Anda di halaman 1dari 189

Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Cilacap

Tentang

Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas


Dan Anak Terlantar

Kerjasama

SEKRETARIAT DPRD
KABUPATEN CILACAP

Dengan

LEMBAGA PENELITIAN DAN


PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT (LPPM) IAIN
PURWOKERTO

i
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 8
C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik 8
D. Metode Analisis Naskah Akademik 9

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS


A. Kajian Teoritis 11
B. Kajian Empiris 54

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN


PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT 57

BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS


A. Kajian Filosofis 87
B. Kajian Sosiologis 89
C. Kajian Yuridis 92

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG


LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase 99
B. Muatan Materi Peraturan Daerah 102

BAB VI PENUTUP 105

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK PENYANDANG
DISABILITAS DAN ANAK TERLANTAR

ii
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
meru- pakan salah satu amanat konstitusi negara Republik
Indonesia. Upaya perubahan yang telah dilakukan dalam
bidang hu- kum adalah dengan memasukan jaminan HAM
bagi warga ne- gara dalam konstitusi, yaitu Undang Undang
Dasar Negara Re- publik Indonesia 1945 (UUD RI 1945).
Dalam amandemen ke- dua UUD RI 1945 dimasukan
ketentuan mengenai HAM, yang dicantumkan dalam Bab
tambahan, yaitu Bab XA. Penambah- an jaminan HAM dalam
konstitusi merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia dengan
serius ingin mendorong penghormat- an, perlindungan, dan
pemenuhan HAM oleh negara bagi war- ga negaranya.
Upaya tersebut juga sebagai satu langkah nyata dalam
membentuk Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis.1
Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM
ter- hadap warga negara dijamin dalam peraturan
perundang- undangan yang berlaku di Indonesia. Ruang
lingkup warga negara dalam hal ini luas, mencakup siapapun
tanpa terke- cuali sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat
(1) UUD RI 1945, termasuk di dalamnya penyandang
disabilitas. Penegas- an mengenai lingkup itu sangat penting,
karena HAM bagi pe- nyandang disabilitas masih kerap
diabaikan, bahkan dilang- gar. Pelanggaran terjadi karena
penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai bagian dari
warga negara, bahkan juga tidak dianggap manusia.2
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Repu- blik Indonesia Tahun 1945 tercantum tujuan negara
yang sa- lah satunya adalah memajukan kesejahteraan
umum. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka Negara
terutama pemerintah memiliki tugas dan tanggungjawab
untuk memenuhi Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut. Dimana kewajiban dan tanggungjawab juga
tercantum secara eksplisit dalam Pasal 28 I ayat (4) bahwa
“perlindungan, pemajuan. penegakan

1
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstiusi, 2008), hlm. 9
2
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar
Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2008), hlm. 1

2
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab


negara terutama pemerintah”. Berdasarkan pembukaan dan
pasal 28 I ayat (4) UUD RI Tahun 1945 tersebut, maka
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan
tanggungjawab untuk memenuhi hak asasi manusia.
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menghormati dan menjunjung tinggi
harkat dan marta- bat manusia. Hak asasi manusia sebagai
hak dasar yang seca- ra kodrati melekat pada diri manusia
bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan
dipertahankan terutama terhadap kelompok rentan,
khususnya anak penyandang disabilitas dan anak terlantar.
Secara resmi istilah Penyandang Disabilitas digunakan
dalam dokumen kenegaraan sebagai pengganti istilah
penyan- dang cacat, dengan diundangkannya undang-undang
penge- sahan International Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi Mengenai
Hak-hak Penyandang Disabilitas yakni Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2011. Penyandang disabilitas dipilih
sebagai terjemahan istilah persons with disabilities yang
sebelumnya diterjemah- kan penyandang cacat.
Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas
atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(CRPD) la- hir setelah puluhan tahun PBB bekerja untuk
mengubah sikap dan pendekatan terhadap penyandang
disabilitas. CRPD meru- pakan wujud puncak perubahan
paradigma gerakan disabilitas dari cara pandang lama yang
melihat para penyandang disabi- litas sebagai "obyek" amal,
pengobatan dan perlindungan sosial (charity atau social-
based) berubah menjadi human rights- based.
Dengan paradigma baru penyandang disabilitas
diposisi- kan sebagai "subyek" yang memiliki hak, yang
mampu meng- klaim hak-haknya, dan mampu membuat
keputusan untuk kehidupan mereka secara merdeka
berdasarkan kesadaran sendiri serta menjadi anggota
masyarakat secara aktif.3
Penyandang disabilitas juga banyak mengalami
hambat- an, dalam mobilitas fisik maupun dalam mengakses
informasi,

3
Supriyadi Widodo Eddyono & Ajeng Gandini Kamilah, Aspek - Aspek Criminal
Justice Bagi Penyandang Disabilitas, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm.
2.

3
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

yang selanjutnya akan menghambat untuk terlibat dan


berpar- tisipasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
Peng- guna kursi roda sangat sulit untuk beraktivitas di luar
rumah karena lingkungan mereka sangat tidak aksesibel.
Demikian pula penyandang tuna netra tidak banyak bisa
mengakses ber- bagai informasi, pengetahuan yang
berkembang sangat cepat.
Landasan kesetaraan bagi penyandang disabilitas
terle- tak pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kondisi
“disabilitas,” merupakan ham- batan yang dialami oleh
seseorang dalam menjalankan akti- vitas disebabkan oleh
kondisi lingkungan yang tidak mudah diakses (accessible).
Dengan cara pandang ini, solusi permasa- lahannya ada pada
intervensi negara terhadap lingkungan tempat beraktivitas,
sehingga penyandang disabilitas lebih accessible dan
comfortable.
Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak pe-
nyandang Disabilitas merupakan kewajiban negara. Hal ini
juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga masyarakat
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak
Penyandang Disabi- litas. Penyandang Disabilitas selama ini
mengalami banyak diskriminasi yang berakibat belum
terpenuhinya pelaksanaan hak penyandang disabilitas.
Menurut data World Health Organization (WHO),
jumlah penyandang cacat di negara-negara berkembang
mencapai 10% (sepeluh per seratus) dari total penduduk
keseluruhan. Pada tahun 2009 Badan Pusat Statistik
menerbitkan statisik disabilitas dalam SUSENAS 2009. Yang
menggunakan katego- risasi kecacatan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat (se- lanjutnya disingkat Undang-
Undang Nomor 4 tahun 1997). Statistik tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat di pedesaan
berjumlah 1.198.185 jiwa, sementara di per- kotaan
berjumlah 928.600 jiwa, sehingga jumlah totalnya se- banyak
2.126.785 jiwa.
Menurut data Sussenas tahun 2003, di Indonesia ter-
dapat 679.048 anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau
21,42 % dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus.
Sedangkan menurut sussenas pada tahun 2009, persentase
jumlah anak penyandang disabilitas semakin meningkat

4
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

yaitu Tuna Netra 10,71 %, Tuna Rungu 5,15 %. Tuna Wicara


6,09 %,

5
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Tuna Rungu Wicara 13,73 %, Tuna Daksa 31,71 %, Tuna


Grahita 22,07 %, Tuna Ganda 8,25 %, dan Gangguan Jiwa
2,29 %. Anak dengan disabilitas mempunyai berbagai macam
jenis hambatan.4
Mengacu pada banyaknya jumlah penyandang
disbilitas, semestinya memang tidak terjadi pembedaan
perlakuan peme- nuhan hak antara orang yang normal
dengan penyandang disabilitas. Dalam segala hal yang
berurusan dengan aktivitas fisik, para penyandang
disabilitas mengakui dan menyadari, bahwa mereka memang
“beda”, bukan dalam arti kemampuan, namun lebih pada
mode of production atau dalam cara-cara berproduksi.
Seringkali cara pandang masyarakat dalam me- lihat hasil
kerja kaum penyandang disabilitas mengacu kepada
pendekatan kuantitas. Hal ini tentu akan menjadi bias dan
mempertegas perbedaan tersebut sehingga perlu dikasihani.
Dari segi kualitas, terasa sulit untuk melakukan penilaian
atas hasil karya penyandang disabilitas dengan orang umum
lain- nya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa
secara praktis banyak karya mengagumkan yang dihasilkan
para pe- nyandang disabilitas.
Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi
berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka
dalam ber- bagai tingkatan tergantung dari jenis disabilitas
yang mereka alami, di mana mereka tinggal dan budaya
serta kelas sosial mereka. Gender juga merupakan sebuah
faktor penting. Anak- anak perempuan penyandang
disabilitas juga kecil kemungkin- an untuk mendapatkan
pendidikan, mendapatkan pelatihan kerja atau mendapatkan
pekerjaan dibandingkan dengan anak laki-laki dengan
disabilitas atau anak perempuan tanpa dis- abilitas. Anak-
anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan
ini menyebabkan mereka menjadi lebih rentan.
Diskriminasi karena disabilitas berujung pada margina-
lisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan bah-
kan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari
invisibilitas. Tidak banyak negara yang memiliki informasi
yang bisa diandalkan tentang berapa banyak warganya yang
merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas ma-

4
Gabriela Chrisnita Vani, dkk, “Pengasuhan (Good Parenting) Bagi Anak dengan
Disabilitas”, jurnal.unpad.ac.id/share/article/download/13067/5956. Diakses tanggal 28
September 2017.

6
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

cam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini


mempengaruhi kehidupan mereka.5
Disabilitas merupakan isu multisektor, tidak hanya
teri- kat pada sektor sosial saja. Isu disabilitas juga berkaitan
de- ngan sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur,
transporta- si, komunikasi, dan sektor lainnya. Hal itu
menyebabkan peru- bahan yang akan dilakukan ke depan
haruslah saling beriring- an dan harmonis, antara satu
kebijakan dengan kebijakan la- innya.
Saat ini isu disabilitas dilekatkan hanya pada sektor so-
sial, sehingga leading sector Pemerintah untuk isu disabilitas
adalah Kementerian Sosial. Paradigma itu harus segera diko-
reksi dengan melekatkan isu disabilitas pada beragam sektor
yang terkait. Kondisi saat ini, ada beragam kebijakan yang
ber- kaitan dengan isu disabilitas, tetapi keberadaan
kebijakan itu masih saling terpisah, bahkan tidak harmonis
satu dengan yang lainnya.
Dalam upaya memenuhi hak tersebut di atas, maka pe-
merintah harus melakukan tindak pemerintahan, baik
berupa tindakan nyata dan tindakan hukum seperti
membentuk per- aturan perundang-undangan dan kebijakan
lainnya. Berdasar- kan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan
bahwa setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan pada
wewenang, dimana we- wenang wajib didasarkan pada
peraturan peraturan perun- dang-undangan. Hal ini sesuai
dengan asas penyelenggaraan pemerintahan bahwa
Indonesia adalah Negara hukum, dimana dalam prinsip
negara hukum mensyaratkan penyelenggaraan
pemerintahan harus dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang bersandarkan pada peraturan
perundang-un- dangan.
Tahun 2011 merupakan tonggak yang memberikan arti
penting penyandang disabilitas di Indonesia setelah tiga
tahun lebih, semenjak 30 Maret 2007 lalu Indonesia
menandatangani Konvensi tentang Hak Penyandang
disabilitas (UN Convention on the Rights of Persons with
Disabilities/CRPD), akhirnya pada 18 Oktober 2011
Indonesia telah meratifikasi CRPD tersebut, dan berikutnya
pada tanggal 10 November 2011 terbit Undang- Undang
tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-hak Pe-
nyandang Disabilitas (Undang-Undang Pengesahan CRPD)
No. 19 tahun 2011.

5
Unicef, “Anak Penyandang Disabilitas”, https://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC.

7
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar
Diakses tanggal 29 September 2017.

8
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Istilah penyandang disabilitas secara resmi digunakan


di Indonesia semenjak diratifikasinya konvensi PBB tentang
hak penyandang disabilitas atau “the UN convention on the
rights of persons with disabilities” pada November 2011 lalu
melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
pengesahan konvensi mengenai hak-hak penyandang
disabilitas. Perubah- an paradigma tersebut memiliki
peranan yang sangat penting dalam merekonstruksi
pemahaman serta memiliki konotasi yang lebih positif dari
pemahaman yang awalnya cenderung bersifat charity (belas
kasihan) menjadi semangat kesetaraan hak.
Penyandang disabilitas sendiri merupakan kelompok
rentan yang seringkali mengalami kondisi demikian dimana
sebagian besar keluarga penyandang disabilitas berada di
bawah garis kemiskinan. Menurut Harper (2009), bahwa
seki- tar 20% orang-orang termiskin di dunia adalah
penyandang disabilitas. Sebesar 98% anak-anak penyandang
disabilitas di negara sedang berkembang tidak bersekolah,
30% anak-anak jalanan di dunia adalah penyandang
disabilitas, dan tingkat melek huruf penyandang disabilitas
dewasa hanya 3%. Dalam konteks Indonesia, Survei
Departemen Sosial di 24 Provinsi menyebutkan bahwa
tingkat pendidikan kaum disabilitas pada umumnya tidak
sekolah atau tidak tamat SD sekitar 60%, dan hampir
mayoritas 89% dari mereka tidak memiliki keterampil- an
yang dibutuhkan di dunia kerja.
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia. Mengingat pembentukan Negara dalam
sistem demokrasi dan Negara hukum merupakan kehendak
rakyat se- cara kolektif, maka pemerintah bersama semua
elemen penye- lenggara Negara lainnya yang dilekati
kewajiban untuk bertin- dak atau mengambil kebijakan
sesuai batas kewenangan da- lam menjalankan tugas dan
fungsi Negara, semua itu harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada stakeholder Negara.
Salah satu tanggungjawab yang harus dilakukan oleh
penyelenggara Negara kepada rakyat atau warga negaranya
adalah penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
Hal tersebut diamanatkan sendiri oleh UUD 1945 khususnya
pada pasal 28 (i) ayat 4 hasil amandemen ke-2 yaitu: “Perlin-
dungan, Negara, terutama pemerintah.”
Salah satu hak dasar bagi anak penyandang disabilitas
adalah hak memperoleh pendidikan secara layak. Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen-
didikan Nasional Bab IV bagian kesatu mengenai Hak dan

9
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Ke-

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

wajiban Warga Negara Pasal 5 menyebutkan bahwa: (1)


Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara
yang memiliki ke- lainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.6
Penyandang disabilitas banyak menghadapi hambatan,
pembatasan dalam banyak bentuk sehingga sulit mengakses
pendidikan yang memadai serta pekerjaan yang layak.
Mereka sulit mendapatkan pekerjaan sebagai sumber mata
pencaha- rian, sehingga banyak kebutuhan hidupnya belum
tercukupi, bahkan harus bergantung pada orang lain.
Terbatasnya pendi- dikan, keterampilan dan keahlian yang
dimiliki penyandang Disabilitas pada akhirnya dijadikan
alasan oleh banyak lembaga dan dunia usaha untuk menolak
mereka ketika akan mencari kerja. Kemampuan dan prestasi
mereka diragukan. Akibat lebih lanjut adalah tingginya
angka penyandang Disabilitas yang tidak bisa mengakses
lapangan kerja dan tidak memiliki penghasilan yang dapat
dijadikan sumber bagi kemandirian dan kehidupannya.
Disinilah terjalin pertautan yang sangat kuat antara
disabilitas dan kemiskinan.
Penyandang disabilitas sering mengalami pengorbanan
ganda (double victimization), di satu sisi telah menjadi
korban kejahatan dan disisi lain menjadi korban atas stigma
negatif serta ketertutupan akses keadilan akibat pemaknaan
dan penafsiran sempit tersebut. Salah satu contoh dalam
praktik penegakan hukum, terdapat dua kontroversi penting
yang harus diselesaikan. Pertama, kontroversi tersebut
berkaitan dengan kasus dimana penyandang disabilitas
sebagai korban perbuatan pidana dan penyandang disabilitas
sebagai pelaku perbuatan pidana. Beberapa kasus
mengafirmasi bahwa ketika penyandang disabilitas menjadi
korban perbuatan pidana, maka aparat penegak hukum
terkesan “malas” dan kesulitan untuk merekonstruksi hukum
untuk mengadili pelaku. Dengan alasan korban tidak dapat
memberikan kesaksian yang memadai, maka proses
peradilan perbuatan pidana tersebut tidak diteruskan. Pada
kasus ini, aparat penegak hukum lupa bahwa korban,
siapapun dia, seperti apapun kondisi fisik dan mentalnya,
mereka adalah manusia yang memiliki hak atas perlindungan
dari ancaman dan praktik perbuatan pidana yang dilakukan
oleh orang lain. Di sinilah letak kewajiban Negara untuk
melindungi hak asasi manusia warga negaranya, siapapun
dia.

6
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Kondisi kesulitan akses dan minimnya perlindungan


atas hak-hak penyandang disabilitas dan anak terlantar
terjadi pula di Kabupaten Cilacap. Kondisi inilah yang
menjadi alasan utama mengapa harus disusun Peraturan
Daerah yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
meningkatkan kualitas hidup dan menjamin perlindungan
dan pemenuhan hak-hak penyan- dang disabilitas di
Kabupaten Cilacap.

B. Identifikasi Masalah
Berdasakan uraian latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, beberapa masalah yang dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Kurang maksimalnya pelayanan Pemerintah Daerah terha-
dap perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak
terlantar dalam memperoleh pelayanan hak-hak dasar
seba- gai warga Negara dalam berbagai bidang kehidupan
2. Banyaknya anak penyandang disabilitas dan anak
terlantar tidak sebanding dengan penyediaan infrastruktur
yang men- dukung terpenuhinya hak dasar mereka
sehingga terkesan masih ada “diskriminasi” sosial yang
menempatkan mereka rentan untuk diperlakukan tidak
adil dan manusiawi dari masyarakat dan pemerintah
daerah.
3. Masih adanya anggapan sosial terhadap anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar sebagai kelompok
masyarakat yang bermasalah. Pandangan yang salah ini
menempatkan mereka pada posisi subordinatif dan
termarjinalkan secara sosial dan tentu sangat
menghambat perkembangan fisik dan psikhis mereka
untuk berkembang sebagai anak yang sehat dan normal.
4. Belum adanya regulasi yang menjadi payung hukum bagi
Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap Untuk memberikan
fasilitasi yang menjamin terpenuhinya hak–hak dasar
mere- ka sebagai manusia yang memiliki hak asasi
manusia yang sama. Dengan adanya Peraturan daerah ini
koordinasi dan fasilitasi program menjadi sinergis dan
terintegrasi antar sektor dalam organisasi perangkat
daerah.

C. Tujuan dan manfaat


Adapun tujuan yang hendak dicapai dari Naskah Akade-
mik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap
1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

tentang perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak


terlantar

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

adalah untuk melakukan penelitian atau pengkajian terkait


dengan kewajiban Pemerintah Daerah dalam melakukan pro-
gram perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak
terlantar. Oleh karena itu, tujuan pokok dari penyusunan
Nas- kah akademik peraturan daerah ini adalah sebagai
berikut:
1. Terselenggaranya peningkatan akses dan mutu
pelayanan pemenuhan hak-hak dasar anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar sehingga mereka tumbuh
kembang se- bagai anak normal pada umumnya.
2. Tersedianya infrastruktur yang memadahi bagi anak pe-
nyandang disabilitas dan anak terlantar dalam
memperoleh hak-hak dasar mereka dalam segala bidang
kehidupan mereka.
3. Menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas dan
anak terlantar melalui kemudahan dan perlakuan khusus
agar tercipta kemandirian, kesejahteraan, dan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan
4. Terbangunnya peningkatan kesadaran dan partisispasi
ma- syarakat dalam memberikan perhatian dan perlakuan
seca- ra adil dan bermartabat sebagai warga Negara
kepada anak penyandang disabilitas dan anak terlantar.
5. Terbentuknya sinergi dan kerjasama antar seluruh pe-
mangku kepentingan (stakeholders), organisasi profesi,
akademisi, swasta dan masyarakat dalam memberikan
layanan untuk menjamin terpenuhinya hak penyandang
disabilitas dan anak terlantar.
Adapun tujuan pokok dari dibuatnya Peraturan daerah
ini adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah daerah
dalam upaya perlindungan hak anak penyandang disabilitas
dan anak terlantar untuk terciptanya kemandirian dalam hi-
dup sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang
sebagai manusia yang seutuhnya.

D. Metode Analisis Naskah Akademik


Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik
ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum,
baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai
tra- disi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal
yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-
undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten
Cilacap tentang

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlan-


tar.
Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum
yang baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan
pada kaidah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan
pada kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat yaitu
tata nilai sosial (local wisdom) yang diyakini dan
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat.
Secara sistematis, penyusunan naskah akademis ini me-
liputi tahapan-tahapan :
1. Identifikasi permasalahan terkait perlindungan anak pe-
nyandang disabilitas dan anak terlantar di Kabupaten
Cilacap.
2. Inventarisasi bahan hukum yang terkait.
3. Sistematisasi bahan hokum.
4. Analisis bahan hukum, dan
5. Perancangan dan penulisan.

--  --

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

BAB
II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK
EMPIRIK

A. Kajian Teoritis
1. Perlindungan Anak; Perspektif Filosofis Dan Sosiologis
Gagasan bahwa usia anak-anak perlu diwarnai
dengan
suasana yang ceria, bersekolah dan aneka ragam kegiatan
bermain bukan merupakan hal baru dalam dunia
peradaban umat manusia. Dalam dunia anak-anak harus
ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengetahuan.
Pengetahuan dengan segala kemajuan peradabannya
merupakan suatu faktor esensial akan keberlangsungan
kehidupan di masa depan. Namun bersamaan itu pula,
umat manusia perlu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya, baik kebutuhan yang ruang lingkupnya primer,
seperti pemenuhan sandang, papan dan pangan, maupun
kebutuhan sekunder, seperti kebutuhan-kebutuhan yang
sifatnya sebagai pelengkap.
Sekitar abad ke 18, kehidupan anak mulai dirambah
oleh masuknya gerakan industrialisasi dan urbanisasi di
daratan Eropa dimana kedudukan anak yang mula-mula
selalu bersandingan dengan dunia penuh keceriaan,
kegembiraan dan beraneka ragam hiburan dan permainan
berubah secara fundamental. Pada saat itu, hubungan
antara dunia industri dengan dunia anak-anak sangat tipis
sehingga pengaruh industrialisasi dirasakan pula oleh
dunia anak-anak. Termasuk diantaranya adalah
bertambah besarnya tenaga kerja anak-anak yang
digunakan dalam sektor tersebut. Setiap industri
membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit sehingga
usia-usia yang dikategorikan masih anak-anak tidak lepas
dari bidikannya.
Karena itu, masyarakat memberikan proteksi yang
bertujuan melindungi anak-anak dari berbagai akses
negatif atas kehadiran industri-industri yang umumnya
sangat berbahaya.7
Sementara itu, perlindungan terhadap anak-anak
dari berbagai ancaman tindak kekerasan masih dirasakan
kurang maksimal dan bahkan sepertinya tidak memihak
kepada hak-hak dasar yang melekat pada anak itu sendiri.
Kekerasan masih terjadi dimana-mana tanpa suatu
penanganan yang betul-betul dapat menjerakan si pelaku

Mengenai implikasi industrialisasi ini, lihat makalah Kuntowijoyo,


7

“Paruh Industrialisasi Indonesia Yang Manusiawi”, Makalah Seminar di Pusat


1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar
Antar Universitas (PAU) UGM, Yogjakarta, 4 Desember 1990.

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

tindak kekerasan tersebut. Memang organisasi PBB telah


membuat konvensi tentang hak-hak anak pada tanggal 20
Novermber 1989 yang bertujuan untuk menetapkan
standar umum bagi hak-hak yang diperoleh anak di
seluruh dunia. Konvensi ini juga dilahirkan untuk tujuan
melindungi anak- anak dari segala bentuk tindakan
penyia-nyiaan, eksploitasi dan penyalahgunaan. Dengan
demikian konvensi tersebut merupakan alat normatif yang
diakui oleh masyarakat Internasional untuk menjaga dan
melindungi anak-anak agar dapat tumbuh dan
berkembang secara layak sesuai dengan potensi dasar
yang dimilikinya sejak lahir di muka bumi.
Perlindungan anak yang masih didasarkan atas
tradisi atau adat-kebiasaan memang dimiliki oleh setiap
komunitas masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai
norma-norma sosial yang cukup dihormati
keberlakuannya. Dengan berbagai macam tradisi sosial
itu, suatu masyarakat dapat melindungi berbagai macam
kepentingan dan kebutuhan anggotanya, termasuk
bagaimana melindungi anak-anak agar tetap tumbuh
dewasa tanpa perlakuan kekerasan. Tradisi sosial yang di
dalamnya menyimpan sanksi-sanksi sosial itu bertujuan
melindungi hak-hak anak sampai menginjak usia dewasa.
Umumnya, norma-norma itu berlaku secara alamiah yang
menyimpan berbagai macam bentuk sanksi-sanksi yang
dikenal oleh masyarakat.8
Namun dengan konvensi tersebut mulai muncul
kesamaan pandangan dan langkah-langkah hukum dalam
melindungi anak dari berbagai tindakan kekerasan.
Dengan demikian, tradisi-tradisi yang telah menjadi suatu
kebiasaan (customary law)9 masyarakat selama itu tidak
bertentangan dengan norma-norma umum, justru makin
mendapatkan pengukuhan dengan adanya konvensi
tersebut.
Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) berlaku umum dan
sampai saat sekarang telah diratifikasi tidak kurang dari
187 negara-negara di dunia. Konvensi ini merupakan
perjanjian Internasional dan paling banyak diratifikasi
daripada pernjanjian-perjanjian Internasional lainnya.
Negara Republik Indonesia sendiri berkepentingan terhadap
perlindungan anak-anak dari berbagai tindak kekerasan,
sehingga melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
8 Pengertian sanksi-sanksi Sosial, lihat lebih lanjut Lili Rasjidi, Filsafat

Hukum: Apakah Hukum Itu?, (Bandung: Remadja Karya, 1985), hlm. 3-8.
9 Bandingkan dengan istilah Adat-Recht, lihat, Imam Sudiyat, Asas

Hukum Adat, Bekal Pengantar, (Yogjakarta: Liberty, 1982), hlm. 1-34.

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

1990, tanggal 25 Agustus 1990, secara resmi melakukan


ratifikasi terhadap KHA tersebut.
Selang satu dekade lebih sejak diratifikasinya KHA
tersebut, pada tahun 2002, pemerintah Indonesia
membuat Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak,
yang dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002.
Secara umum garis besar substansi KHA tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai berikut: pertama, hak-hak
kelangsungan hidup yang mencakup hak hidup dan hak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai;
kedua, hak-hak tumbuh kembang yang mencakup semua
jenis pendidikan, baik formal maupun non formal dan hak
menikmati standar kehidupan yang layak bagi tumbuh
kembang fisik, mental, spiritual, moral dan sosial; ketiga,
hak-hak perlindungan yang mencakup perlindungan
terhadap diskriminasi, penyalahgunaan dan pelalaian,
perlindungan bagi anak-anak tanpa keluarga dan
perlindungan bagi anak-anak pengungsi; keempat, hak-
hak partisipasi yang meliputi hak-hak untuk
menyampaikan pendapat atau pandangan dalam semua
hal yang menyangkut nasib anak.10
Secara politis harus diakui bahwa Indonesia
bersungguh-sungguh melakukan upaya perlindungan,
yang ditandai dengan keputusan melakukan ratifikasi
KHA dan menindaklanjutinya dengan pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Namun
perlindungan itu tidak semata-mata dapat dilakukan
secara efektif atas terbitnya peraturan-peraturan
tersebut, melainkan juga memperhatikan kendala-kendala
yang selama ini menjadi ganjalan dalam mengefektifkan
kerja untuk kepentingan perlindungan anak.
Adapun kendala utama dalam pelaksanaan KHA dan
peraturan-peraturan lainnya di Indonesia adalah belum
adanya sosialisasi yang menyeluruh atas substansi KHA
tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Akibatnya, masih banyak elemen masyarakat yang belum
begitu mengerti dan mengetahui hak-haknya, demikian
pula dengan hak-hak anak. Sementara itu, pihak
pemerintah sendiri kurang atau tidak menyadari atas
implikasi lebih lanjut dari tidak meratanya sosialisasi

Sinung D. Kristanto, “Konvensi Hukum Anak-Anak (KHA): Isi Dan


10

Kendala Pelaksanaannya di Indonesia”, dalam Bagong Suyanto dan Sri


Sanituti Hariadi (ed.), Pekerja Anak, Masalah, Kebijakan Dan
Penanganannya, (Surabaya: Penerbit Lutfansah, 2000), hlm. 106.

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

tentang KHA dan Undang-undang itu di masyarakat. 11 Di


sisi lain, KHA dan peraturan lainnya belum terintergrasi
pada semua aspek pelayanan yang tersedia bagi
kebutuhan perlindungan anak-anak.
Pengintegrasian merupakan faktor penting dalam
rangka pemenuhan tanggungjawab negara untuk
meningkatkan kualitas perlindungan hak-hak anak.
Lemahnya lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga
lainnya dalam melakukan perlindungan anak-anak sangat
dirasakan betul oleh semua pihak sehingga setiap terjadi
tindak kekerasan hak-hak anak tidak cepat tertangani
secara memuaskan, dengan berbagai alasan, baik segi
administrarif maupun aspek kompetensinya. Sementara
itu, hubungan antara lembaga pemerintah dengan
lembaga non pemerintah (LSM) belum berfungsi secara
optimal, baik segi koordinatif maupun segi konsolidatif
dan advokatif. Padahal lembaga-lembaga tersebut
mempunyai kekuatan sosial yang jika dioptimalkan
hubungan diantara keduanya sangat berguna/efektif bagi
perlindungan anak-anak.
Kendala selanjutnya dari perlindungan hak-hak anak
adalah berkaitan dengan sektor lainya, seperti tingkat
kemiskinan dan pengangguran yang makin membengkak,
baik di sektor perkotaan maupun di sektor perdesaan.
Sementara itu, tingkat dan jenjang pendidikan yang
relatif rendah disertai dengan kurangnya kesadaran
orang tua terhadap pemahaman jender dan hak-hak anak,
menjadikan mereka buta terhadap perlindungan anak.
Nilai-nilai sosial yang kurang mendukung pemberian
perlindungan hak-hak anak, seperti perkawinan di bawah
umur atau anak-anak yang putus sekolah (drop out) dan
dipekerjakan pada sektor-sektor yang berbahaya, dan lain
sebagainya.
Ada banyak bukti yang memperlihatkan bahwa anak
rawan adalah anak yang sejak usia dini telah dibebani
oleh kewajiban-kewajiban orang tua dan keluarganya atau
pekerjaan yang tidak pantas untuk dikerjakan oleh anak-
anak, namun hal itu selalu dipaksakan dengan berbagai
macam alasan.
Posisi anak-anak yang demikian rawan dengan kasus
putus sekolah lebih banyak karena faktor ekonomi, meski
tidak harus dikatakan bahwa putus sekolah selalu

Ibid., hlm. 110-111; lihat juga Muhammad Farid, “Konvensi Hak


11

Anak: Isi dan Masalah Implementasinya”, dalam Bagong Suyanto dan Sri
Sanituti Hariadi (ed.), Pekerja Anak di Sektor Berbahaya, (Surabaya:

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar
Lutfansah, 2000), hlm. 157-166.

1
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

dikaitkan dengan keluarga miskin. Akan tetapi bagi anak


yang putus sekolah dari anak-anak kelurga miskin akan
kesulitan untuk masuk kembali ke sekolah tersebut atau
enggan kembali bersekolah, dan terbukti memang dari
lingkungan keluarga miskin itulah diketemukan banyak
anak-anak yang putus sekolah. Dengan demikian anak-
anak yang putus sekolah lebih didasarkan atas masalah-
masalah ekonomi keluarga.
Meski demikian, terdapat penyebab lainnya yang
terkait dengan kasus putus sekolah, yaitu kondisi yang
tidak nyaman bagi anak-anak keluarga miskin di sekolah-
sekolah yang didominasi oleh keluarga berpenghasilan
tinggi, tingkat kualitas pengajaran yang tidak memenuhi
syarat dan kurikulum yang kurang relevan dengan kondisi
lingkungan yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-
anak.12
Selain itu, faktor-faktor yang sering mencuat
kepermukaan adalah tidak adanya alternatif lain yang
menjadi sarana dalam mendidik anak-anak dari keluarga
miskin. Sebab dalam kenyataanya, anak-anak dari
keluarga yang demikian mengalami kesulitan sosial dalam
bergaul dengan sesama temannya yang berasal dari
keluarga berpenghasilan tinggi. Ada kalanya faktor yang
dianggap sepele seperti tidak adanya hubungan
pergaulan yang sepadan antara anak-anak dari keluarga
yang tingkat ekonominya berbeda, akhirnya berujung
dengan putus sekolah.
Bagi anak-anak yang putus sekolah dari keluarga
miskin, biasanya semua pihak tidak ambil peduli lebih
dalam akan hal itu. Kasus seperti itu merupakan gejala
yang terbiasa terjadi di desa-desa yang tergolong miskin.
Penduduk desa telah menganggap bahwa anak-anak yang
putus sekolah tidak memiliki dana untuk melanjutkan
biaya sekolah yang dianggap terlalu tinggi dipikul oleh
keluarga orang-orang miskin. Lingkungan sosial akan
selalu memakluminya dan menerima kehadiran anak-anak
putus sekolah, tanpa mempertanyakan faktornya, tapi
justru menganggap bahwa hal itu sudah menjadi
kebiasaan yang sering terjadi di keluarga miskin.
Tentu sangat ironis sekali karena hal itu
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar kita, pasal
31 UUD 1945, ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga
negara berhak mendapat pengajaran dan ayat 2
menyatakan bahwa

ST. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan, Jilid Pertama, (Yogyakarta:


12

Yayasan Pendidikan Paramita, 1984), hlm. 35-39.


15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu


sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-
undang.
Menangani anak-anak miskin yang putus sekolah
memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah meski
tidak harus diartikan suatu kesulitan yang terus menerus
ditunda-tunda penanganannya. Bagi institusi sebesar
negara, menyelesaikan persoalan putus sekolah
merupakan hal yang kecil karena selain memiliki alokasi
dana yang besar juga hal itu merupakan suatu kewajiban.
Namun yang lebih penting dari itu adalah kelangsungan
proses pendidikan terhadap anak-anak merupakan hak
dasar yang harus mendapatkan prioritas dari pihak
pemerintah. Sebab selama ini tingkat pendidikan yang
lebih tinggi memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap
tumbuhnya kesadaran akan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam tata pergaulan masyarakat.
Selain itu, produktifitas baik di dunia industri
maupun di dunia agraris dapat ditingkatkan berkat
tingkat pendidikan anggota masyarakat yang lebih
berkualitas dengan tingkat profesional dan skill yang
lebih baik. Tingkat pendidikan tinggi lebih mudah
menumbuhkan suatu kesadaran akan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, sedangkan tingkat pendidikan
rendah mungkin mengalami kesulitan tersendiri dalam
menumbuhkan kesadaran akan hal itu.
Dampak negatif dari putus sekolah sangat besar
dirasakan oleh lingkungan keluarga dimana anak-anak
tersebut dibesarkan. Yang jelas pengetahuan mereka
menjadi terbatas dan kesadaran untuk memahami hak-
haknya secara otomatis berkurang seiring dengan tingkat
pendidikan yang diperolehnya. Selain itu, lingkungan
sosial mereka rentan tindak kekerasan, sebagaimana
contoh munculnya tindak kekerasan sering bersumber
dari faktor yang cukup sederhana. Kekerasan sering
terjadi dalam komunitas yang tingkat ekonominya rendah
atau pengangguran daripada komunitas yang
berpenghasilan tinggi atau telah memiliki kesibukan
bekerja.
Dampak yang diakibatkan oleh putus sekolah begitu
besar, maka seharusnya semua pihak, baik pihak
pemerintah --pusat dan daerah-- maupun non pemerintah
(LSM), tokoh masyarakat formal maupun informal segera
mencarikan solusi yang tepat bagi penanganan mereka
yang pendidikannya putus di tengah jalan.

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Terlepas dari faktor-faktor yang menjadi sumber


kasus putus sekolah, seperti persoalan ekonomi atau
persoalan sosial lainnya. Di satu sisi, pihak pemerintah
seharusnya secara serius mencarikan solusi melalui
pembuatan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam
memberikan angin segar bagi anak-anak yang tergolong
keluarga miskin.
Di sisi lain, kalangan non pemerintah, termasuk LSM
berperan memberikan pendampingan sukarela sesuai
dengan perannya sehingga hal itu dapat mendorong
program peningkatan kualitas pendidikan anak-anak
miskin. Bila perlu antara pihak pemerintah dan kalangan
LSM membentuk koalisi dalam rangka program
dampingan yang legalitasnya mendapatkan perhatian
pihak pemerintah. Pihak LSM bekerja sesuai dengan
keahliannya, termasuk sisi-sisi persiapan, perencanaan
dan pelaksanaan, sementara itu, pihak pemerintah
menyediakan berbagai sarana dan prasarana bagi
kemudahan program dampingan yang telah dirancang
bersama oleh kedua belah pihak.13
Bila ditelusuri munculnya tindakan kekerasan
terhadap anak kadang-kadang tidak lepas dari
pemahanan sepihak yang dilakukan oleh orang tua atau
lingkungan sosial sekitar keberadaan anak-anak.
Pemahaman ini mempunyai implikasi yang besar dalam
mendudukan anak dimana selama ini anak dijadikan objek
dan bukan subjek. Apalagi pandangan itu kemudian
diperkuat lagi dengan status anak-anak yang
dikategorikan masih di bawah umum yang belum memiliki
kompetensi melakukan perbuatan hubungan hukum atau
perbuatan masih belum membawa konsekwensi yuridis
sampai menunggu usia dewasa.
Tindak diskriminasi atas hak-hak anak dapat terjadi
dimana saja, baik dalam ruang lingkup kecil, seperti unit
keluarga, komunitas sekolah atau suatu komunitas
masyarakat tertentu. Pada umumnya, dalam sistem sosial
kita hampir semua anggota masyarakat memberikan
penilaian lebih tinggi akan hak-hak orang-orang dewasa
daripada hak-hak anak.
Di negara Indonesia, anak-anak dari keluarga tidak
mampu dan anak-anak dalam kondisi rentan lainnya,
seperti anak penyandang disabilitas, sering mendapatkan

Anwar Sholihin, “Strategi Advokasi Terhadap Hak-Hak Anak”, dalam


13

Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi (ed.), Pekerja Anak: Masalah,
Kebijakan Dan Upaya Penanganannya, (Surabaya: Lutfansah, 2000), hlm.173-
180.

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

perlakuan tidak adil, termasuk hak-hak anak di bidang


kesehatan, pendidikan, gizi, keamanan yang umumnya
diabaikan begitu saja. Dengan berlakunya undang-undang
perlindungan anak-anak yang didahului sebelumnya
keputusan meratifikasi KHA adalah suatu langkah maju
untuk memproteksi hak-hak anak. Kepedulian atau
kewajiban negara dalam melindungi hak-hak anak perlu
mendapatkan perhatian yang serius sehingga hal itu
dapat mengurangi tindak kekerasan terhadap anak-anak.
2. Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas
1. Preview Kondisi Umum
Sejatinya, setiap anak, anak laki-laki dan dan
perempuan adalah saudara atau teman yang memiliki
makanan, nyanyian, atau permainan yang sama; anak-
anak yang memiliki mimpi dan keinginan yang akan
dipenuhi. Dalam konteks ini, anak penyandang
disabilitas adalah juga anak yang memiliki hak yang
sama dengan anak-anak lainnya.
Dengan diberikan kesempatan yang sama untuk
berkembang sebagaimana anak-anak lainnya, anak-
anak penyandang disabilitas berpotensi untuk
menjalani kehidupan secara penuh dan berkontribusi
pada vitalitas sosial, budaya, dan ekonomi dari
masyarakat mereka.
Namun untuk tumbuh dan berkembang bisa jadi
sulit bagi anak-anak penyandang disabilitas. Mereka
menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi
miskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka
yang tanpa disabilitas. Bahkan bila anak-anak
memiliki ketidakberuntungan yang sama, anak-anak
penyandang disabilitas menghadapi tantangan-
tantangan lain akibat ketidakmampuan mereka dan
berbagai rintangan yang dihadirkan oleh masyarakat
mereka sendiri.
Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan adalah
mereka yang paling kecil kemungkinannya untuk
memperoleh manfaat dari pendidikan dan pelayanan
kesehatan, misalnya, tapi anak-anak yang hidup
dalam kemiskinan dan memiliki disabilitas lebih kecil
lagi kemungkinannya untuk bisa bersekolah atau
pergi ke klinik.
Di banyak negara, respons terhadap situasi anak
penyandang disabilitas umumnya terbatas pada
institusionalisasi, ditinggalkan atau ditelantarkan.
Respons –respons semacam ini merupakan masalah,

18
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

dan itu sudah mengakar dalam asumsi-asumsi negatif


atau paternalistik tentang ketidakmampuan,
ketergantungan dan perbedaan yang muncul karena
ketidaktahuan.
Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen
terhadap hak-hak anak ini dan masa depan mereka,
dengan memprioritaskan anak yang paling tidak
beruntung sebagai masalah kesetaraan dan manfaat
bagi semua.
Anak-anak penyandang disabilitas menghadapi
berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi
mereka dalam berbagai tingkatan, bergantung pada
jenis disabilitas yang mereka alami, di mana mereka
tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Anak-
anak penyandang disabilitas seringkali dianggap
rendah, dan ini menyebabkan mereka menjadi lebih
rentan.
Diskriminasi karena disabilitas berujung pada
marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan
keputusan, dan bahkan pada kematian anak.
Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak
banyak negara yang memiliki informasi yang bisa
diandalkan tentang berapa banyak warganya yang
merupakan anak-anak penyandang disabilitas,
disabilitas macam apa yang mereka alami atau
bagaimana disabilitas ini mempengaruhi kehidupan
mereka. Dengan demikian, anak-anak yang dikucilkan
tidak tahu dan oleh sebab itu terputus dari pelayanan
publik yang sebenarnya merupakan hak bagi mereka
untuk mendapatkannya.
Pembatasan ini bisa memiliki efek yang panjang,
yang membatasi akses mereka pada pekerjaan atau
partisipasi mereka dalam masalah-masalah
kemasyarakatan di kemudian hari, misalnya.
Akan tetapi, akses pada pelayanan dan teknologi
bisa menempatkan anak penyandang disabilitas pada
posisi tertentu untuk mengambil tempat di dalam
masyarakat dan memberikan kontribusinya. Masa
depan sama sekali tidak suram. Dengan adanya
komitmen untuk menegakkan Konvensi Hak Anak
(KHA) dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas
(KHPD), pemerintah di seluruh dunia telah
mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa
seluruh anak, baik itu penyandang disabilitas atau
bukan, bisa

19
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

menikmati hak-hak mereka tanpa diskriminasi apa


pun.
Kedua konvensi itu menjadi saksi atas
meningkatnya pergerakan global yang didedikasikan
untuk inklusi anak penyandang disabilitas dalam
kehidupan masyarakat. Kedua konvensi itu
menyatakan bahwa anak penyandang disabilitas
memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya.
Inklusi lebih dari sekedar integrasi. Sebagaimana bisa
dicontohkan dari bidang pendidikan, integrasi bisa
dicoba hanya dengan merancang dan melaksanakan
bahwa seluruh anak bisa belajar dan bermain
bersama. Ini berarti memberikan akomodasi yang
diperlukan untuk mengakses Braille, bahasa isyarat
dan kurikulum yang diadaptasi.
Inklusi akan menguntungkan semua orang.
Masih mengambil contoh dari bidang pendidikan,
jalan masuk yang lebih landai dan pintu masuk yang
lebar menuju sebuah lembaga pendidikan dapat
meningkatkan akses dan keselamatan bagi seluruh
anak, guru, orang tua dan pengunjung, bukan hanya
mereka yang menggunakan kursi roda.
Dalam usaha untuk mempromosikan inklusi dan
keadilan, anak penyandang disabilitas harus bisa
mendapatkan dukungan dari keluarga mereka,
organisasi penyandang cacat, asosiasi orang tua dan
kelompok-kelompok masyarakat. Pemerintah bisa
membantu dengan menyelaraskan kebijakan-
kebijakan dan program-program mereka dengan
KHPD dan KHA. Para mitra internasional bisa
memberikan bantuan yang sesuai dengan Konvensi
tersebut. Korporasi dan entitas sektor swasta bisa
memajukan inklusi dan menarik bakat terbaik, dengan
merangkul keragaman dalam mempekerjakan orang.
Kebanyakan perampasan yang dialami oleh anak
penyandang disabilitas disebabkan oleh karena
melihat sesuatu yang tidak terlihat. Masyarakat
penelitian sedang bekerja untuk membuat anak
menjadi lebih terlihat dengan meningkatkan
pengumpulan dan analisis data. Pekerjaan mereka
akan membantu mengatasi masalah ketidaktahuan
dan diskriminasi, untuk menargetkan sumber daya
dan intervensi dan mengukur efeknya.
Sejalan dengan hal tersebut, para pembuat
keputusan perlu menggunakan data yang lebih baik

20
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

untuk bisa memulai membangun infrastruktur dan


pelayanan yang lebih inklusif. Yang dibutuhkan
sekarang ialah bagaimana agar usaha ini tetap
fleksibel sehingga bisa diadaptasi begitu ada data
baru yang muncul.
2. Dasar-Dasar Inklusi Anak Penyandang Disabilitas
KHA dan KHPD menantang pendekatan-
pendekatan yang menganggap anak-anak penyandang
disabilitas sebagai penerima pengasuhan dan
perlindungan yang pasif. Alih-alih, kedua konvensi
tersebut menuntut pengakuan atas setiap anak
sebagai anggota penuh dari keluarga dan
masyarakatnya. Ini berarti bahwa fokusnya bukan
pada pengertian tradisional “menyelamatkan” anak,
tapi pada investasi dalam menghilangkan hambatan-
hambatan fisik, budaya, ekonomi, komunikasi,
mobilitas dan sikap yang menghalangi realisasi dari
hak-hak anak, termasuk hak untuk terlibat aktif dalam
membuat keputusan yang memberikan pengaruh
pada kehidupan keseharian anak.
Meremehkan kemampuan penyandang
disabilitas merupakan hambatan utama untuk inklusi
mereka dan untuk memberikan kesempatan yang
setara. Sikap yang meremehkan tersebut ada di
masyarakat, mulai dari para profesional, politisi dan
pembuat keputusan lainnya terhadap keluarga dan
teman-teman serta para penyandang disabilitas itu
sendiri, yang karena tidak adanya bukti bahwa
mereka itu berharga dan didukung seringkali
meremehkan kemampuan mereka sendiri.
1) Pentingnya Perubahan Sikap
Tidak akan banyak perubahan dalam
kehidupan anak penyandang disabilitas kalau
tidak ada perubahan sikap. Ketidaktahuan tentang
sifat dan penyebab pelemahan, invisibilitas anak
itu sendiri, peremehan yang serius tentang potensi
dan kapasitas mereka, dan rintangan lainnya
terhadap kesempatan dan perlakukan yang sama
semuanya menyatu untuk membuat anak
penyandang disabilitas tetap diam dan
terpinggirkan.
Sebaliknya, membawa disabilitas ke dalam
wacana politik dan sosial akan memungkinkan
untuk membuat pembuat keputusan dan penyedia
pelayanan menjadi sensitif serta bisa
menunjukkan pada masyarakat luas bahwa
disabilitas merupakan bagian dari kondisi
21
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

kemanusiaan. Pentingnya

22
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

melibatkan anak penyandang disabilitas tidak


perlu dilebih-lebihkan. Prasangka bisa dikurangi
melalui interaksi, sebagaimana ditunjukkan oleh
kegiatan- kegiatan yang menggabungkan anak
penyandang disabilitas dengan yang bukan
penyandang disabilitas. Integrasi sosial akan
menguntungkan semua orang, dan anak-anak yang
telah mengalami inklusi –-dalam pendidikan,
misalnya-– bisa menjadi guru masyarakat terbaik
dalam mengurangi ketidakseimbangan dan
membangun sebuah masyarakat yang inklusif.
Media inklusif juga memainkan peranan
penting. Dengan memasukkan penggambaran
anak dan orang dewasa penyandang disabilitas,
media bisa mengirimkan pesan-pesan positif
bahwa mereka adalah anggota keluarga dan
tetangga. Media juga bisa melawan mis-
representasi dan stereotip yang memperkuat
prasangka-prasangka sosial.
Di samping itu, partisipasi dalam kegiatan-
kegiatan sosial dapat membantu mempromosikan
pandangan yang positif tentang disabilitas.
Olahraga terutama, telah bisa membantu
mengatasi banyak prasangka-prasangka sosial.
Melihat anak penyandang disabilitas yang bisa
mengatasi rintangan fisik dan psikologis untuk
berpartisipasi akan bisa memberikan inspirasi dan
bisa meningkatkan penghormata, meskipun kita
perlu juga berhati-hati agar anak penyandang
disabilitas yang tidak melakukan kegiatan fisik
yang demikian tidak merasa rendah diri.
Olahraga juga telah membantu dalam
kampanye-kampanye untuk mengurangi stigma,
dan para atlet penyandang disabilitas seringkali
menjadi orang yang paling dikenal di kalangan
penyandang disabilitas.
Pengalaman di beberapa negara telah
menunjukkan bahwa akses pada olahraga dan
rekreasi bukanlah satu-satunya manfaat langsung
yang dirasakan oleh anak penyandang disabilitas,
tapi juga membantu untuk meningkatkan gengsi
mereka di masyarakat karena mereka terlihat
berpartisipasi bersama anak-anak lain dalam
kegiatan-kegiatan yang dinilai oleh masyarakat.

23
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Karena KHPD mengakui keluarga sebagai


satuan masyarakat yang alamiah dan
menempatkan Negara dalam peranan untuk
mendukungnya, proses untuk memenuhi hak-hak
anak penyandang disabilitas dimulai dengan
mendukung keluarga mereka dan membangun
rumah yang kondusif untuk intervensi awal.
2) Mendukung Anak Dan Keluarga
Menurut KHPD, anak-anak penyandang
disabilitas dan keluarga mereka punya hak untuk
mendapatkan standar kehidupan yang memadai
dan juga berhak untuk mendapatkan pelayanan
dukungan yang disubsidi atau gratis dan akses
pada bantuan kelompok.
Perlindungan sosial untuk anak penyandang
disabilitas dan keluarga mereka sangatlah penting
karena keluarga ini seringkali menghadapi biaya
hidup yang lebih tinggi dan kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan pemasukan. Data
menunjukkan bahwa perkiraan biaya tambahan
untuk disabilitas yang ditanggung keluarga di
setiap negara rata-rata mencapai 11-69 persen.
Di samping biaya medis, rehabilitasi dan
biaya langsung lainnya, keluarga juga menghadapi
biaya kesempatan, karena orang tua dan anggota
keluarga seringkali harus berhenti bekerja atau
mengurangi jam kerjanya untuk merawat anak
penyandang disabilitas.
Sebuah review tentang 14 negara
berkembang menemukan bahwa para penyandang
disabilitas lebih besar kemungkinannya untuk
mengalami kemiskinan dibandingkan mereka yang
tidak mengalami disabilitas. Penyandang
disabilitas cenderung untuk kurang begitu baik
dalam hal pendidikan, pekerjaan, kondisi hidup,
konsumsi, dan kesehatan. Biaya perawatan
kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
rumah tangga lain yang tidak memiliki anggota
penyandang disabilitas selanjutnya bisa
mengurangi standar kehidupan.
Negara bisa menangani peningkatan risiko
anak menjadi miskin dengan inisiatif-inisiatif
perlindungan sosial seperti program bantuan
tunai, yang telah terbukti bermanfaat bagi anak.
Saat ini semakin banyak negara berpenghasilan
rendah dan menengah yang membangun
berdasarkan hasil-
24
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

hasil yang menjanjikan dari usaha-usaha yang


lebih luas dan telah meluncurkan inisiatif
perlindungan sosial yang ditargetkan yang
meliputi bantuan tunai terutama untuk anak-anak
penyandang disabilitas. Monitoring dan evaluasi
rutin tentang efek dari bantuan tunai itu pada
kesehatan, pendidikan dan rekreasi anak
penyandang disabilitas akan penting untuk
memastikan program-program ini bisa mencapai
tujuannya.
Perangkat lain yang bisa dipakai oleh
Pemerintah adalah penganggaran khusus
disabilitas, dimana pemerintah menetapkan
tujuan- tujuan khusus untuk anak penyandang
disabilitas dalam sebuah inisiatif yang lebih luas
dan mengalokasikan sejumlah sumber daya yang
ada yang memadai untuk tujuan tersebut. Akses
yang efektif pada pelayanan termasuk pendidikan,
pelayahan kesehatan, rehabilitasi, dan rekreasi
harus diberikan secara cuma-cuma dan dengan
cara yang dapat meningkatkan integrasi sosial
secara penuh dan perkembangan individu anak
secara optimal.
3) Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
Program-program rehabilitasi berbasis
masyarakat (RBM) yang mencoba memastikan
bahwa penyandang disabilitas memiliki akses yang
sama pada pelayanan dan kesempatan terkait
kesehatan, pendidikan, dan penghidupan adalah
contoh dari sebuah intervensi yang dirancang dan
dijalankan oleh masyarakat dengan partisipasi
aktif dari anak dan orang dewasa penyandang
disabilitas. RBM bisa efektif dalam menangani
berbagai masalah perampasan, seperti yang
dihadapi oleh anak-anak penyandang disabilitas
yang tinggal di pedesaan dan masyarakat
pedalaman.
Dalam sebuah inisiatif pendampingan untuk
anak-anak suku asli di Oaxaca, di Meksiko,
misalnya, tim RBM dari Centre for Research and
Post-Secondary Studies in Social Anthropology,
bekerja sama dengan UNICEF, mempromosikan
pembentukan jejaring dukungan lokal di kalangan
keluarga anak-anak penyandang disabilitas.
Selama tiga tahun (2007-2010), inisiatif itu
melihat adanya peningkatan penerimaan anak
penyandang disabilitas oleh keluarga mereka,
25
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

masyarakat,

26
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

peningkatan pemberian pelayanan sosial,


pembuatan akses kursi roda di tempat-tempat
umum, pengaturan pelayanan gratis dari negara
dan rumah sakit federal, dan 32 pendaftaran anak
penyandang disabilitas di sekolah-sekolah utama.
Pendekatan inklusif dibangun berdasarkan
aksesibilitas, dengan tujuan untuk membuat arus
utama bisa berlaku untuk semua orang, bukan
menciptakan sistem yang paralel. Mewujudkan
sebuah lingkungan yang bisa diakses sangatlah
penting bagi anak-anak penyandang disabilitas
saat mereka akan menikmati hak-hak mereka
untuk berpartisipasi di masyarakat dan untuk
mendapatkan kesempatan mewujudkan seluruh
potensi mereka.
Jadi, misalnya, anak penyandang disabilitas
perlu akses pada seluruh sekolah untuk
mendapatkan manfaat maksimum dari pendidikan.
Anak-anak yang mendapatkan pendidikan bersama
dengan rekan-rekan mereka punya kesempatan
lebih banyak untuk menjadi anggota masyarakat
yang produktif dan menjadi terintegrasi dalam
kehidupan masyarakat mereka. Untuk
mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan
bagi mereka, bergantung pada jenis disabilitasnya.
Seorang anak mungkin membutuhkan alat bantu
(misalnya, prosthesis) atau pelayanan (seperti
penerjemah bahasa tanda) untuk bisa berfungsi
secara penuh dalam berbagai aspek kehidupan.
Terkait dengan hal tersebut, catatan WHO
menunjukkan bahwa di negara-negara
berpenghasilan rendah hanya 5-15% orang yang
memerlukan teknologi alat bantu yang bisa
mendapatkannya. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa biaya dari teknologi yang seperti itu bisa
menjadi penghalang, terutama untuk anak-anak,
yang harus mengganti atau menyesuaikan
peralatan mereka setelah mereka tumbuh dewasa.
Akses pada teknologi alat bantu itu dan
dukungan khusus lainnya yang diperlukan anak
untuk memudahkan interaksi dan partisipasi
mereka haruslah gratis dan tersedia untuk
semuanya. Rancangan universal adalah sebuah
pendekatan untuk aksesibilitas yang mencoba
untuk menciptakan produk, struktur, dan

27
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

lingkungan yang bisa dipakai oleh semua orang


terlepas berapa usianya, kemampuan atau
situasinya, sampai sejauh mungkin, tanpa perlu
adaptasi atau rancangan khusus. Penerapan dunia
nyata mencakup curb cut, buku audio, velcro
fastening dan bus berlantai rendah. Biaya untuk
mengintegrasikan aksesibilitas ke dalam
bangunan dan infrastruktur baru bisa kelihatan
sepele, yang terhitung kurang dari 1 persen dari
biaya pembangunan utama. Sebaliknya, adaptasi
bangunan yang telah siap bisa mencapai 20
persen dari biaya awal. Oleh sebab itu, cukup
masuk akal untuk mengintegrasikan pertimbangan
aksesibilitas ke dalam proyek-proyek pada tahap
awal dari proses perencanaan. Artinya,
aksesibilitas juga harus menjadi pertimbangan
ketika mendanai proyek- proyek pembangunan.
3. Fondasi Penting Bagi Inklusi Anak Penyandang
Disabilitas
Pelayanan kesehatan dan pendidikan inklusif
memiliki peranan penting dalam membangun fondasi
yang kuat di atas mana anak penyandang disabilitas
bisa membangun kehidupannya.
1) Fondasi Kesehatan Yang Inklusif
Menurut KHA dan KHPD, seluruh anak
mempunyai hak untuk mendapatkan standar
kesehatan yang tinggi. Dengan demikian, anak
penyandang disabilitas sama-sama berhak untuk
mendapatkan perawatan secara penuh, mulai dari
imunisasi sewaktu bayi sampai pada gizi yang baik
dan pengobatan untuk penyakit, demikian pula
dengan informasi dan pelayanan kesehatan
reproduksi dan seksual yang bersifat privasi
selama masa remaja dan saat menginjak dewasa.
Sama pentingnya adalah pelayanan dasar
seperti air bersih, sanitasi dan kebersihan. Hal
inimenyangkut masalah keadilan sosial dan
masalah menghargai martabat seluruh umat
manusia, serta investasi untuk masa depan,
karena anak yang sehat akan tumbuh menjadi
generasi yang produktif dan orang tua yang lebih
efektif.
Di antara intervensi kesehatan publik yang
efektif dan sukses, imunisasi merupakan
komponen utama dari usaha global untuk
mengurangi penyakit dan kematian anak. Semakin
banyak
28
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

anak-anak dibandingkan sebelumnya yang bisa


dijangkau, tapi anak-anak penyandang disabilitas
masih belum memperoleh manfaat dari
peningkatan cakupan tersebut. Termasuk anak-
anak dalam usaha imunisasi tidak hanya etis tapi
juga wajib untuk kesehatan publik dan kesetaraan,
cakupan universal tidak bisa dicapai jika mereka
tetap dikucilkan. Meskipun imunisasi bisa
mencegah beberapa penyakit yang bisa mengarah
kepada disabilitas, tapi ini tidak kalah pentingnya
untuk melakukan imunisasi kepada anak yang
sudah terlanjur mengalami disabilitas. Bila tidak
diberikan imunisasi, anak-anak penyandang
disabilitas berisiko mengalami hambatan
perkembangan, kondisi sekunder yang bisa
dihindari dan kematian yang bisa dicegah.
Memasukkan anak penyandang disabilitas
dalam usaha untuk mempromosikan imunisasi,
misalnya, meningkatkan kesadaran dengan
memperlihatkan mereka bersama yang lainnya
poster dan materi promosi lainnya, dan
menjangkau orang tua dan organisasi penyandang
disabilitas, akan membantu meningkatkan
cakupan imunisasi di antara mereka.
Gizi juga merupakan hal penting. Makanan
yang tidak mencukupi atau diet kekurangan
vitamin atau mineral tertentu bisa menyebabkan
bayi rentan terhadap kondisi-kondisi tertentu dan
infeksi yang bisa menyebabkan disabilitas fisik,
indra dan intelektual. Misalnya, antara 250.000
sampai
500.000 anak dianggap berisiko untuk menjadi
buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A.
Sindrom ini bisa dengan mudah dicegah dengan
suplementasi oral yang harganya sangat murah
untuk setiap anak.
Di samping itu, langkah-langkah yang
berbiaya rendah tersedia untuk mencegah
disabilitas muncul dari kekurangan nutrisi lainnya.
Gizi buruk dan penyakit diare sewaktu kecil bisa
menyebabkan kekerdilan, yang diindikasikan oleh
kurangnya tinggi badan menurut usia, yang
selanjutnya bisa menimbulkan kinerja kognitif dan
pendidikan yang buruk yang akan memiliki
konsekuensi selama hidup.

29
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Gizi buruk pada ibu bisa berkontribusi pada


sejumlah disabilitas anak yang bisa dicegah. Salah
penyebab yang menonjol dari disabilitas di dunia
adalah anemia, yang mempengaruhi sekitar 42
persen perempuan hamil di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah.
Meskipun gizi buruk bisa menjadi penyebab
disabilitas, hal ini juga bisa menjadi akibat.
Sesungguhnya, anak-anak penyandang disabilitas
lebih berisiko untuk menderita gizi buruk.
Rintangan fisik yang terkait dengan kondisi-
kondisi seperti sumbing atau lumpuh otak
(cerebral palsy 0 dapat mengganggu mekanisme
konsumsi makanan; kondisi-kondisi tertentu
seperti fibrosis sistik (cystic fibrosis), dapat
mengganggu asupan gizi; dan beberapa bayi dan
anak penyandang disabilitas mungkin memerlukan
diet khusus atau asupan kalori untuk
mempertahankan berat badan yang sehat. Namun
anak penyandang disabilitas bisa saja
disembunyikan dari penapisan masyarakat dan
inisiatif pemberian makan. Anak-anak yang tidak
bersekolah tidak mendapatkan program
pemberian makan di sekolah.
Di samping faktor-faktor fisik, sikap juga bisa
sangat berpengaruh pada nutrisi anak. Di
beberapa masyarakat, para ibu mungkin tidak
didorong untuk memberikan ASI pada bayi
penyandang disabilitas, anak penyandang
disabilitas mungkin diberi makan sedikit, atau
tidak diberi makan atau diberikan makanan yang
kurang bergizi daripada saudaranya yang tidak
penyandang disabilitas. Ada kemungkinan bahwa
dalam beberapa hal apa yang dianggap sebagai
penyakit yang terkait dengan disabilitas mungkin
sesungguhnya berkaitan dengan masalah
pemberian makan. Di hampir semua negara
berkembang, para penyandang disabilitas secara
rutin menghadapi kesulitan- kesulitan tertentu
dalam mengakses air minum yang aman dan
sanitasi dasar. Fasilitas seringkali tidak bisa
diakses secara fisik, dan di beberapa tempat,
fasilitas yang baru masih dirancang dan dibangun
tanpa perhatian yang memadai untuk anak-anak
penyandang disabilitas.
Meskipun intervensi rendah biaya dan rendah
teknologi seperti kakus jongkok semakin banyak
30
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

tersedia, informasi tentang hal itu masih harus


disebarluaskan dan dimasukkan dalam kebijakan
dan praktek.
Rintangan-rintangan sosial juga menghambat
akses. Anak-anak dengan disabilitas seringkali
menghadapi stigma dan diskriminasi sewaktu
menggunakan fasilitas rumah dan fasilitas umum,
misalnya, karena adanya ketakutan yang tidak
beralasan bahwa mereka yang mencemarinya.
Apabila anak-anak penyandang disabilitas,
terutama anak perempuan, dipaksa untuk
menggunakan fasilitas terpisah, mereka berisiko
mengalami kecelakaan atau serangan fisik,
termasuk perkosaan.
Anak-anak dan remaja penyandang disabilitas
hampir seluruhnya diabaikan dalam program
kesehatan reproduksi dan seksual dan program
HIV/AIDS, karena mereka seringkali dianggap
tidak aktif secara seksual, kecil
kemungkinan untuk menggunakan zat dan
kurang berisiko terhadap kekerasan
dibandingkan dengan teman-teman
mereka yang tidak mengalami disabilitas. Banyak
remaja penyandang disabilitas yang tidak
mendapatkan informasi dasar tentang bagaimana
tubuh mereka berkembang danberubah, dan
karena mereka sering diajarkan untuk diam dan
patuh, mereka sangat berisiko untuk
disalahgunakan. Akibatnya, mereka berisiko untuk
terinfeksi HIV. Para penyandang disabilitas dari
semua umur yang positif HIV berkemungkinan
kecil akan mendapatkan pelayanan
yang tepat dibandingkan dengan
rekan-rekan mereka yang tidak
penyandang disabilitas, karena fasilitas dan
program jarang sekali yang mempertimbangkan
kebutuhan mereka, sementara petugas pelayanan
kesehatan tidak punya pelatihan khusus
disabilitas.
Karena anak berkembang sangat cepat
selama tiga tahun pertama, deteksi awal dan
intervensi sangatlah penting bagi anak-anak
penyandang disabilitas. Penapisan perkembangan
merupakan sebuah sarana yang efektif untuk
mendeteksi disabilitas pada anak dan merujuk
mereka ke penilaian dan intervensi selanjutnya,
misalnya untuk mengobati kekurangan zat besi,
31
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

memberikan obat anti epilepsi atau memberikan


rehabilitasi

32
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

berbasis masyarakat serta memberikan informasi


penting bagi anggota keluarga.
Intervensi-intervensi yang demikian sudah
semakin tersedia di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah. Deteksi dan pengobatan
kecacatan bukanlah merupakan bidang
pengobatan yang terpisah tapi merupakan aspek
integral dari kesehatan publik.
Pelayanan kesehatan yang ada untuk anak
penyandang disabilitas mungkin buruk
kualitasnya. Dalam kondisi seperti itu petugas
kesehatan dan para profesional lainnya sangat
penting untuk memperoleh manfaat dari
pendidikan tentang perkembangan anak dan
disabilitas dan dilatih untuk memberikan
pelayanan terpadu, dengan partisipasi keluarga
besar anak bila mungkin. Di samping itu, umpan
balik dari anak penyandang disabilitas harus
didapatkan sehingga fasilitas dan pelayanan bisa
memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik.
2) Pendidikan Inklusif
Anak-anak penyandang disabilitas secara
tidak proporsional sering diabaikan hak-haknya
untuk mendapatkan pendidikan, yang mengurangi
kemampuan mereka untuk menikmati hak-hak
kewarganegaraan mereka, mendapatkan
pekerjaan dan mengambil peranan yang bernilai di
masyarakat.
Data survei rumah tangga dari 13 negara
berpenghasilan rendah dan menengah
menunjukkan bahwa anak-anak penyandang
disabilitas usia antara 6 – 17 tahun secara
signifikan berkemungkinan kecil akan dimasukkan
ke sekolah dibandingkan rekan-rekan mereka
yang tidak penyandang disabilitas. Selagi anak-
anak penyandang disabilitas tidak diberikan akses
yang sama untuk masuk sekolah, pemerintah tidak
akan bisa mencapai pendidikan dasar universal
(Tujuan Pembangunan Milenium 2), dan negara-
negara anggota KHPD tidak bisa memenuhi
tanggung jawab mereka menurut Pasal 24.
Alih-alih memisahkan anak-anak penyandang
disabilitas di sekolah-sekolah khusus, pendidikan
inklusif berarti memberikan kesempatan
pembelajaran yang bermakna kepada semua anak

33
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

dalam sistem sekolah reguler. Idealnya, hal ini


memungkinkan anak-anak penyandang disabilitas
atau yang bukan untuk mengikuti kelas yang sama
di sekolah setempat, dengan dukungan tambahan
yang disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini
menuntut akomodasi fisik serta kurikulum yang
berpusat pada anak yang meliputi representasi
dari spektrum penuh dari orang yang ditemukan
di masyarakat dan menggambarkan kebutuhan
seluruh anak.
Berbagai kajian di banyak negara
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara
kemiskinan dan disabilitas, yang selanjutnya
terkait dengan isu-isu gender, kesehatan, dan
lapangan kerja. Anak-anak penyandang disabilitas
seringkali terperangkap dalam siklus kemiskinan
dan pengucilan. Anak perempuan terpaksa
menjadi pengasuh adik-adiknya, bukannya pergi
ke sekolah, misalnya, atau seluruh keluarga
mengalami stigmatisasi, sehingga enggan untuk
melaporkan bahwa ada anak yang penyandang
disabilitas atau enggan membawanya ke publik.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut terbukti
bahwa pendidikan dari orang-orang yang
dikucilkan atau dipinggirkan menimbulkan
pengurangan kemiskinan. Langkah pertama untuk
inklusi dilakukan di rumah pada tahun-tahun
pertama. Tanpa kasih sayang, stimulasi indrawi,
perawatan kesehatan dan inklusi sosial yang
menjadi hak mereka, anak-anak bisa kehilangan
momen perkembangan penting dan potensi
mereka mungkin akan jadi dibatasi, yang
menimbulkan implikasi-implikasi sosial dan
ekonomi bagi mereka sendiri, keluarga mereka
dan masyarakat.
Seorang anak yang disabilitas atau
keterlambatan perkembangannya teridentifikasi
pada tahap awal akan punya kesempatan yang
lebih baik untuk bisa mencapai kapasitasnya
secara penuh. Pendidikan usia dini adalah penting
karena 80% dari kapasitas otak berkembang
sebelum usia
3 tahun; masa sebelum masa sekolah dasar
memberikan kesempatan untuk menyesuaikan
pendidikan perkembangan dengan kebutuhan
individu anak.

34
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Dengan dukungan keluarga dan masyarakat


pada tahap-tahap awal kehidupan mereka, anak-
anak penyandang disabilitas berpeluang untuk
memanfaatkan tahun-tahun mereka di sekolah
untuk menyiapkan diri mereka untuk masa depan.
Di sekolah, menciptakan lingkungan pembelajaran
yang inklusif bagi anak-anak penyandang
disabilitas sangat tergantung dari guru yang
memiliki pemahaman yang jelas tentang
pendidikan inklusif dan komitmen untuk mengajar
seluruh anak. Seringkali, guru tidak punya
persiapan dan dukungan yang cukup untuk
mengajar anak penyandang disabilitas di kelas
reguler, dan ini menimbulkan keengganan mereka
di banyak negara untuk mendukung inklusi anak
penyandang disabilitas di kelas mereka. Sumber
daya untuk anak penyandang disabilitas
cenderung dialokasikan ke sekolah terpisah
bukannya ke sistem pendidikan arus utama yang
inklusif. Ini bukan saja tidak tepat, tapi juga bisa
menjadi mahal.
Di Bulgaria misalnya, anggaran per anak yang
dididik di sekolah khusus bisa tiga kali lipat dari
anggaran untuk anak yang sama di sekolah
reguler. Bila guru-guru dan petugas dilatih untuk
mempertimbangkan isu-isu terkait disabilitas,
mereka melihat inklusi anak-anak penyandang
disabilitas secara lebih positif. Sikap yang paling
positif terlihat di kalangan guru-guru yang
memiliki pengalaman aktual dengan inklusi.
Terlihat bahwa sikap positif di kalangan guru-guru
menjelma menjadi penempatan anak penyandang
disabilitas yang tidak begitu mengekang. Namun
pelatihan pra- jabatan jarang sekali yang
mempersiapkan guru untuk mengajar secara
inklusif, dan pelatihan yang ada memiliki kualitas
yang bervariasi. Tidak adanya orang penyandang
disabilitas di antara para guru menghadirkan
tantangan lain untuk pendidikan inklusif;
penyandang disabilitas seringkali menghadapi
rintangan yang cukup besar untuk bisa menjadi
guru.
Di Kamboja misalnya, guru menurut undang-
undang harus “bebas dari disabilitas”. Kemitraan
dengan masyarakat sipil memberikan contoh yang
menggembirakan tentang cara-cara untuk

35
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

meningkatkan pelatihan guru dan keragaman. Di


Mozambique, LSM Nasional bernama Ajuda de
Desenvolvimento de Povopara Povo telah bekerja
sama dengan organisasi penyandang disabilitas
ADEMO untuk melatih guru-guru yang akan
bekerja dengan anak-anak penyandang disabilitas
dan untuk melatih guru-guru penyandang
disabilitas.
Pendidikan inklusif memerlukan pendekatan
yang fleksibel terhadap organisasi sekolah,
pengembangan kurikulum, dan penilaian murid.
Fleksibilitas semacam itu memungkinkan untuk
mengembangkan pedagogi yang lebih inklusif,
yang menggeser fokus dari gaya pembelajaran
yang terpusat pada guru ke gaya pembelajaran
yang berpusat pada anak untuk bisa merangkul
berbagai gaya pembelajaran.
Guru seringkali tidak mendapatkan dukungan
yang memadai di kelas, dan mereka harus bisa
meminta pertolongan spesialis, misalnya, untuk
Braille atau instruksi berbasis komputer, apabila
kebutuhan siswa penyandang disabilitas berada di
luar keahlian mereka. Spesialis yang demikian
tidak banyak tersedia, terutama di wilayah
berpenghasilan rendah. Ini membuka kesempatan
bagi dukungan yang tepat dari penyedia bantuan
finansial dan teknis dari tingkat internasional
sampai tingkat lokal.
Pendidikan inklusif juga perlu memanfaatkan
sumber daya dari luar kelas. Orang tua punya
potensi untuk memberikan konstribusinya dalam
berbagai cara, mulai dari memberikan
transportasi yang bisa diakses sampai pada
peningkatan kesadaran untuk berhubungan
dengan sektor- sektor kesehatan dan sosial untuk
mendapatkan peralatan, dukungan, dan hibah.
Sumber daya yang paling banyak tidak
dimanfaatkan di sekolah dan masyarakat di
seluruh dunia adalah anak-anak itu sendiri.
Meskipun pentingnya perwakilan anak dan
partisipasi anak sudah didokumentasikan, namun
mereka hanya ada begitu saja dalam struktur dan
sistem pendidikan yang ada. Melibatkan anak
penyandang disabilitas dalam membuat keputusan
bisa memberikan tantangan tersendiri, bukan
karena pemikiran dan perilaku yang melihat
mereka sebagai korban yang pasif. Dalam
36
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

penelitian

37
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

partisipatif, anak-anak seringkali menonjolkan


pentingnya lingkungan yang bersih dan toilet yang
higienis; untuk anak-anak penyandang disabilitas
privasi dan aksesibilitas adalah sangat penting.
Anak-anak penyandang disabilitas bisa dan mesti
menuntun dan mengevaluasi usaha-usaha untuk
memajukan aksesibilitas dan inklusi. Bagaimana
pun, sspirasi untuk pendidikan inklusi besar
kemungkinan akan diwujudkan jika pemerintah
dan para mitranya jelas tentang siapa
mengerjakan apa dan bagaimana, kepada siapa
mereka diminta untuk melaporkannya. Jika
kebijakan gagal untuk diimplementasikan,
masalahnya mungkin adalah mandat yang tidak
jelas. Koordinasi dengan para mitra dan
pemangku kepentingan bisa memainkan peranan
penting dalam proses ini. Eksklusi tidak
memberikan manfaat pendidikan seumur hidup
kepada anak-anak penyandang disabilitas:
pekerjaan yang lebih baik, jaminan sosial dan
ekonomi, dan kesempatan untuk berpartisipasi
secara penuh di masyarakat. Sebaliknya, investasi
di bidang pendidikan anak-anak penyandang
disabilitas bisa berkontribusi pada efektivitas
masa depan mereka sebagai anggota angkatan
kerja. Data menunjukkan bahwa penghasilan
seseorang bisa meningkat 10 persen setiap kali
mereka menambah pendidikan selama satu tahun.
Selanjutnya, keterampilan dasar membaca
dan menulis juga meningkatkan kesehatan. Anak
yang dilahirkan oleh ibu yang bisa membaca 50%
lebih besar kemungkinannya untuk tetap hidup
melewati usia 5 tahun, dan pendidikan ibu yang
rendah telah dikaitkan dengan tingginya angka
kekerdilan di kalangan anak di pemukiman kumuh
di Kenya, pemukiman Roma di Serbia, dan di
Kamboja.
Pendidikan merupakan instrumen dan hak.
Sebagaimana disebutkan dalam KHA, pendidikan
dapat meningkatkan “perkembangan kepribadian
anak, bakat, dan kemampuan mental dan fisik.”
4. Esensi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas
Anak-anak penyandang disabilitas adalah
anggota masyarakat yang paling rentang. Mereka
berpeluang untuk memperoleh manfaat dari langkah-
langkah untuk memperhitungkan mereka, melindungi
mereka dari penyalahgunaan dan menjamin mereka
38
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

akses pada

39
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

keadilan. Dalam masyarakat di mana mereka


distigmatisasi dan keluarga mereka terpapar dalam
eksklusif sosial atau ekonomi, banyak anak
penyandang disabilitas bahkan tidak bisa
mendapatkan dokumen identitas mereka. Ini
merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi
anak dan merupakan rintangan mendasar untuk
partisipasi mereka di masyarakat. Ini bisa menutup
invisibilitas mereka dan meningkatkan kerentanan
mereka terhadap berbagai bentuk eksploitasi sebagai
akibat mereka tidak bisa mendapatkan identitas
resmi. Negara-negara anggota KHPD punya
kewajiban yang jelas untuk menjamin perlindungan
hukum yang efektif untuk anak penyandang
disabilitas. Untuk mengganti norma-norma sosial
yang diskriminatif, Negara perlu memastikan agar
undang-undang yang ada ditegakkan dan bahwa anak
penyandang disabilitas diberi tahu tentang hak
mereka atas perlindungan dari diskriminasi, dan
bagaimana menjalankan hak tersebut.
Prinsip „akomodasi yang masuk akal‟
menyatakan bahwa adaptasi yang perlu dan tepat
perlu dibuat sehingga anak penyandang disabilitas
bisa menikmati hak-hak mereka sama seperti anak-
anak yang lain. Memasukkan mereka ke sistem yang
terpisah tidak akan tepat; kesetaraan melalui inklusi
adalah tujuan. Diskriminasi Eksklusi anak
penyandang disabilitas membuat mereka rentan
terhadap kekerasan, penelantaran, dan
penyalahgunaan.
Beberapa bentuk kekerasan cukup spesifik untuk
anak penyandang disabilitas. Hal itu bisa saja
dilakukan demi pengobatan untuk modifikasi perilaku,
misalnya, menggunakan kejutan elektrik atau
narkoba. Anak perempuan penyandang disabilitas di
banyak negara bisa menjadi subyek sterilisasi
paksaan atau aborsi. Di banyak negara, anak
penyandang disabilitas terus ditempatkan di institusi-
institusi. Jarang sekali fasilitas semacam ini
memberikan perhatian individual yang dibutuhkan
anak untuk sepenuhnya mengembangkan kapasitas
mereka. Pengasuhan pendidikan, medis, dan
rehabilitatif yang mereka terima di tempat semacam
itu seringkali tidak memadai, karena monitoring yang
berstandar rendah atau tidak memadai.
Memisahkan anak penyandang disabilitas dari
keluarga mereka merupakan sebuah pelanggaran atas
40
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

hak mereka untuk diasuh oleh orang tuanya kecuali


hal itu dipandang oleh otoritas yang berkompeten
sebagai hal yang menguntungkan bagi kepentingan
terbaik anak. Jika keluarga dekat tidak bisa mengasuh
anak, KHPD mewajibkan Negara-negara anggota
untuk memberikan pengasuhan alternatif dalam
keluarga luas atau masyarakat, misalnya keluarga
asuh.
Tanggung jawab Negara untuk melindungi hak-
hak seluruh anak yang berada di wilayah hukumnya
juga berlaku bagi anak penyandang disabilitas yang
berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban,
saksi, atau terduga pelaku. Beberapa langkah spesifik
bisa membantu: Anak-anak bisa diwawancarai dengan
bahasa tanda atau bahasa lisan; seluruh profesional
yang terlibat dalam pelaksanaan peradilan, dari
petugas penegak hukum sampai hakim, bisa dilatih
untuk bekerja dengan anak yang memiliki disabilitas;
dan regulasi dan protokol bisa dibentuk untuk
memastikan perlakuan yang sama terhadap anak
penyandang disabilitas.
Selanjutnya, perlu dikembangkan solusi
alternatif untuk proses peradilan formal, dengan
mempertimbangkan sebaran kapasitas individual
anak. Anak penyandang disabilitas juga tidak boleh
ditempatkan dalam fasilitas tahanan anak reguler;
malah mereka harus diberikan perlakuan yang tepat
untuk menangani isu-isu menyebabkan mereka
melakukan sebuah tindak kejahatan. Perlakuan
semacam itu harus dilakukan dalam fasilitas yang
tepat dengan staf yang dilatih secara memadai, di
mana hak- hak anak dan perlindungan hukum
sepenuhnya dihormati.
5. Pentingnya Data Tentang Disabilitas Anak
Sebuah masyarakat tidak akan bisa adil apabila
anak-anak tidak dilibatkan, dan anak penyandang
disabilitas tidak bisa diikutkan kalau tidak ada
pengumpulan data dan analisis yang menyebabkan
mereka bisa terlihat.
Mengukur disabilitas anak menghadirkan
perangkat tantangan yang unik. Karena anak
berkembang dan belajar untuk melakukan tugas-
tugas mendasar dengan kecepatan yang berbeda,
maka sulit untuk menilai fungsi dan membedakan
keterbatasan dari berbagai perkembangan yang
normal. Berbagai sifat dan keparahan dari
disabilitas, bersama dengan
41
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

kebutuhan untuk menerapkan definisi dan langkah-


langkah yang spesifik usia, selanjutnya membuat
usaha pengumpulan jadi lebih rumit. Di samping itu,
kualitas data yang buruk tentang disabilitas anak,
dalam beberapa hal, berasal dari terbatasnya
pemahaman tentang apa itu disabilitas anak, dan
dalam hal lain, dari stigma atau investasi yang tidak
memadai dalam meningkatkan pengukuran.
Kurangnya bukti yang berasal dari kesulitan
semacam itu menghambat pengembangan kebijakan-
kebijakan yang baik dan pemberian pelayanan-
pelayanan penting. Meskipun ada kesepakatan umum
bahwa definisi tentang disabilitas harus mencakup
penentu medis dan sosial, namun pengukuran
disabilitas terutama masih bersifat medis, dengan
fokus pada kecacatan fisik dan mental. Salah satu
kerangka untuk mempertimbangkan kesehatan dan
disabilitas dalam konteks yang lebih luas dari
rintangan sosial adalah International Classification of
Functioning, Disability and Health (ICF), yang
dikembangkan oleh World Health Organization.
Klasifikasi ini melihat disabilitas dalam dua cara
utama: sebagai sebuah masalah struktur dan fungsi
tubuh, dan dalam hal aktivitas orang dan
partisipasinya.
Disabilitas, sebagaimana didefinisikan oleh ICF,
merupakan sebuah bagian yang biasa saja dari
keberadaan manusia – setiap orang bisa mengalami
beberapa tingkatan daripadanya. Definisi ICF juga
mengakui bahwa berfungsi dan disabilitas terjadi
dalam konteks, dan oleh sebab itu ada baiknya untuk
menilai tidak saja faktor-faktor tubuh tapi juga faktor
sosial dan lingkungan. Berangkat dari ICF,
International Classification of Functioning, Disability
and Health for Children and Youth (ICF-CY)
mengambil sebuah langkah ke arah penggabungan
dimensi sosial dengan menangkap tidak saja
kecacatan, tapi juga efeknya pada fungsi dan
partisipasi anak dalam lingkungannya. Ini mencakup
empat bidang utama: struktur tubuh (misalnya, organ,
tubuh), fungsi tubuh (misalnya mendengar,
mengingat), pembatasan aktivitas (misalnya berjalan,
berpakaian), dan pembatasan partisipasi (misalnya,
bermain dengan anak lain, melakukan tugas-tugas
sederhana).
Data tentang disabilitas harus diinterpretasikan
dalam konteks. Perkiraan prevalensi adalah fungsi
42
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

dari

43
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

kejadian dan penyintasan. Bila angka kematian anak


tinggi, prevalensi disabilitas yang dilaporkan rendah
bisa menjadi konsekuensi dari angka penyintasan
yang rendah untuk anak-anak penyandang disabilitas
– atau itu mungkin menggambarkan kegagalan untuk
menghitung anak yang hidup di institusi-institusi,
disembunyikan oleh keluarga, atau tinggal dan
bekerja di jalanan.
Budaya juga memainkan peranan yang penting.
Penafsiran tentang apa yang dianggap fungsi
„normal‟ bervariasi antara konteks dan
mempengaruhi hasil pengukuran. Pencapaian patokan
tertentu tidak saja bervariasi di antara anak, tapi juga
berbeda menurut budaya, karena anak mungkin saja
didorong untuk bereksperimen dan aktivitas-aktivitas
baru pada berbagai tahapan perkembangannya. Oleh
sebab itu, nilai-nilai rujukan harus ditetapkan dengan
mempertimbangkan kondisi lokal dan pemahaman.
Untuk alasan ini, perangkat penilaian yang
dikembangkan di negara-negara berpenghasilan
tinggi, seperti Wchsler Intelligence Scale for
Children, tidak bisa dipakai di negara atau
masyarakat lain. Kerangka rujukan bisa juga
bervariasi, dan perangka survei tidak bisa menangkap
adat istiadat lokal, pemahaman budaya, bahasa dan
ungkapan.
Selanjutnya, tujuan-tujuan khusus dari
pengumpulan data berkemungkinan akan
mempengaruhi definisi dari apa yang merupakan
„disabilitas‟, pertanyaan yang diajukan dan angka
yang dihasilkan. Misalnya, kriteria yang digunakan
untuk mendefinisikan kepatutan untuk manfaat
disabilitas berkemungkinan akan lebih terbatas
dibandingkan dengan kriteria untuk survei yang
dilakukan untuk mengidentifikasi semua orang yang
memiliki keterbatasan fungsional, yang menghasilkan
berbagai angka. Banyak anak yang diidentifikasi
memiliki disabilitas ketika mereka berhadapan
dengan sistem pendidikan atau perawatan kesehatan.
Tapi di negara atau masyarakat berpenghasilan
rendah, staf sekolah dan klinik mungkin tidak akan
bisa secara tepat mengenali atau mencatat kehadiran
anak-anak penyandang disabilitas. Kurangnya
informasi tentang anak-anak penyandang disabilitas
di negara-negara berpenghasilan rendah telah
menimbulkan miskonsepsi

44
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

bahwa disabilitas tidak perlu mendapatkan prioritas


global.
Instrumen pengumpulan data umum seperti
sensus atau survei rumah tangga berkemungkinan
akan meremehkan jumlah anak penyandang
disabilitas, terutama apabila survei tersebut tidak
secara khusus menanyakan soal itu. Survei rumah
tangga yang melakukan itu telah menghasilkan hasil
yang lebih akurat dibandingkan yang menanyakan
tentang disabilitas secara umum, tanpa rujukan pada
anak. Pertanyaan yang lebih beragam dan rinci
tentang subyek tersebut cenderung menghasilkan
angka prevalensi yang lebih tinggi. Untuk melaporkan
disabilitas anak secara lebih akurat, pilihan
pertanyaan harus disesuaikan dengan usia anak guna
menggambarkan tahap-tahap perkembangan dan
kapasitas anak yang terus berkembang. Mengingat
kompleksitas proses perkembangan selama dua tahun
pertama kehidupan anak, tidaklah mudah untuk
membedakan disabilitas dengan variasi dalam
perkembangan normal tanpa perangkat atau
penilaian yang khusus.
Banyak instrumen pengumpulan data didasarkan
hanya pada respons orang tua, yang mungkin saja
tidak memiliki pengetahuan tentang ukuran spesifik
yang digunakan untuk mengevaluasi anak pada setiap
tahap perkembangannya. Orang tua bisa menyatakan
kesulitan berdasarkan kondisi temporer seperti
infeksi telinga, dan mereka bisa juga mengabaikan
tanda- tanda tertentu, atau ragu untuk
melaporkannya karena itu kurang bisa diterima atau
stigma yang melingkupi disabilitas dalam budaya
mereka. Usaha-usaha untuk mengukur disabilitas
anak menghadirkan sebuah kesempatan untuk
mengaitkan penilaian dengan strategi intervensi.
Meskipun intervensi awal itu penting sekali, namun
kapasitas dan sumber daya untuk menindaklanjuti
penilaian dan dukungan untuk anak yang ditapis
positif untuk disabilitas seringkali langka. Data yang
memuat jenis dan keparahan disabilitas anak serta
rintangan bagi anak untuk berfungsi dan
berpartisipasi di masyarakat, bila digabungkan
dengan indikator sosio-ekonomi yang relevan, dapat
membantu memberitahukan keputusan-keputusan
tentang bagaimana mengalokasikan sumber daya,
menghilangkan rintangan, merancang dan
memberikan
45
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

pelayanan, dan mengevaluasi intervensi-intervensi yang


demikian.
Misalnya, data bisa digunakan untuk memetakan
apakah penghasilan, gender atau status minoritas
mempengaruhi akses pada pendidikan atau imunisasi
untuk anak penyandang disabilitas. Monitoring
reguler memungkinkan untuk menilai apakah inisiatif
yang dirancang untuk bermanfaat bagi anak bisa
memenuhi tujuan mereka. Ada kebutuhan yang jelas
untuk mengharmoniskan pengukuran disabilitas anak
guna menghasilkan perkiraan yang bisa diandalkan,
valid dan bisa diperbandingkan secara internasional.
Namun demikian, kondisi pengumpulan data
disabilitas anak yang terfragmentasi sekarang ini
bukanlah alasan untuk mengalihkan aksi yang
bermakna menjadi inklusi, artinya begitu data dan
analisis baru muncul, hal itu akan memberikan
kesempatan untuk mengadaptasi program-program
yang ada dan terencana untuk anak penyandang
disabilitas dan keluarga mereka.
6. Kerangka Aksi Perlindungan Anak Penyandang
Disabilitas
Karena negara-negara di dunia berulang kali
menegaskan komitmen mereka untuk membangun
masyarakat yang lebih inklusif, situasi kebanyakan
anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka
telah meningkat. Tapi kemajuan itu bervariasi antara
satu negara dengan negara lainnya, dan banyak anak
penyandang disabilitas terus menghadapi rintangan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sipil,
sosial dan budaya di masyarakatnya. Mewujudkan
janji kesetaraan melalui inklusi memerlukan aksi di
berbagai wilayah dan oleh banyak pelaku.
1) Meratifikasi Dan Melaksanakan Konvensi-
Konvensi Sebagaimana telah
dimulai tahun 2003,
sebanyak 127 negara dan Uni Eropa telah
meratifikasi KHPD dan 193 negara telah
meratifikasi KHA, yang memperlihatkan komitmen
kepada seluruh warga negara. Ratifikasi itu
sendiri tidak akan mencukupi; mengingat
komitmen dalam prakteknya akan memerlukan
tidak hanya penegakan yang rajin tapi juga
monitoring yang ketat, akuntabilitas dan adaptasi.
Prosesnya akan memerlukan usaha di pihak
pemerintah pusat,

46
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

pemerintah daerah, aparat, organisasi penyandang


disabilitas dan kerjasama orang tua.
2) Memerangi Diskriminasi
Diskriminasi merupakan akar dari banyak
tantangan yang dihadapi anak penyandang
disabilitas dan keluarga mereka. Penegasan
kesamaan hak dan nondiskriminasi dalam undang-
undang dan kebijakan perlu dilengkapi dengan
usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran
tentang disabilitas di kalangan masyarakat umum,
mulai dari mereka yang memberikan pelayanan
penting kepada anak di bidang kesehatan,
pendidikan, dan perlindungan. Negara-negara
anggota KHPD dan PBB beserta badan-badannya
telah menyatakan komitmen mereka untuk
melakukan kampanye peningkatan kesadaran, dan
mereka juga diminta untuk memberikan informasi
kepada anak dan keluarga mereka tentang
bagaimana mencegah dan melaporkan eksploitasi,
kekerasan, dan penyalahgunaan. Badan-badan
internasional dan pemerintah mereka dan mitra
masyarakat bisa membantu mengatasi prasangka
dengan memberikan pejabat dan pegawai
pemerintah pemahaman yang lebih mendalam
tentang hak, kapasitas dan tantangan yang
dihadapi oleh anak penyandang disabilitas.
Kerjasama orang tua bisa memainkan
peranan penting dan harus diperkuat sehingga
anak penyandang disabilitas dihargai, dipuja, dan
didukung oleh keluarga mereka dan masyarakat.
Diskriminasi atas dasar disabilitas adalah sebuah
bentuk penindasan. Membangun kekuatan untuk
perlindungan dari diskriminasi merupakan hal
penting dalam mengurangi kerentanan anak
penyandang disabilitas. Sementara legislasi yang
melarang diskriminasi tidak ada, organisasi
penyandang disabilitas dan masyarakat sipil
secara keseluruhan akan terus memiliki peranan
penting dalam mendorong dilahirkannya undang-
undang atau peraturan yang semacam itu.
3) Mengatasi Rintangan Terhadap Inklusi
Seluruh lingkungan anak, sekolah, fasilitas
kesehatan, transportasi umum dan sebagainya,
bisa dibangun untuk memudahkan akses dan
mendorong partisipasi anak penyandang
disabilitas

47
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

bersama dengan rekan-rekannya. Bilamana anak


berinteraksi dan saling memahami di semua
tingkat kemampuan, mereka semua akan
memperoleh manfaat. Rancangan universal yang
mempromosikan kebergunaan oleh semua orang
sampai sejauh yang mungkin dilakukan harus
dipakai untuk membangun semua infrastruktur
publik dan swasta, serta untuk pengembangan
kurikulum sekolah yang inklusif, program
pelatihan vokasi, dan undang-undang
perlindungan anak, kebijakan dan pelayanan.
Pemerintah memiliki peranan yang
menentukan dalam memperkenalkan dan
melaksanakan langkah-langkah legislatif,
administratif, dan pendidikan yang diperlukan
untuk melindungi anak penyandang disabilitas
dari segala bentuk eksploitasi, kekerasan, dan
penyalahgunaan.
Tidaklah tepat untuk menciptakan sistem
yang terpisah untuk anak penyandang disabilitas,
karena tujuan yang ingin dicapai adalah
mekanisme perlindungan yang inklusif dan
bermutu yang sesuai dan bisa diakses oleh semua
anak.
Salah satu mekanisme itu adalah pencatatan
kelahiran, sebuah elemen penting dari
perlindungan. Usaha-usaha untuk mencatatkan
anak penyandang disabilitas, dan oleh sebab itu
membuat mereka jadi perhatian, patut dijadikan
prioritas.
4) Mengakhiri Institusionalisasi
Institusi adalah pengganti yang buruk untuk
mengembangkan kehidupan rumah, meskipun
mereka dijalankan dan dimonitor dengan baik.
Langkah-langkah langsung untuk mengurangi
ketergantungan pada institusi bisa meliputi
moratorium penerimaan anak di institusi. Ini
harus disertai dengan promosi dan peningkatan
dukungan untuk pengasuhan berbasis keluarga
dan rehabilitasi berbasis masyarakat.
Membuat pelayanan publik, sekolah dan
sistem kesehatan bisa diakses dan tanggap
terhadap kebutuhan anak penyandang disabilitas
dan keluarga mereka akan mengurangi tekanan
untuk mengirim anak ke institusi.
5) Mendukung Keluarga

48
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Disabilitas dalam keluarga seringkali


dikaitkan dengan biaya hidup yang semakin tinggi
dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
penghasilan, dan dengan demikian dapat
meningkat resiko menjadi miskin atau tetap
miskin. Kemiskinan membuat anak sulit
mendapatkan pelayanan yang mereka butuhkan
dan teknologi yang bisa membantu mereka.
Kebijakan sosial harus mempertimbangkan
keuangan dan biaya yang terkait dengan
disabilitas. Ini bisa dilakukan dengan hibah sosial,
subsidi untuk transportasi dan pendanaan untuk
pembantu pribadi atau pengasuhan berjangka.
Tunjangan tunai lebih mudah untuk dilakukan,
lebih fleksibel dalam memenuhi kebutuhan
tertentu, dan juga menghargai hak membuat
keputusan orang dan anak. Program bantuan
tunai yang ada bisa diadaptasi sehingga keluarga
yang mengasihi anak penyandang disabilitas tidak
dikucilkan atau diberikan dukungan yang tidak
memadai.
6) Keluar Dari Standar Minimum
Dukungan dan pelayanan yang ada harus
senantiasa dinilai dengan sebuah pandangan
untuk mencapai kualitas yang mungkin dicapai,
tidak hanya memenuhi standar minimum.
Perhatian harus dipusatkan pada pelayanan untuk
anak seorang perorangan dan mengubah seluruh
sistem dan masyarakat.
Dalam proses evaluasi, pentingnya
partisipasi oleh anak penyandang disabilitas dan
keluarga mereka tidak bisa dilebih-lebihkan. Anak
dan remaja penyandang disabilitas adalah sumber
yang paling berwenang tentang informasi
mengenai apa yang mereka butuhkan dan apakah
kebutuhan mereka itu dipenuhi.
7) Mengoordinasikan Pelayanan Untuk Mendukung
Anak
Efek dari disabilitas masuk ke semua sektor,
yang menuntut pelayanan yang terkoordinasi
untuk menangani sejumlah tantangan yang
dihadapi anak penyandang disabilitas dan
keluarga mereka. Sebuah program intervensi dini
yang terkoordinasi di seluruh sektor kesehatan,
pendidikan dan kesejahteraan yang membantu
mempromosikan identifikasi awal dan pengelolaan
disabilitas anak.
49
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Intervensi dini telah terbukti membuahkan hasil


yang lebih besar dalam kapasitas fungsional, dan
menghapus rintangan awal dalam hidup kurang
dari efek gabungan dari rintangan ganda yang
dihadapi anak penyandang disabilitas.
Peningkatan dalam kemampuan akan memiliki
dampak yang lebih besar bila sistem sekolah mau
dan bisa menerima anak penyandang disabilitas
dan memenuhi kebutuhan mereka, sementara
program sekolah-kerja yang inklusif serta usaha
ekonomi untuk meningkatkan pekerjaan para
penyandang disabilitas akan membuat usaha
untuk mendapatkan pendidikan akan lebih
bermakna bagi mereka.
8) Melibatkan Anak Penyandang Disabilitas Dalam
Membuat Keputusan
Anak-anak dan remaja penyandang
disabilitas berada di pusat usaha untuk
membangun masyarakat yang inklusif bukan
hanya sebagai penerima manfaat, tapi sebagai
agen perubahan. Mereka dianggap mampu untuk
memberikan informasi tentang apakah kebutuhan
mereka sudah dipenuhi atau tidak.
Negara-negara peserta KHA dan KHPD telah
menegaskan hak anak penyandang disabilitas
untuk mengungkapkan pandangan mereka
tentang hal-hal yang menyangkut diri mereka dan
ditanyai pandangannya ketika legislasi dan
kebijakan menyangkut diri mereka dikembangkan
dan diimplementasikan.
Untuk tujuan itu, para pembuat keputusan
perlu berkomunikasi dengan cara-cara dan
menggunakan sarana yang mudah diakses dan
digunakan oleh anak dan remaja penyandang
disabilitas. Hak untuk didengar berlaku bagi
semua anak. Seorang anak yang bisa
mengungkapkan pikirannya kecil kemungkinan
untuk disalahgunakan atau dieksploitasi.
Partisipasi sangat penting bagi kelompok-
kelompok pinggiran seperti anak-anak yang
tinggal di institusi.
9) Janji Global, Tes Lokal
Guna memenuhi janji KHPD dan KHA,
badan- badan internasional dan donor dan para
mitra nasional dan lokal mereka bisa memasukkan
anak penyandang disabilitas dalam tujuan, target
dan
50
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

monitoring dari seluruh program pembangunan.


Data yang andal dan obyektif adalah penting
untuk membantu dalam perencanaan dan alokasi
sumber daya dan untuk menempatkan anak
penyandang disabilitas secara lebih jelas dalam
agenda pembangunan. Untuk memberikan
dorongan pada pekerjaan statistik yang
diperlukan, donor internasional bisa
mempromosikan agenda riset global bersama
tentang disabilitas. Sementara itu, program dan
anggaran bisa dirancang untuk memungkinkan
modifikasi sebagai informasi tambahan
disediakan. Bukti akhir dan seluruh usaha global
dan nasional akan bersifat lokal, ujian apakah
setiap anak penyandang disabilitas bisa menikmati
hak-hak mereka termasuk akses pada pelayanan,
dukungan dan kesempatan sebagaimana anak lain,
bahkan di tempat yang paling terpencil dan
kondisi yang paling tidak menguntungkan.
3. Perlindungan Anak Terlantar
Dalam UUD 1945 pasal 34 tegas dinyatakan bahwa
"fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara".
Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap
perlindungan, pemeliharaan dan pembinaan anak,
termasuk anak terlantar. Di dalam pasal 28B UUD 1945
pasal 2 juga disebutkan bahwa “setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”, termasuk didalamnya anak terlantar.
Pihak pertama yang berkewajiban dalam
memberikan perlindungan, pemeliharaan dan pemenuhan
kesejahteraan sosial anak adalah keluarga atau orang tua
atau wali. Apabila orang tua, wali atau keluarga tidak
mampu memenuhi tanggung jawabnya, maka negara
berkewajiban memberikan perlindungan, pemeliharaan
dan kesejahteraan.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup
dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam konteks ini, anak terlantar adalah anak yang
berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu (karena
beberapa kemungkinan: kemiskinan, salah seorang dari
orang tua/ wali sakit, salah seorang/ kedua orang tua/
wali pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak

51
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

ada pengasuh) sehingga tidak dapat terpenuhinya


kebutuhan dasar dengan wajar baik jasmani, rohani,
maupun sosial.
Secara khusus Indonesia memiliki aturan hukum
yang ditujukan untuk melindungi anak yaitu UU No. 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang mendorong
adanya perubahan kebijakan baru dibidang perlindungan
dan kesejahteraan anak yang disusun bersinergi dengan
kebijakan nasional dalam pemerintahan era Jokowi-JK
yang memulai pemerintahannya di tahun 2015.
UU No. 35 Tahun 2014 pasal 1 ayat 6 tentang
Perlindungan Anak menjelaskan bahwa “anak terlantar
adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara
wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”.
Perlindungan terhadap anak sebagaimana diatur dalam
undang-undang perlindungan anak ini, tidak hanya
menjadi kewajiban negara dan pemerintah saja. Seperti
pada Pasal 20 tentang perlindungan anak yaitu: “Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak”. Peran negara,
pemerintah, masyarakat terlebih lagi keluarga dan orang
tua juga wajib memenuhi perlindungan anak melalui
pendidikan, baik formal, informal dan nonformal.
Berbicara tentang Perlindungan Anak, umumnya
merujuk pada KHA (Konvensi Hak Anak) pasal 19 yaitu
“negara-negara peserta akan mengambil semua langkah-
langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan
untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik
dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran
atau perlakukan salah atau eksploitasi, termasuk
penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam
asuhan orang tua, wali atau orang lain yang memelihara
anak”.
Fenomena di Indonesia sendiri terjadi peningkatan
anak terlantar yang selalu mengalami lonjakan drastis.
Data di Kementerian Sosial mencatat pada tahun 2014
ada 4,1 juta anak terlantar di Indonesia, dengan rincian
diantaranya: 5.900 anak yang jadi korban perdagangan
manusia, 3.600 anak bermasalah dengan hukum,
1.200.000 balita terlantar dan 34.000 anak jalanan.
Dengan melihat kondisi masih banyaknya anak-
anak terlantar, muncul pandangan seolah undang-
undang
52
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

perlindungan anak belum mampu memberikan sentuhan


perlindungan terhadap anak-anak, terutama anak
terlantar maupun jalanan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa
anak menjadi anak terlantar, antara lain:
a. Faktor Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya. dimana keluarga
ini merupakan faktor yang paling penting yang sangat
berperan dalam pola dasar anak. Kelalaian orang tua
terhadap anak mengakibatkan anak merasa
ditelantarkan.
Anak-anak sangat membutuhkan perlindungan,
terutama perlindungan dari orang tuanya agar ia
dapat tumbuh berkembang secara wajar.
b. Faktor Pendidikan
Di lingkungan masyarakat miskin pendidikan
cenderung diterlantarkan karena krisis kepercayaan
pendidikan dan juga ketidakadaan biaya untuk
mendapatkan pendidikan.
c. Faktor Sosial, Politik dan Ekonomi
Akibat situasi krisis ekonomi yang tak kunjung
usai, pemerintah mau tidak mau harus menyisihkan
anggaran untuk membayar utang dan memperbaiki
kinerja perekonomian jauh lebih banyak daripada
anggaran yang disediakan untuk fasilitas kesehatan,
pendidikan, dan perlindungan sosial anak.
d. Kelahiran Diluar Nikah
Seorang anak yang kelahirannya tidak
dikehendaki pada umumnya sangat rawan untuk
ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah (child
abuse). Pada tingkat yang ekstrem perilaku
penelantaran anak bisa berupa tindakan pembuangan
anak untuk menutupi aib atau karena ketidak
sanggupan orang tua untuk melahirkan dan
memelihara anaknya secara wajar.
Pada Pasal 21 UU No. 35 Tahun 2014 mengatakan
“Negara dan Pemerintah berkewajiban dan bertanggung
jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak
tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak,
urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan mental”.
Kemudian di tambahkan lagi dengan Pasal 22, “Negara,
Pemerintah dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung

53
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

jawab memberikan dukungan sarana, prasarana dan


ketersediaan sumberdaya manusia dalam
penyelenggaraan perlindungan anak”.
Selanjutnya, pada Pasal 23 ayat (1) menyatakan:
“Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin
perlindungan, Pemeliharaan, dan kesejahteraan anak
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua,
wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung
jawab terhadap anak”. Berikutnya, pada ayat (2)
dinyatakan bahwa “Negara, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak”.
Lebih lanjut pasal dalam 24 dinyatakan: “Negara,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin anak
untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan
anak”.
Anak-anak dalam hal ini khususnya anak terlantar
seharusnya dilindungi dan dijamin hak-haknya
sebagaimana anak pada umumnya dan perlu mendapat
perlindungan khusus, antara lain hak sipil dan
kemerdekaan (civil right and freedoms), lingkungan
keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment
and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan
(basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan
budaya (education, leisure, and culture activities), dan
perlindungan khusus (special protection). Inilah yang
disebut dengan 5 hak dasar anak (5 klaster anak).
Perlindungan bagi anak terlantar sangatlah penting
karena negara bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan dasar fakir miskin dan anak-anak terlantar
yaitu kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan, dan dalam
pelaksaan pemeliharaan anak-anak terlantar di Indonesia
dilakukan dengan memberikan hak-haknya secara normal
layaknya anak-anak pada umumnya yaitu hak sipil dan
hak kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan
pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan,
pendidikan, rekreasi dan budaya serta asuhan, perawatan
dan pembinaan.
Konsep Perlindungan Anak
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan
perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat
UUD 1945 Pasal 28B (2) menyatakan bahwa “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”. Kemudian Pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Setiap

54
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

orang berhak untuk bebas dari penyiksaan,


penghukuman atau perlakuan kejam tidak manusiawi,
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan”.
Selanjutanya dalam Pasal 52 (1) dinyatakan bahwa
“Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat dan negara”.
Perlindungan anak tersebut berkaitan erat untuk
mendapatkan hak asasi mutlak dan mendasar yang tidak
boleh dikurangi sedikitpun atau mengorbankan hak
mutlak lainnya untuk mendapatkan hak lainnya, sehingga
anak tersebut akan mendapatkan hak-haknya sebagai
manusia seutuhnya bila ia menginjak dewasa. Dengan
demikian bila anak telah menjadi dewasa, maka anak
tersebut akan mengetahui dan memahami mengenai apa
yang menjadi hak dan kewajibannya baik terhadap
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang Undang No 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Kesejahteraan
Anak bahwa yang dimaksud perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak- haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Dalam Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali,
atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas
pengasuhan berhak mendapatkan perlindungan dari
perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun
seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan, ketidakadilan dan prlakuan salah lainnya”.
Defenisi Anak Terlantar
Anak adalah “seseorang yang belum berusia 18
tahun termaksud anak yang masih dalam kandungan”.
Definisi lain tentang anak adalah “orang yang dalam
perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin”. Merujuk dari Kamus
Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak
secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih
kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Sedangkan
anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab
orang tuanya melalaikan dan atau tidak mampu
melaksanakan kewajibannya sehingga kebutuhan anak
baik jasmani, rohani maupun sosialnya tidak terpenuhi.
Ciri-ciri Anak Terlantar

55
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Ciri-ciri anak terlantar adalah sebagai berikut:


- Laki-laki atau perempuan berusia 5-18 tahun;
- Tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya;
- Anak yang terlahir dari pemerkosaan, tidak ada yang
mengurus dan tidak mendapatkan pendidikan.
Klasifikasi Anak Terlantar
Anak terlantar masuk dalam klasifikasi masalah
sosial non-patologis yang mengacu pada masalah yang
bersifat penyakit sehingga relatif lebih mudah
mengatasinya. Tetapi jika masalah ini tidak segera
ditangani dengan seksama masalah ini dapat menjadi
masalah sosial yang bersifat patologis yang sulit untuk
dipecahkan dan berhubungan dengan kehidupan
masyarakat itu sendiri.
Dampak Dari Anak Terlantar
a. Dampak Bagi Individu (Anak Terlantar)
Anak merasa kasih sayang orang tua yang
didapatkan tidak utuh, karenanya anak akan mencari
perhatian dari orang lain atau bahkan ada yang
merasa malu, minder, dan tertekan, dan tidak jarang
yang akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas. Selain
itu juga mengakibatkan anak kurang gizi, kurang
perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang
dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk
bermain, bergembira, bermasyarakat, dan hidup
merdeka, atau bahkan mengakibatkan anak-anak
dianiaya batin, fisik, dan seksual oleh keluarga, teman,
orang lain lebih dewasa.
b. Dampak Bagi Keluarga
Dampak bagi keluarga yaitu keluarga menjadi
tidak harmonis (khususnya orang tua), keluarga
menjadi tidak utuh, anak tidak diberikan haknya oleh
orang tua (hak memperoleh pendidikan, hak
mendapatkan kasih sayang orang tua,dll), tidak
berfungsinya kontrol keluarga terhadap anak sehingga
anak cenderung bebas dan berperilaku sesuai
keinginannya bahkan sampai melanggar norma.
c. Dampak Terhadap Masyarakat
Masyarakat memandang bahwa setiap anak
terlantar itu pastilah sama halnya dengan anak nakal
yang selalu melanggar norma-norma yang ada di
masyarakat. Selain itu kontrol masyarakat secara
kontinyu kepada anak terlantar ini juga masih kurang

56
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

dan cenderung hanya mementingkan kepentingan


masing-masing.
Syarat Pelaksanaan Perlindungan Anak Terlantar
Pelaksanaan perlindungan anak yang baik harus
memenuhi persyaratan yang sebagai berikut:14
a. Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksananya
perlindungan anak harus mempunyai pengertian-
pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah
perlindungan anak agar dapat bersikap dan betindak
secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi
permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan
perlindungan anak.
b. Perlindungan anak harus dilakukan bersama antara
setiap warganegara, anggota masyarakat secara
individual maupun kolektif dan pemerintah demi
kepentingan bersama.
c. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam
melancarkan kegiatan perlindungan anak yang
rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat antar
para partisipan yang bersangkutan.
d. Dalam membuat kebijakan dan rencana kerja perlu
diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang
menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan
anak.
e. Perlu adanya kepastian hukum dalam upaya
perlindungan anak dengan mengutamakan perspektif
yang diatur dan bukan yang mengatur.
f. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan
dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
g. Mengupayakan pemberian kemampuan dan
kesempatan pada anak unuk ikut serta melindungi
diri sendiri.
h. Perlindungan anak yang baik harus mempunyai dasar-
dasar filosofi, etis dan yuridis.
i. Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh
menimbulkan rasa tidak dilindungi pada yang
bersangkutan, oleh karena adanya penimbulan
penderitaan, kerugian oleh partisipan tertentu.
j. Perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas
pengembangan hak dan kewajiban asasinya.

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika


14

Pressindo, 1989), hlm. 19.

57
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Prinsip Prinsip Perlindungan Anak Terlantar


a. Anak Tidak Dapat Berjuang Sendiri
Salah satu prinsip yang digunakan dalam
perlindungan anak adalah anak itu modal utama
kelangsungan hidup manusia, bangsa, dan keluarga,
untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak
dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak
yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan
masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan
perlindungan hak-hak anak.15
b. Kepentingan Terbaik Anak (The Best Interest of The
Child)
Agar perlindungan anak diselenggarakan
dengan baik dianut prinsip yang menyatakan bahwa
kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of
paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi)
dalam setiap keputusan yang menyangkut anak.
Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak
akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip the
best interest of the child digunakan karena dalam
banyak hal anak “korban”, disebabkan ketidaktahuan
(ignorance) karena usia perkembangannya. Jika
prinsip ini diabaikan, maka masyarakat menciptakan
monster- monster yang lebih buruk dikemudian hari.16
c. Ancangan Daur Kehidupan (life circle approach)
Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa
perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus menerus.
Janin yang berada dalam kandungan perlu diindungi dengan
gizi, termasuk yodium dan kalsium yang baik melalui ibunya.
Jika ia telah lahir, maka diperlukan air susu ibu dan
pelayanan kesehatan primer dengan memberikan pelayanan
imunisasi dan lain-lain, sehingga anak terbebas dari berbagai
kemungkinan cacat dan penyakit.17

B. Kajian Empiris
Dalam melaksanakan perlindungan terhadap anak,
Kabupaten Cilacap telah memiliki dan mengundangkan

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem


15

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008),


hlm. 39.
16 Ibid, hlm. 39.
17
Ibid, hlm. 40.

58
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 6 Tahun 2016


tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Peraturan Daerah tersebut mengatur penyelenggaraan
perlindungan anak dalam 5 bidang, yaitu; 1) hak sipil dan
kebebasan, 2) hak lingkungan keluarga dan pengasuhan
alternatif, 3) hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, 4) hak
atas pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni
budaya, dan 5) hak perlindungan khusus.
Karena Peraturan Daerah tersebut mengatur
penyelenggaraan perlindungan anak secara umum, maka
dalam Peraturan Daerah tersebut belum diatur secara rinci
perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak
terlantar.
Pengaturan secara khusus perlindungan anak
penyandang disabilitas dan anak terlantar sangat penting
untuk dituangkan dalam regulasi atau peraturan daerah
Kabupaten Cilacap mengingat realitas empiris terkait anak
penyandang disabilitas dan anak terlantar di Kabupaten
Cilacap sebagai berikut :
 Data dari Dinas Sosial menyebutkan, Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) atau anak penyandang disabilitas yang ada
di Kabupaten Cilacap pada 2010 mencapai 8.065 orang.
Pada tahun 2012, ABK yang terdata bersekolah di eks
Kotip Cilacap dan Kroya jumlahnya mencapai 535 jiwa.
Mereka yang termasuk dalam kategori ABK tersebut
antara lain terdiri dari; tunanetra, tuna rungu, tuna
grahita, tunadaksa, tuna laras, kesulitan belajar,
gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan
gangguan kesehatan dan anak dengan gangguan tumbuh
kembang lainnya.
 Berdasar hasil survey dari BPS, diperkirakan dari 22,8
juta penduduk dengan rentang usia 5 sampai 14 tahun,
4,2 juta jiwa atau 10 persennya merupakan anak
berkebutuhan khusus. Angka tersebut di Kabupaten
Cilacap, berdasarkan data dari Dinas Sosial menyebutkan
pada tahun 2003 tercatat jumlah ABK mencapai 4.877
orang. Jumlah tersebut pada 2010 meningkat menjadi
8.065 orang.
Berdasarkan data tersebut tampak bahwa terdapat
pertambahan jumlah anak penyandang disabilitas yang
cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Selain itu, dari 8.065 anak penyandang disabilitas,
hanya 535 anak yang bersekolah. Artinya, masih sangat
banyak anak penyandang disabilitas di Kabupaten Cilacap
yang belum bersekolah.
Bersekolah atau mendapatkan pendidikan baru salah
satu dari beberapa hak dasar lain yang seharusnya bisa
59
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

diperoleh oleh anak penyandang disabilitas.

60
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Lebih lanjut, bertambahnya jumlah ABK tentunya tidak


lepas dari berbagai persoalan, mulai dari buruknya kualitas
lingkungan hidup, kurang sehatnya gaya hidup masyarakat
hingga pola makan yang tidak tepat. Terutama pada ibu
hamil, melahirkan dan pada masa pengasuhan anak.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Cilacap perlu
melakukan berbagai upaya dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap anak penyandang disabilitas, agar
anak penyandang disabilitas bisa memperoleh hak-haknya,
sama seperti anak-anak dan masyarakat Kabupaten Cilacap
lainnya. Salah satu upaya tersebut adalah menyiapkan
perangkat regulasi dalam rangka memberikan kepastian
hukum penyelenggaraan perlindungan terhadap anak
penyandang disabilitas.
Adapun terkait dengan realitas empiris anak terlantar
di Kabupaten Cilacap diperoleh gambaran bahwa
perlindungan terhadap anak terlantar masih menjadi
permasalahan yang belum terselesaikan. Informasi yang
diperoleh dari Dinas Sosial Kabupaten Cilacap mennyatakan
bahwa terkait dengan warga yang terlantar menjadi prioritas
di tahun 2018. Beberapa hal terkait dengan prioritas
tersebut adalah ketersediaan balai rehabilitasi sosial milik
kabupaten karena di Cilacap belum ada. Panti rehabilitasi
khusus untuk jompo yang terlantar sudah ada beralamat di
Slarang tapi itu milik propinsi. Demikian pula yang berada di
Binangun juga adalah milik propinsi, dan itu khusus
gelandangan psikotik. Sementara panti rehabilitasi untuk
anak terlantar belum dimiliki oleh Kabupaten Cilacap.
Tentu saja, ketersediaan panti rehabilitasi barulah
sebagian dari upaya perlindungan terhadap anak terlantar.
Masih banyak hal lain yang perlu diupayakan dalam rangka
menyelenggarakan perlindungan anak terlantar.
Untuk itulah, diperlukan pengaturan perlindungan
terhadap anak terlantar, dan agar pengaturan tersebut
memiliki kepastian hukum, maka pengaturan tersebut perlu
dituangkan dalam bentuk peraturan daerah.

--  --

61
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT

Sebagai bagian dari produk peraturan perundang-


undangan, peraturan daerah haruslah mendasarkan pada
landasan yuridis yang kuat. Landasan yuridis yang dimaksud
disini adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan
pembuatan peraturan perundang-undangan. Kajian ini akan
memperlihatkan harmonisasi dan singkronisasi arah suatu
peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan lain
yang mengatur hukum yang secara hirarkhis bahwa hukum yang
lebih rendah bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan
hukum yang lebih atas.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Peraturan Perundang-Undangan diatur pada pasal 10 ayat (1)
yang secara hirarkhis diatur sebagai berikut:
Jenis dan peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Kajian ini akan memberikan gambaran secara
utuh/komprehensif mengenai pengaturan perlindungan anak
penyandang disabilitas dan anak terlantar yang telah diatur
dalam peraturan perundang- undangan yang telah ada. Dari
hasil kajian ini dapat diketahui apakah sudah cukup memadai
atau belum cukup memadai pengaturan tentang perlindungan
anak penyandang disabilitas dan anak terlantar dalam peraturan
perundaang-undangan yang telah ada, dan oleh karenanya
menjadi perlu atau tidak kelahiran peraturan daerah Kabupaten
Cilacap tentang perlindungan anak penyandang disabilitas dan
anak terlantar.
Secara metodis, kajian ini akan dilakukan dengan cara
harmonisasi atau sinkronisasi ketentuan tentang perlindungan
anak penyandang disabilitas dan anak terlantar yang telah ada
dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.

62
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Secara substansi, Raperda tentang perlindungan anak


penyandang disabilitas dan anak terlantar ini dibuat dalam
rangka memberikan penjabaran secara teknis tentang kebijakan
pemerintah daerah Kabupaten Cilacap terkait dengan
penyelenggaraan perlindungan anak penyandang disabilitas dan
anak terlantar. Raperda perlindungan anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar ini memiliki keterkaitan dengan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dibentuklah daerah
otonom yang tujuannya adalah untuk meningkatkan daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan, yang berbunyi sebagai berikut: 1.Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota,yang tiap- tiap provinsi, kabupaten dan kota
mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang- undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3.
Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4.
Gubernur,Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi,kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis. 5.Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat. 6. Pemerintah Daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan
– peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang.
Agar dapat berfungsi dan dicapai tujuan
pembentukannya sesuai dengan pasal 18 UUD 1945 maka
kepada daerah diberikan wewenang- wewenang untuk
melaksanakan berbagai urusan rumah tangganya. Oleh
karena itu, setiap pembentukan Daerah Otonom Tingkat I
ataupun II harus selalu memperhatikan syarat- syarat
kemampuan ekonomi, jumlah penduduk,luas daerah
pertahanan dan keamanan yang memungkinkan daerah
otonom melaksanakan otonomi yang nyata dan bertanggung

63
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

jawab.
2. Pasal 34 Ayat 1,Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Mengemukakan bahwa fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh Negara. Dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan sosial, Negara
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan (ayat 3 amandemen
UUD 1945). Kondisi tersebut mempunyai konsekuensi
terhadap penyediaan sarana dan prasarana serta sumber
daya manusia yang dapat menangani dan meningkatkan
keberdayaan masyarakat sehingga kesejahteraan sosial
masyarakat dapat ditingkatkan.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3243);
Produk hukum ini menjamin terwujudnya
kesejahteraan anak melalui terpenuhinya kebutuhan pokok
anak. Kesejahteraan ini meliputi penjaminan pertumbuhan
dan perkembangan anak secara wajar baik secara rohani,
jasmani maupun sosial. Undang-undang ini mengatur
tanggungjawab orangtua terhadap kesejahteraan anak.
Dalam pasal awal undang-undang ini termuat hak anak
yang meliputi hak atas kesejahteraan, pelayanan,
perlindungan, dan pemeliharaan. Usaha kesejahteraan anak
dalam undang- undang ini meliputi pembinaan,
pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi.
Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1979 menyebutkan
bahwa anak-anak yang bermasalah tersebut meliputi; (a)
anak yang tidak mempunyai orang tua; (b) anak yang tidak
mampu; (c) anak terlantar; dan (d) anak yang mengalami
masalah kelakuan; dan (e) anak cacat. Seterusnya UU
Nomor 4 Tahun 1979 menyebutkan bahwa anak yang tidak
mempunyai orang tua adalah anak yang tidak ada lagi ayah
dan ibu kandungnya (pasal 1 huruf 5). Anak yang tidak
mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat
terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik secara rohani,
jasmani maupun sosial dengan wajar (pasal 1 huruf 6).
Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab
orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan
anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara
rohani, jasmani maupun sosial (pasal 1 huruf 7). Anak yang
mengalami masalah kelakuan adalah anak yang

64
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma


masyarakat (pasal 1 huruf 8). Anak cacat adalah anak yang
mengalami hambatan rohani dan atau jasmani sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar (pasal 1 huruf 9).
Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 1979
menyebutkan bahwa anak yang tidak mempunyai orang tua
berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau
badan. Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa anak yang tidak
mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam
lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar. Pada sisi lain, anak yang mengalami masalah
kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan
menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam
masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan
asuhan, sebagaimana dimaksudkan tersebut juga diberikan
kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan
pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim (pasal 6
ayat 1 dan 2). Sedangkan untuk anak cacat berhak
memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan
dan kesanggupan anak yang bersangkutan (pasal 7 ayat 1).
Untuk memberi pelayanan terhadap anak yang
bermasalah sebagaimana diuraikan di atas, negara
menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan
kesejahteraan sosial anak melalui panti sosial anak, rumah
singgah, dan rumah perlindungan sosial anak. Dalam
pelaksanaannya, negara melalui pemerintah harus
menyiapkan sumber daya manusia sebagai penyelenggara
kesejahteraan sosial anak. Sumber daya manusia tersebut
meliputi; tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial
profesional, dan relawan sosial. Dalam Praktiknya, pekerja
sosial di panti sosial anak, rumah singgah melaksanakan
praktik pekerjaan sosial sehingga kesejahteraan anak dapat
terwujud. Hal ini sesuai dengan pasal 8 UU Nomor 4 Tahun
1979 bahwa bantuan dan pelayanan, yang bertujuan
mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak
tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian
politik, dan kedudukan sosial. Hal tersebut sebagai dasar
bagi pekerja sosial dalam melakukan praktik pekerjaan
sosial dengan anak.
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik

65
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Indonesia Nomor 3209);


Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana
termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981,
tentang KUHAP, merupakan suatu peraturan yang memuat
tentang bagaimana caranya aparat penegak hukum : Polisi,
Jaksa, Hakim dan Penasehat hukum menjalankan
wewenangnya menegakkan hukum pidana materiil (KUHP).
Para penegak hukum harus memperhatikan dua
kepentingan hukum secara berimbang yaitu kepentingan
perorangan (Hak seseorang) dengan kepentingan
masyarakat dalam suatu proses beracara pidana.
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang
berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan
pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas
kekuasaan semata- mata. Didalam KUHAP disamping
mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga
mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang
terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud
adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada
tingkat penyidikan dengan memperhatikan hak-hak
tersangka
Berdasarkan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yang antara lain yaitu (1) Mencari kebenaran
sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang
didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan
masyarakat dan, (3) melaksanakan putusan atau eksekusi
terhadap tersangka yang diputus bersalah. Berdasarkan
pada tujuan Hukum Acara Pidana, kiranya persoalan sistem
pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh
besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud, tanpa
mengabaikan hak-hak tersangka/terdakwa
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi International Labour Organization
(ILO) 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan
Bekerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 56, Tambahan Lembaran Republik Indonesia
Negara Nomor 3835);
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
1999 adalah UU yang dibuat setelah Indonesia meratifikasi
(mengesahkan) ILO Convention No. 138 concerning
minimum age for admission to employment (konvensi ilo
mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja)
berdasarkan pertimbangan dibawah ini:

66
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

- Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan


Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga
anak sebagai generasi penerus bangsa wajib memperoleh
jaminan perlindungan agar dapat tumbuh dan
berkembang secara sehat dan wajar, baik jasmani dan
rohani, rnaupun sosial dan intelektual
- Bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat
internasional menghorrnati, menghargai, dan menjunjung
tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa, serta Deklarasi Universal HAM Tahun 1948,
Deklarasi Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional (ILO), dan Konvensi Hak-
hak Anak Tahun 1989.
- Bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang
kelima puluh delapan tangga1 26 Juni 1973, telah
menyetujui ILO Convention No. 138, concerning Minimum
Age for Admission to Employment (Konvensi ILO
mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja)
- Bahwa Konvensi tersebut selaras dengan keinginan
bangsa Indonesia untuk secara terus menerus
menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak
dasar anak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara; bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu
mengesahkan ILO Convention No. 138 concerning
Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi
ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja) dengan Undang-undang.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 1999 maka dapat diketahui pokok-pokok
konvensi yang terdiri atas :
1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini
wajib menetapkan kebijakan nasional untuk
mehapuskan praktek mempekerjakan anak dan
meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan
bekerja.
2. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus
diupayakan tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh
kurang dari 16 (enam belas) tahun.

67
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

3. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini


wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan
bekerja, aturan mengenai jam kerja, dan menetapkan
hukuman atau sanksi guna menjamin pelaksanaannya.
4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini
wajib melaporkan pelaksanaannya
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3886);
Setiap manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam
martabat dan hak-haknya. Artinya, Hak Asasi Manusia
(HAM) merupakan suatu hak yang melekat pada diri
manusia, yang bersifat sangat mendasar dan mutlak
diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan
bakat, cita-cita dan martabatnya. Bahwa hak asasi manusia
adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia
secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak
berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak- hak berkomunikasi, hak keamanan, dan
hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau
dirampas oleh siapapun.
Anak merupakan salah satu pihak yang rentan
mengalami objek pelanggaran Hak Asasi. Pengertian
Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam
Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan,
antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan
menurut Human Rights Reference[1] disebutkan, bahwa
yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah:
Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs), National
Minorities, Migrant Workers, Indigenous Peoples, Children,
dan Women.
Pengakuan atas eksistensi anak sebagai subyek hak
asasi manusia (HAM) yang sui generis (rights holders as sui
generis) ditandai manakala Konvensi Hak Anak (KHA) telah
diratifikasi oleh 193 negara. Dengan demikian sebanyak
68
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

193 pemerintah telah menerima kewajibannya untuk


mengambil

69
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

semua langkah-langkah legislative, administrative, sosial,


dan pendidikan secara layak untuk melindungi anak-anak
dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan.
Konstitusi kita menyatakan bahwa “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak
ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur
hak-hak anak sesuai Pasal 52 – Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan
Konvensi ILO 182 tentang Pelarangan dan Tindakan
Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3941);
Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah
pekerja anak, yaitu penghapusan (abolition),
perlindungan (protection), dan pemberdayaan
(empowerment). Pendekatan abolisi mendasarkan
pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja
dalam kondisi apapun, karena anak punya hak yang
seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta
mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Sementara pendekatan proteksi mendasarkan
pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu
bahwa sebagai manusia dan sebagai warga negara setiap
anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan
pemberdayaan sebenarnya merupakan lanjutan dari
pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan
terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan
mampu memperjuangkan hak-haknya. Pada dasarnya ILO
didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara
terus-menerus mengupayakan pendekatan abolisi atau
penghapusan terhadap segala bentuk pekerja anak.
Dalam konvensi ini, memuat tentang pelarangan
dan tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak, dengan isi pokok-pokok
berikut:
- Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini
wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk
menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan

70
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

terburuk untuk anak.


- “Anak” berarti semua orang yang berusia di bawah 18
(delapan belas) tahun.
- Pengertian “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak” adalah (1) segala bentuk perbudakan atau praktek
sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan
anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta
kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak
secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam
konflik bersenjata; (2) pemanfaatan penyediaan atau
penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi
pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
(3) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk
kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan
perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam
perjanjian internasional yang relevan; (4) pekerjaan yang
sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-
anak.
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2000 Nomor 208 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4026);
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah
sebuah Undang-undang yang mengatur Tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia. Secara historis UU Pengadilan HAM
lahir karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39
Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian
kasus HAM berat dilakukan dilingkungan Peradilan Umum.
Ini merupakan wujud dari kepedulian negara terhadap
warga negaranya sendiri. Negara menyadari bahwa
perlunya suatu lembaga yang menjamin akan hak pribadi
seseorang. Jaminan inilah yang diharapkan nantinya setiap
individu dapat mengetahui batas haknya dan menghargai
hak orang lain. Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan
pelanggaran HAM berat untuk kedepannya.
Dengan diundangkannya UU ini, setidaknya
memberikan kesempatan untuk membuka kembali kasus
pelanggaran HAM berat yang penah terjadi di Indonesia
sebelum diundangkan UU Pengadilan HAM sebagaimana
diatur dalam Pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc.
Dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan
kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat.
Masuknya
71
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

ketentuan tersebut dimaksudkan agar kasus-kasus yang


terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM dapat diadili.
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4235), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan
Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Berangkat dari dua pengertian tentang anak diatas
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang umurnya belum mencapai 18 tahun. Dalam
konvensi hak anak atau yang lebih dikenal dengan KHA juga
dijelaskan bahwa“Untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang
anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas
tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada
anak, kedewasaan dicapai lebih awal”. Sehingga dalam
kondisi apapun dan dengan alasan apapun anak yang
diawah umur
18 (delapan belas) tahun, harus mendapatkan hak-hak
mereka sepenuhnya.
Dalam konstitusi kita (UUD 1945) juga
dijelaskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Maka dapat
dipastikan bahwa anak mempunyai hak konstitusional dan
negara wajib menjamin serta melindungi pemenuhan hak
anak yang merupakan hak asasi manusia (HAM). Berbicara
masalah diskriminasi hal ini cukup rentan terjadi
dilakalangan anak-anak, hal ini terbukti banyaknya kasus
mengenai ekploitasi anak.
Dalam konvensi hak anak disebutkan ada empat
prinsip dasar yang kemudian menjadi serapan dari UU no
23/2002 yaitu: a. Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua
hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak
harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan
apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak
Anak, b.

