TINJAUAN PUSTAKA
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun, termasuk pemberian tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
Lembaga pendaftaran tanah tidak dikenal dalam hukum adat, karena semula tidak
pendaftaran tanah.
berdasarkan :
Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu
kemudian hari.
Asas mutakhir ini menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara teru
Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan yang nyata di lapangan dan masyarakat
dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Untuk itulah
pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
terbuka untuk umum. Dalam arti umum boleh mengetahui dengan melihat
(regristration of deeds).
Hal tersebut tampak dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat
data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkanya
sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Hak atas tanah, Hak
Pengelolaan, tanah wakaf dan Hak Milik atas satuan rumah susun didaftar dengan
membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis dan data fisik
bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukunya dicatat pula pada
surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat
ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang bersangkutan beserta pemegang
haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam surat ukur secara hokum telah
Sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang peran
tanah yang digarap menjadi milik bersama dan menggarapnya pun dengan caara
gotong royong (komunal) pula. Sampai mereka hidup menetap, sifat komunal
dan A. Ridwan Halim, hukum agraria (tanah) dapat dibagi atas 2 (dua) fase, yakni
fase pertama, dimana didalamnya terdapat Hukum Agraria Adat dan Hukum
Agraria Barat; fase kedua, dimana didalamnya terdapat Hukum Agraria Sesudah
1 Iman Sudiyat. Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm
berlakunya UUPA selain hukum agraria barat yaitu hukum tanah adat. Yang
Lembaga hukum tanah adat di atur dalam hukum adat. Hukum yang
mengaturnyapun tidak tertulis. Tanah adat ini umumnya tidak terdaftar maka
jumlahnya hanyalah sebagian kecil saja dari jumlah hak tanah yang ada, misalnya:
pendaftarannya itu hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar
oleh pemiliknya (sebagai kohir atau kutir). Jadi secara yuridis bukan sebagai hak.
Pembuktian hak atas tanah itu berdasarkan atas kesaksian. Di lingkungan hukum
hukum3.
Hak atas tanah adat menurut hukum adat sebelum berlakunya UUPA:
a. Hak Ulayat.
Hak Ulayat ialah hak atas tanah yang di pegang oleh seluruh anggota
dinamakan hak purba. Menurut Iman Sudiyat, hak purba ialah hak yang dipunyai
2 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2. 1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 23
3 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 1.
4 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2. 1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 25
oleh suatu suku, sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah
desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya5.
Dengan hak ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai
tanah tersebut secara menyeluruh. Tetapi dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat
komunal pada hakikatnya tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang
agar diketahui para anggota lainya semasyarakat dalam waktu yang tertentu pula6.
b. Hak Perorangan.
Menurut Iman Sudiyat, hak perorangan yaitu suatu hak yang diberikan kepadaa
warga desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak
(ontiqinningsrecht).
Hukum adat di Indonesia tidak mengenal suatu keadaan, dalam mana ada orang
perseorangan mempunyai hak milik atas tanah disamping orang lain, yang seketika
itu juga mempunyai hak memakai atau hak menggarap atas tanah itu.
5 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 2
6 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2. 1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 26.
Bilamana ada suatu keadaan, yang seorang A mempunyai hak memakai atau
menggarap atas sebidang tanah dan dengan terang dapat dikatakan, bahwa seorang
A itu bukanlah pemilik tanah itu. Maka selalu yang mempunyai hak milik atas
tangan suatu keluarga sedang seorang anggota dari keluarga itu, yang de facto
menggarap sawah itu hanya mempunyai hak menggarap. Begitu juga di Minahasa7.
Di berbagai daerah di Indonesia, terutama dimana hanya ada sedikit tanah yang
dapat dikerjakan ada peraturan adat tentang pemberian suatu hak kepada seorang
pejabat atas sebidang tanah. Hak ini melekat pada suatu jabatan seperti kepala desa
atau anggota pengurus desa. Isi dari hak ini adalah bahwa pejabat tersebut boleh
mengerjakan tanah itu atau menyewakannya kepada orang lain, tetapi hanya
Aradjang, di Ambon Dusun Dati Radja, di Bali Bukti, dan di Jawa Bengkok8.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, hak perorangan ada 2, yaitu:
1. Hak milik.
7 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perdata tentang Hak-hak Atas Benda. Cet-2. 1960. Jakarta:
Soeroengan. Hlm 49-50.
8 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Perdata tentang Hak-hak Atas Benda. Cet-2. 1960. Jakarta:
Soeroengan. Hlm 49-50.
Hak milik (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah yang di pegang oleh
perorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat
dengan hak milik dalam hukum adat itu berupa sawah, dan beralih turun temurun.
Hak milik merupakan hak terkuat diantara hak perorangan. Pemilik tanah yang
Hak pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang
tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai
9 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 8.
10 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Cet-2.1985. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Hlm 27.
