Anda di halaman 1dari 19

Inovasi Terhadap Problematika Pasal 116 Undang-Undang No 51 Tahun 2009

Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara Terkait Teori Legal Substance

Farhan Anindya Pradipta

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Gedung K, Fakultas Hukum Unnes Kampus Sekaran Gunungpati

email : farhananindya11@students.unnes. ac.id

Abstrak

Pada Pengadilan Tata Usaga Negara terdapat upaya paksa yang terdapat dalam Pasal 116
Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur
tentang upaya paksa berupa pembayaran uang denda dan sanksi pemberitaan melalui media cetak.
Namun permasalahan muncul ketika kedua upaya paksa itu tidak dilaksanakan oleh tergugat
yaitu badan atau pejabat tata usaha negara. Sesuai dengan angka 6 pasal 116 UU Nomor 51
tahun 2004 tentang PTUN, pengadilan akan melaporkan hal tersebut kepada Presiden yang
kemudia Presiden akan memerintahkan badan atau pejabat tata usaha negara untuk memenuhi
putusan pengadilan. Permasalahannya adalah kefektifan yang terdapat pada tahap ini dinilai tidak
sesuai dengan teori legal substance karena berpotensi menguntungkan dan memihak pada
pejabat tata usaha negara. Dengan potensi memihak kepada pejabat tata usaha negara, pasal ini
tidak menjunjung nilai pada dasar negara yaitu Pancasila yaitu sila kedua pula. Diperlukannya
suatu inovasi untuk memperbaiki problematika yang ada agar eksekusi putusan dalam berjalan
dengan baik dan tidak memihak atau menguntungkan pihak tertentu saja.

Kata Kunci : Presiden, Putusan, Inovasi


Abstract

At the State Administrative Court there is coercion contained in Article 116 of Law Number 51
of 2009 concerning State Administrative Court which regulates forced measures in the form of
payment of fines and sanctions for reporting through print media. However, problems arose
when the two coercive measures were not carried out by the defendant, namely a state
administration agency or official. In accordance with number 6 of article 116 of Law Number 51
of 2004 concerning PTUN, the court will report this matter to the President who will then order
the state administration agency or official to comply with the court's decision. The problem is
that the effectiveness at this stage is considered not in accordance with the theory of legal
substance because it has the potential to be profitable and in favor of state administration
officials. With the potential to side with state administration officials, this article does not uphold
the values on the basis of the state, namely Pancasila, which is the second precept. An innovation
is needed to fix existing problems so that the execution of decisions goes well and does not take
sides or only benefits certain parties.

Keyword : President, Ruling, Innovation


I. PENDAHULAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki dasar norma UUD 1945 sebagai sumber
hukum dari setiap permasalahan yang terjadi. Negara dan masyarakat memiliki
keterikatan dalam suatu perkara yang ada. Peran pemerintah meliputi berbagai aspek
yang akan menjadi sebuah tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilakukan oleh
pejabat negara dalam menyelesaikan suatu perkara. Sebagai negara yang menganut
sistem demokrasi, Indonesia memiliki 3 (tiga) lembaga pokok dalam kehidupan
bernegara. Yaitu yudikatif, eksekutif, dan legislatif.
Pada pasal 1 ayat Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Indonesia
merupakan negara yang berdasar atas hukum. Negara menggunakan dasar hukum atas
seluruh permasalahan yang terjadi. Tujuan dari berlandaskannya hukum untuk suatu
negara ini adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari
tindakan yang melawan hak asasi manusia oleh penguasa. 1 Dengan begitu dibuatlah
undang-undang yang mengatur tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kemudian
menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 yang mengawali pelaksanaan
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Sistem penyelesaian sengketa pengadilan tata
usaha negara secara keseluruhan bergantung pada pengaturan terkait hukum acara.
Hukum acara pengadilan tata usaha negara diatur dalam undang-undang tentant peradilan
tata usaha negara. 2 Peradilan tata usaha negara di Indonesia berkedudukan dibawah
Mahkamah Agung, yang menyebabkan prinsip pengadilan secara umum juga menjadi
prinsip peradilan tata usaha negara A.S Gani mengatakan dalam hukum positif Indonesia
prinsip tentang peradilan tata usaha negara diantaranya :
a. Peradilan tata usaha negara termasuk dalam prakarsa kehakiman bukan
dalam lingkup eksekutif

1
Maharani, I., & Landra, P. (2020). Implikasi Hukum Pengaturan Eksekusi
Putusan Ptun Dalam Uu Ptun Terhadap Efektifitas Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara. Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum, 9(1), 1-16.
2
A’An Efendi, 2016, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 45.
b. Peradilan tata usaha negara sebagai suatu pengadilan yang berujung pada
Mahkamah Agung
c. Peradilan tata usaha negara merupakan ranah yang ter[isah dari peradilan
umum, militer, dan agama3

Salah satu bukti upaya negara untuk melindungi keadilan sosial dan memberikan
kepastian hukum pada masyarakat adalah dimana peraturan undang-undang mengatur
negara dengan baik dan jelas tanpa adanya hal yang rancu untuk menciptakan keadilan
dengan memberikan hak rasa aman, serta tidak menyebabkan keambiguan bagi setiap
orang yang mencari sebuah keadilan. Dalam pelaksanaan proses sengketa pada
Pengadilan Tata Usaha Negara yang selanjutnya menjadi sistem norma yang tertata dan
tidak saling berbenturan agar tidak menjadi konflik pada kemudia hari. Dengan lahirnya
Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan kewenangan memeriksa, mengadili dan
memutus Keputusan Tata Usaha Negara yang dibuat oleh Badan atau pejabat tata usaha
negara secara sepihak yang mengakibatkan kerugian bagi perorangan atau badan hukum
dengan penetapan, penentuan, perubahan, penghapusan, penciptaan hubungan hukum
baru.
Dalam pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara memiliki objek
sengketa yang berbeda tiap sengketanya. Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun
2009 menerangkan yang termasuk objek merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau badan atau pejabat tata usaha negara yang dimana dalam tindakan hukum
mengandung tindakan hukum tata usaha negara yang berdasar atas peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan didorong oleh sifatnya yang konkrit, individu, dan final.
Selanjutnya akan berakibat hukum untu seseorang atau badan atau pejabat tata usaha
negara. Penjelasan tersebut memiliki tujuan menerangkan tentang Peradilan Tinggi
Negara hanya memiliki kewenangan menyelesaikan atau melaksanakan suatu sengketa
yang berkaitan dengan negara serta mengandung unsur politik. Melalui Undang-Undang

3
. Dani, Umar. 2022. Konsep Dasar dan Prinsip-Prinsip Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara. PT. Raja
Grafindo Persada h. 24-27
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan adanya laporan masyarakat dugaan maladministrasi tidak
melaksanakannya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga perlu membentuk
Undang Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini berkaitan dengan tujuan pembentukan
Peradilan Tata Usaha Negara yaitu untuk menyelesaikan sengketa antar pemerintah
dengan warga atau masyarakat. Yang dimaksud adalah sengketa yang muncul akibat
adanya tindakan atau keputusan pemerintah yang melanggar hak warga negara atau
menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Peradilan Tata Usaha Negara antara lain juga
berfungsi untuk mendorong sistem administrasi negara maupun untuk melindungi segala
kepentingan rakyat, individu maupun masyarakat dari berbagai tindakan sewenang-
wenang, melampaui kewenangan, kecerobohan, keberpihakan secara tidak adil oleh
Badan atau Badan atau pejabat tata usaha negara. 4
Dengan itu melalui Pasal 116 sampai 119 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
atas Perubahan Kedua dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang mengakibatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
memiliki sifat excutable atau telah final karena tidak ada upaya hukum dari pihak lawan
perkara sehingga yang dapat diseksekusi. Hal ini dikarenakan terdapat sanksi
administratif serta publikasi media masa terhadap badan atau badan atau pejabat tata
usaha negara yang tidak mau atau melanggar putusan peradilan tata usaha. Namun pada
angka 6 Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara berbunyi “ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan” 5 yang dimana di pasal tersebut menjelaskan bahwa
Presiden sebagai pemegang kekeuasaan tertinggi dan Dewan Perwakilan Rakyat

