Anda di halaman 1dari 170

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menggarisbawahi esensi alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang antara lain pada pokoknya
tujuan membentuk Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.

Dari rumusan atas tujuan Negara tersebut, meniscayakan begitu


urgennya tanggungjawab Negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali karena hal ini bukan
hanya terkait aspek hak asasi manusia, tetapi bahkan lebih dari itu
menyangkut hak dasar manusia. Memperhatikan hal tersebut patut
mencermati ketentuan Pasal 28H ayat (2) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan : “setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai kesamaan dan
keadilan”, sedangkan Pasal 28I ayat (2) menyatakan : “Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.

Penegasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 sebagai hukum dasar atas kedua pasal tersebut menunjukkan
makna yang substantive dan filosafi bahwa setiap orang berhak
memperoleh kemudahan, perlakuan khusus, kesempatan dan manfaat
yang sama dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, guna mencapai kesamaan dan keadilan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa di antara rakyat Indonesia termasuk berdomisili di Kabupaten
Luwu Utara mengalami disabilitas yang perlu menjadi perhatian serius
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara dan segenap unsur
pemangku hak yang berkepentingan lainnya.

Penyandang disabilitas merupakan orang rentan yang mengalami


keterbatasan baik yang bersifat fisik, mental dalam jangka waktu lama

1
dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat
menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat
berdasarkan kesetaraan dan yang lainnya, sehingga perlu menjadi
perhatian bersama untuk menjawab masalahnya dalam arti mengapa
mengalami keterbatasan tersebut dalam perspektif disabilitas sebagai
sebuah sistem. Demikian halnya dari aspek tanggungjawab Negara,
sejauhmana Pemerintah telah memberikan perhatian dari aspek
penyelenggaraannya baik yang bersifat pengaturan maupun pelayanan
sebagai esensi dari pemerintahan itu sendiri, yang pada sasarannya
meliputi aspek pelindungan kepada penyandang disabilitas itu.

Memperhatikan ketentuan Pasal 5, Pasal 41, dan Pasal 42 Undang-


Undang Nomor 39 Tahun1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang pada
pokoknya menegaskan bahwa setiap penyandang cacat, orang yang
berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh
kemudahan dan perlakuan khusus. Selain itu, setiap warga Negara yang
berusia lanjut, cacat fisik dan cacat mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara
untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Substansi dari ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun1999


Tentang Hak Asasi Manusia tersebut, sesungguhnya kembali dipertegas
esensinya dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Disabilitas (Convention on The
Rights of Persons With Disabilities). Hal ini menunjukkan bahwa masalah
disabilitas sangat urgen untuk diseriusi penanganannya secara terpadu
dan komprehensif, karena bukan hanya terkait aspek hak asasi manusia,
hak dasar maupun hak konstitusional dari segenap penyandang disabilitas
tetapi lebih dari itu menyangkut tanggungjawab Negara melalui tingkatan
pemerintahan masing-masing pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten kota harus
menyelenggarakan hal ini secara terpadu sesuai kedudukan dan lingkup
kewenangan masing-masing.

2
Memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah, antara lain pada Pasal 236 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) yang pada pokoknya menegaskan : Daerah membentuk
Peraturan Daerah dengan alasan/berdasarkan :

a. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah;

b. Tugas pembantuan;
c. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi; dan
d. Memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis dalam hierarki


peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Peraturan Daerah sebagai hukum atau dengan istilah lain
sebagai salah satu jenis produk hukum daerah yang bersifat pengaturan,
dengan demikian sebuah Peraturan Daerah memuat substansi pengaturan
berdasarkan lingkup kewenangan daerah. Peraturan Daerah sebagai
sebuah sistem harus mampu menjawab permasalahan mendasar terkait
substansi yang diaturnya, sehingga masalah tersebut dapat ditangani dan
dijawab masalahnya secara sistem pula.

Memperhatikan hal tersebut di atas dapat dipastikan bahwa sesuai


lingkup kewenangan Daerah terkait urgensi penanganan masalah atas
penyandang disabilitas di Kabupaten Luwu Utara, menegaskan perlunya
diatur dengan Peraturan Daerah Tentang Penyandang Disabilitas.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Setiap orang / warga Negara Republik Indonesia pada


prinsipnya berhak memperoleh penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Hakikat hak tersebut harus dapat menjangkau
kepada siapa saja, termasuk kepada penyandang disabilitas yang
harus dijamin memperoleh hak dan kesempatan yang sama untuk
memperoleh akses dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

3
Penyandang disabilitas selama ini dikategorikan sebagai penyandang
masalah kesejahteraan sosial, karena selalu dikaitkan dengan
kondisi tidak punya akses dalam hal kesejahteraan sosial. Namun
demikian tidaklah seperti itu oleh karena masalah penyandang
disabilitas terjadi karena disebabkan adanya hambatan sistemik
dalam berbagai sektor, yaitu meliputi antara lain aksesibilitas dan
akses dalam berbagai aspek untuk memperoleh kesetaraan dan hak
yang sama dengan orang yang bukan penyandang disabilitas.
Masalah berupa aksesibilitas dan akses dalam berbagai bidang
bagi penyandang disabilitas tersebut, berpengaruh pada aspek
rendahnya sumberdaya, produktifitas, mobilitas, efektifitas dan
efisiensi. Semuanya ini berkenaan dengan filosofi tanggungjawab
pemerintahan termasuk Daerah Kota dan Kabupaten sesuai lingkup
kewenangannya untuk mengatur sekaligus menjawab masalah
tersebut secara mendasar melalui pendekatan yang bersifat
koordinatif dan keterpaduan dengan berbagai unsur pemangku hak
yang berkepentingan terkait.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Tujuan penyusunan Naskah Akademis Peraturan Daerah


Kabupaten Luwu Utara Tentang Penyandang Disabilitas adalah
untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang pentingnya
dibuat peraturan daerah tingkat kota yang memastikan dilindungi
hak-hak penyandang disabilitas yang sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.

Penyusunan Naskah Akademis Rancangan Peraturan Daerah


Kabupaten Luwu Utara tentang Penyandang Disabilitas adalah
untuk menjadikannya sebagai bahan masukan dalam menyusun

4
landasan ilmiah Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu
Utara tentang Penyandang Disabilitas.

Penyandang Disabilitas bertujuan untuk menghormati,


melindungi, dan memenuhi hak asasi dan kebebasan dasar manusia
secara penuh dan setara semua penyandang disabilitas dan untuk
menegakkan dan memajukan penghormatan atas martabat yang
melekat pada diri mereka.

Kegunaan Naskah Akademis Rancangan Peraturan Daerah


Kabupaten Luwu Utara tentang Penyandang Disabilitas adalah
untuk membantu penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Luwu Utara tentang Penyandang Disabilitas secara
sistimatis dan komprehensif, sehingga seluruh isi Rancangan
Peraturan Daerah bisa mengakomodir seluruh kebutuhan dan hak-
hak penyandang disabilitas sekaligus melindungi hak-hak mereka
secara hukum.

Naskah Akademis ini disusun oleh unsur-unsur organisasi


penyandang disabilitas, unsur stakeholder terkait dan unsur
lembaga swadaya masyarakat atau CSO sebagai usulan masyarakat
untuk mempercepat pembahasan hingga pengesahan Peraturan
Daerah Kabupaten Luwu Utara Tentang Penyandang Disabilitas.

D. METODE PENYUSUNAN

Metode

Metode yang dipergunakan dalam menyusun naskah


akademik ini adalah penelitian normative yang di dalamnya juga
dilakukan studi pustaka. Penelitian secara empiris juga dilakukan
dalam rangka menggali sebanyak mungkin aspirasi masyarakat
tentang isi peraturan daerah yang akan dibentuk. Literatur yang
dikumpulkan dan dipergunakan dalam menyusun naskah ini
memiliki setting yang beragam, baik isu maupun lokasinya sehingga
menjadi naskah akademis yang tidak semata bersifat local tetapi

5
juga bisa bersifat lebih luas. Di dalam penyusunan naskah
akademis ini dilakukan metode penggalian data atau bahan dengan
cara :

Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya dibagi dua berdasarkan


tujuannya. Penelitian yuridis normative adalah penelitian yang
dilakukan dengan tujuan untuk menemukan dasar yuridis, filosofis
dan politis suatu peraturan perundang-undangan yang akan
disusun dengan menggali bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.

Penelitian sosiologis yang bertujuan untuk menggali


kebutuhan hukum masyarakat terhadap substansi peraturan
perundang-undangan yang akan diatur.

Salah satu metode penelitian yang dilakukan antara lain


melakukan kunjungan ke beberapa kota dan kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan yang telah berhasil menetapkan Peraturan Daerah
Tentang Penyandang Disabilitas dalam rangka mencari masukan
guna penyusunan Naskah Akademis dan Ranperda Disabilitas
Kabupaten Luwu Utara. Daerah tersebut dipilih karena Provinsi
Sulawesi Selatan yang telah membentuk Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 5 tahun 2016 Tentang Pelindungan dan
Pelayanan Penyandang Disabilitas. Bahkan Daerah ini juga telah
menerbitkan regulasi turunannya yaitu : 1 (satu) Peraturan
Gubernur yaitu Peraturan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor 116 tahun 2018 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 tahun 2016 Tentang
Pelindungan dan Pelayanan penyandang Disabilitas. Selain
Peraturan Daerah Tingkat Provinsi, ada 7 Kota / Kabupaten yang
juga telah menerbitkan Peraturan Daerah Tentang Penyandang
Disabilitas, antara lain :

6
1. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor : 6 Tahun 2013 Tentang
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

2. Peraturan Walikota Makassar Nomor : 61 Tahun 2015 Tentang


Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Makassar
Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas.

3. Keputusan Walikota Makassar Nomor : 1012/ 134.3.05/ Kep/


IV/ 2017 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Antar
Perangkat Daerah Kota Makassar.

4. Keputusan Walikota Makassar Nomor : 1295/ 460/ Tahun 2019


Tentang Penetapan Komisi Daerah Disabilitas Kota Makassar
Tahun 2019 – 2024.

5. Peraturan Daerah Kabupaten Bone Nomor 5 Tahun 2017


Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas.

6. Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 2 Tahun 2018


Tentang Perlindungan Dan Pelayanan Penyandang Disabilitas.

7. Peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto Nomor 22 Tahun


2018 Tentang Penyandang Disabilitas.

8. Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor : 06 Tahun 2018


Tentang Penghormatan, Pelindungan Dan Pemenuhan Hak
Bagi Penyandang Disabilitas.

9. Peraturan Daerah Kabupaten Selayar Nomor 6 Tahun 2018


Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas.

10. Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor : 2 Tahun 2019


Tentang Pelindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas.

Pooling

Metode Pooling atau jajak pendapat dilakukan dengan kerja


sama melalui media cetak dan elektronik berupa pengumuman dan
selebaran yang seluas-luasnya serta dialog interaktif melalui Media

7
Televisi dan Media Online lainnya. Untuk merekrut pandangan
masyarakat terhadap persoalan-persoalan krusial yang akan diatur
dalam peraturan daerah.

FOCUS GROUP DISCUSSION ( FGD )

Telah dilakukan Focus Group Discussion, guna untuk


memberikan masukan terkait muatan peraturan daerah secara
partisipatif oleh peserta FGD juga tentang hambatan-hambatan yang
dialami penyandang disabilitas.

FOKUS GROUP DISCUSSION (FGD)

1) FGD I diselenggarakan di Hotel Remaja Indah di Kabupaten


Luwu Utara tanggal 15-16 November 2019 tentang Peningkatan
Kapasitas Pengurus Organisasi Disabilitas dan Stakeholder
Terkait Guna Mendorong Kebijakan Responsif Disabilitas di
Kabupaten Luwu Utara. Yang dihadiri antara lain dari :
1. 18 orang unsur Organisasi Penyandang Disabilitas yang
terdiri atas :
a. 13 orang unsur organisasi penyandang disabilitas
Kabupaten Luwu Utara
b. 5 orang unsur organisasi penyandang disabilitas
Provinsi.
2. 7 orang dari unsur stakeholder terkait di Pemerintah
Kabupaten Luwu Utara.
3. 2 orang narasumber yakni Asisten I Bidang Kesra, Bapak
Jumal Jayair Lussa : “ Kewajiban Pemkab Luwu Utara
dalam melindungi dan memenuhi hak penyandang
disabilitas Luwu Utara “ dan Wakil Ketua II DPRD
Kabupaten Luwu Utara, Bapak Karemuddin, S.Pd.I
4. 1 orang Fasilitator a.n. Adnan Buyung Azis, SH. MH.

2) FGD II diselenggarakan di Hotel Bukit Indah Jalan


Simpurusiang Masamba tanggal 15-16 Januari 2020 tentang

8
“Identifikasi hambatan eksternal penyandang disabilitas
di semua aspek kehidupan dan penghidupan guna
melengkapi muatan sosiologis Naskah Akademis Perda
Disabilitas Kabupaten Luwu Utara ”
1. 18 orang unsur Organisasi Penyandang Disabilitas yang
terdiri atas :
a. 13 orang unsur organisasi penyandang disabilitas
Kabupaten Luwu Utara
b. 4 orang unsur organisasi penyandang disabilitas Kota
Palopo.
c. 4 orang unsur organisasi penyandang disabilitas Provinsi.
2. 7 orang dari unsur stakeholder terkait di Pemerintah
Kabupaten Luwu Utara.
3. 2 orang narasumber yakni Bagian Hukum Sekda Pemerintah
Kabupaten Luwu Utara, Ibu Nasirah, SH, dan Bagian Cipta
Karya Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Kabupaten Luwu Utara, bapak Bambang Hariawan , dan
4. 1 orang Fasilitator a.n. Abd. Azis, SH. dari LBH.

Kedua FGD tersebut dilaksanakan oleh Perkumpulan


Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Provinsi Sulawesi Selatan
bekerja sama dengan Perkumpulan Penyandang Disabilitas
Indonesia (PPDI) Kabupaten Luwu Utara dengan sponsor penuh
Disability Rights Advocacy Fund (DRAF)

Public Hearing

Public Hearing dilakukan untuk menyerap sebanyak-


banyaknya masukan dari masyarakat dengan mendengarkan
pendapat-pendapat mereka.

Partisipasi

9
Santoso Sastropoetro, sehubungan dengan partisipasi efektif
menyatakan bahwa masyarakat akan dapat bergerak untuk lebih
berpartisipasi apabila :

Partisipasi itu dilakukan melalui organisasi-organisasi yang


sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat
yang bersangkutan.

Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada


masyarakat yang bersangkutan. Manfaat yang diperoleh melalui
partisipasi itu memenuhi keinginan masyarakat setempat.

Dalam proses partisipasi masyarakat menjamin adanya


kontrol yang dilakukan masyarakat.

Partisipasi masyakat ternyata berkurang jika mereka tidak


atau kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Josep Riwu
Kaho berpendapat bahwasanya setiap proses penyelenggaraan,
terutama dalam kehidupan bersama masyarakat, pasti melewati
penentuan kebijakan. Dalam rumusan yang lain selalu menyangkut
keputusan politik partisipasi masyarakat pada tahap ini sangat
mendesak, terutama karena “Keputusan Politik” yang diambil
menentukan nasib mereka secara keseluruhan. Dalam hal ini,
Mubiarto menegaskan “….dalam keadaan yang paling ideal, keikut
sertaan masyarakat untuk membuat “Keputusan politik yang
menyangkut mereka adalah ukuran tingkat partisipasi rakyat.
Semakin besar kemampuan untuk menentukan nasib sendiri,
semakin besar tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Beberapa metode penggalian data atau bahan di atas


dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan sehingga tidak
menutup kemungkinan digunakan beberapa metode sekaligus
dalam naskah akademik ini.

10
11
BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

1. PENGERTIAN PENYANDANG DISABILITAS

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan


Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas didefinisikan
adalah termasuk setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakat
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif.

Defenisi penyandang disabiltas tersebut menggarisbawahi


tentang aspek hambatan dan kesulitan yang dialami penyandang
disabilitas untuk berinteraksi dengan lingkungan dan
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara
lainnya yang justru hal tersebut merupakan hak yang seharusnya
sama dengan warga masyarakat lainnya sebagaimana dijamin dan
telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dari aspek tanggungjawab Negara
sebagaimana telah diatur dalam berbagai undang-undang yang
terkait, meniscayakan bagaimana pentingnya mengoprasionalkan
penyelenggaraan pemerintahan dalam menangani masalah
disabilitas. Karena hal tersebut disamping terkait aspek hak asasi
manusia, hak dasar, hak konstitusional segenap penyandang
disabilitas, tetapi lebih dari itu juga terkait aspek tanggungjawab
Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dari
aspek otonomi bahwa provinsi sesuai lingkup kewenangannya
berhak mengatur hal ini dengan Peraturan Daerah.

Sapto Nugroho (20...) mengemukakan bahwa persoalan


penyandang disabilitas merupakan persoalan kemanusiaan, bukan

12
semata faktor pendidikan, kesehatan dan tenaga kerja karena
semua itu hanyalah dampak dari persoalan kemanusiaan
dimaksud. Jadi hal penting yang dikedepankan adalah
pengembangan karakter. Pengembangan karakter dimaksud justru
nampaknya masih jauh dari isu penyandang disabilitas yang
selama ini berkembang.

Pengembangan karakter dimaksud perlu digarisbawahi


substansi dan lingkupnya. Pengembangan karakter bagi setiap
penyandang disabilitas tentu harus dimiliki dan dikembangkan,
baik sebagai bentuk motivasi dan percaya diri karena kendatipun
memiliki kemampuan yang berbeda namun sesungguhnya
memiliki potensi yang sama dengan orang yang bukan penyandang
disabilitas. Di sisi lain pengembangan karakter tersebut meliputi
pula segenap unsur pemangku hak yang berkepentingan lain
terkait, termasuk Pemerintah Daerah sesuai lingkup
kewenangannya mengatur penyelenggaraan pelayanan bagi
penyandang disabilitas yang meliputi aspek pelayanan publik, baik
bersifat akses maupun aksesibilitas.

Istilah penyandang disabilitas ini sesungguhnya substansinya


dimaksudkan pada bagaimana menghilangkan hambatan terkait
aspek akses dan aksesibilitas yang dilakukan dan difasilitasi oleh
Pemerintah Daerah bersama segenap unsur pemangku hak yang
berkepentingan lain terkait, sehingga aspek kesamaan kesempatan
dapat diperoleh secara adil dan proporsional.

2. RAGAM DISABILITAS DAN DERAJAT KEDISABILITASAN


A. RAGAM DISABILITAS meliputi:

1. DISABILITAS FISIK ( DISABILITAS DAKSA ) :

a. Lumpuh : kelumpuhan yang diakibatkan penyakit misalnya


polio, kaki gajah dan stroke. ( Alat bantu yang dipakai :
tongkat crutch, canadian crutch, kursi roda )

13
b. Paraplegia : trauma tulang belakang karena kecelakaan yang
mengakibatkan kelumpuhan total kedua kaki dari panggul
sampai ke ujung kaki. ( Alat bantu yang dipakai : kursi roda )

c. Amputasi tangan dan atau kaki : Dipotongnya bagian


anggota tubuh. Ada yang dipotong pada telapak kaki, di
bawah lutut, di atas lutut, jari, telapak tangan, pergelangan
tangan, di bawah siku dan di atas siku. ( Alat bantu yang
dipakai : prothese kaki bawah lutut, prothese kaki atas lutut,
prothese tangan baik untuk kerja maupun kosmetik, tongkat
crutch, canadian crutch, kursi roda )

d. Poliomilities : kelumpuhan yang diakibatkan oleh virus polio.


Kelumpuhannya bisa pada satu kaki atau kedua kaki, bisa
juga satu tangan atau kedua tangan dan bisa juga
melumpuhkan semua anggota tubuhnya. ( Alat bantu yang
dipakai : brace kaki bawah lutut (short brace, long leg brace,
tongkat crutch, canadian crutch, kursi roda )

e. Scoliosis : deformasi tubuh yang diakibatkan


membengkoknya tulang belakang ke samping baik kanan
atau kiri. Bengkoknya tulang belakang bisa berbentuk huruf
C. ( Alat bantu yang dipakai : Korset )
f. Little People : Orang kerdil atau cebol. Tidak memerlukan
alat bantu.

g. Cerebral Palsy ( CP ) : Orang dengan gangguan anggota


tubuh kaku dan mengecil akibat ada gangguan saraf pada
otaknya. ( Alat bantu yang dipakai : tongkat crutch, canadian
crutch, kursi roda )

2. DISABILITAS SENSORIK ( DISABILITAS NETRA DAN


DISABILITAS RUNGUWICARA )

a. Disabilitas Netra;

14
1) Low vision : Masih bisa melihat bayangan beberapa meter
ke depan. Atau kabur penglihatannya. Tidak memerlukan
alat bantu mobilitas.

2) Totally blind : kedua matanya tidak bisa melihat sama


sekali. ( Alat bantu yang dipakai : tongkat , tongkat
lipat )

b. Disabilitas Runguwicara;

1) Disabilitas Rungu : gangguan pendengaran

2) Disabilitas Wicara : gangguan bicara

3) Disabilitas Runguwicara : gangguan pendengaran dan


bicara

( Alat bantu yang dipakai : earing aids ) dan memerlukan


pendampingan seperti interpreter bahasa isyarat

3. DISABILITAS INTELEKTUAL ( DISABILITAS GRAHITA ) :

1. Down Syndrome ( Mongolid ) :

2. Retardasi intelektual ( Keterbelakangan intelektual )

Memerlukan pendampingan dari keluarga terdekat atau orang2


yang dia percayai.

4. DISABILITAS MENTAL :

1. Psichososial ( schizoprenia )

2. Paranoid

3. Bipolar

4. Border Line

5. Autis .

15
5. DISABILITAS EX. PENYAKIT KRONIS :

1. Eks. Kusta ( Alat bantu yang dipakai : prothese kaki


bawah lutut, prothese kaki atas lutut, tongkat crutch,
kursi roda )

2. Eks. Stroke

3. Eks. Penyakit Gula ( Diabetes Melitus )

6. DISABILITAS GANDA : Penyandang disabilitas yang


mengalami kedisabilitasan secara ganda atau multi dengan
derajat disabilitas berbagai tingkatan dari ringan sampai berat.
Kebanyakan disabilitas ganda memiliki derajat disabilitas yang
berat. Contohnya :

1. Epilepsi

Memerlukan pendampingan dari Dokter, psikiater dan


psicholog.

B. DERAJAT KEDISABILITASAN

Derajat kedisabilitasan merupakan tingkat berat ringannya


keterbatasan, kelainan, ketidakmampuan dan disfungsi yang
disandang seseorang

Derajat kedisabilitasan sekurang-kurangnya meliputi:

a. ringan/pemula;

b. sedang/menengah; dan

c. total/berat.

a. Derajat kedisabilitasan dengan kategori ringan merupakan


derajat kedisabilitasan yang pemula atau kecil meliputi:
a) Disabilitas netra ringan mencakup tingkat kemampuan
penglihatan dari visus 8/12 sampai dengan 5/6.

16
b) Disabilitas rungu wicara ringan mencakup tingkat
kemampuan pendengaran dari 27 sampai 44 desibel.

c) Disabilitas grahita ringan mencapai tingkat kemampuan


intelegensi (intelligence quotient) dari 67 sampai 52.

d) Disabilitas daksa ringan mencakup tingkat kemampuan


motorik yang masih dapat difungsikan untuk bergerak
tanpa treatment.

b. Derajat kedisabilitasan dengan kategori merupakan derajat


kedisabilitasan yang berada antara parah dengan pemula
atau kecil meliputi:
a) Disabilitas netra sedang mencakup tingkat kemampuan
penglihatan dari visus 12/36 sampai dengan 9/12

b) Disabilitas rungu wicara sedang mencakup tingkat


kemampuan pendengaran dari 45 sampai 69 desibel.

c) Disabilitas grahita sedang mencapai tingkat kemampuan


intelegensi (intelligence quotient) dari 51 sampai 36.

d) Disabilitas daksa sedang mencakup tingkat kemampuan


motorik yang masih dapat difungsikan untuk bergerak
dengan treatment.

c. Derajat kedisabilitasan dengan kategori total atau berat


merupakan derajat kedisabilitasan yang paling parah
meliputi:
a) Disabilitas netra Total mencakup tingkat kemampuan
penglihatan dari visus 0 sampai dengan 13/36

b) Disabilitas rungu wicara Total mencakup tingkat


kemampuan pendengaran dari 70 desibel ke atas.

c) Disabilitas grahita berat mencapai tingkat kemampuan


intelegensi (intelligence quotient) dari 35-0.

d) Disabilitas daksa berat mencakup tingkat kemampuan


motorik yang tidak dapat lagi difungsikan sekalipun
dengan treatment khusus.

3. HAMBATAN DAN KESULITAN PENYANDANG DISABILITAS

Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas meliputi :

17
1). Hambatan dan kesulitan internal.

2). Hambatan dan kesulitan eksternal

Yang termasuk hambatan dan kesulitan internal adalah terkait


keterbatasan fungsi fisik, sensorik, mental dan intelektual juga
hambatan sumber daya terkait karakter.

