Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ANALISIS PENERAPAN ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE

DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

OLEH

FAKHRI TARUNA DIRGANTARA

BRIGDATAR/19.131

AKADEMI KEPOLISIAN

2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………………………….i

Kata Pengantar………………………………………………………………………………ii

Daftar Isi…………………………………………………………………………………….iii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang……………………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………2

Bab II Pembahasan

 Pengertian……………………………………………….…………..…….....3
 Makna Asas Praduga Tak Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana….…….4
 Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia………………………….……………………………....6

Bab III Penutup

A. Kesimpulan………………………………………………………………………….10
B. Penutup…………………………………………………………………………...…10

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………....11
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT , yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan hidayah- Nya
serta kesempatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Pengetahuan Sosial
tentang Karakteristik Negara Maju dan Upaya Indonesia Menjadi Negara Maju. Shalawat
beriring salam, tak lupa pula kita panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang melalui
pedoman hidup yang diberikan Allah yang telai Ia ajarkan kepada umatnya yaitu Al-quran dan
sunnah untuk keselamatan umat-Nya.

Ucapan terima kasih kepada semua yang menjadi referensi bagi saya dalam mengerjakan
tugas ini dan telah memberikan atau menyumbangkan sedikit pemikirannya dalam memunculkan
ide-ide kreatif terhadap pengerjaan makalah ini. Tujuan tugas ini adalah untuk menambah
wawasan serta keterampilan dalam menulis serta membuka pandangan penulis dan pembaca
untuk dapat memahami lebih jauh tentang apa yang seharusnya dan apa yang sebenarnya terjadi
dalam praktik peradilan pidana di Negara kita.

Akhirnya saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pengerjaan tugas ini,
maka dari itu kami sangat mengharapkan saran serta kritik dari pembaca yang sifatnya
membangun dan dapat menjadi pendorong untuk menjadikan makalah ini semakin lengkap,
padu, dan mendekati angka kesempurnaan walaupun tidak bisa mencapat kata kesempurnaan 100
persen, karena kesempurnaan hanya milih Tuhan.Terima Kasih

