Anda di halaman 1dari 34

PUTUSAN

Nomor 66/PUU-VIII/2018
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi dalam tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan
Pengujian Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang diajukan oleh:
1. Nama : Dr. Valentino Dirgantara, S.I.Kom., M.I.Kom.
Pekerjaan : Swasta
Warga Negara : Indonesia
Alamat : SAPTAMARGA III, RT 4/RW 1, Kelurahan Jangli,
Kecamatan Tembalang, Kota Semarang
2. Nama : Muhammad Mualip Al Muhajirin, S.Ds.
Pekerjaan : Swasta
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Perum Bank Niaga 666 Ngaliyan, Semarang,
Jawa
Tengah
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal ......................., memberi kuasa kepada
Dr. Franscollyn Mandalika, S.H., M.H. adalah advokat/kuasa hukum pada Ibrahim
Law Firm yang beralamat di Jl. Duren Mentah Nomor 69 E, Semarang, Kode Pos
50275, yang bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------------- Pemohon;

[1.2] Membaca permohonan Pemohon;


Mendengarkan keterangan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemerintah dan DPR;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Mendengar keterangan para Ahli Pemohon;
Mendengar keterangan para Ahli DPR;

2. DUDUK PERKARA
[2.1]
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Ide tentang adanya gagasan mengenai Pengujian Undang-Undang
telah ada sejak tahun 1945 pada saat Sidang BPUPKI. Namun belum
memungkinkan terbentuk karena beberapa alasan yang logis. Ide tersebut
baru dapat diwujudkan setelah reformasi dimana diharuskan adanya
reformasi terhadap Perundang-undangan di Indonesia melalui suatu lembaga
yang memiliki wewenang terhadap konstitusional. Ide tersebut
melatarbelakangi terbentuknya lembaga peradilan dengan wewenang khusus
untuk melakukan Pengujian Undang-Undang yang disebut Mahkmah
Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi,
yaitu dari sisi politik dan sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan,
keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan
Pembentukan Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden agar
Undang-Undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di
DPR dan Presiden. Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah
salah salah satu konsekuensi perubahan dari Supremasi MPR menjadi
Supremasi Konstitusi.
Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang (constitutional judicial
review) dilakukan untuk menguji secara konstitusional suatu Undang-Undang
dan menguji sejauh mana Undang-Undang yang bersangkutan bersesuaian
atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Artinya, Pengujian
Konstitusional Undang-Undang menempatkan Undang-Undang sebagai objek
peradilan, yang jika Undang-Undang itu terbukti bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada sebagaian materi
ataupun keseluruhan Undang-Undang itu, maka dapat dinyatakan tidak lagi
berlaku untuk umum.
Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) (Vide Bukti P-4)
mengatur tentang uji materiil dengan mana materi muatan ayat. pasal,
dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangn dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD NRI 1945) dapat diminta untuk dinyatakan sebagai tidak
mempunyai kekuatan secara hukum. Yang diuji boleh juga hanya ayat, pasal
tertentu atau bagian Undang-Undang saja dengan konsekuensi hanya bagian,
ayat, dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan dengan konstitusi
dan karenanya dimohon tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum
hanya sepanjang mengenai ayat, pasal, dan bagian tertentu dari Undang-
Undang yang bersangkutan.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
telah menciptakan sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal
konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana berdasarkan Pasal 24
ayat (1) UUD NRI 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK (Lembaga
Negara Republik Indonesia Nomor 4316), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaga
Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), Serta Pasal 29 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya
disebut UU Nomor 48 Tahun 2009), Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234), maka salah satu
kewenangan Konstitusional Mahkamah adalah Mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 24
C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “ Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan pemilihan umum.”
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menjelaskan tentang
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 29 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menjelaskan tentang Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah untuk menguji dan
memutus permohonan pemohon, antara lain tertuang dalam :
1. Dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Selaras dengan pernyataan tersebut salah satu
prinsip negara hukum adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka,
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah
membentuk sebuah lembaga baru yang berfungsi untuk mengawal
konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut “MK”,
sebagaimana tertuang dalam pasal 7B, Pasal 24 Ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 24C UUD NRI 1945, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5266).
3. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “ Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang dibawahnya dan oleh sebuah mahkamah konstitusi .”
4. Bahwa dalam Pasal 24c ayat (1) UUD NRI 1945: “ Mahkamah konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Pasal undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenagan negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus
pembunaran Partai Politik, dan memutus perselisian tentang hasil
pemilihan umum.”
5. Bahwa dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24.
Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi: “ Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945;
3. Memutus pembubaran Partai Politik;
4. Memutus perselisian tentang hasil pemilihan umum .”
6. Bahwa dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a) menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945;
b) Memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang keweangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Repuublik Indonesia
Tahun 1945;
c) Memutus pembubaran partai politik;
d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
e) Kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-Undang.”
7. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas merupakan Undang-Undang yang termasuk dalam arti formil
(wet ini formele zin) dilihat dari bentuk dan pembentukannya yang telah
di Undangkan dalam Lemabaran Negara Tahun 2016 Nomor 69 dan
penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871 oleh Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoili pada tanggal 15 April 2016
Jakarta.
8. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas merupakan Undang-Undang dalam arti Materil (wet ini
materiele sin) dilihat dari isi materi dan substansinya yang bersifat
abstrak sebagai perwujudan yang lebih lanjut mengenai kentuan Pasal 28
J UUD NRI 1945
9. Bahwa dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa
“Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.”
10. Bahwa telah dibuktikan secara formil dan materiil Undang-Undang Nomer
8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dapat dan berhak diajukan
pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi apabila bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
11. Bahwa Mahkamah berwenang pula memberi penafsiran
konstitusional terhadap suatu ketentuan Undang-Undang, sebagaimana
dinyatakan oleh Jimly Asshiddiqie “Kebutuhan akan penafsiran tersebut
timbul karena konstitusi tidak memuat semua ketentuan normatif yang
diperlukan dalam rangka penataan kehidupan bernegara. Untuk
melakukan penafsiran konstitusi diperlukan metode dan teknik tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga
upaya menegakkan konstitusi sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman yang ada dan tidak bertentangan dengan semangat rumusan
konstitusi yang lazim digunakan dalam rumusan normatif.”
12. Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, Mahkamah
berwenang untuk melakukan pengujian konstitusional suatu Peraturan
Perundang-Undangan terhadap Undang Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, disamping memberikan penafsiran konstitusional.
13. Berdasarkan penjabaran terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
menguji dan mengutus permohonan diatas dengan ini PEMOHON
memohon agar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap
Pasal 11 huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas terhadap Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


Mengenai legal standing atau disebut juga dengan kedudukan hukum,
Harjono (Vide Bukti-P5) menjelaskan bahwa legal standing adalah
keadaaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat
dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara didepan mahkamah
konstitusi.
Standing atau personae standi judicion adalah hal atau kedudukan
hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan didepan pengadilan
atau (standing to sue). Doktrin yang dikenal di Amerika tentang standing to
sue diartikan bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup
dalam suatu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan
pengadilan atas perselisihan kasus tersebut. Standing adalah satu konsep
yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara
cukup sehingga satu perselisihan diajukan kedepan pengadilan. Ini adalah
satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar
memperoleh putusan akhir dari pengadilan.
Ketika mengkomparasikanya dengan India, dapat dibedakan dalam 3
(tiga) bentuk, yakni: 1. Privat atau citizen prosecution (Pasal 19 EPA), kurang
lebih seperti di Amerika Serikat berupa hak bertindak sebagai penuntut umum
dalam pelanggaran pidana lingkungan; 2. Citizen standing, yakni hak gugat
warga yang menuntut mengenai hal dilanggarnya prinsip-prinsip konstitusi
atau ketentuan peraturan, atau bisa juga dalam hal mengatasnamakan
sebagai pembayar pajak tetapi hak-haknya sendiri tidak diperhatikan; 3.
Representative standing, yakni hak warga atau sekelompok anggota
masyarakat memperjuangkan masyarakat bawahan, jelata atau menuntut
supaya adanya pelaksanaan hak-hak sesuai hukum dilaksanakan bagi pihak-
pihak yang diperjuangkannya.
Adapun yang menjadi dasar pijakan serta kedudukan hukum pemohon
sebagai pihak yang berkepentingan terhadap permohonan a quo, dilandasi:
1. Pasal 51 ayat (1) butir (a) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi: “Pemohon adalah pihak yang menganggap
dan/atau hak konstitualnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,
yaitu : a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia yang diatur
dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat atau lembaga
negara.”
2. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi : “Yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NKRI 1945 ” dan
“yang dimaksud dengan perorangan termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama.”
3. Bahwa pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
4. Bahwa selain ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi diatur pula syarat dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/MK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam pengujian undang-
undang tentang kedudukan hukum diatur sebagai, “ Pemohon dalam
pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 adalah :
a) Perorangan warga negara indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama
b) Kesesuaian masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
republik indonesia yang diatur dalam undang-undang
c) Badan hukum publik atau hukum privat
d) Lembaga negara.”
5. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Agung dalam
yurisprudensinya memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
kosntitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus
memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan perkara nomor 011/PUU-V/2007, sebagai berikut:
a) Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh konstitusi dalam Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 1945 yang
berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negara.”;
b) Bahwa hak dan/atau kewengangan konstitusional pemohon tersebut
dianggap oleh para pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-
undang yang diuji yaitu dalam Pasal 11 huruf d Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi
“tidak dapat diberhentikan karena alasan disabilitas ”;
c) Bahwa kerugian hak dan/atau kewengangan konstitusional pemohon
yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi yaitu berupa penurunan rating yang juga menyebabkan
penurunan pendapatan perusahaan.
d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian bahwa
terdapat penafsiran yang luas serta tidak ada pembatasan di dalam
frasa “tidak dapat diberhentikan karena alasan disabilitas ” yang
didalam Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas sehingga hal ini menimbulkan
permasalahan manakala dalam hubungan kerja harus terdapat
kesetaraan hak, sehingga berkalunya Undang-Undang a quo
menimbulkan diskriminasi terhadap salah satu pihak;
e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang diadilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi dengan penjelasan frasa pada Undang-
Undang a quo maka dalam hal ini akan memberikan jaminan
kesetaraan dan keadilan dalam sebuah hubungan kerja yang dijamin
dalam Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
6. Pemohon I adalah badan hukum berkedudukan di Indonesia yang
dibuktikan melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia dengan Nomor AHU-0050626.AH.01.07.TAHUN 2015
tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum PT TRASNSMEDIA (Vide
Bukti-P6) sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
tersebut diatas.
7. Bahwa Pemohon I berprofesi sebagai Direktur di perusahaan tersebut di
atas yang dibuktikan dalam pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar PT
Transmedia (Vide Bukti-P7) yang berbunyi “Direksi berhak mewakili
Perseroan di dalam dan di luar Pengadilan tentang segala hal dan dalam
segala kejadian, mengikat Perseroan dengan pihak lain dan pihak lain
dengan Perseroan, serta menjalankan segala tindakan, baik yang
mengenai kepengurusan maupun kepemilikan......”
8. Pemohon II adalah perorangan warna negara indonesia yang dibuktikan
oleh kartu tanda penduduk (Vide Bukti-P8) sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan yang berbunyi “ kartu tanda penduduk
elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah kartu tanda penduduk
yang dilengkapi chip yang merupakan identitias resmi penduduk sebagai
bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana.”
9. Bahwa Pemohon II berprofesi sebagai Karyawan di perusahaan tersebut
diatas yang berkedudukan dalam divisi editor (Vide Bukti-P9).
10. Merasa objek permohonan “sudah jelas” tanpa menyadari bahaya laten
dibalik “celah” ruang interpretasi yang dibuka oleh objek pemohon, yakni
penafsiran secara sempit dan secara luas, pemohon memberikan opini
hukum bahwasanya pekerja disabilitas yang dinyatakan demi hukum
sebagai pekerja tetap, berdasarkan pasal 11 poin d Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang menyatakan
bahwa penyandang disabilitas tidak dapat diberhentikan karena alasan
disabilitasnya kurang jelas menjelaskan deskripsi disabilitas.
11. Dengan adanya ketentuan pada Pasal 11 huruf d undang-undang Nomor 8
Tahun 2016 secara tidak langsung bersinggungan dengan Pasal 28 D ayat
(2) UUD NRI 1945 yang menyatakan dengan tegas mengharuskan adanya
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sehingga
mengakibatkan adanya kerugian baik materiil maupun immateriil, kerugian
materiil berupa berkurangnya pendapatan perusahaan yang dimohonkan,
dan kerugian imateriil berupa adanya penurunan rating sinetron yang
pada saat tersebut sedang dikerjakan.
12. Di dalam Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabalitas tidak ditemukan adanya kejelasan frasa terhadap
jenis-jenis penyandang disabilitas, sehingga perusahaan berada diambang
ketidakpastian apakah disabilitas sebagai pihak terkait termasuk didalam
penyandang disabiltas atau tidak termasuk didalamnya.
13. Yang dimohonkan menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketidakjelasan frasa pada
Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas.
14. Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya ketidakjelasan frasa
tersebut menimbulkan kerugian kepada perusahaan dimana perusahaan
menaungi banyak tenaga kerja dibawahnya.
Dengan demikian, pemohon memiliki keterkaitan kepentingan dengan
subjek hukum yang diatur dalam objek permohonan serta relevansi
kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian Undang-Undang dalam
perkara a quo.

III. ALASAN PERMOHONAN TENTANG PENGUJIAN PASAL 11 HURUF


D UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG
PENYANDANG DISABILITAS YANG KURANG JELAS TERHADAP
PASAL 28 D AYAT (2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA 1945
1. Bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia berdasarkan
konsep penegakan Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 Hak Asasi Manusia dan konsep HAM modern :
1) Martha Nussbaum (Vide Bukti-P10) memperkenalkan pendekatan
yang lebih manusiawi dalam memahami kualitas hidup ( quality of life),
yaitu pendekatan kapabilitas (capability approach). Melalui pendekatan ini,
ia memahami kualitas hidup pada sejauh mana seseorang memiliki
kemampuan untuk menjadi sesuatu atau melakukan sesuatu ( ability to
function) yang dianggap bernilai. Hal yang juga perlu dilihat dalam
pendekatan ini adalah keragaman kondisi setiap orang, keragaman kondisi
sosial-politik dan keragaman kondisi alam dan lingkungan. Nussbaum
mengatakan bahwa kondisi setiap orang tidak bisa digeneralisasi. Begitu
juga dengan kondisi sosial dan kondisi alam. Keragaman kondisi ini
berakibat pada perbedaan kapabilitas setiap orang dan setiap masyarakat.
2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Vide
Bukti-P11) menyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian maka sejatinya dalam penegakan Hak Asasi Manusia
perlu adanya batasan mengenai kemampuan setiap orang untuk melakukan
sesuatu yang dianggap bernilai, hal ini dikarenakan adanya keragaman
kondisi antara setiap orang yang tidak bisa digeneralisasi. Dalam konsep
penegakan Hak Asasi Manusia juga tidak dibenarkan terjadinya
pendegradasian terhadap Hak Asasi Manusia lainnya. Oleh karena itu,
sekalipun dalam melindungi hak asasi penyandang disabilitas juga harus tetap
memperhatikan hak orang lain yang berkaitan langsung terhadap
penegakannya. Dimana pemohon merasa dirugikan dengan adanya frasa
dalam pasal 11 Undang-undang disabilitas dikarenakan tidak adanya
kejelasan dan pembatasan terhadap orang disabilitas seperti apa yang harus
benar-benar dipertahankan dalam hubungan kerja, karena hal ini justru
menimbulkan kerugian secara langsung terhadap pemohon 1 dan pemohon 2
yang mana sama-sama dirugikan baik secara materiil maupun non materiil.
2. Bahwa telah terjadi pendegradasian terhadap karakteristik penegakan HAM
dan nilai-nilai yang terkandung dalam penegakan HAM. Pembahasan
karakteristik HAM penting agar pengertian-pengertian konsep dasar HAM
tidak hanya menjadi slogan atau rumusan teks, tetapi akan memudahkan
bagi siapapun untuk melaksanakannya, terutama dalam pelaksanaan
hubungan kerja yang dijamin oleh Pasal 27 dan 28 D UUD NRI 1945.
1) Universal, HAM bersifat universal karena hak asasi manusia itu melekat
pada diri manusia meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, budaya, dan kewarganegaraan yang berbeda-beda. HAM
dapat diterapkan ke dalam nilai-nilai apapun yang berkembang di dunia,
baik nilai agama dan budaya karena hak asasi manusia merupakan
kumpulan dari berbagai nilai tersebut. Sifat universal itu tercantum dengan
jelas pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB pasal 2 bahwa hak-
hak asasi itu dimiliki oleh semua orang tanpa membedakan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, aliran politik, asal usul nasional atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain. Paham HAM adalah
pernyataan paling dahsyat bahwa nilai semua orang sebagai manusia
adalah sama dan karena itu tidak ada golongan boleh diperbudak,
dikorbankan, dan didiskriminasi.
2) Tidak Dapat Dibagi, Sesuai dengan paham hukum kodrati bahwa setiap
individu diberikan oleh alam hak yang melekat pada dirinya sehingga hak
asasi manusia tidak dapat dibagi atau dialihkan kepada siapapun. Dengan
demikian tidak seorang manusia pun dapat mengambil dan mengalihkan
hak asasi seseorang kepada orang lain karena setiap orang memiliki hak
yang sama sehingga hak yang dimilikinya tidak perlu dibagi atau dialihkan
kepada orang lain.
3) Keberkaitan dan Ketergantungan, Hak asasi manusia harus
diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak dapat
dipisah-pisahkan karena hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya
saling berkaitan dan saling membutuhkan dan harus diterapkan secara adil
baik terhadap individu maupun kelompok. Karena terlanggarnya satu hak
akan menyebabkan terlanggarnya hak-hak yang lain.
4) Non-diskriminasi, HAM lahir dengan tujuan untuk menghapuskan segala
bentuk diskriminasi yang masih terjadi di berbagai tempat. Diskriminasi
adalah kesenjangan perbedaan perlakuan yang seharusnya sama atau
setara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi
langsung adalah ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung
diperlakukan dengan berbeda (less favourable) daripada lainnya.
Diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum atau dalam
praktik hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak
ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Yang dapat dijadikan alasan
diskriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan
akan suatu benda, kelahiran atau status lainnya, orientasi seksual, umur
dan cacat tubuh.
5) Setara, Hal yang sangat fundamental dari HAM kontemporer adalah ide
yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan
dalam hak asasi manusia. Manusia itu dilahirkan dalam kesetaraan atas
dasar itu. Hak asasi manusia diciptakan untuk menghapuskan hubungan-
hubungan yang tidak berimbang antara bangsa satu dengan bangsa yang
lainnya. Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara di mana
pada situasi sama harus diperlakukan dengan berbeda pula.
Dengan demikian telah terjadi pendegradasian terhadap nilai-nilai HAM
dimana harus adanya prinsip kesetaraan dan non diskriminasi. Karena
ketidakjelasaan yang terkandung didalam frasa “ tidak diberhentikan karena
alasan disabilitas” dalam pasal 11 (d) Undang-undang no 8 tahun 2016
tentang disabilitas yang justru hanya melindungi hak-hak dari kaum disabilitas
namun justru mengeliminasi hak-hak bagi kaum normal yang sejatinya harus
juga di lindungi. Dimana kerugian secara materiil diterima oleh pemohon 1
(direktur transmedia) dalam penurunan profit hasil produksi dikarenakan tidak
efektifnya kinerja dari tim editor, dimana didalam tim tersebut terdapat 1
orang yang kemudian tidak secara efektif dan kolektif melaksanakan tugasnya
dikarenakan adanya gangguan mental “bipolar” yang sering muncul pada saat
pelaksanaan proses produksi film sehingga menimbulkan masalah pada hasil
produksi dan keterlambatan dari waktu yang seharusnya. Kemudian dalam
penegakan HAM terhadap kaum disabilitas sejatinya berkaitan langsung
dengan penegakan HAM yang juga harus ditegakkan pada pemohon 2,
dimana dalam hal ini pemohon 2 yang sebagai rekan kerjanya merasakan
dampak langsung terhadap sifat bipolar dari rekan kerjanya, dimana
pemohon 2 justru seringkali dibebankan dengan tambahan pekerjaan yang
seharusnya bukan bagian dari pekerjaannya sehingga hal ini kemudian
bertentangan dengan pasal 28 d UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan
bahwa harus ada jaminan keadilan dan kelayakan dalam suatu hubungan
pekerjaan. Kemudian pemohon 2 merasakan bahwa sejatinya ketidakjelasaan
frasa dalam pasal 11 d Undang-undang disabilitas telah menimbulkan
diskriminasi terhadap dirinya yang mana seharusnya terdapat prinsip non
diskriminasi dalam penegakan HAM yang juga termaktub dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internationan
Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (Konvenan
Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). (Vide
Bukti-P12)

Materi Pokok (menyangkut keadilan dalam hubungan kerja):


a. Hak untuk bekerja, bahwa Negara Peserta mengakui dan menjamin hak
untuk bekerja termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan kesempatan
memperoleh penghasilan dengan pekerjaan yang ia pilih dan terima
dengan bebas (Pasal 6);
b. Hak mendapatkan kondisi pekerjaan yang layak, Negara Peserta mengakui
dan menjamin penghasilan yang layak dan adil tanpa perlakuan
diskriminatif, khususnya antara pria dan wanita, dengan penghasilan yang
setara dengan pekerjaannya (equal pay for equal work). Negara Peserta
juga menjamin keamanan dan keselamatan kerja serta mengatur batas
jam kerja, istirahat, libur dan iibur nasional (Pasai 7);
3. Bahwa pada tahun 2016, Presiden setelah mendapatkan persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah mengundangkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas.
4. Bahwa penafsiran Pasal 11 huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas harus dilihat secara sistematis. Penafsiran
atau interpretasi sebagai salah satu metode penemuan hukum (rechtviniding)
sebab metode ini merupakan sarana atau alat untuk mengetahui makna
Undang-Undang.
5. Bahwa bunyi Pasal 11 huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa:
“Tidak diberhentikan karena alasan disabilitas .”
6. Bahwa berdasarkan Pasal 11 huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas tidak selaras dengan penerapan Pasal 28D
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja. ”
7. Bahwa VALENTINO DIRGANTARA menjabat sebagai Direktur PT.
TRANSMEDIA (Vide Bukti-P13).
8. Bahwa MUHAMMAD MUALIP AL MUHAJIRIN menjabat sebagai Tim Editor dari
PT. TRANSMEDIA.
9. Bahwa dalam membuktikan kerugian perusahaan telah mendasar pada Teori
Cost Benefit Analysis.
10.Bahwa yang dimaksud dengan Teori Cost Benefit Analysis merupakan analisis
mengenai perbandingan atau selisih antara penerimaan yang diperoleh
dengan biaya yang dikeluarkan dari suatu kegiatan. Jika penerimaan lebih
besar dari biaya yang dikeluarkan, atau perbandingan antara penerimaan
terhadap ongkos lebih besar dari satu, maka kegiatan itu dianggap positif dan
dapat dilakukan. Begitu pula sebaliknya, jika penerimaan lebih kecil dari biaya
yang dikeluarkan, maka kegiatan atau proyek tersebu
11.Bahwa menurut Teori Cost and Benefits Analysis yang dikemukakan oleh
Prof. Cass Sunstein (Vide Bukti P-14) menyatakan bahwa suatu
kebijakan harus didasarkan pada pertimbangan cermat biaya dan manfaat,
kelompok kepentingan, dan anekdot. Maka dari itu hal yang harus
diperhatikan dari adanya aktifitas produksi dari sebuah perusahaan, cermat
biaya dan manfaat lebih diutamakan daripada pendapatan kepopularitasan
insitusi (perusahaan yang dinaunginya).
12.Bahwa berdasarkan Teori Cost Benefit Analysis perbandingan atau selisih
antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan dari suatu
kegiatan dalam hal ini merupakan kegiatan produksi film PT. TRANSMEDIA,
WAHYU NUR HANIFAH bertindak sebagai pihak yang menimbulkan kerugian
yang berefek merugikan perusahaan, karena atas tindakan yang dia lakukan
menjadikan pendapatan perusahaan menurun.
13.Bahwa PT. TRANSMEDIA merupakan salah satu perusahaan pertelevisian di
Indonesia yang terdiri dari beberapa divisi. Diantaranya adalah divisi produksi
dan programming, divisi keuangan, divisi seni atau art, divisi editor, divisi
grip, lightning dan kamera, divisi news media, divisi IT, divisi legal officer, dan
divisi pelayanan . (Vide Bukti P-15)
14.Bahwa dalam hal ini pihak terkait yaitu WAHYU NUR HANIFAH merupakan
salah satu staff Editor (Vide Bukti P-16), yang mana Editor itu sendiri
adalah sineas profesional yang bertanggung jawab mengkonstruksi cerita
secara estetis dari shot-shot yang dibuat berdasarkan skenario dan konsep
penyutradaraan sehingga menjadi sebuah film cerita yang utuh. Seorang
editor dituntut memiliki sense of story telling (kesadaran/rasa/indra
penceritaan) yang kuat, sehingga sudah pasti dituntut sikap kreatif dalam
menyusun shot-shotnya. Maksud sense of story telling yang kuat adalah
editor harus sangat mengerti akan konstruksi dari struktur cerita yang
menarik, serta kadar dramatik yang ada di dalam shot-shot yang disusun dan
mampu mengesinambungkan aspek emosionalnya dan membentuk irama
adegan atau cerita tersebut secara tepat dari awal hingga akhir film.
15.Bahwa tugas dan kewajiban editor yakni membaca dan menganalisis naskah
film melakukan pemilihan shot, bekerja sama dengan sutradara film,
mengatur dan mengurutkan potongan rekaman, mengunjungi lokasi
pengambilan film, menonton ulang potongan – potongan film yang sudah
diurutkan, menambahkan pemanis, menyusun ulang potongan film yang
sudah disesuaikan dengan durasi, menonton hasil film yang sudah diberikan
efek dan melakukan perbaikan seperlunya, melakukan perbaikan,
memberikan hasilnya kepada sutradara dan produser film, dan melakukan
pemilihan shot.
16.Bahwa selain memiliki tugas dan kewajiban, seorang editor juga memiliki hak-
hak sebagai editor yaitu:
a. Mengajukan usul kepada sutradara untuk mengubah urutan penuturan
sinematik guna mendapatkan konstruksi dramatik yang lebih baik.
b. Mengajukan usul kepada sutradara untuk menambah, mengurangi atau
mengganti materi gambar dan suara yang kurang atau tidak sempurna
secara teknis maupun efek dramatisnya.
c. Mendapatkan ruang editing serta sarana kerja yang layak atau standar.
d. Mendapatkan honorarium yang sesuai dengan kontrak yang telah
disepakati dan disetujui oleh produser.
e. Berhak meminta kontrak baru jika ada permintaan tambahan (misalnya
pembuatan trailer) untuk bahan promosi film.
f. Berhak untuk menolak permintaan yang sifatnya pribadi dan menyimpang
dari ketentuan yang sudah ada dalam skenario.
17.Bahwa sebagaimana yang telah di sampaikan di atas, dapat dipahami bahwa
tugas seorang editor sangatlah penting dan dalam hal ini WAHYU NUR
HANIFAH tidak dapat menjalankan peran dasarnya dikarenakan bipolar (Vide
Bukti- P17) yang mana dia tidak dapat mengontrol emosinya sendiri
sedangkan dia dituntut harus memiliki kemampuan sense of story telling
(kesadaran/rasa/indra penceritaan) yang kuat. Maksud sense of story telling
yang kuat adalah editor harus mengerti akan konstruksi dari struktur cerita
yang menarik, serta kadar dramatik di dalam shot-shot yang disusun
sehingga dapat mengesinambungkan aspek emosionalnya dan membentuk
irama adegan/cerita secara tepat dari awal hingga akhir film. Dan juga
berdampak terhadap kewajibanya sebagai editor yang mana sudah dijelaskan
di atas terkait tugas dan kewajiban seorang editor, sehingga tugas yang
harus diselesaikan harus dibebankan kepada rekan satu divisinya yang mana
dalam hal ini adalah oleh MUHAMMAD MUALIP AL MUHAJIRIN dan juga
menyebabkan turunnya indeks prestasi kinerja divisinya (Vide Bukti-P18)
18.Bahwa telah terjadi penurunan terhadap rating penonton film “Ganteng –
Ganteng Serigala“, rating sendiri merupakan data jumlah orang yang
menonton suatu program televisi terhadap populasi televisi yang
dipresentasekan dari kelompok sampel atau potensi total. Data yang
didapatkan merupakan hasil pengukuran secara kuantitatif. Dihubungkan
pada produksi film “Ganteng-Ganteng Serigala” yang merupakan salah
satu film unggulan dari saluran TV TRANSMEDIA, indeks penghitungan rating
dengan skala angka 1-4 (standar kualitas menurut KPI), didapati penurunan
angka rating penonton film tersebut secara signifikan pada periode bulan
Januari hingga Juni tahun 2018, yang menyebabkan penurunan kualitas
terhadap produksi film pada cakupan luar saluran TV TRANSMEDIA, sehingga
menimbulkan kerugian pada aspek cakupan rating yang seharusnya meraup
rating yang tinggi, namun malah menurun dikarenakan terdapat beberapa
kesalahan fatal seperti konstruksi dari struktur cerita yang tidak menarik,
dimana setelah ditelusuri lebih dalam kesalahan yang fatal tersebut terletak
pada proses pengeditan film “Ganteng Ganteng Serigala”, (Vide Bukti-
P19)
19.Bahwa merujuk pada bagian kerugian yang dialami oleh perusahaan berupa
pendapatan, dalam hal ini disebabkan oleh turunnya rating penonton yang
bermuara pada pendapatan film “Ganteng-Ganteng Serigala”, dapat
dibuktikan pada produksi PT. TRANSMEDIA pada kurun waktu 6 bulan
(Januari hingga Juni 2018), Dilihat pada pendapatan produksi film ini di Bulan
Januari Tahun 2018 didapati pendapatan sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah), pada bulan berikutnya mengalami penurunan pendapatan
produksi sebesar 20% atau jika diakumulasikan sebesar Rp. 480.000.000,
penurunan produksi pendapatan ini tejadi secara yang signifikan pada setiap
bulannya. Karena penurunan yang terjadi pada tiap bulan tersebut juga
mempengaruhi pendapatan perusahaan secara keseluruhan. (Vide Bukti-
P20)
20.Bahwa kesalahan yang menyebabkan kerugian besar yang telah disebutkan
diatas, dalam hal ini adalah kerugian pendapatan dan kerugian rating, setelah
ditelusuri dan diteliti lebih dalam memang terbukti bahwa letak kesalahan
yang paling fatal terlihat pada proses editing, dimana pihak yang
bertanggungjawab akan proses pengeditan film dari tahapan pemilihan shot
hingga proses me-review kembali hasil film yang sudah diberikan efek dan
melakukan perbaikan seperlunya terdapat miss-communiction antar staff tim
yang tidak sinkron, dimana dalam tim editor sendiri terdapat 5 orang staff
yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang berbeda-beda, penelusuran
kesalahan menjawab bahwa dalam pihak terkait yaitu WAHYU NUR HANIFAH
merupakan salah satu staff Editor 1, yang memiliki tugas antara lain:
Melakukan pemilihan shot, Mengatur dan mengurutkan potongan rekaman,
Menonton ulang potongan – potongan film yang sudah diurutkan, Menyusun
ulang potongan film yang sudah disesuaikan dengan durasi, Melakukan
perbaikan, Melakukan pemilihan shot (Vide Bukti-P21)
21.Bahwa sebagaimana yang telah di sampaikan di atas, dapat dipahami bahwa
tugas seorang editor sangatlah penting dan dalam hal ini saudari WAHYU
NUR HANIFAH tidak dapat menjalankan peran dasarnya diketahui karena
memiliki gangguan bipolar yang mana dia tidak dapat mengontrol emosinya
sendiri pada suatu aktu yang mengharuskan dia bekerja secara profesional
sedangkan dia dituntut harus memiliki kemampuan sense of story telling
(kesadaran/rasa/indra penceritaan) yang kuat, maksudnya adalah perasaan
editor harus mengerti akan konstruksi dari struktur cerita yang menarik, serta
kadar dramatik di dalam shot-shot yang disusun sehingga dapat
mengesinambungkan aspek emosionalnya dan membentuk irama
adegan/cerita secara tepat dari awal hingga akhir film, sehingga dalam hal ini
tugas yang harus diselesaikan akan tetapi dibebankan kepada rekan satu
divisinya yang mana dalam hal ini adalah oleh MUHAMMAD MUALIP AL
MUHAJIRIN dan juga menyebabkan turunya Indeks Prestasi Kinerja tim pada
divisi Editor. (Vide Bukti-P18)
22.Bahwa dalam hal ini, Pemohon mendalilkan Pasal 11 huruf D Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi “ Tidak
diberhentikan karena alasan disabilitas .” Menyebabkan direktur film
“Ganteng – Ganteng Serigala“ tidak dapat memberhentikan pegawai yang
tidak optimal dan maksimal dalam hal pekerjaan.
23.Bahwa atas dasar pasal yang telah disebutkan pada Pasal 11 huruf D
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
ditemukan kurangnya kejelasan terkait frasa disabilitas yang dimaksudkan.
24.Bahwa bipolar yang diderita Hanifah merupakan kategori disabilitas mental
ringan (Vide Bukti P-17) yang disebabkan karena fakor lingkungan yaitu
karena faktor tekanan yang dideritanya karena urusan rumah tangganya.
Berdasarkan penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa "Yang maksud dengan
penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi dan
perilaku antara lain: psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi,
anxietas, dan gangguan kepribadian..."
25.Bahwa berdasarkan kategori tersebut Bipolar Disorder dapat terjadi
perubahan mood yang ekstrim berupa perasaan bahagia (manic) maupun
sedih (depresif). Masing-masing episode perasaan tersebut menimbulkan
konsekuensi yang dapat mempengaruhi kinerjanya, diantaranya ketika
perasaan bahagia, WAHYU NUR HANIFAH selalu merasa bahagia dan
semangat; sangat sensitif dan mudah tersinggung; kurang tidur; banyak
makan; bersikap gegabah dan melakukan kegiatan-kegiatan yang beresiko;
berbicara sangat cepat, mengubah topik pembicaraan; mengalami penuruan
kemampuan untuk melakukan penilaian atau pembuatan suayi keputusan;
bisa juga melihat hal-hal aneh dan mendengar suara-suara mesterius. Selain
itu apabila dalam keadaan sedih, Hanifah dapat juga merasa sangat sedih dan
kehilangan harapan dalam jangka waktu yang panjang; kehilangan
ketertarikan dalam melakukan kegiatan sehari-hari; makan lebih sedikit;
merasa ngantuk dan malas; merasa minder; sulit konsentrasi; memiliki pikiran
untuk bunuh diri. Dari contoh-contoh perilaku tersebut, baik ketika merasa
bahagia walaupun merasa sedih, perilaku Hanifah dapat mengganggu kinerja
tim editor yang mana hal tersebut juga akan berdampak pada terjadinya
kerugian pada perusahaan.
26.Bahwa berdasarkan hal pada poin 21 yang menyebabkan WAHYU NUR
HANIFAH tidak dapat bekerja dengan baik.
27.Bahwa berdasarkan kinerja WAHYU NUR HANIFAH telah dilakukan upaya
berupa pemberian Surat Peringatan 1 dan Surat Peringatan 2 (Vide Bukti P-
22) tetapi hal tersebut tidak di indahkan oleh pihak terkait karena
berbenturan dengan Pasal 11 huruf D Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas. Karena dalam Pasal tersebut menjelaskan
bahwa tidak dapat diberhentikan karena alasan disabilitas. Sedangkan dalam
Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.” Hal ini berarti MUHAMMAD MUALIP AL MUHAJIRIN
selaku salah satu dari anggota Tim Editor PT TRANSMEDIA diberi imbalan
yang tidak sesuai dalam bentuk kerugian secara personal yang diterima
dengan dibuktikan kinerja dari WAHYU NUR HANIFAH yang tidak maksimal
dan selalu membebankan MUHAMMAD MUALIP AL MUHAJIRIN ketika WAHYU
NUR HANIFAH kambuh atas penyakitnya. Atas adanya frasa Pasal 11 huruf D
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
28.Bahwa telah dilakukan upaya penyelesaian internal sesuai UU Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Vide Bukti P-
23) melalui proses bipartit yaitu perundingan internal antara pihak
perusahaan yang diwakili oleh VALENTINO DIRGANTARA sebagai Direktur PT
TRANSMEDIA dengan WAHYU NUR HANIFAH sebagai karyawan. Namun dari
proses tersebut tidak memperoleh kesepakatan antar pihak. (Vide Bukti P-
24)
29.Bahwa setelah proses bipartit tidak membuahkan hasil, telah dilakukan usaha
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui proses tripartit yaitu
mediasi yang dilakukan melalu Pusat Mediasi Nasional (PMN) atau Indonesian
Mediation Center namun tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan
pokok perselisihan mengenai PHK karena alasan disabilitas. (Vide Bukti P-
25)
30.Bahwa setelah melakukan upaya bipartit dan tripartit yang tidak membuahkan
kesepakatan, selanjutnya pemohon telah mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial Provinsi Jawa Tengah namun hakim tidak mengabulkan
gugatannya. (Vide Bukti P-26)
31.Bahwa dalam perjanjian kerja telah disebutkan sejatinya WAHYU NUR
HANIFAH selaku pihak terkait (disabilitas) tidak dapat diberhentikan hingga
batas waktu berakhirnya perjanjian kerja.

IV. MATERI POKOK UJI MATERI


Pasal 11 huruf d
“ Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk Penyandang Disabilitas
meliputi hak:
a. Memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa Diskriminasi;
b. Memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan
Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab
yang sama;
c. Meperoleh Akomodasi yang layak dalam pekerjaan;
d. Tidak diberhentikan karena alasan disabilitas;
e. Mendapatkan program kembali bekerja;
f. Penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat;
g. Memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta
segala hak normatif yang melekat di dalamnya; dan
h. Memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta,
pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri. “

V. PETITUM
Berdasarkan seluruh uraian dan alasan-alasan yang sudah berdasarkan
hukum dan didukung oleh alat-alat bukti, Pemohon memohon kiranya Yang
Mulia Majelis Hakim Konstitusi berkenan memutus dengan amar putusan
sebagai berikut :
Menyatakan :
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
2. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk menambahkan dan
memperjelas frasa kata “disabilitas” pada Pasal 11 huruf d
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas yang menyatakan, “Tidak diberhentikan karena alasan
disabilitas”.
3. Sebagaimana dalam Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas menyatakan, “ Tidak
diberhentikan karena alasan disabilitas” bertentangan dengan
Pasal 28D ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja” dan Pasal 28J ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
4. Mengharapkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi
Pasal 11 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau,

Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain,


mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, pemohon telah


mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda dengan Bukti P-1 sampai dengan
Bukti P-26, sebagai berikut:
P-1 : Surat Kuasa Khusus Pemohon.
P-2 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
P-3 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
P-4 : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi .
P-5 : Bukti Buku Harjono
P-6 : Surat Keputusan Pendirian Perseroan Terbatas Transmedia Nomor AHU-
00135801.AH.01.01.2010.

P-7 : Anggaran Dasar


P-8 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemohon II.
P-9 : Anggaran Dasar (Tupoksi Karyawan).
P-10 : Bukti Buku Martha Nussbaum “Frontier of Justice: Disability,
Nasionality, Species Membership”.
P-11 : Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
P-12 : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Internationan Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (Konvenan
Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
P-13 : Surat Keputusan Pengangkatan Direksi Nomor :
177314510/D050/12/10
P-14 : Bukti Buku Prof. Cass Sunstein “Cost and Benefit Revolution”.
P-15 : Anggaran Dasar Pasal.
P-16 : Fotokopi ID-Card Wahyu Nur Hanifah.
P-17 : Surat Keterangan Dokter.
P-18 : Indeks Prestasi Kinerja Divisi.
P-19 : Rating Film.
P-20 : Grafik Penurunan Pendapatan PT. Transmedia.
P-21 : Potongan Film yang Sala
P-22 : Surat Peringatan 1 dan Surat Peringatan 2.
P-23 : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
P-24 : Risalah Perundingan Bipartit dan Tripartit.
P-25 : Risalah Mediasi.
P-26 : Putusan Perselisihan Hubungan Industrial.
[2.3] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan,
yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
Selain itu Pemohon pada saat persidangan Hari___tanggal___mengajukan 2 orang
ahli. Ahli pertama yang dihadirkan bernama

1. Dinda Zuliani Madjid sebagai Ahli Komisi Nasional Hukum dan


Hak Asasi Manusia

Yang menerangkan sebagai berikut :

Menurut Kamus Besar bahasa indonesia (KBBI) diartikandengan orang yang


menyandang (menderita) sesuatu, kata disabilitas merupakan kata bahasa indonesia
yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang
berarti cacat atau ketidak mampuan. Penggunaan kata “disabilitas” sebelumnya
lebih kita kenal dengan penyandang “cacat”.Sebagai bagian dari masyarakat
umunya, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama. Hak tersebut meliputi hak
hidup, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hak berumah tangga, hak politik,
serta hak pembangunan. Disabilitas di Indonesia saat ini menacapai angka 12
persen sebagaimana survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Angka
tersebut terbagi dalam beberapa kategori, baik dari jenis kelamin, dan tingkat
disabilitas (sedang dan berat).Permasalahan hak disabilitas tidak hanya di alami oleh
Indonesia, dikarenakan isu ini merupakan isu global. Beberapa langkah masyarakat
internasional untuk pemajuan pemenuhan hak penyandang disabilitas terus
diupayakan. Pengakuan hak bagi penyandang disabilitas oleh masyarakat
internasional dengan memulai gerakan tahun 1982 tidak berhenti hingga tahun 1993
dengan melibatkan peran serta persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Negara-negara
peserta juga didorong untuk memperbaiki arah kebijakannya untuk lebih
meningkatkan pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas. Ragam dari
penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas, yaitu:

1. Penyandang disabilitas fisik


2. Penyandang disabilitas interlektual
3. Penyandang disabilitas mental
4. Penyandang disabilitas sensorik

5. Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap


instrument HAM
6. Internasional;
7. 1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
8. 2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat
ICESCR
9. 3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD
10.Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap
instrument HAM
11.Internasional;
12.1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
13.2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat
ICESCR
14.3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD
Terkait dengan hak penyandang disabilitas, perlu diperhatikan tentang makna
hak. Hak mulai menjadi perbincangan seiring timbulnya negara-negara nasional
yang mempersoalkan hubungan negara dan warga Negara. Hak secara garis besar
dapat disimpulkan sebagai hak-hak yang seharusnya diakui secara Universal sebagai
hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia
sebagai manusia, dengan sifat dasar HAM yang dimilikinya. Sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat melakukan pengurangan maupun perampasan terhadap
HAM tersebut. Jikapun ada pembatasan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 28
J UUD NRI 1945 hanya boleh dilakukan dengan Undang-Undang. Hak Penyandang
Disabilitas merupakan bagian dari HAM secara umum. Terdapat berbagai instrumen
HAM Internasional dan juga HAM Nasional.

Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument


HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument
HAM
Internasional;
1. International Covenant on Civil and Political Rights, disingkat ICCPR
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, disingkat ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)
Indonesia juga secara aktif melakukan ratifikasi terhadap instrument HAM
Internasional seperti:

1. International Covenant on Civil and Political Rights , disingkat ICCPR


2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights , disingkat
ICESCR
3. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia ditunjukkan sekerangka bagi perlindungan
atas hak-hak yang berada di dalamnya, termasuk hak bagi penyandang disabilitas
dan di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, pada dasarnya mendorong partisipasi
dan kebebasan yang lebih besar bagi semua individu dan golongan yang ada. Pada
tahun 1970-an dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan Cacat Mental pada
tahun 1971 dan Deklarasi Hak-hak Penyandang Cacat (1975), membuat mengutakan
keberadaan penyandang disabilitas menjadi subyek dari deklarasi HAM. Adapun hak-
hak tersebut meliputi hak-hak sipil dan politik sebagai mana dimiliki oleh warga
Negara lainnya, hak atas berbagai tindakan yang ditujukan supaya meraka menjadi
mandiri, hak atas berbagai pelayanan seperti medis dan pendidikan yang bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian, hak untuk terlibat dalam pekerjaan
yang bernilai komersial atau pekerjaan yang produktif dan standar hidup yang layak
dan bergabung dengan serikat pekerja, dan hak atas perlindungan terhadap praktek
eksploitatif,

Khususnya di Negara berkembang seperti Indonesia, terabaikannya masalah


“difable” ini disebabkan oleh adanya faktor sosial budaya, selain faktor ekonomi dan
lemahnya kebijakan dan penegakan hukum yang memihak komunitas difable. Hal ini
menyebabkan difable terabaikan dalam segala aspek kehidupan. Difable yang
pengangguran atau yang tidak bisa mengenyam pendidikan lebih banyak dari pada
orang-orang non difable yang mendapatkan pekerjaan dan pendidikan yang layak
Masalah “difable” dan “disabilitas” atau “difabilitas”, secara struktural diposisikan
sebagai hal yang “dicacatkan” oleh masyarakat dan pemerintah diberbagai belahan
Negara didunia ketiga. Hal ini tidak terlepas dari aspek sosial budaya masyarakat di
Negara yang bersangkutan. Budaya dibentuk melalui kebiasaan yang ada dalam
masyarakat, ritual, mitos, simbol-simbol dan institusi seperti misalnya agama dan
media massa.

Bedasarkan penjabaran di atas dapat di simpulkan bahwa pengujian Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas terhadap Undang-Undang Dasar
1945 pasal 28 D ayat (1) dan (2) kurang tepat karena undang-undang disabilitas
sudah sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di negara Indonesia
serta berdasarkan juga bersumber pada instrumen-instrumen HAM internasional dan
juga undang-undang disabilitas ini tidak melanggar hak konstitusional yang
sebagaimana yang diajukan oleh Pemohon.

2. Mufatikhatul Mukaromah sebagai Ahli Psikologi

Yang menerangkan sebagai berikut :

Secara etimologi, bipolar adalah suatu penyakit mental yang terdapat dalam
penyakit psikologis, yang juga disebut dengan “Manic –Depressive” yang artinya
antara kebahagiaan atau perasaan gembira yang terjadi secara berlebihan dan
perasaan depresi atau frustasi yang terjadi secara tidak wajar dan tidak
terkendalikan baik oleh penderitanya maupun orang lain dan keluarganya. Pada
siklus yang tidak menentu inilah bipolar berkembang dan terus berkembang yang
diikuti oleh episode – episode mania dan depresi (Safari & Saputra, 2009).

Gangguan bipolar adalah jenis penyakit dalam keilmuan psikologi, dalam


perkembangannya gangguan bipolar adalah salah satu penyakit mental yang masuk
dalam kategori penyakit gangguan jiwa. Dalam kurun waktu terakhir, bipolar
menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu penyakit yang berbahaya, khususnya
dikalangan remaja, dewasa, dan dewasa matang (Sarlito, 1995).

Gangguan afektif bipolar bisa bermacam jenis, tergantung dari tingkat mania dan
depresi. Jenis utama meliputi:
1 Bipolar I disorder: Melibatkan satu atau lebih perubahan suasana hati
berlanjut setidaknya satu minggu, terkadang menyebabkan mania berat,
bahkan halusinasi atau delusi.

2 Gangguan Bipolar II: Menjadi lebih ringan dengan melibatkan episode


hypomania yang lebih ringan yang berlangsung selama 4 hari.

3 Gangguan afektif bipolar campuran: Pasien mungkin mengalami campuran


perubahan suasana hati yang tertekan dan gembira.

4 Gangguan afektif bersepeda yang cepat: Setidaknya 4 episode dalam


setahun, episode hypomania bergantian dengan depresi, dan ini lebih serius
daripada gangguan afektif bipolar umum.

Perempuan dan laki-laki adalah sama-sama memiliki kemungkinan untuk


berkembang menjadi Gangguan Bipolar I, meskipun perempuan dilaporkan lebih
banyak mengalami episode depresi daripada laki-laki, dan secara bersamaan pula,
lebih berkemungkinan untuk memperoleh Gangguan Bipolar IIdengan prevalensi
sekitar 0,5% (Carlborg, et al., 2015; Dipiro, et al., 2008). Prevalensi gangguan
bipolar menurun seiring pertambahan usia serta tingkat pendidikan dan
prevalensinya pada individu yang tidak bekerja lebih tinggi (Merinkangas, et al.,
2011.

Tidak ada cara untuk mencegah penyakit ini. Gejalanya dapat dirasakan, yaitu
adanya perubahaan mood yang mempengaruhi kehidupan. Secara umum, ketika
dihadapkan pada stres kerja atau hidup, orang harus mencari cara dan saluran
untuk memudahkannya; jaga gaya hidup yang benar, dan lakukan lebih banyak
latihan, yang bisa menurunkan kemungkinan terkena penyakit ini. Namun apabila
stres tersebut tidak dapat disalurkan dengan cara yang benar, tumpukan rasa stres
tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya bipolar disorder. Maka akan sering
mengalami imajinasi dan halusinasi yang berkelanjutan secara terus menerus.
Pengobatan gangguan bipolar merupakan tantangan yang sulit dikarenakan penyakit
ini bersifat berulang, episodik dan heterogen (Bauer, et al., 2013). gangguan bipolar
I, dibutuhkan setidaknya satu episode mania yang berlangsung minimal selama satu
minggu (American Psychiatric Association, 2013).

Gejala dari episode mania diantaranya:

1. Abnormalitas suasana hati seperti euforia.

2. Peningkatan energi.

3. Peningkatan harga diri.

4. Penurunan kebutuhan tidur.


5. Lebih banyak berbicara dibanding biasanya.

6. Agitasi psikomotor.

7. Memiliki penilaian yang buruk dan mengambil keputusan secara impulsif yang
mengarah pada perilaku berbahaya (Miklowitz and Gitlin, 2014).

Hipomania merupakan episode mania yang lebih ringan dengan gejala yang sama
namun terjadi dalam waktu yang lebih singkat, biasanya 4 hari dan biasanya tidak
disadari karena tidak berbeda secara signifikan dengan kebiasaan normal (Miklowitz
and Gitlin, 2014).
Episode depresi pada gangguan bipolar memiliki kriteria diagnosis dan karakterisasi
yang sama dengan gejala depresi nonbipolar. Gejala – gejala yang muncul
diantaranya:

1. Perubahan pola tidur (insomnia atau hipersomnia)

2. Perubahan pola makan dan berat badan.

3. Kelelahan.

4. Retardasi atau agitasi psikomotor.

5. Adanya perasaan tidak berharga atau rasa bersalah.

6. Penurunan konsentrasi.

7. Memiliki pemikiran tidak wajar seperti keinginan bunuh diri (Miklowitz and
Gitlin, 2014).

Sebagai tambahan terhadap mania dan depresi, gangguan bipolar dapat


menyebabkan suatu rentang gangguan alam perasaanyaitu depresi sedang dan
depresi akut, keadaan setimbang dan di ujung lainnya, mania atau hipomania.Satu
sisi dari skala termasuk depresi akut, depresi sedang, dan depresi sedang yang lebih
rendah. Depresi sedangdapat mengakibatkan gejala ekstrem yang kurang kadarnya
daripada depresi akut. Depresi sedang yang lebih rendah dinamai distimia saat
gejalanya kronis dan menahun. Pada pertengahan skala adalah alam perasaan yang
normal atau setimbang.Pada ujung skala yang lain adalah hipomania dan mania
akut. Beberapa orang dengan gangguan bipolar mengalami hipomania. Saat episode
hipomanik, seseorang dapat mengalami peningkatan energi dan derajat aktivitas
yangtidak separah mania, atau orang tersebut memiliki episode yang terjadi kurang
dari seminggu dan tidak memerlukan perawatan kedaruratan. Orang yang
mengalami episode hipomanik memiliki perasaan yang sangat baik, memiliki
produktivitas dan fungsionalitas yang baik. Orang tersebut
tidakmerasakanbahwasegalasesuatuadayangsalahbahkan ketikakeluargadankawan-
kawannyamengenaliayunanalam perasaan sebagai kemungkinan gangguan bipolar.
Tanpa pengobatan yang baik, orang dengan hipomania dapat mengembangkan
mania atau depresi akut.

Selama mengalami kondisi campuran, gejala seringkali mencakup agitasi, memiliki


permasalahan dengan tidur, perubahan besar dalam selera, dan berpikir untuk
bunuh diri. Orang yang berada dalam kondisi campuran dapat merasakan sedih atau
putus asa padahal energinya berlebihan.

Kadang-kadang, seseorang dengan episode mania akut atau depresi dapatmemiliki


gejalapsikotikjuga, sepertihalusinasi atau waham. Gejala psikotik cenderung
mencerminkan alam perasaan yang ekstrem. Sebagai contoh, gejala psikotik untuk
seseorang yang mengalami episode mania dapat mencakup keyakinan bahwa ia
sebagai orang yang terkenal, mempunyai banyak uang, atau memiliki kekuatan
khusus. Mirip dengan hal itu, seseorang yang memiliki episode depresi mungkin
percaya bahwa ia adalah orang yang rusak, melarat, atau telah melakukan
kejahatan. Hasilnya, orang dengan bipolar yang memiliki gejala psikotik terkadang
didiagnosa secara salah sebagai mengalami skizofrenia, yaitugangguan jiwa yang
lain yang bertautan dengan waham dan halusinasi.
Secara etimologi, bipolar adalah suatu penyakit mental yang terdapat dalam
penyakit psikologis, yang juga disebut dengan “Manic –Depressive” yang
artinya antara kebahagiaan atau perasaan gembira yang terjadi secara
berlebihan dan perasaan depresi atau frustasi yang terjadi secara tidak wajar
dan tidak terkendalikan baik oleh penderitanya maupun orang lain dan
keluarganya. Pada siklus yang tidak menentu inilah bipolar berkembang dan
terus berkembang yang diikuti oleh episode – episode mania dan depresi
(Safari & Saputra, 2009).

Gangguan bipolar adalah jenis penyakit dalam keilmuan psikologi, dalam


perkembangannya gangguan bipolar adalah salah satu penyakit mental yang
masuk dalam kategori penyakit gangguan jiwa. Dalam kurun waktu terakhir,
bipolar menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu penyakit yang
berbahaya, khususnya dikalangan remaja, dewasa, dan dewasa matang
(Sarlito, 1995).

Gangguan afektif bipolar bisa bermacam jenis, tergantung dari tingkat mania
dan depresi. Jenis utama meliputi:

1 Bipolar I disorder: Melibatkan satu atau lebih perubahan suasana hati


berlanjut setidaknya satu minggu, terkadang menyebabkan mania
berat, bahkan halusinasi atau delusi.

2 Gangguan Bipolar II: Menjadi lebih ringan dengan melibatkan episode


hypomania yang lebih ringan yang berlangsung selama 4 hari.

3 Gangguan afektif bipolar campuran: Pasien mungkin mengalami


campuran perubahan suasana hati yang tertekan dan gembira.

4 Gangguan afektif bersepeda yang cepat: Setidaknya 4 episode dalam


setahun, episode hypomania bergantian dengan depresi, dan ini lebih
serius daripada gangguan afektif bipolar umum.

Perempuan dan laki-laki adalah sama-sama memiliki kemungkinan untuk


berkembang menjadi Gangguan Bipolar I, meskipun perempuan dilaporkan
lebih banyak mengalami episode depresi daripada laki-laki, dan secara
bersamaan pula, lebih berkemungkinan untuk memperoleh Gangguan Bipolar
IIdengan prevalensi sekitar 0,5% (Carlborg, et al., 2015; Dipiro, et al., 2008).
Prevalensi gangguan bipolar menurun seiring pertambahan usia serta tingkat
3. PERTIMBANGAN HUKUM

Kewenangan Mahkamah

[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), Pasal
10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan
Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5057, selanjutnya disebut
UU

Anda mungkin juga menyukai