Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR PENDAFTARAN TANAH


1. Pengertian Pendaftaran Tanah.

Menurut Pasal 1 angka 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan bahwa :

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-

satuan rumah susun, termasuk pemberian tanda bukti haknya bagi bidang-bidang

tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak

tertentu yang membebaninya.

Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas negara

yang dilaksanakan oleh pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka

memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum di bidang pertanahan.

Lembaga pendaftaran tanah tidak dikenal dalam hukum adat, karena semula tidak

diperlukan untuk lingkungan pedesaan yang lingkup teritorial dan personalnya

terbatas.Dengan adanya perkembangan dan kemajuan pembangunan di berbagai

bidang, keadaan demikian tentunya tidak dapat dipertahankan lagi. Masyarakat

pedesaan juga memerlukan dukungan keterangan yang dihasilkan dari kegiatan

pendaftaran tanah.

2. Asas-Asas Pendaftaran Tanah


Menurut Pasal 2 PP No.24 tahun1997 pendaftaran tanah dilaksanakan

berdasarkan :

1. Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-

ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh

pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.


2. Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan

jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.


3. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang

memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan

golongan ekonomi lemah.


4. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam

pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya.

Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu

diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di

kemudian hari.

Asas mutakhir ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara teru

menerus dan berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di Kantor

Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang nyata di lapangan dan masyarakat

dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah

diberlakukan pula asas terbuka.

3. Tujuan Pendaftaran Tanah.

Menurut ketentuan Pasal 19 UUPA jo Pasal 3 PP No. 24 tahun1997,


tujuan dari pendaftaran tanah adalah :

a. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya

sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Karena kepada mereka masing-

masing diberikan surat tanda bukti hak (sertipikat) oleh pemerintah.


b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah yang sudah terdaftar, karena keterangan-keterangan tersebut yang

disimpan di Kantor Pertanahan bidang penyelenggaraan pendaftaran tanah

terbuka untuk umum. Dalam arti umum boleh mengetahui dengan melihat

sendiri daftar dan dokumen yang bersangkutan atau meminta keterangan

tertulis mengenai data yang diperlukan dari kantor pertanahan tersebut.


c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

4. Sistem Pendaftaran Tanah

Sistem Pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak

(registration of titles), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan

pendaftaran tanah menurut PP 10/1961. Bukan sistem pendaftaran akta

(regristration of deeds).

Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat

data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkanya

sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Hak atas tanah, Hak

Pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik atas satuan rumah susun didaftar dengan
membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik

bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukunya dicatat pula pada

surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat

ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang

haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hokum telah

didaftar menurut PP 24/1997 dalam pasal 29.

Sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang peran

vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang

bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Masyarakat adat,

awal mulanya hidup nomaden (berpindah-pindah). Sehingga mengakibatkan semua

tanah yang digarap menjadi milik bersama dan menggarapnya pun dengan caara

gotong royong (komunal) pula. Sampai mereka hidup menetap, sifat komunal

masih melekat. Untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, diperlukan campur

tangan penguasa yang kompeten dalam urusan tanah. 1

Bila dipandang menurut sejarahnya di Indonesia, menurut Purnadi Purbacaraka

dan A. Ridwan Halim, hukum agraria (tanah) dapat dibagi atas 2 (dua) fase, yakni

fase pertama, dimana didalamnya terdapat Hukum Agraria Adat dan Hukum

Agraria Barat; fase kedua, dimana didalamnya terdapat Hukum Agraria Sesudah

Berlakunya UUPA. Salah satu sejarah hukum tanah di Indonesia sebelum

1 Iman Sudiyat. Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm
berlakunya UUPA selain hukum agraria barat yaitu hukum tanah adat. Yang

didalamnya mengenal seperti hak ulayat, hak milikdan hak pakai.2

Lembaga hukum tanah adat di atur dalam hukum adat. Hukum yang

mengaturnyapun tidak tertulis. Tanah adat ini umumnya tidak terdaftar maka

jumlahnya hanyalah sebagian kecil saja dari jumlah hak tanah yang ada, misalnya:

tanah milik perorangan yang sudah didaftarkan. Kalaupun pernah didaftarkan,

pendaftarannya itu hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar

oleh pemiliknya (sebagai kohir atau kutir). Jadi secara yuridis bukan sebagai hak.

