Anda di halaman 1dari 15

Nama : Zuyyina Hasna Millenia

Nim : 30301800388
Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Kelas/Semester : Unggulan/Semester 5
Dosen Pengampu : Dini Amalia Fitri, SH., MH

JAWABAN ATAS
UJIAN MID SEMESTER TAHUN AKADEMIK 2020/2021
MATA KULIAH HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1) Sejarah terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia


Pada saat zaman pemerintahan Hindia Belanda/ sebelum Indonesia merdeka itu tidak dikenal
adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara,
penyelesaian sengketa diselesaikan oleh hakim di Peradilan Umum. penyelesaian sengketa di
bidang Tata Usaha Negara pada masa penjajahan Belanda didasarkan pada Pasal 2 Reglement on
de rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO), yang menyatakan bahwa pemeriksaan
serta penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara menjadi wewenang lembaga administrasi itu
sendiri yang disebut dengan istilah peradilan administrasi semu. contoh dari peradilan
administrasi semu itu seperti Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), yang dibentuk di Jakarta pada
tanggal 11 Desember 1915 sesuai dengan asas konkordansi (asas yang menyatakan bahwa
hukum yang dianut oleh negara penjajah diterapkan pula untuk negara yang dijajahnya. Untuk
kasus Indonesia, maka hukum yang diterapkan adalah sama dengan hukum yang berlaku di
Belanda).
Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang, badan-badan pemerintahan dan peraturan-peraturan
yang berlaku pada masa Hindia Belanda masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan aturan pemerintah militer Jepang. Sejak Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1986,
Indonesia belum mempunyai suatu lembaga Peradilan Administrasi Negara yang berdiri sendiri.
Namun demikian hal itu tidak menjadi penghalang perkara-perkara yang berkaitan dengan
administrasi itu tidak dapat diselesaikan, karena telah banyak perkara administrasi negara yang
dapat diselesaikan. Contoh saja ada 3 lembaga yang melakukan fungsi seperti lembaga Peradilan
Tata Usaha Negara yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri, dan
Peradilan Bea Cukai. Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) merupakan satu-satunya lembaga yang
dianggap dapat menyelesaikan sengketa administrasi yang berkaitan dengan perpajakan.
kemudian mulai dirasakan ketika ada perintah untuk mewujudkan Peradilan TUN untuk kali
pertama yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Perintah itu ditegaskan
kembali dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang dituangkan dalam Pasal 10 ayat (1) jo Pasal 12 Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, di mana dalam Pasal 10 ayat (1) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
dan selanjutnya perintah ini diperkuat dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, Untuk
merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1982
tentang GBHN, pada saat tanggal 16 April 1986 yakni pemerintah melalui surat Presiden
mengajukan kembali Rancangan Undang Undang Peradilan Administrasi ke DPR. Rancangan
tersebut merupakan penyempurnaan dari Rancangan Undang Undang Peradilan Administrasi
pada tahun 1982. Yang akhirnya tanggal 20 Desember 1986, DPR secra aklamasi menerima
Rancangan Undang Undang tentang Peradilan TUN menjadi Undang-Undang No 5 Tahun 1986
tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986.
Tantangan yang dihadapi yakni ketika UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara berlaku pada saat diundangkan, namun Undang-Undang tersebut belum berlaku secara
efektif. Hal ini disebabkan karena penerapan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU diundangkan. Ketetntuan ini
ditegaskan dalam Pasal 145 UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Artinya
sampai dengan akhir tahun 1990, meskipun lembaga PTUN sudah terbentuk, namun belum bisa
menyelesaikan perkata TUN yang ada pada saat itu. Alasan lain adalah beberapa ketentuan pasal
dalam UU No 5 Tahun 1986 masih memerlukan peraturan pelaksanaan. Selain itu dibutuhkan
adanya persiapan yang tidak main-main dengan hadirnya Peradilan TUN tersebut.
Dalam praktek kemudian ternyata Undang-Undang No 5 tahun 1986 tersebut, ternyata masih
banyak kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain sering tidak dipatuhi putusan PTUN oleh
pejabat. Hal itu disebabkan tidak adanya lembaga eksekutor dan juga tidak ada sanksi hukumnya
serta dukungan yang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya,
terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van
het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri
urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat
keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa
dirampas. Untuk mengatasi kekuarangan-kekurangan yang ada di UU No 5 tahun 1986 tersebut,
pemerintah bersama-sama dengan lembaga legislatif berinisiatif melakukan perubahan beberapa
substansi undang-undang tersebut. Adanya perubahan pertama UU No 9 Tahun 2004 diharapkan
dapat memperkuat eksistensi PTUN. Kemudian disempurnakan lagi melalui dengan perubahan
kedua lewat Undang Undang No 51 tahun 2009. (sumber bacaan : Buku Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, penulis Dr. Fence M. Wantu, SH., MH.)
2) Subjek dan objek sengketa di pengadilan Tata Usaha Negara beserta dasar
hukumnya, yang termasuk
Dalam subjek Pengadilan Tata Usaha Negara :
1. Pihak penggugat.
Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) jo
Pasal 1 angka 4 UU No 5 tahun 1986).
2. Pihak tergugat.
Pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya
(Pasal 1 angka 6 UU No 5 tahun 1986).
3. Pihak Ketiga yang berkepentingan.
Dalam ketentuan Pasal 83 UU No 5 tahun 1986 berbunyi selama pemeriksaan
berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang
diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan,
maupun atas prakarsa hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan
bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan
salah satu pihak yang bersengketa.