Dimana hak purba (ulayat) persekutuan hukum menipis, disitu ahli waris
dari pemilik tanah yang meninggal, selalu mendapat hak milik atas tanah itu
sebagai warisan. Kesemuanya itu, tergantung kepada isi hukum adat di masing-
masing wilayah. Apakah tanah warisan itu akan lekas-lekas di bagi-bagi diantara
Dimana hak purba (ulayat) persekutuan hukum masih kuat, disitu terdapat
peraturan istimewa mengenai hak warisan atas tanah. Juga di wilayah dengan hak
purba (ulayat) yang sudah kurang kuat, ada kalanya masih terdapat peraturan
istimewa itu. Misalnya: Jawa Barat, hak milik atas sebidang tanah kasikepan
Klaten dan Purwokerto, dilakukan dalam suatu putusan desa. Mahkamah Agung
menentukan: putusan desa itu harus dipandang suatu persetujuan desa tentang
pemindahan hak atas tanah pekulen dan oleh karenaitu tidak merupakan suatu
putusan yang takluk kepada suatu pemeriksaan lebih lanjut, dengan kemungkinan
ulayat yang satu sama lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas.
11 Wirjono Prodjo dikoro. Hukum Perdata tentang Hak-hak Atas Benda. Cet-2. 1960. Jakarta:
Soeroengan. Hlm 45-46.
Dibagian lain terdapat wilayah-wilayah yang disitu hampir tak ada sebidang
tanahpun yang termasuk dalam hak ulayat. Hak ulayat ini di tempat yang satu
masih kuat, sedang di tempat lain sudah lemah. Dan gejala yang bersifat umum
lemahlah hak ulayat itu dengan sendirinya. Akhirnya jika hak ulayat itu sudah
lemah sama sekali. Maka dengan sendirinya hak perorangan (hak milik bumi
Mengenai hak ulayat itu dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai berikut:
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
Maka ini berarti: berdasarkan hak ulayat yang bersumberkan hukum adat
ini, masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak
guna usaha yang hendak dilakukan oleh pemerintah. Seperti pembukaan hutan
12 Iman sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Cet-IV. 2000. Yogyakarta: Liberty. Hlm 3.
penambahan bahan makanan dan transmigrasi, dengan kata lain: kepentingan suatu
Hak milik adat sudah tidak ada lagi dan pindah ke UUPA agraria 13. Tetapi
terjangkau hukum. Hak milik dalam UUPA pasal 20 diartikan sebagai hak yang
turun menurun, hak terpenuh dan hak terkat. Hak terkuat adalah hak tertinggi di
bandingkan dengan hak-hak yang ada. Dalam pasal 6 UUPA, hak milik
mempunyai fungsi sosial. Hak milik tersebut sekarang disebut hak milik agraria
(dimana hak tersebut berasal dari hak milik adat). Fungsi sosial mengandung arti
bahwa: hak milik tersebut harus dipergunakan sesuai dengan maksud pemilihan
membangun rumah.
harus dilihat dulu daerahnya. Hak milik di dalam kata umumnya dijadikan hak
guna bangun. Jadi bergantung benar pada peraturan pemerintah daerah setempat
570 KHU Perdata bumi dan isinya, salah satunya adalah benda-benda tak bergerak
Masyarakat Hukum adat mengenal juga adanya hak ulayat, ulayat artinya
13 G. Karta Sapoetra dan R.G. Karta Sapoetra. Pembahasan Hukum Benda Hipotek Hukum Waris.
Cet-2. 1994. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 3.
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
Beginselen en stelsel van het adat recht menyebutkan bahwa di Indonesia masing
misalnya nama untuk wilayah yang dibatasi, di Kalimantan disebut dengan nama
nama prabumian. Di Maluku pada umumnya tanah wilayah biasa disebut dengan
nama petuanan.
