Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyebutkan bahwa sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pada dasarnya sengketa Tata Usaha Negara terjadi karena adanya seseorang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata. Gugatan yang diajukan oleh seseorang atau badan
hukum yang merasa dirugikan tersebut haruslah dengan alasan-alasan sesuai yang diatur dalam
Pasal 53 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986.
Secara umum jika kita kaji mengenai Isi atau bagian-bagian dari suatu Putusan, maka hal ini
diatur dalam Pasal 109 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu memuat:
a. Kepala putusan harus berbunyi: “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa “.
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman para pihak yang bersengketa.
c. Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat yang jelas.
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa.
e. Alasan hakim yang menjadi dasar putusan.
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
g. tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Menurut hemat Penulis, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negera Jakarta Nomor
162/B/2015/PT.TUN.JKT. secara keseluruhan sudah memuat semua bagian-bagian isi dari
suatu putusan sesuai Pasal 109 ayat (1) di atas.
Untuk mempermudah pemahaman Pembaca mengenai analisis terhadap Putusan sengketa tata
usaha negara yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor: 162/B/2015/PT.TUN.JKT.di atas, maka Penulis akan mencoba menjelaskan atau
menguraikannya satu persatu dari hal-hal yang perlu untuk diketahui.

Secara keseluruhan jika kita sudah pada tahap penganalisaan suatu Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara maka secara tidak langsung sudah menunjukkan bahwa prosedur sebelumnya
sudah terpenuhi, yaitu seperti mengenai syarat-syarat dari suatu surat gugatan terutama syarat
formil, yang jika dalam kasus sengketa tata usaha negara pada contoh salinan Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta di atas adalah diajukan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia (Penggugat), didaftarkan 10 April 2015 dengan Register
Perkara Nomor : 162/B/2015/PT.TUN.JKT. Tidak mungkin suatu sengketa tata usaha negara
dapat diperiksa, diadili, dan diputus di PTUN jika tidak lulus dari pemeriksaan awal suatu
surat gugatan di Kepaniteraan PTUN, Karena sebelum surat gugatan dapat di daftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara syarat formilnya harus terpenuhi secara lengkap
terlebih dahulu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b Jo Pasal 56 UU
No.5 Tahun 1986.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kesesuaian putusan Nomor : 162/B/2015/PT.TUN.JKT dengan kaidah
yang sebenarnya ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kompetensi Mengadili
Sengketa Tata Usaha Negara pada contoh salinan Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta di atas, sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata-Tata Usaha Negara terkait dengan kompetensi mengadili, perkara
tersebut telah sesuai. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk
mengadili perkara tersebut.

B. Subjek Sengketa
Ketentuan mengenai pencantuman pihak-pihak dalam sengketa tata usaha ini di atur
dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b Jo Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986,
bahwa yang harus dicantumkan terkait subjek atau pihak-pihak yang berperkara dalam
proses Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah Pertama; nama, kewarganegaraan, tempat
tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya. Kedua; nama jabatan dan tempat
kedudukan tergugat.
Pada contoh kasus sengketa tata usaha di atas pihak yang berperkara adalah:

1. Penggugat
Nama Jabatan : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Tempat Kedudukan : Jalan H.R. Rasuna Said Kavling 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan,
DKI Jakarta Berdasarkan Surat Kuasa Khusus memberi kuasa kepada Dr. Aidir Amin
Daud, S.H.,M.H., jabatan Plt. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kementerian Hukum dan HAM RI, Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H., jabatan Direktur
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM RI, Dr.
Mualimin Abdi, S.H., M.H., jabatan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian
Hukum dan HAM RI, Dr. Nasrudin, S.H., M.M., jabatan Direktur Litigasi Peraturan
Perundang-undangan, Direktorat Jenderal, Tehna Bana Sitepu, S.H.,M.Hum., jabatan
Direktur Tata Negara, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Daulat
Pandapotan Silitonga, S.H., M.Hum. jabatan Direktur Perdata, Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Baroto, S.H.,M.H., jabatan Kepala Sub Direktorat Hukum
Tata Negara, Direktorat Tata Negara, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum,
Josi Besar Sugiarto, S.H.,M.H., jabatan Kepala Sub Direktorat Pewarganegaraan,
Direktorat Tata Negara, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Agus Riyanto,
S.H.,M.H., jabatan Kepala Sub Direktorat Kewarganegaraan, Direktorat Tata Negara,
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, I Gede Dodi Bariman, S.H.,M.M.,
jabatan Kasubdit Penyiapan dan Pendampingan Persidangan II, Direktorat Litigasi
Peraturan Perundang-undangan, Nur Yanto, S.H.,M.H., jabatan Kepala Seksi
Pendaftaran Partai Politik,Sub Direktorat Hukum Tata Negara, Direktorat Tata Negara,
Ani Turbiana, S.H., jabatan Kepala Seksi Analisa dan Pertimbangan Hukum Tata
Negara, Sub Direktorat Hukum Tata Negara, Direktorat Tata Negara, A. Ahsin Thohari,
S.H.,M.H., jabatan Kepala Seksi Penyelesaian Pewarganegaraan, Subdit
Pewarganegaraan, Direktorat Tata Negara, Tjasdirin, S.H.,M.H., jabatan Kasubbag Tata
Usaha Direktorat Tata Negara, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Oryza,
S.H., jabatan Analis Pertimbangan Hukum Tata Negara, Subdit Hukum Tata negara,
Direktorat Tata Negara, Imam Choirul Muttaqin, S.H., M.H., jabatan Analis
Pertimbangan Hukum Tata Negara, Subdit Hukum Tata Negara, Direktorat Tata Negara,
Ahmad Gelora Mahardika, S.I.P., jabatan Analis Pertimbangan Hukum dan Advokasi
Partai Politik, Subdit Hukum Tata Negara, Direktorat Tata Negara, R.Tony
Prayogo,S.H.,jabatanPerancangMuda, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan. Semuanya berkewarganegaraan Indonesia, Pegawai Negeri Sipil pada
Kementerian Hukum dan HAM RI Dan berdasarkan surat kuasa khusus Nomor
M.HH.AH.11.03-42 tanggal 17 April 2015 juga memberikan kuasa khusus kepada:

1. Prof. Dr. O.C. Kaligis, S.H., M.H.


2. R. Andika Yoedistira, S.H., M.H.
3. Mieke Wirdiati, S.H.,M.H.
4. M. Rullyandi, S.H., M.H

Semuanya berkewarganegaraan, pekerjaan advokat dan konsultan hukum pada kantor O.C.
KALIGIS & ASSOCIATES, advocates & legal consultans

2. Tergugat

Nama : Ir. ABURIZAL BAKRIE

Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan Magunsarkoro Nomor 42, Menteng, Jakarta Pusat.

Pekerjaan : Ketua Umum DPP Partai GOLKAR Periode 2014-2019.

Dalam halini memberikan Kuasa Khusus kepada : Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,
S.H.,M.Sc.;Widodo Iswantoro, S.H.;Arfa Gunawan,S.H.;Nur Syamsiati Duha, S.H.;
5. Eddi Mulyono, S.H.;Halaman 1 dari 173 halaman. Putusan Nomor 62/G/2015/PTUN-
JKT.6. Deni Aulia Ahmad, S.H.;7. Sururudin, S.H.;8. Gugum Ridho Putra, S.H. ;9. Bayu
Nugroho, S.H.

Yang tergabung dalam TIM KUASA HUKUM PARTAI GOLKAR, Kesemuanya Warga
Negara Indonesia, Pekerjaan Advokat dan Asisten Advokat pada Kantor Hukum ”IHZA &
IHZA Law Firm”, beralamat di Kasablanka Office Tower, Tower, Lt.19, Kota Kasablanka,
Jalan Casablanca Kav.88 Kuningan, Jakarta 12870, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 23 Maret 2015

C. Objek Sengketa
Objek yang disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.5
Tahun 1986, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dalam perkara ini objek gugatan yang diajukan oleh Penggugat merupakan suatu
Keputusan Tata Usaha Negara yaitu berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tertanggal 23 Maret 2015 tentang
Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Komposisi dan
Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya.
Berdasarkan hal tersebut, Maka benarlah bahwa kasus tersebut termasuk kedalam objek
sengketa tata usaha negara, tepatnya sengketa kepegawaian yang dapat diperiksa di
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, karena selain merupakan suatu penetapan tertulis
yang bersifat individual, konkret, dan final, juga pihak Penggugat merasa dirugikan oleh
keputusan tersebut.
D. Posita Dan Petitum
Seperti yang telah diketahui bahwasanya pada penulisan ini Penulis sedang
menganalisis sebuah Putusan Tata Usaha Negara. Suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara akan berisikan rangkuman secara keseluruhan dari pemeriksaan-pemeriksaan yang
telah dilakukan selama persidangan sesuai isi/sistematika putusan yang telah ditentukan
undang-undang. Walaupun pada dasarnya Posita dan Petitum gugatan berawal dari suatu
surat gugatan, namun hal itu tidak menghalangi kita untuk dapat mengetahui apa yang
menjadi Posita maupun Petitum dari gugatan Penggugat, karena hal tersebut tetap
dicantumkan pada suatu Putusan Tata Usaha.
Posita atau dasar gugatan berisikan dalil-dalil Penggugat untuk mengajukan gugatan
yang diuraikan secara ringkas, sederhana, dan harus jelas atau terang, biasanya berisi
tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang merupakan uraian dari duduk
perkara suatu sengketa dan berisi fakta hukum terkait hubungan hukum antara Penggugat
dan Tergugat. Sedangkan Petitum adalah kesimpulan gugatan yang berisikan hal-hal yang
dituntut oleh Penggugat untuk diputuskan oleh Hakim.
Pada sengketa Tata Usaha Negara sesuai contoh Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/PTUN.JBI di atas, yang menjadi Posita dan
Petitumnya adalah:
1. Posita
Adapun yang menjadi dasar gugatan PENGGUGAT adalah sebagai berikut:
a. Bahwa Tergugat dalam mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan
Ham Nomor: M.Hh-01.Ah.11.01 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Perubahan
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Serta Komposisi Dan Personalia
Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya tangal 23 Maret 2015 bertindak
berdasarkan kapasitasnya selaku Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi sebagai berikut, “Badan
Atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan Atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”;
b. Bahwa Surat Keputusan TERGUGAT merupakan Penetapan Tertulis
(beschiking) yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berisi tindakan hukum berdasarkan peraturan yang berlaku, bersifat konkret,
individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir (3) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Konkret :
Wujudnya tertulis, jelas karena nyata-nyata dibuat oleh Tergugat, tidak abstrak
tetapi berwujud Surat Keputusan yang tertulis dan secara konkrit menegaskan
Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Ri Tentang Pengesahan
Perubahan Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah T angga Serta Komposisi Dan
Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya;
Individual:
Secara tegas dan jelas keputusan tersebut ditujukan kepada Dewan Pimpinan Pusat
Partai Golongan Karya yang berkedudukan tetap di kantor tetap di Jl. Anggrek
Nelly Murni, jakarta 11480. Telp/Fax (021) 5302222 Fax. (021) 5303380; Final:
Surat Keputusan Tergugat a quo sudah tidak memerlukan persetujuan dari instansi
atasan atau instansi lainnya, sehingga sudah bersifat definitive dan sudah
menimbulkan akibat hukum;

c. Bahwa Objek Sengketa yang mengesahkan Pengurus DPP Partai GOLKAR


berdasarkan Munas IX Partai GOLKAR (“TANDINGAN”) yang
dilangsungkan di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, tanggal 6-8 Desember 2014
yang diselenggarakan secara melawan hukum dan tanpa dasar konstitusional
oleh yang mengaku sebagai Tim Penyelamat Partai GOLKAR dengan struktur
Presidium, yang beranggotakan H.R. Agung Laksono, Priyo Budi Santoso,
Agus Gumiwang Kartasasmita, Lawrence Tp.Siburian, Zainuddin Amali,
Yorrys Raweyai, Agun Gunanjar Sudarisa, Ibnu Munzir (Selanjutnya disebut
sebagai “TPPG”) telah merugikan PENGGUGAT. PENGGUGAT, selaku
Pengurus DPP Partai GOLKAR yang sah berdasarkan keputusan MUNAS ke
VIII Partai GOLKAR di Pekanbaru, pada tanggal 5 s.d 8 Oktober 2009, untuk
periode kepengurusan 2009-2014 yang sekaligus adalah juga Pengurus DPP
Partai GOLKAR yang sah berdasarkan hasil Munas IX Partai GOLKAR di Bali
pada tanggal 30 November s.d 4 Desember Tahun 2014 untuk periode
kepengurusan tahun 2014-2019 sangat dirugikan kepentingannya dengan
diterbitkan Surat Keputusan Tergugat tersebut, karena Surat Keputusan
Tergugat tersebut menyebabkan kekacauan dalam kepengurusan Partai
GOLKAR;
d. Sehingga berdasarkan Pasal53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara PENGGUGAT berhak untuk mengajukan
gugatan pembatalan terhadap Surat keputusan Tergugat a quo. Pasal 53 ayat (1)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan T ata Usaha Negara yang menyatakan,
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”;
e. Bahwa Surat Keputusan TERGUGAT merupakan Surat Keputusan
Administratif, karenanya sesuai dengan Pasal 48 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara ini;
2. Petitum
Yang menjadi tuntutan Penggugat untuk diputuskan oleh Hakim terhadap perkara
gugatan dalam sengketa tata usaha negara tersebut adalah:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;-
b. Menyatakan batal Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tertanggal 23 Maret 2015 tentang
Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta
Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya;
c. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015
tertanggal 23 Maret 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan
Pusat Partai Golongan Karya ;
d. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
e. Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi untuk membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sebesar Rp. 348.000,- (tiga ratus empat puluh
delapan ribu rupiah)

E. Tenggang Waktu
Tenggang waktu gugatan adalah batas waktu atau kesempatan yang diberikan oleh
undang-undang kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk memperjuangkan
haknya dengan cara mengajukan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan mengenai tenggang waktu ini diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang No.5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu “gugatan dapat diajukan hanya
dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara “. Artinya adalah
bahwasanya gugatan tersebut harus diajukan paling lambat 90 hari sejak diterima atau
diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
Seperti yang diketahui bahwa bentuk kasus sengketa tata usaha negara dalam Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta di atas adalah termasuk kedalam bentuk sengketa
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum
perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa “ Pengadilan
baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan
telah digunakan “. Artinya adalah bahwa dalam sengketa kepegawaian haruslah terlebih
dahulu melakukan upaya administratif secara keseluruhan/sampai selesai jika pihak yang
ingin mengajukan gugatan ingin gugatannya diperiksa, diputus, dan diselesaikan di PTUN.
Putusan diatas telah memenuhi jangka waktu yang ditetapkan oleh undang-undang
menurut kami, pihak penggugat telah memenuhi jangka waktu dan putusan tersebut abash.

F. Pembuktian
Pembuktian merupakan pengujian terhadap ada atau tidaknya suatu fakta, dapat berupa
fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang keberadaannya
tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan, dan fakta biasa yaitu
kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum
tertentu (Wiyono, 2007: 148). Fakta-fakta yang disebutkan di atas akan menjadi bahan
pertimbangan Hakim dalam menentukan putusan akhir.
Konflik dualisme kepimpinan dalam partai golkar tidak muncul begitu saja. Menurut
Indra J Piliang (Ketua Tim Ahli Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi) , perseteruan
dua kubu Golkar yang terpecah hari ini tidak terlepas dari perbedaan persepsi terhadap hasil
Musyawarah Nasional Golkar yang diadakan tahun 2009 di Riau. Kader-kader senior
Golkar yang mengikuti Munas Riau menganggap ada perbedaan hasil rekomendasi Munas
Riau dengan AD ART Golkar. Dalam AD ART Golkar disebutkan bahwa pemilihan
pimpinan partai dilakukan setiap 5 tahun sekali, yang berarti Munas selanjutnya harus
dilaksanakan paling lambat 8 Oktober 2014 satu tahun ari berakhirnya Munas Riau yakni
pada tanggal 8 Oktober 2009. Di sisi lain, AD ART juga menyebutkan bahwa hasil munas
adalah keputusan tertinggi partai. Hasil rekomendasi Munas Riau adalah masa
kepengurusan partai diperpanjang sampai tahun 2015. Menurut Dave Akbershah Laksono,
Ketua DPP Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia, hasil Munas Riau hanyalah bentuk
rekomendasi. Jika menyalahi AD ART semuanya harus dikembalikan kepada AD ART.
Akhirnya hasil Munas Riau menyatakan Abu Rizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar
dan Agung Laksono sebagai Wakil Ketua Umum.
Pada tanggal 24 – 25 November 2014, dilakukan Rapat pleno penentuan waktu Munas
IX di Kantor DPP Partai Golkar. Namun,rapat pleno ini justru berujung ricuh dengan
masuknya 50 orang massa yang mengaku berasal dari Angkatan Muda Partai Golkar. Pleno
ketika itu sudah memutuskan untuk mengadakan Munas pada tanggal 30 November 2014.
Ketika ricuh, rapat diambil alih oleh Agung Laksono yang kemudian membentuk
Presidium Penyelamat Partai Golkar. Kubu Agung memutuskan agar Munas diadakan 13
Januari 2015 karena khawatir akan ricuh. Sementara kubu Aburizal Bakrie bersikeras untuk
tetap mengadakan Munas pada tanggal 30 November 2014 sesuai dengan amanat Rapimnas
di Yogyakarta.
Akhirnya, terdapat 2 Munas yang diselenggarakan oleh dua pihak yang berbeda. Pada
tanggal 30 November – 4 Desember 2014 Munas Golkar ke IX diadakan di Nusa Dua, Bali
oleh kubu Aburizal Bakrie. Munas ini memilih Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum
Golkar. Sedangkan pada tanggal 6 – 8 Desember 2014,Munas Golkar ke IX diadakan di
Ancol, Jakarta oleh kubu Agung Laksono. Munas ini memilih Agung Laksono sebagai
Ketua Umum Golkar.
Konflik pun semakin memanas,tidak berhenti di penyelenggaraan Munas, kedua kubu
partai Golkar terus berkonflik dengan saling menggugat hasil Munas kubu masing-masing.
Pada tanggal 5 Januari 2015, Kubu Agung Laksono menggugat Munas Bali ke PN Jakpus
dan hasilnya ditolak. Majelis hakim menolak dalil penggugat bahwa masalah sudah
diselesaikan di internal partai sehingga tidak perlu lagi dibawa ke Mahkamah Partai Golkar.
Lalu pada tanggal 12 Januari 2015,Pengadilan Jakarta Barat menolak gugatan kubu
Aburizal Bakrie terkait konflik internal Partai Golkar. Majelis hakim menolak dalil
penggugat karena dianggap gugatan terlalu prematur dan penyelesaian konflik lebih baik
dikembalikan kepada mekanisme partai. Kubu ARB, pada tanggal 6 Februari mengajukan
gugatan kepada Mahkamah Golkar. Lalu 5 hari setelahnya Mahkamah Golkar bersidang
dan menyatakan bahwa Munas Ancol sah. Majelis hakim menilai Munas yang
diselenggarakan di Bali dengan memilih Aburizal Bakrie secara aklamasi tidak demokratis.
Mahkamah Golkar menerima hasil Munas Agung Laksono dengan kewajiban untuk
mengakomodir kader dari kubu Aburizal Bakrie. Pada tanggal 23 Maret 2015, Menteri
Hukum dan HAM menandatangani surat keputusan yang menyatakan Munas Ancol sah.
Merasa tidak terima,Abu Rizal Bakrie menggugat Menteri Hukum dan HAM atas SK
yang diputuskan terkait disahkannya hasil Munas Ancol yang secara otomatis
mengesahkan kepemimpinan Agung Laksono. Proses hukum berlangsung hingga terbitnya
putusan PTUN Jakarta Utara NO. 62/G/2015/PTUN-JKT pada tanggal 18 Mei
2015.Ternyata putusan tersebut menyatakan bahwa PTUN membatalkan SK Menkumham.
Dengan alasan bahwa keputusan yang mengangkat kubu Agung sah bukanlah keputusan
Mahkamah Golkar, melainkan pernyataan dua hakim Andi Mattalata dan Djasri Marin.
Keputusan ini dinyatakan sah dan menunggu keputusan tetap. Kubu Agung Laksono yang
tidak merasa puas kemudian mengajukan banding. Di sela-sela proses hukum tersebut,
sempat terjadi upaya mediasi yang diprakarsai oleh Jusuf Kalla pada tanggal 30 Mei 2015.
Namun upaya mediasi yang diharapkan dapat menjadi islah tersebut ternyata tidak dapat
mencapai islah dan tidak dapat menghentikan konflik ini sehingga proses hukum terus
berjalan.
Kubu Agung Laksono pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT TUN). Pada tanggal 10 Juli 2015 PTTUN Jakarta mengadili dan membatalkan
putusan PTUN Jakarta Nomor 62/G/2015/PTUN-JKT tanggal 18 Mei 2015, yang meminta
dibatalkannya SK Kemenkumham atas kepengurusan Golkar Agung Laksono. Dengan
dikeluarkanya putusan PT TUN Jakarta Nomor 162/B/2015/PT.TUN.JKT , maka
dipastikan pada peradilan tingkat Provinsi (DKI JAKARTA) kubu Agung Laksono
menang.
Pada tanggal 14 Juli 2015 kubu Abu Rizal Bakrie mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi mengatakan gugatan yang
diajukan Ketum Partai Golkar hasil Munas Bali Aburizal Bakrie terkait dualisme
kepengurusan partai sudah sampai di Mahkamah Agung. Namun kasus tersebut masih
dalam proses.
Pada Pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara menyebutkan “ Hakim menetukan apa yang harus dibutikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”. Dengan demikian Hakim dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara memiliki kebebasan
atau dapat menentukan sendiri siapa yang harus dibebani pembuktian, serta Hakim tidak
tergantung atau terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa.
Terkait alat bukti, Undang-Undang No 5 Tahun 1986 mengaturnya dalam Pasal 100,
yaitu:
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan Hakim.
Atas dasar pengaturan terkait alat bukti sebagai pada pasal-pasal di atas, maka pada
contoh kasus/sengketa di atas menurut pencermatan Penulis alat bukti yang digunakan
sebagai pertimbangan Hakim dalam menentukan putusan akhir adalah:
a. Surat atau tulisan ; Bukti ini dapat diperhatikan dari uraian bukti-bukti surat yang
diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat berupa foto copy yang telah dilegalisir,
bermaterai cukup atau dengan kata lain surat-surat yang sudah dianggap sah dan dapat
dipergunakan di Pengadilan.
b. Keterangan ahli ; Pada persidangan sengketa tata usaha negara tersebut pihak
Penggugat telah mengajukan 1 (satu) orang saksi ahli untuk diperdengarkan
kesaksiannya di depan Hakim tentang hal yang diketahuinya berdasarkan pengalaman
dan pengetahuannya.
c. Keterangan saksi ; Pada persidangan sengketa tata usaha negara tersebut juga
diperdengarkan keterangan dari saksi-saksi (saksi fakta) yang diajukan oleh Penggugat
dan Tergugat.
d. Pengetahuan Hakim ; Dalam hal ini adalah pengetahuan hakim mengenai azas-azas dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemeriksaan dan penyelesaian suatu
sengketa tata usaha negara, misalnya pada sengketa TUN dalam Putusan di atas adalah
sehubungan dengan pertimbangan Hakim untuk mencabut Penetapan Ketua Pengadilan
TUN Jakarta mengenai Penangguhan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan karena berdasarkan fakta yang ada bahwa jabatan Dinas Tata Kota
merupakan institusi pelayanan publik yang harus terus berjalan dan tidak boleh
dibiarkan kosong. Maka disinilah letak pertimbangan Hakim yang sesuai dengan
pengetahuannya, yaitu berdasarkan pada azas penyelenggaraan kepentingan umum dan
Pasal 67 ayat (4) huruf b yang menyebutkan bahwa “permohonan penundaan
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan
umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan
tersebut”.
Dari penjelasan di atas,maka menurut Penulis dengan adanya lebih dari dua alat bukti
yang digunakan sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara, maka
amar/putusan yang ditetapkan atau diambil oleh Hakim nantinya tidak akan diragukan lagi
ketepatan putusannya.

G. Diktum / Amar Putusan


Setelah semua tahap-tahap pemeriksaan di persidangan dilakukan (pembacaan gugatan
oleh Penggugat, pembacaan jawaban dari Tergugat, replik, duplik, pengjuan alat-alat bukti,
kesimpulan), diman inti dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan mengenai sengketa
Tata Usaha Negara itu adalah Pertama, Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN
yang dikeluarkan oleh Tergugat agar dinyatakan batal atau tidak sah. Kedua, Tergugat
mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah (Wiyono, 2007:
123).
Kini tibalah saatnya kita pada tahap pembahasan penjatuhan putusan akhir. Diktum
atau Amar Putusan adalah apa yang diputuskan secara final oleh pengadilan dan merupakan
titik akhir yang terpenting bagi Penggugat atau Tergugat, dengan kata lain Diktum atau
amar putusan juga dapat dikatakan jawaban atau tanggapan dari petitum.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat
pengadilan tertentu. Berdasarkan Pasal 97 ayat (7) bentuk Putusan pengadilan dapat
berupa:
1. Gugatan ditolak
2. Gugatan dikabulkan
3. Gugatan tidak diterima
4. Gugatan gugur.
Pada contoh sengketa Tata Usaha Negara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta Nomor: 162/B/2015/PT.TUN.JKT.di atas yang menjadi Diktum atau Amar
putusan yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratn Majelis Hakim pada hari Rabu
tanggal 7 Mei 2003 yaitu, mengadili:
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil gugatan Penggugat yang
menyatakan penerbitan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor
M.HH-01.AH.11.01 tanggal 23 Maret 2015 Tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, Serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai
Golongan Karya oleh Tergugat, telah melanggar Ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan telah melanggar Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik khususnya Asas Kepastian Hukum yaitu asas dalam
negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara adalah beralasan menurut hukum;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan hukum di atas, merujuk pada
penilaian atas fakta dan hukum dalam sengketa ini,
Pengadilan berkesimpulan:
1. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk mengadili gugatan a quo ;
2. Penggugat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan a
quo ;
3. Pokok gugatan Penggugat terbukti dan beralasan menurut hukum ;
Menimbang, bahwa karena dalil pokok gugatan Penggugat terbukti dan beralasan menurut
hukum, maka sangat beralasan hukum bagi Pengadilan untuk menyatakan batal keputusan
Objek Sengketa dinyatakan batal, dan mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut keputusan
tersebut.
Berdasarkan putusan PTUN tersebut, menurut analisis kelompok kami putusan yang diambil
PTUN sudah tepat karna dalam kasus ini pemohon juga mampu memberikan bukti dan
argumen yang kuat.
 Setelah itu kubu Agung Laksono mengajukan banding kepada PT TUN (Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara).
 Dalam kasus ini pemohon/penggugat adalah pihak kubu Agung Laksono dan Menteri
Hukum dan HAM.
 Sebagai pihak tergugat adalah PTUN Jakarta Utara terhadap putusannya Nomor :
62/G/2015/PTUN-JKT.
 Penyebab pengajuan banding ke PT TUN adalah karna pihak Agung Laksono merasa
tidak puas dengan putusan PTUN Nomor : 62/G/2015/PTUN-JKT dan merasa aspirasi
dan kepentingannya belum terpenuhi secara konstitusional.
 Akhirnya PT TUN menerima permohonan banding dari pihak Agung Laksono yang
dirumuskaan pada putusan Nomor 162/B/2015/PT.TUN.JKT yang memutuskan bahwa
:
1. Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding dan Tergugat II
Intervensi/Pembanding;
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
62/G/2015/PTUN-JKT tanggal 18 Mei 2015 yang dimohonkan banding, dan
dengan:
MENGADILI SENDIRI :
i. Dalam Penundaan:
Menyatakan mencabut dan tidak berlaku serta tidak memiliki kekuatan
hukum lagi, Penetapan Nomor 62/G/2015/PTUN-JKT tanggal 1 April
2015 tentang penundaan pelaksanaan keputusan objek sengketa;
ii. Dalam Eksepsi:
Menerima eksepsi Tergugat/Pembanding dan Tergugat II Intervensi/
Pembanding tentang kewenangan absolut pengadilan;
iii. DalamPokokPerkara:
1. MenyatakangugatanPenggugat/Terbanding tidak dapat diterima.
2. Menghukum Penggugat/Terbanding membayar biaya perkara di
kedua tingkat peradilan yang dalam pemeriksaan banding ditetapkan
sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
 Pihak Abu Rizal Bakrie tentu tidak tinggal diam dan segera mengajukan kasasi kepada
MA yang sampai saat ini masih menempuh proses pembahasan.
Yang perlu ditekankan dalam penjatuhan putusan adalah bahwa Majelis Hakim wajib
menjatuh putusan terhadap semua petitum dan dilarang menjatuhkan putusan di luar atau
melebihi petitum.
Pasal 68 ayat(1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 menyebutkan “Pengadilan
memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim”. Jika kita
cermati, pada contoh Putusan sengketa Tata Usaha Negara di atas sudah memenuhi aturan
Pasal tersebut, dapat terlihat pada bagian penutup Putusan PTUN, Majelis Hakim yang
memutus tersebut adalah M.Arif Nurdu’a, S.H., M.H. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta selaku Hakim Ketua Majelis, Didik Andy Prastowo, S.H., M.H. dan Nuraeni
Manurung, S.H., M.Hum. masing-masing sebagai Hakim Anggota.
Pasal 108 ayat(1) dan(2) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 mengatur bahwa Putusan
Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan jika hal tersebut tidak
terpenuhi maka akan mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Jika berpandangan pada pasal tersebut, contoh Putusan sengketa Tata
Usaha Negara di atas adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum, karena putusan tersebut
diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 8
Mei 2003 oleh Majelis Hakim dan dibantu oleh Diah Yulidar, S.H., M.H. sebagai Panitera
sidang yang dihadiri oleh Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat.
Kekuatan hukum dari Putusan sengketa Tata Usaha Negara di atas adalah mengikat
semua yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya, yaitu semua orang
dan/atau semua badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum publik,
karena Putusan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mengikuti azas Erga
Omnes, yang artinya putusan berlaku bagi semua orang.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Secara hukum tentu pihak pihak terkait sudah menempuh proses hukum yang benar. Proses
hukum tersebut tentu akan menghasilkan keputusan secara adil karna ditempuh dengan proses
hukum yang tepat. Namun konteks kata keadilan memang bukan berarti semua pihak dapat
diuntungkan dan terpenuhi kepentingannya. Di dalam situasi tersebut pihak yang merasa
kepentingannya belum terakomodasi akan terus mencari jalan dengaan melakukan
banding,kasasi maupun PK. Menurut kelompok kami salah satu jalan lain yang dapat
mengatasi konflik ini adalah dengan dilakukannya mediasi melalui pihak yang benar benar
netral dan dapat menjadi mediator yang baik. Pihak yang bertikai juga seharusnya mau untuk
bersinergi dan saling mengurangi tuntutannya agar tercapainya kesepakatan bersama sehingga
masalah ini tidak berlarut-larut dan terselamatkannya Partai Golkar dari kehancuran.
Dari uraian analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Putusan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor: 162/B/2015/PT.TUN.JKT. secara keseluruhan sudah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, baik dari segi isi putusan maupun maupun sistematika
putusan, begitu juga dengan Subjek, Objek, Kompetensi, tenggang waktu mengajukan gugatan
sudah tepat. Sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa Putusan Tata Usaha Negara
tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Anda mungkin juga menyukai