4
Rezah, Farah Syah(2018). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. CV. Social Politic Genius. (h. 1–63)
5
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
melaksanakan fungsi pengawasan untuk melaksanakan putusan di Peradilan Tata Usaha
jika tergugat tidak memenuhi ketentuan pada pasal sebelumnya. Itu berarti pihak tergugat
yang tidak melaksanakan kewajibannya putusannya akan dilimpahkan kepada Presiden
dan DPR yang dimana Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dinilai tidak
efektif untuk memegang kekuasaan juga terhadap badan pengawasan di Peradilan Tata
Usaha Negara.
Problematika itu berkaitan dengan teori Lawrence M. Friedman yaitu legal
subtance atau subtansi hukum yang merupakan keseluruhan asas hukum dan aturan
hukum baik tertulis atau tidak tertulis. Subtansi hukum bisa dikaitkan dengan norma,
aturan, dan tingkah laku manusia yang ada. Adanya keterlibatan masyarakat dalam
pembentukan suatu undang-undang sangat penting agar hukum itu tidak overlapping atau
timpang tindih terhadap undang-undang lain serta keterpihakan badan atau pejabat tata
usaha negara yang tidak adil. Suatu putusan akan berlaku dengan baik dan benar ketika
tidak ada pihak yang mementingkan diri sendiri dan lebih mementingkan kepentingan
umum. Apa yang dinyatakan oleh Friedman merupakan suatu hal penting yang harus
diperhatikan dalam pembuatan Undang-Undang yang dimana dalam pembuatan Undang-
Undang pihak pembuat dan objek hukum tersebut tidak saling merugikan dan tetap
berjalan dengan baik tanpa adanya ketidakadilan. Legal subtance juga memperhatikan
terkait bagaimana aspek keseluruhan hukum yang ada di suatu negara atau wilayah, yang
dimana dalam aspek tersebut memuat keadilan dan kesetaraan hukum demi kepastian
hukum yang ada. Pembuatan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha perlu dipertimbangkan kembali untuk dikaitkan dengan teori legal
subtance yang seharusnya ada untuk menjadi suatu aturan yang ideal.
Sedangkan melalui keterkaitan yang lebih luas lagi terdapat nilai-nilai Pancasila
sebagai pedoman bangsa Indonesia yang merupakan perhatian dalam pembuatan
perundang-undangan karena dalam keberlangsungan kehidupan bernegara Pancasila
menjadi pedoman bangsa Indonesia. Jadi problematika yang terjadi Pada Pasal 116 angka
6 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha tidak hanya
tentang bagaimana keefektifan laporan kepada Presiden namun tentang bagaimana
Undang-Undang itu dibuat dan bagaimana keterkandungan nilai-nilai Pancasila
didalamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi problematika dalam pelaksanaan UU Peratun No.51 tahun 2009
Pasal 116 angka 6?
2. Bagaimana keterkaitan problematika tersebut dengan teori Legal Substance dan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila?
3. Bagaimana inovasi yang seharusnya dilakukan agar pelaksanaan putusan dalam PTUN
tersebut lebih efektif?

C. Tujuan
Dalam penulisan artikel ini diharap agar pembaca dapat memahami problematika yang
terjadi pada Pasal 116 angka 6 UU Peratun yang ada. Selanjutnya berkaitan dengan teori
legal substance dapat memberikan refernsi tambahan sebagai bahan pertimbangan untuk
pembaca dalam menentukan keefektifan Pasal 116 angka 6 UU Peratun. Bersamaan
dengan artikel ini penulis berharap agar dapat memberikan dampak positif terhadap
pemikiran penulis yang dapat memberi opini atau kritik dan saran terhadap pihak terkait
agar tidak terjadi ketidakadilan yang terang-terangan dilakukan oleh pemerintah atau
pejabat TUN.

D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan jurnal ini adalah penelitian
hukum normatif. Dimana digunakan data sekunder berupa bahan artikel atau jurnal dan
buku dalam peraturan perundang-undangan. 6 Seluruh data yang terkumpul dianalisis
dengan menggunakan metode kualitatif dan hasil penelitian disajikan dalam laporan yang
bersifat deskriptif analisis.

6
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, Rajawali Press, Jakarta, h.
118.
II. PEMBAHASAN
Problematika Ketentuan Pada Pasal 116 Angka 6 UU Peratun No. 5 Tahun 2009

Problematika yang ada sebelumnya telah dilakukan perubahan terhadap Pasal 116, yaitu
diberlakukannya perubahan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan
Pasal 116 pada perubahan kedua tahun 2009 tampaknya memberikan suatu formulasi
pasal yang menyatukan antara Pasal 116 lama di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Pasal 116 perubahan pertama pada Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini sangat jelas terlihat pada ketentuan
ayat (6) yang menjadikan Presiden sebagai tumpuan terakhir untuk dapat memerintahkan
pejabat yang dibebankan kewajiban melaksanakan putusan pengadilan tata usaha negara
yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan tersebut merupakan ciri eksekusi hierarkhis
yang awalnya diatur dalam Pasal 116 lama tahun 1986, meskipun tidak secara berjenjang
melalui pejabat atasan, namun hal tersebut tetap membebankan kepada Presiden sebagai
penanggungjawab urusan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang
dibebani kewajiban melaksanakan putusan pengadilan tata usaha negara yang berkekuatan
hukum tetap.

Eksekusi sebelum revisi lebih dipengaruhi self respect, karena kewenangan melaksanakan
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap sepenuhnya
diserahkan badan atau pejabat yang berwenang tanpa ada kewenangan menjatuhkan sanksi
oleh pengadilan.7 Setelah dilakukan revisi, proses pelaksanaan putusan pengadilan lebih
memperlihatkan dipergunakannya system fixed execution, yaitu eksekusi yang
pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui instrument pemaksaan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun ketentuan tersebut sekaligus
merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan.
Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan.

7
Dinata, Ari Wirya. (2021).Implikasi Hukum Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Ditinjau Dari Pelaksanaan Otonomi Daerah Dan Negara Kesatuan. Jurnal Hukum Peratun Vol. 4 No.
1 Februari 2021. hlm.1-30
Dibalik larangan, terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. Sanksi
hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa
hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patut terhadap hukum. Ketidakpatuhan
badan atau pejabat TUN untuk melaksanakan putusan pengadilan TUN sedikit banyak
dapat mempengaruhi kewibawaan pengadilan, pelecehan terhadap peradilan, dan bukan
mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, maka masyarakat semakin tidak
percaya kepada pengadilan, dan apabila masyarakat cenderung main hakim sendiri
bukanlah merupakan perbuatan yang berdiri sendiri. Adanya kepentingan / interest pribadi
pejabat eksistensi keputusan TUN yang diterbitkannya dan lemahnya tingkat kesadaran
hukum Badan atau Pejabat TUN adalah sangat besar pengaruhnya terhadap dipatuhi atau
tidaknya putusan Hakim Peratun, karena secara normatif eksekusi putusan Hakim Peratun
lebih menyandarkan pada kerelaan Pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakannya
(floating execution).

Semua keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang disebut beschikking dapat digugat
oleh subjek hukum Indonesia ke pengadilan tata usaha negara. Keputusan Peradilan Tata
Usaha Negara masih memerlukan persetujuan instansi lain dalam rangka pengawasan
8
administratif yang bersifat perventif. Persetujuan instansi lain diperlukan karena
keterkaitan instansi tersebut terhadap suatu perkara. Namun berbeda dengan halnya
apabila persetujuan tersebut bukan sebagai pengawasan administratif namun menjadi
laporan seorang Presiden yang nantinya akan memerintahkan tergugat (badan atau badan
atau pejabat tata usaha negara) untuk melaksanakan putusan tersebut. Lebih lengkap isi
dari pasal 116 Undang-Undang Nomor. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
yaitu :

1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,


dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan
setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.

8
Ayunita, Khelda, Amirudin Lanurung. 2022. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Tohar Media
h.12-14
2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90
(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut.
4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan
peraturan perundang-undangan.9

Melalui pasal 116 ayat 4 dan 5 dijelaskan upaya paksa yang dilakukan sebelum laporan
terhadap presiden dilakukan. Upaya paksa intinya adalah tindakan yang dilakukan oleh
petugas yang berwenang untuk membatasi kebebasan seorang. Upaya paksa itu berupa

9
Op.cit.
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif dan sanksi diumumkan
pada media massa cetak setempat. Ketentuan normatif tentang upaya paksa sebagaimana
diuraikan di atas, diatur dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 yaitu dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
10
administratif. Dalam ayat (5) mengatur bahwa Pejabat yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa
cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3). Berdasarkan Pasal tersebut di atas, ada 3 (tiga) upaya paksa dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yaitu perintah membayar uang paksa atau
dwangsom, sanksi administratif dan pemberitahuan di media cetak setempat atau asas
publikasi putusan yang tidak dilaksanakan.

Apabila upaya paksa yang dicantumkan dalam pasal 116 angka 4 dan 5 tidak
dipenuhi, maka langkah selanjutnya merupakan laporan kepada presiden untuk
memerintahkan tergugat segera melakukan putusan pengadilan. Pada langkah tersebut
presiden akan diberikan laporan oleh pengadilan untuk memerintahkan tergugat untuk
melaksanakan putusan pengadilan. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Presiden
memiliki kuasa untuk melakukan hal tersebut namun kuasa tersebut tidak bisa dianggap
absloute karna Presiden juga merupakan badan atau pejabat tata usaha negara. Kekuasaan
Presiden dalam legislatif serta Presiden sebagai kepala negara, menurut Undang-Undang
Dasar Pasal 4 ayat 1 menjelaskan wewenang kepada Presiden untuk mengatur proses
berjalannya pemerintahan dengan batasan yang tercantum dalam perundang-undangan.11
Ketentuan tersebut seharusnya dapat menjawab problematika yang ada namun kembali
lagi dalam bagaimana sikap Presiden dalam eksekusi Pengadilan Tinggi Usaha Negara
apakah Presiden memiliki sikap netral sebagai pejabatan tata usaha negara. Lalu
disumulasikan apabila Presiden yang menjadi tergugat, bagaimana Undang-Undang
mengaturnya? Karena status Presiden sebagai tergugat dan jika Presiden tidak memenuhi

10
Habibi, Dani, Winda Nuryani. (2020) . Problematika Penerapan Pasal 116 UU Peratun Terhadap Pelaksanaan
Putusan PTUN. Terapan Informatika Nusantara Vol 1, No 5, Oktober 2020, Hal 300-304
11
KUHPerdata
putusan pengadilan serta tidak melaksanakan upaya paksa, selanjutnya akan dilakukan
laporan Presiden oleh pengadilan yang dimana Presiden menjadi tergugat dalams
sengketa tersebut. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap penggugat
yang memperjuangkan haknya dalam pengadilan yang seharusnya mendapat jaminan
kesejahteraan.

Problematika lain juga muncul pada sanksi administrasi dan pemberitaan pada
media cetak (Pasal 116 angka 4 dan 5). Pada upaya paksa pembayaran sanksi
administratif yang tidak mendapat kejelasan bagaimana pelaksanaanya tehadap jumlah
dan dimana pembayaran tersebut bukan dilakukan oleh pribadi atau perorangan namun
dibayarkan oleh instansi tergugat karena yang digugat adalah jabatanya. Hal iu
menyebabkan kelalaian oleh badan atau pejabat tata usaha negara tergugat karena ia tidak
perlu mengganti rugi terhadap apa yang ia putuskan karena biaya pembayaran akan
dilakukan oleh instansi terkait. Celah bagi badan atau pejabat tata usaha negara, untuk
melalaikan kewajibannya untuk memenuhi putusan tersebut juga menjadi problematika
yang akan terus berlanjut. Dan selanjutnya tentang pemberitaan media cetak, hal itu juga
dinilai tidak efektif dan tidak memberikan dampak jera yang sepenuhnya karena ditinjau
melalui perkembangan jaman, media cetak menjadi berkurang peminatnya sehingga
berdampak ke pembaca yang tidak begitu banyak. Pemberitaan tersebut juga tidak
memiliki nilai sanksi yang jelas sehingga badan atau pejabat tata usaha negara mudah
untuk melalaikan sanksi ini.

Keterkaitan Problematika Tersebut dengan Teori Legal Substance dan Nilai-Nilai


yang Terkandung dalam Pancasila

Lawrence Meir Friedman, merupakan alhli sosiologi dari Stanford University, terdapat
beberapa elemen dalam sistem hukum yaitu,
1. Legal Structure (Struktur Hukum)
2. Legal Subtance (Isi Hukum)
3. Legal Culture (Budaya Hukum)
4. Legal Impact (Dampak Hukum)
Dalam teori Lawrence subtansi hukum disebut sistem subtansial yang digunakan untuk
menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Subtansi juga dapat berati
sebuah produk yang diahsilkan oleh individu yang ada dalam sistem hukum yang
melingkupi keputusan yang dikeluarkan.12 Dalam subtansi hukum juga mencakup yang
hidup (living law), tidak hanya tentang aturan yang terdapat dalam kitab Undang-Undang.
Negara yang menganut civil law sistem Eropa Kontinental dikatakan hukum merupakan
peraturan yang tertulis sedangkan peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum.
Apa yang dinyatakan oleh Friedman merupakan suatu hal penting yang harus
diperhatikan dalam pembuatan Undang-Undang yang dimana dalam pembuatan Undang-
Undang pihak pembuat dan objek hukum tersebut tidak memihak kepada pihak pembuat
Undang-Undang.

Dalam Pasal 116 angka 6 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 terdapat suatu
problematika yang berkaitan dengan pembuatan Undang-Undang tersebut lebih tepatnya
perihal laporan terhadap Presiden yang dinilai memihak kepada pejabat TUN karena
Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi juga merupakan badan atau pejabat tata
usaha negara yang berpotensi untuk bersikap tidak adil pada suatu sengketa. Dan tidak
adanya kepastian hukum dalam Undang-Undang ini juga perlu ditinjau kembali
bagaimana pembuatan dan persetujuan Undang-Undang ini. Unsur legal substance belum
ditemukan dalam perundangn-undangan ini dilihat dari aspek keadilan yang dimana
dalam aspek tersebut memperhatikan kultur hukum pada sikap manusia terhadap hukum
dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah
suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.13

Dari penjelasan tersebut, substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang
yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan,
aturan baru yang mereka susun. Pentingnya memiliki sikap yang tidak memihak terhadap
kelompok sendiri perlu menjadi perhatian karena meskipun permasalahan tersebut tidak
12
Sudjana, Sudjana.(2019). Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap Efektivitas
Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000. Jurnal Al-
Amwal Vol. 2 No. 2 (2019)
13
Yulius, N. (2019). Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakan Hukum di Indonesia/The Discourse of
State Execution Institution in Indonesian Law Enforcement. Jurnal hukum peratun, 1(1), 11-32.
berpotensi menimbulkan kerugian mutlak, namun kelalaian badan atau pejabat tata usaha
negara tidak akan diperbaiki dan aku selalu begitu. Sikap pembuatan Undang-Undang
harus mempertimbangkan kepentingan bersama dan tidak menguntungkan bagi sepihak.
Kepentingan bersama yang dimaksud adalah kesejahteraan masyarakat terutam
masyarakat atau warga negara yang merasa dirugikan dalam suatu keputusan tata usaha
negara. Maka dari itu perlunya meninjau living law dan teori legal substance yang ada
dan bagaimana suatu produk hukum tepatnya perundang-undangan tidak dipengaruhi
oleh kepentingan kelompok tertentu sehingga hukum yang dihasilkan bersifat reposif
terhadap perkembangan masyarakat.

Selanjutnya berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila dalam melangsungkan


kehidupan bernegara yang dimana dalam nilai tersebut terdapat “keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia”Pada problematika Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009
Tentang Peradilan Tata Usaha ini perlu dikaji kembali keberlakuan nilai Pancasila yang
ada apakah sudah sesuai atau belum karena pada poin kandungan nilai Pancasila ini
sangat penting adanya untuk menjamin keadilan bagi masyarakat Indonesia. Tidak
adanya kepastian hukum yang ada untuk tergugat karena ketentuan yang ada cenderung
memihak serta tidak selaras dengan fungsi dan kewajibannya.

Bagaimana Inovasi yang Seharusnya Dilakukan agar Pelaksanaan Putusan dalam


PTUN Tersebut Lebih Efektif

Dalam praktiknya, meskipun putusan pengadilan TUN telah memiliki kekuatan hukum
tetap, bukan berarti keputusannya akan dapat dilaksanakan semudah itu. Tidak semua
orang yang dikenai putusan akan mau melaksanakan putusan ini sehingga terkadang
diperlukan upaya paksa. Akan tetapi dalam pelaksanaan putusan PTUN, keberadaan
lembaga khusus tidak dimungkinkan. Hal yang memungkinkan adalah campur tangan
presiden sebagai kepala pemerintahan dalam rangka memaksa. 14 Peradilan Tata Usaha
Negara, tidak memiliki lembaga paksa yang dapat diterapkan jika tahapan eksekusi, yaitu
peneguran melalui atasan secara hierakhi sampai tingkat Presiden, pejabat TUN tetap
tidak melaksanakannya. Hingga saat ini tidak ada lembaga khusus yang Inilah satu-

14
Op.cit.
satunya Peradilan dalam sistem peradilan di Indonesia yang tidak memiliki lembaga
paksa. Untuk itu masih banyak putusan yang tidak dapat dilaksanakan. Ditambah lagi
badan atau pejabat tata usaha negara kerap tidak menaati hukum, karena biasanya
seseorang mematuhi hukum dikarenakan ia takut sanksi yang akan dikenakan apabila ia
melanggar hukum atau karena ia merasa kepentingan-kepentingannya akan terjamin
apabila ia menaati hukum, atau karena ia merasa hukum yang berlaku sesuai dengan
nilai-nilai yang berlaku dalam dirinya.15 Dalam hal ini, pihak yang kalah dalam sengketa
tentunya akan merasa bahwa kepentingannya tidak terjamin bila ia menaati putusan
pengadilan TUN, sehingga ia lebih memilih untuk tidak mematuhi putusan pengadilan
tersebut. Oleh karena itu diperlukan sebuah revisi terhadap Undang-Undang atau
peraturan pelaksana yang mengatur secara detail pelaksanaan putusan PTUN dan
akibatnya bila tidak dipatuhi sehingga di kemudian hari putusan PTUN akan dengan
mudah dapat dilaksanakan.
Maka dari itu diperlukan sebuah inovasi terhadap Undang-Undang atau peraturan
pelaksana yang mengatur secara detail pelaksanaan putusan PTUN dan akibatnya bila
tidak dipatuhi sehingga di kemudian hari putusan PTUN akan dengan mudah dapat
dilaksanakan beserta sanksi tegas terhadap badan atau pejabat tata usaha negara yang
melanggar atau tidak melaksanakan sebuah putusan. Lebih spesifik lagi inovasi terhadap
pasal 116 angka 6 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 dalam pelaksanaan putusan
pengadilan yang berkaitan dengan laporan presiden untuk memerintahkan badan atau
pejabat tata usaha negara untuk melaksanakan putusan tersebut. Salah satu inovasi itu
adalah untuk membuat lembaga khusus berlandaskan Undang-Undang untuk mengawasi
putusan pengadilan terutama pada tahap laporan presiden jika upaya paksa tidak
dilaksanakan. Lembaga khusus itu berfungsi sebagai pengawas dan memeriksa segala
tahapan dalam upaya paksa hingga laporan Presiden. Lembaga khusus tersebut juga
dirancang dengan memiliki kewenangan memberikan sanksi terhadap tergugat atau
pajabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan. Deponeering oleh jaksa juga
sangat perlu dipertimbangkan dalam suatu perkara untuk kembali memberikan peringatan

15
Kurniawan, Basuki, Sholikul Hadi. (2020) Kepatuhan Pejabat Tata Usaha Negara Menjalankan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Asas-Asas Pemerintahan Yang Baik. Ijlil: Indonesian Journal
Of Law And Islamic Law Volume 2 Nomor 1 Januari-Juni 2020.
tegas bagi badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak melaksankan putusan. Pada
tahap laporan Presiden, lembaga khusus tersebut berfungsi sebagai memeriksa apakah
perintah hingga pertimbangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sudah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tersampaikan dengan baik. Perintah tersebut
harus bersifat absolute sehingga memungkinkan tergugat yaitu badan atau pejabat tata
usaha negara mendapatkan sanksi tambahan.

IV. PENUTUP

Kesimpulan

1. Pada Pasal 116 angka 6 UU Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Presiden akan diberikan laporan oleh pengadilan ntuk memerintahkan
tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan. Sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi Presiden memiliki kuasa untuk melakukan hal tersebut namun kuasa tersebut
tidak bisa dianggap absloute karna Presiden juga merupakan badan atau pejabat tata
usaha negara. Menurut Undang-Undang Dasar Pasal 4 ayat 1 menjelaskan wewenang
kepada Presiden untuk mengatur proses berjalannya pemerintahan dengan batasan
yang tercantum dalam perundang-undangan. Ketentuan tersebut seharusnya dapat
menjawab problematika yang ada namun kembali lagi dalam sikap Presiden dalam
eksekusi Pengadilan Tinggi Usaha Negara apakah Presiden perlu dipertanyakan,
kenetralan Presiden perlu dipertimbangkan kembali. Ketika Presiden yang menjadi
tergugat tidak memenuhi putusan pengadilan serta tidak melaksanakan upaya paksa,
selanjutnya akan dilakukan laporan Presiden oleh pengadilan yang dimana Presiden
menjadi tergugat dalams sengketa tersebut. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian
hukum terhadap penggugat yang memperjuangkan haknya dalam pengadilan yang
seharusnya mendapat jaminan kesejahteraan.
2. Dalam teori Lawrence subtansi hukum disebut sistem subtansial yang digunakan
untuk menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Subtansi juga dapat
berati sebuah produk yang diahsilkan oleh individu yang ada dalam sistem hukum
yang melingkupi keputusan yang dikeluarkan. Dalam Pasal 116 angka 6 Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 terdapat suatu problematika yang berkaitan dengan
pembuatan Undang-Undang tersebut lebih tepatnya perihal laporan terhadap Presiden
yang dinilai memihak kepada pejabat TUN karena Presiden sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi juga merupakan badan atau pejabat tata usaha negara yang
berpotensi untuk bersikap tidak adil pada suatu sengketa. Maka dari itu perlunya
meninjau living law dan teori legal substance yang ada dan bagaimana suatu produk
hukum tepatnya perundang-undangan tidak dipengaruhi oleh kepentingan kelompok
tertentu sehingga hukum yang dihasilkan bersifat reposif terhadap perkembangan
masyarakat. Pasal ini juga perlu dikaji kembali keberlakuan dan sinkronisasinya
terhadap nilai Pancasila sila kedua yang ada apakah sudah sesuai atau belum karena
pada poin kandungan nilai Pancasila ini sangat penting adanya untuk menjamin
keadilan bagi masyarakat Indonesia. Tidak adanya kepastian hukum yang ada untuk
tergugat karena ketentuan yang ada cenderung memihak serta tidak selaras dengan
fungsi dan kewajibannya.
3. Salah satu inovasi dalam problematika ini adalah untuk membuat lembaga khusus
berlandaskan Undang-Undang untuk mengawasi putusan pengadilan terutama pada
tahap laporan presiden jika upaya paksa tidak dilaksanakan. Lembaga khusus itu
berfungsi sebagai pengawas dan memeriksa segala tahapan dalam upaya paksa hingga
laporan Presiden. Lembaga khusus tersebut juga dirancang dengan memiliki
kewenangan memberikan sanksi terhadap tergugat atau pajabat tata usaha negara yang
tidak melaksanakan putusan. Deponeering oleh jaksa juga sangat perlu
dipertimbangkan dalam suatu perkara untuk kembali memberikan peringatan tegas
bagi badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak melaksankan putusan. Pada tahap
laporan Presiden, lembaga khusus tersebut berfungsi sebagai memeriksa apakah
perintah hingga pertimbangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sudah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tersampaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor. 51 Tahun 2009

Buku

A’An Efendi, 2016, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 45.

Dani, Umar. 2022. Konsep Dasar dan Prinsip-Prinsip Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha
Negara. PT. Raja Grafindo Persada h. 24-27

Rezah, Farah Syah (2018). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. CV. Social Politic
Genius (h. 1–63)

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, Rajawali
Press, Jakarta, h. 118.

Ayunita, Khelda, Amirudin Lanurung. 2022. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara. Tohar Media h.12-14

Jurnal

Yulius, N. (2019). Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakan Hukum di


Indonesia/The Discourse of State Execution Institution in Indonesian Law
Enforcement. Jurnal hukum peratun, 1(1), 11-32.

Habibi, Dani, Winda Nuryani. (2020) . Problematika Penerapan Pasal 116 UU Peratun Terhadap
Pelaksanaan Putusan PTUN. Terapan Informatika Nusantara Vol 1, No 5,
Oktober 2020, Hal 300-304

Dinata, Ari Wirya. (2021).Implikasi Hukum Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Ditinjau Dari Pelaksanaan Otonomi Daerah Dan Negara Kesatuan.
Jurnal Hukum Peratun Vol. 4 No. 1 Februari 2021. hlm.1-30.

Kurniawan, Basuki, Sholikul Hadi. (2020) Kepatuhan Pejabat Tata Usaha Negara Menjalankan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Asas-Asas Pemerintahan
Yang Baik. Ijlil: Indonesian Journal Of Law And Islamic Law Volume 2 Nomor 1
Januari-Juni 2020.
Sudjana, Sudjana.(2019). Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap
Efektivitas Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000. Jurnal Al-Amwal Vol. 2 No. 2 (2019)

Anda mungkin juga menyukai