Hukum Adat tentang tanah memiliki kedudukan yang istimewa dalam UUPA,
karena sebagian besar rakyat Indonesia menganut hukum adat sehingga hukum
adat menjadi dasar pembentukan Hukum Tanah Nasional. Hukum tanah adalah
suatu sistem dari cabang hukum yang mandiri yang mengatur aspek yuridis dari
sebuah tanah, yang disebut hak hak penguasaan atas tanah. Ketentuan
ketentuan hukum yang mengatur hak hak penguasaan atas tanah dapat disusun
menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Ketentuan ketentuan yang
Santoso, Urip dalam tulisannya yang berjudul Hukum Agraria Dan Hak Hak Atas
menyatakan;
hukum adat tentang tanah, yang sederhana, dan menjamim kepastian hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur unsur yang bersandar
Hal ini sejajar dengan apa yang ditulis oleh Supriadi, yang membuktikan
Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran
hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar
tunduk pada hukum adat, maka hukum agrarian baru tersebut akan didasarkan pula
pada ketentuan ketentuan hukum adat itu sebagai hu`kum asli, yang
yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial
dinyatakan bahwa ;
Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
Hukum adat yang menjadi sumber utama dalam penyusunan hukum tanah
nasional, menjadikan segala hal dari kerangka dasar hukum adat sebagai sumber
pertama, hal ini ditegaskan oleh Budi Harsono dalam Supriadi, bahwa ;
Hukum Tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan bahan dari
hukum adat, berupa norma norma hukum yang dituangkan dalam peraturan
dengan hak hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
komunalistik religious dari konsepsi hukum tanah nasional diatur Pasal 1 ayat (2)
15 Santoso, Urip. 2010. Hukum Agraria Dan Hak Hak Atas Tanah. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
UUPA yang berbunyi sebagai berikut Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang
dalam hukum tanah nasional, Supriadi juga menyebutkan sejumlah asas- asas lain
yang ada dalam asas hukum adat yang digunakan dalam hukum tanah nasional,
adalah ; asas religius (Pasal 1), asas kebangsaan (Pasal 1, 2, dan 9), asas demokrasi
(Pasal 9), asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11
dan 13), asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan
lembaga lembaga baru yang tidak dimiliki dalam hukum adat untuk memperkaya
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, salah satunya Pendaftaran Tanah.
Pernyataan Supriadi ini tidak sesuai dengan Boedi Harsono, karena menurut Boedi
batas batas tanah, sehingga jika ada individu yang berbuat melanggar ketentuan
hukum adat mengenai suatu tanah, masyarakat pun mengetahui. Tetapi Supriadi
menjelaskan bahwa lembaga ini diperlukan dalam konsepsi hukum tanah nasional
karena semua proses yang berkaitan dengan hak hak atas tanah didaftarkan,
dibukukkan dalam buku tanah dan kemudian diterbitkan sertifikat sebagai bukti
pemilikan tanahnya.16 Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari konflik
Walaupun terkadang terdapat beberapa kasus yang terjadi oleh karena klaim
atau dalam penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik maupun juga dalam arti
yuridis serta beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis
adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi hukum dan pada umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah
mengambil manfaat dari tanah tersebut, pemilik tanah menjual tanah dengan tanda
bukti segel sebagai pernyataan jual beli tanah antara pemilik (penjual) dengan
pembeli.
Penguasaan" yang berarti dapat dipakai dalam arti fisik atau dalam arti
yuridis, beraspek privat dan beraspek publik, penguasaan dalam arti yuridis adalah
penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk mengusai secara fisik tanah
yang dimilikinya.
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara termuat dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Bumi air dan kekayaan alam
Hak menguasai dari Negara tersebut dalam ayat 1 Pasal ini memberikan wewenang
untuk :
tanah dan masyarakat hukum adat dengan tanah ulayat serta pengakuan dan
hak-hak atas tanah mereka tidak dilanggar oleh siapa pun. Hak penguasaan atas
tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang
hak tersebut dalam berbuat, bertindak sesuatu mengenai tanah yang menjadi
haknya. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat ini menjadi tolak
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak mengusai tanah
oleh negara. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya
melahirkan hak ulayat dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan
hak-hak perorangan atas tanah dan ketiga hak tersebut menjalin secara harmonis
dan seimbang sehingga sama kedudukan dan kekuatannya dan tidak saling
merugikan.
a. Hak Publik, yang merupakan kewenangan negara berupa hak "menguasai" dari
negara,
b. Hak perorangan, berupa hak-hak yang dapat dipunyai/ dimiliki seseorang untuk
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.[5]
Hak atas tanah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-hak
a. Wewenang Umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan
ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).
a. Wewenang Khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai
wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya,
misalka wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau
belum dicabut dengan Undang-Undang yang barn. Macam-macam hak atas tanah
ini adalah :
1. Hak milik;
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dalam
undang-undang
Yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara dan dalam waktu yang singkat akan
a. Hak Gadai;
Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas
tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang
menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo
a. Hak Milik
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan
hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk
tetap dicantumkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria sebagai hak atas
Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16, dijumpai juga lembaga-
lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi
a. Hak gadai,
c. Hak menumpang,
Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya
pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali
hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas-asas Hukum Tanah
Nasional (Pasal 11 ayat 1). Selain itu, hakhak tersebut juga bertentangan dengan
jiwa dari Pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya hams
dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak.
Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah
yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak
menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum
agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah
dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan
budaknya.
karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya
dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme
itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan
masyarakat. Pada saat itu, Indonesia barn saja selesai dengan pemberontakan G 30
S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya
atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak-hak atas tanah
1. Hak Milik
4. Hak Pakai
6. Hak Pengelolaan
1. Hak Gadai
3. Hak Menumpang
Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah
pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah
itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam
memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan
wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan
umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini
disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri
besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tali. Kemudian jika
pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan