Anda di halaman 1dari 40

PUTUSAN

NOMOR 10/PUU-IX/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada


tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara
Permohonan Pengujian Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap
Pasal 24 ayat (1) dan 24 C Ayat (1) Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1.Nama : Ratnasari


Pekerjaan : PNS
Alamat : Jalan Merawan 9, Sawah Lebar;

Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------Pemohon I;

2. Nama : Sulaiman Trisna;


Pekerjaan : PNS;
Alamat : Jl.W.R Supratman, Kandang Limun, Muara
Bangkahulu,Bengkulu;

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------ Pemohon II;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 4 November 2019 memberi kuasa


kepada Nuroel Endah Pusporini,S.H.,L.LM.,yang berprofesi sebagai advokat
pada kantor Hukum Maruarar Siahaan & Patners berdomisili di Jln. WR.
Supratman Kelurahan Kandang Limun kecmatan Muara Bangkahulu Kota
Bengkulu, sedangkan Kuasa Hukum lainnya yakni Polda Banjarnahor S.H.,
M.H.,merupakan KuasaHukum Maruarar Siahaan & Patners berdomisili di Jln.
WR. Supratman Kelurahan Kandang Limun kecmatan Muara Bangkahulu Kota
Bengkulu , baik bertindak bersama-sama maupun sendiri-sendiri;
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------- Para Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;
Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Mendengar keterangan lisan dari Pemerintah;
Mendengar keterangan ahli dari Pemohon;
Membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
2

Membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat;


Mendengar keterangan ahli dari para Pemohon;
Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah;
Memeriksa bukti-bukti dari pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa Pemohon, telah mengajukan permohonan Pengujian


Pengujian Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang
terhadap Pasal 24 ayat (1) dan 24 C Ayat (1) Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945dengan surat permohonannya bertanggal 11 November
2019 yang diterima di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 14 November 2019 dan diregistrasi
dengan Nomor 003/PUU-XI/2019yang kemudian diperbaiki pada tanggal 16
November 2019 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut:

3.DASAR PERMOHONAN

[3.1] KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI


a. Bahwa Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membentuk sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal
konstitusi (The Guardian Of Constitution), yaitu Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut dengan MK),
sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2),
serta Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945.
b. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang - Undang
Nomor 24 Tahun 2003 jo Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang -
Undang terhadap Undang - UndangDasar.”
b. Bahwa dalam Pasal 29 ayat (1) Undang - Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatur :“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang - Undang terhadap Undang - Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945...”
c. Bahwa dalam Pasal 9 Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan diatur dalam
hal suatu undang-undangdidugabertentangandenganUndang-Undang
Dasar.Negara Republik Indonesia Tahun1945, pengujian dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi.
d. Bahwa berdasarkan Pasal 7 Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan mengatur
3

bahwa secara hierarkis kedudukan UUD Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 lebihtinggidariundang-undang. Oleh karena itu, setiap
ketentuan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD
Negara Republik Indonesia Tahun1945. Jika terdapat ketentuan dalam
undang-undang yang bertentangan dengan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan
untuk diuji melalui mekanisme pengujian undang–undang.
e. Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Saffaat, dalam
bukunya Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, semangat pembentukan
MK di Indonesia tampaknya pararel dengan gagasan pemikir hukum
asal Austria Hans Kelsen yang sejak awal meyakini bahwa
pelaksanaan aturan konstitusional dapat secara efektif dijamin hanya
apabila suatu organ selain badan legislatif diberi tugas untuk menguji
apakah suatu undang - undang itu konstitusional atau tidak, dan tidak
memberlakukannya apabila sesuai dengan pendapat organ ini tidak
konstitusional. Dapat diadakan organ khusus yang dibentuk untuk
tujuan ini, seperti pengadilan khusus yang disebutMK.
f. Bahwa Pemohon dalam permohonan ini memohon agar MK
melakukan pengujian terhadap Pasal 158 Ayat 1 huruf D Undang-
Undang 10 tahun 2016 dengan Pasal 24 Ayat 1 dan 24 C Ayat 1 UUD
Negara Republik Indonesia Tahun1945.
g. Bahwa berdasarkan uraian diatas MK memiliki kewenangan untuk
menguji permohonan a quo sesuai dengan kewenangan yang
diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

[3.2]Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon


a. Bahwa menurut Dr. H. Imam Soebechi, S.H.,M.H. dalam buku Hak Uji
Materil, secara harfiah legal standing dapat diartikan sebagai kedudukan
hukum. Legal standing, standingtusue, iusstandi, locus sandi juga dapat
diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk
tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata
(civil proceding). Lebih sederhana lagi, legal standing dapat diartikan
sebagai “hakgugat”.
b. Bahwa menurut Harjono dalam bukunya yang berjudul Konstitusi
sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum, legal standing diartikan
sebagai keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan
memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan
permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di
depan Mahkamah Konstitusi.
c. Bahwa berdasarkan pendapat dua ahli diatas dapat disimpulkan definisi
dari legal standing adalah hak seseorang untuk mengajukan permohonan
atau gugatan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa di depan
lembaga peradilan dalam hal ini MahkamahKonstitusi.
d. Bahwa jaminan seseorang untuk dapat mengajukan permohonan telah
dijamin oleh konstitusi tertulis dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal
28D ayat (1) yang mengaturbahwa:
4

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.”
e. Bahwa salah satu indikator kemajuan berbangsa dan bernegara adalah
penjaminan hak setiap warga negara untuk mengajukan permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan. Judicial Review merupakan
bentuk perwujudan dari penjaminan hak-hak dasar warga negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Maka secara tidak langsung MK tidak hanya
berperan sebagai penjaga konstitusi (The guardian Of Constitution)
melainkan juga suatu badan yang menjaga hak asasi manusia.
f. Bahwa MK memiliki kewajiban untuk menjaga supremasi konstitusi,
termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. Oleh karena itu,
sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan
dengan konstitusi adalah batal. Hal itu secara tegas dinyatakan oleh John
Marshall Bahwa untuk menjamin keadilan diperlukan lembaga yang
dapat menguji pemberlakuan undang-undang ditengah masyarakat,
dalam halini MahkamahKonstitusi.
g. Bahwa A. Mukthie Fadjar, dalam Hukum Konstitusi dan Mahkamah
Konstitusi,menjelaskansebagaipelakukekuasaankehakiman, fungsi
konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilanuntuk
menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar
belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi
konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan
dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak
hanya sekadar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi
prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan
demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak
konstitusional warga negara. Di dalam Penjelasan Umum UU MK
disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara
ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai
dengan kehendak rakya tdan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan
MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman. Dengan
kesadaran inilah pemohon kemudian memutuskan untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap
Pasal 24 ayat (1), 24 C ayat (1) Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
a. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang - Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi jo Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi
5

Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam


Pengujian Undang–Undang menyatakan bahwa Pemohon Bahwa
kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik atau
khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akanterjadi.
b. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian
dan berlakunya Undang - Undang yang dimohonkan untukdiuji.
c. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagiterjadi.
h. adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang - undang,yaitu:
a. Perorangan Warga NegaraIndonesia;
b. Kesatuan masyarakat hokum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara
kesatuan RI yang diatur dalam undang -undang;
c. Badan hukum publik dan privat,atau;
d. Lembaga negara.

i. Bahwa dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang - Undang Mahkamah


Konstitusi mengatur sebagaiberikut:

“Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak


yang diatur dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun1945.”
j. Bahwa mengenai parameter kerugian konstitusional, MK dalam
yurisprudensinya memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang
harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Nomor:
006/PUU/- III/2005 dan Nomor: 011/PUU-V/2007, sebagaiberikut:
d. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar1945.
Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon
telah dirugikan oleh suatu Undang - Undang yangdiuji.
k. Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan
hukum (legal standing) pemohon dalam perkara pengujian Undang -
Undang terhadap UUD di Mahkamah Konstitusi yaitu:
a) Pihak yang bersangkutan haruslah terlebih dahulu membuktikan
identitas dirinya telah memenuhi syarat sebagaimana
dimaksudoleh Pasal 51 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang MahkamahKonstitusi;
b) Pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya
memang mempunyai hak - hak tertentu yang dijamin atau
kewenangan-kewenangan tertentu yang ditentukan dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun1945;
c) Hak - hak atau kewenangan konstitusional dimaksud memang
6

terbukti telah dirugikan oleh berlakunya Undang - Undang yang


bersangkutan.
l. Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia sejak lahir, yang dapat
dibuktikan dengan akta lahir bernomor177108907898099 dan kartu
tanda penduduk bernomor 1771064401990001.Sehinggaberdasarkan
ketentuan Undang– Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Pemohon merupakan warga negara Indonesia.

m. Bahwa Pemohon adalah Pasangan Calon Gubernur nomor urut 3 Jawa


Barat, yang ikut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah Jawa Barat
yang di rugikan oleh pasangan calon petahana (pasangan calon nomor
urut 1) yang melakukan politik uang, penggelembungan suara,
kampanye hitam, dan dugaan kecurangan lain.
n. Bahwa Pemohon ingin melakukan upaya hukum untuk meminta
pertanggung jawaban dari pihak – pihak yang dianggap bertanggung
jawab, sehingga mengakibatkan pasangan calon nomor urut 3 pemilu
kepala daerah jawa barat, mengalami kerugian suara yang signifikan.
o. Bahwa dalam perjuangan Pemohon untuk melakukan upaya hokum
tersebut diatas terhambat olehPasal 158 Ayat (1) huruf d Undang -
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Yang
berbunyi :
“provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas
juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen)
dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang
ditetapkan oleh KPU Provinsi”.
p. Bahwa jarak presentase suara antara Paslon nomor 1 dan nomor 3
berjarak 4,24% suara sehingga tidak memenuhi ambang batas
sebagaimana yang diatur dalam Pasal a quo untuk dapat mengajukan
permohonan atas kerugian hak konstitusinal Pemohon.
q. Bahwa berdasarkan uraian di atas Pemohon dirugikan dengan adanya
ketentuan Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Wali Kota menjadi Undang-Undang yang membatasi pemohon dalam
mengajukan permohonan karena terhambat dengan adanya ketentuan
ambang batas padapasal a quo.
r. Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas maka pemohon
sebagai orang perorangan warga negara Indonesia, benar-benar telah
dirugikan dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya
pasal 158 ayat 1 huruf d UU nomor 10 tahun 2016 pemilihan gubernur
dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan wali kota dan wakil
walikota (Pilkada). Oleh karena itu kedudukan hukum (legal standing)
pemohon adalah sah, karena telah memenuhi 3 syarat sahnya kedudukan
7

hukum (legal standing) menurut Jilmy Asshidiqie sebagaimana telah


dijelaskan pada huruf k dan telah memenuhi syarat kerugian
konstitusional sesuai dengan putusan MK Nomor: 006/PUU-III/2005
dan Nomor: 011/PUU-V/2007.

