi mendidik itu bukan
hanya tentang menyampaikan materi kepada pendidik tapi juga
mengubah tingkah laku siswa dari kurang baik menjadi baik. Kelakuan

14
siswa yang buruk harus diubah dengan pendidikan moral, dan
pendidikan moral sendiri penting untuk dilakukan karena pengetahuan
yang dimiliki siswa mungkin saja tinggi, namun jika tidak dibarengi
dengan sikap yang baik, maka siswa tersebut tidak memiliki nilai di
mata orang lain.
Di era milenium ini mulai timbul masalah-masalah yang erat kaitannya
dengan sikap siswa. Kenakalan remaja yang dilakukan oleh siswa pada umur
remaja dan perkembangan informasi yang semakin cepat membuat siswa
semakin berani kepada gurunya dan sikapnya kurang baik. Siswa melawan
guru bukan lagi hal yang tak jarang terjadi belakangan ini.
Perlu ditelisik mengapa anarkisme yang menimpa guru masih sering
terjadi di sekitar kita, baik yang dilakukan oleh orang tua maupun siswa itu
sendiri. Sejatinya banyak faktor penyebab yang bisa kita kemukakan. Antara
lain kurangnya perhatian orang tua, salah asuh, salah pergaulan, tontonan yang
tidak mendidik, pengaruh budaya asing, hingga kurangnya pendidikan
karakter dan penghayatan terhadap ajaran agama. Ditambah lagi dengan
perilaku orang tua yang over protektif terhadap anaknya. Akan tetapi,
beberapa kasus yang terjadi tersebut mengindikasikan betapa lemahnya
perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan profesinya. Guru sering
dihadapkan pada dilema antara mendidik dan mendisiplinkan siswa dengan
kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk juga UU Perlindungan Anak.
[4]
Menurut UU nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru memiliki
kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik, sesuai dengan kaidah
pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Pada pasal 41
disebutkan bahwa guru juga wajib mendapatkan perlindungan hukum yang
mencakup perlindungan terhadap tindakan kekerasan, ancaman, intimidasi,
perlakuan diskriminatif, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.

15
Sementara itu, dalam UU nomor 24 Tahun 2014 tentang perubahan UU
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan
terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum. Di sinilah letak permasalahannya. Sebagai tenaga pendidik,
guru berada pada posisi dilematis antara tuntutan profesi dengan perlakuan
masyarakat. Pada satu sisi guru dituntut untuk mampu menghantarkan peserta
didik untuk mencapai tujuan pendidikan, namun pada lain sisi di saat berupaya
menegakkan kedisiplinan, guru dibenturkan dengan Undang-Undang
Perlindungan Anak dan Hak Asasi Manusia [5]
Sebagai contoh, ketika berkali-kali nasehat dan teguran guru seringkali
tidak diindahkan, guru biasanya memberikan sanksi pada siswanya. Tentunya
sanksi tersebut telah disesuaikan dengan tingkat pelanggaran siswa. Apa yang
dilakukan Pak Budi sebenarnya bukanlah menghukum, tetapi hanya
mengingatkan. Apa lacur? Murid tersebut tidak terima, dan sekonyong-
konyong mencekik leher gurunya dan menghujani dengan pukulan. Akibat
pukulan tersebut, Pak Budi menghembuskan nafas terakhirnya di keesokan
hari.
Dalam proses pendidikan, sebenarnya cubitan akan dilakukan guru jika
siswa terlalu sering melakukan pelanggaran. Sementara “tamparan” atau
bahkan “pukulan” hanya akan dilakukan oleh guru jika siswa telah melampaui
batas-batas moral maupun etika. Perlakuan itupun jauh dari kata
membahayakan. Akan tetapi, reaksi berlebihan ditunjukkan oleh murid dan
orang tuanya. Tidak jarang guru akhirnya dilaporkan pada pihak yang
berwajib.
Celakanya, ketika sebuah kasus memasuki ranah hukum, guru sering
berada pada pihak yang dirugikan. Aparat penegak hukum lebih cenderung
mengutamakan prosedur hukum dibandingkan dengan moral hukum itu
sendiri. Hanya dengan melihat adanya bekas cubitan atau pukulan, seorang
guru harus menjadi tersangka tindak kekerasan. Padahal jika guru tidak

16
berlaku demikian, siswa akan cenderung mengulangi perbuatannya dan
biasanya akan semakin meningkat kadar pelanggarannya.
Jika mencermati yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), maka sejatinya
guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan
pendisiplinan terhadap siswa. Dalam mendidik, mengajar, membimbing
hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk
melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya
berwenang memberikan reward, tetapi juga memberikan punishment kepada
siswanya tersebut. Semua dilakukan demi keberhasilan pendidikan. Agar
tragedi Pak Budi tidak terulang di kemudian hari, maka undang-undang
perlindungan hukum bagi guru harus ditegakkan. Selain itu, diperlukan
sinergitas Tri Sentra Pendidikan, antara pihak guru, siswa dan orang tua. Guru
harus mendidik siswa dengan sepenuh hati dan sebisa mungkin menghindari
hukuman yang bersifat fisik. Siswa perlu menyadari bahwa dalam proses
pendidikan, sanksi mutlak diperlukan untuk kebaikan dirinya sendiri. Di sisi
lain, orang tua harus bekerja sama dengan pihak sekolah dalam mendidik dan
mendisiplinkan anaknya. Nah, jika sedikit-sedikit guru diproses hukum
dengan UU Perlindungan Anak karena sedang menjalankan profesinya, apa
jadinya generasi bangsa Indonesia di kemudian hari.
Memang sulit untuk menjadi guru, hanya orang-orang berjiwa pengajar
dan bermental baja yang bias menjadi guru yang baik. Karena seorang guru
harus menaati kode etik guru agar menjadi seorang guru yang profesional.
Kesabaran adalah kuncinya, seorang guru tidak boleh memarahi muridnya
tanpa alasan, guru haruslah orang yang tegas, bukan pemarah. Membimbing
siswa agar tidak melakukan hal buruk lagi, guru harus menciptakan suasana
kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orangtua murid sebaik-
baiknya bagi kepentingan peserta didik, karena setelah jam pulang sekolah,
sang anak kembali kepada orangtuanya lagi, sehingga guru harus merangkul
orang tua siswa untuk membimbing siswa tersebut untuk belajar di rumah,
tidak hanya di sekolah saja.

17
Koordinasi yang baik dengan orangtua siswa tersebut juga dapat
membantu guru untuk lebih memahami karakter siswa, memahami psikologi
siswa tersebut sehingga jika seorang siswa mengalami penurunan hasil belajar,
sang guru dapat mengetahui permasalahannya, apakah cara mengajarnya yang
salah ataukah mungkin siswa tersebut memiliki masalah di rumah. Inilah
pentingnya lingkungan belajar untuk siswa, kondisi dimana belajar bukan
hanya di Sekolah, namun di rumah dan dimana saja. Meskipun kerap kali
pahit yang dialami guru, namun menaati kode etik guru membuat seorang
guru tetap pada jalurnya menjadi seorang pendidik, murni untuk mendidik
anak bangsa, Kendati terdapat beberapa kasus dimana guru melakukan
tindakan buruk kepada siswa, para guru yang tidak menaati kode etiknya,
namun masih banyak guru baik yang menaati kode etiknya dan berharap ia
akan digugu dan ditiru oleh siswanya, meskipun terkadang itu sulit.

Ketika berbicara soal pendidikan dan krisis moral, Tilaar salah seorang
pendidikan menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia dilingkupi oleh beberapa
persoalan, yaitu:

1. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pemerataan kualitas


pendidikan
Memang selama ini telah banyak yang kita capai di dalam pelaksanaan
pemerataan pendidikan Badan PBB UNESCO dan UNDP mengakui
keberhasilan Indonesia serta usaha-usaha lainnya untuk pemerataan
pendidikan yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Namun
demikian perlu kita akui bahwa di dalam hal kualitas pendidikan kita masih
jauh terbelakang dibandingkan dengan negara-negara ASEAN hal ini perlu
ditanggulangi karena kualitas sumber daya manusia yang diinginkan adalah
manusia berkualitas dan berkompetitif baik di dalam masyarakat maupun
dalam hubungan ASEAN dan dunia Usaha pemerataan kualitas pendidikan
haruslah secara tuntas sehingga perbedaan antara kualitas pendidikan kota-
desa, Indonesia kawasan barat-timur supaya semakin lama semakin mengecil
pada masa-masa mendatang.

