Anda di halaman 1dari 7

ANTARA TANAH ADAT ATAU TANAH NEGARA; TANAH MASYARAKAT ADAT

LAMPUNG MEGOW PAK KABUPATEN TULANG BAWANG, PROVINSI LAMPUNG

Disusun oleh : Tirta Khalis


NIT 17263044
DIV TK III Manajemen Pertanahan

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
2019/2020
A. LATAR BELAKANG
Hak bangsa merupakan dasar dari hukum tanah nasional. Bangsa Indonesia merupakan
penguasa bumi pertiwi Indonesia. Dimana di dalam bangsa terdapat berbagai suku dan adat
dalam masing-masing daerah yang di junjung tinggi berdasarkan warisan dari nenek
moyang. Pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945 negara Indonesia lahir yang di dalamnya
terdapat suku dan bangsa yang menyusun kekuatan dan kesatuan NKRI. Kemudian 24
September 1960 munculah Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 dimana
intisari di dalam nya berasal dari tanah adat. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa
hukum tanah nasional berasal dari tanah adat.
Bertimpang dengan pernyataan sebelumnya, hari ini justru banyak masyarakat adat
yang berteriak memperjuangkan tanah nya dari ekspansi investor asing. Tanah adat dianggap
sebagai tanah negara sehingga negara bisa menerbitkan izin hak untuk mengelola tanah
tersebut tanpa menghiraukan masyarakat adat di sekitar nya. Bagaimana masyarakat adat
harus memperjuangkan hak nya?
Dalam Pasal 3 UU No 5 tahun 1960 telah di atur mengenai tanah adat, bahwa selama
dalam kenyataan nya masih ada, maka masih bisa di perjuangkan hak nya. Namun sejauh
apa penafsiran selama masih ada? Apa tolak ukur sebuah Adat di anggap masih ada?
Bagaimana proses pembuktian bahwa tanah tersebut merupakan hak masyarakat adat
setempat? Hal ini akan kita bahas dalam pembahasan berikut.
B. PEMBAHASAN
Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.
Lalu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA)mengatur bahwa hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Pengaturan inilah yang
menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat.
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Tanah Ulayat, tanah ulayat
diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak
penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.
UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam
Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”.
Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu” ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut
“beschikkingsrecht”. Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-
hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui
“sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.

Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat
Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (Permen Agraria dan
Tata Ruang 10/2016) hak ulayat atas tanah dikenal dengan istilah hak komunal atas tanah
yaitu hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama
atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.
Kawasan tertentu adalah kawasan hutan atau perkebunan. Sedangkan yang dimaksud
dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.
Sementara itu, Putu Oka Ngakan, et al.dalam buku Dinamika Proses Desentralisasi
Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan (hal. 13) mendefinisikan tanah ulayat (hak
kolektif/beschikkingsrecht) sebagai “tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga
masyarakat hukum adat, di mana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat
(kepala adat) dan pemanfaatannya diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat
yang bersangkutan maupun orang luar.”
Jadi, hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.
Sedangkan hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Menurut Kurnia Warman dalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk
(hal. 40) persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUPA adalah:
Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat itu masih ada;
Mengenai hal ini, sesuai dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), suatu masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
f. Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; dan
Dari segi politik, menurut Kurnia Warman, pernyataan “sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa” merupakan suatu aprioriyang
mengandung kecurigaan dari pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Pernyataan ini
menunjukan seolah-olah masyarakat hukum adat itu bukan merupakan bagian kenasionalan,
kenegaraan dan kebangsaan.
Maka karena pernyataan “sesuai dengan kepentingan negara” ini dapat menimbulkan
multi tafsir dan sarat kepentingan politik, akan sulit bagi kita untuk dapat menentukan
apakah keberadaan suatu masyarakat hukum adat tertentu memenuhi persyaratan ini atau
tidak, tanpa mengetahui masyarakat hukum adat yang mana yang dimaksud tersebut.
Persyaratan yang terakhir ini, menurut Kurnia Warman, tidak terlampau menjadi
ganjalan yang merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD 1945 telah tegas
mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas di Indonesia.
Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas
maka UU tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu , Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur cara penetapan hak
komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan
tertentu.
Pasal 5 ayat (1) Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur bahwa masyarakat
hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu mengajukan permohonan
penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat kepada
Bupati/Walikota atau Gubernur.
Permohonan tersebut diajukan oleh kepala adat atau perwakilan masyarakat yang
berada dalam kawasan tertentu, dengan dilengkapi syarat antara lain:
a. riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya, apabila pemohon
masyarakat hukum adat;
b. riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara
berturut-turut, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;
c. fotokopi kartu identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa, atau
kelompok masyarakat lainnya;
d. surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu.
Setelah menerima permohonan tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk
Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (Tim IP4T)
untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam
kawasan tertentu serta tanahnya.
Dalam hal tanah yang dimohon berada di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T yang terdiri dari:
a. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota;
b. Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
c. Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan dengan itu sebagai
anggota;
d. Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat;
e. Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur
Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang
menangani urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon
masyarakat yang berada dalam Kawasan Hutan;
f. Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang
berada dalam Kawasan Tertentu; Lembaga Swadaya Masyarakat; dan Instansi yang
mengelola sumber daya alam.
Dalam hal tanah yang dimohon terletak di lintas Kabupaten/Kota, Gubernur
membentuk Tim IP4T yang terdiri dari unsur yang sama seperti di atas, kecuali huruf e
diganti dengan Unsur Dinas Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur
Balai Pemantapan Kawasan Hutan, dan Unsur Dinas/Badan Provinsi yang menangani
urusan di bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada
dalam kawasan hutan, serta ditambahkan unsur Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional sebagai Ketua merangkap anggota.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Pengklasifikasian jenis tanah antara kapan tanah tersebut di sebut tanah negara dan
kapan disebut tanah ulayat atau adat merupakan polemik yang berkepanjangan. Eksistensi
masyarakat adat di berbagai daerah dalam kenyataan nya memang masih ada, namun pranata
adat, batas wilayah tidak lagi jelas. Hal ini di karenakan tidak semua masyarakat adat yang
sekarang masih eksis mempunyai pranata adat terkait dengan pertanahan. Umumnya suatu
suku mendiami suatu tempat, namun pranata adatnya tidak mengatur mengenai pertanahan
dalam suku nya tersebut. Hanya beberapa suku besar di Indonesia yang mengatur mengenai
pertanahan dalam pranata adatnya Hal ini karenakan beberapa suku di Indonesia umunya
bersifat nomaden (berpindah tempat), dan kepemilikan tanah sebatas kemampuan dalam
mengolah tanah tersebut, jadi tidak mengenal batas wilayah kesukuan.
Namun ketika telah berdirinya NKRI, maka timbul hukum tanah nasional yang
memaksa untuk menerapkan dengan sistem batas wilayah dan sistem kadastral bidang tanah.
Dimana hal tersebut dalam beberapa suku yang majemuk banyak yang tidak menganut hal
tersebut. Sehingga pernyataan pada pasal 3 Undang Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960
dimana “Sepanjang Kenyataan Masih Ada” harus mewadahi keadaan suku yang notabene
masih eksis akan tetapi tidak masuk kedalam kategori eksistensi tanah adat menurut hukum
nasional tersebut.
Saran dan masukan penulis selaku pembelajar, sebagai wujud hadirnya negara dalam
mewadahi permasalahan tanah adat dalam pengakuan eksistensi masyarakat adat terhadap
tanah masyarakat adat sebagai intisari dalam UUPA, maka negara perlu melakukan
pendataan kembali dan menegaskan batas wilayah tanah adat masing-masing provinsi. Perlu
di lakukan pembentukan Tim Inventarisasi dan Penyelesaian Tanah Adat. Sehingga seluruh
tanah adat di setiap provinsi dapat terdata dan terakomodir setiap permasalahan nya untuk di
temukan solusi penyelesaian bersama. Kemudian perlu di lakukan kajian bersama terkait
tolak ukur sebuah tanah dapat di katakan sebagai tanah adat atau ulayat. Hal ini di karenakan
beragamnya jenis pranata tanah adat yang di terapkan oleh masing-masing suku. Sehingga
dapat mengakomodir eksistensi masyarakat tanah adat di seluruh di Indonesia.
D. DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Thalib, Sajuti. 1985. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau.
Mina Aksara.
Sembiring. Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah
Ulayat.Yogyakarta, STPN Press.
Sembiring. Rosnidar. 2017. Hukum Pertanahan Adat. Depok. Rajagrafindo Persada.
https://sinarlampung.com/pengakuan-tanah-ulayat-catatan-tanah-adat-rawa-kijing-
pesawaran/ diakses tangal 18 Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai