Anda di halaman 1dari 65

HUKUM ACARA PERADILAN TATA

USAHA NEGARA

OLEH :
H. Rusnan, S..Ag.,SH..,M..Hum.
 Van Praag, mendefinisikan, peradilan
adalah penentuan berlakunya suatu aturan
hukum pada suatu peristiwa yang konkrit,
bertalian dengan adanya suatu
perselisihan.
 Sedangkan Bellefroid, mengemukakan,
bahwa peradilan adalah pemutusan
perkara dengan penerapan hukum.
 Rochmat Soemitro, mengemukakan, unsur-unsur
yang harus dipenuhi untuk adanya suatu
peradilan yaitu:
 Adanya suatu aturan hukum yang abstrak
yang mengikat umum, yang dapat
diterapkan pada suatu persoalan;
 Adanya suatu perselisihan hukum yang
konkrit;
 Ada sekurang-kurangnya dua pihak;
 Adanya suatu aparatur peradilan yang
berwenang memutuskan perselisihan.
 Muchsan, bahwa semua lembaga peradilan pada dasarnya
mempunyai unsur-unsur yang sama. Namun karena Peradilan Tata
Usaha Negara memiliki sifat-sifat yang khusus, maka untuk dapat
disebut Peradilan Tata Usaha Negara, disamping syarat-syarat yang
harus ada pada peradilan umum, masih diperlukan syarat-syarat lain
yang bersifat khusus, yakni :
 Sifat aturan hukum yang diterapkan ;
 Salah satu pihak yang bersengketa atau kedua belah pihak
adalah
alat administrasi Negara.

 Rochmat Soemitro, juga memberikan dua unsur tambahan yaitu :


 Salah satu pihak harus administrasi yang menjadi terikat
karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas
wewenangnya.
 Diberlakukannya hukum publik atau Hukum Administrasi
Negara
terhadap persoalan yang diajukannya.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu pengertian, bahwa Peradilan
Tata Usaha Negara adalah setiap bentuk penyelesaian suatu
perbuatan Pejabat Administrasi Negara yang dipersoalkan oleh
warga masyarakat, instansi masyarakat, badan publik, badan atau
Pejabat Administrasi Negara, yang memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
 Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat
umum,
yang dapat diterapkan pada suatu petrsoalan;
 Adanya sengketa hukum yang konkret yang pada
dasarnya disebabkan oleh ketetapan tertulis
administrasi negara;
 Adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya
salah satu
pihak harus administrasi negara;
 Adanya badan peradilan yang berwenang memutuskan
sengketa ;
dan
 Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum dan
 Peradilan Administrasi dalam arti
sempit (murni)
 Peradilan Administrasi alam arti luas
(peradilan murni dan peradilan
semu).
 Tujuan peradilan Tata Usaha Negara dapat adalah
untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga
Negara atas tindakakan Administrasi Negara yang
merugikan dan melawan hukum, dan memberikan
perlindungan hukum bagi Administrasi Negara
sendiri yang bertindak benar sesuai dengan hukum
serta melakukan pengawasan (kontrol) terhadap
tindakan- tindakan Administrasi Negara, baik
secara preventif maupun represif. Dengan demikian
akan terjaga dan terwujud keserasian,
keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat.
 Obyek atau Pangkal Sengketa
 Kedudukan Para Pihak
 Gugatan Rekonvensi
 Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
 Rapat Permusyawaratan
 Pemeriksaan Persiapan
 Peranan Hakim Aktif (domonis litis)
 Dikenal Prosedur Penolakan
(dismissal procedure)
 Gugatan Tidak Menunda
Pelaksanaan KTUN
 Asas Praduga Rechtmatig
 Asas Gugatan tidak Menunda
Pelaksanaan KTUN
 Asas Hakim Aktif
 Asas Putusan Bersifat Erga Omnes
 Asas Peradilan Dilakukan dengan
Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
 Asas Pemeriksaan Segi Rechtmatig
 Bagi mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dapat meminta
bantuan
kepada Panitera Pengadilan untuk membantu merumuskan gugatannya.
Ketentuan demikian merupakan ketentuan umum yang ditemukan pada
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara;
 Mereka yang tidak mampu membayar biaya sengketa diberi kesempatan
untuk
bersengketa dengan cuma-cuma (prodeo);
 Apabila terdapat kepentingan yang mendesak, Ketua Pengadilan
dapat menentukan untuk melakukan pemeriksaan dengan cara
cepat;
 Meskipun belum dapat direalisasikan sepenuhnya, namun
direncanakan tempat
kedudukan Pengadilan Administrasi ditetapkan di Kotamadya atau Ibukota
Kabupaten, sehingga dengan kedudukan iti masyarakat pencari keadilan
akan mudak mencapainya;
 Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Administrasi
yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke
Pengadilan yang berwenang mengadilinya; Bahkan dalam hal tertentu
dimungkinkan pula untuk diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman
penggugat.
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

OLEH :
H. Rusnan, S..Ag.,SH..,M..Hum.
1. Kompetensi PTUN berdasarkan UU No. 5
tahun 1986 tentang PTUN
a. Kompetensi Relatif
b. Kompetensi Absolut
c. Pembatasan-Pembatasan
2. Perluasan Kompetensi Absolut PTUN
berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 Ttg KIP
a. Obyek Sengketa Tata Usaha Negara
b. Subyek Sengketa Tata Usaha Negara
 Kompetensi relatif suatu pengadilan ditentukan
berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah
kewenangannya. Suatu pengadilan berwenang
memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak
atau kedua belah pihak yang bersengketa
berkedudukan di wilayah hukumnya.
 Sjachran Basah, menyebut kompetensi relatif ini
dengan istilah Distribusi atau kewenangan
distributive ( relatif competentie atau distributif van
rechtsmacht ), yaitu yang berkaitan dengan
pembagian wewenang, yang bersifat terperinci
(relatif) diantara badan-badan yang sejenis mengenai
wilayah hukum, seperti antara satu Pengadilan Tata
Usaha Negara dengan Pengadilan Tata Usaha Negara
lainnya.
 Kompetensi absolut berhubungan dengan kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu sengketa
menurut objek atau materi atau pokok sengketa. Meskipun
Badan atau Pejabat tata Usaha Negara dapat digugat di
Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi tidak semua tindakannya
dapat diadili oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
 Tindakan Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang dapat
digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1
angka 9 dan Pasal 3 UU PERATUN, yaitu Keputusan Tata Usaha
Negara dan yang dipersamakan dengannya. Sedangkan tindakan
selebihnya dapat menjadi kompetensi Peradilan umum, atau
Peradilan (Tata Usaha) Militer, atau bahkan untuk masalah
pembuatan peraturan (regeling) yang dibuat oleh Pemerintah dan
bersifat umum, kewenangan untuk mengadilinya berada pada
Mahkamah Agung melalui hak uji Materiil (toetsingrecht,
judicial review).
 Ada pengecualian-pengecualian atau
pembatasan-pembatasan yang diberikan oleh UU
PERATUN yang diatur di dalam Pasal, 2, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 142 dan Penjelasan Umum UU
PERATUN.
 Sjachran Basah mengelompokkan pembatasan-
pembatasan itu menjadi dua golongan yaitu
pembatasan langsung dan pembatasan tidak
langsung. Namun Mahfud MD, menambahkan
satu jenis pembatasan lagi yakni pembatasan
langsung yang bersifat sementara (eimnalig ).
Langsung
(fs 2,
49)
Tdk langsung
Pembatasan
(fs 48)

Sementara (fs
142 (1)
 Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama
sekali
bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan memutuskan suatu
sengketa Tata Usaha Negara. Pembatasan langsung ini terdapat di dalam Pasal 2
dan Pasal 49 UU PERATUN serta penjelasan umumnya.

 Menurut Pasal 2 UU PERATUN, yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan


Tata Usaha Negara, adalah :
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana;
5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.
 Menurut Pasal 49 UU PERATUN,
Pe

 Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan


menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu
dalam hal keputusan Tata Usaha
yang disengketakan itu dikeluarkan :
 Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam
atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Dalam keadaan m endesak untuk kepentingan
um um berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
 Menurut Penjelasan Umum (angka 1) UU PERATUN,
sengketa Tata Usaha Negara di lingkungan Angkatan Bersenjata
dan dalam soal-soal Militer yang menurut ketentuan Undang-
Undang Nomor 16 tahun 1953 dan Undang-Undang Nomor
19 tahun 1958 diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh
Pengadilan Tata Usaha Militer.
 Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atau
kompetensi absolut yang masih membuka kemungkinan
bagi Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat banding
(Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) untuk memeriksa
dan memutus sengketa Tata Usaha Negara, dengan
ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang
tersedia untuk itu telah ditempuh. Pembatasan tidak
langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU PERATUN, yang
selengkapnya dirumuskan sebagai berikut :
◦ Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha
Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus
diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
◦ Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
 Pembatasan langsung yang bersifat sementara ini bersifat
langsung dan tidak ada kemungkinan sama sekali bagi
Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya, tetapi
hanya berlaku sementara dan satu kali (einmalig ).
 Pembatasan langsung yang bersifat sementara bagi
kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara ini
berlaku bagi sengketa Tata Usaha Negara yang sedang
diadili oleh Peradilan Umum pada saat terbentuknya
Peradilan Tata Usaha Negara menurut UU PERATUN. Pasal
142 ayat (1) secara langsung mengatur masalah ini
dan menentukan bahwa “Sengketa Tata Usaha Negara
yang pada saat terbentuknya pengadilan menurut
undang-
undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan lingkungan Peradilan Umum”.
Mnrt UU No. 5 Tahun 1986 ttg PTUN

 Penggugat :
 Orang atau Badan Hukum Perdata
 (Pasal 1 angka 4)

 Tergugat :
 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
 (Pasal 1 angka 6)
Mnrt UU No. 14 Tahun 2008 ttg KIP

PENGGUGAT
 :
Orang/Warga Negara
 Kelompok orang
 Badan Publik
 Eksekutif
 Legislatif
 Yudikatif
 Badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan Negara
 Organisasi non pemerintah
(Pasal 1 angka 3, 5, 10, 11, dan 12)

 TERGUGAT :
 Badan Publik
 Eksekutif
 Legislatif
 Yudikatif
 Badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan Negara
(Pasal 1 angka 7 Pert. KIP No.2 Th. 2010).
Materi kuliah : HAPTUN

Hukum Acara PTUN

Dosen :
H. Rusnan, S.Ag.,SH.,M.Hum
Fak. Hukum UNRAM
NEGARA HUKUM DAN PERADILAN ADMINISTRASI

Negara Hukum 
• Dalam Teori kedaulatan hukum (Teori
Kedaulatan Tuhan (Raja), Teori Kedaulatan
Rakyat, Teori kedaulatan Negara) 
menempatkan Negara berdasarkan atas hukum
atau recht staat hukum yang baik, adil dan
demokratis.hukum yang baik adalah hukum
yang demokratis yang didasarkan atas kehendak
rakyat sesuai dengan kesadaran hukum rakyat
...........
• sedangkan hukum yang adil adalah hukum yang
sesuai dan memenuhi maksud dan tujuan setiap
hukum, yakni keadilan.
• Hukum yang baik dan adil perlu dikedepankan,
utamanya guna menghindari kemungkinan hukum
dijadikan alat oleh penguasa untuk melegitimasi
kepentingan tertentu, baik kepentingan penguasa
sendiri maupun kepentingan tertentu yang dapat
merugikankepentingan rakyat.
* Eropa Continental (Recht Staat)  ------à F.J. Stahl
• Unsur – unsurnya :
1. Perlindungan HAM
2. Pemisahan kekuasaan
3. Pemerintah/peraturan
4. Peradilan administrasi/TUN
 
* Anglo saxon (Rue of Law) ------à A.V. Picey
• Unsur – unsurnya :
1. Adanya supremasi aturan - aturan hukum
2. Persamaan didepan pengadilan
3. Adanya pengakuan dan perlindungan HAM
 
Unsur – unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum tersebut
diatas, baik rechtstaat maupun rule of law mempunyai perbedaan dan
persamaan.
• Persamaan pokok antara rechtsstaat dan rule of law adalah adanya
keinginan untuk memberikan perlindungan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia yang telah diimpikan sejak berabad –
abad lamanya dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.
• Faktor utama penyebab timbulnya penindasan dan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia itu, karena terpusatnya kekuasaan negara
secara mutlak pada satu tangan, yakni raja atau negara (absolut).
• Karena itu adanya keinginan untuk memisahkan atau membagikan
kekuasaan negara kepada beberapa badan atau lembaga negara
lainnya, merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan sekaligus memberikan
jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
• Perbedaan pokoknya adalah ditemukan pada unsur
peradilan administrasi.
• Dinegara anglo saxon  penekanan terhadap prinsip
persamaan di hadapan hukum lebih ditonjolkan sehingga
dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan
khusus untuk pejabat administrasi negara.
• Prinsip equality before the law menghendaki agar prinsip 
persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi
negara harus juga tercermin dalam lapangan peradilan.
• Pejabat administrasi atau pemerintah atau rakyat harus
sama – sama tunduk kepada hukum dan bersamaan
kedudukannya dihadapan hukum.
• INDONESIA NEGARA HUKUM ......... ?

• UUD NRI 1945


Pra dan pasca Perubahan ......
..........................????
SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN
TATA USAHA NEGARA

• Sumber-sumber formal Hukum Adminstarsi Negara (HAPTUN) adalah :


1. Undang – Undang (Hukum Adminstrasi Negara tertulis)
2. Praktik Adminsitrasi Negara (Hukum Administarsi Negara
yeng merupakan kebiasaan)
3. Yurisprudensi
4. Anggapan para ahli Hukum Adminstrasi Negara

• Mengenai undang-undang sebagai sumber hukum tertulis, berbeda


dengan Hukum Perdata atau Hukum Pidana karena sampai sekarang
Hukum Tata Usaha Negara belum terkodifikasi sehingga Hukum Tata
Usaha Negara masih tersebar dalam berbagai ragam peraturan 
perundang-undangan.
• Dengan tidak adanya kodifikasi HTUN ini dapat menyulitkan
para hakim PTUN untuk menemukan hukum di dalam
memutus suatu sengketa.
• Hal ini disebabkan karena HTUN  tersebar dalam berbagai
ragam peraturan perundang-undang yang jumlahnya cukup
banyak.
• Beberapa bidang HTUN yang banyak menimbulkan sengketa,
 misalnya bidang kepegawaian, agraria, perizinan dan
bidang perpajakan, yang semuanya tersebar dalam berbagai
ragam peraturan perundang-undangan, baik dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden,
keputusan menteri, samapai pada keputusan dan peraturan
kepala daerah
• Menurut Donner kesulitan membuat kodifikasi HTUN
disebabkan oleh :
• Peraturan-peraturan HTUN berubah lebih cepat dan sering
secara mendadak, sedangkan peraturan-peraturan Hukum
Privat dan Hukum Pidana berubah secara berangsur-angsur 
saja.
• Pembuatan peraturan-peraturan Hukum Tata Usaha  Negara
tidak berada dalam satu tangan.  Diluar pembuat undang-
undang pusat, hampir semua depatemen dan semua
pemerintah daerah swatantra membuat juga perauturan-
peraturan Hukum Adminsitrasi Negara sehingga lapangan
Hukum Administrasi Negara beraneka warna dan tidak
bersistem.
Materi kuliah : HAPTUN

Hukum Acara PTUN

Dosen :
H. Rusnan, S.Ag.,SH.,M.Hum
Fak. Hukum UNRAM
SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN
TATA USAHA NEGARA

• Sumber-sumber formal Hukum Adminstarsi Negara (HAPTUN) adalah :


1. Undang – Undang (Hukum Adminstrasi Negara tertulis)
2. Praktik Adminsitrasi Negara (Hukum Administarsi Negara
yeng merupakan kebiasaan)
3. Yurisprudensi
4. Anggapan para ahli Hukum Adminstrasi Negara

• Mengenai undang-undang sebagai sumber hukum tertulis, berbeda


dengan Hukum Perdata atau Hukum Pidana karena sampai sekarang
Hukum Tata Usaha Negara belum terkodifikasi sehingga Hukum Tata
Usaha Negara masih tersebar dalam berbagai ragam peraturan 
perundang-undangan.
• Dengan tidak adanya kodifikasi HTUN ini dapat menyulitkan
para hakim PTUN untuk menemukan hukum di dalam
memutus suatu sengketa.
• Hal ini disebabkan karena HTUN  tersebar dalam berbagai
ragam peraturan perundang-undang yang jumlahnya cukup
banyak.
• Beberapa bidang HTUN yang banyak menimbulkan sengketa,
 misalnya bidang kepegawaian, agraria, perizinan dan
bidang perpajakan, yang semuanya tersebar dalam berbagai
ragam peraturan perundang-undangan, baik dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden,
keputusan menteri, samapai pada keputusan dan peraturan
kepala daerah
• Menurut Donner kesulitan membuat kodifikasi HTUN
disebabkan oleh :
• Peraturan-peraturan HTUN berubah lebih cepat dan sering
secara mendadak, sedangkan peraturan-peraturan Hukum
Privat dan Hukum Pidana berubah secara berangsur-angsur 
saja.
• Pembuatan peraturan-peraturan Hukum Tata Usaha  Negara
tidak berada dalam satu tangan.  Diluar pembuat undang-
undang pusat, hampir semua depatemen dan semua
pemerintah daerah swatantra membuat juga perauturan-
peraturan Hukum Adminsitrasi Negara sehingga lapangan
Hukum Administrasi Negara beraneka warna dan tidak
bersistem.
Materi kuliah : HAPTUN 4

Pertemuan 4
Hukum Acara PTUN

Dosen :
H. Rusnan, S.Ag.,SH.,M.Hum
Fak. Hukum UNRAM
Azas-azas peradilan TUN

1. Praduga recht matige, anggapan bahwa keputusan TUN itu adalah benar menurut
hukum
2. Azas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan TUN
3. Azas para pihak harus didengar audie et alteran partem
4. Azas kesatuan beracara dalam perkara sejenis
5. Azas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala
campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. Azas peradilan dilakukan dengan sederhana cepat dan biaya ringan
7. Azas hakim bersifat aktif
8. Azas sidang terbuka untuk umum
9. Azas peradilan berjenjang
10.Azas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan (Ultimum
remedium)
11. Azas objektivitas hakim
ASAS – ASAS HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan Hukum Acara Perdata,
dengan beberapa perbedaan. Perbedaan – perbedaan itu antara lain :
1. Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
2. Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara).
Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa
kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah
dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
3. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
4. Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara
yang digugat.
5. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat
ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
6. Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-
pihak yang terkait.
7. Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat
putusannya.
8. Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
9. Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil denggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan,
menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum
Materi kuliah : HAPTUN

Hukum Acara PTUN

Dosen :
H. Rusnan, S.Ag.,SH.,M.Hum
Fak. Hukum UNRAM
PARA PIHAK DALAM PTUN

• Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 (UU No. 9 Th 2004), diuraikan
tentang pengertian-pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagai berikut:
1. TUN adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
2. Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan per-UU-an yang berlaku.
3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan per-UU-an yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
4. Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan per-UU-an yang berlaku.
5. Gugatan TUN adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau
Pejabat TUN dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.
6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
7. Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan T UN.
8. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan,
dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan
gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta
atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud
(Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002)
Pihak (Subyek) dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering
disebut dengan para pihak, yaitu:

1. Penggugat

• Dari pengertian penggugat diatas dapat ditentukan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:

a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN);
b. Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN).

• Jadi, pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak
dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebgai Penggugat. Namun
terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimungkinkan bertindak sebagai Penggugat dalam
Sengketa Tata Usaha Negara khusus tentang sertifikat tanah, karena alas hak dari gugatan adalah
hak keperdataan dari BUMN tersebut. Dalam hal ini, BUMN tersebut tidak bertindak sebagai
Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata
• Berapa banyak orang atau badan hukum perdata yang dapat bertindak sebagai Penggugat
dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menjadi masalah, asalkan semua orang
atau badan hukum perdata tersebut merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN.
Sehingga dimungkinkan juga terjadinya gugatan oleh Perwakilan Kelompok yang sering
disebut dengan Class Action.

• Demikian pula, tidak menjadi masalah apakah orang atau badan hukum perdata itu
adalah orang atau badan hukum perdata yang dituju atau bukan dari KTUN tersebut.
Dalam arti pihak yang namanya tidak ada dalam KTUN itu pun bisa bertindak sebagai
Penggugat asalkan yang bersangkutan merasa dirugikan oleh dikeluarkannya KTUN
tersebut.

• Salah satu contoh kasus: PULAN mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang
diperuntukkan untuk usaha, setelah IMBnya dikeluarkan kemudian PULAN mulai
mendirikan bangunan berupa sebuah pabrik Tahu, yang kebetulan pabrik tersebut
dibangun di daerah yang padat penduduk. AHMAD yang rumahnya bersebelahan dengan
bangunan pabrik itu dan kebetulan pembuangan limbah nya bersebelahan dengan
rumahnya, sehingga ketika pabrik beroperasi maka AHMAD merasa terganggu oleh
pencemaran limbah yang dikeluarkan dari pabrik dimaksud. Dalam hal ini AHMAD merasa
kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya KTUN berupa IMB tersebut. Karena itu,
walaupun namanya tidak tercantum atau dituju dalam IMB tersebut, AHMAD berhak
• 2. Tergugat

• Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam pengertian tergugat
diatas adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN
berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya.
Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan
yang melekat kepada orang tersebut. Misalnya; Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lobar,
Bupati Lobar dan lain-lain, sehingga tidak akan menjadi masalah ketika terjadi pergantian
orang pada jabatan tersebut.
• Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi
pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:
a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif.
b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan.
c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
• Untuk dapat menentukan Badan atau Pejabat TUN menjadi Tergugat dalam Sengketa Tata
Usaha Negara, perlu lebih dahulu diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tersebut pada waktu mengeluarkan KTUN. Jenis wewenang yang dimaksud
adalah:
1. Atribusi; adalah wewenang yang langsung diberikan atau langsung ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, yang
menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah yang menerima
wewenang secara atribusi ini.
2. Mandat; adalah wewenang yang diberikan kepada mandataris (penerima mandat) dari
mandans (pemberi mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atas nama mandans. Pada
wewenang yang diberikan dengan mandat, mandataris hanya diberikan kewenangan untuk
mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama mandans, dengan demikian tidak sampai ada
pengalihan wewenang dari mandans kepada mandataris. Oleh karena itu, tanggungjawab
atas dikeluarkannya KTUN tersebut masih tetap ada pada mandans, sehingga yang menjadi
Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah mandans (Pemberi mandat).
3. Delegasi; adalah wewenang yang diberikan dengan penyerahan wewenang dari delegans
(pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi). Dalam hal ini, delegataris telah
diberikan tanggung jawab untuk mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama delegataris
sendiri, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah
delegataris (Penerima Delegasi).
Oleh

H. Rusnan, SH.M.Hum.
Pengertian Upaya Administratif
 Upaya administratif adalah suatu prosedur
yang dapat ditempuh oleh seseorang
atau badan hukum perdata yang tidak
puas terhadap suatu Keputusan Tata
Usaha Negara.
 Prosedur tersebut dilakukan di
lingkungan pemerintahan sendiri dan
terdiri atas dua bentuk, yakni banding
administratif dan prosedur keberatan.
(Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara).
 Banding administratif adl penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh instansi
atasan atau instansi lain dari instansi
yang mengeluarkan keputusan yang
bersangkutan.
 Yang dimaksud dg prosedur keberatan
adl penyelesaian yang dilakukan sendiri
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan
itu.
Unsur-unsur Upaya Administratif
a. Ada suatu perselisihan yang diajukan oleh seseorang
atau badan hukum perdata, sebagai akibat
dikeluarkannya suatu keputusan tertulis atau karena tidak
dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan,
sedangkan hal itu merupakan wewenang badan/pejabat
administrasi tersebut.
b. Penyelesaian perselisihan atau sengketa dilakukan di
lingkungan pemerintahan sendiri, baik melalui prosedur
keberatan maupun melalui banding administratif.
c. Adanya hukum, terutama di lingkungan
Hukum Administrasi Negara.
d. Minimal dua pihak dan salah satu pihak adalah
badan/pejabat administrasi.
e. Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum
(rechtstoepassing) in concretto untuk menjamin ditaatinya
hukum materiel.
Ciri-ciri Upaya
Administratif
a. Yang memutus perkara dlm beroep adl
instansi yang hirarkhi lebih tinggi atau instansi
lain dari yang memberi putusan pertama.
b. Tidak saja meneliti doelmatigheid, tapi
berwenang juga meneliti rechtmatigheidnya
c. Dapat mengganti, merubah atau meniadakan
keputusan Tata Usaha Negara yang
pertama
d. Juga dapat memperhatikan perubahan-
perubahan keadaan sejak saat diambilnya
keputusan keputusan, bahkan juga dpt
memperhatikan perubahan yang terjadi
selama prosedure berjalan.
Mnrt SEMA No. 2 Tahun 1991.
 Upaya Administratif juga dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Prosedur Keberatan
2. Banding Administratif (administratif
beroep)
 Konsekuensi dari kedua macam upaya
administratif ini menimbulkan perbedaan
dalam mekanisme penyelesaian
sengketa TUN.
1. Untuk sengketa Tata Usaha Negara yang
tidak tersedia upaya administratif, berlaku
tahapan peradilan pada umumnya, yaitu :
 Pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara;
 Permohonan banding ke Pengailan Tinggi
Tata Usaha Negara;
 Permohonan Kasasi ke Mahkamah
Agung; dan
 Permohonan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung.
2. Bagi sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, tahapan penyelesaiannya juga dapat
digolongkan atas tiga bagian, yaitu :
1. Bagi sengketa Tata Usaha Negara yang
tersedia upaya administratif, berupa “banding
administratif”, tahapan penyelesaiannya
adalah sebagai berikut :
• Mengajukan banding administratif;
• Mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara;
• Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung;
dan
• Permohonan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung
2. bagi sengketa Tata Usaha Negara yang tersedia
upaya administratif, hanya berupa “prosedur
keberatan”, sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 1991
tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tahapan
penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
• Mengajukan keberatan kepada instansi yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara;
• Mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara;
• Permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara;
• Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung; dan
• Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung.
3. Adapun bagi sengketa Tata Usaha Negara yang
tersedia upaya administratif, berupa “prosedur
keberatan”, dan “banding administratif”,
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 2 tahun 1991 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, tahapan penyelesaiannya adalah sbb :
 Mengajukan keberatan kepada instansi yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara;
 Mengajukan banding administratif;
 Mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara;
 Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung; dan
 Permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung.
Oleh

H. Rusnan, S.Ag., H.M.Hum.


GUGATAN
Adl : suatu permohonan berisi
tuntutan terhadap
badan/pejabat TUN yg
diajukan ke PTUN utk
mendapatkan putusan
ASPEK-ASPEK GUGATAN
1. Bentuk dan kepentingan
a. Gugatan harus dibuat dlm bentuk tertulis,
dengan sistematika sbb:
• Identitas Para Pihak
• Dasar gugatan
• Materi gugatan
• Petitum
b.
Kepentingan
• Yang memiliki hak untuk mengajukan gugatan
dalam Hukum Acara PTUN adalah orang atau
badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara.
• Oleh karena itu jika tidak ada kepentingan yang
dirugikan, maka seseorang tidak dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara atau dengan kata lain tidak memiliki
legal standing sebagai Penggugat.
2. Dasar dan Materi Gugatan
a. Dasar Gugatan
 bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku;
 Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.”
b. Materi gugatan

 Peristiwa/fakta yang
menunjukkan adanya hubungan
hukum dg dasar gugatan
(fondamentum petendi/posita)
 Petitum/petita, hanya satu, yt:
agar keputusan batal/tdk sah.
Syarat-syarat Gugatan
1. Kedudukan hukum (legal standing) dari penggugat.
Pasal 53 ayat (1) UU No.9 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
1. Harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56
UU No. 5 Thun 1986 Tentang PTUN, meliputi beberapa hal sebagai
berikut :
 Gugatan harus memuat:
 Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau
kuasanya;
 Nama jabatan, tempat kedudukan tergugat;
 Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan;
 Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa
penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
 Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan oleh penggugat.
Kuasa
Agar seseorang bisa bertindak sebagai wakil atau
kuasa para pihak, maka ia harus memenuhi
syarat- syarat sebagai berikut :
mempunyai surat kuasa khusus;
ditunjuk secara lisan di persidangan oleh para pihak;
surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus
memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan
dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di
Negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.

Anda mungkin juga menyukai