Anda di halaman 1dari 11

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

Disusun oleh
Claribel Sefira 8111421749

Untuk memenuhi nilai ujian akhir semester mata kuliah Hukum Acara Tata Usaha Negara yang
diampu oleh Pratama Herry Herlambang, S.H., M.H.,

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
PERANAN MEDIA MASSA DALAM MENINGKATKAN KEPATUHAN
PELAKSANAAN PUTUSAN TERHADAP PEJABAT TATA USAHA NEGARA
Claribel Sefira
claribelsefira@students.unnes.ac.id

PENDAHULUAN
Sebagai negara hukum, Indonesia mewajibkan segala tindakannya berlandaskan hukum
dengan tujuan untuk menegakkan ketertiban. Setiap tindakan pemerintah harus mempunyai dasar
hukum atau kewenangan berdasarkan suatu aturan hukum. Setiap tindakan pemerintah perlu
berlandaskan pada undang-undang (asas legalitas). Tanpa hal ini, pegawai negeri tidak
mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengubah keadaan hukum warga negaranya.
Oleh karena itu, pihak berwenang harus membatasi kekuasaannya dan tidak bertindak sewenang-
wenang terhadap masyarakat.
Menurut Friedrich Julius Stahl, kehadiran peradilan administratif untuk menyelesaikan
perselisihan merupakan komponen penting dalam supremasi hukum, yang juga mencakup
pemecahan serta pembagian kekuasaan bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. pengadilan administratif untuk
mengendalikan tindakan sewenang-wenang negara. Oleh karena itu, menurut Prajudi
Atmosudirdjo, tujuan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah membela warga negara
yang hak hukumnya sering dilanggar atau dibatasi karena semakin maraknya campur tangan
penguasa dalam kehidupan pribadinya. Masyarakat dapat mengajukan gugatan terhadap
pemerintah melalui PTUN, dan PTUN akan mengambil tindakan perbaikan.
Dalam menjalankan fungsi yudisial, Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga
pengawas administratif dan juga salah lembaga yang memberikan perlindungan hukum secara
yuridis. Akibatnya, PTUN mengontrol perlindungan hukum warga negara dan memberikan alas
bagi badan peradilan untuk mengevaluasi tindakan badan eksekutif. Sebagai sarana pembelaan
hak-hak warga negara, PTUN melakukan pengawasan atas tindakan pemerintah. Hal ini
dilakukan sesuai dengan Pasal 53 UU Peratun agar tercipatanya tata pemerintahan yang baik.
(good government). Sebagai sarana pembelaan hak-hak warga negara, Pengadilan Tata Usaha
Negara melakukan kontrol terhadap tindakan pemerintah. Hal ini dilakukan sesuai dengan Pasal
53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 9/2004), yang bermaksud untuk
memanifestasikan tata kelola pemerintahan yang baik.
Penerapan suatu putusan pengadilan oleh salah satu pihak saja, atau dengan bantuan
pihak ketiga, disebut dengan eksekusi putusan. Di dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 116 mencantumkan mengenai eksekusi. Bahwa
eksekusi hanya terbatas pada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
khususnya dalam hukum acara peradilan tata usaha negara. Namun pada kenyataannya banyak
putusan PTUN yang tidak dijalankan dan ditegakkan oleh pejabat TUN sehingga menggerogoti
wibawa Peradilan TUN.
Perbuatan maladministrasi atau pelanggaran terhadap larangan bertindak sewenang-
wenang dalam UU Administrasi Pemerintahan (Pasal 17 ayat 2 huruf c) dapat diterapkan pada
kesengajaan pejabat TUN dalam tidak melaksanakan keputusan TUN. Memperketat persyaratan
bagi pejabat yang dapat menduduki jabatan strategis merupakan salah satu cara untuk
mengurangi kemungkinan aparat penegak hukum bertindak sewenang-wenang dan tidak
melaksanakan keputusan TUN. Cara lainnya adalah dengan memasukkan penegakan hukum di
PTUN sebagai bagian dari prosedur sebelum melanjutkan ke tahap adopsi. Keputusan ketiga dan
terakhir memberikan hukuman berat bagi mereka yang tidak mematuhinya. Langkah selanjutnya
adalah mempublikasikan di media massa nama-nama pejabat yang bertindak sewenang-wenang
karena tidak menjalankan putusan TUN. Apabila dilaksanakan dengan cekatan dan bijak, hal ini
dapat menjadi langkah pengendalian publik yang berguna karena akan membuat pejabat tersebut
terlihat buruk karena diberitakan di media massa.

PEMBAHASAN
Amanat konstitusi menyebut bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan
Pancasila, Indonesia didirikan pada tahun 1945 dengan tujuan mewujudkan negara yang
sejahtera, aman, damai, dan tertib. UUD 1945 menjamin persamaan warga negara di hadapan
hukum dan menjunjung tinggi hubungan yang seimbang dan serasi antara aparatur negara dalam
pemerintahan dan masyarakat.
Secara normatif, di dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan bahwa badan
atau pejabat TUN merupakan mereka yang menjalankan fungsi pemerintahan baik di lingkungan
pemerintahan ataupun bagi penyelenggara negara lainnya. Peradilan TUN berupaya untuk
menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dalam sistem hukum negara serta membela
masyarakat terhadap perbuatan pemerintah yang dipandang melanggar hak-hak mereka. Untuk
melindungi masyarakat, terkhusus dalam interaksi antara badan atau pejabat TUN dan
masyarakat, maka putusan peradilan TUN diharapkan dapat menjaga ketertiban, kebenaran,
keadilan, dan kepastian hukum. Segala putusan Pengadilan TUN yang mempunyai kedudukan
hukum tetap harus ditaati secara konsisten.
Berdasarkan laporan temuan kajian sistem penanganan perkara di pengadilan tingkat
pertama tahun 2020 yang dihasilkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkoordinasi
dengan Badan Pengawas (Bawas) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),
dinyatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan keputusan TUN masih sangat rendah. Rata-rata
hanya 34,92% dari total permintaan eksekusi yang diselesaikan oleh eksekusi PTUN. Data ini
menggambarkan betapa sedikitnya pengetahuan pejabat dalam memenuhi tanggung jawabnya.
Agar norma hukum dapat ditegakkan secara efektif, Pengadilan Tata Usaha Negara harus
memperhatikan permasalahan norma hukum eksekusi. Persoalan ini berkaitan dengan isi atau
substansi peraturan (legal substance), dalam hal ini dengan menentukan konsisten atau tidaknya
dengan teori atau asas hukum yang diterima. Dalam hal ini, karakteristik sistem hukum kolonial
masih berdampak pada Indonesia, begitu pula dengan positivisme hukum yang mensakralkan
peraturan perundang-undangan menjadi sistem hitam-putih yang mengabaikan moralitas dan
memandang hukum sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai. Akibatnya, keadilan pada
akhirnya dibatasi oleh hukum pada tingkat prosedural dan bukan substantif.
Hal ini berbeda dengan alasan tidak dilaksanakannya eksekusi PTUN, yaitu karena belum
jelasnya struktur hukum (legal structure), atau karena instansi dan/atau pejabat pemerintah
sendiri enggan melaksanakannya karena memang demikian. tidak ingin melaksanakannya (self
respect), atau karena keadaan di luar kendali mereka, seperti intervensi, isi keputusan, atau justru
perubahan peraturan yang membuat keputusan tersebut tidak bisa dilakukan (dari sudut pandang
sosial atau budaya hukum). Parahnya lagi, ada kalanya putusan PTUN justru menempatkan
Penggugat pada situasi yang lebih buruk (reformatio in peius).
Secara abstrak, norma yang mengatur pelaksanaan putusan PTUN menimbulkan
permasalahan; secara konkrit penyebabnya adalah ketidakpedulian badan dan/atau pejabat
pemerintah terhadap hukum. Hal ini menunjukkan bahwa melaksanakan putusan badan
pengadilan merupakan salah satu jenis kepatuhan hukum resmi. Banyak keputusan PTUN yang
tidak dapat dilaksanakan secara efektif akibat permasalahan ini. Teori eksekusi mengambang
merupakan salah satu kemungkinan pengaruh teoritis terhadap ketidakmampuan melakukan
eksekusi tersebut. Di antara yang menggunakan teori tersebut adalah UU PTUN. Oleh karena itu,
tampaknya pelaksanaan PTUN kurang ketat, dan lembaga dan/atau pejabat pemerintah sendiri
kurang memiliki rasa harga diri dan kesadaran yang diperlukan untuk melaksanakan keputusan
yang diambil dalam PTUN.
Dalam perkembangan UU Peradilan TUN, fixed execution berupa upaya paksa juga
diterapkan untuk mengatasi permasalahan teori eksekusi mengambang. Nilai-nilai hukum dan
keadilan, khususnya bagi para pencari keadilan, dapat terdampak jika lembaga dan/atau pejabat
pemerintah yang berwenang memilih untuk tidak menjalankan putusan PTUN. Pasal 116 ayat 4
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan, pejabat TUN akan dikenakan tindakan
paksaan, termasuk uang paksa dan/atau sanksi administratif, apabila tidak menjalankan
keputusan tersebut. Namun pemberitaan di media massa dapat dilakukan jika terdakwa tetap
menolak membayar denda administratif. Penerapan upaya paksa ini pada hakikatnya merupakan
upaya untuk memperbaiki persepsi kelemahan lembaga peradilan dalam memberikan desakan
kepada pejabat atau instansi pemerintah untuk menjalankan putusan PTUN.
Sesuai UU PTUN Pasal 116 Ayat 5, pejabat yang tidak menjalankan putusan Pengadilan
diumumkan secara terbuka oleh panitera di media cetak lokal karena saat tidak terlaksanakannya
batas waktu 90 hari. Penggugat meminta agar tergugat melaksanakan putusan ketua pengadilan
setelah lewat waktu yang ditentukan. Pasal 116 ayat (6) UU PTUN lebih menegaskan bahwa
ketua pengadilan melaporkan ketidakpatuhan tersebut kepada Presiden yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, dan kepada DPR yang bertugas mengawasi pengadilan.
Kata-kata ini menunjukkan dengan jelas bahwa Presiden mempunyai kekuasaan untuk memaksa
perwakilan TUN untuk melaksanakan keputusan. Dari sini jelas bahwa pengumuman di media
massa adalah pilihan hukum terakhir pengadilan untuk memaksa pejabat TUN mematuhi
putusannya yang memuat kewajiban sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Pasal 97 Ayat 9 Huruf b dan c.
Media massa dapat berinteraksi dengan berbagai institusi sosial karena merupakan
kelompok khusus yang bekerja dalam proses penyampaian pesan kepada masyarakat melalui
teknologi seperti surat kabar, buku, majalah, radio, televisi, dan internet. Media massa
merupakan kombinasi kemampuan institusional dan teknis. dan lagi. Media massa ini bisa
menjadi cara yang baik untuk menghukum para pejabat TUN yang gagal menjalankan keputusan
karena tersebar luas, beragam, tidak saling kenal, dan sebagainya. Meskipun aset negara tidak
bisa dirampas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, namun ketentuan mengenai sanksi upaya paksa dan
pengumuman di media masih menimbulkan permasalahan karena tidak diatur secara jelas dalam
undang-undang atau peraturan lain mengenai perampasan. pelaksanaan pengumuman media dan
siapa yang harus membayar biayanya. Apalagi, jika ternyata pejabat yang berkaitan tidak mau
membayar uang paksa (dwangsom), maka keadaan tersebut tetap akan menimbulkan masalah.
Karena Pejabat TUN sebagai pihak tergugat malah tidak melaksanakan sanksi yang dijatuhkan
kepadanya, maka hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan kurangnya kepastian hukum dan
menghambat penggugat yang mencari keadilan melalui Pengadilan TUN untuk mendapatkan
keadilan. Akibatnya, hukuman membayar uang paksa (dwangsom) menjadi tidak ada artinya
karena ia kehilangan kemampuan untuk memaksa.
Tujuan dari pengumuman di media massa cetak yang memuat ketentuan eksekusi adalah
untuk memberikan tekanan psikologis kepada pengurus TUN jika tidak menaati putusan
pengadilan TUN. Selain itu, eksekusi putusan yang akan dilakukan dalam bentuk pengumuman
di media ini diperkirakan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan
pejabat administrasi negara dalam menegakkan hukum, terutama dalam hal mengikuti dan
menegakkan perintah pengadilan. Selain itu, akan menumbuhkan rasa hormat, sikap moral, dan
rasa malu terhadap pejabat penyelenggara negara baik pusat ataupun daerah yang tidak bersedia
menaati putusan pengadilan tata usaha negara yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila pejabat tata usaha negara terus melalaikan perintah ketua pengadilan tata usaha
negara untuk menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, panitera mengumumkan
putusan tersebut di media massa setempat. Tempat tinggal terdakwa (pejabat tata usaha negara)
atau media massa di wilayah hukum yang bersangkutan merupakan media yang digunakan
panitera untuk mengumumkan perkaranya.
Dampak tambahan dapat disebutkan dalam pengumuman media jika arahan yang
terkandung di dalamnya tidak dipatuhi. Untuk menegakkan putusan pengadilan tata usaha negara
yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk selama-lamanya, dan untuk menjaga kehormatan
dan/atau wibawa peradilan tata usaha negara, diberikan perlakuan shock therapy kepada pejabat
tata usaha negara.
Namun ternyata adanya sanksi yang diumumkan di media massa lokal belum mampu
memberikan dampak sosial, apalagi memberikan efek jera, karena pengumuman tersebut
dilakukan di media lokal yang tidak semua orang membacanya, dan kriterianya tidak disebutkan.
Undang-undang di masa depan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan harus
mencakup hukuman pidana bagi pejabat yang melanggar tugas hukumnya. Karena mengatur
kewajiban, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
saat ini berlaku tidak dapat diterima. Pejabat pemerintah, meskipun tidak ada undang-undang
lagi yang menentukan hukuman jika tidak mematuhi kewajiban ini. Sebenarnya dalam setiap
norma terdapat komponen kewajiban (mogen), larangan (verbod), dan perintah (gebod). Oleh
karena itu, secara logis setiap ketidakpatuhan terhadap persyaratan hukum ini akan
mengakibatkan hukuman. Akibatnya, standar hukum mempunyai kemampuan untuk memaksa
kepatuhan; sebagaimana dikemukakan Utrecht, salah satu alasan kepatuhan adalah ancaman
hukuman atau paksaan.

PENUTUP
Pegawai negeri yang melanggar Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan tidak melaksanakan keputusan tata usaha negara yang
mempunyai kekuatan hukum tetap akan dikenakan sanksi sebagai berikut: 1) Membayar
dwangsom, atau uang paksa yang besarnya ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
keputusan dan dibebankan pada keuangan lembaga pemerintah dan bukan pada dana pribadi
pejabat; 2.Terdakwa dapat dikenakan sanksi administratif ringan seperti pembayaran uang
dan/atau kompensasi secara paksa, pemberhentian sementara tanpa hak jabatan, atau
pemberhentian sementara tanpa hak jabatan yang dilakukan oleh pejabat atasan. 3) Panitera
pengadilan tata usaha negara dapat secara terbuka menyebutkan nama pejabat pemerintah yang
bersangkutan dalam publikasi yang diterbitkan di negara asal terdakwa atau di wilayah hukum
pengadilan tata usaha negara. Pengumuman ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap pejabat
tata usaha negara yang terikat pada kewajiban putusan tetap tidak menaati perintah ketua
pengadilan tata usaha negara untuk melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, sebelum dilakukan tindakan pemaksaan seperti: pengenaan sanksi administratif
dan/atau pembayaran uang paksa (dwangsom).
Putusan Pengadilan TUN tersebut masih belum sepenuhnya dilaksanakan, padahal
pelaksanaannya dalam hukum positif diperkuat dengan penggunaan alat-alat yang bersifat
memaksa seperti sanksi administratif dan sanksi pengenaan uang paksa (dwangsom). Sebab,
putusan Pengadilan TUN tersebut dilaksanakan secara bertahap dalam jangka waktu yang lama.
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 116 UU PTUN, antara lain dengan cara: pelaksanaan
putusan melalui instansi yang lebih tinggi, pembayaran uang paksa, sanksi administratif, dan
pengumuman di media. Namun pada kenyataannya, putusan Pengadilan TUN sulit untuk
dilaksanakan karena masih banyak pejabat TUN yang tidak patuh. Selain itu, kerangka peraturan
dalam menjalankan putusan Pengadilan TUN yang masih belum jelas dan belum jelas, ditambah
lagi dengan permasalahan ketidaktahuan pejabat TUN terhadap undang-undang dan belum
adanya badan eksekutorial khusus yang menjunjung tinggi undang-undang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. H. (2015). Peranan media massa memartabatkan integriti nasional. Jurnal


Komunikasi Borneo (JKoB), 2.
Azzahra, F. (2020). Pemberlakuan Sanksi Administratif: Bentuk Upaya Paksa Meningkatkan
Kepatuhan Pejabat Atas Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (Teori
Efektivitas Hukum). Binamulia Hukum, 9(2), 127-140.
Dani, U. (2022). Konsep Dasar dan Prinsip-Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Rajawali Pers.
Harahap, Z. (1997). Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetak III (revisi), Rajagrafindo
Persada.
Jaya, A., & Susanti, E. (2022). Kepatuhan Pejabat Tata Usaha Negara Terhadap Keputusan
Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Indonesian Journal of Criminal Law, 4(1), 80-93.
LAZIRA, F. (2014). EKSISTENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM
MEMBERIKAN KEADILAN ADMINISTRATIF TERHADAP PENCARI KEADILAN
(Doctoral dissertation, UAJY).
Pranoto, E. (2019). Asas Keaktifan Hakim (Litis Domini) Dalam Pemeriksaan Sengketa Tata
Usaha Negara. SPEKTRUM HUKUM, 16(2).
Pranoto, E., & Riyanto, M. (2022). Politik Hukum Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Rumadan, I. (2012). Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Jurnal
Hukum dan Peradilan, 1(3), 435-462.
Simanjuntak, E. (2021). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi & Refleksi.
Sinar Grafika.
Soleh, M. A. (2017). Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Yang
Berkekuatan Hukum Tetap (Doctoral dissertation, Untag Surabaya).
Suhariyanto, B. (2019). Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court untuk Efektivitas Pelaksanaan
Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal Konstitusi, 16(1), 192-211.
Tjandra, W. R. (2009). Peradilan tata usaha negara: mendorong terwujudnya pemerintahan
yang bersih dan berwibawa. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Yuslim, S. H. (2022). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Sinar Grafika.
Yulius, N. F. N. (2018). Diskursus Lembaga Eksekusi Negara Dalam Penegakan Hukum Di
Indonesia/The Discourse Of State Execution Institution In Indonesian Law Enforcement.
Jurnal Hukum Peratun, 1(1), 11-32.

Anda mungkin juga menyukai