Anda di halaman 1dari 18

KETERANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

ATAS

PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG


ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DALAM PERKARA NOMOR: 84/PUU-XIV/2021

Jakarta, Juni 2021

Kepada Yth:
KETUA/MAJELIS HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA

DI
JAKARTA

Dengan Hormat,
Berdasarkan Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 25/PIMP/III/2021 tanggal 10 Juni 2021, telah
menugaskan kepada Anggota Komisi III DPR RI yaitu :

1. Eko Patrio, SE., MBA. (No. Anggota A-227) ;


2. Krisdayanti, SH., MH. (No. Anggota A-127) ;
3. Mulan Jameela, SH., MH. (No. Anggota A-376);
4. Tommy Kurniawan, SH., MH. (No. Anggota A-444) ;
5. Rieke Dyah Pitaloka, SH., MH. (No. Anggota A-128) ;

Dalam hal ini baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk selanjutnya disebut DPR RI.

Sehubungan dengan surat nomor 552.77/PAN.MK/12/2021 tanggal 15 Mei 2021 dari Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut MK) Republik Indonesia, perihal kepada DPR RI untuk
menghadiri dan menyampaikan keterangan di persidangan MK terkait dengan permohonan
pengujian materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
(UU Administrasi Pemerintahan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang diajukan oleh :
Nama : SEFTINA AGATA S.H
Tempat/tanggal lahir : Surakarta, 04 September 1986
Agama : Islam
Pekerjaan : Advokat
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan A.Yani No.001 Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.
Yang tergabung dalam kantor advokad dan konsultan hukum "Hotman Paris and Partners" yang
beralamatkan di Jalan Pahlawan No.09 Banjarsari, Surakarta. Yang dalam ini Aktivis Penggerak
Anti Korupsi. Yang selanjutnya di sebut sebagai "PEMOHON".

Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU


Administrasi Pemerintahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam perkara Nomor 84/PUU-
XIV/2021sebagai berikut:

I. POKOK PERKARA
A. KETENTUAN UU NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP
UUD TAHUN 1945.

Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian terhadap pasal 24 ayat (4)


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang
ketentuannya sebagai berikut :
Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan
negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan
diterbitkannya hasil pengawasan.

B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG


DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH
BERLAKUNYA UU NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal-pasal a quo
yang pada intinya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut Pemohon, norma yang terkandung dalam pasal a quo tidak
mencerminkan asas ketertiban dan asas kepastian hukum sehingga dapat
berpotensi melahirkan kerugian konstitusional terhadap Pemohon.
2. Bahwa menurut Pemohon, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 yang telah secara tegas mengatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Bahwa sebagai negara hukum maka segala aspek
kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan
sistem hukum nasional dan harus berdasarkan pada Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar. Namun tidak
berjalan demikian.
3. Bahwa menurut Pemohon, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1
UUD 1945 yang secara tegas mengatakan Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum. Bahwa dalam pelaksanaannya, aparat
pemerintahan yang telah menyalahgunakan wewenangnya dan dapat
menimbulkan kerugian negara, hanya di wajibkan mengembalikan kerugian
tersebut dalam waktu tertentu, tanpa adanya hukum berupa pidana penjara.
Padahal, hal tersebut menurut pemohon masuk kedalam unsur-unsur tindak
pidana korupsi yang hukumannya tidak hanya mengembalikan kerugian saja.
4. Bahwa menurut Pemohon, pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat 3
UUD 1945 yang secara tegas mengatakan Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bahwa dalam
pelaksanaannya, apabila aparat pemerintahan yang telah menyalahgunakan
wewenangnya, tidak ada transparasi dari tindak pidana tersebut kepada
masyarakat. Sehingga menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat. Menurut
pemohon, masyarakat menilai bahwa penyalahgunaan wewenang yang
menimbulkan kerugian negara merupakan suatu hal tindak pidana namun
aparat tersebut masih beraktivitas seperti biasa yang terkesan tidak ada
hukuman yang setimpal yang telah menyalahgunakan wewenangnya yang
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
5. Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Pemohon dalam
Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
1) Mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang
diajukan oleh Pemohon untuk seluruhnya;
2) Menyatakan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UU No.30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan UUD 1945;
3) Menyatakan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UU No.30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,


mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan


peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

2. Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan:

“Mahkamah Konstitusiberwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir


yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang
hasil Pemilihan Umum”

3. Bahwa pasal 24c ayat 2 Perubahan Ketiga UUd 1945 menyatakan :


”Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar”
4. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau
kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD
1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UUNo.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir


yang putusannya bersifat final untuk:

(a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945”

5. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the


guardian of constitution). Artinya, apabila terdapat Undang-Undang yang berisi
atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah
Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan Undang-
Undang tersebut secara menyeluruh atau pun perpasalnya;

III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa “Para
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a) Perorangan warga Negara Indonesia;
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara KesatuanRepublik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c) Badan hukum publik atau privat; atau
d) Lembaga Negara.

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1)
tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini
menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun
1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”.

Oleh karena itu, menurut Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, agar


seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
a) Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;
b) Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam
“Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-
undang a quo.

Mengenai batasan kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusitelah memberikan


pengertian dan batasan tentang kerugiankonstitusional yang timbul karena berlakunya
suatu undang-undangharus memenuhi 5 (lima) syarat (Vide Putusan Perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD Tahun 1945;
b) bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap
oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau
tidak lagi terjadi.

Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian
undang-undang a quo, maka Para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan
hukum (legal standing) sebagai Pemohon.

Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, DPR RI memberikan penjelasan


sebagai berikut:
1. Bahwa dalam permohonan ini, Pemohon berkedudukan sebagai perorangan warga
negara Indonesia dan tax payers.Menurut Pemohon hak konstitusionalnya telah
dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 20 ayat (4) UU Administrasi
Pemerintahan yang pada intinya pasal a quo tidak berkeadilan dan hukumannya
hanya administrasi saja dengan mengembalikan kerugian yang ditimbulkan tanpa
adanya proses pidana lagi dan telah menutup hak Pemohon untuk menjadi Pihak
Terkait dalam proses pemeriksaan Fiktif Positif pada Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN).

2. Bahwa keberadaan Pemohon tidak jelas yaitu mengajukan gugatan permohonan


sebagai advokat yang bekerja di kantor advokad dan konsultan hukum "Hotman Paris
and Partners" yang beralamatkan di Jalan Pahlawan No.09 Banjarsari, Surakarta, yang
bisa mengajukan legal standing sebagai badan hukum atau sebagai penggerak anti
korupsi atau sebagai warga perorangan yang membayar pajak (tax payers). Sehingga
tidak ada kaitannya dengankerugian konstitusional dengan berlakunya pasal a
quo.Tidak jelas kerugian konstitusional seperti apa yang dialami Pemohon. Dengan
demikian, permohonan a quo tidak jelas dan tidak fokus (obscuur libels), karena
Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian
hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo yang bersifat
spesifik dan aktual, atau setidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi.

3. Bahwa DPR RI berpandangan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum
[3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah:

...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka
tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point
d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang.
Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de
Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada
gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection.

4. Bahwa DPR RI berpandangan sejalan dengan Putusan MK No.61/PUU-XIV/2016,


halaman 27 Nomor 3.8.4 yang memandang bahwa kedudukan hukum sebagai
pembayar pajak (tax payers) saja tidaklah cukup, namun harus berkaitan antara norma
undang-undang yang diujikan dengan kerugian Pemohon sebagai pembayar pajak
(tax payers):

Status Pemohon sebagai pembayar pajak yang dibuktikan dengan NPWP juga
tidak berkaitan dengan norma yang diajukan, karena tidak ada uraian yang spesifik
mengenai korelasi antara norma Undang-Undang yang diajukan dengan kerugian
Pemohon sebagai pembayar pajak tersebut.

Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon tersebut, DPR RI


menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Putusan
MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005,dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007
mengenai parameter kerugian konstitusional.

IV. KETERANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

A. PANDANGAN UMUM
1. Bahwa dalam pembukaan alinea ke-4 (keempat) UUD Tahun1945 menegaskan
bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia antara lain
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Guna mencapai tujuan tersebut
diperlukan pelayanan yang baik dan adil bagi masyarakat dengan adanya
pelayanan publik, pengadilan yang adil dan tidak memihak, dan sebagainya.

2. Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan ”kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal tersebut
mengandung makna bahwa UUD adalah merupakan sumber hukum tertulis
tertinggi dalam hierarki perundang-undangan yang menjadi sumber hukum bagi
setiap komponen bangsa untuk menjalankan kedaulatannya berupa pelaksanaan
fungsi, tugas, dan kewenangannya dalam kehidupan berangsa dan bernegara.
Bahwa DPR RI berdasarkanUUD Tahun 1945 adalah lembaga Negara yang
merupakan representasi rakyat yang diberikan kedualatan/kekuasaan oleh UUD
Tahun1945 untuk membuat Undang-Undang. Dan jika dikaitkan dengan konsep
negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945), maka
Undang-Undang merupakan hukum yang harus dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh
setiap komponen masyarakat termasuk didalamnya Pemohon dan juga negara
dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan.Gagasan negara hukum yang
dianut UUD Tahun 1945 ini menegaskan adanya pengakuan normatif dan empirik
akan prinsip supremasi hukum (Supremacy of Law) yaitu bahwa semua masalah
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.Dalam perspektif
supremasi hukum (Supremacy of Law) pada hakikatnya pemimpin tertinggi
negara yang sesungguhnya adalah konstitusi yang mencerminkan hukum tertinggi.

3. Bahwa DPR RI berdasarkan UUD Tahun 1945 adalah lembaga Negara yang
merupakan representasi rakyat yang diberikan kedualatan/kekuasaan oleh UUD
Tahun 1945 untuk membuat Undang-Undang, hal ini termuat dalam Pasal 20 UUD
Tahun 1945 yang secara tegas dalam ayat (1) dinyatakan “Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Hal ini pula sejalan
jika dikaitkan dengan konsep negara Indonesia yakni sebagai negara hukum
(rechtsstaat) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945
yakni “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara Indonesia adalah negara
hukum berdasarkan pancasila. Negara hukum yang dianut Indonesia tidaklah
dalam artian formal, namun Negara hukum dalam artian material, yang juga di
istilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state). Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, negara bukan hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan
tetapi dituntut untuk turut serta secara aktif dalam semua aspek kehidupan dan
penghidupan rakyat.Kewajiban ini merupakan amanat para pendiri negara (the
founding father) Indonesia, seperti dikemukakan pada alineake-4 Pembukaan
UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, sebagainegara yang beradasarkan atas hukum,
maka sudah selayaknya segala aktivitas dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara haruslah sesuai dengan hukum dan tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku, dan hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang dijalankan di
Indonesia.

4. Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”, dalam
hal ini DPR RI berpandangan bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945
mengandung makna segala warga negara termasuk Para Pemohon memiliki
kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan ada kewajiban
menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian. Begitu pula para
Pemohon sudah sepatutnya menjunjung hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

5. Bahwa dasar dibentuknya UU Administrasi Pemerintahan adalahuntuk


melindungi individu dan masyarakat dari praktek maladministrasi dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat birokrasi dalam usahanya untuk
memperoleh hak Administrasi Pemerintahan.Kepastian hukum ini akan menuntut
sikap profesionalisme aparat pemerintahan.

6. Bahwa tujuan dibentuknya UU Administrasi Pemerintahan adalah untuk


meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, menyelesaikan
permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan mewujudkan
pemerintahan yang baik. Secara spesifik UU Administrasi Pemerintahan
ditujukan juga untuk menerapkan persyaratan dan melakukan pengawasan atas
penggunaan kekuasaan negara dalam bentuk keputusan dan/atau tindakan
terhadap warga masyarakat. Selain itupun, UU Administrasi Pemerintahan
diharapkan dapat mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan menjadi lebih
sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna
memberikan landasan dan pedoman bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan
dalammenjalankan tugas pemerintahan.

B. PANDANGAN TERHADAP POKOK PERMOHONAN


1. Bahwa sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945, Indonesia Adalah Negara Hukum,
prinsip negara hukum dalam menjalankan pemerintahan dalam suatu negara,
wajib dibatasi oleh hukum (negara hukum) agar tidak keos. Negara hukum
merupakan suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia yang merupakan
terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki
arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan
perlindungan hak asasi (Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif Tentang
Unsur-Unsurnya:Azhari:hlm.30). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai
kekuasaan tertinggi. Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara
yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan
kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum
(Teori Perundang-Undangan Indonesia: A. Hammid S.Attamimi: hlm.8). Dalam
negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must
be done according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah
harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah
(Administrative Law: H.W.R.Wade: hlm.6).

2. Bahwa menururt Friedrich Julius Stahl, ciri-ciri negara hukum adalah:


a) Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;
b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia;
c) Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; dan
d) Adanya peradilan administrasi negara dalam perselisihan. (Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara: S. F Marbun dan Moh. Mahfud MD: hlm.151)

3. Bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon yang menyatakan pasal a quo


bertentangan dengan asas ketertiban dan asas kepastian hukum yang merugikan
hak konstitusional pemohon sangat tidak relevan. Dimana pemohon dalam legal
standing nya tidak jelas sebagai perorangan atau sebagai badan hukum. Dimana
pemerintah dalam hal ini selalu mengutamakan ketertiban dan kepastian hukum
untuk menjamin hak-hak semua warga negara serta pejabat administrasi
pemerintahan.
4. Bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon yang menyatakan pasal a quo
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun bahwa Indonesia adalah negara
hukum namun menurut pemohon tidak berjalan demikian sangat tidak beralasan
yang tepat. Dimana setiap aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan berdasarkan atas hukum
yang sesuai dengan sistem hukum nasional dan harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Terhadap dalil tersebut,
DPR RI berpandangan bahwa karena Pemohon sebagai legal standing
perseorangan yang tidak mewakili badan hukum privat, maka tidak dapat diujikan
pasal a quo terhadap Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.
5. Bahwa terhadap dalil permohonan pemohon yang menyatakan pasal 28D ayat (1)
UUD Tahun 1945 mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta sama di hadapan hukum. Terhadap dalil tersebut, DPR RI
berpandangan bahwa pejabat pemerintahan yang terbukti melakukan tindakan
sewenang-wenang yang dapat menimbulkan kerugian negara memang di hukum
mengembalikan kerugian administrasi dalam waktu tertentu, namun setelah itu
akan di periksa kembali sesuai dengan ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku
dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu legal standing pemohon dalam
hal ini adalah obscur libels yang tidak jelas antara perorangan atau badan hukum,
dimana tidak ada hak-hak konstitusional yang benar-benar di rugikan.
6. Bahwa terhadap dalil permohonan pemohon yang menyatakan pasal a quo
bertentangan dengan pasal 28D ayat (3), Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dimana menurut pemohon tidak ada
transparasi dari aparat pemerintahan yang memeriksa tindakan pejabat yang
sewenang-wenang yang merugikan negara. Terhadap dalil tersebut, DPR RI
berpandangan apabila terjadi tanda tanya masyarakat, setiap warga masyarakat
berhak mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini sesuai
dengan Naskah Akademik UUAP (Undang-Undang Administrasi Pemerintahan),
yaitu :

Administrasi Pemerintahan harus bersifat partisipatif. Prinsip


partisipasi masyarakat dalam Administrasi Pemerintahan dapat diterapkan dalam proses
penyusunan visi-misi dan standar pelayanan, dalam proses pengawasan pelayanan dan dalam
pembuatan keputusan publik yang terkait dengan individu tertentu. Undang-undang
Administrasi Pemerintahan harus menjamin keterlibatan masyarakat dalam input, proses dan
output pelayanan. Khusus untuk output Administrasi Pemerintahan, sebelum sebuah akte
administrasi yang akan mengikat individu dan atau kelompok masyarakat dikeluarkan atau
diputuskan, maka instansi Administrasi Pemerintahan yang bersangkutan harus
memberikan kesempatan kepada individu atau kelompok masyarakat tersebut untuk
memberikan pendapatnya. Dari sisi waktu, hal ini tentu saja akan menambah lama
proses pembuatan suatu keputusan publik. Pada sisi lainnya, hal ini akan meningkatkan
rasa kepemilikan dan partisipasi individu dan masyarakat. Dengar pendapat ini juga
diharapkan dapat mengurangi maladministrasi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam
Administrasi Pemerintahan serta mengurangi gugatan dan tuntutan masyarakat
terhadap keputusan administrasi publik melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

7. Bahwa apabila Pemohon ingin mengajukan perubahan norma pasal-pasal a quo


sebagaimana dalam petitum Pemohon, seharusnya Pemohon dapat mengajukan
aspirasinya kepada DPR RI sebagai lembaga negara yang diberi kekuasaan
membentuk undang-undang untuk melakukan perubahan undang-undang a quo.
8. Bahwa pandangan DPR RI tersebut sesuai dengan pendirian Mahkamah
Konstitusi pada Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 halaman 57 mengenai MK sebagai
negative legislator, yang menyatakan bahwa:

..”Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah


ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada
undang-undang yang diuji. Namun demikian, Mahkamah dapat menghilangkan
kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma
yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang
sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan
tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.”

9. Bahwa dengan mendasarkan pada batu uji Pemohon dan dalil Pemohon yang
menganggap pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945, hal tersebut merupakan alasan yang tidak
relevan karena pasal a quo tidak bertentangan dengan amanat Pasal-Pasal tersebut.
Dimana benar Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hukum,
yang menjamin setiap orang untuk mendapatkan kepastian hukum, perlindungan
hukum dan perlakuan yang sama di dalam pemerintahan. Karena di dalam pasal
tersebut juga terkandung norma-norma hak asasi manusia, yang hakikakatnya
tidak bisa di langgar oleh siapapun. Bahwa DPR RI berpandangan bahwa apabila
permohonan Pemohon dikabulkan, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum karena pasal a quo telah menjamin kepastian hukum sebagaimana dijamin
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945.
V. PETITUM

Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya,


Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)


sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya
menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
3. Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 20 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2014 tentang Adminisrasi Pemerintahan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 20 Ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tetap memiliki kekuatan hukum
mengikat.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon


putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian keterangan tertulis dari DPR RI kami sampaikan sebagai bahan


pertimbangan bagi Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengambil keputusan.
Hormat Kami
Tim Kuasa Hukum
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Eko Patrio, SE., MBA.


(No. Anggota A-227)

Krisdayanti, S.H, M.H Mulan Jameela, S.H, M.H


(No. Anggota A-127) (No. Anggota A-376)

Tommy Kurniawan, S.H, M.H. Rieke Dyah Pitaloka, S.H, M.H.


(No.Anggota A-444) (No. Anggota A-128)
LAMPIRAN

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
3. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
4. Nomor Keanggotaan Komisi III DPR RI
5. Permohonan Pemohon
6. Putusan Mahkamah Kontsitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005
7. Putusan Mahkamah Kontitusi Perkara Nomor 011/PUU-V/2007
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016
9. Putusan Mahkamah Konstitusi No.61/PUU-XIV/2016

Anda mungkin juga menyukai