Semarang, 27 November 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum sebagai suatu peraturan yang mengatur tata kehidupan dengan tujuan
untuk mewujudkan keadilan, kepastian hokum, dan kemanfaatan. Hukum yang sifatnya
mengatur dan memaksa serta berlaku sama bagi setiap orang yang terikat pada hokum
tersebut tentu harus memiliki suatu dasar yang dapat menjamin kesetaraan dalam
penerapan hukum tersebut demi terwujudnya cita-cita dan tujuan hukum tersebut. Salah
satu hal terpenting yang menjadi dasar bagi penerapan hukum ialah adanya asas dan
kaidah yang menjadi bagian utama dari suatu hokum sebagai bentuk kesepakatan dasar
yang dapat memberikan koridor bagi hukum agar dapat diberlakukan secara normative
diberlakukan setara pada setiap orang yang terikat pada hukum tersebut. Asas inilah yang
kemudian akan memberikan batasan, arah, dan sebagai bentuk kesepakatan baik dalam
membentuk maupun menjalankan atau menerapkan hukum. Oleh karena itu, asas harus
selalu dipedomani dan tidak boleh dilanggar dalam menerapkan dan menjalankan hukum
yang sudah ada guna menjamin kesamaan dan kesetaraan dalam pemberlakuan hukum
tersebut.
Dalam hukum pidana sendiri terdapat banyak asas-asas yang menjadi pedoman
baik dalam proses pembentukan, dalam memaknai dan dalam menerapkan hukum pidana
itu sendiri untuk menjamin tegaknya hukum sebagaimana mestinya dan selaras antara apa
yang dikehendaki oleh pembentuk hukum dengan pemaknaan dan penerapan hukum
tersebut dalam masyarakat. Sementara itu, pengingkaran terhadap asas-asas tersebut akan
dapat berakibat fatal pada terjadinya penyimpangan dalam penerapan hukum. Terlebih
lagi dalam hukum pidana, ketika terjadi pengingkaran terhadap asas-asas hukum pidana
maka akan dapat mengancam hak asasi seseorang yang dapat dirampas akibat dari
penegakkan hukum pidana yang tidak dijalankan berdasarkan asas yang benar.
Pengingkaran asas ini dapat memperkosa rasa keadilan yang menjadi salah satu tujuan
dari hukum itu sendiri, hal ini dapat disebabkan karena dengan tidak diterapkannya asas
sebagaimana mestinya maka akan terjadi penyimpangan dalam pemaknaan terhadap
hukum itu sendiri dan berujung pada penyimpangan praktik penegakkan hukum sebagai
bentuk penerapan hukum tersebut.
Salah satu asas penting dan sangat mendasar dalam hukum pidana adalah asas
presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Asas ini menjadi sangat
penting dan fundamental yang erat kaitannya dalam menjamin perlindungan terhadap hak
asasi manusia dan sebagai bentuk kehati-hatian Negara dalam hal ini aparat penegak
hukum untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia seseorang dalam
proses berpidana.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan membahas dan menganalisis
penerapan asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah dalam praktik
system peradilan pidana Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana makna dan pentingnya asas praduga tak bersalah dalam system peradilan
pidana?
2. Bagaimana penerapan asas praduga tak bersalah dalam system peradilan pidana di
Indonesia?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Makna dari prinsip Praduga tidak bersalah adalah bahwa setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Makna kata bersalah pada prinsip
ini merujuk pada makna unsur kesalahan sebagai salah satu unsur untuk menentukan
apakah seseorang terbukti melakukan tindak pidana atau tidak. Kesalahan tidak dapat
dilihat secara kasat mata bahwa terdakwa melakukan perbuatan tertentu yang merupakan
tindak pidana. Asas ini juga disebut dalam pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Makna dari prinsip Praduga tidak bersalah juga diatur dalam penjelasan umum
butir 3 huruf C KUHAP, yang berbunyi “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.”. Hakim dalam sistem peradilan di Indonesia diberi kewenangan
oleh undang-undang untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak bersalah melalui
proses penegakan hukum dan keadilan dipengadilan. Hal ini berarti, kesalahan seseorang
hanya dapat ditentukan berdasarkan keputusan hakim yang sudah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde). Oleh karena itu, seseorang harus dianggap benar dalam
artian tidak pernah melakukan kesalahan sehingga orang tersebut mendapatkan
perlindungan hukum selama proses peradilan. Di dalam sistem peradilan pidana,
berdasarkan sistem hukum common law, asas hukum ini merupakan prasyarat utama
untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangssung jujur,adil dan tidak memihak
(due process of law).

Penerapan asas praduga tak bersalah dalam perkara pidana berkaitan dengan
kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka/terdakwa dengan aparat hukum yang
berkepentingan, sehingga dikuatirkan terjadi tindakan sewenang-wenang dari aparat
hukum terhadap tersangka/terdakwa yang dianggap telah melanggar kepentingan umum
dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggung jawab atas terjadinya ketidak
seimbangan tatanan dalam masyarakat akibat adanya pelanggaran hukum .
Tersangka/terdakwa dalam proses penegakan hukum dihadapkan dengan negara, maka
secara umum kedudukan terdakwa tidak mungkin disamakan dengan penyidik dan
penuntut umum dalam proses pemidanaan. Meskipun sifat akuisator yang dianut dalam
perkara pidana saat ini terdapat kecendrungan proses peradilan pidana yang mengarah
kepada adversary sistem. Akuisator, dalam kamus hukum umum, diartikan sebagai proses
peradilan yang memperlakukan tersangka/terdakwa dengan baik sebagai pihak yang
sederajat dengan penyidik dan penuntut umum, dengan memeberikan kesempatan kepada
tersangka/terdakwa untuk membela diri dan didampingi oleh pembela.

Namun pada kenyataanya, adversary sistem tidak dapat diterapkan sepenuhnya


dalam perkara pidana, meskipun sudah ditentukan sedemikian rupa, dalam tingkat
penyidikan masih banyak ditemui polisis melakukan upaya penyiksaan ataupun
pemaksaan kepada tersangka untuk mendapatkan pengakuan atas tindakan yang
dituduhkan kepadanya. Seperti contoh dalam kasus terorisme, tidak sedikit tersangka
yang mendapatkan perlakuan kekerasan oleh penyidik kepolisian demi mendapatkan
pengakuan. Fenomena kekerasan terhadap tersangka dalam diaklektika penegakan hukum
di Indonesia memberikan deskripsi yang jelas tentang betapa lemahnya posisi masyarakat
apabila berhadapan dengan aparat hukum yang berlindung di balik otoritas kekuasaan
Negara. Padahal dalam suatu negara hukum, mengakui persamaan hak setiap warga
negara di dalam hukum maupun pemeritahan.

Hal ini juga menunjukan betapa lemahnya asas praduga tidak bersalah yang
seringkali asas ini dikesampingkan demi mendapat pengakuan tersangka. Penggunaan
kekerasan dalam proses penyidikan oleh polisi membuat asas praduga tak bersalah seolah
mati mengingat asas ini sangat diutamakan dalam perkara pidana dibanding dengan
perkara lainnya. Walaupun banyak orang yang berpendapat bahwa dalam hukum
diperlukan kekerasan agar hukum dapat tercipta lebih baik dan lebih humanis.

B. Makna Asas Praduga Tak Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana


Suatu perkara pidana akan menjadi suatu perbuatan yang keji dan harus
mendapatkan hukuman untuk menegakkan keadilan ketika perbuatan tersebut secara
terang, jelas, dan meyakinkan merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh
seseorang. Namun, disisi lain, penjatuhan hukuman pidana itu akan justru menjadi
kejahatan baru yang merampas kemerdekaan seseorang dan memperkosa nilai keadilan
ketika penjatuhan hukuman itu tidak didasarkan pada bukti-bukti yang jelas serta proses
penegakkan hukum yang tidak sesuai aturan, terlebih orang yang dijatuhi hukuman
adalah orang yang sesungguhnya tidak bersalah.
Hal inilah yang sering diabaikan dalam penegakkan hukum. Banyak orang baik
itu aparat penegak hukum maupun masyrakat pada umumnya yang memiliki tendensi
negative terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Padahal, kita sendiri
sering mendengar istilah bahwa dunia adalah panggung sandiwara, yang artinya banyak
hal yang terlihat dimata tidak sebenarnya terjadi seperti apa sejatinya, dalam hal ini
terkait perkara pidana, jangan sampai dalam penjatuhan hukuman terjadi kesalahan dalam
menerapkan hukuman terhadap seseorang terlebih lagi orang tersebut bukan orang yang
bersalah melakukan tindak pidana. Sejalan dengan itu, berbagai asas telah menunjukkan
perlunya keberhati-hatian dalam menjatuhi hukuman pidana, salah satunya asas
“criminalibus probationes bedent esse luce clariores” yang artinya dalam perkara
pidana, bukti harus lebih terang/seterang cahaya. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya
bukti yang jelas dan meyakinkan untuk dapat memutuskan seseorang bersalah.
Adapaun prinsip lainnya yang juga memberikan isyarat betapa pentingnya
keberhatian dalam memproses pidana seseorang, yaitu adagium yang menyatakan lebih
baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada menghukum 1 orang yang benar. Asas
dan prinsip diatas merupakan hal-hal yang memberikan peringatan kepada kita semua
untuk tidak sembarang dalam mempidana seseorang.
Lebih lanjut lagi, sebagai bentuk keberhatian yang sudah ditekankan dalam asas
dan prinsip diatas, maka dari itu, dalam hukum acara berpidana sendiri salah satu yang
menjadi asas dalam hukum acara pidana Indonesia ialah, asas praduga tak bersalah atau
presumption of innocence. Asas praduga tak bersalah ini menjadi begitu penting dan
menjadi kelanjutan penjabaran dari asas-asas maupun prinsip yang memberikan perhatian
akan keberhatian dalam menegakkan hukum pidana. Dalam asas praduga tak bersalah ini
memberikan koridor kepada para aparat penegak hukum khususnya untuk tidak langsung
menganggap orang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai orang yang sudah pasti
bersalah.
Pertama, hal ini tentu memberikan koridor agar para aparat penegak hukum untuk
lebih berhati-hati dalam mempidana seseorang untuk menghindari terjadinya perampasan
atau pelanggaran terhadap hak asasi seseorang dan menghindari terjadinya peradilan sesat
yang berakibat pada penghinaan terhadap nilai keadilan.
Selain itu, asas praduga tak bersalah ini juga sejalan dengan system pidana
Indonesai yang bersifat accusatoir, artinya seorang tersangka/terdakwa sebagai subjek
dalam system peradilan pidana dan bukan sebagai objek, sehingga seorang tersangka
dan/atau terdakwa memiliki hak yang sama terkhusus di hadapan pengadilan. System
accusatoir ini memberikan pandangan bahwa yang harus dibedah dan menjadi focus
pembahasan dalam perkara pidana adalah perbuatannya sehingga yang diincar bukanlah
pengakuan dari pelaku melainkan membuktikan perbuatan yang disangkakan/didakwakan
itu terbukti dengan jelas dan meyakinkan.
Dalam pandangan lain, asas praduga tak bersalah ini jika dimaknai secara
mendalam dapat merubah mindset seorang aparat penegak hukum untuk memiliki
pemikiran bahwa mereka melaksanakan tugas sebagai pengabdian untuk mewujudkan
tujuan dan cita-cita Negara bukan menalksanakan tugas karena suatu pekerjaan yang
mereka jalani. Karena ketika seorang APH mampu menerapkan asas praduga tak
bersalah, maka ketika ia menangani suatu perkara pidana ia akan berkeyakinan bahwa
orang yang disangkakan/didakwakan itu belum tentu bersalah sehingga yang dicari dalam
proses pidana yang dijalankan adalah suatu kebenaran sejati bukan mencari pembenaran
dengan berupaya dengan berbagai cara untuk dapat menjatuhi seseorang dengan pidana
sekalipun ternyata orang tersebut ternyata tidak bersalah, namun akan tetap diupayakan
bersalah sebagai pengaruh dari mindset mereka yang menganggap tugas yang mereka
jalani hanya sebagai suatu pekerjaan sehingga yang mereka kejar adalah karier dan
berupaya menunjukkan profesionalitas mereka degan memperlihatkan kasi keberhasilan
mereka dalam menjatuhi pidana terhadap seseorang.
Demikianlah pentingnya asas praduga tak bersalah yang meskipun hanya sekedar
suatu kalimat sederhana dan sering dianggap sekedar teori yang dipelajari namun sering
terlupakan dalam penerapan proses penegakkan hukum. Padahal begitu pentingnya
makna dari asas praduga tak bersalah ini dan begitu signifikan pengaruhnya dalam
penerapan pada proses penegakkan hukum pidana untuk memberiakn koridor demi
tegaknya keadilan dalam penegakkan hukum pidana serta mencegah terjadinya
perampasan hak asasi seseorang serta menghindari terjadinya ketidakadilan.

C. Penerapan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem peradilan pidana merupakan suatu rangkaian penegakkan hukum yang
dilakukan oleh berbagai lembaga/instansi penegak hukum secara differensiasi fungsional
mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan
dipengadilan dan berakhir pada pelaksanaan putusan pengadilan. Suatu proses yang
cukup panjang dan erat kaitannya dengan perampasan kemerdekaan seseorang oleh
aparat penegak hukum yang pelaksanaannya dilindungi oleh undang-undang selagi
dilakukan sesuai dengan prosesdur yang diatur dalam aturan beracara pidana.
Dalam proses peradilan pidana seseorang baru sah ditetapkan statusnya sebagai
yang bersalah atau tidak atas suatu dugaan tindak pidana ialah setelah adanya putusan
incracht dari pengadilan yang berwenang. Oleh karena itu, dalam beracara pidana
seseorang yang belum diputuskan bersalah harus dianggap sebagai orang yang tidak
bersalah meskipun ia diduga melakukan tindak pidana tersebut. Hal inilah yang disebut
sebagai asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Asas praduga tak
bersalah sebagaimana yang sudah dijelaskan memiliki makna dan peran yang begitu
fundamental dalam penegakkan hukum untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan,
tentu mejadi bagian yang harus selalu diterapkan dalam proses peradilan pidana. Seluruh
Negara didunia pun mengenal dan menerapkan asas ini dalam system peradilan pidana
mereka.
System peradilan pidana Indonesia sendiri memiliki banyak asas yang menjadi
dasar dalam penjabaran maupun penerapan hukum pidana, salah satunya ialah asas
praduga tak bersalah itu sendiri. Secara teoritis, asas praduga tak bersalah ini mejadi
bagian yang harus tidak terpisahkan dalam proses penegakkan hukum pada system
peradilan pidana Indonesia. Namun, pada kenyataannya seringkali asas praduga tak
bersalah ini hanya dipandang sebatas teori yang selalu dipelajari sebagai materi dasar
dalam hukum pidana Indonesia, tanpa menghayati bagaimana pentingnya dan perlunya
penerapan asas praduga tak bersalah dalam rangkaian proses penegakkan hukum pidana.
Tanpa disadari banyak dari aparat penegak hukum atau bahkan masyarakat umum yang
mengetahui asas praduga tak bersalah ini, namun jika diperhatikan asas ini justru
menghilang seiring berjalannya proses penegakkan hukum dan dianggap hanya sekedar
pengetahuan saja.
Bahkan lebih lanjut, isi dari hukum acar pidana Indonesia sendiri terdapat pasal-
pasal yang sejatinya merupakan bentuk pasal yang isinya mengingkari atau mungkin
membuka peluang terjadinya pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah ini.
Menurut Prof. Andi Hamzah dalam suatu acara, beliau menjelaskan bahwa hanya di
Indonesia adanya penetapan tersangka dan surat pemberitahuan penghentian penyidikan.
Berdasarkan penjelasan beliau penetapan tersangka itu sendiri yang memang diatur dalam
KUHAP sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah
atau setidaknya telah membuka peluang terjadinya pengingkaran terhadap asas praduga
tak bersalah.
Mengapa demikian? Karena dengan adanya penetapan tersangka terhadap status
seseorang yang tentunya secara tidak langsung akan memberikan sudut pandang bahwa
orang tersebut adalah pelaku yang sedang dibuktikan mengenai kebenaran materiil dari
perbuatannya serta dengan perubahan status terhadap dirinya itu juga memberikan
legalitas bagi aparat penegak hukum untuk dapat melakukan upaya paksa. Tentu hal ini
sejatinya bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, meskipun ketika terjadi
kesalahan dalam penetapan tersangka terhadap seseorang dapat dilakukannya pra
peradilan atau ketika orang yang disangkakan itu ternyata tidak cukup bukti untuk
diteruskan perkaranya kepengadilan atau karena suatu hal lain yang diatur dalam undang-
undang dapat dilakukan penghentian penyidikan terhadap perkaranya melalui surat
pemberitahuan penghentian penyidikan. Namun, sebenarnya hal itu, hanyalah sebagai
bentuk upaya pemulihan hak dari seseorang yang sebelumnya sudah terlebih dahulu
dilanggar berdasarkan asas praduga tak bersalah.
Selanjutnya yang perlu juga untuk dibahas adalah, mengapa jika kita perhatikan
tanpa kita sadari asas praduga tak bersalah ini hanya dianggap sebatas teori saja atau
dianggap sebagai life service. Hal ini tentu memiliki alas an tersendiri yang erat kaitannya
dengan peran dari masing-masing institusi dalam system peradilan pidana itu sendiri.
Dalam pandangan penulis jika diperhatikan dari proses penegakkan hukum dalam system
peradilan pidana, asas praduga tak bersalah ini akan sudah hilang atau diabaikan
penerapannya pada saat perkara sudah memasuki tahap penetapan tersangka terhadap
seseorang. Ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka maka hal ini
memberikan tanggungjawab serta suatu beban tersendiri bagi aparat penegak hukum
khususnya penyidik untuk mebuktikan dengan berbagai alat bukti yang diatur dalam
undang-undang bahwa orang tersebut dapat diyakini sebagai orang yang bersalah untuk
kemudian perkaranya dapat diteruskan kepada penuntutan hingga pemeriksaan
pengadilan. Dari tanggungjawab yang muncul bagi seorang penyidik dengan adanya
penetaan tersangka terhadap seseorang tersebut, kemudian akan menimbulkan tendensi
dalam dirinya bahwa yang harus dialkukan adalah membuktikan kesalahan tersangka
tersebut bahkan sudah kita ketahui sejak dahulu sering dilakukan dengan berbagai cara
hanya untuk membuktikan seseorang tersangka benar-benar bersalah seperti tindak
kekerasan, ataupun merekayasa perkara yang sejatinya itu akan berujung pada peradilan
sesat yang akan merampas keadilan dan hak asasi seseorang. Tentu hal ini juga berkaitan
dengan gengsi akan profesionalitas seorang penyidik yang diuji bagaimana ia bisa dengan
kuat menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dapat membuktikannya berdasarkan
bukti-bukti yang kuat juga.
Maka dari itu, secara tidak langsung pengingkaran terhadap asas praduga tak
bersalah itu terbentuk dari adanya beban pembuktian oleh para aparat penegak hukum
baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan, yang
sejatinya semua itu bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Namun yang perlu
diperhatiakn adalah, bahwa menurut pendapat penulis penjelasan diatas tidak akan
menjadi suatu bentuk pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah, apabila yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum adalah sesuai dengan prosedur untuk membuktikan
seseorang melakukan tindak pidana, maka dalam hal ini justru aparat penegak hukum
sedang menjalankan tugasnya yang tanpa merendahkan asas praduga tak bersalah, harus
menegakkan keadilan diatas segala-galanya yaitu melalui pembuktian dan penuntutan itu
sendiri. Asas praduga tak bersalah itu akan teringkari ketika dalam proses pembuktian
baik itu ditahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan, seorang
aparat penegak hukum menganggap bahwa bagaimanapun caranya ia memiliki tanggung
jawab dan beban bahwa orang yang sudah ia tetapkan sebagai tersangka harus benar
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sehingga yang dilakukan adalah melalui
berbagai cara termasuk yang melanggar peraturan perundang-undangan untuk
membuktikan seseorang bersalah, sehingga pada dasarnya yang dicari adalah suatu
pembenaran atas persangkaan bukan suatu kebenaran atas suatu perkara.
Dalam proses pemeriksaan dipengadilan pun pengingkaran terhadap asas praduga
tak bersalah yang terjadi merupakan juga bentuk pengingkaran terhadap system
accusatoir yang menjadi system peradilan pidana yang dianut dinegara Indonesia. System
accusatoir ini sendiri mendudukkan terdakwa sebagai subjek dalam peradilan bukan
sebagai objek sehingga memiliki hak yang sama dengan subjek hukum lainnya dalam
pengadilan serta yang dicari pun sebagai objek yaitu kebenaran akan perkaranya
berdasarkan bukti-bukti yang sah bukan pada pengakuan dari pelaku semata.
Kemudian, jika kita analisis dari hal lainnya, yang dapat menjadi pemicu
hilangnya atau diabaikannya asas praduga tak bersalah ini adalah adanya suatu pola piker
atau mindset dari para aparat penegak hukum yang menganggap jabatan atau wewenang
yang ataupun peran yang diembannya sebagai suatu pekerjaan semata bukan sebagai
suatu pengabdian kepada Negara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Ketika seorang
aparat penegak hukum hanya menganggap peran yang ia jalani hanya sebatas pada
pekerjaan, maka akan cenderung seorang APH untuk mengejar karier dan kesuksesan
dalam pekerjaannya itu. Hal ini berkaitan dengan pembahasan pada paragraph
sebelumnya dimana untuk mengejar karier dan kesuksesan itu seorang APH harus
