PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia,
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman telah cukup memakan waktu
yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu sendiri eksis di Indonesia.
Dikatakan demikian, karena memang Islam adalahagama hukum, dalam arti
sebuah aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta
(hablumminallah) yang sepenuhnya dapat di lakukan oleh pemeluk agama Islam
secara pribadi (person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya ( hablumminannas) dan dalam
kehidupan masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggaraan negara untuk
melaksanakannya secara pripurna.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum Islam
selalu berjalan beriringan tidak dapat di pisah-pisahkan. Oleh karena itu
pertumbuhan Islam selalu dikuti oleh pertumbuhan hukum islamitu sendiri.
Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan syariat islam.
Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban kolektif , yakni sesuatu
yang dapat ada dan harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama
keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai
berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan
perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk
ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini karena
masyarakat Islam sebagai anggota masyarakat adalah orang yang paling mentaati
hukum dalam pergaulan orang perseorangan maupun pergaulan umum.
Peradilan Agama yang telah lama di kenal masyarakat muncul sebelum
datangnya penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang surut hingga
sekarang, pada mulanya Peradian Islam sangat sederhana sesuai dengan
kesederhanaan masyarakat dan perkara-perkara yang di ajukanya kepadanya pada
awal islam, lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan hokum yang berkembang
dalam Masyarakat.
Sehingga dalam makalah ini akan membahas mengenai keberadaan atau
eksistensi dan tugas Peradilan Agama pada masa orde lama hingga sekarang,
sehingga dengan pembahasan ini kita dapat memahami sejarah Peradilan Agama
pada masa orde lama hingga sekarang, mudah-mudahan laporan ini bermanfaat
bagi kita semua khususnya pemakalah pribadi.
B. Dasar Hukum
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata Perdata dihapus. Hal ini
dimaksudkan untuk:
Setelah keluarnya PP. No. 45 Tahun 1957, maka pada tahun 1960
terbentuklah Pengadilan Agama Makassar yang waktu itu disebut Pengadilan
Mahkamah Syariah adapun wilayah Yurisdiksinya dan keadaan gedungnya
seperti diuraikan pada penjelasan berikut:
1) Wilayah Yurisdiksi
2) Keadaan Gedung
Semenjak dari awal berdirinya hingga sampai tahun 1999 Pengadilan
Agama Klas 1 A Makassar telah mengalami perpindahan gedung kantor sebanyak
enam kali. Pada tahun 1976 telah memperoleh gedung permanen seluas 150
m2untuk Rencana Pembangunan Lima Tahun, akan tetapi sejalan dengan
perkembangan jaman dimana peningkatan jumlah perkara yang meningkat dan
memerlukan jumlah personil dan SDM yang memadai maka turut andil
mempengaruhi keadaan kantor yang butuh perluasan serta perbaikan sarana dan
prasarana yang menunjang dan memadai, maka pada tahun 1999 Pengadilan
Agama Makassar merelokasi lagi gedung baru dan pindah tempat ke Gedung baru
yang bertempat di Jalan Perintis Kemerdekaan Km.14 Daya Makassar dengan
luas lahan (Tanah) 2.297 M2 dan Luas Bangunan 1.887,5 M2 .
Hakim Ketua Honorer yaitu H. Kallasi Dg. Mallaga, K.H.M. Syarif Andi
Rukka, Syarid Soleh Al Habayi, H. Abd. Dg. Mai, Daeng Takadi (H. Andi
Mansyur) dan Daeng Mannu. Pada masa K. H. Harun Rasyid menjadi Ketua,
hanya memiliki 7 orang pegawai (personil), sedangkan sekarang ini jumlahnya
telah bertambah karena berdasarkan pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974, maka
penambahan jumlah pegawai (personil) sudah dinyatakan perlu guna untuk
mengimbangi melonjaknya jumlah Volume perkara. Berikut ini adalah susunan
Ketua Pengadilan Agama Makassar berdasarkan periode kepemimpinan dari masa
ke masa :
Visi
Misi
Pertama
Ketiga
Keempat
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata Perdata dihapus. Hal ini
dimaksudkan untuk:
1. Perkawinan
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
dan Wakaf dan shadaqoh
a. Kekuasaan Relatif
b. Kekuasaan Absolut.
Kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan berhubungan dengan jenis
perkara atau jenis Pengadilan atau tingkatan Pengadilan.
Kekuasaan Absolut Peradilan Agama UU No. 3 Th. 2006 adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan, jenis perkara di bidang ini meliputi Izin beristri lebih dari satu
orang, Izin perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal
orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat , Dispensasi kawin, Pencegahan perkawinan, dan lain-lain.
2. Waris, Yang dimaksud denganwarisadalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuian siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3. Wasiat, Yang dimaksud dengan wasiat adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada oranglainatau lembaga/
badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggl
dunia.
4. Hibah, Yang dimaksud dengan hibah adalah pemberian suatu benda
secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum
kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Wakaf, Yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan seseorang atau
kelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan
sebagian harta tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah
dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah
6. Zakat, Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seseorang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
7. Infaq, Yang dimaksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah SWT.
8. Shadaqah, Yang dimaksud dengan shadaqah adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridhoAllah SWT. dan pahala semata.
9. Ekonomi Syariah, Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah
antara lain meliputi, Bank syariah; Lembaga keuangan mikro syariah;
Asuransi syariah; Reansyuransi syariah; Reksa dana syariah; Obligasi
syariah dansuratberharga berjangka menengah syariah; Sekuritas
syariah; Pembiayaan syariah; Penggadaian syariah; Dana pensiun
lembaga keuangan syariah; Bisnis syariah.
C. Tugas-tugas lain Peradilan Agama.
1. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam
kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta ,
Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
tahun hijriah atas permintaan Dep. Agama.
2. Memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah
kiblat dan penentuan waktu shalat;
3. Kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang;
4. Asas dan sifat Hukum Acara Peradilan Agama.
5. Asas dan Sifat Hukum Acara Peradilan Agama. Hukum Acara Peradilan
Agama pada asasnya dilakukan dengan:
1) Asas Personalitas Keislaman, merupakan kekuasaan mutlak
pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara tertentu dan
khusus, yang melalui kekuasaan memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara tertentu, yaitu golongan orang yang beragama
islam. ketentuan tentang asas personalitas keislaman yaitu kewenangan
mutlak Pengadilan Agama dalam menangani, memutuskan perkara
orang-orang islam, telah tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1)
undang-undan No 7 th 1989. Dengan demikian asas personalitas
keislaman merupakan kesatuan hubungan yang tidak terpisah dengan
dasar hubungan hukum, meskipun demikian untuk menentukan asas
ini yang berakit menjadi kewenangan mutlak dari pengadilan di
lingkungan badan Peradilan Agama adalah : agama yang dianut oleh
kedua belah pihak saat terjadinya hubungan hukum adalah agama
islam hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan
hukum islam.
2) Asas kebebasan, Asas kebebasan adalah asas yang dimiliki oleh setiap
badan peradilan. Kebebasan yang dimaksud disini adalah tidak boleh
ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam penangan suatu perkara
oleh pengadilan atau majelis hukum. Ikut campur tangn ini contohnya
berupa pemaksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak
ekstra yidisial, ancaman, dan lain sebagainya. Asas ini dapat ditemui
dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman. Beracara dengan hadir sendiri ; Beracara
dengan memajukan permohonan ; Pemeriksaan dalam sidang terbuka;
Beracara tidak dengan cuma-Cuma; Asas ini tertuang dalam keteua
Pasal 4 Ayat(2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman. Beracara cepat, sederhana, dan biaya ringan
merupakan dambaan dari setiap orang pencari keadilan, sehingga
apabila peradilan agama kurang optimal dalam mewujudkan asas ini
maka orang akan enggan beracara di pengadilan agama. (1) Hakim
mendengar kedua belah pihak ; (2) Pemeriksaan perkara secara lisan ;
(3) Terikatnya Hakim kepada alat pembuktian ; (4) Keputusan Hakim
memuat alasan-alasan.
