Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

TANTANGAN PENEGAKKAN HUKUM POLRI


DALAM MENGHADAPI EKSISTENSI HUKUM ADAT DI INDONESIA

OLEH
FAKHRI TARUNA DIRGANTARA
BRIGTAR/19.131

AKADEMI KEPOLISIAN
2022
TANTANGAN PENEGAKKAN HUKUM POLRI
DALAM MENGHADAPI EKSISTENSI HUKUM ADAT DI INDONESIA

A. Keberadaan Hukum Adat Di Indonesia


Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar dengan dilengkapi oleh
keberagaman budaya yang tersebar diseluruh wilayahnya. Keberagaman budaya yang tercermin
dalam keberagaman adat istiadat telah hidup sejak dahulu dan menjadi kekayaan warisan budaya
luhur bangsa Indonesia serta menjadi sumber ide-ide atau gagasan-gagasan yang kemudian
menjadi kekuatan persatuan dan kesatuan dalam membangun bangsa. Masyarakat dengan
berbagai adat-istiadat yang dimilikinya telah mejadi bukti sejarah akan pengorbanan mereka
dalam bersatu mengenyampingkan perbedaan dengan satu tekad dan rasa senasib seperjuangan
untuk melawan para penjajah meraih kemerdekaan serta meraih cita-cita dan tujuan bangsa.
Maka dari itu, adat-istiadat yang ada dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari
proses pembangunan bangsa Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia baik secara
normatif maupun aktual telah mengakui entitas adat-istiadat tersebut sebagai bagian mutlak dari
bangsa Indonesia. Secara normatif konstitusional Indonesia telah mengakui keberadaan dan
menjamin pengembangan dari budaya dan adat-istiadat yang ada di Indonesia dalam proses
pembangunan bangsa.
Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Indonesia memiliki kekuatan yang besar
terikat dalam kehidupan masyarakat adat tersebut. Masyarakat adat cenderung memiliki
keyakinan yang kuat dan rasa kepemilikan yang besar terhadap adat istiadat yang dimilikinya.
Mereka akan sangat memegang teguh apa yang menjadi prinsip dan hukum atau aturan-aturan
yang ada dalam adat mereka, terutama bagi masyarakat yang masih hidup di daerah yang belum
maju dan belum terkontaminasi secara masif terhadap perkembangan globalisasi saat ini.
Berdasarkan data BPS tahun 2010 di Indonesia sendiri terdapat 1.128 suku yang tersebar
diseluruh Indonesia. Tentunya masing-maisng suku tersebut memiliki adat istiadatnya sendiri
yang dipegang erat dan diyakini kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini tentu mejadi
tantangan bagi bangsa Indonesia ketika hendak menyatukan budaya-budaya tersebut menjadi
sebuah masyrakat yang multicultural. Dalam proses mempersatukan tersebut tentu dilakukan
dengan menciptakan berbagai produk nasional yang diberlakukan sama bagi seluruh masyarakat
Indonesia agar tidak adanya kecemburuan dalam penerapan kebijakan berskala nasional terkait
dengan beragamnya suku dan adat istiadat yang tentunya sangat riskan dengan adanya
primordialisme, etnosentrisme, dan paham-paham lainnya yang pada intinya adalah keinginan
bagi setiap suku dalam mengutamakan adat istiadat yang dimilikinya. Sementara itu, bangsa
Indonesia harus menciptakan sebuah kebijakan yang mampu menjamin keseimbangan antara
adat-istiadat yang hidup tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keberagaman adat istiadat yang hidup di Indonesia tentunya juga memberikan dampak
pada beragamnya hukum yang diyakini dan dipegang oleh masing-masing masyarakat pemilik
adat istiadat tersebut yang disebut dengan hukum adat. Hal ini kemudian menjadi suatu
permasalahan terkait dengan keselarasan hukum adat sebagai kearifan local dan hukum nasional
dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun secara konstitusional mengamanatkan
pengakuan terhadap hukum adat sebagai bentuk kearfian local, namun, dalam aktualisasinya
tetap akan memunculkan suatu pengolahan hukum Kembali terkait penerapan hukum adat dan
hukum nasional. Masyarakat adat terutama yang masih kental akan budayanya akan memegang
erat hukum adat dan hukum local yang sudah mereka miliki secara turun temurun sejak dahulu
dalam perkembangan adat istiadat mereka. Hukum formal yang berlaku secara nasional di
Indonesia berdasarkan kebijakan dari lembaga yudikatif dapat dikesampingkan apabila telah
diputuskan terlebih dahulu melalui hukum adat.
Namun, hal ini akan menimbulkan problematika ketika dalam suatu kasus pihak yang
dirugikan merasa kurang puas dan merasa tidak adil terhadap keputusan melalui hukum adat. Hal
ini kemudian akan menjadi sebuah ancaman konflik dalam sistem hukum di Indonesia yang
dapat meluas kepada konflik lainnya. Selain itu, dalam sejarah perkembangan bangsa pun telah
membuktikan adanya keterikatan yang kuat dari masyarakat adat untuk memegang teguh sistem
adat istiadat atau sistem local yang hidup dalam lingkungan mereka. Hal tersebut dapat dilihat
dengan adanya beberapa daerah yang diberikan otonomi khusus dalam mengatur pemerintahan
mereka termasuk dalam hal penerapan hukum, seperti contohnya adalah wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam dengan pemberlakukan hukum islam atau dikenal dengan qanun. Walaupun hal
tersebut telah selesai dengan adanya kebijakan otonomi khusus yang di berikan oleh negara,
namun tetap meunjukkan bahwa terjadi suatu problematika dalam penerapan hukum formal
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut mengenai keyakinan dan rasa kepemilikan
yang kuat terhadap hukum yang diyakini.
Kemudian, dalam dunia hukum pun akan terjadi banyak pertimbangan dalam penerapan
hukum nasional dengan kearifan local yang hidup disuatu masyarakat. Setiap aparat penegak
hukum tetap perlu meperhatikan kearifan local yang ada dalam melakukan penerapan dan
penegakkan hukum sebagai bentuk pengutamaan terhadap persatuan dan kesatuan bangsa serta
menjalankan amanat dasar negara dan konstitusional. Hal ini menunjukkan perlu adanya kehati-
hatian bagi aparat penegak hukum dalam pemberlakukan hukum tersebut.
Beberapa contoh penerapan hukum adat di Indonesia diantaranya yang pertama,
Penerapan hukum cambuk di Aceh yang merupakan bagian dari otonomi khusus Aceh dalam hal
penerapan hukum pidana islam yaitu hukum jinayat yang termuat dalam hukum pidana islam
yang disebut Qanun. Penerapan hukum islam dalam pandangan masyarakat secara umum
memang dapat memunculkan beberapa pertanyaan dan penyangkalan. Mereka yang memandang
secara bebas dan umum mungkin mengatakan bahwa cambuk dengan rotan dapat dianggap
sebagai tindak penyiksaan dan bertentangan dengan UUD 1945 dan hukum hak asasi manusia
internasional, dan juga dapat menyebabkan luka fisik dan kejiwaan jangka panjang. Selain itu,
Selain itu dapat dipandang juga bahwa perda syariat di Aceh diskriminatif khususnya dalam
kasus perzinahan karena menempatkan perempuan sebagai korban. Kemudian, perlindungan
terhadap perempuan di perda ini juga dianggap minim. Apabila ada perempuan yang menjadi
korban pemerkosaan, beban pembuktiannya sangat sulit, sementara pelakunya bisa lepas dari
tuduhan dengan lima kali sumpah.
Namun, dalam pandangan masyarakat aceh maupun orang-rang yang meyakini Islam
secara mendalam akan berpendapat bahwa rakyat Aceh punya hak untuk menerapkan hukum
Islam sebagai bagian dari kebebasan beragama, dan perda ini juga sah secara hukum karena
undang-undang Indonesia mengizinkan pemerintah Aceh menerapkan hukum syariat. Selain itu
dapat dikatakan pula adanya anggapan pelanggaran HAM terhadap pemberlakukan hukum
cambuk dapat dibantah bahwa justru hal tersebut bagian dari perlindungan HAM terhadap
keadilan bagi korban, dalam hal ini korban yang diartikan secara luas terdampak dari kasus
tersebut. Kemudian, pemberian otonomi khusus ini juga menjadi bagian upaya dalam menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa mengingat adanya sejarah beberapa pemberontakan yang terjadi
di Aceh, dan penerapannya pun sah secara hukum baik konstitusional maupun undang-undang.
Persoalan lainnya ada dalam kehidupan masyarakat jogja yaitu mengenai fenomena
masyarakat jogja yang menggunakan pakaian adat dalam berkendara termasuk menggunakan
blankon dengan tidak menggunakan helm. Hal ini merupakan salah satu bentuk contoh nyata dari
penjelasan sebelumnya terkait adat istiadat dan penerapan hukum formal di Indonesia. Sering
kali masyarakat memandang sebuah adat istiadat adalah hal yang lebih penting dan menjadi
kebanggaan yang diikuti dengan rasa kepmilikan atau kecintaan yang kuat terhadap adat istiadat
tersebut. Sementara, mereka sadar ataupun tidak tindakan tersebut tidak sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Dalam hal penerapan adat istiadat dengan hubungannya terhadap hukum
formal, dapat dilakukan penerapan adat istiadat tersebut selagi hal tersebut tidak bertentangan
dengan isi dan tujuan dari hukum formal.
Terkait dengan kasus di Jogja dimana terdapat masyarakatnya yang masih menggunakan
blankon tanpa menggunkan helm dalam berkendara, hal ini tidak dapat dibenarkan secara
hukum. Dalam segi isi hukum tentu hal tersbut melanggar hukum mengenai peraturan lalu lintas
dan secara tujuan hukum hal tersebut juga bertentangan dengan tujuan peraturan lalu lintas
tersebut dan dapat membahayakan pengendara itu sendiri. Oleh karena itu, perlu ada penegakkan
hukum yang sesuai dengan catatan tetap perlu memperhatikan budaya masyarakat setempat.
Dengan demikian, penerapan hukum harus dilakukan dengan cara yang tepat, baik
penyampaian maupun pelaksanaannya agar tidak menyinggung atau menimbulkan
kecenderungan tidak adanya penghargaan terhadap adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat.
Hal ini dikarenakan adanya kecintaan yang tinggi dari masyarakat terhadap adat tersebut
sehingga tidak bisa dilakukan secara langsung dengan tegas dan semata-mata hanya
memperhatikan penegakkan hukum tetapi perlu adanya pertimbangan watak dan budaya
masyarakat sehingga tercapai tujuan penegakkan hukum untuk menciptan keamanan dan
ketertiban masyarakat.
Selanjutnya permasalahan mengenai sabung ayam di Bali. Sabung ayam merupakan salah
satu bentuk permainan yang sangat dikenal di Indonesia, khususnya di Pulau Bali. Didalam
bahasa pergaulan masyarakat Bali istilah sabung ayam ini kemudian lebih familiar disebut
dengan tajen. Munculnya larangan tajen tak lain karena sering dikaitkan dengan judi sejak tahun
1981, dimana aktivitas tajen tak lagi dilakukan secara terbuka di wantilan yaitu bangunan
tradisonal yang umum yang terdapat di desa. Namun seiring berjalannya waktu tajen malah
mengalami perkembangan yang begitu kuat dan aktivitas ini cenderung menjadi sebuah
kebiasaaan yang mengakar di masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Padahal secara umum
judi (tajen) dianggap tidak saja melanggar hukum tetapi juga moral. Karena dianggap melanggar
hukum judi biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tetapi berbeda dengan di Bali, tajen
atau sabung ayam yang dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk judi dilakukan secara
terang-terangan, bahkan seakan semacam ada rasa bangga bagi pelakunya dalam memainkan
aktivitas ini. Bukan itu saja tajen dalam konteks kekinian bahkan dilakukan diareal pura atau
tempat suci.
Banyak aspek yang dapat disoroti dari aktifitas ini. Disatu sisi hal ini terlihat sebagai
salah satu bentuk perjudian yang kemudian dapat berimplikasi besar pada kesejahteraan
masyarakat, namun disisi lain saat dilihat dari kacamata berbeda, tajen kemudian memiliki begitu
banyak aspek positif, dimana selain sebagai tempat berkumpul masyarakat (kebersamaan),
disana juga terdapat potensi ekonomi yang bergerak, dimana disetiap kalangan tajen akan dapat
ditemukan berbagai aktifitas masyarakat yang kaitannya dengan ekonomi seperti berdagang dan
lain sebagainya. Sehingga menjadi sangat menarik untuk membedah “tajen” ini dari berbagai
perspektif yang berbeda. Namun di luar berbagai hal positif tersebut secara umum pandangan
terkait tajen kemudian tetap lebih banyak mengarah ke sisi negatif yang lekat kaitannya dengan
“perjudian” yang tentunya berkonsekuensi pada berbagai hal seperti kemiskinan, potensi tindak
kejahatan dan hal-hal yang sifatnya kriminal lainnya yang mungkin dapat terjadi dimasyarakat.
Permainan Sabung Ayam di Nusantara ternyata tidak hanya sebuah permainan hiburan semata
bagi masyarakat, tetapi merupakan sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun politik.
Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya lebih mampu membentuk suatu produk hukum
yang mengatur mengenai aktifitas sabungan ayam sebagai bentuk perjudian (termasuk tajen di
bali) secara komprehensif, dan tidak saling bertentangan satu dengan yang lainnya sehingga daya
ikatnya menjadi sangat lemah. Sinkronisasi yang kuat antar produk hukum menjadi sangat
dibutuhkan untuk dapat dijadikan landasan bagi setiap elemen terkait untuk menegakkan atau
melaksanakan aturan khususya terkait tajen.

A. Langkah Polri dalam Menyikapi Keberadaan Hukum Adat


Keberagaman budaya yang hidup di Indonesia menjadi suatu identitas dan kearifan local
yang diakui baik secara legal mengenai keberadaan dan penegmbangannya maupun secara
factual terkait keberagaman tersebut telah menajdi kekayaan dan kekuatan pemersatu dalam
meraih kemerdekaan dan meraih cita-cita serta tujuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, terkait
keberagaman tersebut tentu akan memunculkan suatu tantangan bagi bangsa dalam menghadapi
adanya ancaman yang sangat riskan terkait keamanan, ketertiban, persatuan dan kesatuan bangsa.
Kondisi yang demikian sangat mungkin munculnya berbagai konflik baik karena kecemburuan,
ketersinggungan, ataupun persaingan yang dapat memicu perpecahan.
Dalam peran sebagai aparat penegak hukum, seorang anggota Polri perlu berhati-hati dalam
melakukan tugas, fungsi, dan perannya dengan memperhatikan budaya dan adat istiadat
masyarakat setempat. Oleh karena itu, sebagai seorang pimpinan Polri tentu Langkah pertama
adalah perlu mempelajari budaya dan adat istiadat yang hidup di msayarakat tersebut. Dengan
mempelajari adat istiadat tersebut akan membantu dalam penerapan hukum melalui
pengkombinasian hukum formal dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tesebut.
Pengadaptasian peran polri dengan adat istiadat juga sangat penting tanpa bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghargaan yang tinggi terhadap adat istiadat
juga penting sebagai bentuk pendekatan kita terhadap masyarakat untuk dapat menajlin kerja
sama dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Langkah-langkah itu dapat
diwujudkan seperti dengan menrapkan konsep budaya dalam pelaksanaan tugas Polri, ikut
berpartisipasi dalam acara adat istiadat setempat, sehingga memunculkan simpati masyarakat
untuk mampu bekerja sama dengan cara konsolidasi dalam pelaksanaan penegakkan hukum.
Terkait adanya penerapan hukum dalam otonomi khusus suatu daerah hal itu dapat diserahkan
seutuhnya kepada lembaga legislative dan eksekutif yang berwenang dalam pengolahan produk
hukum di Indonesia. Selaku aparat penegak hukum hanyalah menajlankan apa yang telah
ditetapkan dalam aturan dengan tetap memegang prinsip fleksibilitas melalui diskresi kepolisian
terkait penerapan aturan tersebut yang disesuaikan degan kearifan local.
Dengan demikian pada intinya seorang pemimpin tetap berpegang pada pepatah dimana
bumi dipijak disitu langit dijunjung, hal ini sebagai Langkah afiliasi dengan masyarakat adat
dalam bersama-sama mencapai tujuan kamtibmas tanpa menyebabkan konflik kepentingan baik
dari dari segi adat istiadat yang dimiliki masyarakat maupun dari segi hukum formal yang harus
ditegakkan oleh Polri.

Anda mungkin juga menyukai