Namun yang sebenarnya yang paling menghambat penyandang


disabilitas dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam aspek
kehidupan dan penghidupan adalah hambatan eksternal yang
meliputi :

1) Hambatan perilaku
2) Hambatan regulasi
3) Hambatan aksesibilitas
4) Hambatan sumber daya manusia
5) Hambatan pelayanan

B. PRAKTEK EMPIRIS PENYANDANG DISABILITAS

1. RAGAM PENYANDANG DISABILITAS DI KABUPATEN LUWU


UTARA

Seperti sudah diuraikan diatas tentang ragam penyandang


disabilitas, maka secara garis besar penyandang disabilitas terdiri
atas :
1. Disabilitas fisik ( Disabilitas daksa )
2. Disabilitas sensorik meliputi :
a. Disabilitas netra
b. Disabilitas rungu wicara
3. Disabilitas intelektual ( Disabilitas grahita )
4. Disabilitas mental termasuk eks. Psikotik.
5. Disabilitas Eks. Penyakit kronis
6. Disabilitas ganda
Jumlah penyandang disabilitas sesuai perkiraan WHO sekitar
10% dari jumlah penduduk dan secara nasional estimasi
penyandang disabilitas sekitar 3,11% dari jumlah penduduk,

18
namun berdasarkan data yang ada dan dikumpulkan dari Dinas
Sosial dan Organisasi Penyandang Disabilitas, maka data
penyandang disabilitas di Kabupaten Luwu Utara seperti tertera
dalam table berikut.
TABEL :
DATA PENYANDANG DISABILITAS KABUPATEN LUWU UTARA

Disa-
Disa- Disa- Disa-
NAMA Laki - Peremp bilitas Disa- BLANK
NO bilitas bilitas Bilitas JUMLAH
KECAMATAN laki uan Intelekt Bilitas
Fisik Sensorik ental
ual Ganda

1 BAEBUNTA 178 153 174 122 0 36 331

2 BONE-BONE 112 107 110 88 0 21 219

3 RONGKONG 39 34 24 36 0 13 73
MALANGKE
4 161 116 135 109 0 33 277
BARAT
5 MALANGKE 203 113 92 171 1 49 0 3 316

6 MAPPEDECENG 140 94 102 76 0 36 0 20 234

7 MASAMBA 145 125 154 109 0 7 270

8 RAMPI 32 22 5 19 0 30 54

9 SABBANG 124 115 118 79 0 10 0 6 239

10 SEKO 89 54 44 75 0 10 0 14 143

11 SUKAMAJU 120 79 79 63 0 45 0 12 199

12 TANA LILI 150 93 39 172 0 31 0 1 243


SUKAMAJU
13 87 45 42 51 0 36 3 0 132
SELATAN
BAEBUNTA
14 65 51 72 32 0 12 116
SELATAN
SABBANG
15 112 101 118 85 0 10 213
SELATAN
1.757 1.302 1.336 1.284 1 379 3 56

JUMLAH TOTAL 3.059

Sumber : Dinas Sosial Luwu Utara 2020 & PPDI Luwu Utara
Keterangan :
BLANK : Tidak ada keterangan Ragam Disabilitas

19
2. HAMBATAN DAN KESULITAN PENYANDANG DISABILITAS DI
KABUPATEN LUWU UTARA

Hambatan dan kesulitan eksternal penyandang disabilitas tercermin


dengan banyaknya masalah yang ditemukan hampir dalam semua
aspek kehidupan dan penghidupan seperti diuraikan dibawah ini.

3. HAMBATAN DAN KESULITAN PENYANDANG DISABILITAS DI


LUWU UTARA PADA SEMUA ASPEK KEHIDUPAN

Hambatan dan kesulitan eksternal penyandang disabilitas tercermin


dengan banyaknya masalah yang ditemukan hampir dalam semua
aspek kehidupan dan penghidupan seperti diuraikan dibawah ini.

1) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada pada


bidang pendidikan adalah adanya masalah2 yang timbul pada
aspek pendidikan yang meliputi :

1. SDM penyandang disabilitas terutama di bidang pendidikan


masih sangat ketinggalan.

2. Masih banyak institusi pendidikan yang belum mengetahui


tentang penyandang disabilitas dan masalah
kedisabilitasan .

3. Jumlah sekolah yang menerapkan sistem pendidikan


inklusi masih kurang.

4. Kualitas pendidikan bagi penyandang disabilitas


khususnya pendidikan inklusi masih rendah.

4. Kurangnya aksesibilitas di bidang pendidikan


menyebabkan banyak penyandang disabilitas yang
pendidikan formalnya hanya sampai SD saja, bahkan lebih
banyak yang tidak sekolah.

20
5. Beberapa sekolah tidak menerima siswa penyandang
disabilitas dengan alasan :

a) Tidak memiliki guru khusus yang bisa menangani


penyandang disabilitas.

b) Bisa menurunkan status sekolah

c) Tidak siap dengan sarana dan prasarana aksesibilitas.

d) Kurang pahamnya pihak sekolah akan arti pendidikan


sebagai hak dasar setiap warga negara.

6. Masih ada pandangan baik di kalangan guru maupun


masyarakat bahwa penyandang disabilitas hanya cocok di
Sekolah Luar Biasa ( SLB ).

7. Kebanyakan penyandang disabilitas berasal dari keluarga


tidak mampu secara ekonomi.

8. Jarak yang jauh dari rumah ke Sekolah Luar Biasa yang


memerlukan biaya transportasi yang tidak sedikit,
sementara sekolah yang dekat dengan rumah tinggalnya
tidak mau menerimanya.

9. Masih ada penolakan siswa penyandang disabilitas di


sekolah2 reguler.

10. Kurangnya pelatihan praktis bagi guru-guru pembimbing


khusus dalam berinteraksi dengan penyandang
disabilitas.

11. Kurangnya alokasi anggaran bagi pelatihan sumber daya


guru dan peningkatan kualitas pelayanan pendidikan
bagi penyandang disabilitas.

12. Belum adanya bea siswa khusus bagi penyandang


disabilitas maupun keluarga penyandnag disabilitas

21
13. Belum adanya transportasi khusus bagi penyandang
disabilitas

2) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas dalam bidang


ketenagakerjaan meliputi antara lain :
1. Kurangnya lapangan kerja untuk penyandang disabilitas;
2. Kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang
penyandang disabilitas yang umumnya menganggap
penyandang disabilitas adalah tenaga yang tidak terampil,
tenaga kerja murahan dan sangat membebani masyarakat.
3. Pandangan stereotype dan stigma negative pada
masyarakat.
4. Jika ada perusahaan/ masyarakat yang mau
mempekerjakan penyandang disabilitas maka upahnyapun
sangat minim.
5. Di sektor pemerintah jumlah penyandang disabilitas yang
bekerja tidak terdata begitu juga sektor swasta.
6. Persyaratan sehat jasmani dan rohani masih menjadi
hambatan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh
pekerjaan.
7. Tempat pelatihan vokasional penyandang disabilitas dilatih
di Panti- Panti Rehabilitasi atau di Loka Bina Karya (LBK)
yang terdapat di ibu kota Provinsi yang cukup jauh
tempatnya.
8. Pada kasus penerimaan PNS. Jika seorang penyandang
disabilitas netra mengikuti tes pada salah satu departemen,
tidak diberikan pendamping.
9. Kurangnya pelatihan bagi sumber daya pelayanan.
10. Kurangnya alokasi anggaran bagi program penempatan
kerja bagi penyandang disabilitas.
11. Belum adanya payung hukum terkait dengan perlindungan
penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas.

22
3) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada pada
bidang perekonomian.
Masalah yang terjadi pada bidang perekonomian antara lain :

1. Banyak penyandang disabilitas yang baru mulai usaha


mendapat kesulitan mengakses permodalan baik dari
pemerintah atau perbankan atau kooperasi.
2. Kesulitan dalam memasarkan produk mereka (bidang
pemasaran).
3. Penyandang disabilitas netra mendapat hambatan ketika
akan membuat rekening bank untuk bisa menyimpan uang
di Bank. Ini disebabkan karena penyandang disabilitas
netra biasanya tidak bisa membuat tanda tangan. Banyak
diantara mereka hanya menggunakan sidik jari. Sehingga
sulit untuk dibuatkan rekeningnya. Walaupun sudah ada
Bank yang sudah mengakomodir mereka untuk membuka
rekening.
4. Pemberdayaan ekonomi kepada penyandang disabilitas
bersifat parsial dan charity.
5. Belum maksimalnya program pemberdayaan ekonomi bagi
penyandang disabilitas dari Dinas terkait.

4) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada pada


bidang kesehatan.
Masalah pada bidang kesehatan yang terjadi antara lain :

1. Pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas belum


maksimal.
2. Masih banyak penyandang disabilitas yang tidak
memperoleh jaminan kesehatan ( Jamkesmas atau
jamkesda dan sekarang BPJS ).
3. Belum ada program bantuan alat bantu bagi penyandang
disabilitas yang kontinyu.

23
4. Kurangnya alokasi anggaran bagi pelayanan kesehatan
penyandang disabilitas.
5) Belum adanya layanan antar jemput khusus bagi
penyandang disabilitas dalam layanan kesehatan.

5) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada pada


bidang kesejahteraan sosial.
Masalah – masalah yang terjadi dalam bidang kesejahteraan
sosial antara lain :
1. Kebanyakan penyandang disabilitas hidup dalam
kemiskinan.
2. Kebanyakan penyandang disabilitas tidak memiliki
pekerjaan tetap dan penghasilan tetap yang layak bagi
kehidupan.
3. Kebanyakan penyandang disabilitas memiliki pendidikan
yang rendah. Sangat sedikit sekali yang berpendidikan
tinggi.
4. Kebanyakan penyandang disabilitas tidak memiliki
keterampilan.
5. Kebanyakan penyandang disabilitas karena kemiskinannya
sangat rentan kesehatannya.
6. Minimnya alokasi anggaran bagi peningkatan kesejahteraan
sosial baik melalui program - program habilitasi,
rehabilitasi, pemeliharaan tingkat kesejahteraan sosial,
bantuan sosial , jaminan sosial, perlindungan sosial dan
pemberdayaan sosial.

6) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada pada


bidang keolahragaan.
Masalah – masalah yang terjadi pada bidang keolahragaan
antara lain :

24
1. Belum adanya system pembinaan olahraga prestasi bagi
penyandang disabilitas pada Dinas terkait.
2. Belum adanya prasarana dan sarana keolahragaan
penyandang disabilitas khusus sesuai dengan standar
olahraga penyandang disabilitas
3. Masih dijumpai pemberian bonus berbeda bagi atlit
penyandang disabilitas yang berprestasi dalam bidang
olahraga dibanding dengan atlit non disabilitas.

7) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada pada


bidang kebudayaan dan kepariwisataan.
Masalah – masalah yang terjadi pada bidang kebudayaan dan
kepariwisatan antara lain :

1. Belum adanya system pembinaan budaya dan pariwisata


bagi penyandang disabilitas pada Dinas terkait.
2. Belum adanya prasarana dan sarana budaya dan
pariwisata penyandang disabilitas khusus sesuai dengan
standar penyandang disabilitas
3. Belum ada program khusus pemberdayaan ekonomi bagi
penyandang disabilitas yang berusaha di bidang
pariwisata.
4. Belum ada alokasi anggaran pembinaan budaya dan
pariwisata bagi penyandang disabilitas pada Dinas terkait.

8) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada pada


bidang politik dan keamanan.
Masalah disabilitas di bidang politik biasanya terkait ketika
ada pemilihan umum apakah pemilihan umum presiden atau
pemilihan umum kepala daerah ( pemilukada ), dimana setiap
warga Negara yang sudah mempunyai hak pilih termasuk
penyandang disabilitas berhak untuk memilih dan dipilih.

25
Masalah masalah yang muncul dalam bidang politik terjadi antara
lain :

1. TPS –TPS dimana penyandang disabilitas harus memilih


berlokasi di tempat2 yang tidak aksesibel, sehingga
menghambat partisipasi politik bagi penyandang
disabilitas khususnya bagi pengguna kursi roda,
penyandang disabilitas netra dan penyandang disabilitas
rungu yang kesulitan mendapat informasi.
2. Penyediaan logistik bagi tunanetra (template) banyak
tidak tersedia di TPS –TPS.
3. Sangat rentan bagi keselamatan penyandang disabilitas
jika terjadi konflik horisontal.
4. Implementasi aksesibilitas di TPS – TPS belum terealisasi
dengan baik dan benar.
5. Sebagian besar petugas TPS belum memahami pemilu
akses dan paham disabilitas.
6. Sosialisasi Pemilu akses belum sampai kepada petugas-
petugas TPS.
7. Kurangnya alokasi anggaran bagi pembuatan TPS-TPS
yang aksesibel.

Masalah-masalah tersebut terjadi pada kasus-kasus yang


terjadi dalam aspek politik dan keamanan antara lain :
Masalah disabilitas di bidang politik biasanya terkait
pemilihan umum apakah pemilihan umum presiden atau
pemilihan umum kepala daerah ( pemilukada ), dimana setiap
warga Negara yang sudah mempunyai hak pilih termasuk
penyandang disabilitas berhak untuk memilih dan dipilih.
Dalam hal hak memilih, seorang penyandang disabilitas harus
memilih di TPS. Namun kenyataan memperlihatkan pada kita
banyak sekali tempat2 TPS yang berlokasi di tempat2 yang
tidak aksesibel, sehingga menghambat partisipasi politik bagi
penyandang disabilitas khususnya bagi pengguna kursi roda,

26
penyandang disabilitas netra dan penyandang disabilitas
rungu yang kesulitan mendapat informasi.

Selain masalah politik, juga masalah keamanan bagi


penyandang disabilitas. Politik bisa berimbas pada masalah
keamanan. Politik yang tidak bersih sangat rawan dengan
konflik. Hal ini menciptakan suasana yang tidak aman dan
tidak nyaman bagi warga Negara yang menginginkan
kedamaian dan ketenangan. Tidak terkecuali di Luwu Utara,
walaupun kondisi keamanan masih terkendali. Kondisi seperti
itu bukan tidak mungkin bisa terjadi chaos dimana-mana.
Keamanan bagi penyandang disabilitas yang kebanyakan
sangat sulit mobilitasnya akan sangat beresiko ketika kondisi
keamanan tidak terkendali. Penyandang disabilitas
memerlukan perlindungan dan perlakuan khusus, utamanya
penyandang disabilitas perempuan dan anak. Jelas ini
memerlukan penanganan khusus dan harus didahulukan jika
terjadi suatu konflik.

9) Hambatan dan Kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada bidang keadilan dan perlindungan hukum meliputi
antara lain :
1. Minimnya akses keadilan dan perlindungan hukum bagi
penyandang disabilitas yang bermasalah hukum. Akibat
minimnya akses keadilan , maka sering penyandang
disabilitas tidak diperlakukan sebagai “Subyek Hukum”,
sehingga dianggap tidak perlu memperoleh persetujuan
dari penyandang disabilitas jika aparat penegak hukum
menunjuk seorang pendamping atau penerjemah bahasa
isyarat.
2. Masih ada beberapa hambatan untuk memperoleh akses
keadilan dalam semua tahapan proses dari mulai

27
penyidikan, penuntutan dan tahapan persidangan.
Hambatan – hambatan issue antara lain :
a. Hambatan Aksesibilitas;
b. Hambatan perilaku;
c. Hambatan regulasi;
3. Kurangnya alokasi anggaran bagi penyelenggaraan
pelayanan bantuan hukum.
4. Tidak adanya SOP Pelayanan bagi penyandang disabilitas
bermasalah hukum untuk memperoleh akses keadilan dan
perlindungan hukum.
5. Minimnya pengetahuan aparat penegak hukum tentang
kedisabilitasan, sehingga banyak aparat yang melakukan
pelayanan hukum kurang berperspektif disabilitas.

10). Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada :

bidang Kebencanaan ;

1. Tidak adanya perlindungan khusus bagi penyandang


disabilitas ketika menghadapi bencana.
2. Belum ada data penyandang disabilitas yang tinggal di
daerah rawan bencana pada unit yang menyelenggarakan
urusan kebencanaan
3. Sering terabaikan adanya penyandang disabilitas ketika
ada bencana.
4. Belum tersosialisasinya penanggulangan bencana di
kalangan penyandang disabilitas.
5. Belum pahamnya petugas kebencanaan akan penanganan
penyandang disabilitas ketika dalam situasi bencana dan
darurat kemanusiaan.

28
11) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada
pada bidang komunikasi , informasi dan kebebasan
berekspresi;
Masalah informasi pada bidang komunikasi, informasi dan
kebebasan berekspresi terjadi masalah-masalah sebagai
berikut :
1. Yang paling banyak mengalami kendala dalam mengakses
informasi adalah dikalangan disabilitas rungu dan netra.
2. Tidak adanya media display penyampai informasi pada
fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti bandara,
maupun terminal angkutan umum.
3. Kurangnya petugas pada fasilitas umum dan fasilitas
sosial yang memahami bahasa isyarat tuna rungu.
4. Keterbatasan komunikasi dan akses informasi itu juga
yang menghambat para tuna rungu sulit menyatakan
pendapat dalam memperoleh hak kebebasan berekspresi.
5. Tidak adanya pelatihan SDM petugas dalam memahami
komunikasi dengan tunarungu dan netra.
6. Tidak dialokasikan anggaran untuk peningkatan SDM
petugas.
7. Tidak adanya pelatihan khusus utk membaca tulisan
Braille bagi disabilitas netra

12) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada bidang perumahan.
Masalah yang terjadi pada bidang perumahan antara lain :
1. Kebanyakan penyandang disabilitas dewasa tidak memiliki
rumah sendiri. Banyak diantara mereka tinggal dengan
orang tua dan atau keluarga atau kontrak/ sewa kamar.
2. Pengembang belum banyak yang mengakomodir
penyandang disabilitas untuk memiliki rumah sehat
sederhana.

29
3. Lingkungan perumahan yang dibangun tidak menyediakan
aksesibilitas seperti trotoar dan pedestrian yang aksesibel.

13) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada bidang aksesibilitas.
Masalah –masalah yang terjadi pada bidang aksesibilitas
antara lain :
1. Kurangnya sosialisasi peraturan tentang pedoman teknis
aksesibilitas dari pemerintah kepada masyarakat maupun
petugas pemerintah sendiri.
2. Minimnya aksesibilitas pada fasilitas umum dan fasilitas
sosial seperti bandara, terminal, halte, sarana
pendidikan, sarana keagamaan, sarana pemakaman,
sarana kesehatan, sarana ketenagakerjaan, sarana
hiburan, sarana perbelanjaan ( mall, supermarket ),
pertamanan, kantor- kantor pemerintah , pedestrian ,
trotoar dll.
3. Minimnya pemahaman petugas pemerintah dan karyawan
swasta tentang pentingnya aksesibilitas.
4. Minimnya alokasi anggaran penyediaan aksesibilitas
seperti dimaksud diatas.
5. Belum adanya kemudahan dan keringanan berupa
konsesi bagi penyandang disabilitas dalam melakukan
transaksi dengan pihak lain yang difasilitasi pemerintah.

14) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada bidang pelayanan publik.
Masalah yang terjadi pada bidang pelayanan publik antara
lain :
1. Minimnya aksesibilitas fisik dan non fisik pada fasilitas
umum dan fasilitas sosial.
2. Kurangnya loket khusus bagi penyandang disabilitas.
3. Kurangnya pelayanan publik menggunakan teknologi.

30
15) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada
pada bidang keagamaan.
Masalah disabilitas pada bidang keagamaan yang terjadi antara
lain :
1. Minimnya aksesibilitas fisik dan lingkungan pada sarana-
sarana peribadatan seperti mesjid, musholla, gereja dan pura
yang tidak menyediakan aksesibilitas pada jalan masuk ke
fasilitas-fasilitas sosial tersebut.
2. Jika tersedia aksesibilitas, umumnya tidak sesuai standard
peraturan yang berlaku.
3. Tidak adanya media bacaan agama dalam bentuk format
Braille, seperti Al Qur’an dalam format Braille.

16) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada bidang pemeliharaan taraf kesejahteraan;

Masalah yang terjadi pada bidang pemeliharaan taraf


kesejahteraan antara lain :

1. Belum meratanya pemberian program pemeliharaan taraf


kesejahteraan bagi penyandang disabilitas berat dan
masih banyak yang belum tersentuh oleh program
tersebut.
2. Kurangnya jumlah petugas yang menangani program
pemeliharaan taraf kesejahteraan yang sungguh2
memahami masalah disabilitas.
3. Nilai nominal bantuan pemeliharaan taraf kesejahteraan
bagi penyandang disabilitas berat belum bisa
meningkatkan taraf kesejahteraan yang layak dan wajar.

17) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada bidang statistik dan pengumpulan data;

31
Masalah yang terjadi pada bidang statistic dan pengumpulan
data antara lain :
1. Belum ada keseragaman istilah antara satu Dinas dengan
Dinas lainnya.
2. Belum ada data akurat penyandang disabilitas se Luwu
Utara.
3. Belum adanya kartu identitas yang menunjukkan ragam
disabilitasnya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

18) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada


pada bidang perlindungan dan pemberdayaan penyandang
disabilitas perempuan dan penyandang disabilitas anak;
Masalah yang terjadi pada bidang perlindungan dan
pemberdayaan penyandang disabilitas perempuan dan
penyandang disabilitas anak antara lain :

1. Kebanyakan penyandang disabilitas perempuan dan


penyandang disabilitas anak hidup dalam kemiskinan.
2. Masih memperoleh hambatan dari cara pandang
masyarakat yang stereotype.
3. Kesadaran keluarga yang kurang untuk memberdayakan
penyandang disabilitas perempuan dan penyandang
disabilitas anak.
4. Rentan memperoleh kekerasan fisik, psikis dan sexual
baik dari orang terdekat maupun yang tidak dikenal.
5. Rentan memperoleh pelecehan dan bullying dari orang –
orang seusianya.
6. Sudah ada pelayanan terpadu yang bisa menangani dan
melayani penyandang disabilitas perempuan dan
penyandang disabilitas anak , namun belum maksimal.
7. Belum adanya alokasi anggaran secara khusus untuk
menangani penyandang disabilitas perempuan dan
penyandang disabilitas anak.

32
19) Hambatan dan kesulitan penyandang disabilitas yang ada
pada bidang peningkatan kesadaran masyarakat;
Masalah yang terjadi pada bidang peningkatan kesadaran
masyarakat antara lain :
1. Masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak
penyandang disabilitas.
2. Belum dialokasikan anggaran untuk program peningkatan
kesadaran masyarakat.
Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, harus
dicarikan solusi untuk mengeliminir masalah. Salah satu
pemecahan masalah adalah membentuk regulasi tingkat
Kabupaten yang mengatur tentang pelaksanaan Pelindungan
dan Pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas di
Kabupaten Luwu Utara.

4. FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG PENYANDANG


DISABILITAS DI KABUPATEN LUWU UTARA

1. FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KEADILAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM.
Fasilitas dan aksesibilitas pendukung di bidang keadilan dan
perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas masih sangat
minim. Apalagi dalam KUHP terkait saksi menyebut bahwa
seorang saksi adalah orang yang melihat, mendengar dan
mengalami, sangat tidak memberikan akses keadilan utamanya
jika korban atau saksi adalah disabilitas netra, disabilitas rungu
wicara dan disabilitas grahita. Sumber daya aparat penegak
hukum yang belum banyak memahami disabilitas juga
menambah sulitnya penyandang disabilitas memperoleh keadilan
dan perlindungan hukum. Namun seiring dengan waktu , ke

33
depan diharapkan secara bertahap dan bekerja sama dengan
masyarakat, di Kabupaten Luwu Utara akan melakukan
pelatihan bagi aparat penegak hukum ( polisi, jaksa , pengacara
dan hakim ) terkait penanganan penyandang disabilitas yang
berhadapan dengan hukum. Selain itu organisasi penyandang
disabilitas juga harus dilibatkan untuk mengirim peserta
penyandang disabilitas untuk mengikuti pelatihan paralegal dan
menindak lanjuti dengan pembentukan PLBHD ( Pos Layanan
Bantuan Hukum Disabilitas ). Jika sudah ada pelatihan Aparat
Penegak Hukum, paling tidak sudah memberikan wawasan dan
pengetahuan bagi aparat penegak hukum tentang penanganan
penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum.
Diharapkan ke depan bahwa penanganan penyandang
disabilitas yang berhadapan dengan hukum akan mendapat
perhatian dari aparat penegak hukum dan penyandang disabilitas
memperoleh rasa keadilan dan perlindungan hukum di
Kabupaten Luwu Utara. Olehnya itu sangat dibutuhkan agar
penyandang disabilitas memperoleh hak keadilan dan
perlindungan hukum adalah pemerintah daerah melakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Muatan tentang keadilan dan perlindungan hukum bagi
penyandang disabilitas harus dimasukkan dalam regulasi
yang akan dibentuk.
2) Pelatihan-pelatihan peningkatan Sumber Daya Manusia
bagi aparat penegak hukum dalam penanganan
penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
3) Pentingnya penyediaan layanan-layanan disabilitas di
setiap institusi aparat penegak hukum.
4) Pentingnya penyediaan interpreter bahasa isyarat pada
setiap institusi aparat penegak hukum.
5) Penyediaan aksesibilitas fisik dan non- fisik pada institusi
aparat penegak hukum.

34
6) Pengalokasian anggaran program dan kegiatan pada point
1) s/d point 5).

2. FASILITAS DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


PENDIDIKAN.

Dibidang pendidikan pemerintah daerah sudah membuat


program pendidikan gratis. Diharapkan hak pendidikan tersebut
bisa dinikmati oleh penyandang disabilitas. Hak pendidikan
tersebut bukan hanya pendidikan luar biasa saja, namun juga
pendidikan umum. Namun realitasnya, penyandang disabilitas
sering diarahkan ke Sekolah-Sekolah Luar Biasa. Masih jarang
yang bersekolah di sekolah regular. Seperti yang kita ketahui
bahwa jumlah SLB di Kabupaten Luwu Utara sebanyak 3 unit
SLB swasta. Belum ada data terkait Sekolah Inklusi. Apalagi
bicara terkait kualitas inklusi sesuai amanat Undang – Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang
selanjutnya di tingkat Provinsi sudah ada Peraturan Gubemur
Provinsi Sulawesi Selatan Nomor : 31 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi Sulawesi
Selatan. Kurangnya tenaga Guru Pembimbing Khusus (GPK) dan
aksesibilitas di bidang pendidikan menyebabkan banyak
penyandang disabilitas yang pendidikan formalnya hanya sampai
SD saja, bahkan lebih banyak yang tidak sekolah. Kalau
mengacu pada Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 70 Tahun 2009 dan Peraturan Gubemur
Provinsi Sulawesi Selatan Nomor : 31 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi Sulawesi
Selatan seharusnya Sekolah inlusif di Kabupaten Luwu Utara
paling sedikit: 1 SD, 1 SMP per kecamatan, dan 1 SMA per
kabupaten. Artinya bahwa di Kabupaten Luwu Utara seharusnya

35
paling sedikit ada 25 Sekolah Inklusi yang terdiri atas 1 SMA
Inklusi, 12 SD Inklusi dan 12 SMP Inklusi. Sekarang yang belum
ada satupun Sekolah Inklusi atau baru 0% dari yang
seharusnya. Dari jumlah GPK yang ada sekitar 3 orang. Jumlah
itu masih sangat jauh dari angka ideal. Seharusnya setiap
sekolah memiliki minimal 1 (satu) orang GPK. Dengan jumlah
sekolah di Kabupaten Luwu Utara sebanyak 248 unit yang
terdiri atas Raudhatul Athfal (RA) / Bustanul Athfal (BA),
Sekolah Dasar ( SD ), Madrasah Ibtidaiyah ( MI ), Sekolah
Menengah Pertama ( SMP ), Madrasah Tsanawiyah ( MTs ),
Sekolah Menengah Umum ( SMU ), Sekolah Menengah Kejuruan
( SMK ) dan Madrasah Aliyah ( MA ), seharusnya memiliki
minimal 25 orang GPK. Namun nyatanya baru 3 orang ( 12
% ) . Angka tersebut sangat minim. Belum lagi masalah
aksesibilitas sekolah yang belum standard aksesibel dan bahkan
belum ada sama sekali. Oleh karena itu dalam bidang
pendidikan, Pemerintah Daerah harus melakukan langkah-
langkah sebagai berikut :

1) Memasukkan muatan pendidikan bagi penyandang


disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Meningkatkan jumlah Sekolah Inklusi secara bertahap
sesuai Peraturan Gubemur Provinsi Sulawesi Selatan
Nomor : 31 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif di Provinsi Sulawesi Selatan.
3) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi guru-guru untuk
menambah jumlah Guru Pembimbing Khusus (GPK).
4) Menyediakan aksesibilitas fisik dan non- fisik pada semua
Sekolah Inklusi yang standard peraturan.
5) Menyediakan layanan-layanan disabilitas pada setiap
sekolah inklusi.
6) Menyediakan kurikulum yang tepat di setiap sekolah
inklusi.

36
7) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point
1) s/d point 6).

3. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KETENAGAKERJAAN.

Dalam bidang ketenagakerjaan, sebagian kecil penyandang


disabilitas terserap dalam sektor formal maupun informal. Di
sektor pemerintah jumlah penyandang disabilitas yang bekerja di
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sekitar 1 orang dan belum
ada data di sektor swasta. Jumlah Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Luwu Utara sekitar 5.036 orang 1.
Berdasarkan
Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, seharusya Pemerintah Kabupaten Luwu Utara
mempekerjakan sebanyak 2% dari 5.036 orang yaitu 100 orang.
Dari jumlah yang terdata sebanyak 1 orang, maka baru 0,019 %
yang terakomodasi.

Disektor swasta, jumlah tenaga kerja di berbagai sektor


sekitar 141.429 orang1). Seharusnya berdasarkan aturan, maka
penyandang disabilitas yang bisa dipekerjakan di berbagai sektor
sebanyak 1.414 orang. Belum ada data yang akurat jumlah
penyandang disabilitas yang bekerja di bidang industri. Hal ini
karena sosialisasi dan monitoring peraturan kurang berjalan
dengan baik. Oleh karena itu dalam bidang ketenagakerjaan,
Pemerintah Daerah harus melakukan langkah-langkah sebagai
berikut :

1) Memasukkan muatan ketenagakerjaan bagi penyandang


disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.

1
Data BPS Tahun 2019 : Lutra dalam Angka Th 2018

37
2) Melakukan sosialisasi tentang rekruitment dan
penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas baik di
sektor pemerintah maupun perusahaan swasta di
Kabupaten Luwu Utara.
3) Menghilangkan persyaratan sehat jasmani dan rohani
masih menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas
untuk memperoleh pekerjaan.
4) Menyediakan aksesibilitas fisik dan non- fisik pada semua
kantor-kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang
standard peraturan.
5) Meningkatkan pengiriman jumlah penyandang disabilitas
untuk mengikuti pelatihan vokasional di Balai-Balai
Rehabilitasi atau di Loka Bina Karya (LBK) yang ada ( jika
tersedia ) di Kabupaten Luwu Utara.
6) Memperbaiki tempat-tempat pelatihan vokasional yang
kondisinya memprihatinkan.
7) Mengembalikan fungsi pelatihan vokasional yang telah
berubah fungsi menjadi rumah dinas atau kantor lainnya.
8) Penyediaan pendamping bagi penyandang disabilitas
disabilitas netra ketika mengikuti tes pada penerimaan PNS
sebagai bentuk akomodasi yang beralasan.
9) Melakukan pelatihan bagi sumber daya pelayanan.
10) Menyediakan tempat layanan disabilitas di tempat kerja.
11) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point
1) s/d point 10).

4. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KESEHATAN.

Dalam bidang kesehatan pemerintah daerah juga telah


menyediakan program kesehatan gratis bagi semua warga
Kabupaten Luwu Utara, termasuk penyandang disabilitas.
Namun dalam prakteknya, penyandang disabilitas sering

38
dihadapkan dengan belum maksimalnya pelayanan kesehatan
bagi penyandang disabilitas dan aksesibilitas pada pelayanan-
pelayanan kesehatan yang belum standard peraturan. Oleh
karena itu kebutuhan penyandang disabilitas dalam bidang
kesehatan yang perlu disediakan oleh Pemerintah Daerah dan
melakukan langkah-langkah perbaikan sebagai berikut :
1) Memasukkan muatan kesehatan bagi penyandang
disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Melakukan sosialisasi tentang pelayanan kesehatan
penyandang disabilitas baik di sektor pemerintah maupun
perusahaan swasta di Kabupaten Luwu Utara.
3) Menyediakan aksesibilitas fisik dan non- fisik pada semua
pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas,
Pustu dan laboratorium kesehatan.
4) Menyediakan layanan disabilitas pada setiap Rumah Sakit
dan Puskesmas.
5) Memperbaiki dan meningkatkan mutu pelatihan bagi
petugas kesehatan di seluruh kabupaten di Kabupaten
Luwu Utara.
5) Kurangnya pelatihan bagi sumber daya pelayanan.
6) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point
1) s/d point 5).

5. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG POLITIK


DAN KEAMANAN.

Dalam bidang politik pemerintah daerah juga melalui


Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) telah berusaha
melakukan penyediaan aksesibilitas dalam pemilihan umum
bagi penyandang disabilitas Kabupaten Luwu Utara, sehingga
diharapkan partisipasi penyandang disabilitas dalam
menyalurkan hak politiknya dengan mudah. Namun dalam
prakteknya, penyandang disabilitas sering dihadapkan dengan

39
belum maksimalnya penyediaan aksesibilitas pada Tempat
Pemungutan Suara (TPS) bagi penyandang.
Begitu juga dalam hal keamanan yang dilakukan oleh
Kepolisian. Walaupun sudah mulai ada pelatihan-pelatihan bagi
aparat penegak hukum khususnya polisi, namun belum
merubah secara signifikan kemampuan para petugas kepolisian
dalam melayani dan mengayomi penyandang disabilitas yang
berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu kebutuhan
penyandang disabilitas dalam bidang politik dan keamanan yang
perlu disediakan oleh Pemerintah Daerah melalui KPUD adalah
sebagai berikut :
1) Memasukkan muatan politik bagi penyandang disabilitas
ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Melakukan sosialisasi tentang pemilu akses bagi
penyandang disabilitas pada Ketua - Ketua KPUD dan
petugas-petugas TPS di Kabupaten Luwu Utara.
3) Menyediakan aksesibilitas fisik dan non- fisik pada semua
TPS.
4) Memperbaiki dan meningkatkan mutu pelatihan bagi
petugas TPS di seluruh kabupaten di Kabupaten Luwu
Utara.
5) Melakukan pelatihan dan peningkatan kapasitas di
kalangan aparat penegak hukum khususnya polisi agar
bisa mengayomi masyarakat khususnya penyandang
disabilitas.
6) Menyediakan layanan disabilitas di kantor-kantor polisi.
7) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point
1) s/d point 6).

6. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KEAGAMAAN.

40
Dalam bidang keagamaan pemerintah daerah juga melalui
Kantor Wilayah Kementerian Agama telah banyak menyediakan
sarana-sarana ibadah berupa mesjid, gereja, pura, wihara dan
klenteng, namun dari sisi penyediaan aksesibilitas masih sangat
minim, sehingga penyandang disabilitas masih merasa kesulitan
dalam mengakses tempat-tempat ibadah tersebut. Belum lagi
ditunjang dengan pengadaan Kitab-Kitab Suci yang bertuliskan
huruf Braille atau dalam bentuk audio.
Oleh karena itu kebutuhan penyandang disabilitas dalam
bidang keagamaan yang perlu disediakan oleh Pemerintah
Daerah adalah sebagai berikut :
1) Memasukkan muatan aksesibilitas keagamaan bagi
penyandang disabilitas ke dalam regulasi yang akan
dibentuk.
2) Melakukan sosialisasi tentang aksesibilitas keagamaan
bagi penyandang disabilitas di tempat ibadah pada
pengelola tempat ibadah di Kabupaten Luwu Utara.
3) Menyediakan aksesibilitas fisik dan non- fisik pada semua
sarana ibadah.
4) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point
1) s/d point 3).

7. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KOMUNIKASI, INFORMASI DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI.

Dalam bidang komunikasi, informasi dan kebebasan


berekspresi pemerintah daerah juga melalui Dinas Perhubungan,
Komunikasi dan Informasi telah menyediakan sarana-sarana
untuk mempermudah komunikasi dan informasi, namun dari
sisi penyediaan aksesibilitas masih sangat minim, sehingga
penyandang disabilitas masih merasa kesulitan dalam
mengakses tempat-tempat tersebut. Belum lagi ditunjang dengan

41
penyediaan komunikasi dan informasi yang bertuliskan huruf
Braille atau dalam bentuk audio.
Oleh karena itu dalam bidang komunikasi, informasi dan
kebebasan berekspresi, Pemerintah Daerah harus melakukan
langkah-langkah sebagai berikut :

1) Memasukkan muatan aksesibilitas non fisik yaitu komunikasi


dan informasi serta kebebasan berekspresi bagi penyandang
disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Meningkatkan jumlah aksesibilitas non fisik yaitu komunikasi
dan informasi fasilitas umum, fasilitas sosial dan gedung-
gedung pelayanan publik secara bertahap.
3) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis untuk
memiliki kompetensi di bidang komunikasi dan informasi bagi
penyandang disabilitas.
4) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang aturan aksesibilitas non- fisik yaitu
komunikasi dan informasi pada semua fasilitas umum,
fasilitas sosial dan gedung-gedung pelayanan publik yang
standard peraturan.
5) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 4).

8. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KESEJAHTERAAN SOSIAL.

Dalam bidang kesejahteraan sosial, pemerintah daerah


juga melalui Dinas Sosial telah melakukan beberapa program
dan kegiatan yang terkait dengan aspek kesejahteraan sosial,
namun dari sisi peningkatan kesejahteraan sosial masih sangat
minim, sehingga masih banyak penyandang disabilitas yang
hidup dalam kondisi sosial yang memperihatinkan. Belum lagi

42
ditunjang dengan pengalokasian anggaran yang minim di bidang
kesejahteraan sosial.

Oleh karena itu dalam bidang kesejahteraan sosial, Pemerintah


Daerah harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Memasukkan muatan kesejahteraan sosial bagi penyandang


disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Meningkatkan bantuan sosial kepada penyandang disabiltas
baik kwalitas maupun kuantitas.
3) Meningkatkan jumlah aksesibilitas fisik dan non fisik pada
gedung dan kantor pelayanan sosial.
4) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis untuk
memiliki kompetensi di kesejahteraan sosial.
5) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang pelayanan kesejahteraan sosial.
6) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 5).

9. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KEOLAHRAGAAN.

Dalam bidang keolahragaan, pemerintah daerah juga


melalui Dinas Pemuda dan Olahraga telah menyediakan sarana
dan anggaran untuk meningkatkan keolahragaan penyandang
disabilitas, namun dari sisi kualitas dinilai masih kurang,
sehingga penyandang disabilitas masih kesulitan dalam
mengaktualisasikan diri dalam kegiatan olahraga prestasi.
Belum lagi ditunjang dengan penyediaan sarana olahraga yang
kurang aksesibel terhadap penyandang disabilitas.
Oleh karena itu dalam bidang keolahragaan, Pemerintah Daerah
harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

43
1) Memasukkan muatan keolahragaan bagi penyandang
disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Meningkatkan jumlah aksesibilitas fisik dan non fisik pada
fasilitas olahraga secara bertahap.
3) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis untuk
memiliki kompetensi di keolahragaan bagi penyandang
disabilitas.
4) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang keolahragaan penyandang disabilitas.
5) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 4).

10. AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


KEBUDAYAAN DAN KEPARIWISATAAN.

Dalam bidang kebudayaan dan kepariwisataan,


pemerintah daerah juga melalui Dinas Kebudayaan Dan
Kepariwisataan belum menyediakan sarana dan anggaran untuk
memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas dalam
berkegiatan di bidang kebudayaan dan kepariwisataan.
Disebabkan selama ini bidang kebudayaan dan kepariwisataan
tidak bersentuhan langsung dengan penyandang disabilitas.
Oleh karena itu dalam bidang kebudayaan dan kepariwisataan,
Pemerintah Daerah harus melakukan langkah-langkah sebagai
berikut :

1) Memasukkan muatan kebudayaan dan kepariwisataan bagi


penyandang disabilitas ke dalam regulasi yang akan
dibentuk.
2) Meningkatkan jumlah aksesibilitas fisik dan non fisik pada
fasilitas kebudayaan dan kepariwisataan secara bertahap.

44
3) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis untuk
memiliki kompetensi di kebudayaan dan kepariwisataan bagi
penyandang disabilitas.
4) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang kebudayaan dan kepariwisataan bagi
penyandang disabilitas.
5) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 4).

11. AKSES DAN AKSESIBILITAS FISIK DAN NON FISIK


PENUNJANG.

Seperti sudah diuraikan diatas bahwa fasilitas dan


aksesibilitas di Kabupaten Luwu Utara masih minim jumlahnya
dan yang tersedia juga belum memenuhi standard aksesibilitas.
Secara bertahap pemerintah berusaha untuk menyediakan
aksesibilitas seperti halnya Dinas Perhubungan, sampai hari ini
belum menyediakan Bus Rapid Transportation (BRT) yang
aksesibel, apalagi masih terkendala dengan halte dan terminal
bus. Sementara Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Kabupaten Luwu Utara belum secara signifikan membangun
fasilitas2 yang aksesibel seperti trotoar2 dan pedestrian pada
fasilitas umum dan fasilitas sosial milik Pemerintah Kabupaten
Luwu Utara.
Masih banyak kantor pemerintah yang juga berfungsi sebagai
fasilitas pelayanan publik dan gedung milik masyarakat seperti hotel,
restaurant, mall, mini market, hypermart dan tempat rekreasi belum
menyediakan aksesibilitas fisik secara standard aturan.

Untuk lebih jelasnya berikut tabel aksesibilitas pada setiap kota


dan kabupaten.

45
JUMLAH FASILITAS UMUM, FASILITAS SOSIAL DAN
PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN LUWU UTARA

NO. JENIS FASILITAS JUMLAH

1 Rumah Sakit ( RS ) 2 Unit

2 PUSKESMAS dan PUSTU 77 Unit


3 POSYANDU 368 Unit

4 POLINDES/ PUSKESDES 102 Unit


5 Klinik/ Balai Kesehatan 1 Unit

6 Sekolah Dasar ( SD ) 248 Unit


7 Madrasah Ibtidaiyah ( MI ) 26 Unit

8 Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) 73 Unit


9 Madrasah Tsanawiyah ( MTs ) 38 Unit

10 Sekolah Menengah Umum ( SMU 32 Unit


11 Madrasah Aliyah ( MA ) 18 Unit

12 Kantor Desa 172 Unit


13 Kantor Kelurahan 7 Unit

14 Kantor Kecamatan 12 Unit


15 Kantor SKPD/ Badan/ Biro/ Perusda 33 Unit

16 Kantor Bupati 1 Unit


17 Gedung DPRD 1 Unit

18 Perguruan Tinggi ( PT ) 2 Unit


19 Hotel/ Akomodasi Lainnya 11 Unit

20 Tempat Wisata 45 Unit


21 Kantor Pos 4 Unit

22 Bandara 1 Unit

46
23 Mesjid 556 Unit

24 Mushola 198 Unit


25 Gereja Katholik 37 Unit

26 Gereja Protestan 259 Unit


27 Pura 58 Unit

28 Terminal Angkutan Kota 1 Unit

JUMLAH FASILITAS SOSIAL, FASILITAS


UMUM DAN PELAYANAN PUBLIK DI 2.383 Unit
KABUPATEN LUWU UTARA
Sumber Data : Kabupaten Luwu Utara Dalam Angka 2019

Dari 2.383 Unit fasilitas umum, fasilitas sosial, gedung kantor


pemerintah, tempat wisata, mall, minimarket, bangunan
peribadahan, sekolah, rumah sakit, bandara dan terminal bus
umum, belum banyak tempat yang memiliki aksesibilitas fisik
yang standard, bahkan boleh dikatakan belum ada sama sekali.
Melihat jumlah tempat-tempat yang menyediakan aksesibilitas
fisik belum ada, maka sangat perlu Pemerintah Daerah
Kabupaten Luwu Utara segera menerbitkan regulasi yang
mengatur di dalamnya tentang aksesibilitas dan melaksanakan
penyediaannya secara bertahap sekurang-kurangnya 30% dalam
5 (lima) tahun. Oleh karena itu dalam bidang aksesibilitas,
Pemerintah Daerah harus melakukan langkah-langkah sebagai
berikut :

1) Memasukkan muatan aksesibilitas fisik dan non fisik bagi


penyandang disabilitas ke dalam regulasi yang akan
dibentuk.
2) Meningkatkan jumlah fasilitas umum, fasilitas sosial dan
gedung-gedung pelayanan publik secara bertahap sesuai
standard Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor : 14/ PRT/M/2017 tentang Fasilitas
Kemudahan Bangunan Gedung.

47
3) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis
bangunan untuk memiliki kompetensi di bidang aksesibilitas
bagi penyandang disabilitas.
4) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang aturan aksesibilitas fisik dan non- fisik
pada semua fasilitas umum, fasilitas sosial dan gedung-
gedung pelayanan publik yang standard peraturan.
5) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 4).

12) AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG


PEREKONOMIAN.

Dalam bidang perekonomian, pemerintah daerah juga


melalui Dinas Koperasi dan UKM belum banyak memfasilitasi
kesempatan kepada penyandang disabilitas dalam peningkatan
pendapatan melalui bidang perekonomian. Hal yang sama ini
disebabkan selama ini bidang perekonomian tidak bersentuhan
langsung dengan penyandang disabilitas.

Oleh karena itu dalam bidang perekonomian, Pemerintah Daerah


harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Memasukkan muatan perekonomian bagi penyandang


disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Meningkatkan jumlah program bantuan peningkatan ekonomi
secara bertahap.
3) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis untuk
memiliki kompetensi di bidang perekonomian bagi
penyandang disabilitas.
4) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang perekonomian bagi penyandang
disabilitas.

48
5) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 4).

13) AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG PERUMAHAN.

Dalam bidang perumahan, pemerintah daerah melalui


Dinas terkait belum memperhatikan pelayanan perumahan
kepada penyandang disabilitas. Hal yang sama ini disebabkan
pemahaman tentang penyandang disabilitas masih minim di
kalangan petugas pelayanan perumahan.
Oleh karena itu dalam bidang perumahan, Pemerintah Daerah
harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Memasukkan muatan perumahan bagi penyandang


disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas
untuk memiliki perumahan murah dan sehat secara
mengangsur dengan bunga yang ringan atau tanpa bunga.
3) Meningkatkan jumlah aksesibilitas pada daerah perumahan
secara bertahap.
4) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis untuk
memiliki kompetensi di bidang aksesibilitas yang bisa
diterapkan di perumahan.
5) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang pelayanan perumahan kepada
penyandang disabilitas.
6) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 5).

14) AKSES DAN AKSESIBILITAS PENUNJANG DI BIDANG PELAYANAN


PUBLIK.

49
Dalam bidang pelayanan publik, pemerintah daerah
melalui pemerintah daerah tingkat desa, kelurahan, kecamatan
dan kabupaten/ kota dan unit-unit pelayanan belum
memperhatikan pelayanan yang ramah kepada penyandang
disabilitas. Hal yang sama ini disebabkan pemahaman tentang
penyandang disabilitas masih minim di kalangan petugas
pelayanan.
Oleh karena itu dalam bidang pelayanan publik, Pemerintah
Daerah harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Memasukkan muatan pelayanan publik bagi penyandang


disabilitas ke dalam regulasi yang akan dibentuk.
2) Meningkatkan jumlah aksesibilitas pada sarana-sarana
pelayanan publik secara bertahap.
3) Melakukan pelatihan-pelatihan bagi pelaksana teknis untuk
memiliki kompetensi di bidang pelayanan publik kepada
penyandang disabilitas.
4) Melakukan sosialisasi baik kepada stakeholder dan
masyarakat tentang pelayanan publik kepada penyandang
disabilitas.
5) Mengalokasikan anggaran program dan kegiatan pada point 1)
s/d point 4).

Selain 14 Akses dan aksesibilitas penunjang yang telah disebutkan


diatas, pemerintah daerah diharapkan melakukan pelayanan di bidang
pemeliharaan taraf kesejahteraan, bidang perlindungan khusus,
bidang kebencanaan, bidang perlindungan dan pemberdayaan
penyandang disabilitas perempuan dan penyandang disabilitas anak,
bidang peningkatan kesadaran masyarakat dan bidang statistik dan
pengumpulan data.

C. KAJIAN TERHADAP ASAS / PRINSIP YANG TERKAIT DENGAN


PENYUSUNAN NORMA

50
Penyusunan norma dalam suatu aturan termasuk Peraturan
Daerah disamping harus memperhatikan lingkup kewenangan /
landasan hukum pembentukannya oleh daerah, harus juga
memperhatikan asas pembentukan dan materi muatan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Esensi asas hukum merupakan hal yang sifatnya abstrak dan
filosofis yang harus menjiwai terbentuknya norma hukum, sedangkan
prinsip hukum adalah tatanan yang lebih bersifat operasional dari
asas hukum.
Terkait maksud pembentukan Peraturan Daerah Tentang
Penyandang Disabilitas, erat relevansinya tentang bagaimana
penyandang disabilitas memperoleh hak dan kesempatan yang sama
baik dari aspek perlindungan hukum, maupun dalam memperoleh
pemenuhan hak secara adil dan proporsional.

Kajian pada sub Bab ini berkenaan asas / prinsip yang terkait
dengan penyusunan norma dalam Peraturan Daerah, berikut
dikemukakan asas materi yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang amat
terkait dengan substansi kajian dalam naskah akademik ini yaitu :

1. “asas penghormatan terhadap martabat” adalah pengakuan


terhadap harga diri Penyandang Disabilitas yang harus dilindungi,
dihormati, dan ditegakkan;
2. “asas otonomi individu” adalah hak setiap Penyandang Disabilitas
untuk bertindak atau tidak bertindak dan bertanggung jawab atas
pilihan tindakannya tersebut;
3. “asas non diskriminasi” adalah bahwa sikap dan perlakuan
terhadap penyandang disabilitas dengan tidak melakukan
pembedaan atas dasar usia, jenis kelamin, ras, etnis, suku,
agama dan antar golongan;

51
4. “asas partisipasi penuh” adalah Penyandang Disabiltas berperan
serta secara aktif dalam segala aspek kehidupan sebagai warga
negara ;
5. “asas keragaman manusia dan kemanusiaan” adalah
Penghormatan dan penerimaan perbedaan terhadap Penyandang
Disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan
kemanusiaan ;
6. “asas kesamaan kesempatan” adalah penyandang disabilitas
mendapatkan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.;
7. “asas kesetaraan” adalah kondisi di berbagai sistem dalam
masyarakat dan lingkungan, seperti pelayanan, kegiatan,
informasi, dan dokumentasi yang dibuat dapat mengakomodasi
semua orang termasuk Penyandang Disabilitas;
8. “asas aksesibilitas” adalah kemudahan yang disediakan
penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan;
9. “asas kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak” adalah
penyandang disabilitas anak harus diperhatikan dan diutamakan
dalam pemenuhan hak-haknya sebagai anak dan sebagai
penyandang disabilitas yang memiliki kapasitas jika diberdayakan
akan berkembang dan maju serta memberikan identitas hukum
kepada penyandang disabilitas anak sebagai bekal memperoleh
akses dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan di masa
depan;
10. “asas inklusif” adalah perlakuan lingkungan yang memperhatikan
penghormatan atas martabat manusia, tanpa diskriminasi,
memperhatikan partisipasi penuh, memberikan kesamaan
kesempatan dengan memperlakukan penyandang disabilitas
secara setara, menyediakan aksesibilitas, menyediakan kebutuhan
anak serta memberikan perlakuan khusus dan perlindungan lebih
bagi penyadang disabilitas; dan

52
11. “asas perlakuan khusus dan perlindungan lebih” adalah bentuk
keberpihakan kepada penyandang disabilitas berupa perlakuan
khusus dan atau perlindungan lebih sebagai kompensasi asas
disablitas yang disandangnya demi memperkecil atau
menghilangkan dampak kedisabilitasan sehingga memungkinkan
untuk menikmati, berperan dan berkontribusi secara optimal,
wajar dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan
berbangsa,bernegara dan bermasyarakat.

Esensi dari asas tersebut di atas ternyata amat relevan dengan


asas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diatur dalam pasal
58 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah, khususnya berkenaan dengan :
1. “asas kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara
negara;
2. “asas kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan
selektif; dan
3. “asas keadilan” adalah bahwa setiap tindakan dalam
penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.

Memperhatikan asas / prinsip hukum yang telah dikemukakan


di atas meniscayakan begitu penting dan mendasarnya untuk
perumusan norma hukum dalam Peraturan Daerah
mempertimbangkan aspek keadilan yang proporsional dengan
jaminan kepastian hukum yang berkenaan aspek perlindungan
hukum dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, yang
meliputi jaminan tersedianya akses dan aksesibilitas.

53
D. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI
YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
MASYARAKAT.

Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan pada Bab


sebelumnya terkait tanggungjawab Negara dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat baik yang tercantum dalam Alinea IV Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun
dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, maka setiap warga Negara Indonesia mempunyai kedudukan
yang sama dalam memperoleh kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, di
depan hukum dan pemerintahan.
Menggarisbawahi nilai filosofi yuridis tersebut, maka setiap warga
negara Indonesia tanpa kecuali, termasuk penyandang disabilitas
mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran serta yang sama dengan
warga negara lainnya. Oleh karena itu, peningkatan peran para penyandang
disabilitas dalam pembangunan nasional termasuk di daerah sangat
penting untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana
mestinya.
Patut digarisbawahi bahwa hingga saat ini sarana dan upaya untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban,
dan peran penyandang disabilitas telah diatur melalui berbagai peraturan
perundang-undangan, yaitu terkait pengaturan masing-masing tentang
ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu
lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan
kepabeanan.
Namun demikian, pada nyatanya kebijakan operasional dalam upaya
perlindungan saja belumlah memadai. Hal ini dapat dipastikan berbagai
alasan, baik yang bersifat koordinasi dan keselarasan kebijakan program
lintas sektoral maupun persepsi dalam memaknai kewenangan otonomi
daerah masing-masing, termasuk komitmen dan dukungan serius segenap
unsur pemangku hak yang berkepentingan lainnya sesuai kewenangan dan
kedudukan masing-masing dalam menyelenggarakan aspek perlindungan
serta pemenuhan hak segenap penyandang disabilitas yang terkait akses
dan aksesibilitas.
Selain alasan tersebut masih terdapat pula stigma masyarakat yang
bukan penyandang disabilitas, bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh

54
penyandang disabilitas merupakan kondisi factual yang bersifat pribadi baik
dengan alasan takdir dari Allah Subhanahu Wataala dan dengan alasan
akibat kecelakaan maupun penyakit. Stigma yang bersifat awami tersebut,
berpengaruh pada sikap dan perilaku masyarakat termasuk oleh beberapa
instansi pemerintah terkait dengan cara reaktif yang cenderung negatif
terkait hak yang seharusnya diperoleh penyandang disabilitas tanpa
kecuali.
Pandangan keliru demikian berpengaruh negatif pada penyandang
disabilitas terkait dalam pemenuhan hak yang seharusnya diperoleh sebagai
bentuk hak yang sama secara adil dan proporsional dengan warga
masyarakat yang bukan penyandang disabilitas. Patut digarisbawahi bahwa
dalam hal tertentu berkenaan aspek pelayanan public memang telah ada
dipersiapkan akses dan aksesibilitas, tetapi dari segi jumlah / kuantitas
maupun kualitas masih sangat jauh dari yang seharusnya. Belum lagi dari
sebaran dan jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Luwu Utara
cenderung meningkat dari tahun ke tahun, tentu harus menjadi tantangan
pula dalam menyikapi hal tersebut secara responsive melalui pembentukan
Peraturan Daerah sebagai instrumen yuridis dalam menjawab masalahnya
secara komprehensif.
Sebagai gambaran jumlah dan ragam penyandang disabiltas di
Kabupaten Luwu Utara dikemukakan secara rinci masing-masing sebagai
berikut :

Dengan pertimbangan bahwa jumlah penyandang disabilitas akan


meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan
upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh
kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh pendidikan
dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Yang
dimaksud dengan kesejahteraan sosial dalam Undang-undang ini adalah
suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual
yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir
batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan
usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial
yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan

55
Pancasila. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan mengenai kedudukan,
hak, dan kewajiban warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar 1945, perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih memadai,
terpadu, dan berkesinambungan guna mewujudkan kemandirian dan
kesejahteraan penyandang disabilitas.
Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan kedudukan, hak, dan
kewajiban bagi penyandang disabilitas hanya dapat diwujudkan jika
tersedia aksebilitas, yaitu suatu kemudahan bagi penyandang disabilitas
untuk mencapai kesamaan kesempatan dalam memperoleh kesamaan
kedudukan, hak, dan kewajiban sehingga perlu diadakan upaya penyediaan
aksebilitas bagi penyandang disabilitas. Dengan upaya dimaksud,
diharapkan penyandang disabilitas dapat berintegrasi secara total dalam
mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya serta
meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas pada
khususnya.
Penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial yang antara
lain dilaksanakan melalui kesamaan kesempatan bagi penyandang
disabilitas pada hakikatnya menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan penyandang disabilitas sendiri.
Oleh karena itu diharapkan semua unsur tersebut berperan aktif
untuk mewujudkannya. Dengan kesamaan kesempatan tersebut
diharapkan para penyandang disabilitas dapat melaksanakan fungsi
sosialnya dalam arti mampu berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi
secara wajar dalam hidup bermasyarakat.
Kesamaan kesempatan dilaksanakan melalui penyediaan aksebilitas
baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, yang dalam pelaksanaannya
disertai dengan upaya peningkatan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat terhadap keberadaan penyandang disabilitas, yang merupakan
unsur penting dalam rangka pemberdayaan penyandang disabilitas.
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesetuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat
dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan
dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat,
tertib, dan damai.

56
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang
mencakup seluruh aspek kehidupan bangsa diselenggarakan bersama oleh
masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama
pembangunan dan Pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing,
melindungi serta menumbuhkan suasana yang menunjang. Kegiatan
masyarakat dan kegiatan Pemerintah saling menunjang, saling mengisi, dan
saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan
pembangunan nasional.

Berdasarkan hal tersebut, Undang-undang ini disusun dengan


meletakkan masalah penyelenggaraan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial dan kesamaan kesempatan sebagai materi
pokok. Sehubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas dapat
dikemukakan bahwa pertumbuhan penyandang disabilitas di
Kabupaten Luwu Utara, meningkat jumlahnya setiap tahun secara
signifikan. Terdapat beberapa penyebab bertambahnya jumlah
penyandang disabilitas. yaitu :
1. Akibat kecelakaan lalu lintas;
2. Akibat penyakit;
3. Akibat kecelakaan kerja;
4. Akibat bencana alam;
5. Akibat kelahiran.

E. KAJIAN TERHADAP PENERAPAN SISTEM BARU YANG AKAN


DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH TERHADAP ASPEK
KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP ASPEK
BEBAN KEUANGAN DAERAH

Istilah disabilitas sesungguhnya merupakan konsepsi


pemikiran yang bersifat substantive dan progresif dari istilah lama
“cacat” yang dipahami secara umum oleh masyarakat. Makna dari
istilah disabilitas tersebut menegaskan pada kedudukan penyandang
disabilitas sebagai subyek pembangunan sekaligus sebagai subyek
hukum dalam arti selaku pemangku hak dan kewajiban sebagai warga
Negara Republik Indonesia. Penyandang disabilitas sebagai warga

57
Negara Republik Indonesia tentu kedudukan dan haknya sama dengan
warga Negara lainnya yang bukan penyandang disabilitas.
Dalam kaitan itu dari aspek tanggungjawab Negara maka
jaminan untuk memperoleh hak yang sama dan setara bagi setiap
warga Negara, termasuk penyandang disabilitas merupakan bagian
dari akuntabilitas publik bagi segenap penyelenggara Negara yang
terkait sesuai kedudukan dan wewenang masing-masing dalam
membentuk kebijakan regulasi termasuk Peraturan Daerah, serta
penyelenggaraan pelayanan publik secara efisien dan efektif.
Sebagai sebuah kebijakan regulasi daerah berupa Peraturan
Daerah, harus menjangkau norma pengaturan yang bersifat
koordinasi, pembinaan, pengawasan, peran serta aktif masyarakat,
pemberdayaan, aspek tanggungjawab instansi terkait termasuk
Pemerintah Daerah, aspek pembiayaan, serta monitoring dan evaluasi.
Dari gambaran pokok substansi pengaturan demikian,
diharapkan bahwa dengan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Luwu Utara Tentang Penyandang Disabilitas, dapat menjawab masalah
mendasar yang dihadapi oleh penyandang disabilitas selama ini di
Kabupaten Luwu Utara. Dengan harapan tentunya agar sasaran untuk
menangani secara komprehensif masalah tersebut, maka sesuai
dengan esensi asas Good Governance meniscayakan tatanan
penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilakukan secara
akuntabel dan partisipatif. Makna dari partisipatif disini bukan hanya
sebatas pada aspek peran serta tetapi lebih dari itu mencakupi aspek
konsepsi pemikiran strategis dan dukungan pembiayaan dalam
menangani serta mengatasi masalah yang dihadapi penyandang
disabilitas, baik yang bersifat perlindungan hukum dan pemenuhan
hak, termasuk hak yang bersifat akses dan aksesibiltas.
Sebagai bentuk keselarasan dan pengaturan yang konsisten
bagi sebuah Peraturan Daerah, maka harus dipastikan bahwa sesuai
lingkup kewenangan Daerah Kabupaten harus pula menegaskan
dukungan alokasi pembiayaan yang jumlahnya proporsional dalam
anggaran pendapatan dan belanja daerah, selain sumber pembiayaan

58
yang besifat partisipatif dan akuntabel dari unsur pemangku hak yang
berkepentingan lain terkait. Semuanya itu tentunya dimaksudkan
dalam rangka menangani dan mengatasi secara terpadu dan
komprehensif atas masalah mendasar yang dihadapi penyandang
disabilitas.

59
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pada Bab ini dilakukan pengkajian untuk mencermati dan


menelaah berbagai Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan
penyandang disabilitas. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisis
sejauhmana substansi dan relevansinya sekarang, sekaligus sebagai
bentuk evaluasi untuk melihat dan memaknai relevansi pengaturan yang
lebih operasional pada daerah Provinsi sesuai kedudukan dan
kewenagannya dalam pembentukan Peraturan Daerah.
Beberapa Peraturan Perundang-undangan terkait yang dipandang
perlu dikemukakan untuk menelaah substansi dan relevansi serta
urgensinya untuk menyusun pengaturan dalam bentuk Peraturan
Daerah Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas, hal
sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.


Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
penyandang disabilitas (istilah lama menurut Undang-undang ini
“penyandang cacat”) dilakukan dengan membentuk Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, yang
secara operasional telah ditetapkan pula peraturan pelaksanaannya
berupa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat. Kedua Peraturan
Perundang-undangan ini merupakan peraturan perundang-undangan
pokok tentang penyandang disabilitas, dan dalam realitasnya
menjadi rujukan dalam penyusunan kebijakan dan program yang
berkaitan dengan penyandang disabilitas.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang


Cacat ini, disusun dan dibentuk pada saat minimnya referensi dalam
melakukan Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas,
yang bersifat yuridis formal dan landasan hukum nasional dalam

60
menyikapi dan menyelenggarakan pemerintahan yang berkenaan
aspek perlindungan, pembinaan dan fasilitasi terhadap penyandang
cacat (kini istilahnya penyandang disabiltas).

Materi muatan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor


4 Tahun 1997 ini, sesungguhnya lingkup dan substansi
pengaturannya belum mengakomodir hal yang mendasar terkait
penyandang disabilitas baik dari aspek konsepsi filosofi pengaturan
yang menjamin kedudukan yang setara dan perlakuan yang sama
diantara seluruh warga Negara Indonesia, pengaturan demikian
melahirkan pemahaman yang keliru sehingga tetap saja penanganan
masalah yang dihadapi penyandang disabilitas tidak tuntas.

Lebih lanjut dari muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997


masih minim memuat pengarusutamaan dan penghargaan terhadap
hak asasi para penyandang cacat/disabilitas sebagai bagian dari
warganegara pada umumnya. Demikian halnya dari aspek dinamika
dan lingkup kebutuhan dasar yang seharusnya diperoleh segenap
penyandang cacat/disabilitas baik yang bersifat perlindungan
maupun pelayanan yang bersifat akses dan aksesibilitas
sesungguhnya belum dijangkau pengaturannya dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 ini.

Selain itu dari aspek kesetaraan dan pemberdayaan bagi


segenap warga Negara Indonesia ternyata dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 ini paradigma pengaturannya memandang para
penyandang disabilitas bukanlah sebagai subjek manusia yang
utuh namun justru memposisikan mereka sebagai sebuah objek
yang memiliki kekurangan, atau kelainan baik secara fisik dan
mental, yang menyebabkan penyandang disabilitas tidak dapat
melakukan aktifitas atau kegiatan secara layak. Disabilitas yang
disandang seseorang dipandang akan menjadi penghambat sehingga
penyandang cacat/disabilitas dinilai tidak dapat melakukan aktivitas
atau kegiatan secara produktif sebagaimana layaknya orang yang

61
bukan penyandang cacat/disabilitas. Paradigma demikian dalam
menghadapi masalah tersebut model pendekatan dan
rekomendasinya semata diarahkan pada proses habilitasi dan
rehabilitasi.

Pandangan terhadap penyandang disabilitas yang bersifat


charity base (belas kasih) ini terlihat dari materi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 yang lebih menitikberatkan kepada upaya-
upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan penyandang
disabilitas pada upaya rehabilitasi, pemberian bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Untuk merealisasikan upaya
pemerintah tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah yang hanya
terfokus kepada pendirian panti – panti, Sekolah Luar Biasa (SLB),
Lembaga Vokasional penyandang disabilitas seperti Loka Bina Karya
(LBK).

Pandangan demikian berpengaruh pada bentuk kebijakan


pemerintahan selama ini mengekslusifkan penyandang disabilitas
hanya dengan sesamanya melalui pendirian panti dan menjauhkan
mereka dari kehidupan masyarakat yang inklusif bersama warga
masyarakat pada umumnya.
Masalah lain yang terkandung di dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 yaitu memuat materi pengaturan yang bersifat
social base (sebagai masalah sosial saja), di mana perlindungan dan
pelayanan bagi penyandang disabilitas dinilai sebagai sebuah
masalah sosial, sehingga kebijakan perlindungan dan pelayanan
penyandang disabilitas hanya terfokus pada satu instansi saja yakni
di tingkat nasional pada Kementerian Sosial, sedangkan pada tingkat
daerah pada masing-masing Dinas Sosial setempat.
Hal ini tidak sepenuhnya tepat karena perlindungan dan
pelayanan penyandang disabilitas di luar masalah sosial menjadi
tidak tersentuh dan tidak terlindungi sama sekali. Pengaturan yang
hanya bersifat sosial ini dalam kenyataannya menimbulkan berbagai
permasalahan dan memunculkan berbagai perlakuan diskriminatif

62
karena alasan kedisabilitasan yang disandang seseorang di luar hak-
hak yang bersifat sosial, diantaranya berupa penolakan anak
penyandang disabilitas untuk bersekolah di beberapa sekolah
reguler/umum, persyaratan kerja yang tidak membolehkan calon
pelamar penyandang disabilitas, penolakan penyandang disabilitas di
pasar kerja, minimnya fasilitas layanan publik yang dapat diakses
oleh penyandang disabilitas, stigma negatif terhadap keberadaan
penyandang disabilitas, dan sebagainya.
Pengaturan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 ini
seharusnya tidak hanya bersifat sosial saja, tetapi sebaiknya harus
mencakup perlindungan yang berkaitan dengan keseluruhan hak
penyandang disabilitas, sama seperti warga yang bukan penyandang
disabilitas. Kebijakan mengenai penyandang disabilitas seharusnya
tidak hanya terfokus pada Kementerian Sosial dan Dinas Sosial saja,
akan tetapi seharusnya melibatkan segenap unsur pemangku hak
yang berkepentingan lain terkait, sehingga paradigma baru dan
bentuk kebijakan yang bersifat partisipatif tersebut harus ada dan
terdapat di semua sektor secara komprehensif dan terkoordinasi
tanpa kecuali.
Memperhatikan titik kelemahan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tersebut karena belum diakomodirnya
pengaturan yang bersifat komprehensif terkait penyelenggaraan
kesejahteraan sosial berkenaan perlindungan dan pemenuhan hak
penyandang disabilitas terkait aspek akses dan aksesibilitas.
Akhirnya pembentukan Undang-Undang yang baru sudah ditetapkan
oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia yaitu Undang-Undang R.I. Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas yang sekaligus pada Pasal 151 telah
mencabut Undang-Undang R.I. Nomor 4 Tahun 1997 Tentang
Penyandang Cacat dan dinyatakan tidak berlaku lagi, mampu
mengakomodir dan menjawab masalah terkait pengaturan yang
bersifat responsif dan progresif atas aspirasi pengaturan berkenaan
penyandang disabilitas.

63
Selain itu sesuai kedudukan dan lingkup kewenangan Daerah
maka dengan maksud pembentukan Peraturan Daerah Tentang
Penyandang Disabiltas, diharapkan mampu menjawab masalah yang
berkenaan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas
di Kabupaten Luwu Utara secara responsive dan komprehensif.

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 Tentang Pengesahan


Konvensi I.L.O. Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan
Jabatan.

Pengesahan Konvensi I.L.O. ini sebagai Undang-Undang Nomor


21 Tahun 1999 didasari pada pertimbangan bahwa Negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Negara hukum yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin
semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum,
sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap pekerja berdasarkan
ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik,
kebangsaan, atau asal-usul keturunan harus dihapuskan termasuk
kepada pekerja penyandang disabilitas. Ketentuan konvensi yang
telah diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor 21 Tahun 1999 ini
selaras dengan keinginan dan komitmen bangsa dan Negara
Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan memajukan
pelaksanaan hak-hak dasar pekerja dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara secara adil dan proporsional.
Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999
Tentang Pengesahan I.L.O. Convention Nomor 111 Concerning
Discrimination In Respect Of Employment And Occupation (Konvensi
I.L.O. Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan)
ditegaskan :
“Setiap anggota dapat, setelah berkonsultasi dengan organisasi
pengusaha dan pekerja, jika ada, menetapkan bahwa harus diambil
langkah-langkah khusus yang lain untuk memenuhi kebutuhan khas
dari orang-orang, yang karena jenis kelamin, usia, cacat, tanggung

64
jawab keluarga, atau status sosial atau budaya, yang secara umum
diakui memerlukan lindungan atau bantuan khusus, dan langkah-
langkah itu tidak dianggap sebagai diskriminasi”.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi


Manusia.

Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang


mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan
penuh ketaqwaan dan tanggungjawab untuk kesejahteraan manusia
tanpa kecuali. Oleh penciptaNya dianugrahi hak asasi untuk
menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta
keharmonisan lingkungannya.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng kapan
dan di manapun, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas
oleh siapapun termasuk Negara, sebab bahkan Negara melalui
segenap penyelenggara pemerintahan baik pada Pemerintah Pusat,
maupun Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
kedudukan dan lingkup kewenangan masing-masing wajib
memperhatikan pengaturan dan aspek pelayanan publik secara adil
dan proporsional atas substansi hak asasi manusia.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia pada Pasal 2 yang mengatur tentang asas-asas dasar
dari hak asasi manusia bahwa “Negara Republik Indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan”.
Terkait substansi uraian kajian dalam naskah akademik ini
berkenaan perlunya pengaturan tentang penyandang disabilitas dari

65
aspek perlindungan dan pemenuhan hak berupa akses dan
aksesibilitas, maka perlu lebih lanjut menggarisbawahi Pasal terkait
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini, yaitu :
a. Pasal 5 :
(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang
sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan
hukum.
(2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan
yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
(3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.
b. Pasal 41 :
(1) Setiap warga Negara berhak atas jaminan sosial yang
dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang berusia lanjut, wanita hamil,
dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus.
c. Pasal 42 :
Setiap warga Negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan cacat
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan,
dan bantuan khusus atas biaya Negara, untuk menjamin
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Memperhatikan substansi pasal-pasal tersebut dalam Undang-


Undang Nomor 39 Tahun 1999, menunjukkan betapa pentingnya hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan
dari manusia pribadi, karena tanpa hak asasi manusia dan

66
kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan
martabat kemanusiaannya.

Oleh karena itu Negara melalui Pemerintah termasuk Daerah


Provinsi berkewajiban baik secara hukum maupun secara politik,
ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta
mengambil langkah-langkah konkrit demi tegaknya hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia. Termasuk dalam
membentuk pengaturan berupa Peraturan Daerah Provinsi yang
dapat menjamin aspek perlindungan dan pemenuhan hak
penyandang disabilitas baik yang bersifat akses maupun yang
bersifat aksesibilitas.

4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung;

Substansi kebutuhan penyandang disabilitas pada aspek


bangunan gedung dan lingkungan seperti diatur dalam Undang-
Undang Nomor 28 tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung adalah
aksesibilitas fisik dan non fisik sebagaimana termaktub pada Pasal
27 , Pasal 31 dan Pasal 32. Berikut pasal-pasal yang dimaksud :

a. Pasal 27 :

(1) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16


ayat (1) meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam
bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana
dalam pemanfaatan bangunan gedung.
(2) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya
fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman
termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
(3) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) pada bangunan gedung untuk kepentingan umum

67
meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah,
ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah,
serta fasilitas komunikasi dan informasi.
(4) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan ke, dari, dan di
dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan
sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

b. Pasal 31 :

(1) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat


dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali
rumah tinggal.
(2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas
aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan
lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang
cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

c. Pasal 32

(1) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 27 ayat (3) merupakan keharusan bagi semua
bangunan gedung untuk kepentingan umum.
(2) Ketentuan mengenai kelengkapan prasarana dan sarana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36


Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

68
Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Lihat Pasal 54
sampai dengan Pasal 60.

d. Pasal 54 :

Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31


meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan
gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam
pemanfaatan bangunan gedung.

e. Pasal 55 :

(1) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 meliputi tersedianya
fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman
termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

(2) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas harus mempertimbangkan


tersedianya hubungan horizontal dan vertikal antarruang dalam
bangunan gedung, akses evakuasi, termasuk bagi penyandang
cacat dan lanjut usia.

(3) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 54 disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung
dan persyaratan lingkungan lokasi bangunan gedung.

f. Pasal 56 :

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan


kemudahan hubungan horizontal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (2) berupa tersedianya pintu dan/atau koridor
yang memadai untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung
tersebut.

(2) Jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan


dipertimbangkan berdasarkan besaran ruang, fungsi ruang,
dan jumlah pengguna ruang.

69
(3) Arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan
dipertimbangkan berdasarkan fungsi ruang dan aspek
keselamatan.

(4) Ukuran koridor sebagai akses horizontal antarruang


dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi ruang, dan
jumlah pengguna.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan pintu


dan koridor mengikuti pedoman dan standar teknis yang
berlaku.

g. Pasal 57 :

(1) Setiap bangunan gedung bertingkat harus menyediakan sarana


hubungan vertikal antarlantai yang memadai untuk
terselenggaranya fungsi bangunan gedung tersebut berupa
tersedianya tangga, ram, lif, tangga berjalan/eskalator,
dan/atau lantai berjalan/travelator.

(2) Jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan vertikal


harus berdasarkan fungsi bangunan gedung, luas bangunan,
dan jumlah pengguna ruang, serta keselamatan pengguna
bangunan gedung.

h. Pasal 58 :

(1) Setiap bangunan gedung dengan ketinggian di atas 5 (lima)


lantai harus menyediakan sarana hubungan vertikal berupa lif.

(2) Jumlah, kapasitas, dan spesifikasi lif sebagai sarana hubungan


vertikal dalam bangunan gedung harus mampu melakukan
pelayanan yang optimal untuk sirkulasi vertikal pada
bangunan, sesuai dengan fungsi dan jumlah pengguna
bangunan gedung.

70
(3) Setiap bangunan gedung yang menggunakan lif harus
menyediakan lif kebakaran.

(4) Lif kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat


berupa lif khusus kebakaran atau lif penumpang biasa atau lif
barang yang dapat diatur pengoperasiannya sehingga dalam
keadaan darurat dapat digunakan secara khusus oleh petugas
kebakaran.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan,


pemasangan, dan pemeliharaan lif mengikuti pedoman dan
standar teknis yang berlaku.

i. Pasal 59 :

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan


rumah deret sederhana, harus menyediakan sarana evakuasi
yang meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu
keluar darurat, dan jalur evakuasi yang dapat menjamin
kemudahan pengguna bangunan gedung untuk melakukan
evakuasi dari dalam bangunan gedung secara aman apabila
terjadi bencana atau keadaan darurat.

(2) Penyediaan sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu


keluar darurat, dan jalur evakuasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan
gedung, jumlah dan kondisi pengguna bangunan gedung, serta
jarak pencapaian ke tempat yang aman.

(3) Sarana pintu keluar darurat dan jalur evakuasi harus dilengkapi
dengan tanda arah yang mudah dibaca dan jelas.

(4) Setiap bangunan gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah


lantai, dan/atau jumlah penghuni dalam bangunan gedung
tertentu harus memiliki manajemen penanggulangan bencana
atau keadaan darurat.

71
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan sarana
evakuasi mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

j. Pasal 60 :

(1) Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal tunggal dan


rumah deret sederhana, harus menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi
penyandang cacat dan lanjut usia masuk ke dan keluar dari
bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan gedung
secara mudah, aman, nyaman dan mandiri.

(2) Fasilitas dan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi toilet, tempat parkir, telepon umum, jalur pemandu,
rambu dan marka, pintu, ram, tangga, dan lif bagi penyandang
cacat dan lanjut usia.

(3) Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan dengan fungsi,


luas, dan ketinggian bangunan gedung.

(4) Ketentuan tentang ukuran, konstruksi, jumlah fasilitas dan


aksesibilitas bagi penyandang cacat mengikuti ketentuan dalam
pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Dari ketentuan-ketentuan yang ada pada Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 2002 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 36
tahun 2005 adalah bagaimana pemenuhan hak aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas maupun lansia bisa dilaksanakan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat. Walaupun sudah ada kota dan
kabupaten yang mencoba memenuhi hak-hak aksesibilitas, namun
secara quantitatif dan qualitatif masih jauh dari yang diharapkan.
Jika ada maka secara prosentase jumlahnya masih dibawah 1% dan
sifatnya asal ada karena tidak memenuhi standard aksesibilitas
seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 14/ PRT/ M/ 2017.

72
Olehnya itu disimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung belum banyak
diimplementasikan baik oleh Pemerintah sendiri maupun
masyarakat.

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

Kalau mencermati Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003


Tentang Ketenagakerjaan, kita akan mendapati ada 6 kata
“penyandang cacat”. Sektor yang diakomodasi dalam Undang-Undang
ini adalah pelatihan dan perlindungan kerja bagi penyandang
disabilitas. Tidak mengakomodasi penempatan kerja bagi penyandang
disabilitas serta kewajiban mempekerjakan penyandang disabilitas
diserahkan kepada Pengusaha atau swasta, sedangkan Pemerintah
tidak diberi kewajiban. Hanya 2 pasal yang menyebut “penyandang
cacat” yaitu Pasal 19 dan Pasal 67. Berikut muatan Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyebut
penyandang cacat :

a. Pasal 19 :

Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan


dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan
tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.

b. Pasal 67

(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang


cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

73
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak


dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha,
perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan
khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang
cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan
sosial tenaga kerja;

a. Pasal 5
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik
sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang
bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para
penyandang cacat.

Kenyataan menunjukkan bahwa pemenuhan hak ketenagakerjaan


bagi penyandang disabilitas belum terpenuhi. Hal ini diindikasikan :
a. Banyak perusahaan yang belum mempekerjakan penyandang
disabilitas.
b. Jika mempekerjakan penyandang disabilitas, kurang
memperhatikan perlindungan kerjanya.
c. Pemerintah belum diberi kewajiban, yang seharusnya
Pemerintah memberi contoh kepada pengusaha agar bisa
menerima tenaga kerja penyandang disabilitas dan bagaimana
melindunginya dari aspek ketenagakerjaan.

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional;

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

74
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah pusat dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi.
Pasal 12 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, partisipasi siswa
dan mahasiswa penyandang disabilitas jelas dilindungi, berarti
mereka bisa memilih dan menentukan jenis, satuan, jenjang
pendidikan yang sesuai bakat, minat dan kemampuannya sebab
dasar penyelenggaraan pendidikan di Indonesia berorientasi pada
demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
Untuk memperluas kesempatan dan partisipasi penyandang
disabilitas, khususnya di sektor pendidikan memerlukan suatu
pengaturan pendidikan khusus seperti pendidikan inklusi yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa
warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi menyatakan bahwa
program studi dapat dilaksanakan melalui pendidikan khusus bagi
mahasiswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran dan/atau mahasiswa yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa. Selain pendidikan khusus, program studi juga
dapat dilaksanakan melalui pendidikan layanan khusus dan/atau
pembelajaran layanan khusus. Oleh karena itu, dalam merumuskan
rancangan undang-undang bagi penyandang disabilitas ini perlu
menjamin kesempatan dan partisipasi penyandang disabilitas belajar
hingga tingkat pendidikan tinggi sehingga dapat memperkuat

75
penjaminan untuk memperoleh pendidikan tinggi bagi penyandang
disabilitas.

7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik;

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang


Pelayanan Publik ini terdiri atas 62 Pasal. Pada Undang-Undang ini
secara spesifik tidak menyebut kata “penyandang cacat”, tapi pada
Pasal 29 ayat (1) menggunakan istilah “ anggota masyarakat tertentu”
yang memerlukan perlakuan khusus. Dalam Penjelasan Undang-
Undang ini yang dimaksud “Masyarakat tertentu “ adalah kelompok
rentan, antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil,
anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial.

Perlakuan khusus kepada masyarakat tertentu diberikan tanpa


tambahan biaya serta sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas
pelayanan publik dengan perlakuan khusus dilarang digunakan oleh
orang yang tidak berhak seperti termaktub pada Pasal 29 dibawah ini

b. Pasal 29 :

(1) Penyelenggara berkewajiban memberikan pelayanan dengan


perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan publik dengan
perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
digunakan oleh orang yang tidak berhak.

b. Pasal 30 :

(1) Penyelenggara dapat menyediakan pelayanan berjenjang secara


transparan, akuntabel, dan sesuai dengan standar pelayanan
serta peraturan perundang-undangan.

76
(2) Pelayanan berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (I), harus
mematuhi ketentuan tentang proporsi akses dan pelayanan
kepada kelompok masyarakat berdasarkan asas persamaan
perlakuan, keterbukaan, serta keterjangkauan masyarakat .
(3) Ketentuan mengenai proporsi akses dan kategori kelompok
masyiuakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah.

Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran,


pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,
lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan,
perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis
lainnya seperti termaktub dalam Pasal 5 dibawah ini :

c. Pasal 5 :

(1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang


publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal,
komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan
sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam,
pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Pelayanan public kepada penyandang disabilitas kurang maksimal


seperti pada aspek pendidikan, pekerjaan, usaha, tempat tinggal,
komunikasi dan informasi, kesehatan, perbankan, perhubungan
dan sector lainnya seperti akses terhadap keadilan. Jaminan
social berupa bantuan langsung disabilitasi untuk pemeliharaan
kesejahteraan social masih terbatas kepada penyandang
disabilitas yang derajat disabilitasnya berat. Sedangkan
penyandang disabilitas yang derajat disabilitasnya sedang dan

77
ringan tidak diberikan jaminan sosialnya. Padahal kita tahu
bahwa 99% penyandang disabilitas ada dalam status miskin dan
termasuk kelompok masyarakat rentan. Dalam kondisi miskin
dan tidak memiliki pekerjaan tetap, maka banyak penyandang
disabilitas yang hidup dalam kondisi sangat memperihatinkan.
Semua program2 terkait isu disabilitas belum mampu
mengangkat harkat dan martabat banyak penyandang disabilitas
setara dengan warga negara lainnya yang hidup mapan.

8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ;

Pasal 139 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya
pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk
menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial,
ekonomis, dan bermartabat, serta pemerintah wajib menjamin
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi
penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
secara sosial dan ekonomis.
Pasal 140 menyatakan bahwa upaya pemeliharaan
kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bidang Kesehatan mempunyai peran penting dalam upaya
pencegahan kecacatan dan intervensi dini kecacatan melalui program
vaksinasi gratis polio, pemberian vitamin A, garam yodium, dan
upaya screening ibu hamil untuk mencegah bayi premature dan
disabilitas dengan technology Health Technology Assesment (HTA)
terutama di rumah sakit besar. 2

9. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi


Mengenai Hak-Hak Penyandang Distabilitas

2
Irwanto, Eva Rahmi Kasim, Asmin Fransiska, Mimi Lusli, Siradj Okta. Op.Cit.. Hlm. 14.

78
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas diratifikasi
tanggal 18 Oktober 2011 dan diundangkan pada tanggal 10 November
2011. Sudah 3 tahun lebih 7 bulan berjalan, namun Pemerintah
belum banyak melakukan Sosialisasi kepada masyarakat maupun
pemerintah itu sendiri. Sehingga belum banyak yang mengetahui
Undang-Undang ini. Untuk menindaklanjuti Undang-Undang ini
sekarang sedang diusahakan ada Undang-Undang baru yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang
Penyandang Cacat yang sarat dengan semangat charity. Tahun 2015
Rancangan Undang-Undang Disabilitas sudah masuk dalam
Prolegnas urutan 26 dari 37 Rancangan Undang-Undang prioritas.
Namun sebelum Rancangan Undang-Undang Disabilitas disyahkan,
sudah banyak daerah yang membentuk Peraturan Daerah terkait
Penyandang Disabilitas apapun judulnya dengan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai hak-Hak Penyandang Disabilitas. Seperti Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-
Undang inipun belum bisa menjamin pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas seutuhnya. Ada 25 Hak tercantum dalam
Undang-Undang ini. Antara lain :
1. Persamaan dan Nondiskriminasi - Pasal 5 ( 4 ayat )
2. Penyandang Disabilitas Perempuan - Pasal 6 ( 2 ayat )
3. Penyandang Disabilitas Anak - Pasal 7 ( 3 ayat )
4. Aksesibilitas ( Pasal 9 )
5. Hak hidup ( Pasal 10 )
6. Perlindungan dan keamanan dalam situasi beresiko dan darurat
kemanusiaan. ( Pasal 11 )
7. Pengakuan setara di hadapan hukum ( Pasal 12 )
8. Akses atas peradilan ( Pasal 13 )
9. Kebebasan dan keamanan seseorang ( Pasal 14 )

79
10. Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat
( Pasal 15 )
11. Kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan ( Pasal
16 )
12. Perlindungan terhadap integritas seseorang. ( Pasal 17 )
13. Kebebasan bergerak dan kebangsaan ( Pasal 18 )
14. Hidup mandiri dan keterlibatan dalam masyarakat ( Pasal 19 ).
15. Mobilitas personal ( Pasal 20 )
16. Kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta akses terhadap
informasi ( Pasal 21 )
17. Penghormatan terhadap privasi ( Pasal 22 )
18. Penghormatan terhadap rumah dan keluarga ( Pasal 23 )
19. Pendidikan ( Pasal 24 )
20. Kesehatan ( Pasal 25 )
21. Habilitasi dan rehabilitasi ( Pasal 26 )
22. Pekerjaan ( Pasal 27 )
23. Standar kehidupan dan perlindungan sosial yang layak ( Pasal
28 )
24. Partisipasi dalam kehidupan politik dan publik ( Pasal 29 )
25. Partisipasi dalam kehidupan budaya, rekreasi, waktu luang dan
olahraga ( Pasal 30 )

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari hak-hak dasar


tersebut Pemerintah sudah berupaya untuk memenuhinya antara
lain : hak pendidikan melalui pendidikan inklusif dan pendidikan luar
biasa, hak kesehatan melalui rehabilitasi medis, hak pekerjaan
melalui penerimaan CPNS, hak atas standard kehidupan dan
perlindungan sosial yang layak melalui Bantuan Langsung
Disabilitasi (BLT) bagi penyandang disabilitas berat, hak aksesibilitas
walaupun masih minim, hak berpartisipasi dalam kehidupan politik
dan publik melalui pelibatan penyandang disabilitas menjadi pemilih
pada pemilihan umum dan hak olahraga melalui perhelatan Pekan

80
Paralimpyc. Namun semua itu belum 100% dipenuhi. Seperti
contohnya, pada penerimaan CPNS tahun 2014, Pemerintah
mengalokasikan quota 300 formasi CPNS untuk penyandang
disabilitas se Indonesia, namun baru lebih 100 orang yang lolos
seleksi CPNS, sedangkan selebihnya belum ada kejelasan. Padahal
300 formasi itu adalah quota. Pada sektor pendidikan sudah ada
Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pendidikan
Inklusi dan telah ditetapkan ada sekitar 350 lebih sekolah menjadi
Sekolah Inklusi, namun qualitasnya masih jauh dari kesesuaian
dengan peraturan.

10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah

11. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 3 Tahun 2017


Tentang Penyelanggaraan Perlindungan Anak;

SIMPULAN :

Begitu banyak peraturan perundang-undangan diterbitkan untuk


pemenuhan hak penyandang disabilitas, namun implementasinya
belum 100% sesuai dengan peraturan. Selain itu banyak yang belum
dipenuhi. Peraturan yang baik jika dilaksanakan oleh aparat yang
tidak baik, maka hasilnya tidak baik. Apalagi jika ada regulasi atau
peraturan yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Jadi
inti permasalahannya adalah pada pelaksana regulasi. Jika
pelaksana regulasi itu baik, walaupun peraturannya tidak baik, bisa
berdampak baik implementasinya.
Berdasarkan analisa diatas maka yang diperlukan adalah “goodwill”
pemerintah baik dari tingkat pusat maupun daerah serta didukung
dengan “kesadaran masyarakat”. Sebagai realisasi “goodwill” itulah
, Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara wajib membentuk
Peraturan Daerah yang mengatur tentang pelindungan dan

81
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Karena sesungguhnya
indikasi adanya “goodwill” atau kepedulian itu antara lain adanya :
1. Regulasi atau Peraturan yang berpihak pada penyandang
disabilitas.
2. Data terpilah penyandang disabilitas
3. Alokasi anggaran yang memadai.
4. Pelaksanaan regulasi yang sesuai dengan peraturan.
Ada kekhawatiran stakeholder akan anggaran perlindungan dan
pelayanan terhadap penyandang disabilitas, karena semua sektor
membutuhkan anggaran. Namun kita juga tidak perlu takut dan
khawatir dengan penganggaran. Alasannya adalah sebagai berikut :
1) Tidak semua hak penyandang disabilitas membutuhkan dana yang
besar.
2) Ada 7 hak yang membutuhkan dana besar, namun dana yang
besar itu bukan semata-mata diperuntukkan bagi penyandang
disabilitas.
3) Pembiayaan yang paling besar adalah hak aksesibilitas, namun
jumlah penyandang disabilitas yang mendapat manfaat hanya 1%
dari jumlah penduduk.
4) Pembiayaan aksesibilitas tidak semuanya ditanggung oleh
Pemerintah Kabupaten. Seperti aksesibilitas di hotel, bandara,
pelabuhan, fasos & fasum yg dimiliki swasta.
5) Pembiayaan pemenuhan hak tidak sekaligus, tapi bertahap dan
berkesinambungan disesuaikan dengan kemampuan keuangan
daerah.
6) Olehnya itu tidak ada alasan untuk tidak memasukkan content
pemenuhan dan perlindungan hak penyandang disabilitas ke
dalam Peraturan Daerah Tentang Penyandang Disabilitas.

82
BAB IV
LANDASAN PEMBENTUKAN PERDA TENTANG PENYANDANG
DISABILITAS

A. LANDASAN FILOSOFIS

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagaimana
dikehendaki oleh Sang Pencipta. Oleh karena itu manusia
mempunyai hak-hak dasar yang merupakan kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi agar dapat hidup layak dan utuh sesuai dengan
harkat dan martabatnya. Karena sifatnya asasi atau mendasar, maka
hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan oleh siapa pun atau oleh
apa pun. Pengingkaran terhadap hak asasi manusia merupakan
pengingkaran terhadap Tuhan sendiri sebagai Sang Pencipta manusia.
Pengingkaran terhadap kebutuhan dasar manusia merupakan
pengingkaran terhadap sifat hakiki dari manusia itu sendiri. Karena
merupakan kebutuhan dasar manusia, dalam kehidupan kenegaraan,
dimana masyarakat sudah menyerahkan kekuasaan untuk mengatur
kehidupan mereka pada negara, maka sudah menjadi tanggungjawab
negara untuk menjamin pemenuhannya. Isi dari hak-hak dasar
tersebut dari waktu ke waktu mengalami perubahan, karena manusia
mempunyai penafsiran yang berbeda-beda mengenai apa yang
menjadi kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dihilangkan oleh
apa pun atau siapa pun. Banyak rumusan mengenai daftar hak asasi
manusia yang dikemukakan oleh beberapa negara, misalnya dalam
Magna Charta (Inggris, 1215), The Virginia Bill of Rights (Amerika
Utara, 1776), Declaration des droits de l’homme et du citoyen (Prancis,
1789), Deklarasi tentang hak-hak rakyat yang berkarya dan diperas
(Uni Soviet, 1918). Rumusan hak-hak asasi manusia dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)
(Indonesia, 1945) dan yang paling dikenal di dunia adalah rumusan
hak asasi dalam Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948).

83
Universal Declaration of Human Rights (UDHR), merupakan
payung dan dasar bagi perkembangan pengakuan dan penjaminan
bidang-bidang hak-hak asasi manusia yang lebih lengkap dan rinci
dalam pergaulan masyarakat dunia, misalnya, Konvensi Tentang Hak
Politik Kaum Wanita, Kovenan Internasional tentang hak ekonomi,
sosial dan budaya, kovenan internasional tentang hak sipil dan
politik, Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan
martabat manusia, Konvensi tentang Hak Anak, dan Konvensi tentang
Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the
rights of persons with disabilities. (CRPD).

Menurut para ahli penyandang disabilitas dan hak asasi


manusia, CRPD sangat mengakomodasi upaya penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Meskipun terdapat beberapa kelemahan, sebagian besar hak-hak
dasar bagi penyandang disabilitas telah termuat dalam CRPD dan
bisa dijadikan pegangan atau acuan setiap upaya penyusunan
regulasi di setiap negara.

Perkembangan perlindungan HAM di berbagai bidang secara


lebih rinci dan lengkap secara internasional menunjukkan semakin
sadarnya komunitas internasional akan arti pentingnya perlindungan
dan pemenuhan HAM serta mengingatkan kembali bahwa manusia
yang hidup di luar perlindungan HAM memang benar-benar
menderita. Penderitaan ini merupakan salah satu pendorong negara
yang bijak untuk memberikan pengakuan, perlindungan, serta
penjaminan pemenuhan HAM warganya.

Di hadapan Tuhan manusia diciptakan dengan harkat dan


martabat yang sama. Perempuan, laki-laki, kaya-miskin, pejabat-
rakyat biasa, disabilitas-tidak disabilitas, semua mempunyai
harkat dan martabat yang sama di hadapan Tuhan, sehingga

84
semua mempunyai hak-hak dasar yang sama yang harus
dipenuhi agar dapat hidup secara layak dan utuh.

Di antara manusia ciptaan Tuhan, ada kelompok-kelompok


manusia yang memerlukan kemudahan, perlakuan khusus, dan
perlindungan lebih, misalnya perempuan, anak-anak, manusia lanjut
usia, serta penyandang disabilitas.

Perhatian dan perlakuan khusus tersebut diperlukan agar


kelompok tersebut tetap dapat hidup secara layak dan utuh sesuai
harkat dan martabatnya. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia memuat, antara lain ketentuan berikut :

1. Pasal 5 ( 3 ): “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat


yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang
lebih berkenaan dengan kekhususannya.”
2. Pasal 41 ( 2 ) ”Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut,
wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus.”

Kelompok penyandang disabilitas adalah orang-orang yang dari


lahir atau karena sesuatu hal mempunyai keterbatasan kemampuan
secara fisik dan/atau mental, misalnya disabilitas rungu, disabilitas
wicara, disabilitas daksa, disabilitas grahita, dan disabilitas netra.
Sesuai dengan harkat dan martabat manusia, mereka juga butuh
hidup secara layak dan utuh sebagaimana manusia pada
umumnya. Itulah sebabnya mereka memerlukan hak-hak dasar
yang dibutuhkan sebagai kelompok penyandang disabilitas, agar
mereka dapat hidup secara layak dan utuh sesuai harkat dan
martabatnya. Di tingkat dunia, PBB sendiri telah mendeklarasikan
adanya “Peraturan Standard tentang Kesamaan Kesempatan bagi
Penyandang Disabilitas” (Resolusi Nomor 48/96 tahun 1993).

Perlindungan dan pemenuhan HAM pada umumnya dan HAM


kelompok penyandang disabilitas khususnya merupakan tanggung

85
jawab negara, karena masyarakat melalui perjanjian politik, telah
menyerahkan kekuasaan mereka untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat mereka kepada negara. Secara moral dan hukum
masyarakat juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak
melanggar HAM sesama anggota masyarakat lainnya. Secara yuridis
ketatanegaraan, negaralah yang bertanggung jawab untuk melindungi
dan menjamin pemenuhan HAM. Melalui politik hukum negara dapat
saja memberikan beban tanggung jawab kepada masyarakat untuk
ikut mendukung pemenuhan HAM anggota masyarakat lainnya. Akan
tetapi manakala masyarakat secara layak tidak mampu atau tidak
mungkin untuk menjamin pemenuhan HAM, maka tetap negaralah
yang bertanggung jawab untuk memenuhinya.

Pemenuhan HAM bukan hal yang mudah. Dalam kehidupan


bermasyarakat dan bernegara, banyak infra struktur yang harus
dipenuhi untuk menjamin pemenuhan HAM, termasuk HAM bagi
penyandang disabilitas. Infrastruktur tersebut antara lain, masalah
Sumber Daya Manusia (SDM) dan dana. Meskipun perlu
infrastruktur, hal tersebut bukan alasan untuk tidak memberikan
perlindungan terhadap HAM termasuk HAM bagi kelompok
penyandang disabilitas. Memang dibutuhkan kemauan politik yang
kuat dari para pemimpin bangsa dan pembuat kebijakan.

Salah satu bentuk komitmen negara terkait upaya


penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas adalah sikap pemerintah Indonesia di mana pada 30 Maret
2007, menjadi salah satu negara penandatangan CRPD. Komitmen
negara ini merupakan sebuah momentum penting untuk
meningkatkan harkat dan martabat penyandang disabilitas. Sebagai
tindak lanjut, sudah semestinya pemerintah Indonesia melakukan
langkah-langkah strategis untuk kemajuan harkat dan martabat
penyandang disabilitas. Upaya mendorong pengesahan konvensi
CRPD tengah dalam proses, selain itu hal yang tidak kalah penting
adalah adopsi nilai-nilai dan norma-norma CRPD ke dalam salah satu

86
undang- undang yang secara khusus mengatur hak-hak penyandang
disabilitas dengan perspektif hak asasi manusia.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan


Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang
berasaskan Hak Asasi Manusia ( HAM ) tidak serta merta bisa
diimplementasikan dalam Program dan Kebijakan Pemerintah
Daerah. Dalam era otonomi daerah, maka untuk
mengimplementasikan Undang-Undang harus dibentuk Peraturan
Daerah yang mengacu pada Undang-Undang tsb. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-
Hak Penyandang Disabilitas yang berasaskan Hak Asasi Manusia
( HAM ) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas sangat relevan dengan kearifan local yang ada
di Kabupaten Luwu Utara yang dipegang erat oleh masyarakat yang
menjadi pedoman dalam kehidupan sosialnya adalah : “sipakatau',
sipakainge', dan sipakalebbi”. Ketiga sifat inilah yang sangat
relevan dan sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011
Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas.

1. “Sipakatau”, merupakan sifat untuk memandang manusia


seperti manusia. Maksudnya dalam kehidupan sosial kita
selayaknya memandang manusia seperti manusia seutuhnya
dalam kondisi apapun. Sipakatau adalah sifat yang tidak saling
membeda-bedakan. Maksudnya, semua orang sama. Tidak ada
perbedaan derajat, kekayaan, kecantikan, bentuk fisik dsb. Pada
intinya kita seharusnya saling menghormati sesama manusia
tanpa melihat dia miskin atau kaya atau dalam keadaan apapun.
2. “Sipakainge”, merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang
tak dapat di pungkiri dari manusia yaitu, memiliki kekurangan.

87
Karena tentunya manusia tidaklah sempurna, walaupun
manusia adalah ciptaan-Nya yang paling sempurna di muka
bumi ini.
3. “Sipakalebbi”, sifat yang melarang kita melihat manusia dengan
segala kekurangannya. Seperti mengingat kebaikan orang dan
melupakan keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang
di puji, jadi saling memuji dapat menjernihkan suasana dan
mengeratkan tali silaturahmi.

Dengan latar belakang budaya dan hukum yang selaras inilah


semangat CRPD harus diterjemahkan dan diwujudkan dalam bentuk
Peraturan Daerah Tentang Penyandang Disabilitas. Dengan payung
hukum tersebut diharapkan penyandang disabilitas di Kabupaten
Luwu Utara akan terangkat harkat dan martabatnya sebagai
manusia seutuhnya yang juga bisa memberikan kontribusi dalam
pembangunan, bukan sekedar beban masyarakat. Pengabaian dan
penelantaran terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas bisa diketegorikan sebagai bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kehidupan penyandang disabilitas di Kabupaten Luwu Utara


pada kenyataannya sangat memperihatinkan serta belum
mencerminkan harkat dan martabat manusia seutuhnya adalah
tidak sejalan dengan budaya “Sipakatau” yang sangat dijunjung
tinggi oleh masyarakat Kabupaten Luwu Utara.

B. LANDASAN SOSIOLOGIS

Sesuai data dari Kabupaten Luwu Utara dalam Statistik Daerah


Kabupaten Luwu Utara 2019 yang dipublikasikan BPS Kabupaten
Luwu Utara bahwa Penduduk Kabupaten Luwu Utara tahun 2018
berjumlah 310.470 jiwa. Jumlah ini terdiri atas  156.007 laki-laki
dan 154.463 perempuan. Penyandang disabilitas sendiri, sesuai
Data Dinas Sosial Kabupaten Luwu Utara tahun 2020 berjumlah
3.059 jiwa. Angka ini lebih rendah dari angka perkiraan

88
Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) yang memperkirakan jumlah
Penyandang Disabilitas di setiap negara diprediksi mencapai
10% dari jumlah penduduknya atau bila Kabupaten Luwu Utara
jumlah penduduknya 310.470 jiwa3 maka menurut perkiraan PBB
jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Luwu Utara menjadi
setara dengan 31.047 jiwa.

Beberapa permasalahan sosial yang terjadi pada


penyandang disabilitas dan menjadi bagian yang sedang dihadapi
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dimulai dari pendataan.
Berbagai institusi melakukan pendataan dengan istilah – istilah
disabilitas yang berbeda-beda dan jumlah yang tidak sama. Ada
juga dengan methode estimasi. Misalnya dalam istilah ada yang
memakai orang dengan gangguan penglihatan, orang dengan
kecacatan, orang dengan kesulitan mendengar dan di organisasi
disabilitas dikenal disabilitas daksa, disabilitas netra, disabilitas
rungu dan disabilitas grahita. Sedangkan hasil methode estimasi
juga ada perbedaan. Misalnya WHO memberi estimasi 10 % dari
populasi penduduk adalah penyandang disabilitas, Kemensos
memberi estimasi 3,11 % dan organisasi disabilitas memberi
estimasi 0,9 ~ 1 %. Kalau berdasarkan estimasi mengindikasikan
ketidakakuratan data. Ketidakakuratan data mengakibatkan
program-program pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan dan
berhasil dengan baik. Berdasarkan pendataan hasil kerja sama
Departemen Sosial R.I. dan Surveyor Indonesia pada tahun 2008
adalah terdapatnya jumlah penyandang disabilitas (34.510 orang )
di Provinsi Sulawesi Selatan yang tersebar di 24 Kota/ Kabupaten.
Data dari Kemensos Tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah
penyandang disabilitas yaitu 82.170 jiwa.

Sedangkan penyandang disabilitas terdata di Kabupaten


Luwu Utara berdasarkan pendataan yang dikumpulkan dari Dinas

3
Data tahun 2018 dalam Statistik Daerah Kabupaten Luwu Utara 2019.

89
Sosial Kabupaten Luwu Utara sebanyak 3.059 orang4 yang terdiri
atas 1.336 orang penyandang disabilitas fisik, 1.284 orang
penyandang disabilitas sensorik, 1 orang penyandang disabilitas
intelektual, 379 orang penyandang disabilitas mental, 3 orang
penyandang disabilitas ganda dan 56 orang penyandang disabilitas
yang tidak ada keterangan ragam disabilitasnya. Terdiri atas :
1.757 laki-laki ( 57% ) dan 1.302 perempuan ( 43% ).

Berdasarkan usia :

Usia 0 – 6 tahun : 3 orang


Usia 7 – 18 tahun : 308 orang
Usia 19 – 54 tahun : 1.527 orang
Usia 55 tahun ke atas : 1.112 orang
Blank ( tidak ada keterangan usia ) : 109 orang

Usia produktif dari usia 7 – 54 tahun : 1.835 orang

Berdasarkan pendidikan :

Sekolah Dasar ( SD ) : 726 orang


Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) : 126 orang
Sekolah Menengah Atas ( SMA ) : 64 orang
Sarjana ( S1 ) : 4 orang
Blank ( tidak ada keterangan pendidikan ) : 2.139 orang
Pendidikan terbanyak adalah Sekolah Dasar, sedangkan S1 hanya
4 orang.

Permasalahan penyandang disabilitas bukan semata-mata


masalah pendataan saja. Permasalahan penyandang disabilitas
adalah sangat kompleks. Bukan hanya keterbatasan aksesibilitas
baik fisik maupun non fisik para penyandang disabilitas untuk
melakukan aktifitas sesuai dengan jenis kedisabilitasannya, seperti
4
Data dari Dinas Sosial Luwu Utara berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT) 2015 dalam berita
https://portal.luwuutarakab.go.id/post/luwu-utara-peduli-disabilitas 5 April 2017

90
terbatasnya aksesibilitas yang tersedia terutama pada prasarana
umum, baik itu bangunan kantor, bangunan pendidikan,
bangunan kesehatan, Mall-Mall, Kantor-kantor perusahaan,
terminal maupun di Pelabuhan dan Bandara. Tapi juga ada
masalah pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, pelatihan,
rehabilitasi, akses informasi dan teknologi, transportasi, politik,
keamanan, hukum, olahraga dan berusaha. Penyandang
disabilitas di Kabupaten Luwu Utara yang jumlahnya 3.059 orang
{(disabilitas daksa, disabilitas netra, disabilitas rungu wicara,
disabilitas grahita, disabilitas ganda, disabilitas mental ( eks.
Psikotik ), disabilitas anak dan disabilitas ex. kusta)} memerlukan
bantuan penyediaan aksesbilitas sesuai dengan kedisabilitasannya.