Sedangkan, objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat administrasi
negara (beschikking). Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal
3 UU No 5 tahun 1986, dapat disimpulkan bahwa objek gugatan dalam sengketa Tata
Usaha Negara adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara
berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum
Perdata.” (Pasal 1 angka 3 UU No 5 tahun 1986).
2. Pasal 2 Undang-Undang No 9 Tahun 2004 perubahan atas Undang Undang No 5 tahun
1986, yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, yakni :
(1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata
(2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
(3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
(4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana
(5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia
(7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.
3) a. Yang dimaksud dengan gugatan di PTUN, salah satu wujud dari ketidakpuasan
seseorang (individu) atau badan hukum perdata terhadap terbitnya keputusan Tata Usaha
Negara yang dianggap merugikan dirinya/ permohonan yang berisi tuntutan terhadap
badan atau pejabat TUN dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.
Sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9
Tahun 2004.
b. Syarat formalitas dalam gugatan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara
(Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni
1) Tanggal gugatan diajukan, dan penjelasan ke mana gugatan tersebut diajukan. Hal
ini dicantumkan pada bagian awal sebuah surat gugatan. Contoh penulisan ke
mana gugatan diajukan Kepada Yang Terhormat Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara (missal : Seamrang) Yang beralamat di (Jl. Abdulrahman Saleh No.89,
Kalibanteng Kulon, Kec. Semarang Barat, Kota Semarang.)
2) Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasa
hukum penggugat (identitas penggugat).
3) Nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat (identitas tergugat). Untuk
kewarganegaraan tergugat, tidak perlu dicantumkan, karena tergugat yang
merupakan badan atau pejabat TUN selalu dan sudah pasti warga negara
Indonesia.
4) Dasar gugatan (fundamentum petendi atau posita) harus memuat:
a. Penjelasan mengenai hubungan hukum yang timbul antara penggugat dengan
tergugat. Hubungan hukum yang timbul antara penggugat dengan tergugat
ditandai dengan adanya objek sengketa TUN. Contoh penulisannya : bahwa pada
tanggal(…….) penggugat telah menerima Keputusan Nomor(…....)
tertanggal(…....) tentang(…....) yang diterbitkan dan ditandatangani oleh
tergugat(…….).
b. Penjelasan mengenai objek sengketa. Hal ini adalah untuk menjelaskan bahwa
objek sengketa yang sedang digugat itu telah benarbenar memenuhi syarat-syarat
sebagai objek sengketa TUN, sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 1 butir
9 ataupun di dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun
2009. Setelah uraian objek sengketa ini, penggugat dapat pula menjelaskan
kronologis (urutanurutan peristiwa), yaitu mulai dari saat ia menerima objek
sengketa sampai dengan ia mengajukan gugatan terhadapnya.
c. Penjelasan mengenai tenggang waktu mengajukan gugatan. Bagian ini untuk
menjelaskan bahwa gugatan yang diajukan ke pengadilan masih dalam tenggang
waktu yang diperbolehkan untuk mengajukan gugatan, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986.
d. Penjelasan mengenai alasan gugatan. Terdapat 2 (dua) macam alasan untuk
mengajukan gugatan terhadap objek sengketa TUN, yaitu: keputusan TUN yang
digugat dinilai telah bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku, dan/atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
(Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004)
e. Perincian kerugian yang diderita oleh penggugat (apabila diperlukan)
f. Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang sedang digugat
diatur dalam pasal Pasal 67 UU Nomor 5 Tahun 1986 (apabila diperlukan).
5) Hal-hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan (petitum). Petitum dapat
berisi:
a. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya.
b. Menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN yang dikeluarkan oleh
tergugat. c. Memerintahkan tergugat untuk menerbitkan keputusan TUN yang
baru.
d. Menghukum tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada penggugat.
e. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul.
6) Tanda tangan pihak penggugat.
Tanda tangan pihak pengugat ini dicantumkan pada bagian paling akhir dari surat
gugatan, setelah bagian petitum.
c. Alasan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara, diatur dalam bab
IV bagian pertama pasal 53 Undang Undang no 9 tahun 2004 perubahan kedua atas
Undang Undang no 5 tahun 1986
1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU No 5 tahun 1986 memberikan alasan-alasan yang
dimaksud sebagaimana dalam ayat 1 tersebut sebagai berikut:
a. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai “bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan itu:
(1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersifat prosedural/formal. Contoh sebelum keputusan pemberhentian dikeluarkan
seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
bersifat materil/substansial. Contoh keputusan di tingkat banding administratif yang telah
salah menyatakan gugatan penggugat diterima atau tidak diterima.
(3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.
Contoh peraturan dasarnya telah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk
mengambil keputusan.
b. Dasar pembatalan ini sering disebut penyalahgunaan wewenang. Setiap penentuan
norma-norma hukum di dalam tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan maksud
tertentu. Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus selalu sesuai dengan tujuan
dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Contoh Keputusan Tata
Usaha Negara memberi izin bangunan atas sebidang tanah, pada hal dalam peraturan
dasarnya tanah tersebut diperuntukkan jalur hijau.
2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No 5 tahun 1986 memberikan alasan-
alasan yang dimaksud sebagaimana dalam angka 1 tersebut sebagai berikut:
1. Memberikan petunjuk kepada penggugat dalam menyusun gugatannya agar
dasar gugatan yang diajukan itu mengarah kepada alasan yang dimaksudkan pada
huruf a, huruf b, dan huruf c.
2. Merupakan dasar pengujian dan dasar pembatasan bagi pengadilan dalam
menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bersifat melawan
hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan
batal atau tidak.
d. Dasar hukumnya gugatan di PTUN diatur dalam pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun
1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara)
Dasar hukumnya syarat formalitas dalam gugatan diatur dalam pasal Pasal 56 ayat 1
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara)
Dasar hukumnya alasan mengajukan gugatan di pengadilan Tata Usaha Negara
diatur dalam diatur dalam bab IV bagian pertama pasal 53 Undang Undang nomor 9
tahun 2004 perubahan kedua atas Undang Undang nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN
(Peradilan Tata Usaha Negara)
4) a. Sertifikat hak milik atas tanah adalah produk hukum yang diterbitkan oleh
Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai tanda bukti dan alat pembuktian terhadap
pemilikan tanah. Bentuk penetapan sertifikat hak milik atas tanah juga secara tertulis
yakni di dalam sertifikat itu memberikan kepastian hukum pemilikan tanah bagi orang
yang namanya tercantum dalam sertifikat, yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). Selain itu, sertifikat hak milik
atas tanah merupakan salah satu bentuk Keputusan Tata Usaha Negara/KTUN
kebendaan, yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan yakni hak yang timbul dari
KTUN kebendaan yang bisa dialihkan kepada pihak lain. Oleh karena itu, sertifikat hak
milik atas tanah merupakan suatu keputusan pemerintahan yang bersifat konkret dan
individual, yang merupakan pengakuan hak atas tanah bagi pemegang hak tersebut.
Sedangkan, jika bersifat final itu keputusan TUN itu sudah dapat menimbulkan akibat
hukum bagi pihak yang dituju, missal dalam hal penyelesaian kasus pertanahan terhadap
putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka terhadap Sertifikat
Hak Milik atas Tanah tersebut dapat dilakukan suatu tindakan hukum pemerintah dalam
hal ini pejabat yang berwenang untuk melakukan pembatalan contohnya saja menggugat
pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat tersebut, atau menggugat pejabat yang
berwenang menerbitkan atau mengeluarkan sertifikat hak milik atas tanah tersebut.
Artinya, sertifikat hak milik atas tanah itu termasuk Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
(Sumber bacaan : jurnal Kekuatan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
Berkekuatan Hukum Tetap Terhadap Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah
Melalui Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan, Karya Penulis Luh Putu Happy Ekasari)
b. Surat pengutusan pemberhentian pegawai negeri sipil, termasuk dalam
keputusan tata usaha negara, karena Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan
Negeri atau diserahi tugas lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, menurut Undang Undang nomor Nomor 8 Tahun
1974. Dalam hal ini pengutusan pemberhentian PNS termasuk dalam domain sengketa
kepegawaian, secara pejabat tata usaha negara mengeluarkan keputusan Badan
Pertimbangan Kepegawaian sebagai lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan
disiplin Pegawai Negeri Sipil. Hal ini termasuk Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 9 dan angka 10 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009.
c. Izin pertambangan batubara termasuk dalam keputusan pejabat tata usaha
negara, karena untuk mendapat izin produksi kegiatan penambangan setiap perusahaan
harus memperoleh izin dari pihak yang berwenang sebelum melakukan kegiatan usaha
pertambangan. Pihak yang dapat mengajukan izin usaha pertambangan yakni badan
usaha yang bergerak di bidang pertambangan yang berdasarkan hukum Indonesia (Badan
Usaha Swasta, BUMD dan BUMN) kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam
pemberian izin usaha pertambangan yakni Menteri, Gubernur, dan Wali Kota/Bupati
sesuai dengan kewenanganya melalui surat permohonan dan akte pendirian badan usaha
yang bergerak di bidang pertambangan yang telah diserhkan oleh pejabat yang telah
disahkan oleh pejabat yang berwenang, mak ini termasuk suatu Keputusan Tata Usaha
Negara yakni Bentuk penetapan itu berbentuk secara tertulis dan dikeluarkan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara Sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 9 UU Nomor 5
Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009.(Sumber bacaan : Jurnal skripsi Perlindungan
Hukum terhadap Investor atas pencabutan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi,
karya penulis Anisa Deny Setyawati)
5) Membuat Surat Gugatan Peradilan Tata Usaha Negara sesuai pasal 56 Undang-Undang
nomor 5 Tahun 1986

KANTOR ADVOKAT
Zn Ecrop & Partners Law Firm
SK. MENTERI KEHAKIMAN & HAK ASASI MANUSIA RI NO : D.279.KP.07.14-TH.2020

Jl. Agil Kusumodyo No. 15B, Kabupaten Blora

Perihal : Gugatan Pemberhentian Secara Tidak Hormat

Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang
Jl. Abdulrahman Saleh No.89, Kalibanteng Kulon, Kec. Semarang Barat
Di Kota Semarang

Dengan hormat,
Yang bertandatangan di bawah ini, bertindak untuk dan atas nama :
Nama : Mujo Sugiyono
Kewarganegaraan : Indonesia
TTL : Semarang, 11 Juli 1970
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil/ Rektor Universitas Wesley
Alamat : Jl. Kaligawe Raya No.KM, RW.4, Terboyo Kulon, Kec. Genuk.
Kota Semarang.
Berdasarkan surat kuasa khusus Nomor : 170/SKK/G.TUN/IX/2020 tertanggal 09 November
2020 sebagaimana terlampir, telah memberi kuasa khusus kepada :
Nama : Zuyyina Hasna Millenia
TTL : Blora, 01 Januari 2000
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Advokat
Tempat kedudukan : Jl. Agil Kusumodyo No. 15B,Kec. Blora, Kabupaten Blora
Untuk selanjutnya dalam gugatan ini mohon disebut sebagai PENGGUGAT.

Dengan ini mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap :


Nama Jabatan : Rektor Universitas Wesley, Provinsi Jawa Tegah
Tempat Kedudukan : Jl. Kaligawe Raya No.KM, RW.4, Terboyo Kulon, Kec. Genuk, Kota
Semarang.
Untuk selanjutnya dalam gugatan ini mohon disebut sebagai TERGUGAT.
Adapun hal-hal yang menjadi dasar-dasar dan alasan-alasan diajukannya gugatan ini adalah sebagai
berikut:

PENDAHULUAN

Sebelum sampai pada alasan-alasan yang faktual diajukannya gugatan ini, terlebih dahulu PENGGUGAT
hendak mengajukan dasar kedudukan dan kepentingan PENGGUGAT untuk mengajukan gugatan, yaitu
sebagai berikut:
1. Bahwa PENGGUGAT adalah warga negara Republik Indonesia, berhak atas
pemenuhan Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Konstitusi Negara Republik
Indonesia tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun.
2. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, PENGGUGAT memiliki hak
yang sama di depan hukum untuk mendapatkan keadilan dan penjaminan
kepentingan sebagai warga negara seperti tercantum dalam pasal 28 D ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
3. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, PENGGUGAT juga dijamin
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusianya seperti tercantum dalam
pasal 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan
tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kecerdasan serta keadilan.”
4. Bahwa selanjutnya diketahui TERGUGAT sebagai penyelenggara Negara
Republik Indonesia adalah pengemban amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut
di atas untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan menjamin pemenuhan
hak asasi setiap warga negara Republik Indonesia, termasuk PENGGUGAT. Hal
ini adalah sesuai dengan : Pasal 28 I ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945,
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Hal ini yang menjadi
dasar bagi adanya hubungan hukum antara PENGGUGAT dan TERGUGAT
sebagai penyelenggara Negara Republik Indonesia yang disebut oleh Jean
Jacques Rousseau sebagai Kontrak Sosial yang menetapkan kewajiban
TERGUGAT sebagai penyelenggara Negara Republik Indonesia terhadap
PENGGUGAT sebagai warga negara Republik Indonesia.
5. Bahwa atas dasar tersebut di atas, maka PENGGUGAT sebagai warga negara
Republik Indonesia, mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yakni pemberhentian secara tidak
hormat terhadap PENGGUGAT tanpa disertai alasan yang jelas.
6. Bahwa pasal 14 ayat (1) UU No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.
14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Selanjutnya pasal 27 ayat (1) UU
No. 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan “Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai yang hidup di dalam masyarakat.”
7. Bahwa berdasarkan argumentasi dan ketentuan hukum di atas, maka jelaslah
bahwa PENGGUGAT mempunyai kedudukan dan kepentingan hukum sebagai
pihak yang dirugikan atas pemberhentian secara tidak hormat tanpa disertai
alasan yang jelas yang dilakukan oleh Rektor Universitas Wesley Semarang,
dengan ini mengajukan gugatan warga negara terhadap penyelenggara negara
dalam kasus atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
OBYEK GUGATAN
Adapun Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa adalah :

Keputusan Rektor Universitas Wesley Provinsi Jawa Tengah Nomor : Kp. 132 TAHUN 2020 tertanggal
27 Agustus 2020 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Universitas Wesley.

DASAR DAN ALASAN GUGATAN

1. Bahwa PENGGUGAT telah bekerja selama 4 tahun sebagai PNS Universitas Wesley
tanpa cacat nama dan telah bekerja sebagai PNS Universitas Wesley sesuai perosedur
yang berlaku.
2. Bahwa TERGUGAT telah melakukan pemecatan secara tidak hormat kepada
PENGGUGAT tanpa disertai alasan yang jelas dan dinilai melakukan perbuatan
sewenang-wenang.
3. Bahwa menurut PENGGUGAT, KTUN tersebut dikeluarkan oleh TERGUGAT atas
dasar perbuatan sewenng-wenang sehingga merugikan pihak PENGGUGAT.
4. Bahwa TERGUGAT telah melakukan perbuatan melawan hukum atas posisi dan
kedudukannya sebagai pihak yang paling dirugikan atas KTUN yang dikeluarkan
TERGUGAT yakni Penecatan secara tidak hormat tanpa disertai alasan yang jelas.
5. Bahwa TERGUGAT telah melanggar ketentuan perundang-undangan sebagaimana
berikut ini. Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan atau Pejabat TUN telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain daripada
yang dimaksudkannya. Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan KTUN
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut tidak sampai pada suatu
keputusan atau tidak seharusnya sampai pada keputusan tersebut.
6. Bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh TERGUGAT
sebagaimana dikemukakan diatas, baik yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena
kelalaiannya, telah menimbulkan berbagai bentuk kerugian bagi PENGGUGAT yang
dapat diperhitungkan secara immateriil (moril) maupun materiil.
7. Bahwa kerugian immateriil PENGGUGAT berasal dari penderitaan PENGGUGAT dan
anak PENGGUGAT yang mengalami trauma, rasa malu akibat perendahan martabat
kemanusiaan PENGGUGAT yang terlanggar.
8. Bahwa dampak pemecatan secara tidak hormat, PENGGUGAT kehilangan pekerjaan
sehingga kebutuhan kehidupan sehari-hari dan keluarga tidak mencukupi.
9. Bahwa akibat perbuatan melawan hukum TERGUGAT, secara materiil PENGGUGAT
juga sudah dan akan terus mengalami kerugian, karena itu dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dimana intinya menetapkan kewajiban hukum bagi
pembuat kerugian untuk mengganti seluruh kerugian materiil yang ditimbulkan karena
perbuatannya.
10. Bahwa selain itu menurut hemat PENGGUGAT sudah sepatutnya pula menurut hukum
Peradilan Tata Usaha Negara Semarang memutuskan bagi TERGUGAT untuk
membayar segala biaya perkara yang timbul dari perkara ini.
11. Bahwa berdasarkan seluruh dalil yang dikemukan oleh PENGGUGAT, jelas dalil-dalil
di dalam gugatan ini sudah didasarkan pada hukum yang berlaku dengan dilengkapi
bukti-bukti yang cukup serta tidak terbantahkan. Karena itu sudah sepatutnya pula
Pengadilan TUN Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara ini serta
memutuskan berdasarkan keadilan.
12. Bahwa dengan demikian perbuatan TERGUGAT telah melanggar pasal 1365 KUH
Perdata yang isinya, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada pihak lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
tersebut, mengganti kerugian tersebut.”
13. Bahwa gugatan ini didasarkan atas alat-alat bukti sebagaimana dimaksud pasal 180 (1)
HIR sehingga putusan dalam perkara ini dapat dinyatakan bisa dijalankan lebih dulu
(serta merta) meskipun ada upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali.

DALAM POKOK PERKARA

1. Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya.


2. Menyatakan TERGUGAT bersalah telah lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi (To respect, to protect, and to fullfil) hak-hak
azasi manusia dan hak-hak warga negaranya yang menjadi korban pemecatan secara
tidak hormat secara sewenang-wenang.
3. Menyatakan TERGUGAT bersalah telah mengakibatkan kerugian materiil dan
immaterial warga negara yang menjadi korban pemecatan secara tidak hormat yang
dilakukan Rektor Universitas Wesley Semarang.
4. Memerintahkan TERGUGAT meminta maaf kepada PENGGUGAT untuk
merehabilitasi nama baik PENGGUGAT.
5. Menghukum TERGUGAT untuk :
a. Segera membatalkan atau meniadakan KTUN tersebut.
b. Segera melakukan investigasi dan inventarisasi atas kerugian materiil dan
immaterial yang dialami oleh PENGGUGAT akibat dilakukannya Pemecatan
secara tidak hormat yang sewenang-wenang.
6. Menghukum TERGUGAT untuk membayar segala biaya perkara yang timbul dari
perkara ini secara tanggung renteng.
7. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada upaya
verzet, banding, kasasi; perlawanan dan/atau peninjauan kembali.
8. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.

Blora, 09 November 2020


Hormat Kuasa

Zuyyina Hasna Millenia, S.H


Asas Hukum Acara PTUN

Asas praduga keabsahan/rechtmatig


setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap sah sampai ada pembatalannya. Ketentuan ini sesuai
dalam Pasal 67 ayat 1 UU No 5 tahun 1986 bahwa yang dimaksudkan gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Asas Pembuktian Bebas


Dalam Pasal 107 No. 5 Tahun 1986 UU PTUN, Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Hakim pengadilan tata usaha negara dapat
menentukan sendiri:
1. apa yang harus dibuktikan
2. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan
hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri
3. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
4. kekuatan pembuktian bukti yang diajukan.

Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis)


bahwa hakim harus aktif untuk mencari kebenaran materil. Dalam peradilan TUN, hakim aktif selain
mencari kebenaran materil, peran hakim aktif untuk menyeimbangkan kedudukan posisi penggugat dan
tergugat. karena Tergugat adalah Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara, sedangkan Penggugat adalah
orang atau Badaan Hukum Perdata. Penerapan asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63, Ayat(1),
(2), Pasal 80 dan 85 UU No 5 Tahun 1986.

Anda mungkin juga menyukai