menunjukkan keprofesionalitasan dan kesuksesannya dalam menangani suatu perkara.
Oleh karenanya dengan alas an agar perkara yang ia tangani dapat berjalan mudah
atau mungkin ketika seorang APH sudah menetapkan seseorang sebagai
tersangka/terdakwa maka dengan berbagai cara termasuk jalan pintas atau tindakan
lainnya yang melanggar ketentuan pidana akan dilakukan untuk membuktikan kesalahan
seseorang demi menjaga keprofesionalitasannya dan kesuksesannya dalam
menanganiperkara sebagai seorang APH, sehingga menjadi catatan prestasi bagi dirinya
yang dianggap mampu menegakkan hukum meskipun sejatinya itu adalah bentuk
pelanggaran terhadap hukum yang lebih keji dan merampas kemerdekaan seseorang serta
memperkosa nilai keadilan, terlebi ternyata orang yang dipidana itu sebenarnya tidak
bersalah, dan hanya karena perekayasaan dan ketidakmampuannya dalam melawan
Negara dalam hal ini diwakili oleh APH, sehingga ia menjadi orang yang dipersalahkan,
seperti kasus-kasus yang pernah terjadi yaitu kasus Sengkon dan Kerta, serta kasus Imam
chambali dan Devid. Dua kasus tersebut menjadi contoh buruknya system peradilan
pidana kita yang masih sering terjadinya penyimpangan yang membawa kepada peradilan
sesat. Hal-hal inilah yang dipandang penulis masih sering terjadi dan menjadi penyebab
diabaikannya asas praduga tak bersalah dalam proses penegakkan hukum pada system
peradilan pidana di Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejatinya masih sering terjadi
penyimpangan asas praduga tak bersalah dalam praktik system peradilan pidana di
Indonesia. Tentunya hal ini perlu menjadi perhatian dan diambil langkah-langkah
perbaikan baik dari sisi yuridis maupun dari sisi social para aparat penegak hukum untuk
mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia seseorang sebagai akibat dari
penyimpangan dala praktik penegakkan hukum pidana yang ada.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses penegakkan system peradilan pidana di Indonesia dapat kita akui masih
terdapat kekurangan dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam praktik
penegakkan hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Salah satu hal
fundamental dalam system peradilan pidana yaitu asas praduga tak bersalah. Asas
praduga tak bersalah ini sendiri tanpa kita sadari sering atau bahkan selalu terabaikan
ketika proses penegakkan hukum itu sudah berlangsung dan hanya dianggap sebatas teori
semata.
Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh hal-hal yang saling berkaitan yang terjadi
dalam system peradilan pidana Indonesia, baik itu karena tanggung jawab dari seorang
aparat penegak hukum yang menimbulkan tendensi seakan mengharuskan ia untuk
membuktikan seseorang bersalah maupun karena tuntutan keprofesionalitasan maupun
tuntutan karier seorang aparat penegak hukum sehingga tak jarang akan membawa
seorang aparat penegak hukum untuk menempuh jalan pintas atau melakukan berbagai
cara untuk emncapai tujuannya tersebut.
Oleh karena itu, perlu ditegakkannya kembali asas praduga tak bersalah ini tidak
hanya sebatas teori semata demi menjamin terjaganya seseorang dari pelanggaran
terhadap hak asasinya serta menjamin tegakknya keadilan yang murni.

B. Saran
Dengan memperhatikan begitu pentingnya asas praduga tak bersalah dalam
menjamin keadilan dan hak asasi seseorang agar tidak dilanggar dalam proses
penegakkan hukum, maka perlu dilakukan upaya untuk kembali menghidupkan asas
praduga tak bersalah yang tidak hanya sebatas bacaan atau teori semata, namun harus
dilaksanakan dalam praktik peradilan pidana di Indonesia.
Perlu langkah-langkah yang nyata baik dari segi yuridis dengan merevisi perturan
perundang-undangan yang sudah ada untuk mampu membangun system yang dapat
menjamin tegaknya asas praduga tak bersalah, maupun memperbaiki system social yang
ada pada aparat penegak hukum dengan membangun mental dan pola piker yang sehat
pada para aparat penegak hukum untuk bertindak dan menjalankan peran, fungsi,
tanggungjawab, serta kewenangannya sesuai ketentuan yang ada demi tegaknya hukum
dan keadilan yang murni.

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2010. Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum
dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat. Jakarta: Sinar Grafika
http://repository.unpas.ac.id/31749/2/BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai