Anda di halaman 1dari 14

KOMPETENSI ABSOLUTE

Yaitu kewenangan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlaktidak
dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kompetensi absolut adalah kewenangan peradilan baik itu peradilan
agama, TUN, Militer, umum untuk mengadili suatu perkara berdasarkan jenis perkara.

Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenagan badan peradilan apa untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi absolut dari peradilan umum adalah
memeriksa, mengadili, memutuskan, perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil
dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain.

Dalam hal ini kompetensi absolute dari PTUN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No.
5/1986 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Keputusan tata usaha Negara yang dapat digugatkan di PTUN adalah sebagaimana yang
tersebut dalam : (Pasal 1 angka 3 + Pasal 3) – (Pasal 2 + Pasal 49).

Dengan terhadap keputusan tata usaha Negara yang masuk dalam Pasal 2 UU 5/1986
termasuk perubahannya tidak dapat digugat di PTUN, demikian pula terhadap keputusan
yang dikeluarkan sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 pengadilan tidak berwenang untuk
mengadili.

Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 14 Tahun 1970, pembagian itu berdasarkan pada
lingkungan kewenangan yang dimiliki masing-masing berdasarkan diversity jurisdic diction,
kewenangan tersebut memberikan kewenangan absolut pada masing-masing lingkungan
peradilan sesuai dengan subject matter of jurisdiction, sehingga masing-masing lingkungan
berwenang mengadili sebatas kasus yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.
Lingkungan kewenangan mengadili itu meliputi : [1]

 Peradilan Umum berdasarkan UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum,


memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan
Perdata (umum dan niaga).
 Peradilan Agama berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah.
 Peradilan Tata Usaha Negera berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa dan memutusa sengketa Tata Usaha Negara.
 Peradilan Militer yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perkara
pidana yang terdakwanya anggota TNI dengan pangkat tertentu.

Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, mengadili, dan
memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seseorang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya
suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU
09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan yang
dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan
perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU 09/2004 PTUN).

Pasal 2 UU 5/1986 dan perubahannya disebutkan bahwa tidak termasuk pengertian keputusan
Tata Usaha Negara dalam undang-undang adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.

Contoh:

Pemerintah melakukan jual-beli ,wanprestasi , gadai dll perbuatan yang didasarkan pada
kaidah hukum perdata kalau ada sengketa PTUN tidak berwenang untuk memeriksa dan
memutus

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.

Contoh:
PERDA tentang MIRAS ,maka apabila adap ihak yang merasa dirugikan gugatannya tidak ke
PTUN, terus kemana untuk menguji terhadap peraturan perundang-undangan:

1. DibawahUndang- Undang, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung.


2. Undang- Undang ke atas, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Konstitusi.

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Jenis keputusan
ini adalah keputusan yang belum final sehingga belum memiliki akibat hukum.

Contoh:

Keputusan Walikota Semarang tentang Pemberhentian SEKDA yang klausulnya bahwa


“keputusan ini akan berlaku sejak mendapat persetujuan dari Gubernur”, maka ketika
keputusan tersebut belum mendapat persetujuan Gubernur maka keputusan itu belum
mengikat, sehingga belum memiliki kekuatan hukum.

4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHAP ; KUHP dan
peraturan lain yang bersifat hukum pidana.

Contoh:

Keputusan KAPOLRESTABES Pamekasan untuk menangkapsi A karena diduga melakukan


tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, maka apabila si A merasa dirugikan upaya
pencarian keadilannya bukan ke PTUN namun melalui lembaga praperadilan di
PeradilanUmum

5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tatausaha Negara TentaraNasional
Indonesia.

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik dipusat maupun di daerah ,mengenai hasil
pemilihan umum.

Sekali lagi PTUN tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
terhadap keputusan- keputusan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 diatas.

Dalam Pasal 49 disebutkan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan:

1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan Negara dan/atau kepentingan
masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara; sebagaimana diketahui berdasarkan pasal 10 UU 35/1999 kita mengenal 4
(empat) lingkungan peradilan, yakni; peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara.[2]

1. Kompetensi Absolut Dari Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili, dan


memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara
perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU
2/1999).
2. Kompetensi Absolut Dari Peradilan Agama adalah memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara-perkara orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan,
warisan, wasiat, hibah, waqaf, dan shadaqah (Pasal 49 UU 50/2009).
3. Kompetensi Absolut Dari Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara-perkara pidana yang dilakuka oleh anggota militer (baik dari
angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara , dan kepolisian).
4. Kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, mengadili,
dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara
akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU 09/2004 PTUN) dan tidak dikeluarkannya suatu
keputusan yang dimohonkan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang
ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah
merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal
3 UU 09/2004 PTUN).

Seorang Hakim PTUN harus ekstra cermat mengingat sebuah K. TUN yang digugat memiliki
peluang bersinggungan dengan komptensi pengadilan lain. Apalagi saat ini sudah banyak
model pengadilan khusus yang terkait dengan keluarnya K. TUN. ” Kompetensi Absolut akan
selalu berkaitan dengan titik singgung dengan kompetensi lain ;seperti kompetensi Peradilan
Perdata, kompetensi Pengadilan Niaga, Kompetensi pengadilan Pajak dan yang lainnya” urai
Kadar Slamet. Lebih jauh menerangkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu sering terjadi
antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Badan peradilan lain sama-sama merasa
memeriksa dan memutus terhadap obyek gugatan yang sama. Akibatnya sering menimbulkan
putusan yang berbeda atau bertentangan satu sama lain. Hal ini muncul karena disebabkan
oleh materi yang dipersengketakan penggugat ada titik singgung kewenangan mengadili
antara PTUN dengan pengadilan lain;misalnya antara sertifikat tanah dan hak milik.

Untuk mencegah hal tersebut, Hakim Pengawas MA ini memberi rekomendasi pada hakim;
Pertama, harus mempu menguasai Kewenangan absolut PTUN; kedua, memahami secara
detail subyek atau pihak-pihak yang bersengketa di PTUN; ketiga, memahami secara utuh
obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh PTUN; keempat, harus dikuasai asas-
asas hukum yang berlaku di PTUN, seperti hukum administrasi, doktrin, dan yurisprudensi
putusan-putusan PERATUN.

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi
obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.

Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha
negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).

Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka
3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.

Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5
Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142.
Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan langsung, pembatasasn tidak langsung
dan pembatasan langsung bersifat sementara.

1) Pembatasan Langsung

Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN
untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam
Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No.
5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata
usaha negara menurut UU ini :

1. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.


2. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
3. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
4. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
5. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum.

 Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan


sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dikeluarkan :

1. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa
yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pembatasan Tidak Langsung

Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut yang masih membuka
kemungkinan bagi PT.TUN untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi, dengan
ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang tersedia untuk itu telah ditempuh.

Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun 2004 yang
menyebutkan,

(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif
sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia.

(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Pembatasan langsung bersifat sementara

Pembatasan ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali bagi PTUN untuk
mengadilinya, namun sifatnya sementara dan satu kali (einmalig). Terdapat dalam Bab VI
Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang secara langsung
mengatur masalah ini menentukan bahwa, “ Sengketa tata usaha negara yang pada saat
terbentuknya Pengadilan menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan menurut UU ini
belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”.

KOMPETENSI RELATIVE

Kompetensi relatif adalah kewenagan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang
untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatu perkara yang bersangkutan. Dalam kaitanya
di dalam peradialan tata usaha Negara, maka kempetensi relatifnya adalah menyangkut
kewenagan pengadilan tata usaha mengadili, dan memutus perkara tersebut. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka di atas pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat diajukan
kepada PTUN tempat kedudukan (domisisli) tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu,
maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN dari tempat kedududkan salah satu tergugat.

Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara berdasarkan


wilayah perkara.

 Tingkatan pengadilan :

1. Pengadilan tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)


2. Pengadilan tingkat Kedua (Pengadilan Tinggi/Banding)
3. MA/Kasasi

Pengadilan tingkat I dan Tingkat II masih mencari fakta hukum, sedangkan pada MA/Kasasi
sudah pada penetapan hukum. Kompetensi relatif adalah kewenangan suatu pengadilan
ditentukan berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya.
Gugatan dapat juga diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk di teruskan
kepada PTUN tempat kedudukan (domosili) dari tergugat. Apabila penggugat dan tergugat
berdomisisli di luar negri, sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negri,
sedangkan penggugat berkedudukan di luar negri, maka gugatan dapat diajukan kepada
PTUN tempat kedudukan tergugat.

alam hukum acara perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili
suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Mengajukan gugatan pada pengadilan
diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan.

Opsi lainnya adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui.
Agar tidak dapat dimanipulasi oleh penggugat, tidak diketahuinya tempat tinggal tergugat itu
perlu mendapat surat keterangan dari pejabat yang bersangkutan yang menyatakan bahwa
tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.

Jika obyek gugatan mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya tanah, maka
gugatan diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda tidak bergerak itu
berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi beberapa wilayah hukum, maka
gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan penggugat.

Kewenangan dari pengadilan sejenis yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pengadilan tata usaha negara, maka
kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Apakah itu PTUN Ujung Pandang,
Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, Medan, dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas pasal (54 UU 09/2004 PTUN) menyebutkan gugatan
dapat diajukan kepada PTUN dari tempat kedudukan salah satu tergugat. Gugatan dapat juga
diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada tempat
kedudukan (domisili) tergugat. PTUN Jakarta, apabila penggugat dan tergugat berdomisili di
luar negeri sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, sedangkan penggugat
berkedudukan di luar negeri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan
tergugat.
Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untukmemeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara absolut maupun secara
relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya
dari segi waktu, dan biaya, tetapi yang jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan
menjadi daluwarsa. Sebagaimana diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan
(pasal 55 09/2004 UU PTUN) hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara.

Yaitu kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan. Kewenangan
tersebut terletak dipengadilan manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkaratertentu. Sedangkan kompetensi Relative Peradilan Tata Usaha Negara
diaturdalamPasal 54 ayat 1 s/d pasal6 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang menyebutkan:

1. Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

Contoh:

Bila Penggugat beralamat di kota Semarang, sedangkan Tergugat adalah Walikota Surabaya,
maka menurut ketentuan ayat ini gugatan diajukan di PTUN Surabaya, karena Walikota
Surabaya berkedudukan di daerah hukum PTUN Semarang.

2. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salahsatu Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.

Contoh:

Bila Penggugat beralamat di Semarang, sedangkan yang digugat adalah Kepala Kantor
Pertanahan Kota Semarang (Tergugat I), Kakanwil BPN Provinsi Jawa Tengah (Tergugat II);
Tergugat III (Kepala BPN Pusat); Tergugat IV (Presiden), maka gugatan dapat diajukan di:

1. PTUN Semarang, yang daerah hukumnya meliputi salah satu Tergugat , atau
2. PTUN Jakarta, yang daerah hukumnya meliputi salah satuTergugat.
Yang perlu diperhatikan dalam menentukan pengadilan yang akan mengadili adalah
kedekatan dengan saksi maupun obyek yang disengketakan.

3. Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan
tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan penggugat, untuk selanjutnya diteruskan
kepada pengadilan yang bersangkutan.

Contoh:

Penggugat kedudukannya didaerah hukum PTUN Makasar, sedangkan Tergugat


kedudukannya di daerah hukum PTUN Semarang, makagugatan dapat diajukan ke PTUN
Makasar untuk selanjutnya diteruskan ke PTUN Semarang.

Hal ini karena untuk mengajukan gugatan di PTUN dibatasi waktu, sehingga agar tidak lewat
waktu maka dipergunakan pengadilan perantara, hitungan waktunya adalah sejak Penggugat
mendaftarkan perkara di pengadilan perantara yaitu PTUN Makasar.

4. Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
5. Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan
diajukan kepada pengadilan di Jakarta.
6. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri ,gugatan
diajukan kepada pengadilan ditempat kedudukan tergugat.

Wewenang ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Gugatan harus diajukan
kepada pengadilan negeri di tempat tergugat tinggal (Actor sequitor forum rei) Psl 118 ayat 1
HIR, Pasal 142 ayat 1 Rbg. Yang berwenang adalah PN tempat tinggal tergugat (Domisili).
Contohnya jika penggugat di Yogyakarta dan tergugat berada di Bandung maka gugatan
diajukan di PN bandung.
Jika yang digugat lebih dari satu tergugat dan mereka ini tidak tinggal dalam suatu wilayah
hukum suatu PN, maka gugatan diajukan ke PN di tempat salah satu seorang tergugat tinggal.
Penggugat dapat memilih salah satu (Pasal 118 ayat 2 HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg).

Apabila tergugat itu terdiri dari orang-orang yang berhutang (Debitur) dan penanggung, maka
gugatan diajukan kepada PN di tempat orang yang berhutang (Debitur) Pasal 118 ayat 2 HIR
dan Pasal 142 ayat 5 Rbg.

Penyimpangan asas Actor sequitor forum rei yakni dalam hal tergugat tidak punya tempat
tinggal yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata/ apabila tergugat tidak dikenal.
Dalam hal ini gugatan diajukan kepada PN di tempat penggugat tinggal. Pasal 118 ayat 3
HIR, Pasal 142 ayat 3 Rbg. Apabila gugatan itu mengenai benda tetap, maka gugatan
diajukan kepada pengadulan negeri di tempat benda titu terletak (Forum rei sitae). Hal ini
diatur pada pasal 118 ayat 3 HIR, dan Pasal 142 ayat 5 Rg).

Banding administratif adalah dalam hal penyelesaian sengketa KTUN harus dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
Keberatan adalah dalam hal penyelesaian KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan
atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu. Dalam prosedur banding administratif
dan prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum
maupun dari segi kebijkasanaan oleh instansi yang memutus. Apabila seluruh prosedur dan
kesempatan tersebut telah ditempuh dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa
puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (Pasal 51 ayat (3).

Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi
kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu
sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di
salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal
54 :

Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :


(1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh
wilayah Indonesia, sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan
kota. Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara dan
PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para
pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.

Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai berikut :

Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.

(1) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara.

(2) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan
tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada
Pengadilan yang bersangkutan.

(3) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.

(4) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(5) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.

Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan ke pengadilan di tempat tergugat dan
hanya bersifat eksepsional di tempat penggugat diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya
saja sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.

1. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah
kota madya yang terdapat di DKI Jakarta, serta seluruh kabupaten dan kotamadya TK.
II yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, dan Kalimnatan Tengah
2. Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, daerah hukumnya meliputi wilayah seluruh
kabupaten dan kota madya daerah TK. II yang terdapat di provinsi Sumatra Utara, DI
Aceh, Sumatra Barat dan Riau
3. Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang, daerah hukumnya meliputi seluruh
kabupaten dan kotamadya yang terdapat di provinsi Sumatra Selatan, Jambi,
Bengkulu, dan Lampung
4. Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya, daerah hukumnya meliputi seluruh
kabupaten dan kotamadya yang terdapat di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
DI Yogyakarta
5. Pengadilan Tata Usaha Negara Makasar, daerah hukumnya meliputi seluruh
kabupaten dan kotamadya yang terdapat di provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Bali, NTB, NTT, Maluku dan Irian Jaya

Daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut juga masih bersifat sementara,
sampai dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara di seluruh kabupaten dan
kotamadya lainnya di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai