Nomor 66/PUU-VIII/2018
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi dalam tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan
Pengujian Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang diajukan oleh:
1. Nama : Dr. Valentino Dirgantara, S.I.Kom., M.I.Kom.
Pekerjaan : Swasta
Warga Negara : Indonesia
Alamat : SAPTAMARGA III, RT 4/RW 1, Kelurahan Jangli,
Kecamatan Tembalang, Kota Semarang
2. Nama : Muhammad Mualip Al Muhajirin, S.Ds.
Pekerjaan : Swasta
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Perum Bank Niaga 666 Ngaliyan, Semarang,
Jawa
Tengah
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal ......................., memberi kuasa kepada
Dr. Franscollyn Mandalika, S.H., M.H. adalah advokat/kuasa hukum pada Ibrahim
Law Firm yang beralamat di Jl. Duren Mentah Nomor 69 E, Semarang, Kode Pos
50275, yang bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------------- Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1]
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Ide tentang adanya gagasan mengenai Pengujian Undang-Undang
telah ada sejak tahun 1945 pada saat Sidang BPUPKI. Namun belum
memungkinkan terbentuk karena beberapa alasan yang logis. Ide tersebut
baru dapat diwujudkan setelah reformasi dimana diharuskan adanya
reformasi terhadap Perundang-undangan di Indonesia melalui suatu lembaga
yang memiliki wewenang terhadap konstitusional. Ide tersebut
melatarbelakangi terbentuknya lembaga peradilan dengan wewenang khusus
untuk melakukan Pengujian Undang-Undang yang disebut Mahkmah
Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi,
yaitu dari sisi politik dan sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan,
keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan
Pembentukan Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden agar
Undang-Undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di
DPR dan Presiden. Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah
salah salah satu konsekuensi perubahan dari Supremasi MPR menjadi
Supremasi Konstitusi.
Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang (constitutional judicial
review) dilakukan untuk menguji secara konstitusional suatu Undang-Undang
dan menguji sejauh mana Undang-Undang yang bersangkutan bersesuaian
atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Artinya, Pengujian
Konstitusional Undang-Undang menempatkan Undang-Undang sebagai objek
peradilan, yang jika Undang-Undang itu terbukti bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada sebagaian materi
ataupun keseluruhan Undang-Undang itu, maka dapat dinyatakan tidak lagi
berlaku untuk umum.
Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) (Vide Bukti P-4)
mengatur tentang uji materiil dengan mana materi muatan ayat. pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangn dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD NRI 1945) dapat diminta untuk dinyatakan sebagai tidak
mempunyai kekuatan secara hukum. Yang diuji boleh juga hanya ayat, pasal
tertentu atau bagian Undang-Undang saja dengan konsekuensi hanya bagian,
ayat, dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan dengan konstitusi
dan karenanya dimohon tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum
hanya sepanjang mengenai ayat, pasal, dan bagian tertentu dari Undang-
Undang yang bersangkutan.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal
konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana berdasarkan Pasal 24
ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK (Lembaga
Negara Republik Indonesia Nomor 4316), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaga
Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), Serta Pasal 29 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya
disebut UU Nomor 48 Tahun 2009), Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), maka salah satu
kewenangan Konstitusional Mahkamah adalah Mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 24
C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “ Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan pemilihan umum.”
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menjelaskan tentang
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 29 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menjelaskan tentang Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah untuk menguji dan
memutus permohonan pemohon, antara lain tertuang dalam :
1. Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Selaras dengan pernyataan tersebut salah satu
prinsip negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka,
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah
membentuk sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal
konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”,
sebagaimana tertuang dalam pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266).
3. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “ Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang dibawahnya dan oleh sebuah mahkamah konstitusi .”
4. Bahwa dalam Pasal 24c ayat (1) UUD NRI 1945: “ Mahkamah konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Pasal undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenagan negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus
pembunaran Partai Politik, dan memutus perselisian tentang hasil
pemilihan umum.”
5. Bahwa dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24.
Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi: “ Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945;
3. Memutus pembubaran Partai Politik;
4. Memutus perselisian tentang hasil pemilihan umum .”
6. Bahwa dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a) menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945;
b) Memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang keweangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Repuublik Indonesia
Tahun 1945;
c) Memutus pembubaran partai politik;
d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e) Kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-Undang.”
7. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas merupakan Undang-Undang yang termasuk dalam arti formil
(wet ini formele zin) dilihat dari bentuk dan pembentukannya yang telah
di Undangkan dalam Lemabaran Negara Tahun 2016 Nomor 69 dan
penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871 oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoili pada tanggal 15 April 2016
Jakarta.
8. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas merupakan Undang-Undang dalam arti Materil (wet ini
materiele sin) dilihat dari isi materi dan substansinya yang bersifat
abstrak sebagai perwujudan yang lebih lanjut mengenai kentuan Pasal 28
J UUD NRI 1945
9. Bahwa dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”
10. Bahwa telah dibuktikan secara formil dan materiil Undang-Undang Nomer
8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dapat dan berhak diajukan
pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi apabila bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
11. Bahwa Mahkamah berwenang pula memberi penafsiran
konstitusional terhadap suatu ketentuan Undang-Undang, sebagaimana
dinyatakan oleh Jimly Asshiddiqie “Kebutuhan akan penafsiran tersebut
timbul karena konstitusi tidak memuat semua ketentuan normatif yang
diperlukan dalam rangka penataan kehidupan bernegara. Untuk
melakukan penafsiran konstitusi diperlukan metode dan teknik tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga
upaya menegakkan konstitusi sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman yang ada dan tidak bertentangan dengan semangat rumusan
konstitusi yang lazim digunakan dalam rumusan normatif.”
12. Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, Mahkamah
berwenang untuk melakukan pengujian konstitusional suatu Peraturan
Perundang-Undangan terhadap Undang Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, disamping memberikan penafsiran konstitusional.
13. Berdasarkan penjabaran terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
menguji dan mengutus permohonan diatas dengan ini PEMOHON
memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap
Pasal 11 huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas terhadap Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945.
V. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan yang sudah berdasarkan
hukum dan didukung oleh alat-alat bukti, Pemohon memohon kiranya Yang
Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan
sebagai berikut :
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk menambahkan dan
memperjelas frasa kata “disabilitas” pada Pasal 11 huruf d
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas yang menyatakan, “Tidak diberhentikan karena alasan
disabilitas”.
3. Sebagaimana dalam Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas menyatakan, “ Tidak
diberhentikan karena alasan disabilitas” bertentangan dengan
Pasal 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja” dan Pasal 28J ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
4. Mengharapkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi
Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau,
Secara etimologi, bipolar adalah suatu penyakit mental yang terdapat dalam
penyakit psikologis, yang juga disebut dengan “Manic –Depressive” yang artinya
antara kebahagiaan atau perasaan gembira yang terjadi secara berlebihan dan
perasaan depresi atau frustasi yang terjadi secara tidak wajar dan tidak
terkendalikan baik oleh penderitanya maupun orang lain dan keluarganya. Pada
siklus yang tidak menentu inilah bipolar berkembang dan terus berkembang yang
diikuti oleh episode – episode mania dan depresi (Safari & Saputra, 2009).
Gangguan afektif bipolar bisa bermacam jenis, tergantung dari tingkat mania dan
depresi. Jenis utama meliputi:
1 Bipolar I disorder: Melibatkan satu atau lebih perubahan suasana hati
berlanjut setidaknya satu minggu, terkadang menyebabkan mania berat,
bahkan halusinasi atau delusi.
Tidak ada cara untuk mencegah penyakit ini. Gejalanya dapat dirasakan, yaitu
adanya perubahaan mood yang mempengaruhi kehidupan. Secara umum, ketika
dihadapkan pada stres kerja atau hidup, orang harus mencari cara dan saluran
untuk memudahkannya; jaga gaya hidup yang benar, dan lakukan lebih banyak
latihan, yang bisa menurunkan kemungkinan terkena penyakit ini. Namun apabila
stres tersebut tidak dapat disalurkan dengan cara yang benar, tumpukan rasa stres
tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya bipolar disorder. Maka akan sering
mengalami imajinasi dan halusinasi yang berkelanjutan secara terus menerus.
Pengobatan gangguan bipolar merupakan tantangan yang sulit dikarenakan penyakit
ini bersifat berulang, episodik dan heterogen (Bauer, et al., 2013). gangguan bipolar
I, dibutuhkan setidaknya satu episode mania yang berlangsung minimal selama satu
minggu (American Psychiatric Association, 2013).
2. Peningkatan energi.
6. Agitasi psikomotor.
7. Memiliki penilaian yang buruk dan mengambil keputusan secara impulsif yang
mengarah pada perilaku berbahaya (Miklowitz and Gitlin, 2014).
Hipomania merupakan episode mania yang lebih ringan dengan gejala yang sama
namun terjadi dalam waktu yang lebih singkat, biasanya 4 hari dan biasanya tidak
disadari karena tidak berbeda secara signifikan dengan kebiasaan normal (Miklowitz
and Gitlin, 2014).
Episode depresi pada gangguan bipolar memiliki kriteria diagnosis dan karakterisasi
yang sama dengan gejala depresi nonbipolar. Gejala – gejala yang muncul
diantaranya:
3. Kelelahan.
6. Penurunan konsentrasi.
7. Memiliki pemikiran tidak wajar seperti keinginan bunuh diri (Miklowitz and
Gitlin, 2014).
Gangguan afektif bipolar bisa bermacam jenis, tergantung dari tingkat mania
dan depresi. Jenis utama meliputi:
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5057, selanjutnya disebut
UU