C. LANDASAN YURIDIS

Ada berbagai peraturan yang dapat dipergunakan sebagai dasar


secara yuridis untuk pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Luwu Utara Tentang Penyandang Disabilitas yaitu :

Peraturan Perundangan- undangan secara hierarki :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 47 PRP


Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi
Selatan Tenggara dan Sulawesi Utara Tengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor ….., Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ……);

3. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun


1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

91
5. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);

6. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 28


Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

7. Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20


Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

8. Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);

9. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor …., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor …..);

10. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23


Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor …., Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …..) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor …., Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor …….);

92
11. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4444);

12. Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun


2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);

13. Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun


2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 112, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5038);

14. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun


2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);

15. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

16. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19


Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas ( Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 5251 );

17. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang


Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor
5871);

93
18. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor :
KEP-205/ MEN/ 1999 tentang Pelatihan Kerja dan Kesempatan
Kerja Penyandang Cacat;

19. Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor :


KM 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang
Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana
Perhubungan;

20. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat


Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan
Bangunan Gedung ;

21. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009


tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat
istimewa;

22. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun


2008 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2008 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Nomor ……;

23. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 8 Tahun


2008 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2008 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor ……;

24. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 Tahun


2014 Tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor
……;

25. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun


2016 Tentang Pelindungan dan Pelayanan Penyandang

94
Disabilitas (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2016 Nomor ..., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi
Selatan Nomor ……;

Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia

1. Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (Convention on


the Political Rights of Women) (Undang-Undang Nomor 68
Tahun 1958).

2. Konvensi Menentang Segala Bentuk Diskriminasi terhadap


Perempuan ( Convention All Forms of Discrimination againts
Women ) (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984).

3. Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the


Child) (Keputusan Presiden Nomor 36/1990).

4. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau


Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia ( Convention against Torture
and Cruel In Human or Degrading Treatment or Punishment)
( Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998).

5. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk


Diskriminasi Rasial (International Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination)(Undang-
Undang Nomor 29 tahun 1999).

6. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan


Budaya (International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights ) ( Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005).

7. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik


(International Covenant on Civil and Political Rights) (Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005).

95
BAB V
JANGKAUAN, ARAH DAN RUANG LINGKUP

A. JANGKAUAN PENGATURAN

Jangkauan pengaturan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten


Luwu Utara tentang Penyandang Disabilitas adalah untuk
mewujudkan tingkat kesejahteraan yang layak bagi kemanusiaan
bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Luwu Utara.

B. ARAH PENGATURAN

Secara umum, substansi arah pengaturan Rancangan Peraturan


Daerah Kabupaten Luwu Utara tentang Penyandang Disabilitas
memuat pengakuan jenis-jenis HAM penyandang disabilitas yang
luas dan rinci di berbagai bidang kehidupan, beserta kewajiban-
kewajiban negara untuk melindungi, memajukan, memenuhi serta
menjamin penikmatannnya oleh para penyandang disabilitas.
Semua muatan yang tertulis dalam Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Luwu Utara tentang Penyandang Disabilitas arahnya
adalah meningkatkan harkat dan martabat penyandang disabilitas
Kabupaten Luwu Utara dalam semua aspek kehidupan dan
penghidupan.

C. RUANG LINGKUP PENGATURAN

Secara ringkas maka Ruang Lingkup Rancangan Peraturan


Daerah ini terdiri atas :

BAB I Ketentuan Umum


BAB II Landasan, Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup

BAB III Hak Penyandang Disabilitas


BAB IV Ragam Penyandang Disabilitas

BAB V Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, Dan


Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
BAB VI Partisipasi Masyarakat
BAB VII Pengarusutamaan Penyandang Disabilitas
BAB VIII Komite Pelindungan Dan Pemenuhan Hak Penyandang

96
Disabilitas
BAB IX Larangan
BAB X Sanksi Administrasi

BAB XI Ketentuan Penutup

97
BAB VI
PENUTUP
1. SIMPULAN

a) Perundang-undangan tentang yg mengatur penyandang


disabilitas belum cukup memberi perlindungan dan pelayanan
bagi penyandang disabilitas
b) Pemerintah Kabupaten Luwu Utara memiliki kewenangan
mengatur Pelindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas;
c) Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial Kabupaten Luwu Utara
dapat memprakarsai pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Tentang Penyandang Disabilitas;

2. SARAN

Berdasarkan simpulan yang bersifat rekomendasi sebagaimana


tercantum pada huruf a), huruf b) dan huruf c), dengan ini
terlampir naskah rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu
Utara tentang judul disampaikan kepada pimpinan dan anggota
DPRD Kabupaten Luwu Utara yth. untuk kiranya berkenan
mengagendakan pembahasan untuk selanjutnya untuk
mendapatkan persetujuan bersama penetapannya. Terlampir draft
Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Tentang Penyandang
Disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Naskah
Akademis Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara
Tentang Penyandang Disabilitas.
Sekian dan terima kasih.

Luwu Utara, 2020.


KEPALA DINAS SOSIAL KABUPATEN LUWU UTARA

( Besse A Pabeangi )

98
1

LAMPIRAN NASKAH AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN


DAERAH TENTANG PENYANDANG DISABILITAS

BUPATI LUWU UTARA


PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA


NOMOR TAHUN 2021

TENTANG

PENYANDANG DISABILITAS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI LUWU UTARA,

Menimbang : a. bahwa Penyandang Disabilitas memiliki hak,


kewajiban, peran dan kedudukan yang sama di
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara Penyandang Disabilitas masih mengalami
berbagai bentuk diskriminasi sehingga hak-haknya
belum terpenuhi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang
Penyandang Disabilitas.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tk. II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);

99
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3886);
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4247);
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4279);
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun
2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4535);
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR (Kovenan
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4557);
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Konvenan
Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara
Repub-lik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4558);
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5038);

100
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The
Right Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai
Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5251);
14. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5494);
15. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia 5495);
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);

101
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5871);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);
19. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 Tentang
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2015 -
2019 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 144 );
20. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6041);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019
Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas;
23. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019
Tentang Perencanaan, Penyelenggaraan Dan
Evaluasi Terhadap Penghormatan, Perlindungan Dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas;
24. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 144);
25. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 199 );

102
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 2036 );
27. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 14/PRT/M/ Tahun 2017 Tentang
Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1148);
28. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 Tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu
Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 68 )
29. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019
Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
1012 )
30. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2019 Tentang Musyawarah Desa ( Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1203 )
31. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5
Tahun 2016 tentang Pelindungan dan Pelayanan
Bagi Penyandang Disabilitas (Lembaran Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2016 Nomor 5
Noreg. Peraturan Daerah provinsi Sulawesi Selatan
(5/209/2016 )

103
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN LUWU UTARA,
dan
BUPATI LUWU UTARA,

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYANDANG
DISABILITAS.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Daerah adalah Kabupaten Luwu Utara.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Luwu Utara.
3. Bupati Luwu Utara adalah Bupati Luwu Utara.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah Kabupaten Luwu
Utara sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan
DPRD dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah.
6. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, sosial dan atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
7. Sistem Pendidikan Khusus adalah sistem pendidikan bagi peserta
didik berkelainan yang berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan atau sosial dengan tujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai
kemampuannya.
8. Sistem Pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraan
pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan
atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau

104
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-
sama dengan peserta didik pada umumnya.
9. Penyelenggaraan Pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan
komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan
pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan agar proses pendidikan
dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
10. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
11. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh,meningkatkan serta mengembangkan kompetensi
kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
12. Perusahaan adalah :
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum,
baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain; atau
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
13. Upaya Pelayanan Kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi
dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan oleh Pemerintah Daerah dan atau masyarakat.
14. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan atau tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan atau masyarakat.
15. Habilitasi adalah Proses memberikan kemampuan melalui bantuan
medik, sosial, psikologik, dan keterampilan yang diselenggarakan
secara terpadu bagi peserta didik yang memiliki kelainan agar dapat
mencapai kemampuan fungsionalnya.
16. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan
untuk memungkinkan Penyandang Disabilitas mampu melaksanakan
fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.

105
17. Penanggulangan Bencana adalah upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.
18. Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana.
19. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi Penyandang
Disabilitas dan orang sakit guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
20. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang
dan atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk
menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara
dan masyarakat.
21. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang bermaksud
atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
22. Penghormatan adalah sikap menghargai atau menerima keberadaan
Penyandang Disabilitas dengan segala hak yang melekat tanpa
berkurang.
23. Perlindungan adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk
melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak Penyandang
Disabilitas.
24. Pemenuhan adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi,
melaksanakan, dan mewujudkan hak Penyandang Disabilitas.
25. Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan
Penyandang Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan
pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang
menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang
tangguh dan mandiri.
26. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat
dan diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan
semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk
Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan.
27. Alat Bantu adalah benda yang berfungsi membantu kemandirian
Penyandang Disabilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
28. Alat Bantu Kesehatan adalah benda yang berfungsi
mengoptimalkan fungsi anggota tubuh Penyandang Disabilitas
berdasarkan rekomendasi dari tenaga medis.

106
29. Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah, dan atau setiap orang kepada Penyandang
Disabilitas berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah.
30. Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
31. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan
hukum, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
32. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
33. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak
dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan
fungsi sosialnya.

BAB II
LANDASAN, ASAS , TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu
Landasan

Pasal 2

Pelindungan Dan Pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas dalam


rangka mewujudkan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas
berlandaskan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945.

Bagian Kedua
Asas

Pasal 3

Pelindungan Dan Pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan :
a. penghormatan terhadap martabat;
b. otonomi individu;
c. non diskriminasi;
d. partisipasi penuh;
e. keragaman manusia dan kemanusiaan;

107
f. kesamaan kesempatan;
g. kesetaraan;
h. aksesibilitas;
i. kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak;
j. inklusif; dan
k. perlakuan khusus dan perlindungan lebih.

Bagian Ketiga
Tujuan

Pasal 4

Tujuan pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas


adalah :
a. mewujudkan penghormatan, pemajuan, pelindungan, pemberdayaan,
penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan
dasar penyandang disabilitas secara penuh dan setara;
b. menjamin upaya penghormatan, pemajuan, pelindungan,
pemberdayaan, penegakan dan pemenuhan hak-hak sebagai martabat
yang melekat pada diri penyandang disabilitas;
c. mewujudkan taraf kehidupan penyandang disabilitas yang lebih
berkualitas, adil, sejahtera, mandiri, bermartabat serta bahagia lahir
dan batin;
d. melindungi penyandang disabilitas dari kesia-siaan, pelecehan dan
segala tindakan diskriminatif dan pelanggaran HAM; dan
e. memastikan pelaksanaan upaya penghormatan, pemajuan,
pelindungan, pemberdayaan, penegakan dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas untuk mengembangkan diri, dan
mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai bakat dan minat yang
dimilikinya untuk menikmati berperan dan berkontribusi secara
optimal, leluasa dan bermartabat dalam segala aspek kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Bagian Keempat
Ruang Lingkup

Pasal 5

Ruang lingkup perlindungan dan pemenuhan hak penyandang


disabilitas yakni:
a. pendidikan;
b. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
c. kesehatan;

108
d. Kesejahteraan Sosial;
e. Kebudayaan, Pariwisata, Olah Raga dan Kepemudaan;
f. pemberitaan;
g. politik dan pemerintahan;
h. keadilan dan perlindungan hukum;
i. penanggulangan bencana;
j. tempat tinggal;
k. aksesibilitas;
l. Pelayanan publik
m. Keagamaan;
n. Habilitasi dan Rehabilitasi;
o. Konsesi;
p. Pendataan;
q. Komunikasi dan Informasi;
r. Perempuan dan anak; dan
s. Perlindungan dari Tindak Diskriminasi, Penelantaran, Penyiksaan,
dan Ekspoitasi

BAB III
HAK PENYANDANG DISABILITAS

Pasal 6

(1) Penyandang Disabilitas memiliki hak :


a. hidup;
b. bebas dari stigma;
c. privasi;
d. keadilan dan perlindungan hukum;
e. pendidikan;
f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
g. kesehatan;
h. politik dan pemerintah;
i. keagamaan;
j. keolahragaan dan kepemudaan ;
k. kebudayaan dan pariwisata;
l. kesejahteraan sosial;
m. aksesibilitas;
n. pelayanan publik;
o. perlindungan dari bencana;
p. habilitasi dan rehabilitasi;
q. konsesi;
r. pendataan;

109
s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;
t. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi;
u. berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan
v. bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan
eksploitasi.
(2) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), perempuan dengan disabilitas memiliki hak:
a. atas kesehatan reproduksi;
b. menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi;
c. mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan Diskriminasi
berlapis; dan
d. untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari tindak kekerasan,
termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
(3) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), anak penyandang disabilitas memiliki hak:
a. mendapatkan Pelindungan khusus dari Diskriminasi,
penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan
kejahatan seksual;
b. mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga
pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal;
c. dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan;
d. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat
dan hak anak;
e. Pemenuhan kebutuhan khusus;
f. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai
integrasi sosial dan pengembangan individu; dan
g. mendapatkan pendampingan sosial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Penyandang Disabilitas diatur
dalam Peraturan Bupati.

BAB IV
RAGAM PENYANDANG DISABILITAS

Pasal 7

(1) Ragam Penyandang Disabilitas meliputi:


a. Penyandang Disabilitas fisik;
b. Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Penyandang Disabilitas mental, sosial; dan atau
d. Penyandang Disabilitas sensorik.
(2) Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi yang ditetapkan

110
oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB V
PELAKSANAAN PENGHORMATAN, PERLINDUNGAN, DAN
PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8

(1) Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah yang diperlukan


untuk menjamin penanganan Penyandang Disabilitas pada tahap
prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana.
(2) Penanganan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan Akomodasi yang Layak dan
Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas.
(3) Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi dalam
penanggulangan bencana.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta partisipasi
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Bupati.

Pasal 9

(1) Pemerintah Daerah wajib melakukan perencanaan, penyelenggaraan,


dan evaluasi tentang pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas beserta pengawasannya.
(2) Pemerintah Daerah wajib melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. melaksanakan kebijakan pelindungan dan pelayanan
penyandang disabilitas yang telah ditetapkan oleh pemerintah;
b. menetapkan kebijakan, program dan kegiatan pelindungan dan
pelayanan penyandang disabilitas;
c. melakukan koordinasi dan fasilitasi dengan Perangkat Daerah
dalam pelindungan dan pelayanan penyandang disabilitas di
Daerah;
d. melakukan kerja sama dalam pelaksanaan pelindungan dan
pelayanan penyandang disabilitas;
e. memberikan dukungan sarana dan prasarana pelaksanaan
pelayanan penyandang disabilitas;
f. melakukan pendataan penyandang disabilitas secara akurat;

111
g. memfasilitasi penyandang disabilitas melalui organisasinya
untuk melakukan kerja sama regional maupun internasional;
h. mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pelindungan dan
pelayanan penyandang disabilitas setiap tahun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
i. memberikan pelindungan khusus kepada penyandang disabilitas
dengan cara memprioritaskan penyelamatan dan/atau
memberikan pertolongan dan evakuasi kepada penyandang
disabilitas pada saat keadaan darurat dan bencana;
j. mendorong layanan pendidikan dan peningkatan kesadaran
dalam keadaan bencana, baik formal maupun informal, bagi
penyandang disabilitas; dan
k. membina dan mengawasi penyelenggaraan pelindungan dan
pelayanan penyandang disabilitas.
(3) Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati menetapkan program
dan kegiatan aksi pelindungan dan pelayanan penyandang
disabilitas dalam satu Rencana Aksi Daerah Pelindungan dan
Pelayanan Penyandang Disabilitas sebagai dasar bagi Perangkat
Daerah dalam memberikan pelindungan dan pelayanan penyandang
disabilitas.
(4) Rencana Aksi Daerah Pelindungan dan Pelayanan Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan bagian
dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan tanggung jawab
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
diatur dalam Peraturan Bupati.
(6) Dalam hal efektivitas pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah Daerah wajib merumuskannya dalam rencana
induk.
(7) Penyelenggaraan setiap jenis dan bentuk pelaksanaan Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas
dilaksanakan berdasar hasil penilaian kebutuhan Penyandang
Disabilitas.
(8) Setiap OPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang
pelayanan publik berkewajiban melaksanakan penilaian
kebutuhan Penyandang Disabilitas.
(9) Kebutuhan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dikelompokkan dalam kategori berat, sedang dan ringan.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan standar penilaian
untuk masing-masing kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Bupati.

112
Bagian Kedua
Pendidikan

Pasal 10

Hak Penyandang Disabilitas dalam bidang pendidikan meliputi :


(1) mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di
semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan
khusus;
(2) mempunyai Kesamaan Kesempatan untuk menjadi pendidik atau
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan;
(3) mempunyai Kesamaan Kesempatan sebagai penyelenggara
pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis,
jalur, dan jenjang pendidikan; dan
(4) mendapatkan akomodasi yang Layak sebagai peserta didik.

Pasal 11

(1) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud d a la m Pasal 2


ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan atau masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
memberlakukan kualifikasi khusus bagi calon dan atau peserta didik
sepanjang tidak bersifat diskriminatif.

Pasal 12

(1) Penyelenggaraan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas


dilaksanakan melalui Sistem Pendidikan Nasional yaitu
Pendidikan Khusus dan Sistem Pendidikan Inklusif.
(2) Pemerintah Daerah wajib mengikutsertakan anak penyandang
disabilitas dalam program wajib belajar 12 (dua belas) tahun.
(3) Pemerintah Daerah memfasilitasi Penyandang Disabilitas yang tidak
berpendidikan formal untuk mendapatkan ijazah pendidikan dasar
dan menengah melalui program kesetaraan.
(4) Pemerintah Daerah menyediakan beasiswa untuk peserta didik
Penyandang Disabilitas berprestasi yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya.
(5) Pemerintah Daerah wajib menyediakan biaya pendidikan untuk anak
dari Penyandang Disabilitas yang tidak mampu membiayai
pendidikannya.

Pasal 13

(1) Sistem pendidikan khusus sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 12 merupakan sistem pendidikan yang hanya memberikan

113
layanan kepada peserta didik penyandang disabilitas dengan
kurikulum khusus dan proses pembelajaran khusus, dibimbing/
diasuh dengan tenaga pendidik khusus dan tempat belajar yang
khusus.
(2) Sistem pendidikan inklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
merupakan sistem pendidikan yang memberikan peran kepada
semua peserta didik dalam suatu iklim dan proses pembelajaran
bersama tanpa membedakan latar belakang sosial, politik, ekonomi,
etnik, agama/kepercayaan, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik
maupun mental,sehingga sekolah merupakan miniatur masyarakat.

Pasal 14

(1) Penyelenggaraan Pendidikan Khusus dilaksanakan melalui Sekolah


Luar Biasa.
(2) Sekolah Luar Biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
suatu pilihan bagi Penyandang Disabilitas.
(3) Penyelenggaraan Pendidikan Khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. mempersiapkan siswa untuk masuk ke sekolah inklusif atau
sekolah Khusus sebagai suatu pilihan;
b. menyediakan informasi dan konsultasi penyelenggaraan
pendidikan inklusif atau sekolah Khusus; dan
c. menyiapkan guru pembimbing khusus di sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif atau sekolah Khusus.

Pasal 15

(1) Setiap penyelenggara pendidikan pada semua jalur, jenis dan jenjang
pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang setara dan
berkewajiban menerima peserta didik penyandang disabilitas.
(2) Setiap penyelenggara pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berkewajiban memberikan layanan pendidikan yang berkualitas
serta sesuai dengan kondisi dan potensi peserta didik penyandang
disabilitas.

Pasal 16

Setiap penyelenggara pendidikan yang memiliki peserta didik


Penyandang Disabilitas memberikan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan individu siswa dan bersifat afirmatif.

114
Pasal 17

(1) Setiap penyelenggara pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


14, menyediakan sarana, prasarana dan tenaga pendidik yang
memadai sesuai kebutuhan peserta didik Penyandang Disabilitas.
(2) Penyediaan sarana, prasarana dan tenaga pendidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap Sejak
diundangkannya dan sudah harus selesai dilakukan dalam jangka
waktu 5 (Lima) Tahun terhitung semenjak berlakunya Peraturan
Daerah ini.
(3) Pemenuhan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi untuk
mengelola sistem pembelajaran pada sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif dapat dilakukan melalui:
a. pelatihan dalam kegiatan kelompok kerja guru sekolah reguler;
b. pelatihan dalam musyawarah guru mata pelajaran;
c. pelatihan dalam kegiatan kelompok kerja kepala sekolah reguler;
d. pelatihan yang dilakukan khusus untuk tenaga pendidik
sekolah regular;
e. bantuan guru pembimbing khusus dari Pemerintah Daerah;
f. program sertifikasi pendidikan khusus untuk tenaga pendidik
sekolah reguler;
g. pemberian bantuan beasiswa S1, S2, dan S3 pada bidang
pendidikan khusus bagi tenaga pendidik sekolah reguler;
h. tugas belajar pada program pendidikan khusus bagi tenaga
pendidik sekolah reguler; dan
i. pengangkatan guru pembimbing khusus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan sarana,
prasarana dan tenaga pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
di tetapkan dalam Peraturan Bupati.

Pasal 18

OPD yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pendidikan


menyediakan informasi pelayanan publik mengenai sistem pendidikan
khusus dan sistem pendidikan inklusif bagi Penyandang Disabilitas dan
keluarganya.

Pasal 19

(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan satua tugas


(Satgas) layanan disabilitas untuk mendukung penyelenggaraan
pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah.

115
(2) Satgas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi:
a. meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di
sekolah reguler dalam menangani peserta didik Penyandang
Disabilitas;
b. menyediakan pendampingan kepada peserta didik Penyandang
Disabilitas untuk mendukung kelancaran proses pembelajaran;
c. mengembangkan program kompensatorik;
d. menyediakan media pembelajaran dan Alat Bantu yang
diperlukan peserta didik Penyandang Disabilitas;
e. melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik
dan calon peserta didik Penyandang Disabilitas;
f. menyediakan data dan informasi tentang disabilitas;
g. menyediakan layanan konsultasi; dan
h. mengembangkan kerja sama dengan pihak atau lembaga lain
dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik
Penyandang Disabilitas.
(3) Penyediaan dan peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan dalam menangani peserta didik Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan melalui
program dan kegiatan tertentu.
(4) Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan Satgas layanan
disabilitas di pendidikan tinggi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Satgas Layanan
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Bupati.

Pasal 20

(1) Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi lembaga penyelenggara


pendidikan dalam menyediakan Akomodasi yang Layak.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan Akomodasi yang Layak untuk
peserta didik Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 21

(1) Pemerintah Daerah melakukan monitoring dan evaluasi dalam


pelaksanaan kewajiban untuk memenuhi hak pendidikan bagi
Penyandang Disabilitas.
(2) Untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah membentuk Tim
Koordinasi.

116
Pasal 22

(1) Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan dan atau


memfasilitasi pendidikan inklusif dan pendidikan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib
memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk mempelajari
keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk kemandirian dan
partisipasi penuh dalam menempuh pendidikan dan pengembangan
sosial.
(2) Keterampilan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keterampilan menulis-membaca huruf braille dan orientasi
mobilitas untuk Penyandang Disabilitas netra;
b. keterampilan bina persepsi bunyi, komunikasi dan irama
serta bahasa isyarat dan pemajuan identitas linguistik dari
komunitas Penyandang Disabilitas rungu.
c. keterampilan bina diri dan sosial untuk Penyandang Disabilitas
grahita
d. keterampilan bina pribadi dan sosial Penyandang Disabilitas
daksa
e. keterampilan bina pribadi, komunikasi dan sosial Penyandang
Disabilitas daksa, sosial/autis dan atau ganda
f. keterampilan sistem dukungan dan bimbingan sesama
Penyandang Disabilitas.

Bagian Ketiga
Hak Pekerjaan, Kewirausahaan, dan Koperasi
Paragraf 1
Umum

Pasal 23

Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk Penyandang


Disabilitas meliputi hak:
a. memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah, atau swasta tanpa diskriminasi;
b. memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan
Penyandang Disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab
yang sama;
c. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam pekerjaan;
d. tidak diberhentikan karena alasan disabilitas;
e. mendapatkan program kembali bekerja;
f. penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat;

117
g. memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier
serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya; dan
h. memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta,
pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.

Pasal 24

Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan,


pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan
pengembangan karier yang adil dan tanpa Diskriminasi serta
perlindungan ketenagakerjaan kepada tenaga kerja Penyandang
Disabilitas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Pelatihan Kerja

Pasal 25

(1) Setiap tenaga kerja Penyandang Disabilitas mempunyai hak dan


kesempatan mendapatkan pelatihan kerja untuk membekali dan
meningkatkan kompetensinya sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan individu.
(2) Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
oleh lembaga pelatihan kerja antara lain pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau swasta berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus bersifat inklusif dan mudah diakses.
(4) Lembaga pelatihan kerja wajib memberikan sertifikat pelatihan bagi
peserta penyandang disabilitas yang memuat tingkat kompetensi
yang dicapai.

Paragraf 3
Perluasan Kesempatan Kerja

Pasal 26

(1) Pemerintah daerah wajib memberikan perlindungan, pelatihan dan


pendampingan kewirausahaan kepada penyandang disabilitas untuk
mendirikan dan menjalankan unit usaha mandiri.
(2) Pemerintah daerah memfasilitasi penyandang disabilitas untuk
mengembangkan usaha mandiri, melalui :

118
a. melalui kerjasama dan kemitraan dengan pelaku usaha; dan
b. memperoleh akses permodalan untuk usaha mandiri;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
Paragraf 4
Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 27
Penempatan tenaga kerja Penyandang Disabilitas dilakukan oleh:
a. OPD yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang ketenagakerjaan;
dan
b. lembaga swasta yang berbentuk Badan Hukum yang memiliki ijin
pelaksana penempatan tenaga kerja dan/atau perusahaan.

Pasal 28

(1) Penempatan tenaga kerja oleh perangkat daerah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 huruf a dilakukan melalui:
a. penyediaan informasi pasar kerja penyandang disabilitas meliputi
jumlah, jenis, kompetensi dan kebutuhan tenaga kerja
penyandang disabilitas;
b. melaksanakan sosialisasi tentang hak atas pekerjaan bagi
tenaga kerja penyandang disabilitas kepada pelaku usaha dan
masyarakat;
c. menyelenggarakan bursa kerja bagi tenaga kerja penyandang
disabilitas paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun; dan
d. memfasilitasi rekrutmen tenaga kerja penyandang disabilitas.
(2) Penempatan tenaga kerja oleh lembaga swasta sebagaimana
dimaksud dalam pasal 27 huruf b dilaksanakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 29

Pemberi Kerja dalam proses rekrutmen tenaga kerja Penyandang


Disabilitas dapat:
a. melakukan ujian penempatan untuk mengetahui minat, bakat,
dan kemampuan;
b. menyediakan asistensi dalam proses pengisian formulir aplikasi dan
proses lainnya yang diperlukan;
c. menyediakan alat dan bentuk tes yang sesuai dengan kondisi
disabilitas; dan
d. memberikan keleluasaan dalam waktu pengerjaan tes sesuai
dengan kondisi Penyandang Disabilitas.

119
Pasal 30

(1) Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib


memperkerjakan paling sedikit 3% (tiga persen) Penyandang
Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
(2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu
persen) tenaga kerja penyandang disabilitas dari jumlah pekerja
paling sedikit 100 (seratus) orang.
(3) Perusahaan swasta yang menggunakan teknologi tinggi dan
mempekerjakantenaga kerja kurang dari 100 (seratus) orang
wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) tenaga kerja
penyandang disabilitas.
(4) Penerimaan pegawai atau pekerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus memenuhi persyaratan dan
ketentuan yang berlaku.

Paragraf 5
Fasilitas Kerja

Pasal 31

(1) Pemberi Kerja wajib menyediakan Akomodasi yang Layak dan


fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja Penyandang
Disabilitas.
(2) Pemberi Kerja wajib membuka mekanisme pengaduan atas tidak
terpenuhi hak Penyandang Disabilitas.
(3) Pemerintah Daerah wajib menyosialisasikan penyediaan
Akomodasi yang Layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh
tenaga kerja Penyandang Disabilitas.

Pasal 32

Pemberi Kerja dalam penempatan tenaga kerja Penyandang Disabilitas


dapat:
a. memberikan kesempatan untuk masa orientasi atau adaptasi di
awal masa kerja untuk menentukan apa yang diperlukan, termasuk
penyelenggaraan pelatihan atau magang;
b. menyediakan tempat bekerja yang fleksibel dengan menyesuaikan
kepada ragam disabilitas tanpa mengurangi target tugas kerja;
c. menyediakan waktu istirahat;
d. menyediakan jadwal kerja yang fleksibel dengan tetap memenuhi
alokasi waktu kerja;
e. memberikan asistensi dalam pelaksanaan pekerjaan dengan
memperhatikan kebutuhan khusus Penyandang Disabilitas; dan
f. memberikan izin atau cuti khusus untuk pengobatan.

120
Pasal 33

(1) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada perusahaan


swasta yang mempekerjakan Penyandang Disabilitas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Bupati.

Paragraf 6
Pengawasan Kerja

Pasal 34

(1) OPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang


ketenagakerjaan berkewajiban melakukan pengawasan terhadap
perusahaan daerah dan atau perusahaan swasta.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan berdasar peraturan
perundang-undangan.

Paragraf 7
Satgas Layanan Disabilitas pada Ketenagakerjaan

Pasal 35

(1) Pemerintah Daerah memiliki Satgas Layanan Disabilitas pada


dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintah daerah di bidang
ketenagakerjaan.
(2) Tugas Satgas Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. merencanakan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan
hak atas pekerjaan Penyandang Disabilitas;
b. memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah, dan
perusahaan swasta mengenai proses rekrutmen, penerimaan,
pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan
pengembangan karier yang adil dan tanpa Diskriminasi kepada
Penyandang Disabilitas;
c. menyediakan pendampingan kepada tenaga kerja Penyandang
Disabilitas;
d. menyediakan pendampingan kepada Pemberi Kerja yang
menerima tenaga kerja Penyandang Disabilitas; dan
e. mengoordinasikan S a t g a s Layanan Disabilitas, Pemberi Kerja,
dan tenaga kerja dalam Pemenuhan dan penyediaan Alat Bantu
kerja untuk Penyandang Disabilitas.
(3) Anggaran pembentukan Satgas Layanan Disabilitas berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

121
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Satgas Layanan Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Bupati.

Bagian Keempat Kesehatan


Paragraf 1
Umum

Pasal 36

Hak kesehatan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses dalam
pelayanan kesehatan;
b. memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas sumber daya di
bidang kesehatan;
c. memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau;
d. memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya;
e. memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya;
f. memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping yang rendah;
g. memperoleh pelindungan dari upaya percobaan medis; dan
h. memperoleh pelindungan dalam penelitian dan pengembangan
kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek.

Pasal 37

Penyandang disabilitas tidak dapat diartikan sebagai individu yang


tidak sehat jasmani dan rohani.

Paragraf 2
Upaya Pelayanan Kesehatan

Pasal 38

(1) Pemerintah Daerah, dan swasta wajib memastikan fasilitas


pelayanan kesehatan menerima pasien Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah Daerah, dan swasta wajib menyediakan fasilitas
pelayanan kesehatan kepada Penyandang Disabilitas tanpa
Diskriminasi sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 39

Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan Upaya Pelayanan


Kesehatan berdasarkan pada kemudahan, keamanan, kenyamanan,

122
cepat yang berkualitas dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
penyandang disabilitas yang memerlukan.

Pasal 40

Upaya Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39


meliputi:
a. promotif;
b. preventif;
c. kuratif; dan
d. rehabilitatif.

Pasal 41

Upaya Pelayanan Kesehatan dalam bentuk kegiatan promotif


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a meliputi:
a. penyebarluasan informasi tentang disabilitas;
b. penyebarluasan informasi tentang pencegahan disabilitas; dan
c. penyuluhan tentang deteksi dini disabilitas.

Pasal 42

Upaya Pelayanan Kesehatan dalam bentuk kegiatan preventif


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b meliputi upaya
pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan yang diberikan kepada
penyandang disabilitas selama hidup dengan menciptakan lingkungan
hidup yang sehat dengan menyertakan peran serta masyarakat.

Pasal 43

(1) Upaya Pelayanan Kesehatan dalam bentuk kegiatan kuratif


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c dilakukan melalui
pemberian pelayanan kesehatan dan pengobatan.
(2) Pelayanan kesehatan dan pengobatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan melalui home care, dan puskesmas keliling
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ditunjuk dalam wilayah
kerjanya.
(3) Pelayanan kesehatan dan pengobatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), harus sesuai dengan indikasi medis penyandang
disabilitas.
(4) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan dengan:

123
a. standar pelayanan minimal yang berprespektif disabilitas;
b. perawatan yang berkualitas dari tenaga kesehatan yang
profesional;
c. upaya aktif petugas kesehatan mendatangi Penyandang
Disabilitas yang membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai
indikasi medis;
d. perlu dukungan penuh dari keluarga, masyarakat dan petugas
sosial kecamatan; dan
e. persetujuan Penyandang Disabilitas dan atau walinya atas
tindakan medis yang dilakukan.

Pasal 44

(1) Upaya Pelayanan Kesehatan yang bersifat rehabilitatif


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d dilaksanakan melalui
home care puskesmas.
(2) Untuk pelayanan khusus dapat dilayani di rumah sakit umum
daerah dan
(3) rumah sakit swasta sesuai dengan indikasi medis.

Pasal 45

Upaya Pelayanan Kesehatan dalam bentuk kegiatan rehabilitatif


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 didukung dengan peran serta
penuh dari keluarga dan masyarakat.

Paragraf 3
Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pasal 46

Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin ketersediaan alat dan


perbekalan kesehatan serta obat dalam rangka memberikan pelayanan
kesehatan yang aman dan bermutu bagi Penyandang Disabilitas baik
ditingkat pertama maupun ditingkat lanjutan.

Pasal 47

Pemerintah Daerah melakukan koordinasi dengan penyelenggara


kesehatan swasta untuk menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan
kesehatan.

124
Pasal 48

Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


47, meliputi:
a. pelayanan kesehatan tingkat pertama, berupa pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama (klinik,
dokter dan dokter gigi praktek mandiri)
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua, berupa pelayanan kesehatan
spesialistik yang diberikan oleh rumah sakit swasta dan
c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga, berupa pelayanan kesehatan sub
spesialistik yang diberikan oleh rumah sakit kelas A, kelas B dan
Kelas C.

Pasal 49

(1) Dalam hal tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan


kewenangan dalam pelayanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas
belum tersedia, tenaga kesehatan yang ada di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama wajib merujuk kepada tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam pelayanan
kesehatan bagi Penyandang Disabilitas pada fasilitas pelayanan
kesehatan lain.
(2) Merujuk Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal.
(3) Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan
dalam bentuk pengiriman pasien dan spesimen, dan melalui
telemedisin.
(4) Ketentuan mengenai mekanisme rujukan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50

Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan alat nonkesehatan yang


dibutuhkan oleh Penyandang Disabilitas di fasilitas pelayanan
kesehatan.

Pasal 51

(1) Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pelatihan tenaga


kesehatan di wilayahnya agar mampu memberikan pelayanan yang
sesuai dengan ragam Penyandang Disabilitas.
(2) Pelayanan yang sesuai dengan ragam Penyandang Disabilitas

125
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pelatihan Bahasa Isyarat bagi petugas frontline layanan kesehatan;
b. Pelatihan pembuatan alat bantu seperti pembuatan alat orthotic
dan prosthetic.

Pasal 52

(1) Fasilitas perawatan untuk pasien Penyandang Disabilitas mental


harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip keselamatan dan
kepuasan pasien.
(2) Prinsip keselamatan dan kepuasan pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan.

Paragraf 4
Kesehatan Reproduksi

Pasal 53

Setiap Penyandang Disabilitas berhak:


a. Menjalani dan menentukan kehidupan reproduksi dan kehidupan
seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan atau
kekerasan serta tetap menghormati nilai-nilai luhur yang tidak
merendahkan martabat manusia sesuai norma agama.
b. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi
sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
c. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 54

Pelayanan Kesehatan reproduksi meliputi :


a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual;
dan
c. kesehatan sistem reproduksi.

Bagian Kelima
Kesejahteraan Sosial

Pasal 55

126
Hak kesejahteraan sosial untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial.
Pasal 56

Setiap Penyandang Disabilitas mempunyai hak dan atau kesempatan


untuk mendapatkan:
a. rehabilitasi sosial;
b. jaminan sosial;
c. pemberdayaan sosial; dan
d. perlindungan sosial.

Pasal 57

Pemerintah Daerah wajib menjamin akses bagi Penyandang Disabilitas


untuk mendapatkan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, dan perlindungan sosial.

Pasal 58

Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a


dimaksudkan untuk:
a. mengubah paradigma masyarakat dan menghapus stigma negatif
terhadap Penyandang Disabilitas; dan
b. memulihkan dan mengembangkan kemampuan Penyandang
Disabilitas agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam
masyarakat.

Pasal 59

(1) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, diberikan


oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk:
a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan Aksesibilitas;
h. bantuan dan asistensi sosial;
i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan atau
k. rujukan.

127
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara persuasif, motivatif, dan koersif oleh keluarga,
masyarakat, dan institusi sosial.
(3) Pemerintah Daerah dapat membentuk UPT yang menangani khusus
disabilitas dibawah OPD yang terkait.
(4) Bagi Institusi Sosial non Pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan
rehabilitasi sosial seperti yang tercantum pada pasal 58 ayat 1
diberikan dukungan subsidi biaya rutin meliputi biaya makan, honor
pekerja sosial/pendamping/pengasuh, biaya daya dan jasa, biaya
rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana serta biaya
pengembangan dan vokasional lain.

Pasal 60

(1) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b


diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk Penyandang Disabilitas
miskin atau yang tidak memiliki penghasilan.
(2) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial, bantuan langsung
berkelanjutan, dan bantuan khusus.
(3) Asuransi Kesejahteraan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatas diberikan dalam bentuk bantuan iuran jaminan sosial oleh
Pemerintah Daerah.

128
Pasal 61

(1) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56


huruf c dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui:
a. peningkatan kemauan dan kemampuan;
b. penggalian potensi dan sumber daya;
c. penggalian nilai dasar;
d. pemberian akses; dan atau
e. pemberian bantuan usaha.
(2) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
dalam bentuk:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b. pelatihan dan pendampingan;
c. pemberian stimulan;
d. peningkatan akses pemasaran hasil usaha;
e. penguatan kelembagaan dan kemitraan; dan
f. bimbingan lanjut.

Pasal 62

Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d


dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui:
a. bantuan sosial;
b. advokasi sosial; dan atau
c. bantuan hukum.

Pasal 63

Pemerintah Daerah melalui OPD yang mempunyai tugas pokok dan


fungsi di bidang sosial menjadi penyelenggara dan fasilitator pelaksanaan
penyelenggaraan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial
dan perlindungan sosial bagi Penyandang Disabilitas.

Bagian Keenam
Kebudayaan, Pariwisata dan Olah Raga
Paragraf 1
Umum

Pasal 64

Setiap Penyandang Disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang


sama untuk melakukan kegiatan dan menikmati Kebudayaan, Pariwisata
dan Olah Raga secara aksesibel.

129
Pasal 65

Pemerintah Daerah dan masyarakat mengakui, menghormati dan


mendukung pengembangan identitas bahasa isyarat, simbol braille dan
budaya spesifik penyandang disabilitas yang berlaku.

Pasal 66

(1) OPD yang mempunyai tugas dan fungsi dalam bidang


Kebudayaan, Pariwisata dan Olah Raga mengkoordinasikan dan
memfasilitasi pengembangan seni, budaya, dan olah raga bagi
Penyandang Disabilitas.
(2) OPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan
penghargaan kepada penyandang disabilitas yang berprestasi dalam
Kebudayaan, Pariwisata dan Olah Raga yang sejajar dengan atlit atau
seniman yang bukan Penyandang Disabilitas.
(3) Jenis penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
antara lain :
a. Piagam;
b. Sertifikat;
c. Lencana;
d. Tropi;
e. Insentif atau dana pembinaan; dan
f. Direkrut menjadi ASN atau Aparatur Sipil Negara.

Paragraf 2
Kebudayaan dan Pariwisata

Pasal 67

Hak kebudayaan dan pariwisata untuk Penyandang Disabilitas meliputi


hak:
a. memperoleh kesamaan dan kesempatan untuk berpartisipasi secara
aktif dalam kegiatan seni dan budaya;
b. memperoleh Kesamaan Kesempatan untuk melakukan kegiatan
wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi pekerja pariwisata, dan
atau berperan dalam proses pembangunan pariwisata; dan
c. mendapatkan kemudahan untuk mengakses, perlakuan, dan
akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhannya sebagai
wisatawan.

130
Pasal 68

(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin Aksesibilitas bagi Penyandang


Disabilitas untuk mendapatkan layanan kebudayaan dan pariwisata.
(2) Layanan pariwisata yang mudah diakses bagi Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tersedianya informasi pariwisata dalam bentuk audio, visual,
dan taktil; dan
b. tersedianya pemandu wisata yang memiliki kemampuan untuk
mendeskripsikan objek wisata bagi wisatawan Penyandang
Disabilitas netra, memandu wisatawan Penyandang Disabilitas
rungu dengan bahasa isyarat, dan memiliki keterampilan
memberikan bantuan mobilitas.

Pasal 69

(1) Pemerintah Daerah wajib mengembangkan potensi dan


kemampuan seni budaya Penyandang Disabilitas.
(2) Pengembangan potensi dan kemampuan seni budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memfasilitasi dan menyertakan Penyandang Disabilitas dalam
kegiatan seni budaya;
b. mengembangkan kegiatan seni budaya khusus Penyandang
Disabilitas; dan
c. memberikan penghargaan kepada seniman Penyandang
Disabilitas atas karya seni terbaik.

Pasal 70

Penyandang Disabilitas berhak untuk mendapatkan pengakuan dan


dukungan atas identitas budaya dan linguistik.

Pasal 71

(1) Pemerintah Daerah wajib melindungi hak kekayaan intelektual


Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah Daerah wajib melindungi dan memajukan budaya
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan hak Penyandang
Disabilitas.

131
Paragraf 3
Keolahragaan dan Kepemudaan

Pasal 72

Hak keolahragaan dan kepemudaan untuk Penyandang Disabilitas


meliputi hak:
a. melakukan kegiatan keolahragaan dan kepemudaan;
b. mendapatkan penghargaan yang sama dalam kegiatan keolahragaan
dan kepemudaan;
c. memperoleh pelayanan dalam kegiatan keolahragaan dan
kepemudaan;
d. memperoleh sarana dan prasarana keolahragaan dan kepemudaan
yang mudah diakses;
e. memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga dan kepemudaan;
f. memperoleh pengarahan, dukungan, bimbingan, pembinaan, dan
pengembangan dalam keolahragaan dan kepemudaan;
g. menjadi pelaku keolahragaan dan kepemudaan;
h. mengembangkan industri keolahragaan dan kepemudaan;
i. meningkatkan prestasi keolahragaan dan kepemudaan serta
mengikuti kejuaraan di semua tingkatan; dan
j. memperoleh insentif atau dana pembinaan.

Pasal 73

(1) Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem keolahragaan


untuk Penyandang Disabilitas yang meliputi:
a. keolahragaan pendidikan;
b. keolahragaan rekreasi; dan
c. keolahragaan prestasi.
(2) Pengembangan sistem keolahragaan untuk Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan jenis
olahraga khusus untuk Penyandang Disabilitas yang sesuai dengan
kondisi dan ragam disabilitasnya.

Pasal 74

Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan olahraga untuk


Penyandang Disabilitas yang dilaksanakan dan diarahkan untuk
meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan prestasi olahraga.

132
Bagian Ketujuh
Pemberitaan

Pasal 75

(1) Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi Penyandang Disabilitas


dari pemberitaan negatif dan atau perlakuan diskriminatif dengan
bermitra dengan media massa.
(2) Perlindungan dari pemberitaan negatif dan atau perlakuan
diskriminatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara:
a. melakukan pelatihan untuk meningkatkan kepekaan/sensitifitas
tentang penyandang disabilitas bagi pekerja media dan pekerja
seni;
b. mengoordinasikan dan memfasilitasi edukasi disabilitas bagi
pekerja media dan pekerja seni;
c. mengoordinasikan dan memfasilitasi upaya pengembangan
stigma positif dan pemberitaan prestasi Penyandang Disabilitas.

Bagian Kedelapan
Politik dan Pemerintah

Pasal 76

Hak politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. memilih dan dipilih dalam jabatan politik dan jabatan publik
pemerintahan;
b. menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;
c. memilih partai politik dan atau individu yang menjadi peserta
dalam pemilihan umum;
d. membentuk, menjadi anggota, dan atau pengurus organisasi politik
dan organisasi masyarakat, yayasan
e. membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang
Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat
lokal, nasional, dan internasional;
f. berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada
semua tahap dan atau bagian penyelenggaraannya;
g. memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana
penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan presiden,
pemilihan gubernur, bupati/walikota, pemilihan legislatif dan DPD
serta kepala desa atau nama lain; dan
h. memperoleh pendidikan politik dan pemerintahan.

133
Pasal 77

(1) Setiap Penyandang Disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang


sama dalam menyampaikan pendapat baik secara lisan, tertulis
maupun dengan bahasa isyarat.
(2) Penyampaian pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara langsung maupun melalui media cetak atau
elektronik.
(3) Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi proses penyampaian
pendapat oleh Penyandang Disabilitas.

Pasal 78

(1) Setiap Penyandang Disabilitas berhak mendirikan dan atau ikut


serta dalam organisasi.
(2) Hak mendirikan dan atau ikut serta dalam organisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan cara :
a. tidak bersikap diskriminatif kepada Penyandang Disabilitas
dalam setiap organisasi;
b. tidak membatasi Penyandang Disabilitas untuk ikut serta dalam
organisasi tertentu;
c. memberikan kesempatan yang sama kepada Penyandang
Disabilitas untuk dipilih atau memilih pimpinan dalam setiap
organisasi; dan
d. mendapatkan hak aksebilitas di setiap organisasi yang ada
Penyandang Disabilitas.

Pasal 79

(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi terselenggaranya pendidikan


politik secara berkala, terencana, terarah dan berkesinambungan
bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh OPD yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi di
bidang Politik.

Pasal 80

Pemerintah Daerah memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk:


a. mendapatkan sosialisasi tentang pemilihan umum; dan
b. mendapatkan informasi, teknis dan atau asistensi tentang

134
penyelenggaraan pemilihan umum yang sesuai dengan jenis
kebutuhan.

Pasal 81

(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas


dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan
politik dan publik secara langsung atau melalui perwakilan.
(2) Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi
Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih.

Pasal 82

Penyandang Disabilitas berhak untuk menduduki jabatan politik, jabatan


publik dan pemerintahan.

Pasal 83

Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik Penyandang Disabilitas


dengan memperhatikan keragaman disabilitas dalam pemilihan umum,
pemilihan kepala daerah, dan pemilihan kepala desa atau nama lain,
termasuk:
a. berpartisipasi langsung untuk ikut dalam kegiatan dalam
pemilihan umum, pemilihan presiden, pemilihan gubernur,
bupati, pemilihan legislatif dan DPD dan pemilihan kepala desa atau
nama lain;
b. mendapatkan hak untuk didata sebagai pemilih dalam pemilihan
umum, pemilihan presiden, pemilihan gubernur, bupati/
walikota, pemilihan legislatif dan DPD dan pemilihan kepala desa
dan atau pemilihan lainnya
c. memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan Alat Bantu pemilihan
bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan;
d. melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk memilih secara
langsung, umum, bebas dan rahasia tanpa intimidasi;
e. melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk mencalonkan diri
dalam pemilihan, untuk memegang jabatan, dan melaksanakan
seluruh politik dan publik dalam semua tingkat pemerintahan;
f. menjamin Penyandang Disabilitas agar dapat memanfaatkan
penggunaan teknologi baru untuk membantu pelaksanaan tugas;
g. menjamin kebebasan Penyandang Disabilitas untuk memilih
pendamping sesuai dengan pilihannya sendiri;
h. mendapatkan informasi, sosialisasi, dan simulasi dalam setiap

135
tahapan dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati,
dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan
i. menjamin terpenuhinya hak untuk terlibat sebagai penyelenggara
dalam pemilihan umum, pemilihan presiden, pemilihan gubernur,
bupati, pemilihan legislatif dan DPD serta pemilihan kepala desa dan
atau pemilihan lainnya.

Pasal 84

Pemerintah Daerah memfasilitasi keikutsertaan individu dan atau


organisasi penyandang disabilitas dalam kegiatan perencanaan program
pembangunan di desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.

Bagian Kesembilan
Keadilan dan Perlindungan Hukum

Pasal 85

Pemerintah Daerah wajib menjamin dan melindungi hak Penyandang


Disabilitas sebagai subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum
yang sama dengan lainnya.

Pasal 86

(1) Penegak hukum sebelum memeriksa Penyandang Disabilitas wajib


meminta pertimbangan atau saran dari:
a. dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan;
b. psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan; dan atau
c. pekerja sosial mengenai kondisi psikososial.
(2) Dalam hal pertimbangan atau saran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan, maka
dilakukan penundaan hingga waktu tertentu.

Pasal 87

Penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak


penyandang disabilitas wajib mengizinkan kepada orang tua atau
keluarga anak dan pendamping atau penerjemah untuk mendampingi
anak penyandang disabilitas.
Pasal 88

Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan


penetapan pengadilan negeri.

136
Pasal 89

(1) Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal


88 diajukan melalui permohonan kepada pengadilan negeri tempat
tinggal Penyandang Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada alasan yang jelas dan wajib menghadirkan atau
melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan atau psikiater.
(3) Keluarga Penyandang Disabilitas berhak menunjuk seseorang
untuk mewakili kepentingannya pada saat Penyandang Disabilitas
ditetapkan tidak cakap oleh pengadilan negeri.
(4) Dalam hal seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditunjuk mewakili kepentingan Penyandang Disabilitas melakukan
tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau
hilangnya hak kepemilikan Penyandang Disabilitas wajib
mendapat penetapan dari pengadilan negeri.

Pasal 90

(1) Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88


dapat dibatalkan.
(2) Pembatalan penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal
Penyandang Disabilitas.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh Penyandang Disabilitas atau keluarganya dengan
menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan
atau psikiater bahwa yang bersangkutan dinilai mampu dan cakap
untuk mengambil keputusan.

Pasal 91

(1) Pemerintah Daerah menyediakan sarana dan prasarana yang


diperlukan penyandang disabilitas yang terlibat permasalahan
hukum.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan pelayanan
pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Bupati.

Pasal 92

Pemerintah Daerah wajib melakukan sosialisasi perlindungan


hukum kepada masyarakat dan aparatur negara tentang Pelindungan
Penyandang Disabilitas.

137
(1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pencegahan;
b. pengenalan tindak pidana; dan
c. laporan dan pengaduan kasus eksploitasi, kekerasan, dan
pelecehan.

Bagian Kesepuluh
Aksesibilitas

Pasal 93

Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; dan
b. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai bentuk Aksesibilitas
bagi individu.

Pasal 94

(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat berkewajiban mewujudkan


dan memfasilitasi terwujudnya aksesibilitas penggunaan fasilitas
umum bagi penyandang disabilitas sesuai dengan kewenangannya.
(2) Fasilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bangunan gedung;
b. jalan;
c. permukiman;
d. ruang terbuka hijau; dan
e. transportasi publik.

Pasal 95

Upaya perwujudan aksesibilitas penggunaan fasilitas umum


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 harus memenuhi prinsip
kemudahan, keamanan/keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan
kemandirian dalam hal menuju, mencapai, memasuki dan
memanfaatkan fasilitas umum.

Pasal 96

(1) Aksesibilitas penggunaan fasilitas umum sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 95 meliputi aksesibilitas fisik dan aksesibilitas non fisik.
(2) Aksesibilitas fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)vmeliputi
aksesibilitas pada bangunan gedung, jalan, permukiman, Ruang
Terbuka Hijau.

138
(3) Aksesibilitas non fisik meliputi kemudahan dalam hal :
a. pelayanan informasi;dan
b. pelayanan khusus.
(4) Pelayanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
berupa penjelasan melalui media yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan para penyandang disabilitas dalam hal menggunakan
fasilitas yang ada pada bangunan gedung, jalan, permukiman,
pertamanan dan permakaman.
(5) Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
berupa bantuan yang diberikan secara khusus kepada penyandang
disabilitas yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya dalam hal
menggunakan fasilitas yang ada pada bangunan gedung, jalan,
permukiman, pertamanan dan permakaman.

Paragraf 1
Bangunan Gedung

Pasal 97

(1) Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2)


huruf a memiliki fungsi:
a. hunian;
b. keagamaan;
c. usaha;
d. sosial dan budaya;
e. olahraga; dan
f. khusus.
(2) Bangunan gedung yang mudah diakses oleh Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi
dengan fasilitas dan aksesibilitas dengan mempertimbangkan
kebutuhan, fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyediaan sarana, prasarana dan tenaga pendidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap Sejak
diundangkannya dan sudah harus selesai dilakukan dalam jangka
waktu 5 (Lima) tahun terhitung semenjak berlakunya Peraturan
Daerah ini.

Pasal 98

(1) Pemerintah Daerah wajib mencantumkan ketersediaan fasilitas yang


mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagai salah satu syarat
dalam permohonan izin mendirikan bangunan.

139
(2) Pemerintah Daerah wajib melakukan audit terhadap ketersediaan
fasilitas Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas pada setiap
bangunan gedung.
(3) Pemeriksaan kelaikan fungsi terhadap ketersediaan fasilitas dan
Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas merupakan syarat dalam
penerbitan dan perpanjangan sertifikat laik fungsi bangunan gedung.
(4) Dalam hal bangunan gedung sudah memenuhi syarat audit
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah wajib menerbitkan
sertifikat laik fungsi.
(5) Pemerintah Daerah wajib menyusun mekanisme audit fasilitas
Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas.
(6) Pemeriksaan kelaikan fungsi fasilitas dan Aksesibilitas bagi
Penyandang Disabilitas dilaksanakan oleh penyedia jasa pengawasan
atau manajemen konstruksi bersertifikat.
(7) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan
dengan mengikutsertakan organisasi Penyandang Disabilitas
dan/atau Penyandang Disabilitas yang memiliki keahlian di bidang
bangunan gedung.

Pasal 99

Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi penyediaan fasilitas yang


mudah diakses pada bangunan rumah tinggal tunggal yang dihuni oleh
Penyandang Disabilitas.

Paragraf 2
Jalan

Pasal 100

Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) huruf b


merupakan jalan yang digunakan untuk masyarakat, yang dilengkapi
dengan perlengkapan jalan sebagai berikut :
a. rambu lalulintas;
b. marka jalan;
c. alat pemberi isyarat lalulintas;
d. alat penerangan jalan;
e. alat pengendali dan pengaman pengguna jalan;
f. alat pengawasan dan pengamanan jalan;
g. fasilitas untuk sepeda,pejalan kaki dan penyandang disabilitas;
h. fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan;
i. akses ke, dan dari jalan umum;

140
j. akses ke tempat pemberhentian bis/kendaraan;
k. jembatan penyeberangan;
l. jalur penyeberangan bagi pejalan kaki;
m. tempat parkir dan naik turun penumpang;
n. tempat pemberhentian kendaraan umum;
o. trotoar bagi pejalan kaki/pemakai kursi roda; dan
p. terowongan penyeberangan.

Pasal 101

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas untuk pejalan


kaki yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Fasilitas untuk pejalan kaki yang mudah diakses sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 102

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan tempat penyeberangan


pejalan kaki yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Persyaratan mengenai tempat penyeberangan pejalan kaki yang
mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Paragraf 5
Transportasi Publik

Pasal 103

(1) Transportasi publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2)


huruf e meliputi transportasi publik yang disediakan oleh pemerintah
daerah seperti angkutan kota, bus sekolah harus dilengkapi dengan :
a. kondisi keluar masuk terminal harus landai;
b. kondisi peturasan yang dapat dimanfaatkan penyandang disabilitas
dan orang sakit tanpa bantuan pihak lain;
c. pengadaan jalur khusus akses keluar masuk terminal;
d. konstruksi tempat pemberhentian kendaraan umum yang sejajar
dengan permukaan pintu masuk kendaraan umum;
e. pemberian kemudahan dalam pembelian tiket;
f. pada terminal angkutan umum dilengkapi dengan papan
informasi tentang daftar trayek angkutan jalan dilengkapi dengan
rekaman petunjuk yang dapat dibunyikan bila dibutuhkan (atau
ditulis dengan huruf braille);
g. pada tempat pemberhentian kendaraan umum dapat dilengkapi

141
dengan daftar trayek dilengkapi dengan rekaman yang dapat
dibunyikan bila dibutuhkan (atau ditulis dengan huruf braille);
h. pada tempat penyeberangan jalan yang dikendalikan dengan alat
pemberi isyarat lalu lintas yang sering dilalui oleh penyandang
disabiiltas netra, dapat dilengkapi dengan alat pemberi isyarat
bunyi pada saat alat pemberi isyarat untuk pejalan kaki berwarna
hijau atau merah;
i. ruang yang dirancang dan disediakan secara khusus untuk
penyandang disabiiltas dan orang sakit guna memberikan
kemudahan dalam bergerak; dan
j . f asilitas lain sebagaimana diatur dalam undang-undang
(2) Pemerintah Daerah menyediakan sarana dan prasarana transportasi
publik yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sesuai
peraturan yang berlaku.

Pasal 104

(1) Fasilitas umum setelah berlakunya peraturan daerah ini harus


telah memenuhi syarat aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas.
(2) Fasilitas umum yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah
ini, harus menyesuaikan syarat aksesibiltas bagi Penyandang
Disabilitas paling lama 10 (sepuluh) tahun dari saat berlakunya
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kesebelas
Hak Pelayanan Publik

Pasal 105

Hak Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam Pelayanan Publik secara
optimal, wajar, bermartabat tanpa Diskriminasi; dan
b. pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah
diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan biaya.

Pasal 106

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan Pelayanan


Publik yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
pelayanan jasa transportasi publik.
(3) Pelayanan Publik yang mudah diakses sebagaimana dimaksud pada

142
ayat (1) diselenggarakan oleh institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-
undang untuk kegiatan Pelayanan Publik, dan badan hukum lain
yang dibentuk untuk Pelayanan Publik.
(4) Pendanaan Pelayanan Publik bagi Penyandang Disabilitas bersumber
dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. anggaran dan pendapatan belanja daerah; dan atau
c. anggaran korporasi atau badan hukum yang menyelenggarakan
Pelayanan Publik.

Pasal 107

(1) Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan dan menyosialisasikan


Pelayanan Publik yang mudah diakses sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 kepada Penyandang Disabilitas dan masyarakat.
(2) Penyelenggara Pelayanan Publik wajib menyediakan panduan
Pelayanan Publik yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.

Pasal 108

(1) Pelayanan jasa transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


107 ayat (2) terdiri dari pelayanan jasa transportasi darat,
transportasi kereta api, transportasi laut, dan transportasi udara.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan
korporasi atau badan hukum dalam menyediakan pelayanan jasa
transportasi publik.

Bagian Kedua Belas


Habilitasi dan Rehabilitasi

Pasal 109

Hak habilitasi dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi


hak:
a. mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi sejak dini dan secara
inklusif sesuai dengan kebutuhan;
b. bebas memilih bentuk rehabilitasi yang akan diikuti; dan
c. mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi yang tidak merendahkan
martabat manusia.

Pasal 110

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan atau memfasilitasi


layanan habilitasi dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas.

143
(2) Habilitasi dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mencapai, mempertahankan, dan mengembangkan kemandirian,
kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilan Penyandang
Disabilitas secara maksimal; dan
b. memberi kesempatan untuk berpartisipasi dan berinklusi di
seluruh aspek kehidupan.

Pasal 111

Habilitasi dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas berfungsi


sebagai:
a. sarana pendidikan dan pelatihan keterampilan hidup;
b. sarana antara dalam mengatasi kondisi disabilitasnya; dan
c. sarana untuk mempersiapkan Penyandang Disabilitas agar dapat
hidup mandiri dalam masyarakat.

Pasal 112

Penanganan habilitasi dan rehabilitasi Penyandang Disabilitas


dilakukan dalam bentuk:
a. layanan habilitasi dan rehabilitasi dalam keluarga dan masyarakat; dan
b. layanan habilitasi dan rehabilitasi dalam lembaga.

Pasal 113

Ketentuan lebih lanjut mengenai layanan habilitasi dan rehabilitasi


diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga Belas


Konsesi

Pasal 114

(1) Pemerintah Daerah wajib memberikan Konsesi untuk Penyandang


Disabilitas.
(2) Ketentuan mengenai besar dan jenis konsesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 115

Pemerintah Daerah mengupayakan pihak swasta untuk memberikan


Konsesi untuk Penyandang Disabilitas.

144
Pasal 116

(1) Pemerintah Daerah memberikan insentif bagi perusahaan


swasta yang memberikan Konsesi untuk Penyandang Disabilitas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Bupati.

Bagian Keempat Belas


Pendataan

Pasal 117

Hak pendataan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam kegiatan
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil;
b. mendapatkan dokumen kependudukan; dan
c. mendapatkan kartu Penyandang Disabilitas.

Pasal 118

(1) Penyandang Disabilitas yang belum terdata dalam pendataan dapat


secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau
nama lain di tempat tinggalnya.
(2) Lurah atau kepala desa wajib menyampaikan pendaftaran atau
perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada bupati
melalui camat.
(3) Bupati menyampaikan pendaftaran atau perubahan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur untuk
diteruskan kepada Menteri.
(4) Dalam hal diperlukan, bupati dapat melakukan verifikasi dan
validasi terhadap pendaftaran atau perubahan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).

Bagian Kelima Belas


Hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat

Pasal 119

Hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat untuk


Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. mobilitas pribadi dengan penyediaan Alat Bantu dan kemudahan
untuk mendapatkan akses;

145
b. mendapatkan kesempatan untuk hidup mandiri di tengah
masyarakat;
c. mendapatkan pelatihan dan pendampingan untuk hidup secara
mandiri;
d. menentukan sendiri atau memperoleh bantuan dari Pemerintah
dan Pemerintah Daerah untuk menetapkan tempat tinggal dan atau
pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti;
e. mendapatkan akses ke berbagai pelayanan, baik yang diberikan di
dalam rumah, di tempat permukiman, maupun dalam masyarakat;
dan
f. mendapatkan akomodasi yang wajar untuk berperan serta dalam
kehidupan bermasyarakat.

Bagian Keenam Belas


Komunikasi dan Informasi

Pasal 120

Hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi untuk


Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat;
b. mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang
mudah diakses; dan
c. menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi
berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentatif dalam
interaksi resmi.

Paragraf 1
Komunikasi

Pasal 121

(1) Pemerintah Daerah wajib mengakui, menerima dan memfasilitasi


komunikasi Penyandang Disabilitas dengan menggunakan cara
tertentu.
(2) Komunikasi dengan menggunakan cara tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara, alat, dan bentuk
lainnya yang dapat dijangkau sesuai dengan pilihan Penyandang
Disabilitas dalam berinteraksi.

146
Paragraf 2
Informasi

Pasal 122

(1) Pemerintah Daerah wajib menjamin akses atas informasi untuk


Penyandang Disabilitas.
(2) Akses atas informasi untuk Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk audio dan visual.

Pasal 123

(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi dalam bentuk yang


dapat dijangkau dan dipahami sesuai dengan keragaman disabilitas
dan kondisi tempat tinggalnya.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapatkan
secara tepat waktu dan tanpa biaya tambahan.

Bagian Ketujuh Belas


Perempuan dan Anak

Pasal 124

Pemerintah Daerah wajib menyediakan unit layanan informasi dan


tindak cepat untuk perempuan dan anak penyandang disabilitas yang
menjadi korban kekerasan.

Bagian Kedelapan Belas


Hak Kewarganegaraan

Pasal 125

Hak kewarganegaraan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:


a. berpindah, mempertahankan, atau memperoleh kewarganegaraan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. memperoleh, memiliki, dan menggunakan dokumen kewarganegaraan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. keluar atau masuk wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

147
Bagian Kesembilan Belas
Pelindungan dari Tindakan Diskriminasi, Penelantaran,
Penyiksaan, dan Eksploitasi

Pasal 126

Hak bebas dari Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi


untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. bersosialisasi dan berinteraksi dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, dan bernegara tanpa rasa takut; dan
b. mendapatkan Pelindungan dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis,
ekonomi, dan seksual.

Pasal 127

(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk


bersosialisasidan berinteraksi dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, dan bernegara tanpa rasa takut.
(2) Pemerintah Daerah wajib menjamin Penyandang Disabilitas bebas
dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.

BAB VI
PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 128

(1) Pemerintah Daerah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk


melakukan partisipasi dalam penghormatan, perlindungan,
pemenuhan, pemajuan hak-hak Penyandang Disabilitas beserta
pengawasannya;
(2) Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui :
a. sosialisasi hak-hak Penyandang Disabilitas;
b. penyampaian usulan secara lisan dan atau tertulis dalam
penyusunan kebijakan;
c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan;
d. penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi; dan/atau
e. penyelenggaraan pendidikan bagi Penyandang Disabilitas.
(3) Dalam rangka memberikan kesempatan kepada masyarakat
melakukan partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Daerah memberikan fasilitas sekretariat kepada
organisasi penyandang disabilitas sebagai tempat kegiatan dan
tempat pengembangan organisasinya.

148
BAB VII
PENGARUSUTAMAAN PENYANDANG DISABILITAS

Pasal 129

(1) Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi mengenai hak Penyandang


Disabilitas kepada seluruh pejabat dan staf Pemerintah Daerah,
penyelenggara pelayanan publik, pelaku usaha, penyandang
disabilitas, keluarga yang mempunyai penyandang disabilitas, dan
masyarakat;
(2) Pemerintah Daerah melakukan pendataan Penyandang Disabilitas
secara terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan organisasi
disabilitas;
(3) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang
meliputi informasi mengenai usia, jenis kelamin, ragam disabilitas,
derajat disabilitas, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat
kesejahteraannya; dan
(4) Pemerintah Daerah mengarusutamakan Penyandang Disabilitas
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.

BAB VIII
KOMITE PELINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG
DISABILITAS

Pasal 130

(1) Koordinasi dan komunikasi tentang pelaksanaan pelindungan dan


pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dilaksanakan oleh lembaga
Pemerintah Daerah, organisasi sosial dan masyarakat melalui Komite
Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang
independen;
(2) Komite Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Keputusan
Bupati.
(3) Komite Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas di
bawahi langsung Bupati dan bertanggung jawab kepada Bupati;
(4) Susunan keanggotaan Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling kurang terdiri dari unsur:
a. Akademisi;
b. Profesi;
c. Organisasi Penyandang Disabilitas;
d. Lembaga swadaya masyarakat;

149
e. dunia usaha; dan
f. unsur masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite Pelindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas diatur dengan Peraturan
Bupati.

Pasal 131

(1) Komite Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) mempunyai fungsi:
a. mediasi komunikasi dan informasi dari penyandang disabilitas
kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya;
b. menerima pengaduan Penyandang Disabilitas yang mengalami
kasus- kasus diskriminasi; dan
c. menindaklanjuti aduan dari Penyandang Disabilitas.
(2) Komite Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
mempunyai tugas:
a. memberikan usulan, pertimbangan dan rekomendasi kepada
Pemerintah Daerah dan DPRD dalam pembuatan kebijakan yang
berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas;
b. mendorong peningkatan partisipasi aktif Penyandang Disabilitas,
keluarga dan masyarakat secara umum dalam pemberdayaan dan
peningkatan kesejahteraan Penyandang Disabilitas;
c. menerima, menampung, dan menganalisa pengaduan serta
mengkoordinasikan pembelaan secara litigasi dan atau non-litigasi;
d. menyalurkan aspirasi Penyandang Disabilitas kepada pihak-
pihak terkait; dan
e. membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak dalam upaya
mengembangkan program-program yang berkaitan dengan
perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.

BAB IX
Larangan

Pasal 132

Setiap Orang yang ditunjuk mewakili kepentingan Penyandang


Disabilitas dilarang melakukan tindakan yang berdampak kepada
bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan Penyandang
Disabilitas tanpa mendapat penetapan dari pengadilan negeri.

150
Pasal 133

Setiap Orang dilarang menghalang-halangi dan atau melarang


Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan:
a. hak pendidikan;
b. hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
c. hak kesehatan;
d. hak politik dan pemerintahan;
e. hak keagamaan;
f. hak keolahragaan dan kepemudaan;
g. hak kebudayaan dan pariwisata;
h. hak kesejahteraan sosial;
i. hak Aksesibilitas;
j. hak Pelayanan Publik;
k. hak Pelindungan dari bencana;
l. hak habilitasi dan rehabilitasi;
m. hak pendataan;
n. hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;
o. hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi;
p. hak kewarganegaraan;
q. hak bebas dari Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan
eksploitasi; dan
r. hak keadilan dan perlindungan hukum dalam memberikan jaminan
s e r t a pelindungan sebagai subjek hukum untuk melakukan
tindakan hukum yang sama dengan lainnya.

BAB X
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 134

(1) Apabila penyelenggara pendidikan melanggar persyaratan calon


dan/ atau peserta didik yang bersifat diskriminatif sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (2), dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis dan atau membuat penyataan permohonan
maaf yang diumumkan di media massa daerah sebanyak 3 (tiga)
hari berurut-turut.
(2) Penyelenggara pendidikan dan Pemberi kerja yang tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 15 dan Pasal 30 dikenakan sanksi
administrasi berupa;
a. peringatan tertulis;
b. penghentian kegiatan sementara;

151
c. pencabutan izin sementara;
d. pencabutan izin;
(3) Apabila hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menemukan
adanya kelalaian OPD yang mempunyai tugas pokok di bidang
pendidikan, maka Bupati memberikan sanksi administrasi berupa
teguran tertulis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Bupati.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 135
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Luwu Utara.

Ditetapkan di Luwu Utara


pada tanggal 2020

BUPATI LUWU UTARA,

Hj. INDAH PUTRI INDRIANI

Diundangkan di Luwu Utara


pada tanggal 2020
SEKERTARIS DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA,

( )
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2020
NOMOR ...... NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA
PROVINSI SULAWESI SELATAN ...

152
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA
NOMOR TAHUN 2021

TENTANG

PENYANDANG DISABILITAS

I. UMUM

Kondisi penyandang disabilitas masih memprihatinkan. Banyak


menghadapi hambatan dan pembatasan dalam berbagai hal sehingga
sulit mengakses pendidikan yang memadai serta pekerjaan yang
layak sebagai sumber mata pencaharian, sehingga kebutuhan
hidupnya belum dapat tercukupi bahkan harus bergantung pada
orang lain.
Pada sisi lain Penyandang disabilitas mengalami hambatan
dalam mobilitas fisik dan mengakses informasi yang mempunyai
konsekwensi lanjut pada terhambatnya penyandang disabilitas untuk
terlibat dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik dan
ekonomi. Pengguna kursi roda sangat sulit untuk beraktivitas di luar
rumah karena lingkungan mereka yang tidak aksesibel. Penyandang
tuna netra juga tidak banyak yang bisa mengakses berbagai informasi
karena pengetahuan yang berkembang sangat cepat.
Pemerintah Daerah mempunyai komitmen yang kuat untuk
menyediakan layanan dan jaminan kesehatan baik melalui skema
jaminan kesehatan masyarakat, jaminan kesehatan sosial maupun
jaminan kesehatan daerah. Namun kenyataannya, tidak mudah bagi
penyandang disabilitas untuk mendapatkan dan menggunakan
fasilitas tersebut. Informasi tentang adanya jaminan kesehatan
tersebut banyak yang belum dipahami oleh keluarga penyandang
disabilitas. Bahkan yang sudah mempunyai kartu juga masih
menghadapi persoalan dengan mobilitas ke unit pelayanan
kesehatan. Kondisi ini yang menjadi alasan utama harus dibentuk
Peraturan Daerah yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
meningkatkan kualitas hidup para penyandang disabilitas.
Secara umum, Peraturan Daerah ini memuat materi pokok
yang disusun secara sistematis sebagai berikut : prinsip-prinsip yang
harus dipergunakan dalam pelaksanaan Peraturan Daerah,
perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang

153
meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, kesehatan,
sosial, seni, budaya dan olah raga, politik, hukum serta
penanggulangan bencana, aksesibilitas.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Diskriminasi berlapis”
adalah Diskriminasi yang dialami perempuan
karena jenis kelaminnya sebagai perempuan dan
sebagai Penyandang Disabilitas sehingga mereka
tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam
keluarga, masyarakat, dan negara di berbagai bidang
kehidupan.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keluarga pengganti” adalah
orang tua asuh, orang tua angkat, wali, dan atau
lembaga yang menjalankan peran dan tanggung jawab
untuk memberikan perawatan dan pengasuhan
kepada anak.

154
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas fisik”
adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain
amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi,
celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan
orang kecil.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Penyandang Disabilitas
intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain
lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas
mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi,
dan perilaku, antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar,
depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan

b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada


kemampuan interaksi sosial di antaranya autis
dan hiperaktif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas
sensorik” adalah terganggunya salah satu fungsi dari
panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas
rungu, dan atau disabilitas wicara.

155
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas ganda atau
multi” adalah Penyandang Disabilitas yang mempunyai dua
atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas rungu-
wicara dan disabilitas netra-tuli.
Yang dimaksud dengan “dalam jangka waktu lama” adalah
jangka
waktu paling singkat 6 (enam) bulan dan atau bersifat
permanen.
Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jalur pendidikan” adalah
jalur formal,
nonformal, dan informal.
Yang dimaksud dengan “jenis pendidikan” adalah
pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan keagamaan.
Yang dimaksud dengan “jenjang pendidikan” adalah
pendidikan
dasar, menengah, dan tinggi.
Yang dimaksud dengan “pendidikan inklusif” adalah
pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas untuk
belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang
Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi.
Yang dimaksud dengan “pendidikan khusus” adalah
pendidikan yang hanya memberikan layanan kepada
peserta didik Penyandang Disabilitas dengan menggunakan
kurikulum khusus, proses pembelajaran khusus,
bimbingan, dan atau pengasuhan dengan
tenaga pendidik khusus dan tempat pelaksanaannya di
tempat belajar khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

156
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan
tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara
dengan kelompok/golongan lain dalam bidang pendidikan

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “program kompensatorik”
adalah tugas alternatif yang diberikan kepada peserta

157
didik Penyandang Disabilitas sebagai salah satu
bentuk adaptasi dalam proses belajar dan evaluasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “program dan kegiatan tertentu”,
antara lain pelatihan, pemberian beasiswa untuk tugas
belajar, sertifikasi pendidik, pengangkatan pendidik dan
tenaga kependidikan khusus, serta program dan kegiatan
sejenis lainnya.

Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup Jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
Huruf d
Cukup Jelas
Huruf e
Cukup Jelas

158
Huruf f
Cukup Jelas

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

159
Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
huruf a. Promotif adalah suatu kegiatan dana /atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat promosi
kesehatan.
huruf b.Preventif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit.
Huruf c.Kuratif adalah suatu kegiatan pengobatan yang ditujukan
untuk penyembuhan penyakit, penguarangan penderita
akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
pengendalian kedisabiiltasan agar kualitas penderita
dapat terjaga seoptimal mungkin.
Huruf d. Rehabilitasi adalah kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke
dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai
anggota masyarakat semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuannya.
Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan
keahlian dan keterampilan yang dimiliki, antara lain tenaga
medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga
kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan,

160
tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga
keteknisan medis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas,

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan” adalah
suatu alat dan atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan atau masyarakat.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wajib merujuk kepada tenaga
kesehatan
yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam
pelayanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas pada
fasilitas pelayanan kesehatan lain”, antara lain dengan
telemedisin, teleradiologi, dan telekardiologi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

161
Pasal 48

Yang dimaksud dengan “alat nonkesehatan” adalah alat-alat


yang digunakan untuk proses pemulihan sebagai terapi untuk
Penyandang Disabilitas

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

162
Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “taktil” adalah informasi
dalam bentuk
sentuhan atau rabaan, misalnya huruf atau lambang
timbul.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kegiatan seni budaya meliputi pendidikan seni,
sanggar seni, pertunjukan seni, pameran seni, festival
seni, dan kegiatan seni lainnya secara inklusif baik
yang dilaksanakan di tingkat daerah, nasional,
maupun internasional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.

163
Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Yang dimaksud dengan “jabatan publik” adalah jabatan pada
badan publik negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.

164
Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Yang dimaksud dengan “subyek hukum’ adalah pemegang hak
dan kewajiban menurut huku telah mempunyai hak dan
kewajiban atau kekuasaan tertentu atas dasar tertentu

Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penundaan hingga waktu tertentu”
adalah penundaan pemeriksaan untuk pengambilan
keterangan yang waktunya ditentukan oleh aparat
penegak hukum berdasarkan pertimbangan dokter atau
tenaga kesehatan lainnya, psikolog atau psikiater, dan atau
pekerja sosial.
Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” antara lain orang yang
belum dewasa dan atau di bawah pengampuan.

Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “keluarga Penyandang Disabilitas”
adalah keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke
samping sampai derajat kedua.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.

165
Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fungsi hunian” adalah
bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama
sebagai tempat tinggal, seperti apartemen, asrama,
rumah susun, flat atau sejenisnya harus mudah
diakses oleh Penyandang Disabilitas, namun tidak
diwajibkan untuk rumah tinggal tunggal dan rumah
deret sederhana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “fungsi keagamaan” adalah
bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama
sebagai tempat melakukan ibadah, antara lain masjid,
gereja, pura, wihara, dan kelenteng.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “fungsi usaha” adalah
bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama
sebagai tempat melakukan kegiatan usaha yang
meliputi bangunan gedung untuk perkantoran,
perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan
rekreasi, terminal, dan penyimpanan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “fungsi sosial dan budaya”
adalah bangunan gedung yang mempunyai fungsi
utama sebagai tempat melakukan kegiatan sosial dan
budaya yang meliputi bangunan gedung untuk
pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan,
laboratorium, dan pelayanan umum.

166
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “fungsi khusus” adalah
bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama
sebagai tempat melakukan kegiatan yang mempunyai
tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional atau yang
penyelenggaraannya dapat membahayakan
masyarakat di sekitarnya dan atau mempunyai risiko
bahaya tinggi meliputi bangunan gedung untuk
reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan
dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pekerjaan umum.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

167
Pasal 105
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110
Cukup jelas.

Pasal 111
Cukup jelas.

Pasal 112
Cukup jelas.

Pasal 113
Cukup jelas.

Pasal 114
Cukup jelas.

Pasal 115
Cukup jelas.

Pasal 116
Cukup jelas.

Pasal 117
Cukup jelas.

Pasal 118
Cukup jelas.

168
Pasal 119
Ayat (1)
Komunikasi dengan menggunakan cara tertentu, termasuk
penggunaan bahasa isyarat, bahasa isyarat raba, huruf
braille, audio, visual, atau komunikasi augmentatif atas
dasar kesetaraan dengan yang lainnya.
Ayat (2)

Pasal 120
Cukup jelas.

Pasal 121
Cukup jelas.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Cukup jelas.

Pasal 124
Cukup jelas.

Pasal 125
Cukup jelas.

Pasal 126
Cukup jelas.

Pasal 127
Cukup jelas.

Pasal 128
Cukup jelas.

Pasal 129
Cukup jelas.

Pasal 130
Cukup jelas.

Pasal 131
Cukup jelas.

169
Pasal 132
Cukup jelas.

Pasal 133
Cukup jelas.

Pasal 134
Cukup jelas.

Pasal 135
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN


2021 NOMOR .....................

170

Anda mungkin juga menyukai