Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KRIMINOLOGI DAN VIKTIMOLOGI

ANALISIS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BERDASARKAN TEORI KEJAHATAN DARI PERSPEKTIF KONFLIK

MARCEL FEBRIAN
BRIGADIR SATU TARUNA/18.027
KELAS E/34
BAB I
PENDAHULUAN
A. FAKTA EMPIRIS
Kasus tindak pidana korupsi sebagaimana yang dianalisis dalam makalah ini
bersumber salah satunya dari putusan kasus tersebut yaitu Putusan Majelis Hakim Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor:24/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Bgl.
Dalam putusan tersebut terdapat fakta-fakta yang dianggap sebagai fakta empiris karena
secara formal melalui putusan tersebut diakui bahwa kejadian-kejadian ataupun bentuk
fakta lainnya yang dijelaskan dalam putusan tersebut adalah benar dan sesuai dengan apa
yang terjadi dalam kasus tersebut.
Dengan mengacu pada putusan tersebut, dijelaskan bahwa, terpidana bernama
Malidin, S.Sos bin Sena, berumur 57 Tahun, dan bekerja sebagai seorang PNS dengan
jabatan kepala kelurahan Bentiring sebelum akhirnya dicopot saat menjadi tersangka
dalam kasus ini. Kasus korupsi yang dijelaskan dalam makalah ini adalah kasus korupsi
terkait tindakana penyalahgunaan wewenang sehingga menyebabkan kerugian Negara
yakni hilangnya asset daerah berupa lahan yang terletak di Kelurahan Bentiring, dimana
secara birokrasi lahan tersebut berada dibawah kewenangan dari terpidana.
Kasus tersebut berawal dari adanya sebuah perusahaan yaitu PT Tiga Putra Mandiri
Bengkulu (TPMB) yang hendak mendirikan perumahan diwilayah Kelurahan Bentiring.
Pihak perusahaan membeli beberapa bidang tanah dari beberapa penjual diantaranya
Saudara Firman, Saudara, R. Effendi, Saudara Wisnu, dan Saudara M. Arsi. Semua tanah
tersebut diketahui dari fakta dipersidangan bahwa tanah tersebut belum memiliki bukti
kepemilikan. Untuk itu, penjual mengurus surat keterangan tanah (SKT) kepada pihak
kelurahan agar dapat dilakukannya jual beli lahan. SKT tersebut berfungsi sebagai bukti
awal kepemilikan atas suatu lahan yang dikeluarkan oleh pihak kelurahan dan menjadi
dasar dalam penerbitan sertifikat tanah.
Berdasarkan pada keterangan yang terdapat dalam putusan perkara tersebut, diketahui
bahwa sebelum SKT tersebut terbit dan ditandatangani oleh terpidana, terpidana ditelpon
oleh seorang pegawai kelurahan Bentiring yaitu Saudara Taher, untuk datang ke Kantor
Kecamatan Muara Bangkahulu dalam rangka mendukung gerakan pembangunan 1 juta
rumah. Pada saat di kantor kecamatan tersebut, terpidana langsung ditunjukkan sejumlah
SKT untuk ditandatangani, dimana SKT tersebut ialah SKT dari tanah-tanah yang akan
dibeli oleh pihak perusahaan Tiga Putra Mandiri Bengkulu. Terpidana lalu
menandatangani surat tersebut. Dengan pandangan, bahwa menurut terpidana kebiasaan
yang ada dalam penerbitan suatu SKT, ketika sudah lengkap berkasberkasnya dianggap
bahwa terpidana selaku lurah sudah mempercayakan bahwa bawahannya telah mengecek
kelengkapan berkas tersebut dan terpidana tinggal menandatangani surat tersebut.
Menurut keterangan dala putusan, saudara Taher selaku pegawai kelurahan telah
mengecek lahan tersebut kelapangan.
Pada saat SKT tersebut ditandatangani, surat tersebut belum diberi nomor registrasi.
Kemudian, saudara Taher memberikan nomor registrasi pada surat tersebut. Namun, saat
dicocokkan dengan daftar buku registrasi surat ternyata nomor pada surat tidak cocok
dengan yang terdapat pada daftar buku resgistrasi surat kelurahan. Pada saat ditanyakan
kepada pegawai kelurahan lainnya dan kasi pemerintahan kelurahan tersebut, mereka
tidak mengetahui mengenai penerbitan SKT tersebut.
Terkait adanya lahan diakui oleh pemerintah Kota Bengkulu sebagai asset daerah
diwilayah tersebut, terpidana sendiri tidak mengetahuinya dan tidak ada berkas-berkas
dikelurahan yang menunjukkan bahwa lahan tersebut adalah milik pemerintah Kota
Bengkulu. Hingga pada akhirnya, ketika adanya pengolahan lahan yang telah dbeli oleh
PT TPMB tersebut untuk dibangun perumahan, tim pansus asset pemerintah Kota
Bengkulu yang salah satu anggotanya tergabung dalam pembebasan lahan oleh pemkot
Bengkulu diwilayah tersebut pada tahun 1994-1995, melaporkan bahwa lahan tersebut
adalah termasuk ke dalam lahan yang telah dibebaskan oleh pemkot Bengkulu pada saat
itu. Untuk itu, tim pansus tersebut melakukan penelusuran dan kemudian melaporkan hal
tersebut ke Kejaksaan Negeri Bengkulu terkait adanya dugaan penjualan asset milik
pemkot Bengkulu.
Dalam persidangan yang dimuat dalam putusan perkara tersebut, dijelaskan bahwa
proses pembebasan lahan secara kronologis, berawal pada tahun 1994-1995 pemerintah
Kota Bengkulu pada saat itu berencana untuk membangun perumahan murah yang akan
dijual kepada pegawai negeri sipil diwilayah pemerintah Kota Bengkulu. Untuk
menindaklanjuti hal itu, dibentuklah tim Sembilan sebagai tim pembebasan lahan yang
diketuai oleh walikota Bengkulu pada saat itu yaitu Drs. Chairul Amri. Lahan yang akan
dibebaskan tersebut berada diwilayah Bentiring Kota Bengkulu. Proses pembebasan
lahan dilakukan melalui pembayaran ganti rugi kepada masyarakat yang lahannya
termasuk dalam sasaran pembebasan lahan. Dalam persidangan berdasarkan alat bukti
yang dihadirkan terdapat alat bukti berupa surat perintah panitia pembebasan lahan,
kwitansi, daftar nominative pembayaran, beserta peta situasi pembebasan lahan yang
dianggap menjadi bukti bahwa telah dilakukan pembebasan lahan terhadap lahan tersebut
oleh panitia tim Sembilan yang menjadi wakil pemerintah dalam proses pembebasan
lahan tersebut.
Dalam keterangan yang dimuat dalam putusan kasus tersebut, dijelaskan bahwa
kemudian lahan yang diakui oleh tim Sembilan telah dibebaskan tersebut, dibangun
perumahan korpri yang ditujukan untuk dijual kepada para pegawai negeri sipil
diwilayah Kota Bengkulu secara murah. Berdasarkan fakta yang diyakini oleh majelis
hakim dalam persidangan, lahan yang telah dibebaskan tersebut tidak dilakukan
pencatatan dalam aset daerah dengan alasan karena akan dibangun perumahan yang akan
dijual secara murah kepada pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintah Kota
Bengkulu.
Dengan keadaan kontur yang tidak memungkinkan pihak perum perumnas untuk
membangun rumah, maka masih terdapat sejumlah lahan yang tersisa dari total lahan
yang telah dibebaskan sejumlah sekitar 65 hektar. Dengan adanya lahan yang tersisa
tersebut kemudian lahan yang menurut tim Sembilan telah dibebaskan tersebut dibiarkan
tanpa tercatat dalam aset daerah. Tidak hanya itu, dilahan tersebut pun, juga tidak
terdapat tanda berupa papan nama yang menunjukkan lahan tersebut sebagai milik
pemerintah ataupun pemagaran lahan sebagai upaya pengamanan aset daerah.

B. FAKTA SOSIAL
Bengkulu sebagai daerah yang cukup terkenal dengan tingkat korupsinya cukup
tinggi, terbukti dengan banyaknya kepala daerah dan pejabat diwilayah Bengkulu yang
terjerat kasus korupsi.
Berdasarkan, keterangan yang ada yang dimuat dalam putusan kasus tersebut,
terpidana atas nama Saudari Malidin, S.Sos bin Sena berumur, 57 tahun, bekerja sebagai
PNS dengan jabatan sebagai kepala Kelurahan Bentiring, serta memiliki tiga orang anak.
Kehidupan keluarga terpidana sederahana dan tergolong cukup sesuai dengan pekerjaan
terpidana sebagai seorang lurah. Secara sosial politik, saudara terpidana merupakan
bawahan dari seorang sekretaris kecamatan Muara Bangkahulu yang membawahi
wilayah kelurahan yang dipimpin oleh terpidana. Dimana kemudian sekretaris kecamatan
tersebut menjadi atasan dari terpidana sebagai seorang camat, yaitu Saudara Asnawi
Amri yang sekaligus merupakan suami dari direktur PT TPMB.
Disamping itu, adapaun saudara Taher juga merupakan pegawai ang memiliki
hubungan yang dekat sekaligus sebagai bawahan dari Saudara Asnawi Amri. Menurut
keterangan yang termuat dalam putusan juga, menjelaskan bahwa terpidana dengan
direktur PT TPMB yaitu saudara Dewi Hastuti tidak pernah bertemu sebelumnya dalam
proses jual beli lahan.

C. FAKTA YURIDIS
Tindak pidana korupsi sebagai suatu fenomena kejahatan luar biasa di Indonesia telah
diatur secara ius constitutum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Perkara korupsi penjualan aset pemerintah Kota Bengkulu yang dibahas dalam
makalah ini adalah jenis tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dan jabatan
yang menyebabkan kerugian keuangan Negara, sebagaimana yang tercantum dalam
tuntutan jaksa penuntut umum dan dasar putusan hakim dalam putusan kasus tersebut,
yaitu terpidana dituntut dengan pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Terpidana dituntun pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan dan denda
sebesar Rp.350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan
kurungan. Pada akhirnya hakim memustuskan bahwa terpidana dipidana dengan pidana
penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
Berdasarkan dakwaan primair tersebut adapaun secara yuridis, perbuatan terdakwa
terbukti memnuhi unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan.
1. Setiap orang
Yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam pasal ini, sesuai dengan apa
yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 1999, maka sebagai
pelaku tindak pidana korupsi adalah orang perseorangan atau korporasi yang telah
melakukan perbuatan pidana berupa tindak pidana korupsi dan telah pula mampu
bertanggungjawab menurut hukum.
Dalam perkara ini, orang yang telah melakukan perbuatan pidana ialah
MALIDIN, S.Sos Als MALIN Als DIN Bin SENA LAM (Alm) sebagaimana data
pribadi terpidana telah disebutkan dalam putusan perkara ini dan telah ditanyakan
kepada terpidana tersendiri saat dipersidangan. Dengan dmeikian unsur pertama
terpenuhi.
2. Melawan Hukum
Terpidana dalam ketrangan yang termuat pada putusan perkara tersebut,
dianggapntelah melakuka perbuatan yang tidak sesuai prosedur dalam melakukan
penerbitan SKT melalui tanda tangan terpidana. Dalam proses penerbitan SKT
tersebut, Terdakwa/MALIDIN selaku Lurah semestinya melakukan verifikasi
lapangan terlebih dahulu dan melakukan pengumuman (sebagaimana PP nomor
24 Tahun 1997 Pasal 12) dengan cara melakukan pengukuran dan mencari
buktibukti/data yuridis mengenai alas hak tanah tersebut bukan langsung
menandatangani 8 SKT tersebut dan juga melengkapi dokumen administrasi guna
penerbitan SKT antara lain Surat Keterangan Penguasaan Fisik Tanah oleh
Terdakwa adalah Surat Permohonan, Surat Pernyataan Penguasaan Fisik, Berita
Acara Pengukuran Tanah, Gambar Situasi, selanjutnya Terdakwa menerbitkan
Surat Pengalihan/Pemindahan Penguasaan Tanah (SPPT) atas tanah tersebut,
namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan.
