Anda di halaman 1dari 9

PENGAKUAN KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH ADAT DENGAN

BUKTI PIPIL

NI LUH MADYARNI SRI DEPI


Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram
Email: sdepi601@gmail.com

ABSTRAK
Tanah sangat diperlukan bagi seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu
adanya jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Untuk menjamin dan mendukung
kepastian hukum dari pelaksanaan pendaftaran tanah adalah dengan menyertakan pipil. Pipil
sendiri merupakan tanah bekas hak milik adat yang belum terdaftar dan belum dikonversi
menjadi salah satu hak tertentu dan belum didaftarkan dan disertiifikatkan pada Kantor Badan
Pertanahan Nasional. Oleh karena itu, persoalan ini berkaitan dengan bagaimana kekuatan
pipil membuktikan hak atas tanah sebelum sertifikat diterbitkan. Penelitian ini bersifat yuridis
normatif, antara lain berupa pengumpulan bahan-bahan baik dari peraturan perundang-
undangan, asas-asas hukum, doktrin serta sumber-sumber lain yang relevan dengan pokok
permasalahan. Hasil penelitian ini adalah Kekuatan bukti pipil sebagai alat bukti dalam
pendaftaran hak atas tanah, hanyalah sebagai bukti dalam pembayaran pajak, bukanlah
sebagai bukti kepemilikan tanah, yang kemudian digunakan sebagai salah satu syarat atau
bukti awal permulaan dan harus didukung bukti lain untuk mendaftarkan hak atas tanah.
Kata Kunci: Kepemilikan, Pendaftaran, Pipil, Bukti

A. PENDAHULUAN
Tanah bagi kehidupan manusia tidak hanya mempunyai nilai ekonomi dan
kesejahteraan manusia saja, tetapi juga terkait dengan permasalahan sosial, politik, budaya
dan juga mengandung aspek pertahanan dan keamanan. 1 Berdasarkan penolakan asumsi ini
akan semakin menyebar dalam suasana pembangunan kebutuhan akan lahan semakin
meningkat dan dalam mengatasi persoalan ini memerlukan perhatian khusus dan pendekatan
terpadu dan berdasarkan kebijaksanaan yang berasal pada UUD 1945, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya.

1
Victor Emanuel. (2017). Perlindungan Hukum Atas Tanah Adat dalam Kaitan dengan Pemberian Izin Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang. Jurnal Penerangan Hukum, Vol. 5 No. 2.
Tanah sangat diperlukan bagi seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu
adanya jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, dokumen hukum yang tertulis,
lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten diperlukan untuk menjamin kepastian
hukum di bidang pertanahan dan untuk melaksanakan pendaftaran tanah demi adanya
jaminan kepastian hukum hak atas tanah.
Dalam perkembangan Hukum Agraria saat ini, persoalan kepastian hak dan subjek hak
atas tanah mendapat perhatian yang cukup serius. Hal ini antara lain terlihat dalam Pasal 19
UUPA yang mengatur bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran tanah tersebut meliputi pengukuran,
pemetaan, pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak-hak tersebut kepada pihak lain, seta
pemberian surat tanda bukti hak yang merupakan alat bukti kuat.
Dengan dilakukannya pendaftaran tanah, maka status haknya akan beridentitas yang
jelas. Pendaftaran tanah mempunyai tujuan hukum untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan
hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.2 Sebagai bukti bahwa pemegang hak berhak atas tanahnya
adalah dengan pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
yaitu sertifikat tanah.3 Istilah pendaftaran tanah atau land registration memberikan kesan
bahwa obyek utama pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran adalah tanah. Mengenai
pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanah yang merupakan obyek pendaftaran yaitu
untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga
dalam daftar tanah.
Sesuai ketentuan tersebut pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui 2
(dua) cara, yaitu pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat,
keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan adanya setiap jengkal tanah di mata
hukum keagrariaan harus jelas status hak dan pemegang haknya, misalnya, tanah Hak Milik
jelas bukan tanah Negara dan berbeda kriterianya dengan tanah-tanah Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha, Hak Pakai. Begitupun siapa saja yang boleh menguasai atau memilikinya
serta peruntukan penggunaan tanahnya mempunyai kriteria-kriteria yang berbeda. Tanah hak

2
A.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Cet 1, Mandar Maju, Bandung, 1999. hlm. 9
3
Budi, Mudahnya Mengurus Sertifikat Tanah dan Segala Perizinannya, Cet 1, Buku Pintar, Yogyakarta, 2014.
hlm. 86.
milik ataupun tanah hak-hak lainnya wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan Administrasi
(BPN).
Untuk menjamin dan mendukung kepastian hukum dari pelaksanaan pendaftaran tanah
secara sporadik adalah dengan menyertakan pipil. Pipil sendiri merupakan tanah bekas hak
milik adat yang belum terdaftar dan belum dikonversi menjadi salah satu hak tertentu dan
belum didaftarkan dan disertiifikatkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional. Pipil
berfungsi sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, dikalangan rakyat dianggap
sebagai tanda bukti kepemilikan tanah yang bersangkutan.

B. PERMASALAHAN
1. Bagaimana bukti Kepemilikan Menurut Hukum Tanah Adat Dalam Administrasi
Pertanahan?
2. Bagaimana Kekuatan Bukti Pipil Sebagai Alat Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah
Adat?

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat yuridis normatif, antara lain berupa pengumpulan bahan-bahan
baik dari peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, doktrin serta sumber-sumber lain
yang relevan dengan pokok permasalahan. Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggumpulkan data sekunder, dengan
cara menelaah peraturan perundang-undangan, literatur, karya hukum, dan bahan tertulis
lainnya yang berkaitan dengan penelitian. metode pengumpulan data penelitian ini dilakukan
dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan, literatur, karya-karya hukum, dan
bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Data yang diperoleh melalui penelusuran Pustaka kemudian dianalisis secara kualitatif.
Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan dan dipilah untuk menemukan data yang
relevan dan representatif terkait dengan permasalahan. Data tersebut kemudian akan diteliti
secara mendalam, dianalisis dan disajikan secara deskriptif, kemudian diambil kesimpulan
untuk menjawab permasalahan yang diangkat dan dibahas.

D. PEMBAHASAN
1. Bukti Kepemilikan Menurut Hukum Tanah Adat Dalam Administrasi
Pertanahan
Alas hak atas tanah dinyatakan dalam bentuk surat yang ditulis oleh camat atau notaris
dalam berbagai bentuk untuk dijadikan bukti tertulis bahwa tanah tersebut dikuasai oleh
masyarakat. Penerbitan bukti penguasaan tanah ada yang dibuat diatas tanah yang belum
dialih fungsikan atau atas tanah yang dikelola oleh negara, kemudian tanah itu sengaja
ditempati oleh masyarakat atau diatur oleh kepala desa dan disetujui oleh camat. apabila
tanah merupakan hak seseorang atau termasuk jenis hak adat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 88 ayat (1) poin a Peraturan Menteri Agraria/Ka.BPN
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa untuk bekas tanah milik adat yang alat bukti
tertulisnya lengkap dan yang alat bukti tertulisnya tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi
maupun pernyataan yang bersangkutan yang dipercaya kebenarannya oleh Kepala Kantor
Pertanahan, ditegaskan konversinya menjadi hak milik. Hal ini sesuai dengan ketentuan
tentang pembuktian hak lama dalam Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 dimana untuk alat-alat bukti tersebut dapat diterapkan penegasan hak. Alat-alat
bukti seperti yang dimaksud ini dikumpulkan dan diperlihatkan sebelum diumumkan di
Kantor Pertanahan dan di Kecamatan untuk memancing reaksi pihak-pihak yang lebih
berhak.4
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis, sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan
buku tanah hak yang bersangkutan. Artinya bahwa hukum hanya memberikan jaminan atas
bukti hak kepemilikan tersebut kepada seseorang, dan bukti ini tidak satu-satunya sebagai
bukti, hanya sebagai alat bukti yang kuat saja. 5 Moch.Isnaini mengemukakan bahwa
“Sertifikat hak atas tanah bukan merupakan satu-satunya alat bukti yang bersifat mutlak,
justru sebaliknya baru merupakan alat bukti awal yang setiap saat dapat digugurkan pihak
lain yang terbukti memang lebih berwenang”.6
Pasal 88 ayat (1) sub b, Peraturan Menteri Agraria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997
disebutkan bahwa hak atas tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah
dibuktikan kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya diakui sebagai hak milik. Chris Lunnaydan Herman
Soesangobeng mengemukakan bahwa:
Bidang-bidang tanah yang di masa Hindia Belanda tidak terdaftar secara rectcadaster
dan umumnya digolongkan sebagai tanah adat kini merupakan sasaran pendaftaran

4
A.P. Parlindungan (selanjutnya disebut AP. Parlindungan III), Bunga Rampai Hukum Agraria Serta
Landreform, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 101.
5
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung,
2010, hal. 112.
6
Moch. Isnaini, Benda Terdaftar Dalam Konstelasi Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, Volume 7 Nomor 13
April 2000, hal. 56.
yang utama. Selain itu, kemudahan terhadap mayoritas anggota masyarakat yang tidak
memiliki alat bukti tertulis pun dibantu dengan cara pembuktian melalui penguasaan
fisik secara nyata maksudnya bidang tanah yang secara terus-menerus telah dikuasai
selama 20 (duapuluh) tahun baik oleh pihak yang sedang menguasai ataupun
pendahulunya, dapat didaftar dan diterbitkan sertifikatnya.7
Ketentuan ini mencerminkan kepedulian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan
dan kepemilikan tanah oleh anggota masyarakat hukum adat yang hanya mengandalkan
penguasaan secara fisik tanpa didukung surat kepemilikannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 4
UUPA dan dirinci lebih lanjut dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, kepada perorangan atau badan
hukum dapat diberikan sebagai macam hak atas tanah.
Dalam rangka proses pendaftaran tanah, kegiatan yang dilakukan adalah meliputi
pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai objek
pendaftaran tanah yang dilakukan. Untuk itu, alat bukti tertulis diperlukan sebagai dasar yang
dapat menentukan hak atas tanah. Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis, diadakan
pembedaan antara pembuktian hak baru dan hak lama. Hak yang baru adalah hak atas tanah
yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya UUPA. Sedangkan yang
dimaksud dengan hak lama adalah hak atas tanah yang berasal dari konversi hak yang ada
pada waktu mulai berlaku UUPA dan hak yang belum didaftar menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Hak lama dapat dikategorikan menjadi 2 jenis hukum tanah, yakni hukum tanah barat
dan hukum tanah adat. Hak yang berasal dari hukum tanah barat dapat dikonversi menjadi
hak-hak atas tanah menurut UUPA dengan menggunakan 13 jenis dokumen yang merupakan
bukti penguasaan dan pemilikan hak atas tanah. Hal ini berarti bahwa pembuktian hak lama
yang berasal dari hukum tanah barat dapat dibuktikan secara rasional karena terdapat
dokumen tertulisnya. Berbeda halnya dengan pembuktian hak lama yang berasal dari hukum
tanah adat yang secara rasional akan sulit pembuktiannya karena tidak ada dokumen tertulis.
Hukum pertanahan adat tidak mengenal bukti kepemilikan secara tertulis, hanya penguasaan
fisik secara turun temurun sehingga hal inilah yang sangat rawan konflik atau sengketa.
Dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditentukan penguasaan
fisik selama 20 tahun secara berturut-turut dan dengan itikad baik sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Berkaitan dengan syarat itikad baik, dapat dikatakan bahwa setiap
orang yang menguasai suatu bidang tanah dan ingin menyertifikatkannya,maka ia harus
membuktikan bahwa tanah yang dikuasainya itu bukanlah tanah milik orang lain. Harus pula
7
Cris Lunnay dan Herman Soesangobeng, Status Reformasi Pertanahan dalam Undang-Undang Pokok Agraria
dan Proyek Administrasi Pertanahan dengan Perspektif Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat, Seminar
Nasional Pertanahan, Bandung, hal. 3
jelas secara faktual bahwa subjek hukum yang menguasai tanah tersebut menggantungkan
hidupnya di atas tanah itu dalam artian hidup dan kehidupannya berada di atas tanah itu
sehingga dengan demikian maka tidak akan terjadi penelantaran tanah.
Dalam pengembangan administrasi pertanahan, hak lama atas tanah menurut hukum
adat memberikan warna tersendiri dalam khasanah administrasi pertanahan diIndonesia. Hak-
hak atas tanah menurut hukum tanah adat yang terdiri atas hak persekutuan dan hak
perorangan menegaskan adanya fungsi sosial dalam hak-hak atas tanah yang diatur dalam
UUPA. Hukum pertanahan adat merupakan dasar dan sumber utama bagi hukum pertanahan
nasional. Ada beberapa asas hukum tanah adat yang diadopsi oleh hukum tanah nasional
sebagaimana terkandung dalam UUPA, yakni Asas Religiusitas (Pasal 1); Asas
Kebangsaan/Kenasionalan (Pasal 1, 2, dan 9); Asas Demokrasi (Pasal 9); Asas
Kemasyarakatan, Pemerataan, dan Keadilan Sosial (Pasal 6, 7, 10, 11, dan 13); Asas
Penggunaan dan Pemeliharaan Tanah Secara Berencana (Pasal 14 dan 15); serta Asas
Pemisahan Horizontal. Asas Kebangsaan dalam hukum tanah adat memperlihatkan bahwa
hukum tanah di Indonesia adalah hukum tanah yang pro kepentingan negara, pro sosialisme
Indonesia, tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan
ditambah dengan unsur agama.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam rangka pengembangan administrasi
pertanahan di Indonesia, nilai-nilai hukum tanah adat yang terkandung dalam asas-asasnya
diharapkan dapat tercermin dalam kegiatan administrasi pertnahan sehingga dapat meredam
konflik pertanahan yang begitu banyak terjadi dalam masyarakat. Peran hukum tanah adat
memiliki porsi yang cukup besar dalam hukum pertanahan nasional. Peran pemerintah atau
penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang
pertanahan. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran
Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan atau agraria
memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya. Oleh karena itu, prinsip mendahulukan
kepentingan sosial dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh
dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk
kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan
sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyai maupun baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan negara.
2. Kekuatan Bukti Pipil Sebagai Alat Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah Adat
Masyarakat mengenal istilah tanah Pipil, istilah ini popular dengan sebutan tanah adat
atau tanah-tanah lain yang belum dikonversi menjadi salah satu tanah hak tertentu dan belum
didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa
bermacam-macam, antara lain: Pipil, Girik, Petok D, Rincik, Ketitir, dan lain sebagainya.
Istilah tanah-tanah bekas Tanah Adat yang belum dikonfersi menjadi salah satu Tanah hak
tertentu (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Guna Usaha).8
Masih berkembangnya pemahaman bahwa Pipil merupakan bukti kepemilikan hak atas
tanah setelah Undang-Undang Pokok Agraria, disebabkan adanya anggapan demikian yang
masih terus berkembang di kalangan masyarakat. Dengan dasar bukti tersebut masyarakat
sudah merasa aman, karena merasa telah memiliki bukti kepemilikan atas hak tanahnya.
Tanah Pipil biasanya mengalami peralihan hak dari tangan ke tangan, dimana semula bisa
berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi-bagi menjadi beberapa bidang tanah
yang sangat kecil. Peralihan hak atas tanah Pipil tersebut biasanya dilakukan di hadapan
Lurah atau Kepala Desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan
kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat
digunakan untuk menelusuri kepemilikannya.
Setelah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria Pipil memang sudah tidak lagi dibuat
namun untuk keberadaannya masih tetap diakui, karena memiliki fungsi sebagai salah satu
syarat untuk pengkonversian tanah milik adat. Sehingga kekuatan hukum pipil hanyalah
sebagai bukti pembayaran pajak. Bukanlah sebagai bukti kepemilikan tanah, yang kemudian
digunakan sebagai salah satu syarat atau bukti permulaan untuk mendaftarkan hak atas
tanah. Dari proses pendaftaran hak atas tanah tersebut nantinya akan lahir yang namanya
sertifikat sebagai alat bukti yang kuat terhadap kepemilikan suatu hak atas tanah. 9
Pipil dan serifikat merupakan dua bukti hak kepemilikan atas tanah yang memiliki
kekuatan hukum yang kuat. Pipil juga memiliki kekuatan hukum yang kuat sepanjang belum
pernah dikeluarkannya sertifikat atas pipil tersebut. Akan tetapi ketika suatu pipil telah
dikeluarkan sertifikat atas pipil yang bersangkutan maka pipil tersebut sudah tidak berlaku
lagi sebagai bukti kepemilikan atas tanah. Pipil merupakan bukti kepemilikan hak-hak lama