18
2. Menurunnya akhlak dan moral peserta didik
Disebabkan perubahan hidup, menyebabkan longgarnya ikatanikatan moral
kehidupan yang mempengaruhi pula kehidupan generasi muda. Pembinaan
etnik dan moral generasi muda haruslah dimulai dari keluarga, di dalam
sekolah maupun di dalam masyarakat. Penerapan disiplin nasional secara
tuntas dan konsekuen haruslah dilaksanakan di dalam setiap lingkungan
pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat).
3. Rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang dan jenis pendidikan
Sukses yang dicapai secara kuantitatif memang menghambat peningkatan
kualitas kualitatif Hal ini memang suatu konsekuensi di dalam pembangunan
nasional yang masih memberi prioritas pada pemerataan. Namun demikian
peningkatan kualitas merupakan suatu syarat mutlak di dalam suatu
masyarakat dunia yang kompetitif. Oleh sebab itu, usaha-usaha intensif untuk
meningkatkan kualitas pendidikan khususnya mata pelajaran yang menjadi
tuntutan utama dalam dunia industri seperti ilmu pengetahuan dan teknologi
yang unggul haruslah dijadikan target utama.
4. Masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan
Pendidikan haruslah dikelola secara bussiness like sehingga dinamis dan
efisien Banyaknya siswa yang mengulang serta drop out masih tinggi
menunjukkan belum efisiennya sistem pendidikan dan pelatihan kita.
5. Kelembagaan pendidikan dan pelatihan
Dewasa ini kita lihat kelembagaan pendidikan dan pelatihan sangat kaku dan
simpang siur. Tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah,
masyarakat (dunia usaha, dunia kerja) belum dirumuskan dengan baik.
Demikian pula tugas dan tanggung jawab yang jelas antar departemen/antar
pusat dan dirumuskan secepat cepatnya.
6. Manajemen pendidikan dan pelatihan nasional yang belum sejalan dengan
manajemen pembangunan nasional
Berkaitan dengan apa yang telah dijelaskan mengenai kelembagaan
pendidikan dan pelatihan nasional, maka manajemen pendidikan dan pelatihan
nasional masih belum terarah. Berbagai departemen, berbagai lembaga

19
menangani masalah tersebut sehingga mengganggu dinamisme pengembangan
lembaga pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan permintgan pasar kerja.
7. Sumber daya manusia (SDM) yang belum profesional
Perkembangan dunia industri dan dunia kerja yang sangat pesat dengan
didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berubah begitu cepat
menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan selalu ketinggalan.
Hal ini hanya dapat dijembatani apabila dunia usaha dan dunia kerja
berpartisipasi secara penuh dengan berbagai insentif ikut serta di dalam
menyiapkan pengembangan SDM. Dunia usaha dan dunia kerja bukanlah
hanya sekedar pemain yang baik, tetapi juga mengadakan investasi yang baik
dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia.18
Krisis moral akan berdampak pada pendidikan, sama seperti persoalan
yang dituliskan oleh Tilaar sehingga menyebabkan banyak pelanggaran
terhadap pendidikan, termasuk di dalamnya masalah etika pendidikan. Dalam
dunia pendidikan sangat ditekankan pola hidup yang beretika dan penanaman
nilai-nilai budaya yang baik, tetapi di lingkungan masyarakat sebagai tempat
atau lapangan pendidikan itu dipraktikkan tidak memberikan sebuah teladan
yang baik, sehingga memberikan pengaruh yang dalam bagi kehidupan peserta
didik. Dengan demikian, terjadilah krisis moral yang merusak kehidupan dan
pola hidup peserta didik. Krisis moral yang dialami baik oleh pendidik
maupun yang dididik akan menyebabkan persoalan yang sama seperti
diungkapkan di atas. [6]
Kualitas mengajar seorang pendidik akan mengalami penurunan karena
adanya beberapa hal yaitu:
1. SDM yang tidak professional, rendahnya efesiensi internal sistem pendidikan,
tuntutan yang semakin tinggi dalam berbagai bidang termasuk cara mengajar
dan tuntutan ekonomi, dan lain-lain.
2. Krisis moral yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat menyebabkan
seorang peserta didik tidak lagi dapat memahami dengan baik arti sebuah
pendidikan yang baik bagi dirinya, karena adanya perkembangan dan
kemerosotan moral dalam masyarakat Hal ini memberikan pengaruh yang

20
sangat kuat terhadap pembentukan moral peserta didik itu sendiri, akibatnya:
banyak yang putus sekolah, tidak mau sekolah dan lebih memilih untuk bekerja
mencari uang tanpa peduli kepada pendidikan dan masa depannya, yang
penting bisa hidup dan mendapat uang.[6]
G. Penyelesaian Kasus
Dua kasus dalam etika pendidikan yang terjadi menyangkut krisis moral
baik pada pendidik maupun peserta didik sendiri, sehingga pemerintah
memberikan perhatian penuh terhadap penyelesaian kasus pendidik dan
peserta didik itu sendiri. penyelesaian kasus krisis moral merupakan bagian
dari etika pendidikan adalah:
1. Sertifikasi Guru ( Penataan Kembali)
Sesuai dengan Pasal 5 Permendiknas No. 39 Tahun 2009, maka paling
lama sejak ditetapkan peraturan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota
diwajibkan telah melakukan penataan guru, baik antar-wilayah maupun
antar-satuan pendidikan. Dengan demikian, selambat-lambatnya pada 30
Juli 2011, semua guru sudah diredistribusii sedemikian rupa sehingga bisa
melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan sertifikat pendidiknya dengan
beban kerja minimal 24 JTM.”2 Suatu realita yang terjadi dalam dunia
pendidikan menyangkut etika pendidikan untuk memperbaiki krisis moral
yang terjadi yaitu seorang pengajar harus mengikuti sertifikasi guru. Setiap
pendidik yang namanya terdaftar untuk mengikuti sertifikasi guru, wajib
menyusun portofolio yang datanya diambil sejak pendidik itu mula diri
sebagai guru. Ada beberapa persyaratan untuk mengikuti sertifikasi
tersebut, khususnya di kalangan Guru PAK yaitu, Seorang yang berijazah
minimal D IV atau Sarjana (S1) dan telah mengabdi sebagai guru selama
10 tahun ke atas, atau jika dak memiliki ijazah Sl maka akan dilihat masa
kerja guru itu, pahng kurang selama 20 tahun dan sudah golongan IV/A.
Pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah
memiliki sertifikat guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tunjangan
profesi diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat

21
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Tujuan pemberian sertifikasi ini, untuk penataan kembali profesi
seorang guru sehingga benar-benar memperhatikan kualitas dan
profesionalisme dalam mengajar. Dengan adanya tunjangan yang
memadai, maka seorang guru atau pendidik akan dapat meningkatkan
pendidikannya, tetapi bukan tanpa syarat yang akan memperbaiki moral
dan etika seorang pendidik. Jika hak sebagai guru yang telah menerima
tunjangan profesinya diberikan oleh pemerintah, maka guru itu wajib
melakukan tugas dengan baik dan memenuhi target JTM (Jam Tatap
Muka) yang telah ditentukan selama 24 JTM.
“Pemberian tunjangan profesi kepada guru-guru yang lulus
sertifikaksi: “Jika guru yang sudah lulus sertifikasi tidak bisa
menunjukkan bahwa dirinya mengajar di sekolah yang memiliki rasio guru
dan murid minimal 1: 20 orang, maka tun njangan profesinya tidak bisa
dibayarkan” (Pasal 17 PP 74 Tahun 2008)” Dengan adanya keharusan
untuk menerima tunjangan sertifikasi dan mengajar dengan baik, maka
secara perlahan-lahan etika pendidikan akan berjalan dan krisis moral
dapat teratasi secara perlahan-lahan.
2. Sekolah Gratis (Bukan pendidikan gratis)
Belakangan ini banyak muncul iklan tentang sekolah gratis di
televisi Sepercik harapan akan perbaikan kualitas manusia hadir di
Indonesia. “Tak bisa dibantah bahwa sekolah gratis adalah prestasi
membanggakan bangsa ini. Sudah waktunya pemerintah mulai memberi
perhatian besar pada kualitas pendidikan generasi mendatang bangsa
Indonesia. Perhatian tersebut kini tidak lagi sebatas retorika, melainkan
sudah menjelma menjadi aksi nyata. Kini semakin banyak orang
mendapatkan akses pendidikan yang berpotensi besar untuk mengubah
hidup mereka ke arah yang lebih baik.20
Seperti yang diungkapkan iklan di televisi, sekarang anak bisa
menjadi pilot, walaupun orang tuanya supir mikrolet. Stratifikasi sosial

22
dibuat menjadi terbuka. Latar belakang keluarga kini tidak lagi menjadi
halangan bagi orang untuk bisa berkembang. Buta huruf bisa disingkirkan.
Bangsa pun bisa menjadi semakin beradab. Namun masalah sesungguhnya
terletak bukan hanya pada biaya pendidikan yang selama ini mahal, tetap
juga pada paradigma pendidikan yang digunakan. Paradigma sendiri
adalah cara pandang terhadap manusia, dunia sosial, dan dunia alamiah
yang menentukan cara berpikir seseorang. Dalam bidang pendidikan
paradigma menentukan semua aktivitas ajar mengajar yang terjadi di
kelas, maupun di luar kelas. “Walaupun rakyat mendapatkan pendidikan
gratis, selama paradigma pendidikan yang digunakan masih paradigma
pendidikan yang sudah tidak tepat, maka prestasi menciptakan sekolah
gratis menjadi sia-sia. Ini seperti memberikan BBM gratis pada semua
orang, namun BBM yang diberikan tidak sesuai dengan kriteria mesin,
sehingga pada akhirnya justru merusak. Selama cara berpikur kita tentang
status guru, murid, dan peran orang tua dalam pendidikan belum berubah,
selama itu pula dunia pendidikan kita terpuruk. Akibatnya generasi masa
depan bangsa ini menjadi generasi yang tidak kompetitif, korup, dan alergi
pada perubahan. Wajah pendidikan kita pun tidak berubah.”” Hal ini
semua disebabkan dari krisis moral yang dialami dalam dunia pendidikan
sehingga memberikan pengaruh ke berbagai bidang. Sekolah gratis
menjadi siasia, jika paradigma yang digunakan di dalam pendidikan masih
menggunakan paradigma lama. Inilah yang harus menjadi perhatian
bersama, sehingga dari paradigma baru akan melahirkan sebuah
pemahaman yang mampu membentuk dan mempdrbaiki krisis moral yang
terjadi di dalam lingkungan pendidikan [1]

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika pendidikan merupakan sebuah proses pendidikan yang
berlangsung secara etis dan terus-menerus dalam kehidupan seseorang melalui
pengajaran dan penekanan terhadap etika itu sendiri. Dalam dunia pendidikan,
jika dikaitkan dengan etika maka dapat dibangun sebuah pemahaman yaitu
etika pendidikan berdasarkan pada sebuah kajian nyata bahwa manusia harus
melakukan sesuatu dalam tindakan yang beretika, termasuk di dalamnya
proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan.
Proses pendidikan harus dijalankan dengan etika yang baik dan benar,
karena pendidikan bukan saja berbicara dari sisi penanaman nilai yang baik
melalui pembelajaran tetapi juga berbicara dari sisi penerapan etika baik
kepada pendidik maupun peserta didik. Kenyataan yang ada bahwa terjadi
kesenjangan antara penanaman nilai-nilai yang baik dan benar di sekolah
dalam proses pendidikan, namun di masyarakat sebagai lapangan pendidikan
tempat mempraktikkan pendidikan tidak memberikan nilai-nilai etika yang
benar dalam dunia pendidikan. Misalnya, di sekolah diajarkan tentang hal
yang baik dan benar, tetapi di rumah atau lingkungan di mana peserta didik itu
ada selalu memberikan teladan yang tidak baik, sehingga dilema ini
memberikan krisis pada moral. Dari generasi ke generasi pengaruh ini akan
terus berlangsung dan menghasilkan kerusakan moral bagi generasi
selanjutnya, termasuk juga di dalamnya pendidik. Mengatasi krisis moral
dalam dunia pendidikan, maka pemerintah memberikan jalan pemecahan
terhadap masalah tersebut, dengan mengadakan dan meningkatkan pendapatan
guru melalui sertifikasi bagi yang telah memenuhi persyaratan, kemudian bagi
murid adanya sekolah gratis yang memungkinkan pemerataan pendidikan,
dengan salah satu tujuan inti adalah untuk memperbaiki krisis moral yang
terjadi dalam dunia.

24
DAFTAR PUSTAKA

[1] M. Tanyid, “Etika dalam Pendidikan: Kajian Etis tentang Krisis Moral
Berdampak Pada Pendidikan,” J. Jaffray, vol. 12, no. 2, p. 235, 2014, doi:
10.25278/jj71.v12i2.13.

[2] J. P. Shapiro and J. A. Stefkovich, “Ethical Leadership and Decision


Making in Education,” Ethical Leadersh. Decis. Mak. Educ., 2005, doi:
10.4324/9781410613530.

[3] E. Pendidikan, “Kabar Makalah Kabar Makalah”.

[4] S. A. Octavia, Etika Profesi Guru. Deepublish, 2020. [Online]. Available:


https://books.google.co.id/books?id=q3L6DwAAQBAJ

[5] R. Laksana, Himpunan Lengkap Undang-Undang Republik Indonesia


tentang Guru dan Dosen. Laksana, 2018. [Online]. Available:
https://books.google.co.id/books?id=joooEAAAQBAJ

[6] E. N. A. M, Pendidikan dan Profesi Keguruan dalam Membangun Sumber


Daya Manusia (SDM). Samudra Biru, 2021. [Online]. Available:
https://books.google.co.id/books?id=9dFBEAAAQBAJ

25
26

Anda mungkin juga menyukai