Selain itu kelalaian prosedur juga dibuktikan dengan adanya ketidakcocokkan
antara nomor registrasi yang terdapat pada SKT dengan yang tercatat dalam buku
daftar registrasi surat. Dengan demikian, perbuatan terpidana dianggaptelah
memenuhi unsur melawan hukum
3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi
Dengan memperhatikan pada putusan perkar atersebut, dijelaskan bahwa
menurut kesaksian saksi ahli sebagai auditor dari pihak BPKP, menyatakan bahwa
dari perbuatan dalam kasus tindak pidana korupsi ini, pihak PT TPMB mendapat
keuntungan atau kekayaan sebagai akibat dari perbuatan antara pihak perusahaan
bersama dengan terpidana selaku lurah yang berperan penting dalam proses
perizinan lahan.
Terbitnya SKT dan SPPT yang ditandatangani Terdakwa/MALIDIN seluas
8,7 ha menjadi dasar dari pemindahtanganan lahan Pemerintah Daerah Kota
Bengkulu dari saksi M. ARSI dan kawan-kawan yang mengaku sebagai pemilik
lahan kepada saksi DEWI HASTUTI tanpa ada persetujuan DPRD Kota Bengkulu
secara melawan hukum tersebut, telah dijadikan dasar oleh saksi Dewi Hastuti
untuk menjual lahan tersebut dalam proses pengalihan lahan kepada saksi Taman
seharga Rp.4.750.000.000,- (empat milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Sementara modal yang dikeluarkan pihak perusahaan dalam hal ini Saudari
Dewi Hastuti untuk membeli lahan tersbeut dari Saudara Wisnu dan kawan-kawan
ialah lebih kecil dari yang dijual oleh perusahaan kepada Saudara Taman yaitu
sebesar Rp.767.000.000-. Dengan demikian, unsur memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau korporasi dianggap telah memenuhi dengan adanya perbuatan terpidana
yang menerbitkan SKT membuat pihak lain yaitu pihak perusahaan dapat
megalihkan lahan yang telah dibelinya dan mendapat keuntungan sementara lahan
tersebut adalah lahan milik Pemerintah Kota Bengkulu.
4. Merugiakan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Hal ini sebagiamana keternagan dari BPKP selaku saksi ahli auditor,
menyatakan bahwa dari perbuatan terpidana telah timbul kerugian Negara sebesar
Rp.4.750.000.000,- (empat milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sesuai
dengan kewenangan dari BPKP yang dapat melakukan audit kerugian Negara,
pernyataan kerugian Negara oleh pihak BPKP tersebut dapat menajdi dasar legal
untuk membuktikan adanya kerugian Negara dari perbuatan terpidana. Dengan
demikian, unsur merugikan keuangan Negara dianggap telah terpenuhi.

Jika, dilihat dari sisi lain, yaitu proses pembebasan lahan oleh pemeirntah pada
tahun 1994-1995 dapat diperoleh fakta yuridis bahwa sesuai Keppres nomor 55 tahun
1993 tentang pembebasan lahan untuk kepentingan umum, menunjukkan bahwa tidak
terdapat poin yang mensyaratkan bahwa pemeirntah boleh melakukan pembebasan
lahan untuk membangun perumahan yang kemudian perumahan tersbeut akan dijual.
Hal ini, dikarenakan pada dasarnya dalam prinsip keuangan Negara, Negara tidak
boleh melakukan bisnis kepada masyarakat serat melakukan penagdaan yang
kemudian akan dijual atau tidak menambah asset Negara. Adapun BUMN menjadi
alternative Negara ketika akan melakukan transaksi ekonomi dengan masyarakat.
Selain itu, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan
Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, dan PP Nomor 6
tahun 2006 tentang tata cara pengelolaan barang milik Negara/daerah, bahwa dalam
pengadaan barang milik Negara atau daerah, pihak yang bertanggung jawab dalam
halini pemeirntah dan panitian pembebasan wajib menertibkan administrasinya
daintaranya berupa penatausahaan dan penginventarisasian. Khusus dalam hal
pengadaan tanah, maka tanah tersbeut wajib disertifikatkan. Pengamanan juga
diperlukan baik secara yuridisi melalui penerbitan bukti legalitas kepemilikan lahan,
maupun secara fisik berupa pemagaran.
BAB II
KEPUSTAKAAN KONSEPTUAL
Dalam menganalisis suatu fenomena kejahatan dalam kriminologi, terdapat berbagai
teori yang dapat digunakan. Salah satunya ialah teori kejahatan dilihat dari perspektif
konflik. Apabila dalam teori-teori lainnya, kejahatan dipandang berangkat dari kondisi-
kondisi yang tertata atau hal-hal yang disepakati bersama (consensus), dalam perspektif
konflik melihat adanya pertentangan terkait kebutuhan dan nilai antarberbagai kelompok.
Kebutuhan dan nilai yang dianggap benar, baik, dan berlaku adalah nilai milik kelompok
yang “menang” dalam suatu konflik.
Dengan kata lain, secara mendasar dapat dipahami bahwa dalam perspektif konflik
ini, tidka ada kebenaran yang hakiki, sekaligus tidak ada hukum dan kebenaran hukum serta
tidak ada kejahatan atau orang jahat yang permanen. Semuanya tergantung pada masing-
masing kelompok yang berkuasa menurut kebutuhan dan nilai-nilainya.
Masyarakat memiliki suatu pertanyaan atas teori-teori kejahatan yang menyatakan
bahwa kejahatan itu merupakan hasil kesepakatan bersama, karena jika kejahatan itu
merupakan hasil kesepakatan bersama, mengapa masih terus banyak bertambah orang yang
melakukan kejahatan atas nilai yang disepakati bersama tersbeut. Dari sinilah lahir
pandangan terkait perspektif konflik yang menyatakan bahwa penguasalah yang sebenarnya
menetapkan suatu perbuatan sebagai suatu kejahatan.
Oleh karena itu, dalam perspektif konflik ini,suatu kejahatan dianggap lahir dari
adanya perumusan yang dilakukan oleh kelompok penguasa dengan menggunakan nilai yang
dimilikinya diikuti oleh upaya mewujudkan kepentingannya melalui perumusan hukum
tersebut untuk kemudian menjadi alat dalam melawan kelompom lain yang menghambat
kepentingan penguasa atau bertentangan dengan nilai yang dimiliki oleh penguasa, sekalipun
menurut moril masyarakat hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai suatu kejahatan.
BAB III
PEMBAHASAN
Teori kejahatan dari perspektif konflik secara singkat memandang bahwa kejahatan
meruapkan suatu hal yang dirumuskan oleh para penguasa melalui hukum yang dibentuk oleh
penguasa tersebut berdasarkan pada nilai yang dimiliki dan kepentingan yang ingin
diwujudkan oleh penguasa tersebut. Sekalipun nilai tersbeut bertentangan dengan nilai dan
kepentingan yang dimiliki oleh masyarakat, namun dengan kekuasaan para penguasa, maka
pihak yang menanglah yang nilai seta kepentingannya dianggap sebagai hal yang baik,
benar, dan harus diikuti atau diakui.
Dalam perkara yang dijelaskan dalam makalah ini, penulis akan menganalisis
berdasarkan fakta-fakta yang ada dengan berpedoman pada teori konseptual yang akan
digunakan dalam pembahasan yaitu teori kejahatan dari perspektif konflik. Kasus penerbitan
SKT yang menyebabkan lepasnya asset milik pemerintah Kota Bengkulu ini, jika dilihat dari
kacamata penguasa dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum, secara yuridis
formal berdasar pada pasal yang didakwakan, sesuai dengan fakta yuridis, telah memenuhi
unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan terhadap terpidana.
Namun, yang perlu menjadi pertimbangan, jika dilihat dari sisi kacamata masyarakat.
Perbuatan terpidana pada dasarnya memang telah melanggar prosedur ketentuan penerbitan
SKT, akan tetapi yang perlu menajdi pertanyaan, apakah kelalaian atau kesalahan prosedur
penerbitan SKT tersbeut secara moril dan melihat pada kondisi terpidana serta meperhatikan
mens rea dari sutau perbuatan pidana, sengaja dilakukan semata-mata untuk mewujudkan
suatu tindak pidana korupsi.
