Anda di halaman 1dari 12

PENGAKUAN HAK ULAYAT DALAM PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA

(Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Hukum dan Masyarakat Adat)

Oleh:
HOTMA ARJUNA UJUNG
11010116120117

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS HUKUM
2019
BAB I

Pendahuluan

a. Latar belakang

Hak ulayat adalah hak penguasaan tertinggi masyarakat hukum adat meliputi semua
tanah serta yang termasuk dalam lingkungan wilayah tertentu. Tingginya tingkat pembangunan
saat ini menimbulkan keresahan khusunya dikalangan masyarakat hukum adat. Keresahan
tersebut muncul karena menigkatnya keperluan akan tanah untuk pembangunan sehingga
keberadaan hak ulayat semakin terdesak dan perlahan-lahan masyarakat hukum adat juga
menjadi tersingkir. Melihat kondisi seperti ini maka hak ulayat perlu dipertahankan
keberadaannya dan mendapatkan perhatian lebih khususnya dari pemerintah daerah
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau yang lebih sering
disebut dengan UUPA hukum agraria yang berlaku di Indonesia bersifat dualistis sebagai akibat
dari Pemerintahan Hindia Belanda. Akibat dari hukum yang bersifat dualistis tersebut timbul
berbagai kelembagaan hak atas tanah yang bersumber pada hukum barat dan hukum adat.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda hak ulayat tidak diakui secara resmi dalam undang-
undang bahkan seringkali hak ulayat diabaikan padahal dalam kenyataanya hak ulayat ada dan
berlaku dalam masyarakat hukum adat. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dimuat dalam Lembaran
Negara RI nomor 104 tahun 1960, pengaturan hak ulayat dan hak yang serupa dengan itu dari
masyarakat hukum adat telah menemui titik terang di dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok pokok Agraria yang menentukan bahwa :
Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Berdasarkan Pasal 3 di atas pengakuan hak ulayat dibatasi pada dua hal yaitu berkenaan
dengan eksistensi dan pelaksanaannya. Hak ulayat diakui eksistensinya sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, apabila masih ada pelaksanaan hak ulayat harus dilaksanakan sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara. Pelaksanaan hak ulayat yang menghambat dan
menghalangi kepentingan nasional serta negara maka kepentingan nasional dan negara akan
lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sikap
demikian apabila terus dipertahankan oleh masyarakat hukum adat maka bertentangan
dengan asas-asas pokok yang terdapat dalam Pasal 2 UUPA yang menentukan bahwa “Atas
dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai kekuasaan
seluruh rakyat”. Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 UUPA bahwa bumi, air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkat tertiggi
dikuasai oleh negara sebagai kekuasaan seluruh rakyat kemudian diatur lebih lanjut dengan
Pasal 1 ayat (1) PMNA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat mengenai definisi hak ulayat yang menentukan bahwa:
Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya,
yang timbul dari hubugan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan.

Menurut Pasal 1 ayat (1) hak ulayat merupakan kewenangan masyarakat hukum atas
wilayah tertentu untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah untuk
kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul secara lahiriah dan batiniah turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Di dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) PMNA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 ditentukan bahwa:
Ayat (1) Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataan masih ada
dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut
ketentuan hukum adat setempat selanjutnya di dalam ayat (2) Hak ulayat
masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila terdapat sekelompok
orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan
menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut kehidupan sehari-
hari. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para
warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidup sehari-hari. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh
para warga persekutuan hukum.

Pelaksanaan hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada yaitu apabila
masih terdapat sekelompok orang yang terikat pada tatanan hukum adatnya, terdapat tanah
ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warganya untuk mengambil keperluan hidup sehari-
hari dan terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, penggunaan tanah
ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum yang disertai dengan
melakukan penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat berdasarkan krtieria-kriteria
tersebut. Pasal 5 ayat (1) dan (2) PMNA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 menentukan bahwa:
Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud
Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para
pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang
bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang
mengelola sumber daya alam, ayat (2) keberadaan tanah ulayat masyarakat
hukum adat yang masih ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan
suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-
batasnya serta mencatatnya dalam buku tanah.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) PMNA/KBPN Nomor 5 Tahun 1999 Pemerintah
Daerah melakukan penelitian dan penentuan adanya hak ulayat dengan mengikutsertakan para
pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga
swadaya masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam kemudian
keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat tersebut dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan,
menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam buku tanah.

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan Hak Ulayat dalam peraturan Perundang Undangan di Indonesia ?
BAB II
Pembahasan

1. Pengakuan Hak Ulayat

Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD
1945”) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.

Lalu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (“UUPA”) mengatur bahwa hak menguasai dari Negara tersebut di atas
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Pengaturan inilah yang menjadi dasar bagi
pengaturan tanah ulayat.

UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal
3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”.
Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-
hak yang serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut
"beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat


dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.

Pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (“Permen Agraria dan Tata Ruang
10/2016”) hak ulayat atas tanah dikenal dengan istilah hak komunal atas tanah yaitu hak milik
bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama atas tanah yang
diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.

Kawasan tertentu adalah kawasan hutan atau perkebunan. Sedangkan yang dimaksud
dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.

Sementara itu, Putu Oka Ngakan, et al. dalam buku Dinamika Proses Desentralisasi Sektor
Kehutanan di Sulawesi Selatan (hal. 13) mendefinisikan tanah ulayat (hak
kolektif/beschikkingsrecht) sebagai “tanah yang dikuasai secara bersama oleh warga masyarakat
hukum adat, di mana pengaturan pengelolaannya dilakukan oleh pemimpin adat (kepala adat)
dan pemanfaatannya diperuntukan baik bagi warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
maupun orang luar.”
Menurut Kurnia Warman dalam buku Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk (hal. 40)
persyaratan yang harus dipenuhi oleh hak ulayat menurut Pasal 3 UUPA adalah:

1. Sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat itu masih ada;


Mengenai hal ini, sesuai dengan Penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”), suatu masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas;
d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

2. Sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; dan


Dari segi politik, menurut Kurnia Warman, pernyataan “sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa” merupakan suatu a priori yang mengandung
kecurigaan dari pemerintah terhadap masyarakat hukum adat. Pernyataan ini menunjukan
seolah-olah masyarakat hukum adat itu bukan merupakan bagian kenasionalan, kenegaraan dan
kebangsaan.

Maka karena pernyataan “sesuai dengan kepentingan negara” ini dapat menimbulkan
multi tafsir dan sarat kepentingan politik, akan sulit bagi kita untuk dapat menentukan apakah
keberadaan suatu masyarakat hukum adat tertentu memenuhi persyaratan ini atau tidak, tanpa
mengetahui masyarakat hukum adat yang mana yang dimaksud tersebut.

3. Tidak bertentangan dengan UU dan peraturan yang lebih tinggi.


Persyaratan yang terakhir ini, menurut Kurnia Warman, tidak terlampau menjadi ganjalan
yang merisaukan bagi keberadaan hak ulayat karena UUD 1945 telah tegas mengakui
keberadaan hak-hak tradisional komunitas di Indonesia. Pasal 18B ayat (1) UUD menyatakan
bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besarta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, jika ada UU yang tidak mengakui keberadaan
hak-hak tradisional komunitas maka UU tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu , Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur cara penetapan hak
komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan
tertentu. Pasal 5 ayat (1) Permen Agraria dan Tata Ruang 10/2016 mengatur bahwa masyarakat
hukum adat atau masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu mengajukan permohonan
penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat dan masyarakat kepada
Bupati/Walikota atau Gubernur.

Permohonan tersebut diajukan oleh kepala adat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam
kawasan tertentu, dengan dilengkapi syarat antara lain:[3]
a. riwayat masyarakat hukum adat dan riwayat tanahnya, apabila pemohon masyarakat hukum
adat;
b. riwayat penguasaan tanah paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut,
apabila pemohon masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu;
c. fotokopi kartu identitas atau akta pendirian koperasi, unit bagian dari desa, atau kelompok
masyarakat lainnya;
d. surat keterangan dari kepala desa atau nama lain yang serupa dengan itu.

Setelah menerima permohonan tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur membentuk


Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (“Tim IP4T”)
untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat atau masyarakat yang berada dalam
kawasan tertentu serta tanahnya.
Dalam hal tanah yang dimohon berada di dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T yang terdiri dari:[5]
a. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai ketua merangkap anggota;
b. Camat setempat atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
c. Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan dengan itu sebagai anggota;
d. Unsur pakar hukum adat, apabila pemohon Masyarakat Hukum Adat;
e. Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang Kehutanan, Unsur Balai
Pemantapan Kawasan Hutan dan Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan di
bidang tata ruang sebagai anggota, apabila pemohon masyarakat yang berada dalam Kawasan
Hutan;
f. Perwakilan Masyarakat Hukum Adat setempat atau perwakilan masyarakat yang berada dalam
Kawasan Tertentu;
g. Lembaga Swadaya Masyarakat; dan
h. Instansi yang mengelola sumber daya alam.

Sedangkan RUU Pertanahan mengabaikan persoalan dan pengakuan hak-hak


Masyarakat Hukum Adat yang selama ini terjadi. Beberapa permasalahan terkait pengaturan
hak ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam RUU Pertanahan, antara lain: a) inventarisasi hak
ulayat yang bersifat pasif, hanya masyarakat hukum adat yang dituntut proaktif dalam
mendaftarkan tanah adatnya, sementara secara konstitusi harusnya negara lah yang proaktif
mendata dan memberikan pengakuan tersebut; b) RUU Pertanahan mengatur bahwa
pengakuan masyarakat hukum adat dilakukan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi
pemerintah daerah. Hal ini akan lebih menyulitkan dibandingkan praktek saat ini yang
mendelegasikan pengakuan masyarakat hukum adat kepada pemerintah daerah; dan c).
Ketentuan mengenai pemberian hak lain di atas wilayah adat serta status tanah ketika hak
tersebut berakhir

Berdasarkan ketentuan dalam beberapa perundang-undangan tersebut dapat dipahami


bahwa hak ulayat diakui, dihormati dan dilindungi. Hanya saja pengakuan, penghormatan dan
perlindungan yang ditentukan dalam Konstitusi, TAP MPR dan Undang-Undang tersebut masih
bersifat abstrak, masih dalam tataran peng-andai-an, atau masih bersifat kondisional.
Pengakuan itu baru berwujud kalau hak ulayat tersebut benar-benar ada (eksis) dan
pelaksanaan hak ulayat yang benar-benar ada tersebut harus sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara.

Pengakuan tersebut harus didasarkan pada hasil penelitian sebagaimana telah diuaraikan
di atas. Pengakuan tersebut perlu ditetapkan dalam keputusan kepala daerah lokasi hak ulayat
berada. Penerbitan surat keputusan kepala daerah tidak bermakna pemberian atau penetapan
hak ulayat tetapi sebagai wujud pengakuan atau pengukuhan hak ulayat.

Karena sesuai dengan konsepsinya bahwa adanya hak ulayat bukan karena diciptakan
atau ditetapkan tetapi lahir (dan juga) lenyap atau hapus secara alamiah sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Sesuai dengan amanat Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 bahwa penentuan kriteria pelaksanaan
penelitian dan pendaftaran hak ulayat harus diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah yang
bersangkutan. Hingga saat ini dan sejauh yang dapat diketahui bahwa belum adanya peraturan
daerah tentang hak ulayat di Aceh. Di beberapa daerah lain telah ada peraturan daerah tentang
hak ulayat, antara lain; (1).Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000
tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yang memuat tentang administrasi
pemerintahan nagari dan hubungan antara nagari dengan sumber daya agrarian yang terdapat
dalam wilayahnya; (2) Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy; dan (3) Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
BAB III

Penutupan

Kesimpulan

Eksistensi Hak Ulayat dalam hukum positif Indonesia masih ada. Hal demikian diakui
dalam UUD NRI 1945 Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 serta dalam berbagai Undangundang. Adapun
batasan-batasan Hak Ulayat dalam Hukum Pertanahan Indonesia adalah bahwa Hak Ulayat
tersebut sepanjang masih hidup, bahwa Hak Ulayat tersebut sesuai dengan perkembangan
masyarakat, bahwa keberadaan Hak Ulayat tersebut harus sesuai dengan prinsip NKRI, bahwa
keberadaan Hak Ulayat tersebut harus diatur dalam Undangundang.

Saran

Keberadaan hak ulayat sebagai roh dari hukum pertanahan nasional tetap harus dijaga
kelestariannya. Tentunya dengan menerapkan pembatasan-pembatasannya secara konsisten
dan tidak erugikan masyaraka adat yang jauh ada sebelum republik ini di bentuk

Anda mungkin juga menyukai