72
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the


child).Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut
anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan
sosial pemerintah atau badan legislatif.
Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak
harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat
1).Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika
menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya,
perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak
Anak, c. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan
perkembangan (the rights to life, survival and
development). Yakni bahwa negara-negara peserta
mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat
atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1).
Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan
menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan
perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2). d. Prinsip
penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views
of the child).Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama
jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya,
perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak
Anak.
Didalam Undang-Undang Republik Indonesia No.23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ditegaskan hal-hal
yang terkait dengan hak-hak anak diatur dalam pasal
4,5,6,7,8,,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19 antara lain
berbunyi
; Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan. Pasal 6 Setiap anak berhak
untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya,
dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7 ayat (1) Setiap anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri. Ayat (2) Dalam hal karena suatu
sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang
anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh
atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan

73
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

74
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan


kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 9 Ayat (1) Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Ayat (2)
Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak
yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan khusus.
Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan
didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Pasal 11 Setiap anak
berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat
berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Pasal 13 ayat (1)
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan: Diskriminasi; Eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksu; Penelantaran; Kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan; Ketidakadilan; dan Perlakuan salah lainnya.
10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
Didalam UU Tentang Tenaga Kerja kita dijelaskan
bahwa: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dalam
keadaan apapun dan dengan alasan apapun pengusaha
tidak oleh mempekerjakan anak dibawah umur. Namun
dalam upaya untuk memberikan pendidikan dan pelatihan
pengusaha boleh mempekerjakan anak-anak dengan
ketentuan yang berlaku sebagaimana dijelaskan dalam
Undang Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003
Tentang Tenaga Kerja dari pasal 68 ,69 ,70 ,71 ,72 ,73 ,74,
75 yang berbunyi:
Pasal 68 Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

75
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Pasal 69 Ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur
antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas)
tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,
dan sosial. Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan anak
pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat
(1) harus memenuhi persyaratan: izin tertulis dari orang tua
atau wali, Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang
tua atau Wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu
sekolah; Keselamatan dan kesehatan kerja, Adanya
hubungan kerja yang jelas; dan menerima upah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Ayat (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a, b, f, dan g dikecualikanbagi anak yang bekerja
pada usaha keluarganya. Pasal 70 Ayat (1) Anak dapat
melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang
disahkan oleh pejabat yang berwenang. Ayat (2) Anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
berumur 14 (empat belas) tahun. (3) Pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilakukan dengan syarat : Diberi petunjuk yang
jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan
dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71 Ayat (1) Anak dapat melakukan pekerjaan
untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Ayat (2)
Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajibmemenuhi syarat : Dibawah
pengawasan langsung dari orang tua atau wali; Waktu kerja
paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan Kondisi dan lingkungan
kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial,
dan waktu sekolah. (3) Ketentuan mengenai anak yang
bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 72 Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama
dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak
harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73 Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat
kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 (1)
Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak
pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. (2) Pekerjaan-
pekerjaan
76
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :


Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau
sejenisnya; Segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman
keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
dan/atau semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral ana. (3) Jenis-jenis pekerjaaan
yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak sebagaimana di- maksud dalam ayat (2) huruf d
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75 Ayat(1) Pemerintah berkewajiban
melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di
luar hubungan kerja. Ayat (2) Upaya penanggulangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam upaya-upaya pengembangan bakat
sebagaimana dijelaskan dalam UU diatas merupakan bentuk
persiapan mental anak-anak agar tidak kaget dalam
menempuh dunia kerja kedepannya. Yang perlu dipahami
bahwa semua yang dapat dilakukan dalam konteks
pengembangan diri mereka. Dan sebagian para orang tua
beranggapan bahwa memberikan pekerjaan kepada anak-
anak mereka merupakan proses belajar, belajar untuk
menghargai pekerjaaan dan belajar untuk bertanggung
jawab, mereka jga berharap anak-anak mereka apat
membantu meringankan beban mereka selaku orang tua.
Selama masih dalam kondisi wajar dan sesuai
dengan ketentuan UU kita hal tersebut sah-sah saja. Namun
sebagian orang tua memberi pekerjaan yang diluar
kemampuannya dan menghilangkan kesempatan kepada
anak-anak untuk mengembangkan diri. Keadaan seperti ini
terkadang memberikan dampak yang cukup signifikan pada
perkembangan psikologis anak dan mental yang dibangun.
Tidak banyak keadaan seperti ini membuat anak menjadi
brutal, terbelakang mental, krisis moral.
Disadari ataupun tidak terdapat banyak ketentuan
perundang-undangan yang mengatur perlindungan
terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku, baik
orang tua anak dan pengusaha yang telah mempekerjakan
anak dibawah umur seperti Pasal 68, Pasal 69 Ayat 1,Pasal
69 dan Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13
Tahun 2003

77
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Tentang Tenaga Kerja. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1


UUD 1945.
11. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang-
undang no 20 tentang systempendidikan nasional ( UUSPN
). Dalam undang – undang tersebut dikemukakan hal- hal
yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak
dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut ;
Bab 1( pasal 1 ayat 18 ) Wajib belajar adalah program
pendidikan minimal yang harus di ikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
daerah.
Bab II ( pasal 4 ayat 1 ) Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis berdasarkan HAM,agama,kultural,dan
kemajemukan bangsa.
Bab IV ( pasal 5 ayat 1 ) Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu baik yang memiliki kelainan
fisik,emosionl,mental,intelektual atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus.
Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1 )
Pendidikan khusus bagi pesertayang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena
kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau memiliki potensi
kecerdasan.
Pada mulanya yang dimaksud dengan anak
kebutuhan pendidikan khusus hanyalah anak yang
tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan saja.
Namun, dewasa ini anak dengan kebutuhan pendidikan
khusus termasuk pula anak lantib dan berbakat. Anak
berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak
yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan
juga anak lantib dan berbakat (Mulyono, 2006:26). Dalam
perkembangannya, saat ini konsep ketunaan berubah
menjadi berkelainan (exception) atau luar biasa. Ketunaan
berbeda dengan konsep berkelainan. Konsep ketunaan
hanya berkenaan dengan dengan kecacatan sedangkan
konsep berkelainan atau luar bisa mencakup anak yang
menyandang ketunaan maupun yang dikaruniai keunggulan.
Banyak istilah digunakan untuk mencoba

78
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

mengkategorikan anak-anak dengan kebutuhan khusus,


beberapa istilah yang dapat membantu guru mengumpulkan
informasi yang merencanakan untuk masing-masing anak
mencakup: dungu, gangguan fisik, lumpuh otak, gangguan
emosional, ketidakmampuan mental, gangguan
pendengaran, gangguan pengllihatan, ketidak mampuan
belajar, autistuk, dan keterlambatan perkembangan.
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di
Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai
pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi
merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa
untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan
yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status
sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain
pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya.
Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam
memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat.
Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan
layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif
untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka
juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum
mendapatkan pendidikan.
12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran
Negara Repulik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4419);
KDRT adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dalam lingkup rumah tangga terhadap perempuan pada
khususnya, yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum.
Latar belakang penyebab terjadinya KDRT
bermacam- macam. Penyebab utama adalah kemiskinan,
himpitan ekonomi, selain itu budaya patriarki (budaya
dimana lelaki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari
wanita), komunikasi yang kurang baik di dalam keluarga,
dan diskriminasi gender
79
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

turut menjadi pemicu terjadinya KDR.


Menurut pasal 2 UU No. 23 tahun 2004, suami, istri,
anak dan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga
dengan suami, istri, anak oleh karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian serta
orang yang bekerja membantu rumah tangga yang menetap
dalam rumah tangga tersebut adalah merupakan subjek di
dalam lingkup rumah tangga.
Menurut UU No. 23 tahun 2004, tindakan yang bisa
dikategorikan sebagai KDRT adala: Kekerasan fisik. Pasal 6
menyebutkan, Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, trauma, jatuh sakit maupun luka
berat, cacat bahkan kematian.Kekerasan psikis, menurut
Pasal 7 adalah perbuatan yang mengakibatkan perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan (phobia), hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak
berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.Kekerasan psikologis, sukar diidentifikasi atau
didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata
seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan
bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam
beberapa bentuk seperti kurangnya rasa percaya diri,
kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak,
menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan
alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri. Kekerasan
seksual menurut pasal 8, yang dapat dikategorikan dalam
kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut serta pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan
atau tujuan tertentu. Penelantaran Rumah Tangga.
Penelantaran dalam rumah tangga adalah suatu tindakan
dimana akses ekonomi korban dihalang-halangi dengan cara
korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan, kekayaan
korban dimanfaatkan tanpa seizin korban, atau mengambil
tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Pada umumnya, ekonomi digunakan sebagai sarana untuk
mengendalikan korban.
13. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

80
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Nomor 4720);
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007, yang
dimaksud perdagangan orang adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil.
Delik formil adalah suatu perbuatan pidana yang
dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam
pasal undang-undang yang bersangkutan tanpa melihat
akibat perbuatannya. Delik formil ini mensyaratkan suatu
perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan
tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain, yang
dilarang undang-undang adalah perbuatannya, bukan
“akibat” suatu perbuatan. Berbeda dengan delik materil,
dimana dalam delik material yang dilarang adalah akibat
suatu perbuatan.
14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial mengemukakan bahwa untuk
mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta
untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara
demi tercapainya kesejahteraan sosial, negara
menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan
kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan. Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2009
mengemukakan bahwa permasalahan kesejahteraan sosial
yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada
warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan
dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan
sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang
mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga
tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan
bermartabat.
Pada sisi lain, ayat 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor

81
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa pemberdayaan sosial


ditujukan kepada seseorang, keluarga, kelompok, dan
masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial
agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
Kondisi tersebut berimplikasi perlunya sumber daya
manusia yang mempunyai kompetensi dalam meningkatkan
keberdayaan dan membantu memecahkan masalah yang
dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
penyandang masalah. Dalam hal ini, UU Nomor 11 Tahun
2009 mengemukakan bahwa pekerja sosial profesional dan
tenaga kesejahteraan sosial serta relawan sosial merupakan
sumber daya manusia yang berkompeten dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan
masalah sosial baik di lembaga pemerintah maupun swasta
yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan
sosial.
UU Nomor 11 tahun 2009 mengemukakan bahwa
pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja,
baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki
kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian
dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan,
pelatihan, dan/atau pengalaman Praktik pekerjaan sosial
untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial
15. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
Dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025
UU ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan
mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari
upaya memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di
dalam batang tubuh di jelaskan bahwa tujuan yang hendak
dicapai oleh Undang- Undang ini adalah :
- terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan
moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian
nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu
menjunjung tinggi martabat bangsa;
- terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
- terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi

82
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

masyarakat.
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan
menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
- kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau
barang di Jalan;
- kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan
fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; da
- kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu
lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Mencermati lebih dalam dari semangat yang telah
disebutkan di atas, maka kita harus lebih dalam lagi melihat
isi dari Pasal-Pasal yang ada di UU Nomor 22 Tahun 2009.
Dari sini kita akan tahu apakah semangat tersebut seirama
dengan isi dari pengaturan-pengaturannya, atau justru
berbeda. Selanjutkan kita dapat melihat bagaimana UU ini
akan berjalan dimasyarakat serta bagaimana pemerintah
sebagai penyelenggara negara dapat mengawasi serta
melakuakn penegakannya.
16. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063)
Pemenuhan hak anak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam UUD
1945. Pasal 28B ayat 2 menyebutkan bahwa setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Pasal 28 H ayat 1 menyebutkan, setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Hak setiap anak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan juga didukung dalam UU No 36 tahun 2009
tentang Kesehatan. Disebutkan bahwa, upaya pemeliharaan
kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, bayi,
Balita, hingga remaja; termasuk upaya pemeliharaan
kesehatan anak cacat dan anak yang memerlukan
perlindungan.

83
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Menurut Menkes, sedikitnya 9 Peraturan Menteri


Kesehatan yang khusus mengatur pemberian pelayanan
kesehatan terkait kesehatan reproduksi sampai remaja.
Tugas kita semuanya untuk dapat mengimplementasikan
apa yang diamanahkan dalam perundang-undangan
tersebut. Dengan demikian anak dapat menjadi investasi
bagi bangsa dan negara, kata Menkes.
17. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum
(rechstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Ini
berarti bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam
negara didasarkan kepada hukum, dalam arti cita hukum
(rechtsidee) yang di dalamnya mengandung cita-cita luhur
bangsa Indonesia. Hukum yang adil di Indonesia adalah
hukum yang bersumber kepada kepribadian dan filsafat
hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan rasa keadilan
bangsa Indonesia, mampu melindungi kepentingan-
kepentingan material dan spiritual dan mampu melindungi
kepribadian dan kesatuan bangsa, kelangsungan hidup
bangsa dan negara serta perjuangan mengejar cita-cita
nasional.
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
,menyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara yang
berkedaulatan rakyat yang mencerminkan bahwa Indonesia
adalah negara yang demokratis karena mengikutsertakan
rakyatnya dalam suatu pengambilan kebijakan.Indonesia
sebagai negara hukum mempunyai suatu kewajiban untuk
melaksanakan segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara berdasarkan atas hukum yang selaras dengan
sistem hukum nasional Indonesia.
Sistem hukum nasional Indonesia merupakan suatu
gabungan dari beberapa elemen–elemen hukum yang saling
berkesinambungan untuk mengatasi permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari
lingkup terkecil yaitu desa sampai lingkup terbesar adalah
negara.Sehingga peraturan yang mengatur itu pun
berbeda- beda dari setiap lingkupnya.Untuk mengatur
masyarakat dan menyelenggarakan kesejahteraan umum
seluruh rakyat, pemerintah mengeluarkan berbagai macam
peraturan negara

84
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

yang biasanya disebut peraturan perundangan.


Semua peraturan perundangan yang dikeluarkan
pemerintah harus didasarkan dan/ atau melaksanakan
Undang-Undang Dasar daripada negara Indonesia. Dengan
demikian semua peraturan perundangan Republik
Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan dan/ atau
melaksanakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 1
angka (2) di dalam Bab I Ketentuan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan bahwa “Peraturan
Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-Undangan”.Hal tersebut menjelaskan,
bahwa perbedaan antara legislasi dan regulasi dalam hal ini
adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh lembaga
perwakilan rakyat atau setidak- tidaknya melibatkan peran
lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan
umum. Sedangkan regulasi merupakan pengaturan oleh
lembaga eksekutif yang menjalankan legislasi dan
mendapatkan delegasi kewenangan untuk mengatur
(regulasi) itu dari legislasi yang bersangkutan.
Sebagai suatu ilmu pengetahuan yang interdisipliner
yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi
tentang pembentukan hukum Negara. Ilmu pengetahuan
perundang- undangan secara garis besar terbagi kedalam
dua bagian yakni teori perundang-undangan
(gezetzdebungsteorie) dan ilmu perundang-undangan
(gezetzgebungzlehrc).Pembentukan peraturan perundang-
undangan itu merupakan salah satu syarat dalam rangka
pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud
apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku
dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain bahwa pembentukan Undang-Undang
akan mendukung proses pembangunan hukum nasional dan
memenuhi harapan masyarakat jika dilandasi oleh adanya
suatu kajian yang memadai dan komprehensif melalui
prosedur yang tertata dalam tahap-tahap yang tersusun dan
adanya suatu teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang membentuk Undang-undang.
Sebagaimana ketentuan dalam pasal 7 ayat 1
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan
85
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan hierarki


peraturan perundang-undangan terdiri atas:Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;Undang-
Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;Peraturan
Pemerintah;Peraturan Presiden;Peraturan Daerah
Provinsi;danPeraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berbicara jenis peraturan perundang-undangan, kita
perlu pemahanan lebih dalam terhadap pembentukan
peraturan perundang-undangan, dimana yang dimaksud
didalamnya lebih menekankan pada ketentuan hierarki atau
perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.Setiap jenis peraturan perundang-undangan tersebut
di atas memiliki fungsi, tujuan, teknik pembentukan yang
berbeda- beda,karena dalam pemakaiannya itu pun
berbeda.
Salah satunya adalah Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan menyebutkan bahwa:“Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-
Undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten / Kota dengan persetujuan bersama
Bupati
/Walikota”.Berdasarkan pengertian peraturan daerah
tersebut di atas, jelas menyebutkan bahwa kedudukan
DPRD, baik di tingkat provinsi maupun di Kabupaten dan
kota jelas merupakan lembaga menjalankan kekuasaan
legislatif di daerah. Di samping itu, pengisian jabatan
keanggotaannya juga dilakukan melalui pemilihan umum.
Baik DPRD maupun Kepala Daerah, yaitu Gubernur, Bupati,
dan Walikota sama- sama dipilih langsung oleh rakyat.
Keduanya lembaga legislatif dan eksekutif, sama-sama
dipilih langsung oleh rakyat, dan sama-sama terlibat dalam
proses pembentukan suatu Peraturan Daerah. Karena itu,
seperti halnya Undang- Undang di tingkat pusat, Peraturan
Daerah dapat dikatakan juga merupakan produk legislatif di
tingkat daerah yang bersangkutan, dan tidak disebut
sebagai produk regulatif atau executive acts.
Disusunnya Badan-Badan Perwakilan di daerah
bukan untuk menyusun dan membentuk ataupun
mendirikan negara baru atau merubah Undang-Undang
86
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Dasar 1945 baik sebagian maupun keseluruhan, melainkan


untuk menegakan,

87
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

mempertahankan, mengamalkan dan mengamankan


Pancasila dan UUD 1945 serta melaksanakan
demokrasi.Adanya pembentukan DPRD di daerah dapat
pula dikatakan sebagai adanya suatu perwujudan dari pasal
18 Undang-Undang Dasar 1945 yang mana diatur lebih
lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah yang mana lebih
menekankan pentingnya otonomi daerah dalam rangka
pemerataan pembangunan nasional.Hal ini didasarkan pada
suatu asumsi yang mana masyarakat daerah yang
bersangkutanlah yang lebih mengetahui dinamika
daerahnya sendiri.
Pembentukan peraturan daerah itu merupakan suatu
pekerjaan yang sulit,karena dituntut kesempurnaan seperti
dalam hal sistematis,tatanan bahasa,istilah dan juga
banyaknya berbagai jenis materi yang akan diatur sesuai
dengan kebutuhan. Suatu peraturan yang baik dalam
persiapan pembuatannya membutuhkan pengetahuan
mendalam dari materi yang akan diatur,memiliki
kemampuan untuk menemukan inti dari fakta-fakta yang
sudah tumbuh sejak lama serta mengungkap ke dalam
bentuk peraturan yang singkat dan dengan bahasa yang
jelas.Wewenang dalam membuat peraturan daerah terdapat
pada eksekutif/ Kepala Daerah dan legislatif/ DPRD. Dimana
masing-masing badan baik eksekutif maupun legislatif
berhak mengajukan rancangan peraturan daerah ,dan
dalam hal penetapan peraturan daerah kepala daerah harus
mendapat persetujuan dari DPRD.
Peraturan daerah memiliki kareakteristik yang
sifatnya mengatur,yakni mengatur hubungan antara
pemerintah daerah, masyarakat dan stake hoder local
seperti dunia usaha.Peraturan daerah bukan hanya
mengatur hal-hal yang menyangkut atau berhubungan
dengan kehidupan politik, sosial dan budaya masyarakat.
Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia sangatlah banyak,yang
memiliki keanekaragaman budaya, adat istiadat yang
berbeda. Peran Pemerintah Daerah sangatlah penting
dalam mengatur masyarakatnya, oleh karena itu dalam
pembuatan Peraturan Daerah harus menyesuaikan dengan
kondisi masyarakatnya yang cenderung dinamis.
18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistim
Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5332)

88
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak


baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk
pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia
adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif
dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun
pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan
pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif
justice) yang berbeda dengan keadilan retributif
(menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan
restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).
Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum
pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan
dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan
hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship.
Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan
pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad-dader
straftecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan formula
keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3
aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum
dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu
segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya
(legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara
integral, simultan dan parallel.
Selanjutnya diatur dalam UU 11 tahun 2012 dan
PERMA 4 tahun 2014. Menurut UU SPPA Diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang
bertujuan untuk: Mencapai perdamaian antara korban dan
Anak;Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
Menghindarkan Anak dari perampasan
kemerdekaan;Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
dan Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Menurut PERMA 4 tahun 2014 Musyawarah Diversi
adalah musyawarah antara pihak yang melibatkan Anak dan
orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional,
perawakilan dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk
mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan keadilan
restoratif. Sedangkan Fasilitator adalah hakim yang
ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara
anak yang bersangkutan. Diversi adalah pengalihan proses
pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan
sangat kaku. Mediasi atau dialog atau musyawarah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk
mencapai keadilan

89
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

restoratif.
Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana Anak tidak
kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari
sisi lain masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang
tidak terselesaikan meskipun pelaku telah dihukum. Melihat
prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka
diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar
mekanisme pidana atau biasa disebut diversi. Institusi
penghukuman bukanlah jalan untuk menyelesaikan
permasalahan anak karena justru di dalamnya rawan terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan
prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi
penyelesaian perkara yang salah satunya adalah dengan
menggunakan pendekatan keadilan restoratif, melalui suatu
pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah
undang-undang semata tetapi juga memodfikasi sistem
peradilan pidana yang ada, sehingga semua tujuan yang di
kehendaki oleh hukumpun tercapai. Salah satu bentuk
mekanisme restoratif justice tersebut adalah dialog yang
dikalangan masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan
sebutan "musyawarah untuk mufakat”. Sehingga diversi
khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu
pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan
perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
Jika kesepakan diversi tidak dilaksanakan
sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari
Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka
Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan
sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim
dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan
pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi.Dalam PERMA 4
tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12
(dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan
tindak pidana (pasal 2).
PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah
diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan
wajib memberikan kesempatan kepada :Anak untuk
didengar keterangan perihal dakwaanOrang tua/Wali untuk
menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan

90
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

anak dan bentuk penyelesaian yang


diharapkanKorban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk
memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang
diharapkan.Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat
memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain
untuk memberikan informasi untuk mendukung
penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan
terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah
antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang
diketahui oleh pihak lainnya.
19. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Pengesahan Convention On The Right Of Persons With
Disabilitis (Konvensi Hak Hak Penyandang Disabilitas)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5251)
Pasal 9 yang berbicara mengenai aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas yang menyebutkan bahwa: Agar
penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan
berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan,
Negara-Neg harus mengambil kebijakan yang sesuai untuk
menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan fisik,
transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi
dan sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap
fasilitas dan layanan lainnya yang terbuka atau tersedia
untuk publik, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Kebijakan-kebijakan ini, yang harus meliputi
identifikasi dan penghapusan kendala serta halangan
terhadap aksesibilitas, harus diterapkan pada, antara lain:
Gedung, jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan
luar ruang lainnya, termasuk sekolah, perumahan, fasilitas
medis, dan tempat kerja; Informasi, komunikasi, dan
layanan lainnya, termasuk layanan elektronik dan layanan
gawat darurat. Negara-Negara Pihak harus juga mengambil
kebijakan-kebijakan yang tepat untuk: Mengembangkan,
menyebarluaskan, dan memantau pelaksanaan standar
minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas
dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik;
Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas
dan layanan yang terbuka atau tersedia untuk publik
mempertimbangkan seluruh aspek aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas; Menyelenggarakan pelatihan bagi
pemangku kepentingan tentang masalah aksesibilitas yang
dihadapi oleh penyandang disabilitas; Menyediakan di
dalam
91
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

gedung dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik, tanda-


tanda dalam huruf Braille dan dalam bentuk yang mudah
dibaca dan dipahami;Menyediakan bentuk-bentuk bantuan
langsung dan perantara, termasuk pemandu, pembaca, dan
penerjemah bahasa isyarat profesional, untuk memfasilitasi
aksesibilitas terhadap gedung dan fasilitas lain yang
terbuka untuk publik;Meningkatkan bentuk bantuan dan
dukungan lain yang sesuai bagi penyandang disabilitas
untuk menjamin akses mereka terhadap informasi
Meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap
sistem serta teknologi informasi dan komunikasi yang baru,
termasuk internet, Memajukan sejak tahap awal desain,
pengembangan, produksi, dan distribusi teknologi dan
sistem informasi dan komunikasi yang dapat diakses,
sehingga teknologi dan sistem ini dapat diakses dengan
biaya yang minimum.Pasal tersebut menunjukkan bahwa
langkah-langkah yang wajib dilakukan adalah
mengidentifikasi dan penghapusan kendala serta halangan
terhadap aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, meliputi
gedung-gedung, jalan-jalan, sarana transportasi, dan
fasilitas dalam dan luar ruangan lainnya. Termasuk juga
sekolah, perumahan, fasilitas medis dan tempat kerja.
Khusus juga pada angka 2 huruf d dan e bahkan
menegaskan Negara-negara pihak wajib juga mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk: menyediakan di dalam
bangunan dan fasilitas lain yang terbuka untuk publik,
tanda-tanda dalam huruf Braille dalam bentuk yang mudah
dibaca dan dipahami; menyediakan bentuk-bentuk bantuan
dan perantara langsung, termasuk pemandu, pembaca, dan
penerjemah bahasa isyarat professional untuk memfasilitasi
aksesibilitas terhadap bangunan dan fasilitas lain yang
terbuka untuk publik. Di sisi lain, pengaturan yang paling
fundamental di Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011
selain pada Pasal 9, ada di dalam pembukaan Undang-
undang tersebut yang telah mencakup Hak-hak Penyandang
Disabilitas. Diantaranya Mengingat kembali prinsip-prinsip
yang diproklamasikan dalam piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) yang mengakui martabat dan nilai yang
melekat serta Hak-hak yang setara dan tidak terpisahkan
bagi seluruh anggota keluarga manusia sebagai dasar dari
kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

92
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua


atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal urusan
pemerintahan terdiri atas:
1. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat. Meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional serta agama
2. Urusan pemerintahan konkuren, adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
3. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan.
Selanjutnya dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas:
1. Urusan Pemerintahan Wajib yang terdiri atas:
 Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar. Meliputi Pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum
dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan
permukiman, ketenteraman, ketertiban umum,
pelindungan masyarakat, dan sosial.
 Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar. Meliputi tenaga kerja, pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak, pangan, pertanahan,
lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan
pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan Desa,
pengendalian penduduk dan keluarga berencana,
perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi,
usaha kecil, dan menengah, penanaman modal,
kepemudaan dan olah raga, statistik, persandian,
kebudayaan, perpustakaan dan kearsipan.
2. Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi kelautan dan
perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan
sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian dan
transmigrasi.

93
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

21. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang


Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5871)
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas,
disebutkan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh
dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak”.
Pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas, menyebutkan bahwa Penyandang Disabilitas
memiliki hak sebagai berikut: a. hidup; b. bebas dari
stigma;
c. privasi; d. keadilan dan perlindungan hukum; e.
pendidikan; f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; g.
kesehatan; h. politik; i. keagamaan; j. keolahragaan; k.
kebudayaan dan pariwisata; l. kesejahteraan sosial; m.
Aksesibilitas; n. Pelayanan Publik; o. Pelindungan dari
bencana; p. habilitasi dan rehabilitasi; q. Konsesi; r.
pendataan; s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam
masyarakat; dan t. berekspresi.
Dengan hadirnya UU Penyandang Disabilitas, tidak
ada lagi alasan pemerintah untuk tidak melindungi hak-hak
penyandang disabilitas, karena hak-hak mereka sudah
mendarah daging dalam ruh aturan perundang-undangan
yang legal formal pemberlakuannya di Indonesia.
Mengabaikan hak-hak penyandang disabilitas berarti
mengabaikan undang-undang, mengabaikan undang-
undang berarti mengabaikan harga dirinya sebagai
pembuat dan pelaksana undang-undang.Selain berharap
pada pemerintah sebagai pelaksana undang-undang, semua
pihak (stake holder) juga tidak tinggal diam, harus bahu
membahu dalam upaya mengangkat harkat dan martabat
para penyandang disabilitas di Indonesia dengan cara dan
kadar kemampuan yang dimiliki.

--  --

94
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

BAB IV
KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. KAJIAN FILOSOFIS
Secara kodrati manusia diciptakan Tuhan memang
berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain.
Namun demikian, perbedaan tersebut tidak berarti bahwa di
antara mereka boleh merendahkan kelompok lain, diskrimatif
terhadap jenis yang lain, atau menganggap diri lebih mulia
dan unggul dibanding orang lain. Perbedaan alamiah yang
sudah diciptakan Tuhan tersebut hendaknya dimaknai
sebagai sarana untuk saling memperkaya diri, saling
memahami, dan saling memperteguh toleransi.
Dari sisi fungsionalnya, manusia diciptakan Tuhan
sama, yaitu melestarikan kehidupan dan menjaga
keseimbangannya. Hanya saja, muncul kecenderungan di
kalangan beberapa masyarakat yang mencoba membuat
pembeda di antara mereka, baik dalam hal sikap, perilaku
maupun perlakuan. Sebagai contoh misalnya, beberapa
masyarakat masih membedakan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal fungsi serta peran soaialnya. Seorang
anak dan orang dewasa juga tidak jarang dibedakan
perlakuannya di masyarakat. Termasuk juga sering dijumpai
adanya perlakuan yang berbeda antara orang yang normal
secara fisik atau mereka yang tidak normal secara fisik
(disable), demikian juga dikalangan masyarakat masih
ditemukan adanya stigmatisasi terhadap orang atau anak-
anak terlantar yang sering kali dianggap sebagai
“masyarakat kelas dua” yang susah diatur, mengganggu
ketertiban, dan dekat dengan perilaku criminal.
Siapapun orangnya pasti tidak menghendaki hidup
dalam kondisi tidak normal baik fisik, mental, sosial, maupun
spiritual. Terlebih jika kondisi seperti ini harus ditambah
dengan adanya pembedaan perlakuan (bahkan terkadang
stigmasasi), maka kondisi tidak normal tersebut akan terasa
semakin membebani. Dalam konteks seperti ini, negara harus
mampu hadir dalam rangka dua hal: pertama, melakukan
edukasi kepada masyarakat agar tidak ada lagi sikap
membeda-bedakan atas dasar kondisi tidak normal yang
dialami seseorang, dan kedua, memberikan perlindungan
agar mereka yang hidup dalam kondisi tidak normal tersebut
bisa menikmati hasil dari pembangunan bangsa sebagai
konsekuensi dari hak warga negara.

95
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Jika merujuk pada amanat UUD 1945 dan Pancasila


maka menjadi jelas bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak
atas keadilan sosial yang diselenggarakan oleh negara.
Kondisi ketidak normalan (disable/ terlantar) yang dialami
oleh seseorang tidak bisa menjadi alasan terhalangnya hak
mereka untuk mendapatkan keadilan soaial. Karenanya,
negara harus mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka
yang sulit untuk didapatkan secara mandiri karena adanya
hambatan fungsi organ fisik dan sosial mereka. Negara juga
harus mampu enjamin keikutsertaan mereka dalam konteks
pembangunan. Sebab, prinsip dasar pembangunan bangsa
yang berkeadilan sosial tidak hanya diukur dari usaha
pemerataan kesejahteraan tetapi juga pemberdayaan
masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan.
Secara lebih operasional kehadiran negara dalam
mewujudkan pembangunan yang berkeadilan sosial paling
tidak bisa diwujudkan dalam beberapa hal, yaitu:
1. Persamaan dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya;
2. Mengakui hak untuk bekerja, mendapatkan nafkah yang
layak, serta memberikan jaminan perlindungan terhadap
para pekerja;
3. Menyelenggarakan dan menjamin hak setiap orang atas
jaminan sosial, termasuk asuransi sosial; dan
4. Memberikan jaminan kepada setiap orang atas standar
penghidupan yang layak, bebas dari kelaparan, dan
menikmati standar hidup yang memadai yang dapat
dicapai untuk memenuhi kesehatan jasmani dan rohani.
Dalam Declaration of The Basic Duties of ASEAN
Peoples and Governments pasal 1 disebutkan bahwa setiap
warga masyarakat memiliki hak dasar untuk hidup, memiliki
tingkat hidup yang wajar, hak mendapatkan keamanan,
martabat, identitas, kebebasan, kebenaran, serta bantuan
hukum. Rakyat juga berhak atas eksistensi, kedaulatan,
kemerdekaan, serta penentuan nasib sendiri.
Dalam deklarasi itu juga disebutkan bahwa rakyat juga
berhak mendapatkan kebebasan dari penyiksaan, kebebasan
dari perlakuan hukum yang kejam dan tidak manusiawi, serta
berhak atas perlindungan hukum, keadilan dan kesamaan
kedudukan di hadapan hukum.
Mengacu dari hal di atas, keberadaan anak penyandang
disabilitas dan terlantar sudah seharusnya dilindungi dan

96
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

dipenuhi segala hal yang menjadi haknya. Karenanya, mereka


membutuhkan regulasi yang berbasis hak (right based
approach) yang bisa menjadi pijakan filosofis untuk
mengubah cara pandang masyarakat terhadap anak disable
dan terlantar serta, lebih dari itu, memberikan perlindungan
terhadap mereka dalam mendapatkan hak sebagai warga
negara.
Dengan regulasi yang berbasis hak, pemerintah
setidaknya bisa memainkan tiga peran terhadap anak-anak
disable dan terlantar, yaitu: pertama, pemerintah harus bisa
memperhatikan dan bila perlu memprioritaskan hak-hak
dasar anak-anak disable dan terlantar dalam setiap
perumusan kebijakan publik maupun penyelenggaraan
pelayanan publik. Kedua, pemerintah melakukan upaya nyata
dan sungguh- sungguh untuk mencegah dan menindak setiap
bentuk pelanggaran hak-hak dasar anak-anak disabilitas dan
terlantar yang dilakukan oleh semua pihak. Ketiga,
pemerintah harus mampu memaksimalkan sumberdaya dan
sumberdana yang tersedia dalam memenuhi hak-hak dasar
anak-anak disabilitas dan terlantar, termasuk bekerjasama
degan pihak swasta.

B. KAJIAN SOSIOLOGIS
Dalam teminologi akademis, disabilitas sering diartikan
sebagai hilang atau terganggunya fungsi fisik atau kondisi
abnormalitas fungsi struktur anatomi, psikologi, maupun
fisiologi seseorang. Akibat dari kondisi seperti ini seseorang
mengalami keterbatasan atau gangguan terhadap fungsi
sosialnya sehingga mempengaruhi keleluasan aktifitas fisik,
kepercayaan dan harga diri yang bersangkutan, baik ketika
berhubungan dengan orang lain maupun dengan lingkungan.
Penyandang disabilitas tidak jarang mendapatkan
perlakuan diskriminatif di masyarakat. Bahkan beberapa
masyarakat menganggapnya sebagai “aib” yang
menyebabkan penyandang disabilitas harus dikucilkan,
dibatasi pergaulannya, serta dihilangkan beberapa hak
dasarnya. Keingi nan penyandang disabilitas untuk
berkembang dan berkontribusi secara sosial menjadi sulit
untuk dipenuhi karena perilaku yang diskriminatif di
masyarakat.
Jika ditarik dalam konteks anak, maka yang dimaksud
dengan anak penyandang disabilitas adalah anak yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui
97
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi secara


penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
Di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap
penyandang disabilitas sudah menunjukkan progress yang
jauh lebih baik. Paling tidak dari sisi regulasi, pemerintah
sudah merumuskan berbagai kebijakan dan aturan yang
mencoba melindungi dan mengakomodir kepentingan para
penyandang disabilitas di Indonesia. Upaya sosialisasi kepada
masyarakat terhadap hak- hak penyandang disabilitas juga
terus dilakukan dalam rangka membangun kesadaran
masyarakat tentang hak-hak para penyandang disabilitas.
Selain memberikan perlindungan, pemerintah juga
hadir menjamin aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
agar dapat berpartisipasi penuh dan setara dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dengan adanya jaminan ini,
para penyandang disabilitas tidak lagi harus merasa khawatir
diperlakukan secara diskriminatif, dan terhalangi
kesempatan mereka untuk berkembang dan berkreasi dalam
konteks pembangunan Negara.
Secara sosiologis, problem disabilitas biasanya semakin
sulit untuk dicarikan solusinya jika berkait kelindan dengan
kemiskinan, keterlantaran, dan keterasingan. Masyarakat
yang miskin akan memiliki keterbatasan dalam memenuhi
hak-hak mereka. Hak-hak tersebut antara lain:
1) hak memperoleh pekerjaan yang layak;
2) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum;
3) Hak untuk memperoleh rasa aman;
4) Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup yang
terjangkau;
5) Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan;
6) Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan;
7) Hak untuk memperoleh keadilan;
8) Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
publik dan pemerintahan;
9) Hak untuk berinovasi;
10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan
Tuhan; dan
11) Hak untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola
pemerintahan dengan baik.

98
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Kesebelas hak di atas akan menjadi semakin sulit


terpenuhi jika masyarakat yang miskin tersebut mengalami
kondisi disabilitas. Karenanya, penyandang disabilitas dari
keluarga miskin cenderung memiliki keterbatasan dalam hal:
(1) kecukupan dan mutu pangannya; (2) akses dan mutu
layanan kesehatan yang rendah; (3) akses dan mutu layanan
pendidikan yang rendah (4) kesempatan kerja dan berusaha;
(5) perlindungan aset usaha, dan perbedaan upah; (6) akses
layanan perumahan dan sanitasi; (7) jaminan rasa aman;
(8)eh partisipasi; dan (9) besarnya beban kependudukan yang
disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga.
Selanjutnya adalah keterlantaran, yaitu
pengabaian/penelantaran penyandang disabilitas baik oleh
keluarga, masyarakat, atau Negara (pemerintah). Pengabaian
bisa disebabkan oleh ketidakmampuan dalam memberikan
perlindungan, tidak mau terrbebani, atau bahkan merasa
tidak nyaman dengan keberadaaan penyandang disabilitas.
Akibat dari pengabaian/ penelantaran penyandang disabilitas
menjadi semakin sulit untuk terpenuhi kebutuhan dan hak
mereka, baik kebutuhan jasmani, ruhani, maupun sosial.
Di Indonesia, keberadaan penyandang disabilitas yang
diabaikan dan terlantar masih sering dijumpai. Mereka ini
menyebar di segala tingkat usia, pendidikan, dan ekonomi.
Secara umum mereka lebih banyak menggantungkan
hidupnya pada usaha meminta-minta (mengemis) dan tinggal
secara berpindah-pindah.
Selain persoalan keterbatasan fisik dan
ketidakmampuan mengembangkan diri yang disinyalir
menjadi penyebab mereka hidup dalam kondisi tidak berdaya
dan akhirnya mengemis, faktor keluarga, masyarakat, dan
pemerintah yang kurang mampu hadir memberikan
perrlindungan secara tepat juga dominan menyebabkan para
penyandang disabilitas menjadi semakin tidak berdaya.
Akibat dari situasi “abai” yang muncul, para
penyandang disabilitas tidak jarang yang mencoba menjaga
jarak dari dunia sosial. Mereka menjadi lebih tertutup, sulit
bersosialisasi, dan beberapa bahkan mengalami gangguan
kejiwaaan. Ini lah yang kemudian disebut dengan kondisi
“keterasingan” sebuah kondisi yang bisa saja muncul dari diri
penyandang disabilitas, atau dimunculkan oleh keluarga,
masyarakat, maupun pemerintah karena menganggap
disabilitas adalah “aib”, problem yang membebani, atau
dapat menghambat proses pembangunan.

99
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Keberadaan Indonesia yang secara geografis berada di


zona rawan bencana, sedikit banyak berpengaruh pada
sulitnya penanganan disabilitas secara paripurna. Tidak
jarang akibat dari adanya suatu bencana melahirkan
masyarakat disabilitas baru. Bencana sunami di Aceh
misalnya, banyak masyarakat yang awalnya normal secara
fisik dan sosial, pasca tsunami mereka mengalami kondisi
ketidaknormalan fisik dan sosial. Demikian pula dengan
bencana-bencana lain yang sering terjadi di Indonesia, tidak
jarang memunculkan masyarakat disabilitas baru yang tidak
jarang hidup mereka terlantar. Hal ini lah yang membuat
persoalan disabilitas di Indonesia belum juga tuntas
penanganannya. Namun demikian, progres pemerintah untuk
berpihak dan melindungi masyarakat disable dan terlantar,
khususnya anak-anak, semakin menunjukkan perkembangan
yang lebih baik. Dari sisi regulasi, telah banyak perangkat
peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam
rangka memberikan jaminan perlindungan kepada
penyandang disabilitas dan orang terlantar, termasuk di
dalamnya anak-anak.

C. KAJIAN YURIDIS
Spirit Undang-Undang Dasar tahun 1945
mengamanatkan bahwa tujuan dibentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) adalah untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Tujuan ini menegaskan komitmen konstitusional dari bangsa
Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak asasi
seluruh warga negaranya tanpa membedakan agama, suku,
ras, golongan, gender, status sosial, ataupun keterbatasan
yang dimiliki oleh warga negaranya. Berdasarkan komitmen
ini, maka masyarakat Indonesia yang mengalami kondisi
disabilitas, secara hukum memiliki hak dan kedudukan yang
setara, serta mendapat perlindungan dari setiap perlakuan
diskriminatif. Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945 pasal 28 H ayat 1-4 yang menyatakan:
1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
2) Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.

10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang


memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang- wenang oleh siapa pun
Selanjutnya, dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945
disebutkan bahwa:
“Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”.
Keharusan pemerintah untuk menjamin perlindungan
terhadap penyandang disabilitas juga mendapatkan
penegasan dari UU nomor 39 tahun 1999 pasal 5 ayat (3)
yang menyatakan:
“Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya”.
Berdasarkan kedua perundang-undangan di atas, bisa
dipahami bahwa kondisi disable dan terlantar adalah kondisi
khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dari
pemerintah. Perlakuan khusus tersebut harus terbebas dari
unsur diskriminasi serta pengabaian atas hak dan kedudukan
mereka.
Kehadiran UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
adalah pintu gerbang utama bagi pemerintah untuk semakin
meneguhkan kepedulian dan keberpihakan kepada
penyandang disabilitas. Melalui UU tersebut tidak adalagi
diskriminasi kelas dan status sosial, apalagi yang hanya
didasarkan oleh kondisi abilitas atau disabilitas. Semua
warga Negara memiliki kedudukan, peran, dan hak yang
sama di mata hukum dan Undang-Undang.
Kehadiran UU Nomor 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat semakin mempertegas kewajiban dan
peran pemerintah dalam memberikan jaminan serta
perlindungan terhadap para penyandang disabilitas dalam
segala aspek kehidupan sebagai warga negara Indonesia.
Dalam hal apa saja seorang penyandang disabilitas harus
dilindungi dan disetarakan dengan masyarakat lain diatur
semakin jelas dalam UU tersebut. Dalam pasal 5 UU Nomor 4
tahun 1997 misalnya, disebutkan:

10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

“Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan


yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.
Pasal ini kemudian diperjelas dengan pasal 6 ayat 1-6
UU Nomor 4 tahun 1997 yang menyatakan bahwa setiap
penyandang cacat berhak memperoleh:
1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan;
2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan
kemampuannya;
3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam
pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial; dan
6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat,
kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi
penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat.
Untuk memperjelas dan mempermudah pelaksanaan,
UU Nomor 4 tahun 1997, pemerintah kemudian merumuskan
Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat. Melalui Peraturan Pemerintah ini, fokus
yang ingin dicapai pemerintah dalam melindungi orang-orang
cacat menjadi semakin jelas, yaitu:
1. kesamaan kesempatan;
2. rehabilitasi;
3. bantuan sosial;
4. pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Beberapa peraturan perundang-undangan di atas
menunjukkan bahwa selama ini konsepsi tentang penyandang
disabilitas masih terbagi dalam dua perspektif, yaitu:
Pertama, perspektif medis/individual yang
menempatkan kecacatan sebagai sebuah permasalahan
individu. Konsep ini menempatkan kecatatan atau kelainan
fisik/mental sebagai penyebab hambatan untuk beraktifitas
atau hidup sebagaimana layaknya.
Kedua, perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) yang
menempatkan isu disabilitas sebagai bagian integral dari
HAM
10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

yang menempatkan jaminan atas kesetaraan, kesamaan hak


serta partisipasi penuh juga melekat pada setiap individu
Penyandang disabilitas.
Definisi penyandang cacat yang dijelaskan dalam UU
Nomor 4 tahun 1997 adalah representasi dari perpektif
medis/ individual. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa
penyandang cacat adalah” setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang
cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat
fisik dan mental”.
Jika diperhatikan secara seksama, maka materi dalam
UU Nomor 4 tahun 19997 lebih menampilkan sisi belas
kasihan (charity based) terhadap para penyandang
disabilitas. Upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas
juga masih dinilai sebagai masalah sosial, karena itu,
kebijakan untuk memenuhinya masih berorientasi pada hal-
hal yang bersifat jaminan sosial, rehabilitasi sosial dan
peningkatan kesejahteraan sosial.
Selain itu, UU Nomor 4 tahun 1997 juga masih
menempatkan para penyandang disabilitas sebagai objek
hukum. Subjek hukum dalam UU penyandang cacat adalah
negara atau pihak-pihak lain yang melakukan kegiatan atau
aktifitas bagi penyandang disabilitas dalam bentuk
rehabilitasi, bantuan sosial, atau pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial.
Perspektif berbeda diberikan oleh UU nomor 39 tahun
1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 tahun 2011 tentang
pengesahan Convention on the Right of Persons with
Disabilities. Kedua UU ini dianggap lebih selaras dengan
tuntutan zaman dan lebih mampu meningkatkan harkat serta
martabat para penyandang disabilitas sebagai manusia
seutuhnya dari pada UU Nomor 4 tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat. Karenanya, apa yang disahkan dalam UU
Penyandang Cacat harus disesuaikan dan diselaraskan
dengan ketentuan terkini mengenai penyandang disabilitas.
Kehadiran UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
disabilitas adalah bukti dari komitmen pemerintah untuk
melakukan penyelarasan konsep disabilitas dengan situasi
kekinian.
Perpektif yang ditawarkan oleh UU Nomor 8 tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah titik awal
terjadinya Perubahan cara pandang mengenai Penyandang
disabilitas. Hal ini Nampak dari definisi penyandang
10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

disabilitas dalam UU

10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Nomor 8 tahun 2016 yaitu: “setiap orang yang mengalami


keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak”.
Pasal 3 UU Nomor 8 tahhun 2016 semakin
mempertegas bahwa peersoalan disabilitas sudah menjadi
bagian integral dari Hak Asasi Manusia. pasal 3 menyebutkan
bahwa pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas bertujuan:
a. mewujudkan Penghormatan, pemajuan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar
Penyandang Disabilitas secara penuh dan setara;
b. menjamin upaya Penghormatan, pemajuan, Pelindungan,
dan Pemenuhan hak sebagai martabat yang melekat pada
diri Penyandang Disabilitas;
c. mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas yang
lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, mandiri,
serta bermartabat;
d. melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran dan
eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif,
serta pelanggaran hak asasi manusia; dan
e. memastikan pelaksanaan upaya Penghormatan, pemajuan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas
untuk mengembangkan diri serta mendayagunakan
seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang
dimilikinya untuk menikmati, berperan serta berkontribusi
secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat dalam
segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
Adapun terkait dengan disabilitas yang disandang oleh
anak-anak, negara juga hadir dalam serangkaian regulasi
yang bisa dijadikan piranti yuridis perlindungan terhadap
anak penyandang disablitas.
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Tujuan menyebutkan:
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujud-
10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

nya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan


sejahtera.”
Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 dengan
hadirnya UU Nomor 35 tahun 2014 semakin mempertegas
posisi pemerintah dihadapkan dengan kondisi anak yang
menyandang disabilitas. Pasal 9 UU Nomor 35 tahun 2014
mennyebutkan:
1) Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
(1a) Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di
satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan
yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan,
sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
2) Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak Penyandang Disabilitas
berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang
memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan
khusus.
Pasal 12 UU Perlindungan Anak yang baru juga
menyebutkan bahwa: “Setiap Anak Penyandang Disabilitas
berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Beberapa pasal di atas menegaskan bahwa pemerintah
semakin memperlihatkan kepeduliannya terhadap anak,
termasuk kepada anak-anak penyandang disabilitas. Tidak
ada alasan misalnya, seorang anak penyandang disabilitas
dipersulit untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang
diimpikan. Termasuk tidak dibenarkan jika pemerintah tidak
memfasilitasi akses kepada anak-anak penyandang disabilitas
sehingga mudah memanfaatkan fasilitas publik.
Terkait dengan anak-anak terlantar, pasal 34 ayat (1)
UUD 1945 tegas mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara negara”. Berdasarkan pasal
ini, negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir
miskin dan anak terlantar guna memenuhi kebutuhan dasar
yang layak bagi kemanusiaan. Atas dasar ini pula negara
harus mampu menyusun kebijakan pembangunan yang
benar-benar berpihak pada kebutuhan fakir miskin dan anak-
anak terlantar.
Selain pasal 34 UUD 1945, perlindungan dan
pemeliharaan terhadap anak-anak terlantar juga
diamanatkan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia serta Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990
10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

tentang Pengesahan

10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-


hak Anak). Berdasarkan kedua regulasi perundang-undangan
ini, anak-anak (termasuk yang terlantar) perlu mendapatkan
hak- haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu
hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms),
lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family
envionment and alternative care), kesehatan dasar dan
kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan,
rekreasi dan budaya (education, laisure and culture
activites), dan perlindungan khusus (special protection).
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 1988
Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang
Mempunyai Masalah menyebutkan: “Anak yang mempunyai
masalah adalah anak yang antara lain tidak mempunyai
orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak
mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan dan anak
cacat”. Berasarkan pasal ini jelas bahwa anak terlantar harus
mendapatkan perhatian dan perlindungan khusus dari
pemerintah dalam usaha meningkatkan kesejahteraan
ekonomi dan sosial mereka.
Berdasarkan uraian di atas, kehadiran raperda tentang
Perlindungan terhadap Anak Penyandang Disabilitas dan
Terlantar seperti menemukan momentumnya sebagai bagian
dari komitmen pemerintah melindungi dan menjamin
terpenuhinya hak-hak anak penyandang disabilitas dan
terlantar. Terlebih dari banyaknya opini yang berkembang di
masyarakat bahwa pemerintah cenderung lamban dalam
persoalan perlindungan ini.

--  --

10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah Kunci Dalam


Peraturan Daerah
Istilah-istilah yang terkait dengan peraturan ini menjadi
penting untuk dirumuskan guna memberikan pengertian
yang pasti dari berbagai istilah tersebut. Istilah-istilah yang
berhubungan dengan peraturan daerah tentang
Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Terlantar ini meliputi diantaranya: Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi, Daerah, Pemerintah Daerah, Bupati,
Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Setiap Orang,
Keluarga, Orang Tua, Anak, Anak Penyandang Disabilitas,
Anak Terlantar, Penelantaran, Hak Anak, Hak Anak
Penyandang Disabilitas dan Anak Terlantar, Perlindungan
Anak, Pemenuhan Hak Anak Penyandang DisabiIitas dan
Anak Terlantar, Aksesibilitas, Kesamaan Kesempatan,
Pemberdayaan, Akomodasi yang Layak, Konsesi,
Diskriminasi, Sistem Perlindungan Anak, Panti Sosial Asuhan
Anak, dan Rumah Perlindungan Sosial Anak.
Adapun penjelasan istilah tehnis hukum di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai-mana dimaksud dalam UndangUndang Dasar
Negara Repu-blik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah Provinsi Jawa Tengah.
3. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.
4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Cilacap.
5. Bupati adalah Bupati Cilacap.
6. Organisasi Perangkat Daerah (OPD), adalah OPD
Kabupaten Cilacap, yaitu unsur pembantu Kepala Daerah
dalam penye-lenggaraan Pemerintahan Daerah yang
terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas
Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan
Kelurahan.
7. Setiap Orang adalah perseorangan, kelompok orang,
masya-rakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau
badan usaha bukan berbadan hukum.

10
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

8. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang


terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga
sedarah da-lam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga.
9. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah
dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
10.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
11.Anak Penyandang Disabilitas adalah anak yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya
dapat menemui ham- batan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif berdasarkan
kesamaan hak.
12.Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi
kebutuh- annya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual,
maupun sosial.
13.Penelantaran adalah ketidakpedulian orangtua, atau
orang yang bertanggung jawab atas anak pada
kebutuhan mereka baik fisik maupun psikis seperti
pengabaian pada kesehatan anak, pengabaian dan
penelantaran pada pendidikan anak, pengabaian pada
pengembangan emosi dan spiritual, pene-lantaran pada
pemenuhan gizi, pengabaian pada penyediaan
perumahan, dan pengabaian pada kondisi keamanan dan
kenyamanan.
14.Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang
wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
15.Hak Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlantar
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Terlantar sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan se-tiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
16.Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tum-buh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

17.Pemenuhan Hak Anak Penyandang DisabiIitas dan Anak


Ter-lantar adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

melin-dungi hak-hak Anak Penyandang Disabilitas dan


Anak Ter-lantar agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berparti-sipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat ke-manusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
18.Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk
Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlantar guna
mewujud-kan kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.
19.Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang
memberikan pe-luang dan/atau menyediakan akses
kepada Anak Penyan-dang Disabilitas dan Anak Terlantar
untuk menyalurkan po-tensi dalam segala aspek
penyelenggaraan negara dan ma-syarakat.
20.Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan
keberadaan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Terlantar dalam ben-tuk penumbuhan iklim dan
pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan
berkembang menjadi individu atau ke-lompok yang
tangguh dan mandiri.
21.Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan
penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin
penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia
dan kebebasan fun-damental untuk Anak Penyandang
Disabilitas dan Anak Ter-lantar berdasarkan kesetaraan.
22.Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang
diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
setiap orang kepada Anak Penyandang Disabilitas dan
Anak Terlantar ber-dasarkan kebijakan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
23.Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pe-ngucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pa-da pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang
berakibat pengu-rangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pe-laksanaan atau penggunaan
hak asasi manusia dan kebe-basan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun ko-lektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya.
24.Sistem perlindungan anak adalah satu kesatuan
perencana-an, pelaksanaan, evaluasi dan
pertanggungjawaban yang di-lakukan oleh Pemerintah
Daerah, Instansi dan lembaga yang terkait, masyarakat,
keluarga, dan orang tua, dalam penye-lenggaraan

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

kesejahteraan anak dan keluarga, peradilan anak,


perubahan perilaku, yang didukung oleh data dan
informasi serta hukum dan kebijakan, untuk menciptakan
lingkungan proteksi agar anak terhindar dari segala
bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan
penelantaran, demi terwu-judnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
25.Panti Sosial Asuhan Anak yang selanjutnya disingkat
PSAA adalah wadah pembinaan dan pelayanan
kesejahteraan anak, baik milik pemerintah maupun
masyarakat yang melaksana-kan kegiatan pemenuhan
kebutuhan dasar dan pengembang-an anak.
26.Rumah Perlindungan Sosial Anak yang selanjutnya
disingkat RPSA adalah wadah pembinaan dan pelayanan
kesejahteraan anak terlantar yang melaksanakan
kegiatan pendamping-an/bimbingan sosial, pemeliharaan,
perawatan, pendidikan, dan kesehatan, serta bimbingan
keterampilan guna menjamin agar anak tidak melakukan
aktivitas di jalanan sehingga dapat tumbuh kembang
secara wajar.

B. Muatan Materi Peraturan Daerah


1. Maksud dibentuknya Peraturan Daerah
Maksud dari dibuatnya Peraturan daerah ini adalah
sebagai landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam
upaya perlindungan hak anak penyandang disabilitas dan
anak terlantar untuk terciptanya kemandirian dalam hi-
dup sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang
sebagai manusia yang seutuhnya.
2. Tujuan dibentuknya Peraturan Daerah
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari Naskah
Akade-mik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Cilacap tentang perlindungan anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar adalah untuk melakukan
penelitian atau pengkajian terkait dengan kewajiban
Pemerintah Daerah dalam melakukan pro-gram
perlindungan anak penyandang disabilitas dan anak
terlantar. Oleh karena itu, tujuan pokok dari penyusunan
Nas-kah akademik peraturan daerah ini adalah sebagai
berikut:
6. Terselenggaranya peningkatan akses dan mutu
pelayanan pemenuhan hak-hak dasar anak
penyandang disabilitas dan anak terlantar sehingga

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

mereka tumbuh kembang se-bagai anak normal pada


umumnya.
7. Tersedianya infrastruktur yang memadahi bagi anak
pe- nyandang disabilitas dan anak terlantar dalam
memperoleh hak-hak dasar mereka dalam segala
bidang kehidupan mereka.
8. Menjamin terpenuhinya hak penyandang disabilitas
dan anak terlantar melalui kemudahan dan perlakuan
khusus agar tercipta kemandirian, kesejahteraan, dan
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan
9. Terbangunnya peningkatan kesadaran dan
partisispasi ma-syarakat dalam memberikan perhatian
dan perlakuan seca-ra adil dan bermartabat sebagai
warga Negara kepada anak penyandang disabilitas
dan anak terlantar.
10. Terbentuknya sinergi dan kerjasama antar seluruh pe-
mangku kepentingan (stakeholders), organisasi
profesi, akademisi, swasta dan masyarakat dalam
memberikan layanan untuk menjamin terpenuhinya
hak penyandang disabilitas dan anak terlantar.
Adapun tujuan pokok dari dibuatnya Peraturan
daerah ini adalah sebagai landasan hukum bagi
pemerintah daerah dalam upaya perlindungan hak anak
penyandang disabilitas dan anak terlantar untuk
terciptanya kemandirian dalam hi-dup sehingga mereka
dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang
seutuhnya.
Oleh karena itu, secara substansi, ruang lingkup
Peraturan daerah ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : Maksud dan Tujuan
Bab III : Ruang Lingkup
Bab IV : Asas
Bab V : Hak Anak
Bab VI : Kewajiban dan
Tanggungjawab Bab VII : Perlindungan
Anak Penyandang
Disabilitas
Bab VIII : Perlindungan Anak Terlantar

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Bab IX : Ketentuan Penyidikan


Bab X : Ketentuan Pidana
Bab XI : Ketentuan Peralihan
Bab XII : Ketentuan Penutup

--  --

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

BAB VI
PENUTUP

Semua anak memiliki hak yang sama terutama dalam


bidang dan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan,
administrasi kependudukan, dan bersosialisasi. Hak atas
layanan dasar tersebut wajib diberikan kepada setiap anak
karena posisinya yang strategis sebagai penerus generasi
masa depan. Posisi strategis ini menuntut setiap anak dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal, berkualitas, dan
terkendali. Pemerintah dan masyarakat berkewajiban
membantu dan memastikan agar setiap anak dapat
memperoleh pelayanan dasar bagi mereka secara berkualitas
dan memadai.
Persoalan kemudian adalah bahwa tidak semua anak
memiliki situasi dan kondisi yang sama. Terdapat beberapa
atau sekelompok anak memiliki keterbatasan secara fisik,
mental, sosial, dan sensorik lainnya. Anak-anak dengan
kondisi ini disebut dengan anak penyandang disabilitas.
Kondisi kurang lebih sama juga dihadapi oleh anak-anak yang
secara sosial tidak terintegrasi dalam keluarga asli akibat
ketidakhadiran keluarga. Anak seperti ini sering disebut
dengan anak terlantar. Karena keterbatasan ini maka anak-
anak tersebut memiliki hambatan-hambatan fundamental
dalam mengakses layanan dasar yang disediakan. Oleh
karena itu diperlukan instrumen atau dukungan lain baik
secara material maupun kebijakan agar keterbatasan-
keterbatasan yang ada tidak menjadi halangan dalam
mengakses dan memenuhi kebutuhan akan hak-hak dasar
yang layak dan memadai.
Atas pertimbangan ini maka secara material, seluruh
layanan kebutuhan dasar anak harus mempertimbangkan
aksesabilitas bagi anak-anak penyandang disabilitas dan
terlantar. Selain secara material, anak penyandang
disabilitas dan terlantar secara sosial berada pada ruang
umum yang memungkinkan menjadi obyek perilaku-perilaku
tertentu. Secara umum tidak semua masyarakat bisa
menerima keberadaan anak penyandang disabilitas dan
terlantar secara penuh. Beberapa masih memandang anak-
anak tersebut sebagai anak cacat, menyimpang, atau bahkan
bermasalah. Pandangan-pandangan stigmatif ini berpengaruh
terhadap proses sosialisasi yang dijalani. Misalnya seringkali
anak penyandang disabilitas menjadi sasaran tindakan
diskriminatif dan kekerasan.

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Aksi yang didasarai oleh stigma buruk dan diskriminasi


ini berdampak terhadap perkembangan anak disabilitas dan
terlantar. Secara tidak langsung, pengaruh ini berlanjut pada
upaya anak-anak ini dalam membangun masa depannya
secara berkualitas. Dalam kerangka ini, Raperda
Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Terlantar diinisiasi. Muaranya adalah menjadi landasan bagi
munculnya inisiatif- inisiatif kebijakan dan kegiatan-kegiatan
teknis yang responsif serta melindungi anak-anak
penyandang disabilitas dan terlantar dari aksi-aksi yang
berpotensi menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya.
Bentuk dari perlindungan ini adalah kebijakan-
kebijakan yang mengafirmasi pemenuhan hak-hak anak
penyandang disabilitas dan terlantar. Selain itu juga
pemenuhan- pemenuhan kebutuhan material dalam bidang
layanan dasar yang melingkupi pendidikan, kesehatan,
administrasi kependudukan, dan sosialisasi.

--  --

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

DAFTAR PUSTAKA

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademika


Pressindo, 1989)
Bagong Suyanto dan Sri Sanituti Hariadi (ed.), Pekerja Anak,
Masalah, Kebijakan Dan Penanganannya, (Surabaya:
Penerbit Lutfansah, 2000)
Imam Sudiyat, Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, (Yogjakarta:
Liberty, 1982)
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstiusi, 2008)
Kuntowijoyo, “Paruh Industrialisasi Indonesia Yang Manusiawi”,
Makalah Seminar di Pusat Antar Universitas (PAU)
UGM, Yogjakarta, 4 Desember 1990.
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum: Apakah Hukum Itu?, (Bandung:
Remadja Karya, 1985)
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung:
PT. Refika Aditama, 2008)
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dan Transisi Politik di
Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara
FHUI, 2008)
ST. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan, Jilid Pertama,
(Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita, 1984), hlm.
35-39.
Supriyadi Widodo Eddyono & Ajeng Gandini Kamilah, Aspek -
Aspek Criminal Justice Bagi Penyandang Disabilitas,
(Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015)

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

LAMPIRAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP


TENTANG PERLINDUNGAN ANAK PENYANDANG DISABILITAS
DAN ANAK TERLANTAR

11
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

BUPATI CILACAP
PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP


NOMOR ……. TAHUN 2017

TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK PENYANDANG DISABILITAS


DAN ANAK TERLANTAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CILACAP,

Menimbang : a. bahwa sebagai generasi muda penerus cita-


cita perjuangan bangsa yang memiliki
peran strategis, ciri, dan sifat khusus,
setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlin- dungan dari kekerasan,
diskriminasi dan se- gala bentuk perlakuan
tidak manusiawi yang mengakibatkan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana diamanatkan da- lam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa anak penyandang disabilitas dan
anak terlantar mempunyai kedudukan
hukum dan memiliki hak asasi manusia
yang sama de- ngan anak lain pada
umumnya dan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari warga ne- gara dan
masyarakat Indonesia yang meru- pakan
amanah dan karunia Tuhan Yang Ma- ha
Esa untuk hidup maju dan berkembang
secara adil dan bermartabat;
c. bahwa sebagian besar anak penyandang
dis- abilitas dan anak terlantar hidup dalam
kon- disi rentan, terbelakang, dan/atau
miskin di- sebabkan masih adanya
pembatasan, ham- batan, kesulitan, dan
pengurangan atau penghilangan hak-
haknya;
d. bahwa untuk mewujudkan kesamaan hak
dan kesempatan bagi anak penyandang dis-
abilitas dan anak terlantar menuju kehidup-
12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar
an yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskri-

12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

minasi diperlukan peraturan yang dapat


menjamin pelaksanaannya;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai-
mana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Perlindungan Anak Penyan-
dang Disabilitas dan Anak Terlantar.
Mengingat : 22. Pasal 18 ayat (6) dan pasal 34 ayat (1) Un-
dang-Undang Dasar Negara Republik
Indone- sia Tahun 1945;
23. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 ten-
tang Pembentukan Daerah Kabupaten
Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah;
24. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 ten-
tang Kesejahteraan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1979
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indo- nesia Nomor 3243);
25. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ten-
tang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indo- nesia Nomor 3209);
26. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 ten-
tang Pengesahan Konvensi International Labo-
ur Organization (ILO) 138 Mengenai Usia
Mi- nimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
(Lem- baran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Repu- blik Indonesia Negara
Nomor 3835);
27. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ten-
tang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indo- nesia Nomor 3886);
28. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 ten-
tang Pengesahan Konvensi ILO 182 tentang
Pelarangan dan Tindakan Segala
Penghapus- an Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3941);
29. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ten-
tang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lem-
baran Negara Republik Indonesia tahun
12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

2000

12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Nomor 208 Tambahan Lembaran Negara Re-


publik Indonesia Nomor 4026);
30. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ten-
tang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indo- nesia Nomor 4235), sebagaimana
telah diu- bah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Ta- hun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Per- lindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 297, Tambah- an
Negara Republik Indonesia Nomor 5606);
31. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ten-
tang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 No- mor 78, Tambahan
Lembaran Negara Repu- blik Indonesia
Nomor 4301);
32. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ten-
tang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Lembaran Negara Repulik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 95,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4419);
33. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ten-
tang Pemberantasan Tindak Pidana Perda-
gangan Orang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4720);
34. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 ten-
tang Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indo- nesia Nomor 4967);
35. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 ten-
tang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (Lem-
baran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
36. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ten-
tang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambah- an Lembaran Negara Republik
Indonesia No- mor 5063);
12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar
37. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ten-

12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

tang Pembentukan Peraturan Perundang-


un- dangan (Lembaran Negara Republik
Indo- nesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
38. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ten-
tang Sistim Peradilan Pidana Anak
(Lembar- an Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Re- publik Indonesia
Nomor 5332);
39. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 ten-
tang Pengesahan Convention On The Right
Of Persons With Disabilitis (Konvensi Hak
Hak Penyandang Disabilitas) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indo- nesia Nomor 5251);
40. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-
tang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indo- nesia Nomor 5587), sebagaimana
telah di- ubah beberapa kali terakhir
dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Peru- bahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5679);
41. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 ten-
tang Penyandang Disabilitas (Lembaran Ne-
gara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69, Tambahan Lembaran Negara Republik
In- donesia Nomor 5871);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988
tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi A-
nak Yang Mempunyai Masalah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1988 No-
mor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3367);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
1998 tentang Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 70, Tambahan
12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Lembaran Negara Republik Indo-

12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

nesia Nomor 3754);


44. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006
tentang Penyelenggaraan Dan Kerjasama
Pe- mulihan Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4604);
45. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Un-
dang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-
bentukan Perundang Undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No-
mor 1999);
46. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No-
mor 3 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap
Korban Kekerasan Berbasis Gender dan
Anak (Lembaran Dae- rah Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Ja- wa Tengah
Nomor 20);
47. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No-
mor 4 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012
Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Tengah No- mor 40);
48. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No-
mor 7 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Anak
(Lembaran Daerah Pro- vinsi Jawa Tengah
Tahun 2013 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 53);
49. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No-
mor 11 Tahun 2014 tentang Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014
Nomor 11);
50. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap
Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Per- lindungan Anak
(Lembaran Daerah Kabupa- ten Cilacap
Tahun 2016 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 132).

12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PEWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP

Dan

BUPATI CILACAP

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNG-


AN ANAK PENYANDANG DISABILITAS DAN
ANAK TERLANTAR

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :


27. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai- mana dimaksud dalam UndangUndang Dasar
Negara Repu- blik Indonesia Tahun 1945.
28. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
Provinsi Jawa Tengah.
29. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.
30. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Cilacap.
31. Bupati adalah Bupati Cilacap.
32. Organisasi Perangkat Daerah (OPD), adalah OPD
Kabupaten Cilacap, yaitu unsur pembantu Kepala Daerah
dalam penye- lenggaraan Pemerintahan Daerah yang terdiri
dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah,
Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
33. Setiap Orang adalah perseorangan, kelompok orang,
masya- rakat, badan usaha berbadan hukum, dan/atau
badan usaha bukan berbadan hukum.
34. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga
sedarah da-

12
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

lam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat


ketiga.
35. Orang Tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah
dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
36. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
37. Anak Penyandang Disabilitas adalah anak yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui ham-
batan yang menyulitkan untuk berpartisipasi secara penuh
dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
38. Anak Terlantar adalah Anak yang tidak terpenuhi kebutuh-
annya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun so-
sial.
39. Penelantaran adalah ketidakpedulian orangtua, atau orang
yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka
baik fisik maupun psikis seperti pengabaian pada kesehatan
anak, pengabaian dan penelantaran pada pendidikan anak,
pengabaian pada pengembangan emosi dan spiritual, pene-
lantaran pada pemenuhan gizi, pengabaian pada
penyediaan perumahan, dan pengabaian pada kondisi
keamanan dan kenyamanan.
40. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara.
41. Hak Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlantar
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Terlantar sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah- Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan se- tiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
42. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tum- buh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
43. Pemenuhan Hak Anak Penyandang DisabiIitas dan Anak
Ter- lantar adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melin- dungi hak-hak Anak Penyandang Disabilitas dan
Anak Ter- lantar agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berparti- sipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat ke-

13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

manusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan


diskriminasi.
44. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk
Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlantar guna
mewujud- kan kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.
45. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan
pe- luang dan/atau menyediakan akses kepada Anak
Penyan- dang Disabilitas dan Anak Terlantar untuk
menyalurkan po- tensi dalam segala aspek penyelenggaraan
negara dan ma- syarakat.
46. Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan
keberadaan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Terlantar dalam ben- tuk penumbuhan iklim dan
pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan
berkembang menjadi individu atau ke- lompok yang
tangguh dan mandiri.
47. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian
yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan
atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan
fun- damental untuk Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Ter- lantar berdasarkan kesetaraan.
48. Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang
diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
setiap orang kepada Anak Penyandang Disabilitas dan Anak
Terlantar ber- dasarkan kebijakan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
49. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pe-
ngucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pa- da pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat
pengu- rangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pe- laksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebe- basan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun ko- lektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
50. Sistem perlindungan anak adalah satu kesatuan perencana-
an, pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban yang di-
lakukan oleh Pemerintah Daerah, Instansi dan lembaga
yang terkait, masyarakat, keluarga, dan orang tua, dalam
penye- lenggaraan kesejahteraan anak dan keluarga,
peradilan anak, perubahan perilaku, yang didukung oleh
data dan informasi serta hukum dan kebijakan, untuk
menciptakan lingkungan proteksi agar anak terhindar dari
segala bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan
penelantaran, demi terwu-
13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

judnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,


dan sejahtera.
51. Panti Sosial Asuhan Anak yang selanjutnya disingkat PSAA
adalah wadah pembinaan dan pelayanan kesejahteraan
anak, baik milik pemerintah maupun masyarakat yang
melaksana- kan kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar dan
pengembang- an anak.
52. Rumah Perlindungan Sosial Anak yang selanjutnya
disingkat RPSA adalah wadah pembinaan dan pelayanan
kesejahteraan anak terlantar yang melaksanakan kegiatan
pendamping- an/bimbingan sosial, pemeliharaan,
perawatan, pendidikan, dan kesehatan, serta bimbingan
keterampilan guna menjamin agar anak tidak melakukan
aktivitas di jalanan sehingga dapat tumbuh kembang secara
wajar.

BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Maksud dari Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan


kepastian hukum dalam rangka kegiatan perlindungan anak
penyandang disabilitas dan anak terlantar.
(2) Tujuan Peraturan Daerah ini adalah
a. mewujudkan penghormatan dan pemenuhan hak asasi
ma- nusia serta kebebasan dasar anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar secara penuh dan setara;
b. menjamin upaya penghormatan dan pemenuhan hak
seba- gai martabat yang melekat pada diri anak
penyandang dis- abilitas dan anak terlantar;
c. mewujudkan taraf kehidupan anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar yang lebih berkualitas, adil,
sejahtera lahir dan batin, mandiri, serta bermartabat;
d. melindungi anak penyandang disabilitas dan anak
terlantar dari eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan
diskrimi- natif, serta pelanggaran hak asasi manusia; dan
e. memastikan pelaksanaan upaya penghormatan dan
peme- nuhan hak anak penyandang disabilitas dan anak
terlantar untuk mengembangkan diri serta
mendayagunakan selu- ruh kemampuan sesuai bakat dan
minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan serta
berkontribusi secara op- timal, aman, leluasa, dan
bermartabat dalam segala aspek kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat.

BAB III
13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

RUANG LINGKUP

Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan Daerah ini adalah penyelenggaraan


perlindungan anak yang meliputi :
a. perlindungan anak penyandang disabilitas; dan
b. perlindungan anak terlantar.

BAB IV
Asas

Pasal

Penyelenggaraan perlindungan anak penyandang disabilitas dan


anak terlantar berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak dan
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, meliputi:
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan-
nya;
d. penghargaan terhadap pendapat anak;
e. keterbukaan;
f. keterpaduan;
g. pemberdayaan;
h. penghormatan terhadap martabat;
i. otonomi penuh;
j. keragaman manusia dan kemanusiaan;
k. kesamaan kesempatan;
l. kesetaraan;
m. aksesibilitas;
n. kapasistas yang terus berkembang dan identitas anak;
o. inklusif; dan
p. perlakuan khusus dan perlindungan lebih.

BAB V
HAK
ANAK

Pasal 5

Setiap anak berhak :


a. untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta
13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

mendapat perlindungan dari tindak kekerasan, eksploitasi,


dan diskriminasi;
b. atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewargane-
garaan;
c. untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya dalam
bimbingan orang tuanya;
d. untuk berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecer-
dasan dan usianya dalam bimbingan orang tuanya;
e. untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri;
f. memperoleh pelayanan kesehatan, dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosialnya;
g. memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pe-
ngembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
de- ngan minat dan bakatnya;
h. menyatakan dan didengar pendapatnya;
i. beristirahat dan memanfaatkan waktu luang demi pengem-
bangan diri;
j. memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegi-
atan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan
dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang me-
ngandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan, sa-
saran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman
yang tidak manusiawi, dan pelibatan anak dalam bentuk-
bentuk pekerjaan terburuk; dan
k. mendapatkan perlindungan hukum.

BAB VI
KEWAJIBAN DAN TANGGUNGJAWAB

Pasal 6

(1) Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua


ber- kewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak penyandang disabilitas
dan anak terlantar.
(2) Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab :
a. menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak pe-
nyandang disabilitas dan anak terlantar tanpa membe-
dakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kela-
hiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental; dan
b. memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam pe-
nyelenggaraan perlindungan anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar.

13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(3) Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlin-


dungan anak penyandang disabilitas dan anak terlantar di-
laksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam pe-
nyelenggaraan perlindungan anak penyandang disabilitas
dan anak terlantar.

BAB VII
PERLINDUNGAN ANAK PENYANDANG DISABILITAS

Bagian Kesatu
Ragam Anak Penyandang Disabilitas

Pasal 7

(1) Ragam Anak Penyandang Disabilitas meliputi:


a. Anak Penyandang Disabilitas fisik;
b. Anak Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Anak Penyandang Disabilitas mental; dan/atau
d. Anak Penyandang Disabilitas sensorik.
(2) Ragam Anak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dialami secara tunggal, ganda, atau
multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga
medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kedua
Hak Anak Penyandang Disabilitas

Paragraf 1
Umum

Pasal 8

(1) Secara umum penyandang disabilitas memiliki hak:


a. hidup;
b. bebas dari stigma;
c. pendidikan;
d. kesehatan;
e. politik;
f. keagamaan;
g. keolahragaan;
h. kesejahteraan sosial;
i. pelayanan Publik;
j. perlindungan dari bencana;
k. pendataan;
l. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;

13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak pe-
nyandang disabilitas memiliki hak:
a. mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, pe-
nelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan
ke- jahatan seksual;
b. mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau
keluarga pengganti untuk tumbuh kembang secara op-
timal;
c. dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan;
d. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak anak;
e. pemenuhan kebutuhan khusus;
f. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai
integrasi sosial dan pengembangan individu; dan
g. mendapatkan pendampingan sosial.

Paragraf 2
Hak
Hidup

Pasal 9

Hak hidup untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. atas penghormatan integritas;
b. tidak dirampas nyawanya;
c. mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang menjamin ke-
langsungan hidupnya;
d. bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan, dan
pe- ngucilan;
e. bebas dari ancaman dan berbagai bentuk eksploitasi; dan
f. bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat
manusia.

Paragraf 3
Hak Bebas dari Stigma

Pasal 10

Hak bebas dari stigma untuk Anak Penyandang Disabilitas me-


liputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan
negatif terkait kondisi disabilitasnya.

Paragraf 4
Hak Pendidikan

Pasal 11
13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Hak pendidikan untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendi-
dikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara
inklusif dan khusus; dan
b. mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.

Paragraf 5
Hak Kesehatan

Pasal 12

Hak kesehatan untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses
dalam pelayanan kesehatan;
b. memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber
da- ya di bidang kesehatan;
c. memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau;
d. memperoleh alat bantu kesehatan berdasarkan kebutuhannya;
e. memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping yang
rendah;
f. memperoleh perlindungan dari upaya percobaan medis; dan
g. memperoleh perlindungan dalam penelitian dan
pengembang- an kesehatan yang mengikutsertakan manusia
sebagai subjek.

Paragraf 6
Hak Politik

Pasal 13

Hak politik untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;
b. membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi
masyarakat dan/atau partai politik;
c. membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang
dis- abilitas dan untuk mewakili penyandang disabilitas pada
tingkat lokal, nasional, dan internasional; dan
d. memperoleh pendidikan politik.

Paragraf 7
Hak Keagamaan

Pasal 14

13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Hak keagamaan untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan
beriba- dat menurut agama dan kepercayaannya;
b. memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat
peribadatan;
c. mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan lainnya yang
mudah diakses berdasarkan kebutuhannya;
d. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pada saat
menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya;
dan
e. berperan aktif dalam organisasi keagamaan.

Paragraf 8
Hak Keolahragaan

Pasal 15

Hak keolahragaan untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi


hak:
a. melakukan kegiatan keolahragaan;
b. mendapatkan penghargaan yang sama dalam kegiatan
keolah- ragaan;
c. memperoleh pelayanan dalam kegiatan keolahragaan;
d. memperoleh sarana dan prasarana keolahragaan yang
mudah diakses;
e. memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga;
f. memperoleh pengarahan, dukungan, bimbingan, pembinaan,
dan pengembangan dalam keolahragaan;
g. menjadi pelaku keolahragaan; dan
h. meningkatkan prestasi dan mengikuti kejuaraan olahraga di
semua tingkatan.

Paragraf 9
Hak Kesejahteraan Sosial

Pasal 16

Hak kesejahteraan sosial untuk Anak Penyandang Disabilitas


me- liputi hak rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, dan perlindungan sosial.

Paragraf 10
Hak Pelayanan Publik

Pasal 17

13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Hak Pelayanan Publik untuk Anak Penyandang Disabilitas meli-


puti hak:
a. memperoleh akomodasi yang layak dalam pelayanan publik
se- cara optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi; dan
b. pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang
mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan bi-
aya.

Paragraf 11
Hak Perlindungan dari

Bencana Pasal 18

Hak Perlindungan dari bencana untuk Anak Penyandang Disabi-


litas meliputi hak:
a. mendapatkan informasi yang mudah diakses akan adanya
bencana;
b. mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko ben-
cana;
c. mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan dan eva-
kuasi dalam keadaan bencana;
d. mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan
evakuasi yang mudah diakses; dan
e. mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah
diak- ses di lokasi pengungsian.

Paragraf 12
Hak Pendataan

Pasal 19

Hak pendataan untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam kegiatan
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil;
b. mendapatkan dokumen kependudukan; dan
c. mendapatkan kartu penyandang disabilitas.

Paragraf 13
Hak Hidup Secara Mandiri dan Dilibatkan dalam Masyarakat

Pasal 20

Hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat


untuk Anak Penyandang Disabilitas meliputi hak:

13
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

a. mobilitas pribadi dengan penyediaan alat bantu dan


kemudah- an untuk mendapatkan akses;
b. mendapatkan kesempatan untuk hidup mandiri di tengah
ma- syarakat;
c. mendapatkan pelatihan dan pendampingan untuk hidup
seca- ra mandiri;
d. menentukan sendiri atau memperoleh bantuan dari Pemerin-
tah Daerah untuk menetapkan tempat tinggal dan/atau peng-
asuhan keluarga atau keluarga pengganti;
e. mendapatkan akses ke berbagai pelayanan, baik yang diberi-
kan di dalam rumah, di tempat permukiman, maupun dalam
masyarakat; dan
f. mendapatkan akomodasi yang wajar untuk berperan serta
da- lam kehidupan bermasyarakat.

Bagian Ketiga
Pelaksanaan Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas

Paragraf 1
Umum

Pasal 21

(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan perencanaan, penye-


lenggaraan, dan evaluasi tentang pelaksanaan Penghormatan,
Perlindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
(2) Dalam hal efektivitas pelaksanaan Penghormatan, Perlin-
dungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas seba-
gaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah wajib
merumuskannya dalam rencana induk.
(3) Ketentuan rinci mengenai perencanaan, penyelenggaraan,
dan evaluasi tentang pelaksanaan Penghormatan,
Perlindung- an, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas
sebagai dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bupati.

Pasal 22

Selain yang disebutkan pada pasal 21, untuk anak penyandang


disabilitas :
(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan unit layanan
informa- si dan tindak cepat untuk anak penyandang
disabilitas yang menjadi korban kekerasan.
(2) Pemerintah Daerah wajib memberikan Perlindungan khusus
terhadap anak penyandang disabilitas sesuai dengan keten-
tuan peraturan perundang-undangan.

14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(3) Pemerintah Daerah wajib menyediakan rumah aman yang


mudah diakses untuk anak penyandang disabilitas yang
men- jadi korban kekerasan.

Paragraf 2
Pendidikan

Pasal 23

(1) Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan dan/atau


memfa- silitasi pendidikan untuk anak penyandang
disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan
sesuai dengan kewenang- annya.
(2) Penyelenggaraan dan/atau fasilitasi pendidikan untuk anak
penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional melalui pen-
didikan inklusif dan/atau pendidikan khusus.
(3) Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan anak
penyandang disabilitas dalam program wajib belajar 12 (dua
belas) tahun.
(4) Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak penyandang
disabilitas bersekolah di lokasi yang dekat tempat
tinggalnya.
(5) Pemerintah Daerah memfasilitasi anak penyandang
disabilitas yang tidak berpendidikan formal untuk
mendapatkan ijazah pendidikan dasar dan menengah melalui
program kesetaraan.
(6) Pemerintah Daerah wajib menyediakan beasiswa untuk
peserta didik anak penyandang disabilitas berprestasi yang
orang tu- anya tidak mampu membiayai pendidikannya.
(7) Pemerintah Daerah wajib menyediakan biaya pendidikan un-
tuk anak penyandang disabilitas yang tidak mampu
membiayai pendidikannya.

Pasal 24

(1) Dalam menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan


inklusif dan pendidikan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2 Pemerintah Daerah) wajib
memfasilitasi anak penyandang disabilitas untuk
mempelajari keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk
kemandirian dan partisipasi penuh dalam menempuh
pendidikan dan pengembangan sosial.
(2) Keterampilan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meli- puti:
a. keterampilan menulis dan membaca huruf braille untuk
anak penyandang disabilitas netra;
14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

b. keterampilan orientasi dan mobilitas;

14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

c. keterampilan sistem dukungan dan bimbingan sesama a-


nak penyandang disabilitas;
d. keterampilan komunikasi dalam bentuk, sarana, dan for-
mat yang bersifat augmentatif dan alternatif; dan
e. keterampilan bahasa isyarat dan pemajuan identitas
lingu- istik dari komunitas anak penyandang disabilitas
rungu.

Pasal 25

(1) Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan Unit


La- yanan Disabilitas untuk mendukung penyelenggaraan
pendi- dikan inklusif tingkat dasar dan menengah.
(2) Unit Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berfungsi:
a. meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidik- an di sekolah reguler dalam menangani
peserta didik anak penyandang disabilitas;
b. menyediakan pendampingan kepada peserta didik anak
pe- nyandang disabilitas untuk mendukung kelancaran
proses pembelajaran;
c. mengembangkan program kompensatorik;
d. menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang di-
perlukan peserta didik anak penyandang disabilitas;
e. melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta
di- dik dan calon peserta didik anak penyandang
disabilitas;
f. menyediakan data dan informasi tentang disabilitas;
g. menyediakan layanan konsultasi; dan
h. mengembangkan kerja sama dengan pihak atau lembaga
lain dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan
peser- ta didik anak penyandang disabilitas.
(3) Penyediaan dan peningkatan kompetensi pendidik dan
tenaga kependidikan dalam menangani peserta didik anak
penyan- dang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dilakukan melalui program dan kegiatan tertentu.

Pasal 26

(1) Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi lembaga penyelenggara


pendidikan dalam menyediakan Akomodasi yang Layak.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan Akomodasi yang Layak
untuk peserta didik anak penyandang disabilitas
sebagaimana dimak- sud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Bupati.
(3) Penyelenggara pendidikan yang tidak menyediakan
Akomodasi yang Layak untuk peserta didik anak penyandang
14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

disabilitas dikenai sanksi administratif berupa:

14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan pendidikan;
c. pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan; dan
d. pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai mekanisme pemberian sanksi
administra- tif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peratur- an Bupati.

Paragraf 3
Kesehatan

Pasal 27

(1) Pemerintah Daerah wajib memastikan fasilitas pelayanan ke-


sehatan menerima pasien anak penyandang disabilitas.
(2) Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas pelayanan
ke- sehatan kepada anak penyandang disabilitas tanpa
Diskrimi- nasi sesuai dengan standar dan ketentuan
peraturan perun- dang-undangan.

Pasal 28

(1) Pemerintah Daerah wajib memberikan pelayanan kesehatan


untuk anak penyandang disabilitas tanpa Diskriminasi sesuai
dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undang-
an.
(2) Pelayanan kesehatan bagi anak penyandang disabilitas seba-
gaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk
melakukan pelayanan terhadap anak penyandang disabilitas.
(3) Pemerintah Daerah menjamin pelayanan kesehatan bagi
anak penyandang disabilitas dalam program jaminan
kesehatan na- sional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undang- an.

Pasal 29

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan tenaga kesehatan


yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam pelayanan
kese- hatan bagi anak penyandang disabilitas dari fasilitas
kesehat- an tingkat pertama sampai ke tingkat lanjut.
(2) Dalam hal tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan
kewenangan dalam pelayanan kesehatan bagi anak penyan-
dang disabilitas belum tersedia, tenaga kesehatan yang ada
di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama wajib
merujuk

14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

kepada tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan


kewe- nangan dalam pelayanan kesehatan bagi anak
penyandang disabilitas pada fasilitas pelayanan kesehatan
lain.
(3) Merujuk anak penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal.
(4)Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan dalam bentuk pengiriman pasien dan spesimen,
dan melalui telemedisin.
(5) Ketentuan mengenai mekanisme rujukan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan perbekalan


kese- hatan bagi anak penyandang disabilitas.

Pasal 31

(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan pelayanan


kesehatan yang dibutuhkan oleh anak penyandang disabilitas
sesuai dengan kebutuhan dan ragam disabilitasnya.
(2) Ketersediaan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh
anak penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dirancang untuk meminimalkan hambatan dan
mencegah ter- jadinya disabilitas lebih lanjut sesuai dengan
ketentuan pera- turan perundang-undangan.

Pasal 32

Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan pelayanan


reha- bilitasi medis bagi anak penyandang disabilitas sesuai
dengan ke- butuhan dan ragam disabilitasnya.

Pasal 33

Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan alat nonkesehatan


yang dibutuhkan oleh anak penyandang disabilitas di fasilitas
pe- layanan kesehatan.

Pasal 34

Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pelatihan tenaga


ke- sehatan di wilayahnya agar mampu memberikan pelayanan
kese- hatan bagi anak penyandang disabilitas.

14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Pasal 35

Tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medis wajib


menda- patkan persetujuan dari anak penyandang disabilitas
sesuai de- ngan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

Rumah sakit jiwa maupun rumah sakit umum yang menyediakan


pelayanan psikiatri wajib memberikan pelayanan kepada anak
penyandang disabilitas sesuai dengan standar.

Pasal 37

(1) Fasilitas perawatan untuk pasien anak penyandang


disabilitas mental harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip
keselamatan dan kepuasan pasien.
(2) Prinsip keselamatan dan kepuasan pasien sebagaimana di-
maksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

Segala tindakan medik kepada pasien anak penyandang


disabilitas mental dilaksanakan sesuai dengan standar.

Pasal 39

(1) Penyelenggara pelayanan kesehatan wajib menyediakan


pela- yanan informasi tentang pelayanan kesehatan bagi
anak pe- nyandang disabilitas.
(2) Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ter-
masuk memberikan informasi mengenai rujukan rehabilitasi
lanjutan yang tersedia bagi anak penyandang disabilitas.

Pasal 40

(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi anak penyan-


dang disabilitas terhadap pelayanan air bersih.
(2) Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi anak penyan-
dang disabilitas terhadap fasilitas sanitasi yang layak.

Paragraf 4
Politik

14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Pasal 41

Pemerintah Daerah wajib menjamin agar anak penyandang dis-


abilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam ke-
hidupan politik dan publik secara langsung atau melalui perwa-
kilan.

Paragraf 5
Keagamaan

Pasal 42

Pemerintah Daerah wajib melindungi anak penyandang


disabilitas dari tekanan dan Diskriminasi oleh pihak mana pun
untuk meme- luk agama dan kepercayaan masing-masing dan
beribadat menu- rut agama dan kepercayaannya.

Pasal 43

Pemerintah Daerah wajib melakukan bimbingan dan penyuluhan


agama terhadap anak penyandang disabilitas.

Pasal 44

Pemerintah Daerah wajib mendorong dan/atau membantu


penge- lola rumah ibadah untuk menyediakan sarana dan
prasarana yang mudah diakses oleh anak penyandang
disabilitas.

Pasal 45

Pemerintah Daerah wajib menyediakan kitab suci dan lektur


kea- gamaan lain yang mudah diakses berdasarkan kebutuhan
anak penyandang disabilitas.

Pasal 46

Pemerintah Daerah mengupayakan ketersediaan penerjemah ba-


hasa isyarat dalam kegiatan peribadatan.

Paragraf 6
Keolahragaan

Pasal 47

14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(1) Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem


keolahraga- an untuk anak penyandang disabilitas yang
meliputi:
a. keolahragaan pendidikan;
b. keolahragaan rekreasi; dan
c. keolahragaan prestasi.
(2) Pengembangan sistem keolahragaan untuk anak penyandang
disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
ber- dasarkan jenis olahraga khusus untuk anak penyandang
dis- abilitas yang sesuai dengan kondisi dan ragam
disabilitasnya.

Pasal 48

Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan


olahraga untuk anak penyandang disabilitas yang dilaksanakan
dan dia- rahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya
diri, dan prestasi olahraga.

Paragraf 7
Kesejahteraan Sosial

Pasal 49

(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan penyelenggaraan kesejah-


teraan sosial untuk anak penyandang disabilitas.
(2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rehabilitasi sosial;
b. jaminan sosial;
c. pemberdayaan sosial; dan
d. perlindungan sosial.

Pasal 50

Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi anak


penyandang disabilitas untuk mendapatkan rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Pasal 51

(1) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50


diberikan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk:
a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
14
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan Aksesibilitas;
h. bantuan dan asistensi sosial;
i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan/atau
k. rujukan.
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara persuasif, motivatif, dan koersif oleh
kelu- arga, masyarakat, dan institusi sosial.

Pasal 52

(1) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diberi-


kan oleh Pemerintah Daerah untuk anak penyandang disabi-
litas miskin.
(2) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial,
bantuan lang- sung berkelanjutan, dan bantuan khusus.
(3) Bantuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menca- kup pelatihan, konseling, perawatan sementara, atau
bantuan lain yang berkaitan.

Pasal 53

(1) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50


dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui:
a. peningkatan kemauan dan kemampuan;
b. penggalian potensi dan sumber daya;
c. penggalian nilai dasar;
d. pemberian akses; dan/atau
e. pemberian bantuan usaha.
(2) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b. pelatihan dan pendampingan;
c. pemberian stimulan;
d. peningkatan akses pemasaran hasil usaha;
e. penguatan kelembagaan dan kemitraan; dan
f. bimbingan lanjut.

Pasal 54

Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dila-


kukan oleh Pemerintah Daerah melalui:

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

a. bantuan sosial;
b. advokasi sosial; dan/atau
c. bantuan hukum.

Pasal 55

Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sosial, jaminan


sosi- al, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial, diatur
dalam Peraturan Bupati.

Paragraf 8
Pelayanan Publik

Pasal 56

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan Pelayanan Publik


yang mudah diakses oleh anak penyandang disabilitas
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ter-
masuk pelayanan jasa transportasi publik.
(3) Pelayanan Publik yang mudah diakses sebagaimana dimak-
sud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan Pelayanan Publik, dan
badan hukum lain yang dibentuk untuk Pelayanan Publik.
(4) Pendanaan Pelayanan Publik bagi anak penyandang disa-
bilitas bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. anggaran dan pendapatan belanja daerah; dan/atau
c. anggaran korporasi atau badan hukum yang menyeleng-
garakan Pelayanan Publik.

Pasal 57

(1) Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan dan menyosiali-


sasikan Pelayanan Publik yang mudah diakses sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 kepada anak penyandang disabili-
tas dan masyarakat.
(2) Penyelenggara Pelayanan Publik wajib menyediakan
panduan Pelayanan Publik yang mudah diakses oleh anak
penyandang disabilitas.

Pasal 58

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(1) Pelayanan jasa transportasi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 56 ayat (2) terdiri dari pelayanan jasa transportasi da-
rat, transportasi kereta api, transportasi laut, dan
transporta- si udara.
(2) Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan korporasi
atau badan hukum dalam menyediakan pelayanan jasa
transportasi publik bagi anak penyandang disabilitas.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Publik yang mudah


diakses oleh anak penyandang disabilitas diatur dengan
Peraturan Bupati.

Paragraf 9
Perlindungan dari Bencana

Pasal 60

(1) Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah yang


diperlukan untuk menjamin penanganan anak penyandang
disabilitas pa- da tahap prabencana, saat tanggap darurat,
dan pascabenca- na.
(2) Penanganan anak penyandang disabilitas sebagaimana
dimak- sud pada ayat (1) harus memperhatikan Akomodasi
yang La- yak dan Aksesibilitas untuk anak penyandang
disabilitas.
(3) Anak penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam pe-
nanggulangan bencana.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan anak penyan-
dang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat
(2) serta partisipasi anak penyandang disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 10
Pendataan

Pasal 61

(1) Penyelenggaraan pendataan terhadap anak penyandang disabi-


litas dilakukan oleh Organisasi Perangkat Daerah yang
menye- lenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial
secara mandiri atau bersama dengan lembaga yang
menyelengga- rakan urusan pemerintahan di bidang statistik
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(2) Pendataan terhadap anak penyandang disabilitas


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
memperoleh data akurat tentang karakteristik pokok dan
rinci anak penyandang disabilitas.
(3) Data akurat tentang anak penyandang disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk:
a. mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang dihadapi
oleh anak penyandang disabilitas dalam mendapatkan
hak anak penyandang disabilitas; dan
b. membantu perumusan dan implementasi kebijakan Peng-
hormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan hak anak pe-
nyandang disabilitas.

Pasal 62

(1) Pimpinan Organisasi Perangkat Daerah yang


menyelenggara- kan urusan pemerintahan di bidang sosial
secara mandiri atau bersama dengan lembaga yang
menyelenggarakan urusan pe- merintahan di bidang statistik
melakukan verifikasi dan vali- dasi terhadap hasil pendataan
Penyandang Disabilitas seba- gaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1).
(2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara berkala paling sedikit 2 (dua) tahun sekali.

Pasal 63

(1) Anak penyandang disabilitas yang belum terdata dalam


penda- taan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dapat
secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala
desa atau nama lain di tempat tinggalnya.
(2) Lurah atau kepala desa atau nama lain wajib menyampaikan
pendaftaran atau perubahan data sebagaimana dimaksud pa-
da ayat (1) kepada Bupati melalui camat.
(3) Bupati menyampaikan pendaftaran atau perubahan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Gubernur.
(4) Dalam hal diperlukan, Bupati dapat melakukan verifikasi dan
validasi terhadap pendaftaran atau perubahan data sebagai-
mana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 64

(1) Data yang telah diverifikasi dan divalidasi harus berbasis


tek- nologi informasi.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
jawab Bupati.

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(3) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diper- gunakan oleh Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan
hak anak penyandang disabilitas dan dapat diakses oleh
masyarakat se- suai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pemerintah Daerah yang menggunakan data sebagaimana
di- maksud pada ayat (3) menyampaikan hasil
pelaksanaannya kepada Gubernur.

Pasal 65

(1) Anak penyandang disabilitas yang telah terdapat dalam data


sebagaimana dimaksud pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) berhak
mendapatkan kartu Penyandang Disabilitas.
(2) Kartu Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
a- yat (1) dikeluarkan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Bagian Keempat
Koordinasi

Pasal 66

(1) Pemerintah Daerah membentuk mekanisme koordinasi di


ting- kat kabupaten dalam rangka melaksanakan
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas se- suai dengan kewenangannya.
(2) Ketentuan mengenai mekanisme koordinasi di tingkat
Kabupa- ten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mengikuti ketentu- an tentang mekanisme koordinasi di
tingkat nasional.

Bagian Kelima
Pendanaan

Pasal 67

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan anggaran bagi pelak-


sanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
anak penyandang disabilitas.
(2) Pendanaan pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pe- menuhan hak anak penyandang disabilitas sebagaimana
di- maksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
c. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

(3) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c dikelola sesuai dengan keten-
tuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Penghargaan

Pasal 68

Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan kepada


orang perseorangan yang berjasa dalam Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak anak penyandang disabilitas.

Pasal 69

Pemerintah Daerah dapat memberikan penghargaan kepada pe-


nyedia fasilitas publik yang memenuhi hak anak penyandang
dis- abilitas.

Pasal 70

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian


penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal
70 diatur dalam Peraturan Bupati.

Bagian Ketujuh
Larangan

Pasal 71

Setiap Orang yang ditunjuk mewakili kepentingan anak penyan-


dang disabilitas dilarang melakukan tindakan yang berdampak
kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan
a- nak penyandang disabilitas tanpa mendapat penetapan dari
peng- adilan negeri.

Pasal 72

Setiap Orang dilarang menghalang-halangi dan/atau melarang


anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan:
a. hak pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
b. hak kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
c. hak politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
d. hak keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
e. hak keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

f. hak kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal


16;
g. hak Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
h. hak Pelindungan dari bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18;
i. hak pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;

BAB VIII
PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

Bagian Kesatu
Pelaksanaan Perlindungan Anak Terlantar

Pasal 73

(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat berkewajiban memberi


perlindungan terhadap anak terlantar.
(2) Perlindungan terhadap anak terlantar sebagaimana
dimaksud ayat (1) dilakukan melalui upaya pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi.

Pasal 74

Dalam rangka melakukan upaya pencegahan sebagaimana


dimak- sud pasal 73 ayat (2), Pemerintah Daerah wajib
memberikan fasi- litasi perlindungan anak dalam kandungan,
anak balita, dan anak usia sekolah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 75

(1) Perlindungan anak terlantar melalui upaya perawatan dan


re- habilitasi sebagaimana dimaksud pasal 73 ayat (2)
dilaksana- kan melalui Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA) dan berikutnya dapat dilanjutkan dalam bentuk
pelayanan Panti atau Non Panti.
(2) Mekanisme penyelenggaraan RPSA sebagaimana dimaksud
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kedua
Kelembagaan

Pasal 76

(1) Bentuk perlindungan anak terlantar melalui pelayanan


Panti sebagaimana dimaksud pasal 75 ayat (1)
dilaksanakan oleh
15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) baik milik Pemerintah Dae-


rah maupun masyarakat.
(2) Bentuk perlindungan anak terlantar melalui pelayanan Non
Panti sebagaimana dimaksud pasal 75 ayat (1) dilaksanakan
dalam lingkungan keluarga atau masyarakat yang tidak ber-
bentuk lembaga.
(3) RPSA sebagaimana dimaksud Pasal 75 ayat (1) dan PSAA
se- bagaimana dimaksud pasal 76 ayat (1) milik masyarakat
ha- rus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. mendapat rekomendasi dan terdaftar di OPD yang
membi- dangi urusan sosial;
b. memiliki sumber daya manusia dan sumber dana yang
memadai untuk mengelola RPSA dan PSAA; dan
c. memiliki sarana dan prasarana yang telah ditentukan
da- lam Pedoman Pelayanan RPSA dan PSAA.

Bagian Ketiga
Pendanaan

Pasal 77

Dana Penyelenggaraan Perlindungan Anak Terlantar bersumber


dari APBD dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB IX
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 78

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan


Pemerin- tah Daerah diberi wewenang khusus sebagai
penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana
pelanggaran Peraturan Daerah sesuai peraturan
perundangundangan.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) a-
dalah :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
menge- nai terjadinya tindak pidana pelanggaran
peraturan per- undang-undangan;
b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di
tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan pemeriksaan dan penyitaan benda atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

f.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubung- annya dengan pemeriksaan perkara;
h. melakukan penghentian penyidikan;
i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat di-
pertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahu- kan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyi- dikannya kepada Penuntut
Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
UndangUndang Hukum Acara Pidana.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 79

(1) Setiap Orang yang melakukan tindakan yang berdampak


kepa- da bertambah, berkurang, atau hilangnya hak
kepemilikan anak penyandang disabilitas tanpa mendapat
penetapan dari pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 diancam pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang
anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 72 diancam pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang melanggar ketentuan tentang
perlindungan anak terlantar yang mengakibatkan
terganggunya hak-hak anak terlantar diancam pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan
(3) merupakan tindak pidana pelanggaran.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 80

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Penyediaan infrastruktur atau sarana dan prasarana yang


mendukung implementasi Perlindungan Anak Penyandang
Disabilitas dan Anak Terlantar dilaksanakan dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 81

(1) Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan


paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai
berlaku.
(2) Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan


pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap.

Ditetapkan di Cilacap
pada tanggal ……………….

2017 BUPATI CILACAP,

ttd

……………………..

Diundangkan di Cilacap
pada tanggal …………………. 2017

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN CILACAP,

ttd

…………………

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TAHUN 2017 NOMOR


………………..

15
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Notulen Penyusunan Naskah Akademik


RANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN CILACAP
TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK PENYANDANG DISABILITAS
DAN ANAK TERLANTAR

Kerjasama

SEKRETARIAT DPRD
KABUPATEN CILACAP

Dengan

LEMBAGA PENELITIAN DAN


PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
(LPPM) IAIN PURWOKERTO

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Notulen 1

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Perlindungan Anak Penyandang
Isabilitas dan Anak Terlantar
Hari, Tgl : Rabu, 26 Juli 2017
Tempat : IAIN Purwokerto
Waktu : 13.00 – 15.00 WIB

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)


Salam ......
Bapak dan Ibu dari Tim Ahli IAIN Purwokerto yang kami
hormati, Anggota Balegda yang kami hormati dan juga segenap
Sekwan DPRD Kab. Cilacap yang kami hormati.
Pada hari ini kita bertemu kembali dalam rapat penyusunan
Naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah Perlindungan
Anak Cacat, Anak Jalanan, dan Terlantar.
Supaya kegiatan siang hari ini berjalan lancer marilah kita mulai
dengan bacaan basmallah…
Selanjutnya bapak ibu yang kami hormati…
Terkait dengan pembahasan naskah akademik perlindungan
anak cacat, anak jalanan, dan terlantar. Kemarin terdapat
perdebatan terkait dengan perda yang kita keluarkan banyak
yang cenderung perlindungan sehingga keluar banyak
anggaran. Namun kita melihat secara substantif bahwa perda
ini penting, sehingga kita tetap kita jalankan. Pertemuan hari ini
ada beberapa anggota belum bisa terlibat, jadi banyak yang
kunjungan kerja dan PK.
Itu pegantar, kami persilahkan kepada tim ahli.

Sony Susandra (LPPM IAIN Purwokerto)


Salam ....
Alhamdulillah kita akan memulai lagi pembahasan naskah
akademik perda perlindungan anak cacat, anak jalanan, dan
anak terlantar. Di pertemuan pertama ini kami akan
memberikan gambaran secara umum saja. Selain itu kami juga
ingin mendengar target yang dimiliki oleh Balegda sehingga
nanti bisa kita formulasikan. Secara garis besar UU yang
memayungi adalah UU perlindungan anak, yaitu UU No. 23
Tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU No. 35 tahun 2014.
Di beberapa daerah tidak ada perda yang secara komplit
berjudul sebagaimana judul yang direncanakan. Umumnya
masih terkait dengan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sebagaimana substansi UU di atasnya.
Mungkin ada teman-teman yang memberi masukan untuk
memberi arah pengaturan.
16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Sumiarti (LPPM IAIN Purwokerto)


Sebagaimana yang saya pahami, bahwa banyak UU yang
mengatur tentang perlindungan anak cacat dan Perlindungan
anak. Dan Cilacap sendiri sudah memiliki Perda itu. Lantas
apakah ini akan menjadi payung atau lebih spesifik?

Ahmad Muttaqin (LPPM IAIN Purwokerto)


Cilacap sudah memiliki perda No. 6 tahun 2016 tentang
penyelenggaraan perlindungan anak. Secara umum perda ini
menurunkan UU No. 23 tahun 2002 dan UU No. 35 Tahun 2014.
Namun secara spesifik yang mengatur anak cacat, jalanan, dan
terlantar belum diatur rinci. Oleh karena itu, Raperda ini idenya
menambah atau merinci Raperda tersebut atau memiliki
argumen yang berbeda. Misalnya kita bisa merujuk pada UU
tentang penyandang disabilitas. Di sana banyak hal yang bisa
dilakukan untuk pemerintah kabupaten.

Ridwan (LPPM IAIN Purwokerto)


Kita penting untuk memposisikan perda ini di antara peraturan
perundang-undangan lainnya. Ini untuk menghindari tumpang
tindih atau sudah diatur oleh beberapa aturan yang lain. Oleh
karena itu nanti kita akan mengkaji lebih detil terkait arah
perundangan sehingga perda ini dapat memberi arah yang jelas.

Suheri (Balegda DPRD Kab. Cilacap)


Untuk itu kami meminta kajian yang detil dari tim ahli sehingga
nanti di pansus kita bisa memberikan arah yang jelas. Itu
seringkali kita alami saat memberi arahan atas perda yang
sedang kita usulkan.

Sony Susandra (LPPM IAIN Purwokerto)


Ada 3 kategori anak jalanan, yaitu in street, on street, dan ex
street. Kita akan mengkaji satu persatu konsep ini sehingga
nanti bisa kita masukkan dalam naskah akademik.

Heri (Balegda DPRD Kab. Cilacap)


Berbasis kasus, di beberapa daerah anak-anak yang dalam
kategori cacat dst mendapat uang saku + 300 rb. Saya cederung
lebih dipersempit pada sifat-sifat anak yang kita jadikan sebagai
judul raperda.

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)


Bapak dan ibu peserta rapat…. Saya pikir itu, semoga ke depan
akan lebih ada titik temu yang lebih jelas. Titik poinnya adalah

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

jangan sampai raperda ini tumpang tindih atau mengatur ulang


ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam perda lainnya. Kita
tutup dengan bacaan hamdalah ....

Notulen 2

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Perlindungan Anak Penyandang
Isabilitas dan Anak Terlantar
Hari, Tgl : Selasa, 1 Agustus 2017
Tempat : IAIN Purwokerto
Waktu : 13.00 – 15.00 WIB

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)


Salam ...
Bapak dan ibu peserta rapat yang kami hormati supaya kita
dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin, marilah kita buka
dengan bacaan basamallah……..
Baik pada pertemuan kedua ini saya persilahkan dari Tim ahli
langsung saja kami persilahkan untuk memaparkan hasil kajian
sementara… silahkan pak Sony.

Sony Susandra (LPPM IAIN Purwokerto)


Setelah kita membaca beberapa referensi dan regulasi yang
ada, kita tidak persoalan menggunakan 3 (tiga) terminologi yang
sudah ditetapkan. Secara definisi, anak cacat, jalanan, dan
terlantar berbeda. Sehingga kita bisa memperjelas ketiganya.
Konsep dasarnya adalah perlindungan anak, namun terdapat
beberapa anak dengan kondisi khusus yang menjadikan ia
berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Dengan demikian
maka ia memerlukan perlakuan khusus. Dan perda ini diarahkan
ke situ.
Terkait dengan 3 anak dengan kondisi khusus adalah:
1. Mereka terhambat dalam mengakses pelayanan publik dasar.
2. Kebijakan media informasi yang aksesable terhadap kondisi-
kondisi spesifik pada anak.
3. Karena keterbatasan yang dialami, mereka cenderung
mengalami tindakan kekerasan.

Heri (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Kalau saya lebih cenderung untuk mempersempit raperda ini.


Misalnya terhadap anak cacat, terlantar, dan jalanan pemda
mau melakukan apa? Selama ini penanganan terhadap mereka
bersifat sporadis, misalnya penertiban melalui cara-cara
penangkapan lalu dibawa ke tempat-tempat rehabilitasi sosial.
Namun karena sifatnya insidental, di lain waktu anak-anak
tersebut kembali kepada kehidupan semula. Penanganan yang
tidak omprehensif ini jelas memberi beban berlarut kepada
Pemda karena harus menyediakan alokasi setiap tahun yang
hasilnya adalah keterulangan. Ole karena itu, fokus raperda
adalah upaya penananan masalah-masalah anak tersebut secara
utuh sehingga mereka tidak kembali kepada jalanan.

Dr. Riwan (Tim Ahli)


Naskahnya dapat disimpulkan kami rasa tidak berubah, karena
dari ketiganya memeiliki definisi masing-masing dan juga jenis-
jenisnya. Yang dengan mengidentifikasi klasifikasi itu kemudian
mengidentifikasi problem yang mnyebebkan hak-hak mereka
menjadi teralambat.
Alterntif solusi itu apa saja secara umum adalah afirmasi action
untuk mereka. Dari masalah-masalah di atas maka
pemerintahlah yang mem back up dana dan kebijakan.

Agus Sunaryo (Tim Ahli)


Kalau anak secara umum memiliki lembaga perlindungan.
Termasuk di dalam kelembagaan tersbut perlu ada supporting.
Terkait dengan 3 hal tadi masalah besarnya adalah terhambat
mendapatkan hak dasar dan karena hal itu maka problemnya
adalah kekerasan. Dalam raperdanya dimunculkan larangan
terhadap mereka. Misalnya larangan melakukan bulliying
terhadap mereka.
Secara garis besar maka kita akan spesifikasikan kepada anak
cacat, anak terlantar dan anak jalanan.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)


Dari perda yang sudah ada memang tidak mengatus spesifik
mengatur terhadap 3 anak tersebut. Kemudian untuk
melaksanakan ini maka perda nomer 6 mengamanatkan untuk
membetuk kelembagaan P2TPA. Tetapi untuk bagaimana
perlindungan itu dilakukan secara khusus tidak muncul.
Anak dengan 3 kondisi mengalamihambatan untuk mengakses
informasi, misalnya aksesnya measih menggunakan media
mainstream. Padahal sesungguhnya hal itu tidak terjangkau.

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Harun (Balegda)
Artinya rapaerda ini tidak menyalahi ya? Dan bagaimana
cantolah hukumnya?

Sony Susandra (LPPM IAIN Purwokerto)


Tidak menjadi soal, karena raperda ini lebih spesifik dan dapat
menjelaskan perda sebelumnya. Dan idak terjadi duplikasi. UU

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)


Ada UU anak yang mengatur terhadap perilaku perdagangan,
kekerasan. Sementara potensi anak mendapatkan kekerasan ini
lebih banyak.
Agus Sunaryo
Kana tetapi jika raperda ini dilaksanakan maka konsekwensinya
pemda akan memeberikan kontribusi dan biaya banyak.
Muttaqin

Harun (Balegda)
Kita butuh kepastian, dan agak kaget juga karena sdudah ada
argumentasi yang kuat jika nanti dalam perjalanan nanti kita
dianggap tidak jeli. Artinya bisa dipastikan bahwa perda ini
memang penting untuk diangkat.

Darimun (Balegda)
Sebaiknya kita menggunakan istilah difable atau berkebutuhan
khusus? Selain menggunakan kata cacat.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)


Kalau menurut UU istilah Cacat itu berate fisik, sedangkan
difable itu sendiri berorientasi pada pelayanan atau istilahnya
different ability

Darimun (Balegda)
Oh iya terima kasih dengan begini berarti jelas bahwa kita akan
bisa membedakan mana cacat dan mana difable.

Harun (Balegda)
Tim ahli yang saya hormati, mengenai hal ini saya khawatir
ketika dibawa pansus takutnya nanti ada argumen bahwa ini
adalah kepentingan pusat? Namun saya pikir ini adalah hal
penting dilakukan di daerah. Sebab kita mengalami sendiri
seperti korban HIV, anak jalanan pelecehan seksual.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Perda ini dibuat memang menspesialisasi dan ada di UU pasal


12 setiap anak yang menyadang cacat berhak memperoleh
bantuan.

Harun (Balegda)
Baik Bapak ibu yang kami hormati, berhubung waktu sudah
sore, sebaiknya kita akhiri sampai di sini dulu. Kita lanjutkan
pada pertemuan yang akan datang. Marilah kita pungkasi
pertemuan sore ini dengan mengucap hamdallah…….
Wassalamu‟alaikum………..

Notulen 3

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Perlindungan Anak Penyandang
Isabilitas dan Anak Terlantar
Hari, Tgl : Kamis, 31 Agustus 2017
Tempat : IAIN Purwokerto
Waktu : 13.00 – 15.00 WIB

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)


Salam…..
Bapak ibu yang berbahagia... hari ini adalah pertemuan ke-3, di
pertemuan yang lalu kita masih pada persoalan judul, materi
dan cakupan Perlindungan anak cacat, anak jalanan dan
terlantar. Untuk lebih jelasnya Pak Sony akan menyampaikan
hasil penyusunan draft Perda Kabupaten Cilacap. Namun
sebelum itu marilah kita mulai acara siang hari ini dengan
membaca Basmallah….

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Sony Susandra (Tim Ahli)


Salam….
Baik bapak ibu peserta rapat penyusunan naskah akademik
yang kami hormati, kita mulai saja pembahasannya. Setelah
pertemuan sebelumnya kita masih ada beberapa hal yang belum
terpecahkan persoalan tema atau judul NA nya. Hari ini
alhamdulillah kami selaku Tim Ahli sudah menghasil draft yang
siap untuk dipaparkan di hadapan bapak ibu semua.
Ada dalam kurung tersebut yang bunyinya penyadang
disabilitas. Karena payung hukum anak cacat adalah UU
Penyandang anak cacat diganti menjadi anak disabilitas
meggunakan perlindungan anak disabilitas. Mari kita cermati
tiap-tiap bab dan pasal berikut ini.

Romelan
Itu mengapa masih bunyi anak jalanan dan anak terlantar? Kan
sudah ada di perda sebelumnya pak... ada perda perlidungan
Gepeng.

Agus Sunaryo
Memang benar ada beberapa kesamaan, namun bisa juga
dipertahankan apabila dalam pembahasan nanti bisa
menghindari point-point yang sama dengan perda sebelumnya.

Didi Yudi Cahyadi


Kalo melihat demikian saya kira memang odea manakala istilah
anak jalanan dihapus saja...sehingga cukup perlindungan anak
enyandang disabilitas dan anak terlantar.

Sugeng
Itu pada poin a kata tunas sebaiknya diganti penerus
Heri
Kata Orang tua itu apa definisinya sudah bisa
dipertanggungjawabkan?

Sony
Iya karena definisi tersebut karena mengacu pada UU

Romelan
Mohon maaf bapak itu kata penyandang cacat berarti diganti
dengan penyandang disabilitas.

Ahmad Muttaqin
Karena di Cilacap sudah punya Perda Perlindungan anak maka
perda ini melanjutkan perda sebelumnya. Terma kasih marilah

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

kita tutup dengan bacaan hamdallah. Untuk pembahasan


selanjutnya dapat dilanjut pada hari senin
Wassalam.

Notulen 4

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Perlindungan Anak Penyandang
Disabilitas dan Anak Terlantar
Hari, Tgl : Kamis, 7 September 2017
Tempat : IAIN Purwokerto
Waktu : 15.00 – 17.00 WIB

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Salam .... Bapak dan Ibu Anggota Balegda Kabupaten Cilacap,


serta Setwan yang kami hormati. Bapak ibu Tim Ahli yang kami
hormati juga. Marilah kita buka diskusi pada sore ini untuk
membahas Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Perlindungan Anak Cacat, Anak Jalanan, dan Terlantar dengan
bacaan basmallah….

Sony Susandra (IAIN Purwokerto)


Kita langsung saja masuk pada pembahasan draft. Di judul
terdapat disabilitas. Itu adalah tawaran karena mengikuti istilah
regulasi di atasnya. Perda bagi Penyandang disabilitas di
Cilacap menurut para DPO yang terlibat adalah sebuah proses
yang cukup ideal dimana semua stake holder bisa
terintegrasikan dalam satu kerangka pikir dan kesadaran yang
sama, termasuk sikap birokrasi pemerintah yang kooperatif.
Keberhasilan lahirnya perda ini tak lepas dari peran para stake
holder disabilitas yang gigih mengawal proses penyusunan
perda dan terus berusaha membangun hubungan baik dengan
SKPD yang dibentuk pemerintah. Mekanisme kerja, mekanisme
koordinasi dan intensitas kerja yang efisien dan efektif membuat
proses penyusunan perda berjalan lancar dengan pembagian
peran yang jelas antara mereka.
Maksud dari Peraturan Daerah ini adalah memberikan kepastian
hukum dalam rangka kegiatan perlindungan anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar.

Romelan (Balegda)
Slogan untuk tidak menyebut para penyandang cacat sebagai
disabled, tapi diffabled (different ability) sudah cukup bergema
di masyarakat (kendati beberapa undang-undang masih tetap
memakai kosa kata lama). Di ruang-ruang publik, seperti
pengumuman saat boarding di pesawat terbang, biasanya kita
menyebut para penyandang cacat ini (bersama para lansia)
sebagai orang-orang berkebutuhan khusus. Tapi, apakah kita
cukup berhenti sampai pada taraf retoris?

Agus Sunaryo (LPPM IAIN Purwokerto)


Pada paragraph 1 pasal 8 dijelaskan ada banyak item a-I yang
menyebutkan hak-hak penyandang disabilitas, selain itu juga di
pasal selanjutnya ada hak mendapatkan sekolah inklusi. Yaitu
sekolah umu namun bisa melayani para penyandang disabilitas.
Sehingga harapannya tidak lagi para penyandang disabilitas
termarginalkan.

Didi Yudi Cahyadi (Balegda)

16
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Owh itu sekolah inklusi maksudnya berbeda dengan SLB ya pak?

Agus Sunaryo (LPPM IAIN Purwokerto)


Dulu kita mengenal konsep belajar khusus bagi anak disabilitas
dalam Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah inilah dalam
pandangan saya telah menciptakan “pemisahan” dan
membentuk mental eksklusif bagi anak disabilitas dan juga bagi
masyarakat. Sejak dini tertanam dalam diri anak disabilitas
bahwa mereka “berbeda” dan dibedakan. Mental “merasa
dibedakan” tersebut di bawa terus oleh anak disabilitas sampai
mereka menginjak dewasa. Walhasil tanpa disadari, selama ini
kita telah memisahkan anak disabilitas dengan anak-anak
lainnya, tak hanya di lingkungan sekolah namun juga dalam
pergaulan sehari-hari.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)


Pemerintah Daerah seharusnya menyiapkan sarana dan prasana
yang dibutuhkan bagi anak-anak peserta didik sesuai kebutuhan
masing-masing disabilitas (penyandang disabilitas fisik,
penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas
mental dan penyandang disabilitas sensorik). Selain sarana dan
prasarana, prasyarat pendidikan inklusi adalah tersedianya
tenaga pendidik yang memiliki pemahaman dan metode
pengajaran kepada anak disabilitas. Jika Pemerintah bisa
menjawab semua pertanyaan tersebut sebagaimana mandat UU
20/2003 dan Permendiknas No 70/2009, saya optimis hak anak
disabilitas di bidang pendidikan akan terpenuhi.

Suheri (Balegda)
Kalau begitu saya rasa Pemerintah Daerah wajib menjamin
akses bagi anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial.

Sony Susandra (Tim Ahli)


Oh iya pak… itu nanti akan dijelaskan pada pasal berikutnya. Di
bawah kita sudah menyiapkannya. Rehabilitasi sosial dimaksud
dilaksanakan secara persuasif, motivatif, dan koersif oleh
keluarga, masyarakat, dan institusi sosial.

Harun (Balegda)
Baik bapak dan ibu semua.. karena waktu yang sudah cukup
sore, maka kiranya diskusi pada sore hari ini kita sudahi sampai
di sini dulu. Adapun pembahasan selanjutnya dapat dilanjutkan
pada minggu depan. Saya ucapkan terima kasih kepada tim ahli
dan juga para anggota balegda atas attensinya.

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Marilah kita tutup kegiatan sore ini dengan mengucap


hamdallah….
Wassalamu‟alaikum. Wr. Wb.

Notulen 5

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Perlindungan Anak Penyandang
Disabilitas dan Anak Terlantar
Hari, Tgl : Kamis, 11 September 2017
Tempat : IAIN Purwokerto
Waktu : 15.00 – 17.00 WIB

Harun (Ketua Balegda)


Salam ....
Selamat sore salam sejahtera untuk kita semua…
Bapak dan Ibu Anggota Balegda Kabupaten Cilacap, Setwan
yang kami hormati. Bapak ibu Tim Ahli yang kami hormati
juga.
Marilah kita buka rapat sore ini untuk membahas Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Perlindungan Anak
Cacat, Anak Jalanan, dan Terlantar dengan bacaan basmallah….
Selanjutnya dipersilahkan kepada Tim Ahli untuk memaparkan
pembahasan lanjutan dari pertemuan sebelumnya, kalo tidak
salah sekarang kita akan membahas bab viii.

Sony Susandra (Tim Ahli)


Assalamu‟alaikum……
Bapak-bapak dan ibu-ibu dari Balegda dan setwan DPRD
Kabupaten Cilacap yang kami hormati.
Pada sore hari ini kita akan melanjutkan pembahasan Raperda
Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dan Anak Terlantar.
selanjutnya di bab viii adalah mengatur tentang perlindungan
anak terlantar.
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah
bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab
dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu
mendapat perlindungan dan kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik,
mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya
perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak- haknya tanpa
adanya perlakuan diskriminatif.

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Oleh karena itu dalam raperda ini akan disebutkan dalam pasal
75 sampai dengan 80.

Darimun (Balegda)
Terkait RPSA, ini memang penting bagi Cilacap, karena di
Cilacap memang belum memilikinya. Selama ini kita merujuk ke
Banjarnegara yang berada dalam koordinasi provinsi. Nah apa
tidak sebaiknya dalam naskah raperda ini dijelaskan secara
detail, bagaimana sebaiknya mekanisme RSPA tersebut.

Ahmad Muttaqin (Tim Ahli)


Kalo menurut saya pengaturan terhadap RSPA ini supaya lebih
efektif pihak yang berwenang saya rasa adalah Bupati dan bisa
bunyikan dalam perbup.

Sony Susandra (Tim Ahli)


Selanjutnya selain ada RSPA sebagai bentuk perlindungan anak
terlantar, juga dapat melalui pelayanan Panti dilaksanakan oleh
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) baik milik Pemerintah Daerah
maupun masyarakat.

Romelan (Balegda)
Pak Sony itu penjelasannya nanti bagaimana terkait dengan
PSAA yang ada? Artinya mestinya perlu ada penjelasan dalam
naskah raoerda ini terkait PSAA yang dikelola olah pemerintah
dan masyarakat?

Sony Susandra (Tim Ahli)


Layanan yang diberikan di panti-panti sosial ini meliputi
perawatan dan asrama, kesehatan dan gizi, pembinaan dan
mental, pendidikan, kesejahteraan sosial, bimbingan dan latihan
keterampilan, penampungan sementara, identifikasi dan
motivasi hingga pembinaan awal rujukan.
Tentunya RSPA itu harus memiliki persyaratan-persayaratan
diantaranya:
d. mendapat rekomendasi dan terdaftar di OPD yang
membidangi urusan sosial;
e. memiliki sumber daya manusia dan sumber dana yang
memadai untuk mengelola RPSA dan PSAA; dan
f. memiliki sarana dan prasarana yang telah ditentukan dalam
Pedoman Pelayanan RPSA dan PSAA.

Harun (Balegda)
Baiklah bapak ibu semua… saya rasa pembahasan naskah
raperda ini sudah cukup. Selanjutnya kami harapkan Tim Ahli
dar

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

IAIN Purwokerto dapat memfiks-kan naskah ini, karena agenda


selanjutnya kita akan mengundang para OPD dan pihak terkait
untuk mengadakan public hearing. Kami mohon kepada tim ahli
supaya dapat hadir dalam acara tersebut. Baik, marilah kita
tutup dengan bacaan hamdalah.
Salam

NOTULEN FINALISASI

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Perlindungan Anak Penyandang
Isabilitas dan Anak Terlantar
Hari, Tgl : Kamis, 28 September 2017
Tempat : IAIN Purwokerto
Waktu : 15.00 – 17.00 WIB

Harun (Balegda)
Salam….
Bapak dan ibu yang kami hormati, untuk menyingkat waktu
marilah langsung saja kita mulai diskusi sore ini dengan bacaan
basmallah….
Selanjutnya silahkan pak sony untuk menanggapi beberapa
saran dan masukan pada public hearing beberapa waktu lalu.

Sony Susandra (Tim Ahli)


Pembukaan…dengan mengucap salam dilanjut dengan basmallah.

Menyikapi hasil public hearing minggu yang lalu ada beberapa


masukan dari audience diantaranya adalah ada persamaan
dengan perda-perda sebelumnya, diantaranya adalah perda
perlindungan anak dll.

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Menurut kami kesamaan itu adalah sebuah keniscayaan karena


memang ada kaitannya dengan peraturan tersebut sehingga
harus ada kaitannya dengan perda-perda tersebut.
Unit layanan di Cilacap adalah amanat UU dalam tahun ini
sedang digalakkan oleh Kemensos. Artinya dengan adanya
perda ini akan mendorong semangat untuk memiliki layanan
disabilitas.

Agus Sunaryo (Tim Ahli)


Pada pasal 22 terdapat kata perempuan yang mengadopsi dari
undang-undang, namun konteksnya berbeda maka kata
perempuan sebaiknya dibuang saja.

Romelan (Balegda)
Menurut audiens kemarin yang saya maksudkan itu adalah SLB
bukan inklusi

Agus Sunaryo (Tim Ahli)


Sekolah Inklusi berbeda dengan SLB, artinya sekolah inklusi itu
sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus.
Nanti kita coba cari nomenklatur tentang SLB dengan inklusi.

Yusuf (Balegda)
Apakah sudah ada pasal yang mengatur infra struktur yang
mengatur responsif gender?

Sony Susandra (Tim Ahli)


Karena di UU sudah diatur maka tidak dibahas dalam perda ini.
Pada pasal 73 yang disebut dalam perda bukan yang disebut
dalam UU tetapi yang dimasukkan adalah Tipiring. Pada pasal 74
adalah menjelaskan pasal 73 ada pernyataan tentang pidana
ringan, maksimal kurungan 6 bulan dan denda maksimal 50 juta
yang diatur dalam pasal sendiri.

Romelan (Balegda)
Perda ini perlu distressing oleh ketentuan perbup. Meskipun
demikian maka perbupnya tetap satu.

Sony Susandra (Tim Ahli)


Pada ketentuan penutup akan ada pasal yang menjelaskan kapan
diundangkan dan kapan perbup itu diterbitkan?.

Didi Yudi Cahayadi (Balegda)


Nah saya rasa itu memang perlu dipertegas, supaya Bupati
selaku eksekutif dapat segera menerapkan perda ini dan
memberlakukannya dengan sebaik dan seefektif mungkin.

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Harun (Balegda)
Baik terima kasih mas Didi atas masukannya, mohon kepada tim
ahli untuk dapat mengakomodir masukan semua peserta diskusi
pada sore ini.
Namun saying sekali diskusi tidak dapat kita lanjutkan karena
waktu yang sudah cukup sore. Marilah kita tutup diskusi ini
dengan bacaan alhamdulillahirobbil „alamiin.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Notulen Public Hearing

Agenda : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Perlindungan Anak Penyandang
Disabilitas dan Anak Terlantar
Hari, Tgl : Selasa, 19 September 2017
Tempat : DPRD Kabupaten Cilacap
Waktu : 10.00 – 12.30 WIB

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)


Salam ......
Bapak/ibu yang kami hormati, hari ini kita akan melakukan
public hearing naskah akademik Raperda Perlindungan Anak
Penyndang Disabilitas dan Anak Terlantar. Raperda ini
merupakan inisiatif DPRD yang sudah disepakati dengan
eksekutif. Sebelumnya sudah ada Perda nomor 6 Tahun 2017
tentang penyelenggaraan kesejahteraan anak. Mungkin nanti
banyak hal

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

yang bersinggungan. Untuk itu kami sangat berharap masukan


dari bapak/ibu agar raperda ini ke depan dapat mudah
dijalankan. Untuk kesempatan pertama, kami berikan kepada
Tim Ahli dari IAIN Purwokerto untuk menyampaikan presentasi
draft awal Raperda yng sudah dibahas antara kami Balegda
dengan tim dari LPPM IAIN Purwokerto. Dipersilahkan.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)


Salam ....
Terima kasih, bapak/ibu yang kami hormati. Sebelum kami
menyampaikan point-point dalam Raperda ini, kami akan
menyampaikan terlebih dahulu gagasan atau ide awal dari
Raperda ini. Yang pertama bahwa semua anak memiliki hak dan
kewajiban yang sama sesuai dengan apa yang diatur oleh UU
tentang perlindungan anak. Namun demikian, terdapat anak
dengan kondisi khusus, terutama yang menyandang disabilitas
dan terlantar sehingga tidak bisa secara “normal” menjalani
kehidupannya dengan kebanyakan anak yang lain. Terhadap
anak dengan kondisi ini, penyelenggaraan kesejahteraan
terutama yang terkait dengan hak-hak anak dasar harus
dibedakan dan mendapat kebiakan yang bersifat afirmatif. Hal
ini karena mereka memiliki kebutuhan khusus yang perlu
mendapat pelayanan yang khusus.
Ide kedua adalah anak dengan kondisi khusus tetap memiliki
hak yang sama dengan anak “normal” pada umumnya untuk
menjadi generasi penerus bangsa dan negara. Untuk itu, mereka
harus diberi kesempatan yang sama dengan anak lain dalam
mengakses kesempatan dan informasi-informasi terkait lainnya.
Ketiga, secara sosiologis, situasi global ke depan semakin
konfliktual. Maka dari itu diperlukan kesiapan sumberdaya
terutama manusia yang mampu bersaing dan menguasai
pengetahuan dan teknologi yang mumpuni. Anak dengan
kebutuhan khusus bukan sebagai beban bagi yang lain tetapi
mereka perlu dukungan yang cukup sehingga menjadi potesi
yang kompetitif dalam situasi kehidupan yang serba kompetisi.
Atas beberapa ide tersebut, Raperda ini didesain agar
Pemerintah Daerah dapat merancang program dan kegiatan
yang tepat dan mengenai sasaran yang terukur. Penjelasan
masing-masing pasal bisa nanti dilihat dan bapak/ibu bsa
memberikan masukan secara langsung. Masukan baak/ibu
sangat berarti bagi kami dan DPRD yang akan merumuskan ini
sebagai draft yang pada saatnya nanti dijadikan sebagai dasar
pembahasan.
Demikian, presentasi singkat kami, waktu kami kembalikan
kepadaketua sidang. Tera kasih.

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Dinas Sosial
Kami mengucapkan terima kasih bahwa tugas sosial yang
selama ini dipandang sebelah mata menjadi pandangan bapak
ibu semua sehingga lahir raperda perlindungan anak
penyandang disabilitas. Beberapa masukan terkait dengan
konsideran: mencantumkan pasal 18 UUD 1945. Perlu
memasukkan pasal 34 UUD 1945 yang secara khusus membahas
tentang anak terlantar.
Terkait dengan materi, pasal 65 “kartu penyandang disabilitas”
yang menjadi ganjalan kami, selama ini tidak ada kartu
penyandang disabilitas, itu hasil klarifikasi dengan kementerian
sosial. Ini perda apakah tepat mengatur kementerian. Menurut
kami kurang tepat. Terkait dengan pendataan, anak penyandang
disabilitas dan terlantar termasuk 26 penyandang masalah
kesejahteraan sosial. Tugas pemerintah daerah memvalidasi. Itu
tugas “Pusdain” Untuk tahun ini kami sudah melaksanakan.
Terkait RPSA, sekedar informasi bahwa cilacap belum punya
RSPA. Selama ini kita merujuk di Banjarnegara yang berada
dalam koordinasi provinsi. Untuk menangani anak yang
berhadapan dengan hukum, kita belum punya lembaganya.
Panti asuhan di cilacap yang terakreditasi belum ada. Paling
yang layak, sehingga bisa diajukan sebagai pemberi bantuan
hukum.
Yang menjadi masalah adalah anak terlantar, salah satu hak
anak adalah identitas. Selama ini kami mengalami kesulitan
menangani anak terlantar terutama yang dibuang oleh orang
tuanya. Kami berharap ada kemudahan untuk akses ke catatan
sipil. Kita menelusuri agak sulit sehigga dari sisi pendataan
agak manjdi masalah.
Untuk perijinan, di cilacap ditangani oleh dinas perijinan terpadu.

Dinas KB
Salam .....
Banyak kesamaan dengan perda no. 6 tahun 2016 tentang
perlindungan anak.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)


Beberapa pasal sama dengan Perda No. 6 Tahun 2016
merupakan keniscayaan. Hal ini karena peraturan induk yang
dirujuk sama, yaitu UU tentang perlindungan anak. Namun
demikian, pasal yang mengatur terkait anak penyandang
disabilitas dan terlantar dalam perda tersebut tidak diatur rinci,
termasuk bagaimana cara melindunginya. Selain itu, undang-
undang rujukan kami adalah UU tentang penyandang
disabilitas. Ini yang berbeda dengan UU perlindungan anak. Ada
banyak ketentuan yang secara afirmatif memberi pelayanan
kepada anak dengan kondisi khusus. Kalau kita cermati di
17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

Perda No. 6 tahun 2016, kita hanya menemukan

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

bahwa anak dengan kondisi khusus termasuk anak terlantar dan


penyandang disabilitas memperoleh pelayanan khusus. Terkait
ketentuan ini tidak diatur secara rinci. Nah Raperda ini kira-kira
akan menutup celah kekosongan tersebut.

Satpol PP
Salam ....
Secara umum kami mengapresiasi naskah yang diterma karena
sudah cukup mengkover. Ada beberapa masukan atas naskah
yang kami terima. Kami menyoroti ketentuan pidana pasal 73, di
sini menyebutkan pidana kurungan 6 bulan dan denda 500 juta.
Untuk pidana perda, setelah saya membaca UU no. 12 tahun
2012 bahwa etentuan pidana pada paling lama 6 bulan, dan
denda paling banyak 50 juta. Pasal 238 ttg Pemda pidana paling
lama 6 bulan dan denda paling banyak 50 juta. Kami
mengusulkan 3 bulan, ini tindak pidana ringan. Kemudian
mungkin bisa ditambahkan tentang penyidikan yang isinya
tentang siapa yang berhak menyidik terkait dengan
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan atas perda.

Kesra
Pada umumnya sudah dituangkan pada perda nomor 6 tahun
2016. Kami melihat sanksi pidana. Pendapat kami sama dengan
Satpol PP, pelanggaran pidana atas Perda ini adalah maksimal 6
bulan dan denda maksimal 50 juta sehingga masuk TIPIRING.
Penyidiknya dengan demikian juga jelas yaitu Penyidik PNS.

Bagian Hukum
Salam ....
Kami mengapresiasi perda inisiatif dari Balegda DPRD Kab.
Cilacap. Terkait dengan raperda, menyoroti konsiderasi, kami
ingin ada UUD 1945, kami ingin regulasi yang jelas raperda ini
dari mana. Terkait dengan materi ini juga tidak terlalu jauh
berbeda dengan perda nomor 6 tahun 2016.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)


Perlu kami sampaikan bahwa Perda No. 6 Tahun 2016 regulasi
induknya adalah UU kesejahteraan sosial dan UU perlindungan
anak. Sementara Raperda perlindungan anak penyandang
disabilitas dan anak terlantar regulasi induknya adalah undang-
undang penyandang disabilitas. Dari sisi normatif, arah
pengaturan keduanya berbeda. Bahwa dalam beberapa bagian
ditemukan ada kemiripan maka itu sebuah keniscayaan untuk
memberi konteks sesuatu yang diatur. Kemudian dari sisi
kebijakan, Perda ini ingin memberi afirmasi kepada penyandang

17
Naskah Akademik Raperda Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas Dan Anak Terlantar

disabilitas dan terlantar terkait dengan kondisi terutama fisik


yang menyebabkan mereka tidak sebagaimana anak normal
lainnya. Karena itu, perlu ada pelayanan khusus agar anak
dengan kondisi tertetu dapat memperoleh layanan yang optimal
dan dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Secara
sosiologis, anak penyandang disabilitas dan terlantar seringkali
mendapat perlakuan yang diskriminatif. Hal ini karena anak
dengan kondisi tersebut dianggap tidak sempurna dan memiliki
banyak kelemahan dibanding anak normal lainnya. Karena itu
seringkali masyarakat membatasi aktifitas anak penyandang
disabilitas dan terlantar minilal menghambat mereka
bersosialisasi dengan anak sebayanya. Nah karena situasi ini,
ide dasar raperda ini kontekstualkan.
Bila cukup, kami kembalikan kepada pimpinan sidang. Terima
kasih.

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)


Baik bapak/ibu semua, demikian penjelasan dari tim ahli.
Raperda ini memang menginduk kepada UU penyandang
disabilitas. Ini kita sesuaikan dengan fakta di lapangan bahwa
banyak anak penyandang disabilitas dan terlantar berpoetensi
kehilangan hak-haknya, terutama dalam layanan publik dasar
seperti pendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan,
keagamaan, dan lainnya. Oleh karena itu, keberadaan Raperda
ini penting sebagai bentuk pembelaan kami terhadap kelompok-
kelompok rentan. Bapak/ibu nanti bisa atau dipersilahkan
memberi masukan kepada kami dan tim ahli melalui email:
ahmadmuttaqin@iainpurwokerto.ac.id atau elaqen@gmail.com.
Kita sangat menunggu masukan tersebut agar isi kandungan
raperda ini semakin kaya dan menyeluruh. Kita tutup dengan
bacaan hamdalah.
Salam

18

Anda mungkin juga menyukai