Anda di halaman 1dari 9

Tugas Hukum Acara Tata Usaha

Nama : Nabiilah Husniyyah

NIM : 20.00039

“Hukum Acara Tata


Usaha Negara ” (HATUN) sesungguhnya merupakan pengetahuan
1

hukum yang umurnya relatif masih muda .Hukum Acara Tata Usaha
Negara (HATUN) di Indonesia dikenal
dan mendapat arti penting dalam lalu lintas hukum dimulai dari
sejak diundangkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada
tanggal 29 Desember 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(disingkat UUPTUN No. 5 Tahun 1986. Walaupun demikian konsepsinya
sesungguhnya telah diisyaratkan sekitar tahun 1948, yaitu ketika
diberlakukannya Undang Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan
dan Kekuasaan Badan Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
Namun demikian dilihat dari segi bobotnya mata kuliah HATUN
(alasan kenapa menggunakan istilah HATUN, lihat penjelasan selanjutnya)
tidak kalah pentingnya dengan mata kuliah hukum acara lainnya,
umpamanya Hukum AcaraPerdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara
Pidana Militer, Hukum Acara Peradilan Agama atau Hukum Acara Tata
Negara. Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Pidana Militer,
Hukum Acara Peradilan Agama atau Hukum Acara Tata Negara.

Dalam pasal 10 ayat (1) Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970


tersebut dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh 4 (empat)
pilar badan peradilan, yaitu :

1. Peradilan Umum

2. Peradilan Agama

3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara

UU. No. 14 Tahun 19702 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman tersebut, kemudian dirubah dengan UU. No. 35
Tahun 1999, kemudian diganti lagi dengan UU. No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 2 UU. No.4 Tahun 2004
Disamping ciri ciri/karakteristik Hukum Acara Tata Usaha Negara
yang dijelaskan diatas, maka dikenal pula asas asas yang berlaku
dalam lingkungan Hukum Acara Tata Usaha Negara yang juga
merupakan asas asas hukum acara yang berlaku secara umum
(Algemeine beginsellen)antara, lain:
1. Para pihak harus di dengar (audi alteram partem)

2. Kesatuan beracara

3. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan objektif

4. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya murah

5. Sidang terbuka untuk umum

6. Peradilan yang berjenjang

7. Musyawarah untuk mencapai mufakat.

1 Ini istilah yang dipergunakan oleh kurikulum saat ini.


2 Dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hal ini diatur pada pasal 10 (2) dan dalam UU. No. 48
Tahun 2009 diatur pada pasal 18
Adapun Algemeine beginsellen3Disamping ciri ciri/karakteristik Hukum
Acara Tata Usaha Negara yang dijelaskan diatas, maka dikenal pula asas asas
yang berlaku dalam lingkungan Hukum Acara Tata Usaha Negara yang juga
merupakan asas asas hukum acara yang berlaku secara umumantara, lain:
1. Para pihak harus di dengar (audi alteram partem)
2. Kesatuan beracara
3. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan objektif
4. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya murah
5. Sidang terbuka untuk umum
6. Peradilan yang berjenjang
7. Musyawarah untuk mencapai mufakat
Lain halnya dengan Bagir Manan4 dengan tegas dalam kata sambutannya
terhadap buku Wicipto diatas menggunakan istilah Hukum Acara Tata Usaha
Negara. Demikian juga Victor Situmorang dan Soedibyo, walaupun judul
bukunya menggunakan istilah Pokok pokok Peradilan Tata Usaha Negara namun
di dalam pembahasannya tetap menggunakan istilah Hukum Acara Tata Usaha
Negara/Hukum Acara Administrasi Negara (verwaltungs prozessrecht) untuk
menunjukkan bidang hukum formil ini. Selanjutnya Indroharto menyebut bidang
hukum ini dengan istilah Hukum Acara Tata Usaha Negara. Berdasarkan istilah
tersebut, maka Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (=Hukum Acara Tata
Usaha Negara yang contentieux) dibedakan atas: a. Hukum acara materiil yang
meliputi: - Kompetensi absolut dan relatif - Hak gugat - Tenggang waktu
menggugat - Alasan menggugat - Alat bukti b. Hukum Acara formil (hukum acara
dalam arti sempit) berupa langkah-langkah atau tahapan yang terbagi atas: - Acara
biasa. - Acara cepat. - Acara singkat
Rozali Abdullah5 mengemukakan bahwa: untuk Hukum Acara yang berlaku di
Pengadilan Tata Usaha Negara ini, kita tidak dapat begitu saja menggunakan istilah
Hukum Acara Tata Usaha Negara, seperti halnya Hukum Acara Perdata dan
Hukum Acara Pidana. Hal ini disebabkan karena di dalam Hukum Tata Usaha
Negara (Hukum Administrasi Negara), istilah Hukum Acara Tata Usaha Negara itu
telah mempunyai arti tersendiri, yaitu peraturan yang mengatur tentang tata cara
pembuatan suatu ketetapan atau keputusan tata usaha negara. Aturan ini biasanya
secara inklusif ada di dalam peraturan perundang undangan yang menjadi dasar
pembuatan Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Oleh karena itu
untuk menghindari kerancuan dalam penggunaan istilah tersebut, maka sebaiknya
untuk Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara dipergunakan
istilah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan bukan Hukum Acara Tata
Usaha Negara.

3
Wacipto, op cit, hlm. 88 – 92.
4
Ibid, hlm. V. 11 Victor Situmorang dan Soedibyo, Pokok Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Bina
Aksara, Cetakan Pertama, Jakarta, 1987, hlm. 4. 6, 8 dan 49. 12 Indroharto, Usaha Memahami Undang
Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku 11 (Edisi Baru), Pustaka Sinar Harapan, Cetakan
Keempat, Jakarta, 1993, hlm. 34.
5
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Pers, Cetakan Pertama, Jakarta, 1992,
hlm. 2
Pada masa penjajahan Belanda (Hindia Belanda) terakhir berlaku ketentuan
I.S. (Indiest Staatsregeling) di bumi Nusantara. Substansi ketentuan yang
mengatur mengenai Peradilan Tata Usaha Negara tercantum dalam pasal 134
ayat (1) dan pasal 138 ayat (1)6 sebagai berikut:
Pasal 134 ayat (1) IS menetapkan:
Alle twistgedingen of daaruit voortspruittende rechten, over
schuldvorderingen of andere burgerlijke rechten, behooren bij uitsluiting tot de
kennis van den rechtelijke macht”
Terjemahan: Semua perselisihan tentang hak milik atau hak hak lain yang
timbul karenanya, tagihan utang atau hak hak keperdataan lainnya, merupakan
perkara yang harus diselesaikan melalui kekuasaan kehakiman (pengadilan)
Pasal 138 ayat (1)7IS menetapkan:
“De zaken, welke witharen aard of krachtens algemeene verordeningen ter
beslissing staan van het administratief gezag, blijven daaraan onderwarpen’’.
Terjemahan: perkara perkara yang menurut sifatnya atau berdasarkan
peraturan peraturan umum termasuk dalam kewenangan pertimbangan kekuasaan
administrasi, tetap ada dalam kewenangannya

6 Engelbrecht, W.A., Kitab kitab Undang Undang, Undang Undang dan Peraturan Peraturan serta Undang Undang Dasar 1945 Republik
Indonesia, Importe Par P.T. Soeroengan, Djakarta, 1960, hlm. 211
7
Engelbrecht, op cit, hlm. 212
Sjachran Basah8 Pada hakikatnya suatu hukum acara itu adalah tergolong ke
dalam hukum formal (hukum ajektif). Hukum formal atau hukum ajektif tersebut
merupakan kelengkapan dari pada hukum materiil (hukum substantif). Hukum
materiil sesungguhnya merupakan hukum yang mengatur bagaimana suatu sikap
tindak/perbuatan harus diselenggarakan/dilaksanakan baik oleh penyelenggara
negara (Pusat dan Daerah) ataupun oleh warga negaranya. Untuk menegakkan
hukum materiil itu diperlukan hukum formal, sebab di dalam hukum formal-lah
aturan main tersebut bisa ditindaklanjuti. Dikaitkan dengan tugas badan peradilan,
maka fungsi hukum formal dan hukum materiil itu amat jelas. Peradilan tanpa
hukum materiil akan lumpuh, sebab tidak tahu apa yang akan dijelmakan/ diputus,
sebaliknya peradilan tanpa hukum formal akan liar, sebab tidak ada batas batas
yang jelas dalam melakukan wewenangnya.

Di lain pihak dilihat dari segi kepentingan pembangunan nasional maupun


regional serta dikaitkan dengan upaya penegakan hukum (law enforcement), maka
hukum acara tata usaha negara itu memiliki 5 (lima) fungsi atau Panca fungsi
sebagai berikut9 :
1. FUNGSI DIREKTIF yaitu fungsinya sebagai pengarah pembangunan dan
membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan
bernegara.
2. FUNGSI INTEGRATIF yaitu fungsinya sebagai pembina kesatuan bangsa.
3. FUNGSI STABILITATIF yaitu fungsinya sebagai pemelihara (termasuk di
dalamnya memelihara hasil hasil pembangunan) dan menjaga keselarasan,
keserasian serta keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
4. FUNGSI PERSFEKTIF yaitu fungsinya sebagai penyempumaan terhadap
tindakan tindakan administrasi negara maupun sikap tindak warga dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
5. FUNGSI KOREKTIF yaitu fungsinya sebagai pengkoreksi atas sikap tindak
yang dilakukan baik oleh para administratur negara maupun oleh warga negara
apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

8
Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA), Rajawali Pers,
Cetakan Pcrtama, Jakarta, 1989, hlm. 1.
9 Ibid, hlm. 34
Sedangkan Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004. 10
Dalam sengketa tata usaha negara, titik sengketanya juga menyangkut hak subjektif
berdasarkan hukum publik baik yang dimiliki oleh perorangan atau badan hukum
perdata. Namun demikian ruang lingkup sengketa tata usaha negara sebagaimana
yang dimaksud Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004
dan UU No. 51 Tahun 2009 adalah dalam arti sempit. Dikatakan dalam arti sempit,
oleh karena sengketa tata usaha negara tersebut hanya ditujukan atau terbatas
kepada:
a. OBJEK : ditujukan (pada prinsipnya) kepada perbuatan atau tindakan badan atau
pejabat tata usaha negara yang diwujudkan dalam bentuk penetapan/keputusan
yang dikeluarkan secara tertulis
b. SUBJEK : pihak pihak yang bersengketa adalah antara warga negara atau badan
hukum perdata lawan badan atau pejabat tata usaha negara.
c. ALASAN: Tindakan hukum badan atau pejabat tata usaha negara tersebut
dinilai: 1. Bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. 2. Salah menggunakan
wewenang. 3. Tidak mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut atau
terkait.Sekarang dirubah dengan5

MHD Syahropi Manurung11 dalam skripsinya menjelaskan bahwa:

Putusan hakim adalah suatu pernyataan dari hakim sebagai pejabat negara
yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan yang bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak.

Khusus yang berkaitan dengan Pimpinan PTS, maka berdasarkan


perkembangan hukum melalui yurisprudensi Mahkamah Agung No.: N. 48
PK/TUN/2002, tanggal 11-6-2004)12:

hubungan Pimpinan PTS dalam hubungannya dengan kepegawaian yang


bersifat interen tidak merupakan tergugat dalam pengertian yang dikemukakan
diatas. Hal tersebut dapat dikarenakan dua sebab:

1. hubungan kepegawaian yang terjadi dalam lingkungan interen PTS


(Universitas Swasta) bukanlah hubungan kepegawaian yang bersifat hukum
publik. Namun selanjutnya akan ditentukan dalam praktek PTUN.

2. hubungan Kopertis Departemen Pendidikan


dengan PTS (Universitas Swasta) tidak bersifat
hierarki pemerintahan dan pegawai-pegawainya
tidak berstatus sebagai pegawai negeri. Oleh
karena itu, peranan Kopertis adalah sebagai
koordinator dalam rangka pengawasan, bukan
pemberi wewenang pengelolaan Perguruan Tinggi
Swasta.

Menurut Indoharto13 karaktermya, suatu kepentingan dalam Hukum Acara Tata


Usaha negara dapat dibagi dalam dua macam, yaitu:

1 . Kepentingan nilai, artinya kepentingan itu sendiri menunjukkan kepada nilai yang
harus dilindungi oleh hukum.
2. Kepentingan proses, artinya menyangkut apa yang hendak dicapai dengan
melakukan gugatan tersebut.

9
Sabino Cassese, New paths for administrative law: A manifesto, Oxford University Press and New York University School of Law. All rights
reserved, Volume 10, 2012, h. 609.
11.
Yuslim. Op. Cit, halaman 148.

12. Ujang Abdullah, SH. M.Si, H., Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Sistem Peradilan di Indonesia
(makalah/tulisan), hlm. 14. http://www.google.co.id/ search?q=kompetensi+PTUN%2C+artikel%2C+pdf&ie=utf-
8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a;www.ptun palembang.go.id/ upload.../KOMPE TENSI
%20PTUN.pdf, diakses tgl 18 Agustus 2012

13. Indroharto, Op Cit, hlm. 37 dst.


S.F Marbun11 (1997 : 27) secara filosofis tujuan pembentukan peradilan administrasi
negara (PTUN) adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak
perseorangan dan hak-hak masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan
dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat
atau kepentingan umum.

Asas dinskresi (Freies Ermessen) artinya pejabat, penguasa, tidak boleh


menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya,
dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan
menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan
asas legalitas.

11 H.Salmon, eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara…………. Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 Bulan Oktober – Desember 2010.
12 Supandi, Modernisasi Peradilan Tata Usaha Negara di Era Revolusi 4.0 untuk Mendorong Kemajuan Peradaban Hukum Indonesia,
Disampaikan pada saat Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Prof. Supandi Universitas Diponegoro di Semarang, Jawa
Tengah pada hari Jumat tanggal 29 November 2019. H. 6-7

Anda mungkin juga menyukai