D. Tugas Para Pegawai Pengadilan Agama
a. Ketua Pengadilan Agama
1. Syarat Ketua pengadilan Agama
a) Warga Negara Indonesia
b) Beragama Islam
c) Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
d) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
e) Sarjana syariah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai
hukum Islam
f) Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
g) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
h) Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40
(empat puluh) tahun
i) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap
j) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama,
hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim
pengadilan agama
2. Pengangkatan dan Pemberhentian Ketua Pengadilan Agama
Menurut pasal 13 Ayat (2) UU Nomor 50 Tahun 2009, seorang Hakim
Pengadilan Agama baru dianggap memenuhi syarat untuk diangkat
menjabat sebagai Ketua berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Agama. Pejabat yang berwenang mengangkat
hakim menjadi ketua atau wakil ketua Pengadilan Agama ialah Ketua
Mahkamah Agung. Pemberhentian dari jabatan ketua atau wakil ketua
sejalan dengan pengangkatan seperti yang diatur dalam pasal 15 Ayat (2)
UU Nomor 50 Tahun 2009 yakni diberhentikan oleh Mahkamah Agung.
3. Tugas Pokok Ketua Pengadilan Agama
Tugas pokok Ketua Pengadilan Agama terdiri dari :
a) Mengatur pembagian tugas para hakim;
b) Membagikan semua berkas dan atau surat-surat lain yang
berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada
Majelis Hakim untuk diselesaikan;
c) Menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut,
tetapi apabila terdapat perakara tertentu yang karena menyangkut
kepentingan umum harus segera diadili maka perkara itu
didahulukan;
d) Mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
e) Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
hakim, panitera, sekretaris dan juru sita di daerah hukumnya;
f) Mengevaluasi atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim,
panitera, sekretaris dan juru sita;
c. Hakim
Menurut Pasal 11 Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, wajar apabila undang-undang
menentukan syarat, pengangkatan, pemberhentian, dan sumpah yang
sesuai dengan jabatan tersebut.
1. Pengangkatan dan syarat Hakim Pengadilan Agama
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat pada pasal 13 ayat 1 UU
Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut :
a) Warga Negara Indonesia (WNI);
b) Beragama Islam;
c) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e) Sarjana syari'ah, sarjana hukum Islam atau sarjana yang
menguasai hukum Islam;
f) Lulus pendidikan hakim;
g) Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas
dan kewajiban;
h) Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun dan
paling tinggi 40 tahun;
i) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
j) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Pemberhentian Hakim
Mengenai pemberhentian hakim, sama prosedurnya dengan
pengangkatan hakim. Pemberhentian hakim dilakukan oleh Presiden
selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung dan atau Komisi
Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung, sebagaimana yang ditegaskan
Pasal 15 ayat (1a) UU Nomor 50 tahun 2009. Undang-undang mengenai
dua jenis pemberhentian. Setiap jenis pemberhentian didasarkan atas
alasan-alasan tertentu yakni pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian dengan tidak hormat.
1) Pemberhentian dengan hormat, alasan-alasan pemberhentian
hakim dengan hormat dari jabatannya yang diatur dalam Pasal
18 UU Nomor 50 Tahun 2009, karena:
- Atas permintaan sendiri secara tertulis;
- Sakit jasmani atau rohani terus menerus;
- Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua,
wakil ketua dan hakim pengadilan agama dan 67
(enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua dan
hakim pengadilan tinggi agama;
- Tidak cakap dalam menjalankan tugas.
2) Pemberhentian Tidak Hormat, alasan-alasan pemberhentian
hakim tidak dengan hormat dari jabatannya yang diatur dalam
Pasal 19 UU Nomor 50 Tahun 2009, karena:
- Dipidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
- Melakukan perbuatan tercela;
- Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam
menjalankan tugas pekerjaannya selama 3 bulan;
- Melanggar sumpah atau janji jabatan;
- Melanggar larangan rangkap, menurut Pasal 17, Hakim
tidak boleh merangkap menjadi: Pelaksana putusan
pengadilan; Wali pengampu, dan jabatan yang
berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa
olehnya; Pengusaha; Tidak boleh merangkap menjadi
penasihat hukum.
