Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rafis Firnando

NIM : 2110822012
Kelas/Jurusan : 3B/Antropologi Sosial
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Mata Kuliah : Antropologi Hukum
Dosen Pembimbing : Dr. Sri Setiawati, MA

Tugas Pertemuan ke 10
1. Pengertian Mayarakat Adat

Berdasarkan UU No 27 Tahun 2007 Jo. UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Pasal 1 Angka 33 :

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal
usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-uundangan.

Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau the
indigenous (Inggris), dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan lebih populer disebut dengan
istilah “masyarakat adat”. Namun secara terminologi kedua istilah tersebut berbeda. Perbedaanya
“masyarakat hukum adat” merupakan terjemahan dari istilah adat rechts gemeenschap, sedangkan
“masyarakat hukum” terjemahan dari kata indigenous people (bahasa Inggris).

Beberapa pakar hukum membedakan istilah masyarakat hukum adat dengan masyarakat
adat. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan oleh pakar hukum adat, yang lebih
banyak difungsikan untuk keperluan teoritik-akademi. Istilah ini diberikan untuk memberi identitas
kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum tidak tertulis..

Kusumadi Pujosewojo memberikan arti masyarakat hukum sebagai masyarakat yang


menetap, terikat, dan tunduk pada tatanan hukumnya sendiri. Sedangkan masyarakat hukum adat
adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau
diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat
besar diantara anggota, memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang dan menggunakan
wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggota.

Pengertian masyarakat hukum adat menurut ter Haar, masyarakat hukum adat adalah
kesatuan manusia sebagai satu kesatuan, menetap didaerah tertentu, mempunyai penguasa-
penguasa, mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan
masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat, merupakan suatu kodrat dan tidak
seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk berkeinginan
membubarkan ikatan yang telah bertumbuh itu atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari
ikatan itu untuk selama-lamanya.
2. Faktor pembentuk kesatuan masyarakat hukum adat

Masyarakat hukum adat di Indonesia tersusun atas dua faktor dominan, yakni faktor genealogis
dan teritorial. Pada mulanya faktor genealogis mempunyai dominasi yang sangat kuat terhadap
pembentukan suatu masyarakat hukum adat, disebabkan oleh hubungan daerah antara satu dengan
lainnya di antara mereka terikat dan terbentuk dalam satu ikatan yang kokoh. Tetapi karena semakin
meluasnya hubungan antar suku bangsa maka dominasi faktor genealogis sedikit demi sedikit mulai
tergeser oleh faktor territorial

3. Penerapan Hukum Adat dalam Struktur Pemerintahan

Sebelumnya kita harus melihat elemen dan network dalam struktur pemerintahan, dalam hal ini
pemerinahan desa. Yaitu masyarakat desa, kepala adat serta lembaga adat, kepala desa serta
pejabat pemerintahan desa lainnya.

Eksistensi hukum adat sangat kuat di Desa terutama karena masyarat Desa cenderung
sangat patuh pada aturan adat dan takut pada sanksi adat, bahkan melebihi rasa takut
terhadap sanksi hukum negara. Karenanya living lawdan living etikmenjadikan dorongan
berlakunya aturan hukum di Desa. Lalu apakah keadaan seperti ini berlaku untuk di daerah
wilayah Indonesia lainnya, bisa ya dan bisa juga tidak tergantung pada tingkat penghargaan
warga masyarakat terhadap aturan hukum adatnya.

Pasal 206 Undang-Undang Pemerintah Daerah menentukan bahwa ada empat urusan
Pemerinthan Desa yaitu: (1) Urusan yang sudah ada berdasarkan hal asal-usul Desa; (2)
Urusan yang menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota yang diserahkan pengaturannya Kepada Desa;
(3) Tugas pembantuan dari Pemerintah, Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota; (4) Urusan
lainnya yang oleh Peraturan Perundang-undangan diserahkan kepada Desa. Selanjutnya empat
urusan pemerintahan yang diserahkan pengaturannya kepada Desa tersebut melalui Pasal 7
Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 dijadikan kewenangan Desa.

Adapun urusan Kabupaten/Kota yang diserahkan pelaksanaan kewenangannya pada


Desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan
pemberdayaan masyarakat (Pasal 8 PP No. 72 Th. 2005). Ketentuan tersebut diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri (Pasal 9 ayat
(1) PP No.72 Th. 2005). Penyerahan tersebut disertai dengan pembiayaan (Pasal 9 ayat (2) PP No.72
Th.2005).

Demikian halnya dengan penyerahan tugas pembantuan kepada Desa, maka Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyertai dukungan pembiayaan,
sarana prasarana, serta sumber daya manusia (Pasal 10 ayat (1) PP No. 72 Th. 2005). Desa
berhak menolak tugas pembantuan itu jika tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana dan
sarana, serta sumber daya manusia (Pasal 10 ayat (3) PP No. 72 Th. 2005).
Penyelenggaraan tugas pembantuan tersebut berpedoman pada peraturan Perundang-undangan
(Pasal 10 ayat (2) PPNo. 72 Tahun 2005).

Dalam pelaksanaannya, persyaratan tersebut haruslah memperhatikan nilai-nilai sosial budaya


dan adat istiadat kesatuan hukum adat setempat. Nilai adat istiadat dimaksudkan adalah nilai-
nilai yang sudah menjadi tradisi di Desanya dalam hal proses penentuan calon kepala Desa.
Yaitu berdasarkan aspirasi warga atau masyarakat Dusun di wilayah hukum Tersebut.
Masyarakat akan menolak calon Kepala Desa yang menurut masyarakat dusun tersebut tidak
layak untuk menjadi Kepala desa mereka meskipun syarat-syarat formal yang ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan sudah terpenuhi. Aspirasi para warga dusun haruslah menjadi
perhatian dalam proses pemilihan kepala Desa, dikarenakan Desa tersebut telah ada terlebih
dahulu sebelum adanya peraturan tersebut.

Menurut Kepala Analilsi Hukum Adat Dalam Sistem Pemerintahan Desa tidak mendapat
urusan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya Kepada Desa
dan juga tidak mendapatkan tugas pembantuan dari Pemerintah, Provinsi,dan/atau
Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-
undangan diserahkan kepada Desa adalah Penetapan Peratura Desa (Perdes).

Bersama-sama dengan Badan Permusyawaratan Desa (B.P.D), Kepala Desa menetapkan


Perdes (Pasal 55 PP No. 72 Tahun 2005). Salah satunya adalah Penetapan Rancangan Anggara
Pendapatan Belanja Desa (RAPB Desa) menjadi APB Desa oleh Kepala Desa bersama BPD
Kepala Desa juga mengeluarkan Surat Keputusan Pengangkatan Sekretaris Desa, pelaksana teksis
lapangan, dan unsur kewilayahan sebagai perangkat Desa lainnya selain Sekretaris Desa.

4. Kedudukan hukum adat dalam hukum nasional/negara

Dalam fokus kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia, kembali ke konstitusi
dimana Pengakuan terhadap hukum tidak tertulis dahulu hanya dijelaskan atau dicantumkan dalam
Penjelasan Umum UUD 1945 yang dalam hal ini mengatur ”... Undang-Undang Dasar ialah hukum
dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-undang Dasar itu berlakunya juga hukum dasar
yang tidak tertulis, ialah aturan-atauran dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”. Dalam artian hukum adat yang pada umumya
tidak tertulis memiliki kedudukan yang sama dengan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia
mengingat pengakuan terhadap hukum tidak tertulis di samping Undang-Undang Dasar itu sendiri.

Maka dalam hal ini dapat dipahami bahwa kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum di
Indonesia memiliki kedudukan secara konstitusiona bersifat sama dengan kedudukan hukum pada
umumnya berlaku dalam kehidupan bernegara di Indonesia, namun yang patut digaris bawahi juga
terdapat perbedaan antara hukum adat dengan hukum yang berlaku pada umumnya yakni dari
aspek keberlakuan dan bentuknya. Dimana dalam hal ini keberlakuan hukum adat hanya berlaku
untuk orang Indonesia dan dari aspek bentuknya hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Oleh
karena itu, tentu sebagaimana syarat pengakuan tersebut adalah kewajiban bersama untuk
senantiasa melestarikan hukum adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri, sehingga nilai-nilai
luhur bangsa tersebut dapat selamat dari terjangan degradasi akibat globalisasi.

Referensi:

1. https://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/1472/Dewi%20Sartika.pdf?
sequence=1&isAllowed=y#:~:text=Masyarakat%20hukum%20adat%20di%20Indonesia,di
%20antara%20mereka%20terikat%20dan
2. https://journal.uim.ac.id/index.php/justisia/article/view/1317/796
3. Dr. Hj. Muskibah, S.H., M.Hum, Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Sabtu, 31 Agustus 2019. Diakses pada:
https://metrojambi.com/read/2019/08/31/46776/kedudukan-hukum-adat-dalam-sistem-
hukum-indonesia

Anda mungkin juga menyukai