Anda di halaman 1dari 19

UJIAN AKHIR HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DOSEN PENGAMPU:

PRATAMA HERRY HERLAMBANG S.H., M.H.

SEMARANG

28 NOVEMBER 2022
PEMBERLAKUAN SANKSI ADMINISTRATIF:

ANALISIS PELAPORAN KEPADA PRESIDEN SEBAGAI LANGKAH PENEGAKAN


EKSEKUSI PUTUSAN DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Muhamad Hafiz Mufadhal


81114201313
Email: hafizmufadhal97@gmail.com
Universitas Negeri Semarang

Abstrak

Salah satu isu hukum yang sering mengemuka di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
adalah berkaitan dengan pelaksanaan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.
Eksekusi Putusan PTUN cenderung menghadapi kendala, sehingga merugikan pencari keadilan.
Penyebabnya secara in abstracto terletak pada norma pengaturan pelaksanaan putusan yang masih
belum tegas, sedangkan secara in concreto penyebabnya adalah ketidakpatuhan badan dan/atau
pejabat pemerintahan terhadap hukum. Secara substansi (legal substance), pengaturan eksekusi
upaya paksa di PTUN yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan TUN belum cukup memadai,
dan demikian juga dengan struktur hukum lembaga eksekusi di PTUN yang hanya berpedoman
pada juru sita dan pengawasan ketua PTUN, tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga
pelaksanaan eksekusi tidak dapat berjalan efektif dan efisien. Pasal 116 ayat 6 UU 51 Tahun 2009
yang menyatakan pelaporan terhadap presiden apabila ada badan/pejabat TUN yang tidak
mematuhi putusan pengadilan, nyatanya tidak berlaku secara efektif apabila presiden apabila tidak
ada tindakan yang diambil oleh presiden setelah pengajuan oleh ketua pengadilan. Sehingga perlu
adanya upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan eksekusi tersebut adalah menerapkan
upaya pidana dan perdata, serta merevisi peraturan-peraturan yang sudah ada agar dapat menjadi
tolak ukur yang jelas dan mengurangi peluang bagi badan/pejabat TUN untuk tidak melaksanakan
putusan TUN.
Kata Kunci: Eksekusi, Putusan, Substansi Hukum, Peradilan Tata Usaha Negara.

Abstract
One of the legal issues that often arises in the State Administrative Court (PTUN) environment is
related to the implementation of PTUN decisions that have permanent legal force. Execution of
PTUN Decisions tends to face obstacles, thus harming justice seekers. The cause in abstracto lies
in the norms governing the implementation of decisions that are still not firm, while in concreto
the cause is non-compliance by government agencies and/or officials with the law. In terms of
substance (legal substance), the arrangements for the execution of forced measures at the
Administrative Court which are regulated in the Administrative Court Law are not sufficient
enough, and likewise with the legal structure of the execution institution at the Administrative
Court which is only guided by the bailiff and the supervision of the chairman of the Administrative
Court, cannot run as it should, so that the execution cannot run effectively and efficiently. Article
116 paragraph 6 of Law 51 of 2009 which states that reporting to the president if there is a TUN
agency/official who does not comply with a court decision, in fact does not apply effectively to
the president if no action is taken by the president after being submitted by the head of the court.
So it is necessary to make efforts to maximize the execution by applying criminal and civil
measures, as well as revising existing regulations such so that it can become a clear benchmark
and reduce opportunities for TUN bodies/officials not to implement TUN decisions.
Keywords: Execution, Decision, Legal Substance, State Administrative Court.

PENDAHULUAN Latar Belakang


Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
dalam menyelesaikan sengketa yang timbul apabila orang atau badan hukum perdata merasa hak-
haknya dilanggar akibat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan
(pejabat tata usaha negara yang selanjutnya disebut pejabat TUN). Hal tersebut menunjukkan
bahwa PTUN hanya berwenang menyelesaikan sengketa yang ada kaitannya dengan negara serta
pelaksanaan kekuasaan publik (public power) 1 . Penyelesaian sengketa ini sebagai bentuk
pelaksanaan dari perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara entah di pusat ataupun
di daerah ketika dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Orang atau badan
hukum perdata yang mengajukan gugatan ke PTUN harus memastikan terlebih dahulu apakah
KTUN yang digugatnya sesuai dengan pasal 53 ayat (2) UndangUndang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (yang seterusnya disebut UU PTUN) yaitu ketika keputusan tersebut
berselisih dengan hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku, ada

1A’An Efendi, 2016, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 45.
maksud lain dari wewenang badan atau pejabat TUN ketika mengeluarkan keputusan tersebut, dan
tidak dipertimbangkannya kepentingan semua pihak yang terkait dengan keputusan tersebut oleh
badan atau pejabat TUN. Namun, gugatan yang telah diajukan tersebut tetap tidak dapat menunda
ataupun menghalangi keputusan tersebut, dengan kata lain keputusan tersebut tetap dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim PTUN pasti diharapkan dapat
menyelesaikan perkara dari gugatan yang diajukan tersebut. Dalam PTUN, ketika hakim
menjatuhkan putusan, maka putusan tersebut dapat berbentuk gugatan ditolak, gugatan
dikabulkan, gugatan tidak diterima, dan gugatan gugur (Pasal 97 ayat (7) UU PTUN). 2
Eksekusi terhadap putusan PTUN tersebut diatur dalam pasal 116 Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (yang selanjutnya disebut Perubahan Kedua Atas UU PTUN) yang menyatakan
bahwa ketika putusan tersebut sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka masing-masing
pihak harus melaksanakannya dan ketika tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka
putusan PTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. 3 Dengan begitu maka penggugat
harus mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar memerintahkan tergugat agar
putusan PTUN tersebut dilaksanakan. Namun, apabila tergugat tetap tidak bersedia maka pejabat
yang bersangkutan akan dikenakan upaya paksa (uang paksa/sanksi administratif) dan ketika
pejabat tersebut tetap tidak melaksanakan putusan PTUN, maka panitera akan mengumumkan pada
media massa cetak setempat dan ketua pengadilan harus mengajukan hal tersebut kepada Presiden.
Permasalahan eksekusi di PTUN ini juga sudah menjadi isu hukum yang dibahas oleh
beberapa ahli hukum dari negara lain, seperti apa yang dikemukakan oleh Simon Butt: “Indonesia’s
newly-established administrative courts have also found it difficult to persuade’ the government to
comply with some of their decisions in which government action has been declared invalid. The
administrative courts require the executive’s cooperation to enforce their orders. While the
executive has often acted upon decisions of the administrative courts it has not always complied
with them and there has been confilct between the courts and the administrative court.” (artinya :

2Busthami, D. (2017). Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di Indonesia. Masalah-Masalah
Hukum, 46(4), 220-231.

3Ekasari, L, P, H. (2019). Kekuatan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang Berkekuatan Hukum Tetap
Terhadap Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Melalui Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan.Jurnal Hukum
Prasada, 6 (1), 22-35.
Pengadilan Tata Usaha Negara yang baru didirikan di Indonesia juga mengalami kesulitan ketika
melakukan tindakan persuasif terhadap pemerintah agar mematuhi pembatalan keputusan mereka
sendiri yang telah dinyatakan tidak sesuai dengan hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara
memerlukan kerja sama dengan pihak pemerintah (eksekutif) agar mematuhi putusannya.
Meskipun pemerintah sering bertindak sesuai dengan putusan Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi
adakalanya mereka tidak mematuhi putusan tersebut, bahkan terjadi konflik antara pemerintah
dengan lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara. 4 Begitu juga dengan yang dinyatakan oleh Julian
Millie:
“The passage of time will allow evaluations to be made concerning the rate of execution
of orders of the PTUN by the executive. One interesting issue is the spate of PTUN
applications in which the plaintiffs have suffered loss in their professional lives as a result
of government action traceable to their non-professional lives as political figures.” (artinya
: Seiring berjalannya waktu, memungkinkan adanya evaluasi mengenai tingkat
pelaksanaan perintah PTUN oleh pemerintah (eksekutif). Salah satu isu yang menarik
adalah beberapa penerapan putusan PTUN di mana penggugat telah mengalami kerugian
dalam kehidupan profesional mereka sebagai akibat dari tindakan pemerintah yang tidak
profesional sebagai figur politik).5
Apabila dicermati, sifat eksekusi PTUN sangat tergantung dari kesadaran hukum badan
dan/atau pejabat pemerintahan sendiri, hal ini berbeda dengan sifat eksekusi di peradilan umum
(pengadilan negeri). Ada beberapa perbedaan dengan pelaksanaan putusan perkara perdata di
peradilan umum (pengadilan negeri), yaitu yang mengenal eksekusi riil, sedangkan di dalam PTUN
tidak dikenal pelaksanaan putusan (eksekusi) secara riil, melainkan pelaksanaan putusan yang
dilakukan secara administratif. Di sini, tergugat sendiri yang dibebani kewajiban untuk
melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). 6 Putusan
PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, pada dasarnya merupakan putusan hukum yang
bersifat hukum publik, sehingga putusan tersebut juga memiliki karakter hukum publik, yakni

4Yulius, N. (2019). Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakan Hukum di Indonesia/The Discourse of
State Execution Institution in Indonesian Law Enforcement. Jurnal hukum peratun, 1(1), 11-32.

5 Ibid.
6 Panjaitan, B. S. (2016). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.pdf (pp. 1–63).
berlaku tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa seperti halnya putusan inter partes, tetapi
juga berlaku bagi pihak-pihak di luar yang besengketa (erga omnes). Konsekuensinya, terhadap
sengketa yang mengandung persamaan, yang mungkin timbul di masa yang akan datang juga
terikat dengan putusan tersebut. Hal ini berbeda dengan putusan dalam perkara perdata, yang pada
umumnya hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa, meskipun ada juga putusan hakim
perdata yang memiliki karakter hukum publik.
Di PTUN pelaporan terhadap presiden apabila ada pejabat/badan TUN yang tidak
mematuhi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap diatur dalam pasal 116 ayat (6) Undang
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan TUN, Dengan demikian, pelaporan terhadap presiden yang merupakan salah satu
upaya paksa di pasal 116 ayat (6) Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 selain bersifat kumulatif
maupun pilihan, juga bersifat hukuman tambahan maupun accessoir. Secara normatif, penerapan
upaya paksa tersebut dalam hal ini dikhususkan terhadap pelaporan kepada presiden ditindak
lanjuti oleh PTUN dan diajukan oleh Ketua PTUN. Maksudnya, terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, Ketua PTUN berkewajiban untuk mengawasi pelaksanaan putusan
tersebut. Pengawasan ini bertujuan agar eksekusi benar-benar dijalankan oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan. 7 Namun, faktanya tetap saja banyak putusan PTUN yang telah berkekuatan
hukum tetap tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN yang bersangkutan walaupun telah ditegur oleh
Ketua PTUN sesuai kewenangan yang diberikan undang-undang.
Apabila dikaji lebih dalam lagi, permasalahan pelaksanaan isi putusan PTUN secara in abstracto
terletak pada norma yang mengaturnya, sedangkan secara in concreto penyebabnya adalah
ketidakpatuhan badan dan/atau pejabat pemerintahan terhadap hukum.8 Artinya, salah satu bentuk
kepatuhan pejabat dalam berhukum yaitu melaksanakan isi putusan badan peradilan. Permasalahan
norma hukum eksekusi di PTUN, terkait dengan substansi atau isi pengaturannya (legal substance),
dalam hal ini dengan mencermati apakah sudah sesuai dengan asas atau teori hukum yang ada,
sehingga norma hukum tersebut dapat efektif keberlakuannya. Berbeda dengan penyebab tidak
dilaksanakannya eksekusi PTUN, dapat dikarenakan struktur hukum (legal structure) yang tidak
jelas (dari segi norma), atau juga dikarenakan keengganan si badan dan/atau pejabat pemerintahan
sendiri yang tidak melaksanakan, yaitu dapat karena diri sendiri yang tidak mau melaksanakan
(self respect) atau situasi-kondisi di luar dirinya yang mungkin karena adanya intervensi atau isi

7 Ibid.
putusan atau bahkan perubahan peraturan yang menjadikan putusan tidak dapat dilaksanakan (dari
segi sosial atau budaya hukum). Ide diberlakukannya pelaporan kepada presiden sebagai sanksi
terhadap badan dan/atau pejabat pemerintahan yang tidak bersedia melaksanakan putusan PTUN
yang telah berkekuatan hukum tetap, adalah dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan putusan
PTUN.9 Dengan kata lain, pengenaan upaya paksa merupakan upaya untuk memaksa badan
dan/atau pejabat pemerintahan agar mematuhi putusan.
Meskipun sudah terdapat pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN, muncul implikasi
hukum yang menyebabkan efektifitas penyelesaian sengketa tata usaha negara di Indonesia masih
belum maksimal. Sehingga, bukannya menemukan keadilan, eksekusi putusan tersebut terkadang
menimbulkan persoalan baru. Kondisi inilah yang memunculkan rumusan masalah berupa
bagaimana hambatan dan ketidak-evektifan pelaporan terhadap presiden sebagai upaya paksa
dalam peradilan tata usaha negara dan apa upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan
ekskusi putusan dalam peradilan tata usaha negara.

8 Remidium, P., Tata, S., & Negara, U. (2018). PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA Pulung
Hudoprakoso Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang , Indonesia A . PENDAHULUAN Salah satu ciri-ciri
negara hukum modern adalah dengan menyematkan konsep rechstaat dalam menjalankan sistem pemerintahannya .
Sis.

9 Simanjuntak, E. (2018). Hukum acara peradilan tata usaha negara : transformasi & refleksi / Enrico Simanjuntak,

S.H., M.H.
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=ydYrEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR1&dq=modernisasi+peradilan+
tata+usaha+negara&ots=eT0xeoF_kW&sig=3lEpRMaV-
VUC21Vdh7XlTCyf0OI&redir_esc=y#v=onepage&q=modernisasi peradilan tata usaha negara&f=false

PEMBAHASAN Hambatan dan Ketidak-efektifan Pelaporan terhadap Presiden sebagai


Upaya Paksa dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan administrasi, dalam UndangUndang PTUN
mekanisme pelaksanaan putusan juga telah diubah selama tiga kali yaitu dalam Pasal 116
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dan dirubah lagi yang kedua kalinya menjadi Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Mengingat kendala yang dialami di Indonesia bahwa
putusan pengadilan seringkali tidak dipatuhi pemerintah. Meskipun putusan pengadilan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan
yang dibubuhi catatan panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu 14 (empat belas) hari, dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Apabila putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan (Pasal 97 ayat 7
huruf b Undang-Undang Peradilan TUN), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:
1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan (Pasal 97 ayat 8 huruf a)
2. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan
yang baru (Pasal 97 ayat 9 huruf b)
3. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 (Pasal
97 ayat 9 huruf b)
4. Membayar ganti rugi (Pasal 97 ayat 910 jo Pasal 120) 5. Melakukan rehabilitasi (Pasal 97
ayat 11 jo Pasal 121)8
Jika dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan
pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Manakala tergugat ditetapkan
harus melaksanakan kewajbannya yang berupa:
1. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan
yang baru
2. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang sebelumnya tidak ada (gugatan atas dasar
Pasal 3).
Setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka
tindakan yang dapat dilakukan oleh penggugat ialah mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat pertama), agar Pengadilan memerintahkan tergugat
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. 9

8 Pattipawae, D. R. (2019). Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Era Otonomi. Sasi, 25(1),
92-106.
9 Maharani, I. A. R. D., & Landra, P. T. C. (2019). IMPLIKASI HUKUM PENGATURAN EKSEKUSI PUTUSAN

PTUN DALAM UU PTUN TERHADAP EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA


NEGARA. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum, 9(1), 1-16.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 (sebelum revisi) jika tergugat masih tetap tidak
mau melaksanakan kewajiban tersebut, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi
atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan yang bersangkutan dalam 2 (dua) bulan setelah
menerima pemberitahuan dan Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat (tergugat)
tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Dalam hal instansi atasan tersebut tidak
mengindahkan ketentuan tersebut di atas, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan Pengadilan itu. Setelah dilakukan revisi melalui Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 terjadi perubahan pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal 116 ayat (4) UndangUndang
Nomor 9 Tahun 2004 menyatakan jika tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Di samping
itu, selain yang diatur dalam Pasal 116 ayat (4), pada ayat (5) revisi dinyatakan bahwa terhadap
pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak
setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
Berdasarkan ketentuan Pasal 116 tersebut diatas, maka menurut Paulus Effendie Lotulung,
sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang kita kenal di Peradilan Tata Usaha Negara:
1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN yang bersangkutan.
2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu :
b. pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru; atau
c. penerbitan KTUN dalam gugatan didasarkan Pasal 3 10
Selanjutnya Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka
diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai

10Suhariyanto, B. (2019). Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court untuk Efektivitas Pelaksanaan Putusan Peradilan
Tata Usaha Negara. Jurnal Konstitusi, 16(1), 192-211.
kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakantindakan ataupun upayaupaya
lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab KTUN itu dengan
sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi
otomatis. Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan
Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat perintah dari ketua
pengadilan yang ditujukan kepada pejabat TUN yang bersngkutan untuk melaksanakan eksekusi
putusan pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini
kepada instansi atasan pejabat TUN tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan
sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan
pejabat TUN tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Cara eksekusi seperti ini disebut
dengan eksekusi hierarkis. 11 Namun pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada asas self
respect dan kesadaran hukum dari pejabat TUN terhadap isi putusan hakim untuk
melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan
dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat TUN yang bersangkutan.
Dalam kenyataannya, meskipun putusan pengadilan TUN telah memiliki kekuatan hukum
tetap, bukan berarti keputusannya akan dapat dilaksanakan semudah itu. Tidak semua orang yang
dikenai putusan akan mau melaksanakan putusan ini sehingga kadangkadang diperlukan upaya
paksa, dalam hal ini aparat keamanan. Akan tetapi dalam pelaksanaan putusan PTUN, keberadaan
aparat keamanan tidak dimungkinkan. Yang memungkinkan adalah campur tangan presiden
sebagai kepala pemerintahan dalam rangka memaksa namun hal ini masih mengundang tanda
tanya besar karena secara konsep presiden yang juga merupakan pejabat TUN tentunya akan sulit
jika harus melakukan pemaksaan yang merugikan ke sesama pejabat TUN itu sendiri, itulah yang
menyebabkan kekuatan hukum eksekusi putusan dalam peradilan tata usaha negara sangat lemah
karena lemahnya kesadaran dari pejabat TUN yang bersangkutan, hal ini tidak sejalan dengan
unsur substansi hukum dalam sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence Freedman, yang
mana Subtansi hukum bisa dakatakan sebagai norma, aturan, dan perilaku nyata manusia yang
berada pada sestem itu, di dalam subtansi hukum ada istilah “ produk” yaitu suatu keputusan yang
baru di susun dan baru di buat yang mana di sini di tekankan pada suatu hukum akan di buat jika
melalui peristiwa terlebih dahulu. 12 Seperti tertulis pada KUHP pasal 1 di tentukan “tidak ada suatu

11 Ibid.
12 Anwar, U., Nurrokmah, L. E., Bagenda, C., Riyanti, R., Ningrum, P. A. P., Heriyanti, Y., & Silviana, A.
perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”, system ini sangat
mempengaruhi system hukum di Indonesia. Peluang besar bagi seorang pelanggar hukum untuk
lari dari sebuah sanksi dari tindakan yang menyalahi hukum itu sendiri. Sudah banyak kasus yang
terjadi di Indonesia, yang di sebabkan lemahnya system yang sehingga para pelanggar hukum itu
seolah meremehkan hukum yang ada. Subtansi hukum juga mencakup hukum yang hidup (living
law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Padahal penerapan
substansi hukum yang baik otomatis mewujudkan nilai nilai pancasila terutama sila ke lima yaitu
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dimana pejabat TUN yang mempunyai jabatan setinggi
apapun harus tunduk pada sistem hukum yang berlaku.
Pelaporan terhadap presiden sebagai upaya paksa terakhir yang tercantum di pasal 116 ayat
6 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 seharusnya tidak perlu terjadi apabila pelaksanaan
eksekusi putusan dalam peradilan tata usaha negara tidak mengalami hambatan. Namun pada
kenyataannya hambatan dalam pelaksanaan eksekusi putusan tersebut sangat banyak misalnya
tidak adanya lembaga eksekutorial khusus atau lembaga sanksi yang berfungsi untuk
melaksanakan putusan. Padahal dalam Peradilan Umum memiliki lembaga paksa, yakni eksekusi
riil oleh Kepaniteraan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan untuk perkara perdata (Pasal 195 s/d
Pasal 208 HIR dan Pasal 1033 Rv), dan ada jaksa sebagai eksekutor putusan Pidana (Pasal 270
KUHAP). Di peradilan Militer adalah Oditur Militer yang berkewajiban untuk mengeksekusi
putusan Hakim Militer. 13 Sementara itu dengan Peratun, lembaga paksa apa yang dapat diterapkan
apabila seluruh tahapan eksekusi, yaitu peneguran melalui atasan secara hierakhi sampai tingkat
Presiden, Pejabat TUN tetap tidak melaksanakannya? Sampai saat ini tidak ada. Inilah satusatunya
Peradilan dalam sistem peradilan di Indonesia (dari ke-empat lingkungan), yang tidak memiliki
lembaga paksa. Untuk itu tidak heran banyak putusan yang tidak dilaksanakan.
Kemudian Rendahnya tingkat kesadaran pejabat TUN dalam menaati putusan pengadilan
TUN. Pejabat TUN seringkali tidak menaati hukum, karena biasanya seseorang mematuhi hukum
dikarenakan ia takut sanksi yang akan dikenakan apabila ia melanggar hukum atau karena ia
merasa kepentingan-kepentingannya akan terjamin apabila ia menaati hukum, atau karena ia

(2022). Pengantar Ilmu Hukum. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.


13 Habibi, D., & Nuryani, W. (2020). Problematika Penerapan Pasal 116 UU Peratun Terhadap Pelaksanaan Putusan

PTUN. TIN: Terapan Informatika Nusantara, 1(5), 300-304.


merasa hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam dirinya. 1415 Dalam hal
ini, pihak yang kalah dalam sengketa tentunya akan merasa bahwa kepentingannya tidak terjamin
bila ia menaati putusan pengadilan TUN, sehingga ia lebih memilih untuk tidak mematuhi putusan
pengadilan tersebut. Tidak adanya sanksi juga membuat pejabat TUN tidak merasa takut apabila
ia tidak menjalankan putusan pengadilan itu. Adanya kepentingan/interest pribadi pejabat
eksistensi keputusan TUN yang diterbitkannya dan lemahnya tingkat kesadaran hukum Badan atau
Pejabat TUN adalah sangat besar pengaruhnya terhadap dipatuhi atau tidaknya putusan Hakim
Peratun, karena secara normatif eksekusi putusan Hakim Peratun lebih menyandarkan pada
kerelaan Pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakannya (floating execution). Dengan hanya
menyandarkan pada kerelaan, tentu banyak pejabat yang tidak rela bila harus memenuhi putusan,
sehingga memilih untuk tidak mematuhi putusan.
Terakhir tidak adanya pengaturan yang lebih tegas mengenai pelaksanaan putusan PTUN
karena mengenai ketentuan mengenai eksekusi putusan PTUN telah dimuat dalam pasal 116
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo
UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa pengadilan dapat meminta
atasan pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan atau bahkan presiden untuk ‘memaksa’
tergugat melaksanakan putusan pengadilan. Hal ini tentu saja tidak dibolehkan terjadi sering-sering
karena apabila presiden terlalu sering campur tangan dalam urusan pemaksaan pelaksanaan
putusan PTUN maka dikhawatirkan presiden akan kehilangan wibawa sebagai kepala
Pemerintahan. Oleh karena itu diperlukan sebuah revisi terhadap Undang-Undang atau peraturan
pelaksana yang mengatur secara detail pelaksanaan putusan PTUN dan akibatnya bila tidak
dipatuhi sehingga di kemudian hari putusan PTUN akan dengan mudah dapat dilaksanakan.

Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Memaksimalkan Eksekusi Putusan dalam Peradilan
Tata Usaha Negara.
Dalam pengaturan eksekusi putusan TUN (pasal 116 Perubahan Kedua Atas UU PTUN) telah
dijabarkan bahwa ketika badan atau pejabat TUN tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan
putusan PTUN maka pihak penggugat harus mengajukan kembali permohonan kepada hakim
PTUN untuk memberikan perintah melalui instansi atasan pejabat TUN tersebut agar pejabat TUN

14 Mulyana, M., & Kusumaatmaja, A. C. (2022). EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP. Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL), 3(1),
15 -61.
melaksanakan putusan yang telah ditetapkan. Namun apabila tetap tidak dieksekusi maka akan
dikenakan upaya paksa dan ketika putusan tersebut tetap tidak dieksekusi, maka panitera akan
mengumumkan pada media massa setempat dan ketua pengadilan menyampaikan kepada presiden
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memberikan perintah agar pejabat TUN terkait
mengeksekusi putusan tersebut. Pasal 116 UU PTUN yang awalnya pelaksanakan perintah
berdasarkan hierarki jabatan suatu instansi, pada pasal 116 Perubahan Kedua Atas UU PTUN
menjadi pemberian sanksi berupa pemberian sanksi administrasi, pembayaran uang paksa, dan
publikasi dalam media cetak ketika pejabat TUN tidak mau melaksanakan putusan tersebut. Sebab,
disamping adanya perintah dan larangan, dalam normativisasi hukum harus juga memuat sanksi
sebagai sarana yang paling kuat dalam menjaga kewibawaan hukum sehingga setiap orang patuh
pada hukum. Perubahan tersebut membawa harapan agar para pejabat TUN mau secara sukarela
menjalankan kewajiban sesuai dengan putusan PTUN yang dihasilkan sehingga perlindungan
hukum terhadap rakyat dapat berjalan sesuai dengan nilai nilai pancasila dan tujuan negara
Indonesia. Dalam rangka pengembangan hukum nasional, tujuan pembentukan dan kedudukan
suatu peradilan tata usaha negara dalam suatu negara, terkait dengan falsafah yang dianutnya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, oleh karenanya hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi disamping juga hak
masyarakatnya. 16 Kepentingan perseorangan adalah seimbang dengan kepentingan masyarakat
atau kepentingan umum. Dengan demikian, secara filosofis adanya peradilan tata usaha negara
adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak
masyarakat, sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau umum. Salah satu wujud perlindungan hukum
dimaksud, yaitu dengan dilaksanakannya setiap putusan peradilan tata usaha negara yang telah
berkekuatan tetap. Terutama, ketika pihak tergugat (badan dan/atau pejabat pemerintahan) yang
kalah diwajibkan untuk melaksanakan isi putusan peradilan tata usaha negara tersebut. Akan tetapi
dalam prakteknya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, beberapa putusan peradilan tata
usaha negara tidak dapat dieksekusi, banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satu
permasalahan tidak dilaksanakannya eksekusi peradilan tata usaha negara adalah perbedaan cara
pandang terhadap teori pembagian kekuasaan.

16Santika, I. G. N., Sedana, G., Sila, M., Santika, I. W. E., Sujana, I. G., Yanti, A. I. E. K., ... & Sutrisna, G.
(2021). Aktualisasi Pancasila Dalam Berbagai Dimensi Kehidupan. Penerbit Lakeisha.
Meskipun sudah kearah yang lebih baik, perubahan terhadap pasal 116 Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 ini belum memberikan perlindungan hukum serta memenuhi kepentingan dari
penggugat dalam pelaksanaan putusan PTUN. Sanksi yang diberikan kepada pejabat TUN yang
tidak mau melaksanakan putusan seharusnya dianggap sebagai hukuman tambahan dan tidak
sebagai pengganti atas putusan yang tidak mau dilaksanakannya. Ketika sanksi tersebut dianggap
sebagai pengganti putusan PTUN maka penggugat akan merasa dirugikan sebab kepentingannya
tetap tidak terpenuhi. Selain itu, apabila perilaku pejabat TUN yang tidak mau dengan sukarela
melaksanakan kewajiban yang sudah tercantum dalam putusan hingga sampai melibatkan presiden
ini sering terjadi, maka secara tidak langsung sedikit tidaknya akan mengurangi kewibawaan dari
seorang presiden yang tidak hanya sebagai kepala pemerintahan tetapi juga menjabat sebagai
kepala negara dan mandataris MPR. Ketika penggugat mengajukan gugatan maka hal yang sudah
pasti menjadi keinginan penggugat adalah dikabulkannya tuntutan pokok seperti tuntutan agar
putusan PTUN yang dikeluarkan oleh tergugat menjadi tidak sah ataupun tuntutan agar putusan
PTUN yang dimohonkan penggugat dapat dikabulkan oleh tergugat. Tetapi, ketika eksekusi
tersebut tidak efektif terhadap penyelesaian sengketa para pihak maka percuma saja. Untuk
memaksimalkan efektifitas dari pengaturan mengenai eksekusi putusan PTUN tersebut, upaya
yang dilakukan dapat berupa upaya pidana dan upaya perdata.
Upaya pidana yaitu pihak penggugat dapat melaporkan badan/pejabat TUN dengan menggunakan
dasar hukum pasal 216 KUHP yang menyatakan bahwa diancam dengan pidana penjara paling
lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah bagi siapapun
yang dengan sengaja tidak melaksanakan perintah atau permintaan yang dilakukan menurut
undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan
tugasnya dan seterusnya. Paling tidak, dengan upaya pidana ini, badan/pejabat TUN tersebut akan
jera sehingga dapat menghormati dan menghargai putusan PTUN serta melaksanakannya.
Sedangkan upaya perdata yang bisa dilakukan yaitu penggugat dapat mengajukan gugatan dengan
menggunakan dasar hukum pasal 1365 KUHPer yang menyatakan bahwa orang yang
menimbulkan kerugian karena kesalahannya wajib untuk menggantikan kerugian dari setiap
perbuatannya yang melanggar hukum serta menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dengan begitu
maka penggugat yang merasa dirugikan akibat badan/pejabat TUN yang tidak melaksanakan
putusan PTUN dapat memperoleh haknya serta dapat menguji apakah benar pejabat tersebut telah
melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
PENUTUP Kesimpulan
Dari aspek substansi hukum, pengaturan eksekusi upaya paksa di PTUN yang diatur dalam
Undang-Undang Peradilan TUN belum cukup memadai, sehingga pelaksanaan eksekusinya tidak
dapat berjalan efektif dan efisien. Tingkat keberhasilan pelaksanaan eksekusi relatif sangat rendah,
masih terdapat putusan tidak dilaksanakan. Faktor-faktor yang menjadi hambatan terhadap
pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat diantara lain yaitu kurangnya kesadaran pejabat negara sebagai tergugat dalam
mematuhi hukum atau mematuhi putusan hakim agar tercipta keadilan dan keharmonisan hukum
dan kurangnya ketegasan dalam pelaksanaan sanksi hukum dari Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat yang berupa terlaksananya kewajiban
dan hak-hak rakyat sebagai penggugat atau tergugat.
Ketentuan pasal 116 Undang-Undang Peradilan TUN pada saat ini tidak didukung oleh
perangkat norma hukum lainya yang mengatur mengenai eksekusi, khususnya upaya paksa.
Pelaporan terhadap presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pun bisa dibilang tidak efektif
karena presiden yang juga merupakan pejabat TUN sama dengan Subjek sengketa dari peradilan
tata usaha negara yaiut badan atau pejabat TUN dan juga apabila perilaku pejabat TUN yang tidak
mau dengan sukarela melaksanakan kewajiban yang sudah tercantum dalam putusan hingga
sampai melibatkan presiden ini sering terjadi, maka secara tidak langsung sedikit tidaknya akan
mengurangi kewibawaan dari seorang presiden yang tidak hanya sebagai kepala pemerintahan
tetapi juga menjabat sebagai kepala negara dan mandataris MPR.
Konsep upaya paksa pada PTUN di masa yang akan datang tetap harus berpedoman pada sistem
hukum yang ada, khususnya substansi dan struktur hukum. Penguatan substansi dan struktur
hukum di sini dalam rangka pengembangan hukum nasional. Faktor-faktor hambatan dalam
eksekusi upaya paksa di PTUN (baik dari segi substansi dan struktur hukumnya), dapat diatasi
dengan adanya keterlibatan dari upaya pidana berupa pengajuan laporan yang menggunakan dasar
hukum pasal 216 KUHP sehingga kedepannya akan memberikan efek jera kepada badan/pejabat
TUN tersebut untuk menghargai, menghormati, dan melaksanakan putusan PTUN; upaya perdata
berupa pengajuan gugatan yang menggunakan dasar hukum pasal 1365 KUHPer sehingga
penggugat yang merasa dirugikan akibat 14 badan/pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan
PTUN dapat memperoleh haknya serta dapat menguji apakah benar pejabat tersebut telah
melakukan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
Saran
Pengadilan Tata Usaha Negara (ketua pengadilan) perlu mengambil proaktif dalam
mengawasai pelaksanaan suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap lalu para
pihak, khususnya penggugat dinilai perlu memberikan informasi apakah suatu putusan Pengadilan
TUN yang telah berkekuatan hukum telah dilaksanakan oleh pejabat atau badan TUN yang
bersangkutan, namun diluar itu semua tetap badan/pejabat TUN diharuskan untuk mentaati dan
mematuhi secara sukarela dan ikhlas tanpa upaya paksa untuk melaksanakan putusan PTUN yang
sudah berkekuatan hukum tetap, sebab jabatan tersebut merupakan cerminan dan amanah yang
harus dipertanggung jawabkan secara hukum dan moral
Pemerintah khususnya pihak dan lembaga yang berwenang, untuk memaksimalkan
efektifitas eksekusi putusan PTUN dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, penulis
menyarankan untuk merevisi peraturanperaturan yang sudah ada, baik yang mengatur mengenai
mekanisme eksekusi tersebut maupun yang mengatur upaya paksa dari eksekusi tersebut sehingga
mempunyai tolak ukur yang jelas sehingga badan/pejabat TUN tidak mempunyai kesempatan
untuk tidak melaksanakan eksekusi dari putusan PTUN tersebut dan pembentuk undang-undang
perlu melakukan revisi terbatas terhadap UU PTUN khususnya yang berkenaan dengan ketentuan
upaya paksa yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga ketentuan upaya paksa terhadap putusan
Pengadilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan secara efektif.

DAFTAR PUSTAKA
A’An Efendi, 2016, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Peradilan Tata Usaha Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 45.

Abibi, D., & Nuryani, W. (2020). Problematika Penerapan Pasal 116 UU Peratun Terhadap
Pelaksanaan Putusan PTUN. TIN: Terapan Informatika Nusantara, 1(5), 300-304.

Anwar, U., Nurrokmah, L. E., Bagenda, C., Riyanti, R., Ningrum, P. A. P., Heriyanti, Y., &
Silviana, A. (2022). Pengantar Ilmu Hukum. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini

Busthami, D. (2017). Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di Indonesia.


Masalah-Masalah Hukum, 46(4), 220-231.

Ekasari, L, P, H. (2019). Kekuatan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang Berkekuatan
Hukum Tetap Terhadap Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Melalui Kewenangan
Kepala Kantor Pertanahan.Jurnal Hukum Prasada, 6 (1), 22-35.

Maharani, I. A. R. D., & Landra, P. T. C. (2019). IMPLIKASI HUKUM PENGATURAN


EKSEKUSI PUTUSAN PTUN DALAM UU PTUN TERHADAP EFEKTIFITAS
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA. Kertha Wicara: Journal Ilmu

Hukum, 9(1), 1-16.

Mulyana, M., & Kusumaatmaja, A. C. (2022). EKSEKUSI PUTUSAN PERADILAN TATA


USAHA NEGARA YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM
TETAP. Pakuan Justice Journal of Law (PAJOUL), 3(1), 46-61.

Panjaitan, B. S. (2016). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.pdf (pp. 1–63).

Pattipawae, D. R. (2019). Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Era
Otonomi. Sasi, 25(1), 92-106.

Remidium, P., Tata, S., & Negara, U. (2018). PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA
NEGARA Pulung Hudoprakoso Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang , Indonesia A .
PENDAHULUAN Salah satu ciri-ciri negara hukum modern adalah dengan menyematkan
konsep rechstaat dalam menjalankan sistem pemerintahannya . Sis.

Santika, I. G. N., Sedana, G., Sila, M., Santika, I. W. E., Sujana, I. G., Yanti, A. I. E. K., ... &
Sutrisna, G. (2021). Aktualisasi Pancasila Dalam Berbagai Dimensi Kehidupan. Penerbit
Lakeisha.
Simanjuntak, E. (2018). Hukum acara peradilan tata usaha negara : transformasi & refleksi /
Enrico Simanjuntak, S.H., M.H.
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=ydYrEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR1&d
q=modernisasi+peradilan+tata+usaha+negara&ots=eT0xeoF_kW&sig=3lEpRMaVVUC
21Vdh7XlTCyf0OI&redir_esc=y#v=onepage&q=modernisasi peradilan tata usaha
negara&f=false

Suhariyanto, B. (2019). Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court untuk Efektivitas Pelaksanaan


Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal Konstitusi, 16(1), 192-211.

Yulius, N. (2019). Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakan Hukum di


Indonesia/The Discourse of State Execution Institution in Indonesian Law Enforcement.
Jurnal hukum peratun, 1(1), 11-32.

Anda mungkin juga menyukai