NOMOR 10/PUU-IX/2019
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,
2. DUDUK PERKARA
3.DASAR PERMOHONAN
Pengujian Materiil
Pasal 158 ayat huruf d(1) Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undangberbunyi:
(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan suara dengan ketentuan:
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000
(dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan
suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah
hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh
8
KPU Provinsi.
A. PASALAQUOBERTENTANGANDENGANPASAL24AYAT
(1) UUDNRI TAHUN1945.
1. Bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
2. Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki
kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan tidak
hanya menenggakkan hukum sebagai wujud dari kepastian
hukum namun juga meneggakkan keadilan.
3. Bahwa menurut Mafud MD saat konstitusi diamandemen,
prinsip kepastian hukum yang adil ditekankan dalam UUD NRI
Tahun 1945, karena di masa lalu, upaya menegakkan hukum
sering dijadikan alat untuk mengalahkan pencari keadilan. Atas
nama kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan
dengan dalil yang ada dalam undang-undang; padahal banyak
undang-undang yang berwatak konservatif, elitis, dan
positivistik-instrumentalistik. Para hakim didorong untuk
menggali rasa keadilan substanstif (substantive justice) di
masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang
(procedural justice).
4. Bahwa menurut Bagir Manan, hakim bukanlah mulut undang-
undang, melainkan hakim adalah mulut kepatutan, kepentingan
umum, dan ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum
akan bertentangan dengan kepatutan, kepentingan umum, atau
ketertiban umum, hakim wajib memilih kepatutan, keadilan,
kepentingan umum, dan ketertiban umum.
5. Bahwa sebagai lembaga peradilan konstitusi, Mahkamah tidak
boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural memasung
dan mengesampingkan keadilan substantif.
9
4. PETITUM
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana yang diuraikan pada
Bagian I-III, maka Pemohon memohon kepada Hakim Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk dapat memberikan putusannya
sebagai berikut:
Selain itu, para Pemohon mengajukan ahli yang telah didengar keterangannya
dalam persidangan Mahkamah, yang menerangkan sebagai berikut :
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi diatas, pemerintah
memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia
yang memeriksa,mengadili dan memutus permohonan pengujian Pasal 158
Ayat (1) huruf d Undang- Undang no 10 tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
21
Konstitusi sehingga apabila pemohon merasa suara yang diterima merupakan hasil
kecurangan Paslon lain maka Pemohon dapat mengkajinya di luar lembaga
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan substansi yang terdapat di dalam UU a quo.
2. Tujuan dan Pemaknaan Ambang Batas Pengajuan Sengketa
Pemilukada di Mahkamah Konstitusi
Ambang batas yang telah ditetapkan oleh Pembuat Undang-Undang
memiliki tujuan yang baik yang telag disusun dan dipertimbangkan mulai dari
landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Mahkamah Konstitusi pun telah
menegaskannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XII/2015
bertanggal 9 Juli 2015 yang menyatakan bahwa tidak semua pembatasan serta
merta berarti bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang pembatasan
tersebut untuk menjamin pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, maka pembatasan
demikian dapat dibenarkan menurut konstitusi. Menurut Mahkamah Konstitusi,
Pembatasan bagi peserta pemilu untuk mengajukan pembatasan penetapan hasil
perhitungan suara dalam Pasal 158 merupakan kebijakan hukum terbuka
Pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya sebab pembatasan demikian
logis dan dapat diterima secara hukum untuk mengukur signifikasi perolehan
suara calon.
Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya ambang batas pengajuan
sengketa pilakda yakni yang pertama, untuk memangkas jumlah kasus sengketa
pilkada yang ditangani oleh MK. Mengingat sejak ditanganinya perkara
perselisihan hasil pilkada oleh MK pada tahun 2008, dengan melihat volume
jumlah perkara yang ada, MK cenderung akhirnya menjadi Mahkamah Sengketa
Pemilu (Election Court) karena jumlah sengketa Pilkada yang ditangani lebih
banyak volumenya dibandingan dengan pengujian UU (judicial review) yang
merupakan kewenangan utama MK. Hal ini pun juga menciderai nilai-nilai
konstitusionalisme serta berpotensi mengganggu tugas pokok MK sebagai
pengawal konstitusi.
Awalnya Mahkamah Konstitusi hanya cukup menangani sengketa Pemilu,
semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap penyelesaian perselisihan tentang
hasil pemilihan umum tersebut, saat ini Mahkamah Konstitusi jadi disibukkan
oleh penanganan penyelesaian PHPU secara rutin terus menerus. Implikasi dari
pengalihan kewenangan itulah yang kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi
berbagi fokus antara wewenangan yang diberikan UUD NRI Tahun 1945,
terutama pengujian Undang-Undang dengan ketatnya batas waktu penyelesaian
sengketa Pilkada yakni paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Register Perkara Mahkamah Konstitusi. Hal ini
pun tidak hanya berpengaruh terhadap jumlah perkara Mahkamah Konstitusi, juga
dapat berpengaruh terhadap kualitas putusan MK terhadap sengketa tersebut.
Karena alasan-alasan tersebut, maka sangat diperlukannya pembatasan pengajuan
permohonan sengketa pilkada sebagaimana yang telah ditentukan di dalam pasal a
quo.
Kedua, untuk mencegah Mahkamah Konstitusi tidak terperosok ke dalam
kasus suap perkara Pilkada. Banyaknya gugatan yang masuk ke Mahkamah
Konstitusi akibat pelanggaran pilkada yang tidak serentak maupun serentak
membuat Mahkamah Konstitusi tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa
24
kasus sengketa Pemilukada dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu
untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di
Mahkamah Konstitusi. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2013, salah satu hakim
konstitusi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait
penerimaan suap perkara pilkada. Maka untuk mencegah hal tersebut kembali
terjadi, ambang batas yang diatur dalam pasal a quo perlu untuk dipertahankan
agar semakin sedikit kemungkinan terjadinya praktik suap di Mahkamah
Konstitusi.
Ketiga, pembatasan yang dilakukan Pasal a quo bertujuan mendorong etika
dan sekaligus budaya politik yang makin dewasa dalam proses Pilkada. Hal ini
selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XIII/2015
menyatakan bahwa rasionalitas Pasal 158 sesungguhnya merupakan bagian upaya
pembentuk Undang-Undang mendorong terbangunnya etika dan sekaligus budaya
politik yang makin dewasa, yaitu dengan cara membuat perumusan norma
Undang-Undang di mana seseorang yang turut serta dalam kontestasi pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak serta merta menggugat suatu hasil
pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dengan perhitungan yang sulit diterima oleh
penalaran yang wajar. Sehingga pasangan calon dengan selisih perolehan suara
yang sangat lebar memiliki kesadaran etika dan berbudaya politik tidak
melakukan pengajuan sengketa Pemilukada ke Mahkamah Konstitusi.
Sehingga dapat kita lihat bersama banyak sekali pertimbangan-pertimbangan
serta keuntungan dari adanya pembatasan yang diatur dalam pasal a quo. Oleh
karenanya menurut pendapat ahli, pasal a quo bersifat konstitusional serta
Mahkamah Konstitusi tetap menegakkan keadilan di samping menegakkan hukum
namun penegakan dilakukan sesuai dengan kewenangan asli yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi.
Demikian keterangan ahli ini, semoga dapat menjadi pertimbangan majelis
dalam memutus perkara a quo saya sampaikan, terima kasih.
[5.3] PENJELASAN DPR-RI ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 158
UU PILKADA
1. Pendapat DPR-RI
b. Pasal-Pasal Inkonstitusional
Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan uji
materiil terhadap ketentuan pasal 158 ayat (1) huruf D Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang 2016 tentang perubahan
kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan
peraturan pemerintah penganti undang-undang nomor 1 tahun 2014
tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-
Undang nomor 10 tahun 2016. DPR-RI sebagai pelaku
pembentukan undang-undang akan menyampaikan maksud asli
(originalmeaning) dari masing-masing pasal yang dipermasalahkan
oleh Pemohon tersebut sebagai berikut:
c. Batu Uji
Untuk menguatkan pendapatnya, Pemohon menyandingkan
keberadaan pasal yang bermasalah di atas dengan ketentuan
UUD 1945. Pemohon berpendapat beberapa Pasal yang
bermasalah di UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang 2016 tentang
perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015
30
1. PERTIMBANGAN HUKUM
[6.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan dari Pemohon adalah
menguji konstitusionalitas Pasal 158 Ayat (1) huruf dUndang - Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi
Undang-Undang terhadap Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 24 C ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Kewenangan Mahkamah
[6.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226), (selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29
32
Pendapat Mahkamah
Pokok Permohonan
[6.11]Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan,
“Mahkamahkonstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang
berkenaandengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
PermusyawaratanRakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden”.
Karena pasal tersebut menggunakan kata “dapat” maka Mahkamah tidak harus
mendengarkan keterangan DPR, DPD, dan/atau Presiden dalam melakukan
pengujian atas suatu Undang-Undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat
meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan
dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden,
tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum
dalam permohonan aquo sudah jelas, Mahkamah memandang tidak ada urgensi
dan relevansi untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis
Permusyawaratan Rakyat,Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan aquo;
2. KONKLUSI
3. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan Pemohon seluruhnya.
Menyatakan Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Wali Kota menjadi Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945.
Menyatakan Pasal 158 Ayat (1) huruf d Undang - Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Wali Kota menjadi Undang-Undang mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya selambat – lambatnya 30 hari kerja sejak
putusan diucapkan.
S.H., M.H., Elfina Tita Ekania, S.H., M.H., Pratika Meliani, S.H., M.H., Dr.
Adelia Martha Rahayu, S.H., M.H., Fitri Sumarni, S.H., M.H., Alferta Juliardo,
S.H., M.H., Alpionita Widi Yanti, S.H., M.Hum masing-masing sebagai Anggota,
pada hari Senin, Sembilan Desember tahun Dua ribu Sembilan belas dan
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada
hari Senin tanggal Dua Desember tahun Dua ribu Sembilan belas oleh sembilan
Hakim Konstitusi dengan didampingi Rahmeni Suharti S.H sebagai Panitera
Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Ahli pemohon dan kuasanya, utusan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Pemerintah beserta ahli pemerintah.
KETUA
ttd.
ANGGOTA-ANGGOTA
Dr. Agustinus Silitonga, S.H, M.H. Dr. Hikma Juwita, S.H., M.H.,
Dr. Adelia Martha Rahayu, S.H., M.H., Fitri Sumarni, S.H., M.H.,
[9.1.2] Kesimpulan
Dalam mengadili perkara dengan mandat konstitusi, Mahkamah
Konstitusi tidak hanya terpaku kepada bunyi undang-undang yangv
terkadang justru bertentangan dan mengabaikan keadilan. Sehingga
Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan substantif agar dapat
mengakomodir seluruh hak konstitusional warga Negara Indonesia karena
Hakim tidak hanya menjadi corong undang-undang namun lebih esensi lagi
Hakim berfungsi untuk menegakkan keadilan.
40
ttd.