Para Pemohon Memiliki Kapasitas Sebagai Pemohon Pengujian Undang-


Undang
1. Bahwa para Pemohon sebagai warga negara Indonesia berhak atas jaminan
perlindungan hak umum (hak publik) serta berhak atas kepastian hukum;
2. Bahwa jaminan atas keamanan masyarakat dari kesewenang-wenangan
pemerintah pusat harus tetap dilindungi;
3. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas para Pemohon sudah memenuhi
kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon "perorangan warga Negara
Indonesia". Karenanya, jelas pula bahwa Pemohon memiliki hak dan
kepentingan hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap Pasal 24 ayat (1)
dan 24 C Ayat (1) Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[3.3] Alasan – Alasan Permohonan


[3.3.1]Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, atas dasar legal
standingtersebut di atas, Pemohon menyampaikan permohonan untuk
Mahkamah Konstitusi dapat menguji keberlakuan dari Pasal 158 ayat (1)
huruf d Undang - Undang Nomor 10 tahun 2016, pasal 24 A ayat 1 dan
pasal 24 C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dengan alasan
sebagaiberikut:

Pengujian Materiil

a. Norma Undang –Undang

Pasal 158 ayat huruf d(1) Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undangberbunyi:
(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan suara dengan ketentuan:
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000
(dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan
suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah
hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh
8

KPU Provinsi.

b. Norma UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945

1. Pasal 24 Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945


berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan”.
2. Pasal 24C Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum”

A. PASALAQUOBERTENTANGANDENGANPASAL24AYAT
(1) UUDNRI TAHUN1945.
1. Bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
2. Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki
kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan tidak
hanya menenggakkan hukum sebagai wujud dari kepastian
hukum namun juga meneggakkan keadilan.
3. Bahwa menurut Mafud MD saat konstitusi diamandemen,
prinsip kepastian hukum yang adil ditekankan dalam UUD NRI
Tahun 1945, karena di masa lalu, upaya menegakkan hukum
sering dijadikan alat untuk mengalahkan pencari keadilan. Atas
nama kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan
dengan dalil yang ada dalam undang-undang; padahal banyak
undang-undang yang berwatak konservatif, elitis, dan
positivistik-instrumentalistik. Para hakim didorong untuk
menggali rasa keadilan substanstif (substantive justice) di
masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang
(procedural justice).
4. Bahwa menurut Bagir Manan, hakim bukanlah mulut undang-
undang, melainkan hakim adalah mulut kepatutan, kepentingan
umum, dan ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum
akan bertentangan dengan kepatutan, kepentingan umum, atau
ketertiban umum, hakim wajib memilih kepatutan, keadilan,
kepentingan umum, dan ketertiban umum.
5. Bahwa sebagai lembaga peradilan konstitusi, Mahkamah tidak
boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural memasung
dan mengesampingkan keadilan substantif.
9

6. Bahwa keadilan tidak akan dapat ditenggakkan bila mahkamah


konstitusi hanya menindak berdasarkan pada pasal dalam
Undang-Undang secara kaku dan tidak menggali nilai keadilan
yang substantif.
7. Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan
tugasnya hanya berorientasi pada penegakkan hukum
sebagaimana yang diinginkan dalam pasal a quo, maka tidak
akan terwujudnya lembaga peradilan yang merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan.
8. Bahwa untuk memastikan Pilkada telah dijalankan secara
demokratis, maka Mahkamah Konstitusi harus menilai apakah
penyelenggaraan pilkada tidak melanggar asas-asas pemilihan
umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujr dan
adil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945.
9. Bahwa salah satu prinsip keadilan yang dianut secara universal
menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan
tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan
pelanggaran yang dilakukan orang lain” (nullus/nemo capere
potest de injuria sua propia).
10. Bahwa dengan demikian tidak satupun pasangan calon
pemilihan kepada daerah yang boleh diuntungkan dalam
perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan
prinsip keadilan dalam penyelenggaraan Pilkada. Maka
Mahkamah seharusnya perlu menciptakan terobosan guna
memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan
praktik pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan masif
seperti perkara sebelumnya.
11. Bahwa jika Mahkamah Konstitusi hanya membatasi diri
pada perhitungan suara, maka sangat mungkinm tidak akan
pernah terwujud keadilan untuk penyelesaian sengketa hasil
Pemilukada yang diadili karena kemungkinan besar terjadi hasil
ketetapan KPU lahir dari proses yang melanggar prosedur
hukum dan keadilan.
12. Bahwa Mahkamah hanya akan memeriksa ambang batas
suara yang dibatasi oleh Pasal a quo dan tidak
mempertimbangankan ambang batas yang melewati pembatasan
pada pasal a quo padahal jarak suara yang signifikan tersebut
terjadi karena pasangan calon lain melakukan kecurangan
seperti penggelembungan suara yang menyebabkan kerugian
bagi Pemohon dan Pemohon tidak mempunyai tempat untuk
menyelesaikan perkara karena tidak memenuhi batasan yang
diatur dalam pasal a quo.
13. Bahwa Pemohon menganggap kehadiran pasal a quo
bertentangan dengan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai the
guardian of constitution dan the guardian of democracy.
10

4. PETITUM
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana yang diuraikan pada
Bagian I-III, maka Pemohon memohon kepada Hakim Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk dapat memberikan putusannya
sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) huruf D Undang - Undang Republik


Indonesia Nomor 10Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang(Pilkada)
bertentangan dengan pasal 24 ayat 1, 24 C ayat 1 UUD Negara RI tahun
1945 sepanjang dimaknai ambang batas sebesar 0.5% dan konstitusional
sepanjang dimaknai ambang 4.24%.

3. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) huruf D Undang - Undang Republik


Indonesia Nomor 10Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang(Pilkada) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4. Meminta Mahkamah Konsitusi menjadikan perkara a quo sebagai perkara


prioritas sehingga dapat diputus dengan cepat mengingat batas waktu
mengajukan permohonan pembatalan hasil penghitungan suara
pemilukada paling lambat 3 kali 24 jam setelah termohon menetapkan
hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan
berdasarkan Paraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2017
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Atau apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aquo et bono).

Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon mengajukan


alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai Bukti P-15 sebagai
berikut:
1. Bukti P-1 : Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 51/SK.J.R-07/2019
2. Bukti P-2: Fotokopi buku Dr. H. Imam Soebechi, S.H.,M.H yang berjudul
Hak Uji Materil;
3. Bukti P-3 : Fotokopibuku Harjono yang berjudul berjudul Konstitusi sebagai
Rumah Bangsa Pemikiran Hukum;
4. Bukti P-4 : Bahwa jaminan seseorang untuk dapat mengajukan permohonan
telah dijamin oleh konstitusi tertulis dalam UUD NRI Tahun 1945
dalam Pasal 28D ayat (1).
5. Bukti P-5 : satu indikator kemajuan berbangsa dan bernegara adalah
penjaminan hak setiap warga negara untuk mengajukan
11

permohonan pengujian peraturan perundang-undangan. Judicial Review


merupakan bentuk perwujudan dari penjaminan hak-hak dasar warga negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
6. Bukti P-6 :Fotokopi Buku A. Mukthie Fadjar, dalam Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi, menjelaskan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,
fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk
menegakkan hukum dan keadilan.
7. Bukti P-7 : berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang - Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang -
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 3
Peraturan Mahkamah Konstitus.
8. Bukti P-8 : berdasarkan Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Pengujian Undang–Undang.
9. Bukti P-9 : Bahwa mengenai parameter kerugian konstitusional, MK dalam
yurisprudensinya memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus
memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Nomor: 006/PUU/-
III/2005.
10. Bukti P-10 : berdasarkan putusan Nomor: 011/PUU-V/2007.
11. Bukti P-11 : Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi.
12. Bukti P-12 : Bahwa Pemohon adalah warga negara Indonesia sejak lahir,
yang dapat dibuktikan dengan akta lahir bernomor 177108907898099.
13. Bukti P-13 : dan kartu tanda penduduk bernomor 1771064401990001,
Sehingga berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Pemohon merupakan warga negara Indonesia.
14. Bukti P-14 : Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas maka
pemohon sebagai orang perorangan warga negara Indonesia, benar-benar
telah dirugikan dan/atau kewenangan konstitusionalnya akibat berlakunya
pasal 158 ayat 1 huruf d UU nomor 10 tahun 2016 pemilihan gubernur dan
wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan wali kota dan wakil walikota
(Pilkada). Oleh karena itu kedudukan hukum (legal standing) pemohon
adalah sah, karena telah memenuhi 3 syarat sahnya kedudukan hukum (legal
standing) menurut Jilmy Asshidiqie sebagaimana telah dijelaskan pada huruf
k dan telah memenuhi syarat kerugian konstitusional sesuai dengan putusan
MK Nomor: 006/PUU-III/2005.
15. Bukti P-15 : Nomor: 011/PUU-V/2007.

Selain itu, para Pemohon mengajukan ahli yang telah didengar keterangannya
dalam persidangan Mahkamah, yang menerangkan sebagai berikut :

Prof. Nabila Riana Putri, S.H., LL.M., Ph.D.


1. Mahkamah Konstitusi Sebagai The Guardian Of Constitutional
Pancasila sebagai falsafah bangsa memainkan peran yang penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Kelima sila yang dimuat di
12

dalam Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa


dan negara Indonesia.Ideologi yang terdapat di dalam pancasila meliputi
seluruh pandangan cita-cita, nilai-nilai, dan keyakinan yang ingin
diwujudkan oleh seluruh bangsa dan negara dalam kehidupan nyata yang
konkrit sebagaimana yang dikatan oleh Soerjanto Poespowardojo.Apabila
merujuk pada butir-butir sila di pancasila mulai dari sila pertama hingga
sila kelima, hal yang fundamental dan inheren dengan perkara yang
diajukan oleh pemohon yang dapat dikaji yakni Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.Makna yang terdapat di dalam sila ke-5 pancasila
tersebut keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik material maupun spiritual.Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan
yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. 
Cita-cita nasional bangsa Indonesia adalah untuk menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur.Walaupun cita-cita tersebut sudah
dicanangkan sejak Indonesia merdeka, namun pada kenyataanya
pencapaiannya masih sangat jauh dari yang diharapkan.
Mengingat pentingnya menciptakan cita – cita nasional bangsa
dalam mencapai keadilan,maka diperlukan lembaga khusus yang tidak
hanya menegakkan hukum, tetapi juga harus menegakkan keadilan.
Undang Undang Dasar 1945 telah mengamantkan dalam pasal 24 ayat 2
yang berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”.Selain itu pasal 24 ayat 1 juga mengatakan
bahwasannya kekuasaan kehakiman tersebut diberikan guna
menyelenggarakan peradilan yang menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan bahwa
MK memiliki empat kewenangan konstitusional (constitutional authorities)
dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Pasal 10 ayat
(1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 juncto
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK) mempertegas ketentuan tersebut dengan menyebut empat
kewenangan MK, yaitu:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2. Memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara itu, berdasarkan Pasal 7A dan Pasal 7B Ayat (1) sampai


dengan Ayat (5) dan Pasal 24C Ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 yang
kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (2) Undang Undang
Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk
memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau
13

tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden


sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Selain memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban,
Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi yang merupakan derivasi dari
kewenangannya itu, yakni pengawal kontitusi (the guardian of
constitution), penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of
constitution), pengawal demokrasi (the guardian of democracy), pelindung
hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional
right), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).Dalam
konteks pembangunan hukum yang berkeadilan, keempat kewenangan dan
satu kewajiban tersebut memiliki peran yang sangat strategis.Mekanisme
judicial review, misalnya, merupakan upaya paling efektif pada saat ini
guna menjamin dan memastikan bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan yang menjadi penuntun penyelenggaraan negara agar selaras dan
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Wewenang untuk menguji undang-
undang terhadap undang-undang dasar telah merobohkan doktrin
supremasi parlemen (supremacy of parliament) yang menjadi paradigma
dasar Undang Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan dan
menggantikannya dengan ajaran supremasi konstitusi (supremacy of
constitution).
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi tidak hanya berfungsi sebagai
pengawal konstitusi (the guardian of constitution), tetapi juga berfungsi
sebagai pengawal ideologi negara (the guardian of ideology), yakni
Pancasila. Artinya, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara konstitusi, maka selain mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945,
juga harus mendasarkan pada Pancasila sebagai batu uji dalam setiap
perkara konstitusionalitas produk undang-undang.

2. Mahkamah Konstitusi Tidak Hanya Menegakkan Hukum Tetapi


Juga Menegakkan Keadilan
Secara normatif, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa hasil Pemilu yang meliputi
Pemilu legislatif, Pemilu Presiden, maupun Pemilukada. Namun, dalam
perkembangannya, untuk mencapai demokrasi substansial, Mahkamah
Konstitusi dapat pula mengadili tidak hanya pada sengketa hasil Pemilu,
melainkan juga pada keseluruhan proses Pemilu sepanjang proses itu
terbukti dalam persidangan melanggarasas Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Hal ini merupakan ikhtiar Mahkamah Konstitusi untuk mencapai
demokrasi yang substansial bukan hanya demokrasi yang melulu bersifat
prosedural. Oleh karena itu, saat memeriksa, mengadili, dan memutus
sengketa Pemilukada Provinsi Jawa Timur, meskipun dalil Pemohon
hanya sedikit mempermasalahkan sengketa hasil suara, namun dalam
pemeriksaan fakta di persidangan secara nyata telah terbukti adanya
pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massive yang
menciderai asas-asas Pemilukada yang bersifat langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil. Oleh karenanya, Mahkamah memerintahkan untuk
dilakukan pemungutan suara ulang di tiga kabupaten, yaitu Sampang,
Bangkalan, dan Pamekasan.
14

Pemilihan umum merupakan sarana utama pembentukan dan


penyelenggaraan demokrasi karena di dalamnya ada partisipasi rakyat
dalam memilih dan menentukan pemimpin maupun wakilnya.Oleh karena
itu, pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Tidak boleh ada lagi suara pemilih yang tidak
dihitung atau dimanipulasi, karena hal tersebut sama saja halnya dengan
menyelewengkan kedaulatan rakyat (people’s sovereignty). Dalam perkara
perselisihan hasil pemilu, wewenang Mahkamah Konstitusi bukan sekedar
menghitung perselisihan suara saja, tetapi wajib mencari keadilan atas
pelanggaran prinsipprinsip pemilu yang demokratis.Mahkamah Konstitusi
memang tidak diperkenankan mengadili pelanggaran Pemilu yang bersifat
pidana dan administratif, karena bukan menjadi kewenangan yang
dimilikinya. Namun ketika melihat adanya prinsip dan asas Pemilu yang
dilanggar sehingga menyebabkan munculnya ketidakadilan dalam
pelaksanaan pemilu, maka Mahkamah Konstitusi secara hati-hati dan
selektif akan mengadilinya. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi telah
menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi (the guardian of
democracy) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector
of citizen’s constitutional right).
Dalam menjalankan kewenangan ini khususnya pengujian Undang
Undang dan mengadili perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi
menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas formal UU dalam
mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab mewujudkan tujuan
norma hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Keadilan Mahkamah Konstitusiyang ingin dicapai tidak semata-mata
sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana sesuai rumusan
bunyi UU, namun di sisi lain mengabaikan keadilan dan kepastian hukum.
Berdasarkan Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR, ditegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman itu bertugas menegakkan hukum dan
keadilan yang ditempatkan dalam posisi sama yang satu tidak lebih
diutamakan dari yang lain. Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun
1945 menyatakan kekuasaankehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum”
dan ”keadilan”. Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga
menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan ”kepastian hukum yang adil”.
Kepastian hukum tidak jarang mengalahkan pencari keadilan di
sebuah lembaga peradilan yang seharusnya memberikan keadilan. Undang
Undang sendiri meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara
demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari
cita hukum dan nilai-nilai konstitusi. Pengalaman masa lalu membuktikan
sebuah undang-undang tidak serta merta mencerminkan karakter yang
responsif dan sesuai kepentingan rakyat dan menjadi cerminan nilai yang
terkandung dalam cita-cita negara hukum yang demokratis. Prinsip
penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali
sedalamdalamnya untuk merasakan keadilan substantif (substantive
justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan
undang-undang (procedural justice).
15

Oleh karenanya, dalam mengadili perkara dengan mandat


konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya terpaku kepada bunyi
Undang Undang yang terkadang justru bertentangan dan mengabaikan
kepastian hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi diharuskan mencari
keadilan substantif yang oleh Undang Undang Dasar Tahun 1945, Undang
Undang, prinsip-prinsip umum konstitusi dan peradilan diakui
keberadaannya. Undang Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sendiri juga menegaskan, ”Mahkamah Konstitusi memutus
perkara berdasarkan Undang Undang Undang Dasar Tahun 1945 sesuai
dengan alat bukti dan keyakinan hakim.” Bukti dan keyakinan hakim
menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan substantif.Tidak hanya
terpaku padabunyi Undang Undang saja.
3. Mahkamah Konstitusi Bukanlah Mahkamah Kalkulator
Pemilu haruslah dipahami sebagai satu kesatuan proses yang bukan
hanya ditentukan pada hari H pemungutan suara, tetapi bagaimana seluruh
proses dijalankan secara fair, termasuk kampanye pemilu. Pasangan capres
yang dipilih pada hari pemungutan suara adalah akibat dari rangkaian
proses pemilu yang terjadi sebelumnya. Jadi, kalau proses sebelumnya
berjalan dengan curang, maka pemungutan suara yang dihasilkan
seharusnya tidak dapat disahkan. Mahkamah Konstitusi tidak boleh
dikerangkeng untuk hanya memeriksa hasil suara saja. Tetapi, Mahkamah
harus menilai keseluruhan proses agar berjalan sesuai rambu-rambu
pemilu yang tidak curang, yaitu pemilu yang jujur dan adil.
Hal demikian disebabkan karena Mahkamah Konstitusi bukanlah
“Mahkamah Kalkulator”, yang hanya bertugas menentukan pemenang
pilpres berdasarkan benar atau salahnya rekapitulasi suara.Pembatasan
Mahkamah hanya dalam kerja teknis penghitungan demikian adalah
pelecehan atas tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi yang jelas-jelas
merupakan pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), yang
artinya harus menjaga terselenggaranya hasil pemilu yang jujur dan adil,
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Karena sifatnya sebagai peradilan konstitusi, Mahkamah tidak
boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice)
memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive
justice). Menimbang bahwa peradilan menurut UUD 1945 harus menganut
secara seimbang asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas manfaat
sehingga Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh bunyi undang-
undang melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap
berpedoman pada makna substantif undang-undang itu sendiri.
Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung
hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit,
yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan
melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi
yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau
hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh
Termohon tidakmewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit
ditemukan keadilan.
16

Singkatnya, Mahkamah Konstitusi harus dapat memberikan


penilaian atas kejujuran dan keadilan peserta pemilu dalam
berkompetisi.Adalah bertentangan dengan konstitusi, jika Mahkamah
hanya menghitung suara, dan tetap memenangkan suatu pasangan capres
dan cawapres, meskipun kemenangan suara pasangan tersebut nyata-nyata
adalah hasil dari kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan
masif.Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi harus dianggap berwenang
membatalkan kemenangan suatu pasangan calon, yang terbukti curang,
meskipun penghitungan suaranya jelas memenangkan pasangan tersebut.
Satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal
menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak
seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de
injuria sua propria). Dengan demikian, tidak satu pun Pasangan Calon
pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat
terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam
penyelenggaraan pemilihan umum.
4. Pemilu yang jujur dan adil adalah syarat fundamental dalam
menjamin eksistensi dan keberlanjutan Negara Hukum Republik
Indonesia
Kejujuran dan keadilan merupakan prinsip dasar dalam
penyelenggaraan Pemilu. Hal ini berarti bahwa ketiadaan prinsip ini akan
mengakibatkan ketidakabsahan pengelolaan negara sebagaimana yang
telah disepakati dalam konstitusi, UUD Negara RI Tahun 1945. Secara
normatif prinsip ini tertera dalam landasan konstitusional bangsa yaitu
Pasal 22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.Secara teoritik kejujuran
merupakan prinsip perekat bangsa yang menjadi fondasi dan sendi-sendi
dasar kesepakatan bangsa dalam mengelola kehidupan bersama.Kejujuran
ini merupakan prinsip dalam penyelenggaraan Pemilu yang berfungsi
menjamin kesepakatan bersama dalam menata kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan kejujuran ini kita sebagai bangsa Indonesia dapat
menghilangkan prasangka satu sama lainnya.
Selanjutnya, keadilan merupakan prinsip fundamental yang tidak
dapat dipisahkan dari prinsip kejujuran.Ia merupakan prinsip yang
berfungsi sebagai arah dan tujuan dalam penyelenggaraan Pemilu. Secara
normatif, keadilan merupakan elemen tertinggi dari hukum.Oleh karena itu
sebagai negara kita wajib menjunjung tinggi dan menghormati keadilan.
Dalam konteks ini, sekali lagi, keadilan merupakan meta nilai yang
menjadi acuan bagi penyelenggaraan pengembanan amanah publik.
Bahkan dalam pemahaman hukum yang lebih substantif, ketiadaan
keadilan mengakibatkan ketiadaan hukum itu sendiri.
Pada konteks Indonesia, Pemilu 1955 senantiasa dijadikan
referensi sebagai suatu pemilu yang paling demokratis.Daulat rakyat
dimuliakan dan adanya kesadaran yang tinggi untuk berkompetisi secara
sehat. Kala itu, tidak akan ada yang menyangka, meski yang menjadi calon
anggota DPRadalah perdana menteri dan menteri yang sedang
memerintah, mereka tidak sekalipun menggunakan fasilitas negara dan
17

otoritasnya untuk “memaksa” siapapun yang berada di bawah kendali


kekuasaannya agar “berpihak” hanya untuk kepentingan sang penguasa.
Secara konstitusional, kejujuran dan keadilan merupakan norma
yang meletakkan kewajiban positif kepada penyelenggara negara dalam
mengemban amanah publik sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Setiap pasal yang termuat dalam konstitusi adalah meta norm yang
meletakkan kewajiban positif bagi negara, pemerintah dan seluruh
pemangku kekuasaan untuk menjamin konsistensi pelaksanaan amanat
konstitusi sampai pada tingkat yang paling dasar.
Hal ini berarti semua aktivitas pemerintah sebagai penyelenggara
negara, termasuk KPU sebagai penyelenggara Pemilu wajib mematuhi
konstitusi.Dalam hal ini KPU wajib menyelenggarakan Pemilu
berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan (lihat Pasal 22E ayat (1) UUD
Negara RI Tahun 1945).Konsekuensinya bahwa prinsip kejujuran dan
keadilan haruslah melekat pada setiap aktivitas KPU mulai dari tahap pra
factum, sebelum pemungutan suara sampai dengan paska pemungutan
suara (post factum).Setiap aktivitas KPU yang diamanahkan UU harus
bersendikan dan berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD Negara RI Tahun
1945.
Kegagalan dalam menyelenggarakan Pemilu yang didasarkan pada
kejujuran dan keadilan mengakibatkan seluruh aktivitas yang dilakukan
oleh KPU menjadi inkonstitusional, sehingga seluruh produknya harus
dinyatakan batal demi hukum.
5. Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah dan
DPR sebagai termohon menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan
dalam persidangan tanggal 16 Desember 2019 yang kemudian dilengkapi
dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
padatanggal 17Desember2019, sebagai berikut :

[5.1]JAWABAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN


PASAL 158 AYAT (1) HURUF D UNDANG - UNDANG NOMOR 10
TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR,
BUPATI DAN WALI KOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
I. TANGGAPAN PEMERINTAH
I.1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (2) UU Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan Pemohon wajib menguraikan dengan jelas
permohonanya tentang hak dan/atau kewengan konstitusionalnya sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1) selain itu dalam yurisprudensinya MK telah
memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yan
timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima)
syarat sebagaimana putusan MK Nomor:006/PUU-III/2005 dan
Nomor:011/PUU-V/2007, sebagai berikut:
a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI
Tahun 1945
18

b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah


dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji
c. Bahwa kerugian konstitusional yang dimaksud bersifat spesifik atau
khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
belakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Menurut Pemerintah Pemohon dalam permohonan tidak menguraikan
secara jelas mengenai kerugian konstitusionalnya yang timbul karena
keberadaan Pasal a quo, pemohon tidak dapat membuktikan kerugian
konstitusional seperti apa yang ditimbulkan dari belakunya pasal a quo. Selain
itu pemohon juga tidak menguraikan secara jelas hubungan kausalitas (causal
verband) antara anggapan kerugian yang dialami dengan undang-undang.
Menurut pemerintah dalam permohonan pemohon, pemohon sama sekali
tidak mengalami kerugian konstitusional, hal tersebut dikarenakan pemerintah
telah membuka ruang bagi Pasangan Calon untuk dapat mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konsitusi dalam Perkara Pemilihan Kepala Daerah
yakni dengan ambang batas 0.5% dengan penduduk 12.000.000 orang
sebagaimana ketentuan Pasal a quo, jika nyata-nyatanya pemohon tidak
memenuhi ambanga batas sebagaimana diatur dalam pasal a quo dan tidak
adanya kerugian konstitusional yang signifikan yang dijelaskan oleh Pemohon
dalam permohonannya.

I.2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi


Kedudukan hukum Para Pemohon yang seharusnya ditolak oleh
Mahkamah tersebut, menimbulkan konsekuensi terhadap kewenangan
Mahkamah. Mahkamah hanya berwenang untuk menindaklanjuti permohonan
yang diajukan oleh pihak-pihak yang menurut Undang-Undang Dasar 1945
dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memiliki hak untuk berperkara di
Mahkamah Konstitusi.
Sehingga dikarenakan Para Pemohon tidak memiliki legal standing yang
jelas, maka semestinya perkara ini bukanlah kewenangan Mahkamah untuk
menyidangkannya. Untuk itu Mahkamah berhak untuk tidak menerima
permohonan Para Pemohon.
Mahkamah bahkan berhak untuk tidak menerima perkara ini ketika Para
Pemohon pada dasarnya hanya mempermasalahkan mengenai ambang batas
untuk mengajukan perkara yang seyogyanya sudah diatur dan dirancang
sedemikian rupa oleh pembentuk Undang-Undang untuk mencegah
menumpuknya kasus pemilukada yang akan diajukan ke Mahkamah
Konstitusi.

I.3 Pokok-Pokok Permohonan


Terhadap pokok-pokok permohonan pemohon maka disampaikan
tanggapan pemerintah sebagai berikut:
1. Efektivitas Ambang Batas Sengketa Hasil Pilkada
19

Desain pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pasca


disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 (UU Pilkada) telah
bertransformasi dari yang sifatnya digelar secara bergantian menjadi
serentak. Gelombang pertama penyelenggaraan Pilkada secara serentak
dimulai pada 2015. Kemudian, Pilkada serentak gelombang kedua digelar
pada 2017, sedangkan gelombang ketiga Pilkada serentak diadakan pada
2018.
Sejak 2015 telah diselenggarakan 541 Pilkada dengan jumlah
permohonan sengketa hasil di MK sebanyak 283 perkara. Untuk menilai
secara tepat mengenai tren pengajuan permohonan sengketa Pilkada maka
perlu dianalisis perbandingan antara jumlah daerah yang
menyelenggarakan Pilkada dengan jumlah asal daerah yang memiliki
sengketa hasil di MK, bukan dengan jumlah keseluruhan sengketa Pilkada
serentak di MK.
Pilkada serentak 2015 diselenggarakan di 269 daerah dengan
jumlah sengketa yang masuk ke MK sebanyak 152 perkara dari 137
daerah. Kemudian pada 2017 diadakan Pilkada serentak di 101 daerah
dengan pengajuan sengketa sebanyak 60 perkara dari 50 daerah berbeda.
Dalam Pilkada serentak terakhir pada 2018, terdapat Pilkada serentak di
171 daerah dengan jumlah sengketa yang masuk ke MK sebanyak 71
perkara dari 58 daerah. 
Selanjutnya, berdasarkan data tersebut dapat ditemukan bahwa
persentase daerah yang memiliki sengketa hasil dari tahun ke tahun
mengalami tren penurunan. Pada 2015, terdapat 50,9% daerah yang
mengajukan sengketa hasil Pilkada serentak ke MK. Kemudian, pada 2017
persentase tersebut berkurang sedikit menjadi 49,5%. Sedangkan, pada
Pilkada serentak 2018, jumlah daerah yang mengajukan sengketa hasil
Pilkada turun drastis menjadi 33,9%.
Namun demikian, dari perspektif jumlah perkara dengan amar
putusan tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena melewati
ambang batas selisih perolehan suara, masih terjadi tren yang fluktuatif
sebagaimana tergambar dalam. Pada 2015, terdapat 96 perkara dari 152
perkara atau 63,2% yang diputus MK dengan amar tidak diterima karena
melewati ambang batas. Sedangkan pada Pilkada serentak 2017, terdapat
33 dari 60 perkara yang diputus tidak memenuhi ambang batas, sehingga
persentasenya turun menjadi 55%. Akan tetapi, persentase tersebut naik
kembali pada Pilkada serentak 2018, sebab terdapat 45 dari 71 perkara
atau 63,4% yang tidak memenuhi ambang batas sengketa hasil Pilkada.
Berdasarkan statistik yang tergambar dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan sementara terjadinya tren yang menurun terhadap jumlah
permohonan sengketa hasil Pilkada yang diajukan ke MK dari tahun ke ke
tahun. Hal ini setidaknya disebabkan tumbuhnya kesadaran dan
pemahaman dari para pasangan calon kepala daerah, tim pendukung,
dan/atau kuasa hukumnya bahwa kekalahan dalam Pilkada dengan selisih
suara melebih ambang batas akan kandas di MK apabila tetap dipaksakan
untuk diajukan. Dalam konteks ini, efektivitas rekayasa sosial yang
diinginkan oleh pembentuk Undang-Undang mulai terlihat hasilnya.
20

2. Kehadiran Pasal a quo untuk mencegah menumpuknya perkara di


Mahkamah Konstitusi
Sejak pengalihan kewenangan memutus sengketa Pemilukada dari
MA pada 2008, MK telah memutuskan 598 permohonan sengketa pilkada.
Jumlah itu bermakna, setiap tahun MK harus menyelesaikan sekitar 100
permohonan sengketa pemilu kepala daerah dengan ambang batas 0.5%
sebagaimana yang diatur pada pasal a quo, maka jika ambang batas
dinaikkan maka akan banyak permohonan yang akan diajukan oleh
pasangan calon pemilukada. Selain itu, dengan adanya kebijakan politik
untuk melaksanakan Pilkada serentak akan menimbulkan persoalan, tidak
mungkin satu institusi berupa Mahkamah Konstitusi memeriksa dan
memutus berates-ratus kasus sengketa Pemilukada dalam waktu
bersamaan. Maka pembatasan dalam Pasal a quo merupakan tindakan
yang tepat yang dilakukan oleh pembuat undang-undang karena telah
memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi jika tidak
adanya ambang batas atau menaikkan ambang batas dalam mengajukan
sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, banyaknya gugatan yang masuk, akibat
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah baik yang serentak maupun
tidak serentak yang membuat Mahkamah Konstitusi disibukkan oleh
perkara Pemilukada akan membuat Mahkamah Konstitusi tidak dapat
maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa Pemilukada, dan
menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan
kepada kepala daerah yang berambisi menang di Mahkamah Konstitusi
dan akan menghilangkan citra dan marwah Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga yang bersifat independen dan impartial.
Oleh sebab itu Pemerintah berpendapat bahwa adalah tepat untuk
tetap mempertahankan Pasal a quo karena memberikan dampak yang baik
bagi dunia perpolitikan di Indonesia dan bagi lembaga Mahkamah
Konstitusi sendiri.Serta adalah tepat dan sudah sepatutnya jika yang Mulia
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia secara
bijaksana menyatakan permohonan para pemohon (pada register perkara
nomor 003/PUU-XI/2019) tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklar).

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi diatas, pemerintah
memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia
yang memeriksa,mengadili dan memutus permohonan pengujian Pasal 158
Ayat (1) huruf d Undang- Undang no 10 tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
21

2. Menolak pengujian para pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya


menyatakan permohonan pengujian undang-undang para pemohonan tidak
dapat diterima(niet ontvankelijk verklar).
3. Menerima keterangan pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang- Undang no 10 tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon
putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya(ex aequo et bono).
Atas perhatian Yang Mulia ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, disampaikan terima kasih.

[5.2]Keterangan Ahli Pemerintah(Prof. Indah Rosalina, S.H., LL.M., Ph.D.)


1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang Diatur di Dalam
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagai lembaga kekuasaan
kehakiman, Mahkamah Konstitusi mempunyai peranan penting guna menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Artinya bahwa mahkamah konstitusi menegakkan hukum dan
keadilan dalam menjalankan kewenangannya sesuai dengan yang diamanatkan
oleh UUD NRI Tahun 1945 yakni yang termaktub di dalam Pasal 24C Ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan hasil pemilihan umum.
Pasal 24C Ayat (1) ini merupakan dasar kompetensi Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya, yang sifatnya limitative dalam arti hanya apa yang disebut dalam
pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Terhadap
kewenangan dimaksud di satu pihak dapat ditambahkan kewenangan lain, dan di
lain pihak tidak dapat dikurangi kecuali karena adanya perubahan terhadap Pasal
dimaksud yang terjadi dengan jalan perubahan UUD NRI Tahun 1945
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 (vervasungganderung) sebagaimana
yang tersebut di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003.
Hal inipun selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
1-2/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dirumuskan secara tegas dan bersifat limitatif.
22

Namun kemudian Mahkamah Konstitusi dibebankan kewenangan


tambahan akibat hadirnya Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
Undang-Undang ini penanganan sengketa Pemilukada telah dialihkan dari
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi padahal tidak ada satupun frasa yang
menyebutkan bahwa perselisihan hasil pemilukada merupakan bagian dari
kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 236C tersebut kemudian diuji ke Mahkamah Konstitusi dan
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 telah
membatalkan ketentuan Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sehingga Mahkamah Konstitusi tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan
sengketa perselisihan hasil pemilukada. Akan tetapi dikarenakan belum adanya
badan peradilan khusus untuk menangani sengketa pemilukada maka kewenangan
ini tetap diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Dikarenakan MK telah diberikan kewenangan untuk menjalankan
tugas tersebut maka demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah Konstitusi
menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang diatur di dalam UU Pilkada,
bukan serta merta Mahkamah Konstitusi hanya menjalankan hukum dan tidak
menegakkan keadilan yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Prof. Dr. Arif
Hidayat, S.H., M.S pun menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi selalu
berupaya mengedepankan keadilan substantive. Akan tetapi, lanjutnya MK tidak
boleh melupakan posisinya sebagai pelaksana UU Pilkada karena kewenangan
menangani PHP Kada sudah dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-
XI/2013. Maka kewenangan menangani PHP Kada saat ini merupakan amanat
UU Pilkada sampai terbentuknya badan peradilan khusus. Sebagai pelaksana,
MK harus tunduk pada aturan yang tercantum dalam UU Pilkada.”
Sehingga putusan MK yang memilih menerapkan Pasal 158 secara
penuh setidak-tidaknya dikarenakan pertimbangan kewenangan memeriksa dan
mengadili perselisihan hasil pemilukada merupakan kewenangan tambahan, maka
kewenangan tambahan yang diberikan oleh UU Pilkada untuk memutus perkara
perselisihan hasil Pilkada jelas memiliki kualifikasi yang berbeda dengan
kewenangan yang diberikan secara langsung oleh UUD NRI Tahun 1945. Dalam
melaksanakan kewenangan tambahan tersebut, MK tunduk terhadap UU Pilkada
sebagai dasar kewenangan. Hal ini selaras dengan sifat khas hukum acara MK
bahwa MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam mengadili dan memutus
perkara perselisihan hasil pilkada pada dasarnya wajib terikat pada hukum
materiil dan hukum formil (hukum acara). Hukum Acara MK sebagai hukum
formal (procedural law) memiliki fungsi sebagai publiekrechttelijk
instrumentarium untuk menegakkan hukum materiil (handhaving van het
materiele recht) yaitu tata negara materiil (materiele staatsrecht).
Selain itu apabila pemohon menginginkan Mahkamah Konstitusi
juga memeriksa dan melihat tidak hanya sebatas angka sesuai dengan ambang
batas yang ditentukan oleh Undang-Undang melainkan juga menerima pengajuan
sengketa di atas ambang batas yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi
dikarenakan bisa jadi perolehan jarak suara disebabkan adanya kecurangan maka
sesungguhnya itu tidaklah tepat. Sebab prosedur mengenai adanya pelanggaran
dan kejahatan di dalam pilkada diselesaikan oleh lembaga di luar Mahkamah
23

Konstitusi sehingga apabila pemohon merasa suara yang diterima merupakan hasil
kecurangan Paslon lain maka Pemohon dapat mengkajinya di luar lembaga
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan substansi yang terdapat di dalam UU a quo.
2. Tujuan dan Pemaknaan Ambang Batas Pengajuan Sengketa
Pemilukada di Mahkamah Konstitusi
Ambang batas yang telah ditetapkan oleh Pembuat Undang-Undang
memiliki tujuan yang baik yang telag disusun dan dipertimbangkan mulai dari
landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Mahkamah Konstitusi pun telah
menegaskannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XII/2015
bertanggal 9 Juli 2015 yang menyatakan bahwa tidak semua pembatasan serta
merta berarti bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang pembatasan
tersebut untuk menjamin pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, maka pembatasan
demikian dapat dibenarkan menurut konstitusi. Menurut Mahkamah Konstitusi,
Pembatasan bagi peserta pemilu untuk mengajukan pembatasan penetapan hasil
perhitungan suara dalam Pasal 158 merupakan kebijakan hukum terbuka
Pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya sebab pembatasan demikian
logis dan dapat diterima secara hukum untuk mengukur signifikasi perolehan
suara calon.
Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya ambang batas pengajuan
sengketa pilakda yakni yang pertama, untuk memangkas jumlah kasus sengketa
pilkada yang ditangani oleh MK. Mengingat sejak ditanganinya perkara
perselisihan hasil pilkada oleh MK pada tahun 2008, dengan melihat volume
jumlah perkara yang ada, MK cenderung akhirnya menjadi Mahkamah Sengketa
Pemilu (Election Court) karena jumlah sengketa Pilkada yang ditangani lebih
banyak volumenya dibandingan dengan pengujian UU (judicial review) yang
merupakan kewenangan utama MK. Hal ini pun juga menciderai nilai-nilai
konstitusionalisme serta berpotensi mengganggu tugas pokok MK sebagai
pengawal konstitusi.
Awalnya Mahkamah Konstitusi hanya cukup menangani sengketa Pemilu,
semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap penyelesaian perselisihan tentang
hasil pemilihan umum tersebut, saat ini Mahkamah Konstitusi jadi disibukkan
oleh penanganan penyelesaian PHPU secara rutin terus menerus. Implikasi dari
pengalihan kewenangan itulah yang kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi
berbagi fokus antara wewenangan yang diberikan UUD NRI Tahun 1945,
terutama pengujian Undang-Undang dengan ketatnya batas waktu penyelesaian
sengketa Pilkada yakni paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara Mahkamah Konstitusi. Hal ini
pun tidak hanya berpengaruh terhadap jumlah perkara Mahkamah Konstitusi, juga
dapat berpengaruh terhadap kualitas putusan MK terhadap sengketa tersebut.
Karena alasan-alasan tersebut, maka sangat diperlukannya pembatasan pengajuan
permohonan sengketa pilkada sebagaimana yang telah ditentukan di dalam pasal a
quo.
Kedua, untuk mencegah Mahkamah Konstitusi tidak terperosok ke dalam
kasus suap perkara Pilkada. Banyaknya gugatan yang masuk ke Mahkamah
Konstitusi akibat pelanggaran pilkada yang tidak serentak maupun serentak
membuat Mahkamah Konstitusi tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa
24

kasus sengketa Pemilukada dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu
untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di
Mahkamah Konstitusi. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2013, salah satu hakim
konstitusi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait
penerimaan suap perkara pilkada. Maka untuk mencegah hal tersebut kembali
terjadi, ambang batas yang diatur dalam pasal a quo perlu untuk dipertahankan
agar semakin sedikit kemungkinan terjadinya praktik suap di Mahkamah
Konstitusi.
Ketiga, pembatasan yang dilakukan Pasal a quo bertujuan mendorong etika
dan sekaligus budaya politik yang makin dewasa dalam proses Pilkada. Hal ini
selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XIII/2015
menyatakan bahwa rasionalitas Pasal 158 sesungguhnya merupakan bagian upaya
pembentuk Undang-Undang mendorong terbangunnya etika dan sekaligus budaya
politik yang makin dewasa, yaitu dengan cara membuat perumusan norma
Undang-Undang di mana seseorang yang turut serta dalam kontestasi pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak serta merta menggugat suatu hasil
pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dengan perhitungan yang sulit diterima oleh
penalaran yang wajar. Sehingga pasangan calon dengan selisih perolehan suara
yang sangat lebar memiliki kesadaran etika dan berbudaya politik tidak
melakukan pengajuan sengketa Pemilukada ke Mahkamah Konstitusi.
Sehingga dapat kita lihat bersama banyak sekali pertimbangan-pertimbangan
serta keuntungan dari adanya pembatasan yang diatur dalam pasal a quo. Oleh
karenanya menurut pendapat ahli, pasal a quo bersifat konstitusional serta
Mahkamah Konstitusi tetap menegakkan keadilan di samping menegakkan hukum
namun penegakan dilakukan sesuai dengan kewenangan asli yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi.
Demikian keterangan ahli ini, semoga dapat menjadi pertimbangan majelis
dalam memutus perkara a quo saya sampaikan, terima kasih.
[5.3] PENJELASAN DPR-RI ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 158
UU PILKADA
1. Pendapat DPR-RI

a. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon


Bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon sebagaimana
diuraikan dalam permohonan a quo dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai
pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang ini, yaitu:
a) Perorangan warga Negara Indonesia;
b) Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang;
25

c) Badan hukum publik atau privat;


d) Lembaga Negara.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud
ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam
penjelasannya, bahwa “yang dimaksud dengan hak konstitusional
adalah hak-hak yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945”.
Ketentuan penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa
hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam permohonan pengujian undang-undang Terhadap
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan : Kualifikasinya sebagai
Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi;
1. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud penjelasan Pasal 51 ayat (1) yang dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang;
2. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujiannya.
Batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia telah memberikan pengertian dan
batasan tentang kerugian konstitusional yang ditimbulkan karena
berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat
(vide putusan perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan perkara
Nomor 010/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. Adanya Hak Konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Bahwa hak Konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang- undang yang
diuji;
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang
dimaksudkan bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan dapat terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
26

Apabila kelima syarat tersebut tidak terpenuhi oleh


Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kepentingan dengan
Undang-Undang tersebut atau dapat dikatakan tidak memiliki
Kedudukan Hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon.
Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR RI
berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi
sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai dengan
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, namun merujuk pada ukuran kerugian konstitusional
yang dibatasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007,
Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara
aktual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak
terdapat causal verband kerugian yang didalilkan Pemohon dengan
ketentuan pasal UU a quo yang dimohonkan pengujiannya. adapun
pandangan DPR terhadap kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon adalah sebagai berikut:

1. Pemohon berpendapat bahwa kehadiran Pasal 158 ayat (1)


huruf D UU Nomor 10 tahun 2016 tidak mencerminkan hak
konstitusional mengenai keadilan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 28 D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
depan hukum hak jaminan konstitusi terhadap setiap orang
untuk dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan dan
menggunakannya untuk keperluan mencari keadilan, dalam
pengaturannya, Pasal 158 ayat (1) huruf D provinsi dengan
jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta)
jiwa, pengajian perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma
lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara
tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. Menurut
DPR Undang-undang ini dibuat dengan mengikuti
perkembangan hukum ketatanegaraan saat ini karena hal
tersebut berdasarkan pada evaluasi satu dasawarsa
penanganan perselisihan sejak pertama kali pada tahun
2005 oleh MA dan telah sesuai dengan Keadilan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian pembatasan mengenai perselisihan perolehan
suara pada Pasal 158 ayat (1) huruf D UU Nomor 10 Tahun
2016 berkekuatan yuridis, sehingga sudah sesuai dengan
Pasal 28 D UUD NRI Tahun 1945.
27

2. Berdasarkan pada pasal 28 J ayat 2 UUD 1945, dalam


menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Berdasarkan uraian di atas maka DPR-RI berpendapat
bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional
yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 010/PUU-
V/2007.Karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan
menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

b. Pasal-Pasal Inkonstitusional
Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan uji
materiil terhadap ketentuan pasal 158 ayat (1) huruf D Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang 2016 tentang perubahan
kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pemerintah penganti undang-undang nomor 1 tahun 2014
tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-
Undang nomor 10 tahun 2016. DPR-RI sebagai pelaku
pembentukan undang-undang akan menyampaikan maksud asli
(originalmeaning) dari masing-masing pasal yang dipermasalahkan
oleh Pemohon tersebut sebagai berikut:

1) Pasal 158 ayat (1) huruf D berbunyi selengkapnya sebagai


berikut:
“provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua
belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara
dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5%
(nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan
suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.”
Bahwa terhadap pasal di atas, DPR berpendapat
berdasarkan hasil risalah sidang pembentukan undang-undang a
quo, bahwa ketentuan mengenai perselisihan perolehan suara
dilakukan jika perbedaan paling banyak 0,5% ini dibuat dengan
mengikuti perkembangan hukum ketatanegaraan saat ini karena hal
tersebut berdasarkan pada evaluasi satu dasawarsa penanganan
perselisihan sejak pertama kali pada tahun 2005 oleh MA.
Beberapa perbedaan pengaturan terkait perselisihan hasil pemilihan
kepala daerah berdasarkan perbandingan Undang-Undang tersebut,
antara lain:
28

1. Berdasarkan pada pasal 20 ayat 1 UUD 1945, Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasan
membentuk Undang-Undang. Dalam hal ini pembuatan
Undang-Undang merupakan Open Legal kewenangan
dari Dewan perwakilan Rakyat (DPR).
2. Bahwa berdasarkan dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015, Mahkamah
mengatakan antara lain “bahwa tidak semua
pembatasan serta merta berarti bertentangan dengan
UUD 1945, sepanjang pembatasan untuk menjamin
pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum maka pembatasan
demikian dapat dibenarkan menurut konstitusi [vide
pasal 28 J ayat 2 UUd 1945].
3. Adanya pembatasan objek perkara perselisihan
pemilihan yaitu penetapan perolehan suara yang
signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon
untuk maju ke putaran berikutnya atau penetapan calon
terpilih, makna ”signifikan” tersebut kemudian
diterjemahkan dengan pengertian hanya perolehan suara
dengan selisih jumlah suara tertentu saja yang dapat
menjadi objek perselisihan. Rentang selisih suara yang
dapat diperselisihkan dari 0.5 % - 2 %.
4. Berdasarkan pemaparan tersebut, layak
dipertimbangkan bahwa pendekatan yang dilakukan
lembaga penanganan perselisihan hasil pemilihan masa
depan adalah pendekatan substantive. Optimalisasi
penanganan sengketa pemilihan oleh KPU, Bawaslu
ataupun lembaga lainnya di tahap awal tidak
menjadikan Pengadilan perselisihan hasil pemilihan
hanya sebagai pengadilan penghitungan, dalam hal
lembaga hukum di tahap sebelumnya tidak bekerja
sebagaimana mestinya.
5. Akibat Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi
(MK) Akil Mochtar terkait suap perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah telah menghancurkan wibawa
MK sebagai penjaga konstitusi. Kepentingan politik dan
ekonomi yang begitu kental menjadi tantangan
tersendiri bagi siapapun yang menangani perselisihan
hasil pemilihan. MK sebagai produk hasil reformasi
yang sempat diagung- agungkan independensinya tidak
mampu untuk mengatasi rawannya perkara dari
”permainan kotor”. Para pihak yang berperkara
berusaha menyuap hakim yang memeriksa perkara
untuk memenangkan pemilihan walaupun harus
mengeluarkan modal yang banyak.
29

Selain itu, pembentukan undang-undang a quo telah


memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik yang diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
yakni:
a) Asas Kejelasan Tujuan
Di dalam penjelasan Pasal 5 huruf a Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang dimaksud dengan asas kejelasan
tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
b) Asas Kepastian Hukum
Pada asas negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan.
Di dalam pembentukan undang-undang a quo, telah
memenuhi ketiga unsur asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sebagaimana yang telah
diuraikan di atas. Sehingga dalam pembentukan seluruh pasal
termasuk pasal a quo telah memenuhi kriteria asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal ini DPR selaku
pelaku pembentuk undang-undang menjelaskan bahwa
kejelasan tujuan, materi muatan, serta kejelasan pasal 158 ayat
1 huruf D UU Nomor 10 tahun 2016 adanya pengaturan
mengenai perselisihan suara dibuat agar kepemerintahan
terjalan dengan baik dan teratur sesuai dengan tujuan negara
hukum dan asas kepastian hukum.
Pasal 158 ayat 1 huruf D UU Nomor 10 tahun 2016 sudah
sesuai dan tidak bertentangan dengan pasal 28 D ayat 1
mengenai keadilan karena ada bermacam-macam keadilan yang
sesuai dengan pasal 158 ayat 1 huruf D adalah keadilan Legal
(iustitia legalis) yaitu keadilan menurut undang-undang dimana
objeknya adalah masyarakat yang dilindungi oleh undang-
undang untuk kebaikan bersama atau banum commune. Oleh
karenanya berdasarkan hal tersebut pasal 158 ayat 1 huruf d
UU nomor 2010 tahun 2016 tidak bertentangan dengan pasal
28 D ayat 1 UUD 1945.

c. Batu Uji
Untuk menguatkan pendapatnya, Pemohon menyandingkan
keberadaan pasal yang bermasalah di atas dengan ketentuan
UUD 1945. Pemohon berpendapat beberapa Pasal yang
bermasalah di UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang 2016 tentang
perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015
30

tentang penetapan peraturan pemerintah penganti undang-


undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang nomor 10 tahun
2016 tersebut bertentangan dengan Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI
Tahun 1945Selengkapnya Pasal UUD NRI Tahun 1945 yang
menjadi batu uji dari permohonan Pemohon adalah sebagai
berikut:

Pasal 24 C ayat 1 UUD NRI Tahun 1945


”Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguju Undang-undang terhadap Undang-Undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Pada dasarnya keadilan itu ada beberapa, pada pasal 158


ayat 1 huruf D UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang 20016
tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun
2015 tentang penetapan peraturan pemerintah penganti undang-
undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang nomor 10 tahun
2016 menggunakan keadilan Legal (iustitia legalis) dijadikan
sebagai landasan dalam pembuatan pasal aquo dimana keadilan
legal menurut undang-undang dimana objeknya adalah
masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang untuk
kebaikan bersama atau banum commune. Dalam hal ini
kepentingan bagi masyarakat juga di pertimbangan dalam
pembuatan pasal aquo. Bahwasanya keadilan yang dimaksud
dalam pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 adalah keadilan yang legal
(Iustitia legalis).

Bahwa berdasarkan pada pasal 28 J ayat 2 UUD 1945,


dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Sehingga DPR-RI berpendapat, Pemohon adalah hal yang


tidak tepat jika Pemohon menggunakan batu uji Pasal 24 C ayat
1 UUD NRI Tahun 1945 sebagai alasan untuk memperoleh
keadilan.
31

Berdasarkan uraian di atas sehingga Dewan Perwakilan


Rakyat Republik Indonesia menilai bahwa muatan dari Pasal
158 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010
tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun
2015 tentang penetapan peraturan pemerintah penganti undang-
undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang nomor 10 tahun
2016 tersebut tidak dapat dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Maka Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia meminta Majelis
Hakim dalam Putusannya menyatakan menolak seluruhnya
permohonan a quo yang diajukan oleh Pemohon.

Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami


mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Demikian keterangan tertulis ini kami sampaikan sebagai
bahan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
mengambil keputusan.

1. PERTIMBANGAN HUKUM

[6.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan dari Pemohon adalah
menguji konstitusionalitas Pasal 158 Ayat (1) huruf dUndang - Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi
Undang-Undang terhadap Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 24 C ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

[6.2]Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok


permohonan,Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih
dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan aquo;
2. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk bertindak selaku
Pemohon dalam permohonan aquo;
3. Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah
[6.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226), (selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29
32

ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final antara lain untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;

[6.4]Menimbang bahwa karena yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon adalah


pasal 158 ayat (1) Huruf d undang-undang No.10 tahun 2016 tentang pemilihan
kepala daerah, Pasal 24 ayat (1) dan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang ter-
hadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.” maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan aquo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon


[6.5]Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah
mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang,
yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam permohonannya untuk pengujian undang-
undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu
hal-hal berikut:
a. Kedudukan dan kepentinganya sebagai Pemohon sebagaimana
dimaksudkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Ada atau tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 diakibatkan oleh berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian;

[6.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi


Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi
lima syarat, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
33

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon


dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan tidak akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;

[6.7]Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat


kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas,
selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal
standing) para Pemohon dalam permohonan aquo;

[6.8]Menimbang bahwa Pemohon sebagai perorangan Warga Negara


Indonesiayang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Pasal 158 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-
Undang.

[6.9]Menimbang bahwa para Pemohon merupakan pasangan calonno 03 pada


daerah provinsi Jawa Barat Para Pemohon.Sehingga pengajuan pemohonan
pengujian Pasal 158 ayat (1) Huruf D Undang-undang No.10 Tahun 2016 Tentang
Pilkada bertentangan dengan pasal 24 ayat (1) dan pasal 24C ayat (1) Undang-
undang Dasar tahun 1945bangsa .Bahwa kerugian konstitusional Pemohon dapat
dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
s. Bahwa Pemohon dirugikan dengan adanya ketentuan
Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang yang
membatasi pemohon dalam mengajukan permohonan
karena terhambat dengan adanya ketentuan ambang
batas padapasal a quo.

t. Bahwa berdasarkan kualifikasi dan syarat tersebut di atas maka


pemohon sebagai orang perorangan warga negara Indonesia,
benar-benar telah dirugikan dan/atau kewenangan
konstitusionalnya akibat berlakunya pasal 158 ayat 1 huruf d UU
nomor 10 tahun 2016 pemilihan gubernur dan wakil gubernur,
bupati dan wakil bupati, dan wali kota dan wakil walikota
34

(Pilkada). Oleh karena itu kedudukan hukum (legal standing)


pemohon adalah sah, karena telah memenuhi 3 syarat sahnya
kedudukan hukum (legal standing) menurut Jilmy Asshidiqie
sebagaimana telah dijelaskan pada huruf k dan telah memenuhi
syarat kerugian konstitusionalMenimbang bahwa berdasarkan
uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan.

Pendapat Mahkamah
Pokok Permohonan
[6.11]Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan,
“Mahkamahkonstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaandengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
PermusyawaratanRakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”.
Karena pasal tersebut menggunakan kata “dapat” maka Mahkamah tidak harus
mendengarkan keterangan DPR, DPD, dan/atau Presiden dalam melakukan
pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat
meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan
dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden,
tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum
dalam permohonan aquo sudah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi
dan relevansi untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis
Permusyawaratan Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan aquo;

[6.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama


permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan dari Para Pemohon, keterangan
ahli dari Para Pemohon, keterangan pemerintah, keterangan tertulis Dewan
Perwakilan Rakyat, serta kesimpulan tertulis dari Para Pemohon bahwa
permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 158 ayat (1) huruf
dUndang - Undang Nomor 10Tahun 2016tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Wali Kota menjadi Undang-Undang terhadap Undang - Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai berikut:
[6.12.1]Menimbang bahwa politik hukum kehadiran Pasal 158 Ayat (1)
merupakan suatu bentuk kompromi atau consensus pembentuk UU
akibat saling “lempar” kewenangan antara MA dan MK, serta
memangkas jumlah kasus sengketa hasil pilkada yang ditangani MK.
Mengingat sejak ditanganinya perkara perselisihan hasil Pilkada oleh
MK pada tahun 2008, dengan melihat volume jumlah perkara yang
ada, MK cenderung akhirnya menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu
(Election Court) karena jumlah perkara sengketa Pilkada ditangani
lebih banyak volumenya dibandingkan dengan pengujian UU (Judicial
Review) yang merupakan kewenangan utama MK.
35

[6.12.2] Menimbang bahwa hal tersebut menciderai nilai-niali konstitusionalisme


serta berpotensi mengganggu tugas pokok MK sebagai pengawal
konstitusionalisme serta berpotensi mengganggu tugas pokok MK
sebagai pengawal konstitusi jika ambang batas dibuka dengan lebar
yakni di atas 0.5% sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 158 Ayat
(1)
[6.12.3] Menimbang bahwa jika dibukanya ambangbatas terlalu besar maka
kemudian akan memaksa Mahkamah Konstitusi berbagi focus antara
wewenangnya yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 terutama
pengujian undang-undaang dengan ketatnya batas waktu penyelesaian
sengketa Pilkada yakni paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara Mahkamah
Konstitusi.
[6.12.4] Menimbang bahwa hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap jumlah
perkara Mahkamah Konstitusi, juga dapat berpengaruh terhadap
sengketa tersebut. Karena alasan-alasan tersebut maka sangat
diperlukannya pembatasan pengajuan permohonan sengketa pilkada
sebagaimana yang telah ditentukam di dalam pasal a quo.
[6.12.5] Menimbang bahwa pembatasan yang dilakukan Pasal a quo bertujuan
mendorong etika sekaligus budaya politik yang makin dewasa dalam
proses pilkada. Hal ini sehelaan dengan Putusan yang telah
dikeluarkan dalam Putusan Nomor 58/PUU-XII/2015 menyatakan
bahwa “….rasionalitas Pasal 158 sesungguhnya merupakan bagian
upaya pembentuk Undang-Undang mendorong terbangunnya etika
dan sekaligus budaya politik yang makin dewasa yaitu dengan cara
membuat perumusan norma Undang-Undang dimana seseorang yang
turut serta dalam kotestasi Pemilukada tidak serta merta menggugat
suatu hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dengan perhitungan
yang sulit diterima oleh penalaran yang wajar.”
[6.12.6] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan
kehakiman sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 24 Ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan.
[6.12.7] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peranan penting
dalam menegakkan konstitusi dan prinsip Negara hukum sesuai
dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
UUD NRI Tahun 1945.
[6.12.8] Menimbang bahwa dalam menegakkan hukum dan keadilan tersebut
Mahkamah bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 yakni menguji mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
hasil pemilihan umum.
36

[6.12.9] Menimbang bahwa kewenangan menyelesaikan perkara sengketa pilkada


merupakan kewenangan tambahan yang diberikan oleh Mahkamah
Konstitusi. Dikarenakan MK telah diberikan kewenangan untuk
menjalankan tugas tersebut maka demi kepastian hukum yang adil,
Mahkamah Konstitusi menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan
yang diatur di dalam UU Pilkada, bukan serta merta Mahkamah
Konstitusi hanya menjalankan hukum dan tidak menegakkan keadilan
yang dipermasalahkan oleh Pemohon
[6.12.10] Menimbang bahwa dalam melaksanakan kewenangan tambahan
tersebut, MK tunduk terhadap UU Pilkada sebagai dasar kewenangan.
Hal ini selaras dengan sifat khas hukum acara MK bahwa MK sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman dalam mengadili dan memutus perkara
perselisihan hasil pilkada pada dasarnya wajib terikat pada hukum
materiil dan hukum formil (hukum acara).
[6.12.11] Menimbang bahwa Selain itu apabila pemohon menginginkan
Mahkamah Konstitusi juga memeriksa dan melihat tidak hanya sebatas
angka sesuai dengan ambang batas yang ditentukan oleh Undang-
Undang melainkan juga menerima pengajuan sengketa di atas ambang
batas yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan bisa jadi
perolehan jarak suara disebabkan adanya kecurangan maka
sesungguhnya itu tidaklah tepat. Sebab prosedur mengenai adanya
pelanggaran dan kejahatan di dalam pilkada diselesaikan oleh lembaga
di luar Mahkamah Konstitusi sehingga apabila pemohon merasa suara
yang diterima merupakan hasil kecurangan Paslon lain maka Pemohon
dapat mengkajinya di luar lembaga Mahkamah Konstitusi sesuai
dengan substansi yang terdapat di dalam UU a quo.
[6.12.12]Menimbang bahwaMahkamah Konstitusi pun telah menegaskannya
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XII/2015
bertanggal 9 Juli 2015 yang menyatakan bahwa tidak semua
pembatasan serta merta berarti bertentangan dengan UUD NRI Tahun
1945, sepanjang pembatasan tersebut untuk menjamin pengakuan, serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum, maka pembatasan demikian dapat
dibenarkan menurut konstitusi. Menurut Mahkamah Konstitusi,
Pembatasan bagi peserta pemilu untuk mengajukan pembatasan
penetapan hasil perhitungan suara dalam Pasal 158 merupakan
kebijakan hukum terbuka Pembentuk Undang-Undang untuk
menentukannya sebab pembatasan demikian logis dan dapat diterima
secara hukum untuk mengukur signifikasi perolehan suara calon.
[6.12.13]Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil permohonan
yang diajukan Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
37

2. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan oleh


Pemohon dalam permohonanya di atas, Mahkamah berkesimpulan sebagai
berikut:

[7.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus


permohonan aquo berdasarkan UU yang berlaku;

[7.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan


permohonan aquo;

[7.3] Dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut


hukum.Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan mengingat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226) serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

3. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan Pemohon seluruhnya.
 Menyatakan Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Wali Kota menjadi Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945.
 Menyatakan Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Wali Kota menjadi Undang-Undang mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
 Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya selambat – lambatnya 30 hari kerja sejak
putusan diucapkan.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yangdihadiri oleh


sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Prof. Dr. Tahara Pangestu, S.H., M.H. selaku
Ketua merangkap Anggota,Dr. Agustinus Silitonga, S.H, M.H., Dr. Hikma Juwita,
38

S.H., M.H., Elfina Tita Ekania, S.H., M.H., Pratika Meliani, S.H., M.H., Dr.
Adelia Martha Rahayu, S.H., M.H., Fitri Sumarni, S.H., M.H., Alferta Juliardo,
S.H., M.H., Alpionita Widi Yanti, S.H., M.Hum masing-masing sebagai Anggota,
pada hari Senin, Sembilan Desember tahun Dua ribu Sembilan belas dan
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari Senin tanggal Dua Desember tahun Dua ribu Sembilan belas oleh sembilan
Hakim Konstitusi dengan didampingi Rahmeni Suharti S.H sebagai Panitera
Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Ahli pemohon dan kuasanya, utusan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Pemerintah beserta ahli pemerintah.

KETUA

ttd.

Prof. Dr. Tahara Pangestu, S.H.M.H

ANGGOTA-ANGGOTA

Dr. Agustinus Silitonga, S.H, M.H. Dr. Hikma Juwita, S.H., M.H.,

Elfina Tita Ekania, S.H., M.H Pratika Meliani, S.H.,


M.H.,

Dr. Adelia Martha Rahayu, S.H., M.H., Fitri Sumarni, S.H., M.H.,

Alferta Juliardo, S.H., M.H., Alpionita Widi Yanti, S.H., M.Hum


39

4. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINIONS)


Terhadap putusan Mahkamahyang mengabulkan permohonan para Pemohon
tersebut di atas, dua orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda
(dissenting opinions), yaitu: Hakim Konstitusi Tahara Pangestu sebagai
berikut:
[9.1] Hakim Konstitusi Prof. Dr. Tahara Pangestu S.H, M.H.
Hakim Prof. Dr. Tahara Pangestu, S.H., M.H.berpendapat bahwa
permohonan Pemohon seharusnya ditolak dengan alasan berikut
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
sehingga dalam menyelenggarakan peradilan Mahkamah tidak hanya
menenggakkan hukum sebagai wujud dari kepastian hukum namun juga
meneggakkan keadilan.
Didalam praktek pelaksanaan kewenangan Mahkamah telah
memiliki paradigma dan memaknai kewenangannya dalam memutus
perselisihan hasil pemilihan umum. Pemaknaan tersebut kaitannya dengan
penyelesaian perselisihan hasil pemilihan Umum bahwa Mahkamah tidak
hanya terbatas pada memutus perbedaan hasil perhitungan suara semata-
mata (aspek kuantitatif). Tetapi juga termasuk memutuskan pelanggaran
dalam proses pemilihan umum yang berpengaruh pada perolehan suara
(aspek kualitatif). Penyelenggaraan tersebut mencakup pelanggaran
administrasi persyaratan peserta pemilihan umum yang berakibat
pembatalan peserta pemilihan umum, serta pelanggaran administrasi dan
pidana pemilihan umum yang dilakukan sedemikian rupa oleh
penyelenggara pemilu dan / atau bersama-sama serta pemilihan umum
secara terstruktur, sistematis dan massif yang berpengaruh signifikan
terhadap hasil pemilihan umum sebagai bentuk perwujudan Mahkamah
sebagai The Guardian of Constitution and The Guardian of Democracy.
Pelanggaran-pelanggaran dalam pilkada sesungguhnya adalah
pelanggaran terhadap hak-hak politik warga Negara sebagaimana dijamin
dalam UUD 1945. Dalam kaitan dengan fungsi Mhkamah sebagai pengawal
hak-hak konstitusional warga Negara maka sudah seharusnya Mahkamah
melakukan koreksi terhadap proses pilkada bukan hanya sebagai lembaga
kalkulator yang sebatas melakukan perhitungan terhadap ambang batas
suara yang diatur dalam Pasal a quo. Sehingga sudah seharusnya untuk
menjalankan fungsi Mahmakah Konsitusi dalam menegakkan keadilan,
maka Permohonan terhadap Pasal a quo seharusnya diterima oleh
Mahkamah Konstitusi.

[9.1.2] Kesimpulan
Dalam mengadili perkara dengan mandat konstitusi, Mahkamah
Konstitusi tidak hanya terpaku kepada bunyi undang-undang yangv
terkadang justru bertentangan dan mengabaikan keadilan. Sehingga
Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan substantif agar dapat
mengakomodir seluruh hak konstitusional warga Negara Indonesia karena
Hakim tidak hanya menjadi corong undang-undang namun lebih esensi lagi
Hakim berfungsi untuk menegakkan keadilan.
40

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, saya


berpendapat bahwa permohonan Para Pemohon aquo seharusnya dinyatakan
diterima
PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Rahmeni Suharti S.H

Anda mungkin juga menyukai