atas tanah sebelum diterbitkannya UUPA yang menyatakan sertifikat merupakan alat bukti
kepemilikan atas tanah yang sah dan diakui oleh undang-undang. Dalam prakteknya pipil
dan sertifikat memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat asalkan proses dari terbentunya
dokumen tersebut telah sesuai dengan prosedur yang ada.
Terlepas dari dikeluarkannya UUPA, ketika suatu pipil telah dikonfersi menjadi sebuah
sertifikat maka kekuatan hukum pipil tersebut sudah tidak ada, begitu juga dengan sertifikat
8
Matas, I. G. A. D. U., & Arba, A. (2023). Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Secara Sporadik
Berdasarkan Pipil Sebagai Bukti. Hal 236
9
ibid
ketika dalam proses pembuatan ataupun pengkonfersian dari bukti kepemilikan lama tidak
menggunakan etikat baik ataupun dalam pembuatannya terdapat pelanggaran yang dilakukan
maka sertifikat tersebut dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan hukum atau tidak sah,
sehingga dalam beberapa keadaan justru pipil yang menang melawan sertifikat itu sendiri.
Oleh karena itu kita tidak boleh melihat pipil setengah mata dikarenakan, pipil dan sertifikat
merupakan dokumen kepemilikan yang setara. Masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui baik dari kedudukan ataupun terbentuknya dokumen pipil dan sertifikat itu
sendiri sehingga sering terjadi sengketa-sengketa yang timbul dari ketidaktahuan itu.
E. KESIMPULAN
Kesesuaian antara bukti kepemilikan dengan alas haknya dalam penguasaan dan
pemilikan tanah dapat dilihat dari dokumen-dokumen yang diajukan dalam pengurusan bukti
kepemilikan hak atas tanah (sertifikat). Dokumen-dokumen yang dimaksud dapat berupa
Surat Keterangan Tanah ataupun bukti kepemilikan hak-hak lama atas tanah. Khusus untuk
hak lama menurut hukum tanah adat, jika tidak bisa dibuktikan secara tertulis, maka dapat
dibuktikan dengan penguasaan fisik selama 20 tahun atau lebih dengan itikad baik dan secara
terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhakatas tanah, serta diperkuat oleh
kesaksian orang yang dapat dipercaya.
Kekuatan bukti pipil sebagai alat bukti dalam pendaftaran hak atas tanah, hanyalah
sebagai bukti dalam pembayaran pajak, bukanlah sebagai bukti kepemilikan tanah, yang
kemudian digunakan sebagai salah satu syarat atau bukti awal permulaan dan harus didukung
bukti lain untuk mendaftarkan hak atas tanah. Dari proses pendaftaran hak atas tanah tersebut
nantinya akan lahir yang namanya sertifikat sebagai alat bukti yang kuat terhadap
kepemilikan suatu hak atas tanah.
REFERENSI
A.P. Parlindungan (1994). Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Mandar Madju
A.Parlindungan, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Cet 1, Mandar Maju, Bandung
Arisaputra, M. I., & Mardiah, S. W. A. (2019). Kedudukan Hukum Tanah Adat dalam
Pengembangan Administrasi Pertanahan di Indonesia: Studi Komparatif. Amanna
Gappa, 67-87.
Budi, 2014, Mudahnya Mengurus Sertifikat Tanah dan Segala Perizinannya, Cet 1, Buku
Pintar, Yogyakarta
Cris Lunnay dan Herman Soesangobeng, Status Reformasi Pertanahan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria dan Proyek Administrasi Pertanahan dengan Perspektif
Sebesar- besarnya Kemakmuran Rakyat, Seminar Nasional Pertanahan, Bandung.
Indonesia, Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
Juniari, N. K. P., Suwitra, I. M., & Sudibya, D. G. (2023). PENYELESAIAN SENGKETA
HAK ATAS TANAH ADAT DI DESA GUWANG, KEC. SUKAWATI, KAB.
GIANYAR. WICAKSANA: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 7(1), 35-44.
Matas, I. G. A. D. U., & Arba, A. (2023). Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah Secara
Sporadik Berdasarkan Pipil Sebagai Bukti. Private Law, 3(1), 230-239.
Moch. Isnaini, Benda Terdaftar Dalam Konstelasi Hukum Indonesia, Jurnal Hukum, Volume
7 Nomor 13 April 2000.
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar
Maju, Bandung, 2010.
Victor Emanuel. 2017. Perlindungan Hukum Atas Tanah Adat dalam Kaitan dengan
Pemberian Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Serawai Kabupaten
Sintang. Jurnal Penerangan Hukum, Vol. 5 No. 2.

Anda mungkin juga menyukai