Pembuktian hak atas tanah itu berdasarkan atas kesaksian. Di lingkungan hukum

adat, campur tangan penguasa dilakukan oleh kepala berbagai persekutuan

hukum3.

1. Hak atas tanah adat.

Hak atas tanah adat menurut hukum adat sebelum berlakunya UUPA:

a. Hak Ulayat.

Hak Ulayat ialah hak atas tanah yang di pegang oleh seluruh anggota

masyarakat hukum adat secara b ersama-sama (komunal).4 Hak ulayat juga

dinamakan hak purba. Menurut Iman Sudiyat, hak purba ialah hak yang dipunyai

2 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2. 1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 23
3 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 1.

4 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2. 1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 25
oleh suatu suku, sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah

desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya5.

Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai

tanah tersebut secara menyeluruh. Tetapi dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat

komunal pada hakikatnya tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang

bersangkutan untuk secara perorangan menguasai sebagian dari objek penguasaan

hak ulayat tersebut secara tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu)

agar diketahui para anggota lainya semasyarakat dalam waktu yang tertentu pula6.

b. Hak Perorangan.

Menurut Iman Sudiyat, hak perorangan yaitu suatu hak yang diberikan kepadaa

warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak

purba (ulayat) persekutuan hukum yang bersangkutan.

Jenis-jenis hak perorang ada 6, yaitu:

1. Hak milik, hak yasan (inlands bezitrecht).


2. Hak wenang pilih, hak kinacek, hak mendahului (voorkeursrecht).
3. Hak menikmati hasil (genotrecht).
4. Hak pakai (gebryiksrecht), dan hak menggarap/ mengolah

(ontiqinningsrecht).

Hukum adat di Indonesia tidak mengenal suatu keadaan, dalam mana ada orang

perseorangan mempunyai hak milik atas tanah disamping orang lain, yang seketika

itu juga mempunyai hak memakai atau hak menggarap atas tanah itu.

5 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 2
6 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2. 1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 26.
Bilamana ada suatu keadaan, yang seorang A mempunyai hak memakai atau

menggarap atas sebidang tanah dan dengan terang dapat dikatakan, bahwa seorang

A itu bukanlah pemilik tanah itu. Maka selalu yang mempunyai hak milik atas

tanah itu adalah suatu persekutuan kekeluargaan.

Misalnya di Minangkabau ada sawah pusaka, yang hak miliknya berada di

tangan suatu keluarga sedang seorang anggota dari keluarga itu, yang de facto

menggarap sawah itu hanya mempunyai hak menggarap. Begitu juga di Minahasa7.

5. Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht).

Di berbagai daerah di Indonesia, terutama dimana hanya ada sedikit tanah yang

dapat dikerjakan ada peraturan adat tentang pemberian suatu hak kepada seorang

pejabat atas sebidang tanah. Hak ini melekat pada suatu jabatan seperti kepala desa

atau anggota pengurus desa. Isi dari hak ini adalah bahwa pejabat tersebut boleh

mengerjakan tanah itu atau menyewakannya kepada orang lain, tetapi hanya

selama ia memegang jabatan.

Tanah-tanah ini di Batak disebut saba na bolak, di Sulawesi Selatan Galung

Aradjang, di Ambon Dusun Dati Radja, di Bali Bukti, dan di Jawa Bengkok8.

6. Hak wenang beli (naastingsrecht).10

Menurut Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, hak perorangan ada 2, yaitu:

1. Hak milik.

7 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perdata tentang Hak-hak Atas Benda. Cet-2. 1960. Jakarta:
Soeroengan. Hlm 49-50.
8 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perdata tentang Hak-hak Atas Benda. Cet-2. 1960. Jakarta:
Soeroengan. Hlm 49-50.
Hak milik (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah yang di pegang oleh

perorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai

dengan hak milik dalam hukum adat itu berupa sawah, dan beralih turun temurun.

Di dalam hak milik ada:

a. Intensitas dan batasnya

Hak milik merupakan hak terkuat diantara hak perorangan. Pemilik tanah yang

berhak penuh atasnya itu hars menghormati:

1. Hak ulayat persekutuan hukumnya.


2. Kepentingan para pemilik tanah lainnya.
3. Peraturan-peraturan hukum, inklusif hukum adat.
b. Cara memperolehnya.
1. Membuka tanah hutan/ tanah belukar.
2. Mewaris tanah.
3. Menerima tanah karena pembelian, penukaran, hadiah.
4. Daluarsa (verjariny).9
2. Hak pakai.

Hak pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang

telah memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang

tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai

dalam hukum adat itu berupa ladang.10

2. Pengaruh hubungan hak ulayat dengan hak perorangan.

9 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 8.
10 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2.1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 27.
Dimana hak purba (ulayat) persekutuan hukum menipis, disitu ahli waris

dari pemilik tanah yang meninggal, selalu mendapat hak milik atas tanah itu

sebagai warisan. Kesemuanya itu, tergantung kepada isi hukum adat di masing-

masing wilayah. Apakah tanah warisan itu akan lekas-lekas di bagi-bagi diantara

para ahli waris ataukah dipertahankan keutuhannya untuk sementara waktu.

Dimana hak purba (ulayat) persekutuan hukum masih kuat, disitu terdapat

peraturan istimewa mengenai hak warisan atas tanah. Juga di wilayah dengan hak

purba (ulayat) yang sudah kurang kuat, ada kalanya masih terdapat peraturan

istimewa itu. Misalnya: Jawa Barat, hak milik atas sebidang tanah kasikepan

diwaris oleh anak laki-laki kedualah yang mewaris, begitulah seterusnya.

Dalam pembagian tanah pekulen di beberapa wilayah di Jawa Pusat seperti

Klaten dan Purwokerto, dilakukan dalam suatu putusan desa. Mahkamah Agung

Indonesia dalam putusannya tanggal 8 Januari 1958 No.307/K/Sip./1958

menentukan: putusan desa itu harus dipandang suatu persetujuan desa tentang

pemindahan hak atas tanah pekulen dan oleh karenaitu tidak merupakan suatu

putusan yang takluk kepada suatu pemeriksaan lebih lanjut, dengan kemungkinan

dapat dibatalkan. Dengan demikian maka pengadilanpun tidak dapat dibatalkan.

Dengan demikian maka pengadilanpun tidak dapat membatalkan desa tersebut.11

3. Hubungan hak ulayat dengan hak perorangan.

Di berbagai bagian Hindia Belanda terdapat lingkungan-lingkungan hak

ulayat yang satu sama lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas.

11 Wirjono Prodjo dikoro. Hukum Perdata tentang Hak-hak Atas Benda. Cet-2. 1960. Jakarta:
Soeroengan. Hlm 45-46.
Dibagian lain terdapat wilayah-wilayah yang disitu hampir tak ada sebidang

tanahpun yang termasuk dalam hak ulayat. Hak ulayat ini di tempat yang satu

masih kuat, sedang di tempat lain sudah lemah. Dan gejala yang bersifat umum

ialah:semakin maju dan bebas penduduk dalamusaha-usaha pertaniannya, semakin

lemahlah hak ulayat itu dengan sendirinya. Akhirnya jika hak ulayat itu sudah

lemah sama sekali. Maka dengan sendirinya hak perorangan (hak milik bumi

putera) akan berkembang dengan pesatnya.12

5. Kedudukan hukum tanah adat dalam UUPA

Mengenai hak ulayat itu dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai berikut:

hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,

sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan segala yang

berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan

peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan

peraturan perundangan lainnya. Segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur

yang berdasarkan hukum agama.

Maka ini berarti: berdasarkan hak ulayat yang bersumberkan hukum adat

ini, masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak

guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah. Seperti pembukaan hutan

secara besar-besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk

12 Iman sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 3.
penambahan bahan makanan dan transmigrasi, dengan kata lain: kepentingan suatu

masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara.

Hak milik adat sudah tidak ada lagi dan pindah ke UUPA agraria 13. Tetapi

dalam kenyataannya, masyarakat adat, seperti suku-suku pedalaman, belum

terjangkau hukum. Hak milik dalam UUPA pasal 20 diartikan sebagai hak yang

turun menurun, hak terpenuh dan hak terkat. Hak terkuat adalah hak tertinggi di

bandingkan dengan hak-hak yang ada. Dalam pasal 6 UUPA, hak milik

mempunyai fungsi sosial. Hak milik tersebut sekarang disebut hak milik agraria

(dimana hak tersebut berasal dari hak milik adat). Fungsi sosial mengandung arti

bahwa: hak milik tersebut harus dipergunakan sesuai dengan maksud pemilihan

benda tersebut. Jadi harus di gunakan. Misalnya: A mempunyai tanah untuk

membangun rumah.

Hak milik, diskonversi prinsipnya, tetapi kenyataannya tidak demikian, karena

harus dilihat dulu daerahnya. Hak milik di dalam kata umumnya dijadikan hak

guna bangun. Jadi bergantung benar pada peraturan pemerintah daerah setempat

sehubungan dengan fungsi sosial. Barang-barang yang dimaksud menurut pasal

570 KHU Perdata bumi dan isinya, salah satunya adalah benda-benda tak bergerak

berupa tanah dan bangunan diatasnya.

A. Tanah Adat Menurut Undang Undang Pokok Agraria

Masyarakat Hukum adat mengenal juga adanya hak ulayat, ulayat artinya

wilayah atau yang merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu

13 G. Karta Sapoetra dan R.G. Karta Sapoetra. Pembahasan Hukum Benda Hipotek Hukum Waris.
Cet-2. 1994. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 3.
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam

lingkungan wilayahnya. Dalam sebuah buku berbahasa Belanda, Ter Haar,

Beginselen en stelsel van het adat recht menyebutkan bahwa di Indonesia masing

masing daerah memiliki nama nama tertentu untuk lingkungan wilayahnya,

misalnya nama untuk wilayah yang dibatasi, di Kalimantan disebut dengan nama

pewatasan, di Jawa dikenal dengan nama wewengkon, di Bali dikenal dengan

nama prabumian. Di Maluku pada umumnya tanah wilayah biasa disebut dengan

nama petuanan.

Hukum Adat tentang tanah memiliki kedudukan yang istimewa dalam UUPA,

karena sebagian besar rakyat Indonesia menganut hukum adat sehingga hukum

adat menjadi dasar pembentukan Hukum Tanah Nasional. Hukum tanah adalah

suatu sistem dari cabang hukum yang mandiri yang mengatur aspek yuridis dari

sebuah tanah, yang disebut hak hak penguasaan atas tanah. Ketentuan

ketentuan hukum yang mengatur hak hak penguasaan atas tanah dapat disusun

menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Ketentuan ketentuan yang

mengatur tersebut menjadikan hukum adat menjadi suatu dasar pembentuk.

Santoso, Urip dalam tulisannya yang berjudul Hukum Agraria Dan Hak Hak Atas

Tanah mengemukakan Hukum Adat menjadi dasar utama dalam pembentukan

Hukum Agraria Nasional dapat disimpulkan dalam Konsideran UUPA yang

menyatakan;

bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan

pertimbangan perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasarkan atas

hukum adat tentang tanah, yang sederhana, dan menjamim kepastian hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur unsur yang bersandar

pada hukum agama 14

Hal ini sejajar dengan apa yang ditulis oleh Supriadi, yang membuktikan

pernyataannya dengan menguraikan apa yang tertera penjelasan konsiderans

dalamUUPA yang menyatakan bahwa hukum tanah nasional disusun berdasarkan

hukum adat. Pernyataan ini dapat ditemukan antara lain dalam;

a. Penjelasan Umum angka III (1);

b. Pasal 5 dan penjelasannnya.

Dalam Penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa :

Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran

hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar

tunduk pada hukum adat, maka hukum agrarian baru tersebut akan didasarkan pula

pada ketentuan ketentuan hukum adat itu sebagai hu`kum asli, yang

disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara

yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan

dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam

pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial

yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feudal.

14 Harsono, Budi. 2008. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang


Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan
Sejalan dengan Penjelasan Umum angka III (1) UUPA di atas, dalam pasal 5

dinyatakan bahwa ;

Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum

adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang

berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan

peraturan peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur unsur

yang bersandar pada hukum agama. 15

Hukum adat yang menjadi sumber utama dalam penyusunan hukum tanah

nasional, menjadikan segala hal dari kerangka dasar hukum adat sebagai sumber

pertama, hal ini ditegaskan oleh Budi Harsono dalam Supriadi, bahwa ;

Hukum Tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan bahan dari

hukum adat, berupa norma norma hukum yang dituangkan dalam peraturan

perundang undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah

nasional positif yang tertulis. UUPA merupakan hasilnya yang pertama.

Dalam penulisannya Supriadi memberi contoh dalam kasus yang bersifat

komunalistik religious yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,

dengan hak hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur

kebersamaan. Lebih lanjut dalam tulisannya Supriadi menguraikan bahwa sifat

komunalistik religious dari konsepsi hukum tanah nasional diatur Pasal 1 ayat (2)

15 Santoso, Urip. 2010. Hukum Agraria Dan Hak Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
UUPA yang berbunyi sebagai berikut Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik

Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang

angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Selain menguraikan sifat komunalistik religious yang juga menyumbang konsep

dalam hukum tanah nasional, Supriadi juga menyebutkan sejumlah asas- asas lain

yang ada dalam asas hukum adat yang digunakan dalam hukum tanah nasional,

adalah ; asas religius (Pasal 1), asas kebangsaan (Pasal 1, 2, dan 9), asas demokrasi

(Pasal 9), asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11

dan 13), asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan

15), serta asas pemisahan horizontal.

Walaupun hukum adat menjadi sumber utama, tetapi dalam pengguraiannya

Supriadi menjelaskan bahwa ada peluang atau kemungkinan untuk mengadopsi

lembaga lembaga baru yang tidak dimiliki dalam hukum adat untuk memperkaya

dan memperkembangkan hukum tanah nasional, dengan syarat yang tidak

bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, salah satunya Pendaftaran Tanah.

Pernyataan Supriadi ini tidak sesuai dengan Boedi Harsono, karena menurut Boedi

Harsono masyarakat adat memiliki kearifan dan pengetahuan tersendiri tentang

batas batas tanah, sehingga jika ada individu yang berbuat melanggar ketentuan

hukum adat mengenai suatu tanah, masyarakat pun mengetahui. Tetapi Supriadi

menjelaskan bahwa lembaga ini diperlukan dalam konsepsi hukum tanah nasional

karena semua proses yang berkaitan dengan hak hak atas tanah didaftarkan,

dibukukkan dalam buku tanah dan kemudian diterbitkan sertifikat sebagai bukti
pemilikan tanahnya.16 Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari konflik

konflik yang terjadi, seperti yang telah dikemukakan dalam pendahuluan.

Walaupun terkadang terdapat beberapa kasus yang terjadi oleh karena klaim

kepemilikan oleh dua pihak pada lahan (tanah ) yang sama.

B. Penguasaan Atas Tanah Sebagai Bentuk dan Kewenangan Pemegang Hak

Kembali kepada pengertian penguasaan terhadap suatu tanah berarti dikuasai

atau dalam penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun juga dalam arti

yuridis serta beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis

adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi hukum dan pada umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah

yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan tanah miliknya untuk

mengambil manfaat dari tanah tersebut, pemilik tanah menjual tanah dengan tanda

bukti segel sebagai pernyataan jual beli tanah antara pemilik (penjual) dengan

pembeli.

Penguasaan" yang berarti dapat dipakai dalam arti fisik atau dalam arti

yuridis, beraspek privat dan beraspek publik, penguasaan dalam arti yuridis adalah

penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk mengusai secara fisik tanah

yang dimilikinya.

Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat

(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Bumi air dan kekayaan alam

16 Supriadi, S.H.,M.Hum. 2007. Hukum Agraria. Jakarta :Penerbit Sinar Grafika


yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 2

ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan:

Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 Pasal ini memberikan wewenang

untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang

dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Hak

Menguasai Negara hanya memberi wewenang kepada negara untuk mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, hubungan antara

negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan

perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan

tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan

perlindungan hak-hak yang timbul dan hubungan-hubungan hukum tersebut.

Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat

diperlukan untuk pemberian jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar

hak-hak atas tanah mereka tidak dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas

tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah yang menjadi

haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi tolak

ukur dan kriteria pembeda antara hak-hak penguasaan atas tanah.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai tanah

oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya

melahirkan hak ulayat dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan

hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga hak tersebut menjalin secara harmonis

dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling

merugikan.

3. Bentuk Hak-Hak Atas Tanah dan Wewenang yang Dimiliki Oleh


Pemegang Hak Atas Tanah.

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan peraturan bidang

pertanahan, mengandung dua dimensi, yaitu :

a. Hak Publik, yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai" dari

negara,

b. Hak perorangan, berupa hak-hak yang dapat dipunyai/ dimiliki seseorang untuk

menjual, menghibahkan, dan lain-lain.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang

mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambii manfaat atas tanah

tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.[5]

Hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-hak

perseorangan atas tanah, adalah hak yang memberikan wewenang kepada

pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara besamasama, badan


hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau mengambil

manfaat dari bidang tanah tertentu.[6]

Selanjutnya, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah

terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Wewenang Umum

Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai

wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan

ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan

peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).

a. Wewenang Khusus

Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai

wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya,

misalka wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian

dan atau mendirikan bangunan.[7]

Macam-macam hak atas tanah termuat dalam Pasal 16 jo Pasal 53 Undang-

Undang Pokok Agraria, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu :

a. Hak atas tanah yang bersifat tetap

Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau

belum dicabut dengan Undang-Undang yang barn. Macam-macam hak atas tanah

ini adalah :

1. Hak milik;

2. Hak Guna Usaha;

3. Hak Guna Bangunan;


4. Hak Pakai;

5. Hak Sewa Unuk Bangunan;

6. Hak membuka tanah, dan

a. Hak memungut hasil hutan;

b. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang

Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dalam

undang-undang

c. Hak atas tanah yang bersifat sementara

Yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara dan dalam waktu yang singkat akan

dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat

feodal, dan bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Pokok Agraria.

Macam-macam hak atas tanah ini adalah :

a. Hak Gadai;

b. Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian bagi hasil);

c. Hak Menumpang, dan

d. Hak Sewa Tanah Pertanian.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas

tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang

menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo

Pasal 53 UUPA, antara lain:

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai
e. Hak Sewa

f. Hak Membuka Tanah

g. Hak Memungut Hasil Hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria.

Dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan adanya dua hak

yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan

hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk

mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut

tetap dicantumkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria sebagai hak atas

tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat.

Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat.

Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga lembaga-

lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi

sifat "sementara". Hak-hak yang dimaksud antara lain :

a. Hak gadai,

b. Hak usaha bagi hasil,

c. Hak menumpang,

d. Hak sewa untuk usaha pertanian.[8]

Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya

akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan

pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali
hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas-asas Hukum Tanah

Nasional (Pasal 11 ayat 1). Selain itu, hakhak tersebut juga bertentangan dengan

jiwa dari Pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya hams

dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak.

Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah

tersebut adalah pemegang hak gadai.

Hak menumpang dimasukkan dalam hak-hak atas tanah dengan eksistensi

yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak

menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum

agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah

dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan

budaknya.

Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia yang oleh

karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya

menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya

dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme

itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan

pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan

jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan

Indonesia dari pemerintahan yang sewenang-wenang dan mencapai kesejahteraan

masyarakat. Pada saat itu, Indonesia barn saja selesai dengan pemberontakan G 30

S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya

totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia.[9]


Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak

atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk

mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak-hak atas tanah

dikelompokkan sebagai berikut:

a. Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa Tanah Bangunan

6. Hak Pengelolaan

b. Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

1. Hak Gadai

2. Hak Usaha Bagi Hasil

3. Hak Menumpang

4. Hak Sewa Tanah Pertanian.[10]

Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah

pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah

itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam

memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut

Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan

benda-benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan
wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan

umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini

disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri

lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka

Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat

besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tali. Kemudian jika

pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan

keberatan dengan naik banding pada Pengadilan Tinggi.

Anda mungkin juga menyukai