Hal ini menjadi pertanyaan, mengingat bahwa dalam faktanya, tidak ketahui bahwa
lahan tersebut pernah dibebaskan oleh pemerintah kota Bengkulu dalam hal ini tim
pembebasan lahan pada tahun 1994-1995. Hal ini juga seharusnya menjadi dasar yang
menunjukkan kelalaian yang lebih dulu timbul dari pihak pemeirntah yang tidak menertibkan
administrasi dari lahan tersbeut dan pengamanan terhadap lahan tersebut jika memang lahan
tersbeut telah dibebaskan. Justru hal ini seharusnya menjadi pertanyaan kembali kepada pihak
pemeirntah, apa yang menajdi penyebab tidak adanya penatausahaan, penginventarisasian,
serta pengamanan terhadap lahan yang notabenenya telah dibebaskan kurang lebih 26 tahun
yang lalu.
Kembali kepada kondisi dari terpidana, bagaimana mungkin terpidana dalam
pandangan moril masyarakat dapat dianggap secara sengaja menerbitkan SKT untuk
kemudian membantu dapat terjual lahan milik pemerintah sementara lahan itu sendiri tidak
diketahui merupakan milik pemeirntah yang pernah dibebaskan sebelumnya ditambah lagi
tidak adanya sertifikats sebagai bukti kepemilikan atau bukti legalitas formil lainnya atau
setidaknya pengamanan fisik terhadap lahan tersebut.
Meskipun secara sosial, adanya hubungan dari terpidana dengan pejabat ditingkat
kecamatan yaitu Saudara Asnawi Amri sebagai suami dari direktur PT TPMB sehingga
dianggap adanya perekayasaan SKT yang sengaja dilakukan. Namun, berdasarkan putusan
perkara lain yang berkaitan, menyatakan bahwa Saudari Dewi Hastuti sendiri tidap pernah
bertemu dengan Saudara Malidin. Hal ini juga tidak bisa menajdi dasar semata-mata yang
dapat menguatkan adnaya perbuatan permufakatan jahat diantara pihak tersebut, karena tidak
ada bukti secara pasti yang dapat membuktikan bahwa dengan kewenangannya, Saudara
Asnawi Amri memanfaatkannya untuk membantu melancarkan usaha istrinya selaku direktur
PT TPMB dalam mendirikan perumahan tersebut.
Sekalipun secara ius constitum, perbuatan terpdiana memenuhi unsur-dalam pasal
yang didakwakan, namun menagcu pada kondisi-kondisi yang dijelaskan diatas, apakah
secara moril masyarakat perbuatan terpdiana dapat dianggap sebagai perbuatan korupsi yang
senagja memakan uang Negara sehingga merugiakan Negara.
Dalam fakta lainnya, jika dianalisis, adanya fakta yuridis yang menunjukkan bahwa
pada dasarnya pemebebasan lahan tersebut sendiri pada tahun 1994-1995, peruntukannya
tidak sesuai dengan yang diatur dalam Keppres nomor 55 tahun 1993, sehingga dapat
dikatakan malprosedur. Lebih lanjut, tidak adanya penatausahaan, penginventarisasian, dan
pengamanan, seat pencatatan dalam asset, jyga menjadi pertanyaan, apakah hal ini sebagai
akibat dari malprosedur tersebut sehingga berkorelasi dengan tidak dapatnya dilakukan
pengadministrasian terhadap lahan tersebut. Oleh karenanya, dengan kepentingan
mengamankan asset daerah tersebut pemerintah melalui aparat hukum menjatuhkan pidana
terhadap terpidana untuk meperjuangkan kepentingan mereka. Padahal semestinya, kelalaina
terlebih dahuu telah terjadi sebelum kelalaian penebritan SKT oleh terpidana terjadi. Dengan
demikian secara moril apakah masih layak terpidana dianggap bersalah melakukan kejahatan
korupsi yang dengan perbuatannya sengana merugikan Negara.
Dengan demikian, dapat dipahami, bahwa adanya perbuatan terpidana yang secara ius
constitutum memenuhi usnur-unsur dalam pasal yang didakwakan terhadap terpidana, namun
secara moril masyarakat dengan memperhatikan berbagai kondisi lainnya tidak patut
dianggap sebagai perbuatan yang dengan sengaja ditujukan untuk suatu perbautan kejahatan
korupsi yang membantu orang lain memakan uang Negara atau uang rakyat sehingga
merugikan Negara. Hal ini sejalan dengan teori kejahatan dilihat dari perspektif konflik,
dimana kepentingan penguasa dalam hal ini pemerintah dalam menegakkan hukum
berdasarkan undang-undang tipikor serta memperjuangkan kepentingan berupa asset daerah
tersebut menyebabkan perbuatan dari terpidana secara hukum formal memenuhi unsur-unsur
dalam pasal yang didakwakan. Namun, dengan berbagai kondisi lainnya, hal itu sejatinya
bertentangan dengan moril masyarakat untuk bisa ditetapkan sebagai suatu perbautan
kejahatan yang secara sengaja melakukan perbuatan korupsi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Teori kejahatan dari perspektif konflik memandang bahwa suatu kejahatan
lahir dari hasil peurmusan oleh para penguasa. Para penguasa tersebut dengan nilai
dan kepentingan yang dimiliki, merumuskan hukum yang dibentuk untuk ditujukan
kepada kelompok lain dalam hal ini masyarakat yang dianggap bertentangan dengan
nilai dan kepentingan yang dimiliki pemerintah.
Dalam perkara yang dibahas dalam makalah ini, menunjukkan adanya
perbuatan dari terpidana yaitu Saudari Malidin bin Sena yang secara hukum formil
yaitu undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku, telah memenuhi unsur-
unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terpidana sehingga terpidan dijatuhkan
pidana. Penjatuhan pidana itu didasarkan pada undang-undang yang dibentuk oleh
penguasa sendiri dan dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan penguasa berupa
asset daerah. Padalah, sejatinya, dengan melihat kondisi lain yang ada dalaM fakta
perkara, menurut moril masyarakat tidak dapat dikatakan perbuatan melawan hukum
terpidana dianggap sengaja dilakukan untuk membantu atau ikut serat melakukan
upaya perbuatan korupsi untuk memperoleh keuntungan bagi orang lain dengan
menjual asset berupa lahan daerah yang terpidana sendiri tidak mengetahui lahan
tersebt pernah dibebaskan dan merupakan milik pemerintah karena tidak adnaya
legalitas formil sebagai bukti kepemilikan lahan itu sebagai milik pemerintah atau
setidaknya pengamanan secara fisik dari lahan tersebut.
Dengan demikian, megacu pada perspektif konflik, sejalan bahwa perbuatan
terpidana dianggap sebagai kejahatan merupakan hasil dari perumusan penguasa
dalam hal ini pemerintah yang memebentuk undang-undang, pemerintah yang
berkepentingan, dan aparat yang melakukan penegakkan hukum dalam rangka
menegakkan dan memperjuangkan kepentingan golongannya. Sekalipun, perbuatan
terpidana secara moril masyarakat tidak dapat dipandang sebagai perbuatan yang
secara sengaja ditujuakan untuk melakukan perbuatan korupsi.
B. SARAN
Berdasarkan hasil analisis tersebut, penulis berpandangan bahwa perlu adanya
upaya penyepurnaan atau perevisian undang-undang yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi mengenai unsur-unsur dalam pemenuhan pasal suatu perbautan tindak
pidana korupsi. Hal ini penitng untuk semakin memebrikan batasan yang jelas terkait
suatu perbuatan dengan memperhatikan berbagai kondisi dan aspek mens rea dari
suatu perbuatan untuk dapat sebagai suatu perbuatan korupsi. Sehingga hukum tidak
hanya dipandang sebatas pada undang-undang namun hukum dipandang secara lebih
luas dan kejahatan juga bukan semata-mata hasil perumusan dari penguasa namun
juga diakui secara moril oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Mahkamah Agung RI. (2020). Putusan Nomor: 24/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Bgl. Diakses pada


25 Desember 2021, dari https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/
aseb6a67gb5d832e96f0303634373139.html.

Akpol. (2020). Kriminologi dan Viktimologi. Semarang:Akpol.

Anda mungkin juga menyukai