3. Tugas Hakim
a) Tugas Yustisial
Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan hukum
perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara yang diatur
dalam hukum acara Peradilan Agama. Tugas-tugas pokok hakim di
Pengadilan Agama dapat dirinci sebagai berikut :
1) Membantu pencari keadilan (pasal 5 ayat 2 UU Nomor 14
tahun 1970);
2) Mengatasi segala hambatan dan rintangan (pasal 5 ayat 2 UU
Nomor 14 tahun1970);
3) Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa (pasal 130 HIR /
pasal 154 Rbg);
4) Memimpin persidangan (pasal 15 ayat 2 UU Nomor 14 tahun
1970);
5) Memeriksa dan mengadili perkara (pasal 2 (1) UU Nomor 14
tahun 1970);
6) Meminutur berkas perkara ( 184 (3), 186 (2) HIR) ;
7) Mengawasi pelaksanaan putusan (pasal 33 (2) UU Nomor 14
tahun 1970);
8) Memberikan pengayoman kepada pencari keadilan (pasal 27
(1) UU Nomor 14 tahun 1970);
9) Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(pasal 27 (1) UU Nomor 14 tahun 1970);
10) Mengawasi penasehat hukum.
b. Wakil Panitera
Secara umum wakil panitera bertugas :
Membantu hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang
pengadilan;
Membantu panitera untuk secara langsung membina, meneliti dan
membantu mengawasi pelaksanaan tugas administrasi perkara
antara lain ketertiban dalam mengawasi buku register perkara,
membuat laporan periodik dan lain-lain;
Melaksanakan tugas panitera apabila panitera berhalangan;
Melaksanakan tugas yang didelegasikan kepadanya
d. Panitera Pengganti
Panitera Pengganti bertugas :
1) Membantu hakim dengan melakukan persiapan, mengikuti dan
mencatat jalannya siding pengadilan;
2) Membantu hakim dalam hal;
3) Membuat penetapan hari sidang;
4) Membuat penetapan sita jaminan;
5) Membuat berita acara persidangan yang harus selesai sebelum
sidang berikutnya;
6) Membuat penetapan-penetapan lainnya;
7) Mengetik putusan atau penetapan sidang;
8) Melaporkan kepada Panitera Muda Gugatan atau Permohonan,
pada Petugas Meja Kedua untuk dicatat dalam register perkara
tentang adanya:
- Penundaan sidang serta alasan-alasannya;
- Amar putusan sela (kalau ada);
- Perkara yang sudah putus beserta amar putusannya dan
kepada kasir untuk diselesaikan tentang biaya-biaya dalam
proses perkara tersebu;
- Menyerahkan berkas perkara kepada Panitera Muda
Gugatan atau Permohonan (Petugas Meja Ketiga) apabila
telah selesai diminutasi.
e. Sekretaris
Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga
ada Sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh
seorang Wakil Sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh
panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan
untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi
panitera. Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
umum pengadilan. Tugas pokok dan fungsi sekretaris adalah sebagai
berikut :
1) Berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Agama dalam
merencanakan dan melaksanakan pelayanan teknis di bidang
Administarsi Perkara, Administarsi umum dan administrasi lainya
yang berkaitan dengan menyiapkan konsep rumusan kebijakan
dalam menggerakan dan mengarahkan pelaksanaan tugas kegiatan
Kepaniteraan dan Kesekretariatan dalam menyusun program kerja
jangka panjang dan jangka pendek.
f. Wakil Sekretaris
Tugas pokok dan fungsinya adalah mewakili Sekretaris dalam
melaksanakan tugas dalam memimpin pelaksanaan di Kesekretariatan
bertanggungjawab sebagi pejabat pembuat komitmen atau
penanggugjawab kegiatan yang menggerakan dan menyiapkan konsep
serta memecahkan masalah yang muncul di bidang Kesekretariatan serta
bertanggungjawab kepada Panitera atau Sekretaris.
g. Kepala Urusan Umum
Tugas pokok dan fungsi Kepala Urusan Umum adalah
merencanakan dan melaksanakan pengurusan surat menyurat,
perlengkapan rumah tangga dan perpustakaan di lingkungan Pengadilan
Agama serta mengawasi, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan tugas
kepada atasan sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Agama berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tugas pokok dan fungsi Kepala Urusan Umum antara lain:
1. Membantu wakil sekretaris dan memimpin pelaksanaan
tugas Sub bagian umum;
2. Menetapkan sasaran kegiatan setiap tahun;
3. Menyusun dan menjadwalkan rencana kegiatan;
4. Membagi tugas kepada bawahan dan menentukan
penanggung jawab kegiatan;
5. Menggerakkan dan mengarahkan pelaksanaan tugas
bawahan;
6. Memantau pelaksanaan tugas bawahan;
7. Memberi penilaian pekerjaan untuk bawahannya pada
setiap akhir tahun;
8. Menyiapkan bahan konsep rumusan kebijaksanaan
pimpinan dibidang Sub. Bagian Umum;
9. Mengadakan koordinasi dengan satuan kerja lain yang
terkait;
10. Menanggapi dan memecahkan masalah yang muncul;
11. Mengadakan konsultasi dengan atasan setiap saat
diperlukan;
12. Melaksanakan tugas khusus yang diberikan oleh atasan;
13. Membuat Laporan Tahunan (LT), Laporan Mutasi Barang
Triwulan(LMBT) dan Kartu Inventaris Barang (KIB), dan
lain-lain yang berkaitan dengan umum.;
14. Mengusulkan penghapusan barang milik Negara atau
kekayaan negara;
15. Mengevaluasi pelaksanaan tugas bawahan;
16. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada atasan
a. Prosedur :
1. Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau Kuasanya :
a. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah (Pasal 118 HIR, 142 R. Bg. Jo. Pasal 66 UU
No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006);
b. Permohonan dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan
agama/mahkamah syariah tentang tata cara membuat surat permohonan
(Pasal 119 HIR, 143 R. Bg Jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006);
c. Surat permohonan dapat diubah sepanjang tidak mengubah posita dan
petitum. Jika termohon telah menjawab surat permohonan ternyata ada
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
2. Permohonan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah
syariah :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66
ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun
2006);
b. Bila termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada
pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang
telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006);
c. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan
kepada pengadilan agama/mahkamah syariah yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UU No. 7 Tahun
1989 telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006);
d. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan ke pengadilan agama/mahkamah syariah yang
daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UU No. 7
Tahun 1989 telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006).
3. Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan
Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
4. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta
bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau
sesudah ikrar talak diucapkan (Pasal 66 ayat (5) UU No. 7 Tahun 1989 yang
telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006);
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R. Bg. Jo.
Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun
2006), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo)
(Pasal 237 HIR, 273 R. Bg.).
b. Proses Penyelesaian Perkara :
1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan
agama/mahkamah syariah;
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah
syariah untuk menghadiri persidangan.
3. Tahapan-tahapan :
a. Tahapan Persidangan:
1) Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang
secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006);
2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua
belah pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3
ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban,
jawab menjawab, pembuktian dan mengajukan gugatan
rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132a HIR, 158 R. Bd.).
b. Putusan pengadilan agama/mahkamah syariah atas permohonan
cerai talak sebagai berikut :
1) Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat
mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah
syariah tersebut.
2) Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan banding
melalui pengadilan agama/mahkamah syariah tersebut.
3) Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan
permohonan baru.
4) Apabila permohonan dikabulkan dan putusan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
- Pengadilan agama/mahkamah syariah menentukan hari sidang
penyaksian ikrar talak;
- Pengadilan agama/mahkamah syariah memanggil Pemohon
dan Termohon untuk melaksanakan ikrar Talak;
- Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan
sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak
melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah
kekuatan hukum penetapan tersebutdan perceraian tidak dapat
diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang sama (Pasal 70
ayat (6) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU
No. 3 Tahun 2006).
- Setelah ikrar talak diucapkan panitera berkewajiban
memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua
belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989
yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006.
2. Prosedur dan Proses Penyelesaian Perkara Cerai Gugat
a. Prosedur :
1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah
pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada
mediator.
2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak
gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan
resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
g. Tugas-tugas Mediator
h. Keterlibatan Ahli
1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk
memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
i. Kesepakatan
2) dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para
pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas
kesepakatan yang dicapai.