Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Romli

Nim : 21382071037
Kelas : HTN/B
Semester : IV/Empat

JUDICIAL REVIEW MENGGUNAKAN DUA ATAP TIDAK EFEKTIF DAN


EFESIEN DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

A. LATAR BELAKANG
Sebagai pengejewantahan dari negara hukum yang dianut oleh negara Indonesia, segala
tindak tanduk dalam hal penyelenggaraan negara diharuskan atas dasar norma hukum sebagai
patokan arah dalam bernegara. Komitmen dan konsistensi Negara Indonesia sebagai negara
hukum tercantum secara gamblang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Selaras dengan
itu, Albert Van Dicey mengemukakan ciri-ciri negara hukum yaitu (a) supremacy of law (b)
equality before the law (c) human rights. Ajaran atau teori Negara Hukum menekankan pada
prinsip supremasi hukum dalam menjalankan danmenyelenggarakan pemerintahan terikat
oleh hukum. Dalam konteks kehidupan bernegara, prinsip itu dimaknai bahwa kekuasaan
negara harus didefenisikan dan ditentukan batas-batasnya oleh hukum sehingga bukan hanya
warga negara tetapi pemerintah pun harus tunduk dan patuh pada hukum. Hukum tertinggi di
negara yang menganut paham Negara Hukum adalah konstitusi atau undang-undang dasar
yang sering di istilahkan the supreme law of the land. Prinsip ini dinamakan prinsip atau
doktrin konstitusionalisme dalam doktrin ketatanegaraan.1
Dalam sistem hukum ketatanegaraan yang dianut oleh negara indonesia ada suatu
praktek pengujian terhadap norma hukum yang dikenal dengan istilah judicial Review yang
merupakan suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pengadilan
atau lembaga khusus untuk melakukan peninjauan ulang dengan jalan menafsirkan dan
menguji peraturan perundang-undangan dengan semangat kepastian dan kesatuan hukum
yang sesuai dengan nilai-nilai konstitusi, sehingga dari pengujian dan peninjauan tersebut
1
Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap
Penyelenggaraan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 26.
dapat menguatkan atau membatalkan, atau menambah dan mengurangi.2 Negara yang
menganut sistem pemerintahan berdasarkan UUD yang tertulis seperti di indonesia tidak bisa
memungkiri adanya kewenangan judicial review untuk menguji atau menilai ada tidaknya
pertentangan norma peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dasar dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adnan Buyung Nasution mengatakan
bahwa hak uji materiil atau judicial review tidak bisa dilepaskan dari independent judiciary,
karena judicial review merupakan salah satu diantara pelaksanaan independent judiciary
yang berdasar pada pemisahan kekuasaan (separation of power) legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Hal ini berlaku secara umum baik yang dalam sistem negara yang mengambil atau
menganut common law atupun civil law.3
Senada dengan itu, Moh Mahfud MD mengungkapkan alasan kenapa judicial review
penting bagi menjaga konsistensi politik hukum agar tetap pada rel konstitusi (politik
konstitusi), karena hukum merupakan produk politik sehingga bisa saja undang-undang berisi
hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau konstitusi. Lebih lanjut, ia
menyebutkan bahwa minimal terdapat 2 (dua) alasan yang menyebabkan sebuah undang-
undang berisi hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi.
Pertama, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang
membentuk undang-undang adalah lembaga politik yang sangat mungkin membentuk
undang-undang atas dasar kepentingan atas dasar politik mereka sendiri atau kelompok yang
mayoritas di dalamnya. Kedua, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga
politik dalam kenyataannya lebih banyak di isi oleh orang-orang yang tidak ahli dalam
bidang hukum atau kurang bisa menguasai cara bernalar dan berfikir menurut logika hukum.4
Adapaun sistem Judicial review di indonesia menggunakan dua atap, yakni dilakukan di
dua lembaga peradilan yang berbeda. Judicial review dalam sistem hukum Indonesia
memberikan dan membagi kewenangan tersebut kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman,
yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mengenai pembagian kewenangan
judicial review antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah secara jelas dan
tegas diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya

2
Munir fuady, Teori Negara Hukum Modern (Bandung: PT Refika Aditama, 2011), 81.
3
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), 57.
4
Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature (Jakarta: Konstitusi Press
2013), 8.
dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1) mengatur bahwa: “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenanagan lain yang diberikan oleh
undang-undang”. Sementara itu dalam ketentuan pasal 24C ayat (1) mengatur bahwa:
“Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar,
memutus sengketa wewenang lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum”. Yang mana kewenangan yang telah diatur dalam konstitusi tersebut pada
akhirnya menimbulkan dualisme pengujian dalam sistem hukum yang mana hal ini menjadi
suatu problem baik dalam konseptual dan pelaksanaan judicial review itu sendiri.
Adanya dualisme judicial review yakni di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
menimbulkan banyak persoalan meski menggunakan jenjang norma yang berbeda dan tidak
sederajat. Hal ini bukan hanya pada persoalan teknis semata akan tetapi persoalan
potensialnya adalah bahwa sistem hukum kita mempraktikkan teori hukum berjenjang
(stufenbau theory), artinya berlaku asas lex superior derogat lex inferior, dimana peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi diatasnya. Dalam konteks ini setiap norma hukum dituntut berada dalam satu
frekuensi dengan norma yang tertinggi, tetapi menjadi aneh apabila dalam proses judicial
review dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan kehakiman yang berbeda atap, tentu saja akan
terdapat banyak perbedaan, baik mekanisme maupun paradigma hukum para hakimnya.5
Kedua lembaga tersebut antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
menggunakan tolak ukur hukum yang berbeda dalam menjalankan fungsi pengujiannya
sehingga ada kemungkinan berujung pada putusan yang berbeda secara mencolok hal ini
telah terbukti dengan adanya keputusan dari kedua lembaga judicial tersebut yang
bertentangan, yakni pertentangan antara Putusan MA Nomor 15 P/ HUM/2009 dan Putusan
MA Nomor 16 P/HUM/2009 dengan Putusan MK No. 110-111-112-113/PUUVII/2009
tentang pemilu perbedaan tersebut merupakan salah satu perbedaan dari banyak perbedaan
putusan yang dikeluarkan oleh dua lembaga tersebut dengan kasus hukum yang sama dan

5
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Pengkajian Konstitusi Tentang
Problematika Pengujian Peraturan Perundang Undangan, (Jakarta: Tim Pengkajian Konstitusi Tentang
Problematika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan), 30-31.
serupa, hal ini adalah persoalan besar yang tidak boleh diremehkan. Hal inilah yang harus
difikirkan, karena perbedaan putusan menimbulkan ketidakpastian hukum. Apakah ingin
terus membiarkan terjadinya konflik hukum akibat adanya perbedaan pandangan antara
kedua cabang kekuasaan kehakiman ini dalam menafsirkan suatu norma. Kritik mengenai
pengujian dua atap mjuga pernah disampaikan Jimly Asshiddiqie bahwa pembagian tugas
pengujian oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung (sistem dua atap) sama sekali
tidak ideal, karena menimbulkan perbedaan putusan yang saling bertentangan antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan persoalan huku lainnya.6
Tidak hanya itu pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan ditangan
mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga akan menyulitkan integrasi pengawalan
hirarki norma mulai dari perda sampai Undang-Undang Dasar dalam rangka penegakkan
konstitusi. Adanya dua lembaga yang berbeda tersebut akan menimbulkan problematika
konseptual dalam proses dan pelak sanaannya. Semisal ketika mengacu pada Pasal 55 UU
No. 24 Tahun 2003 jo UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan oleh
Mahkamah Agung wajib dihentikan ketika undang-undang yang menjadi dasar pengujian
peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan
dari MK itu sendiri. Pasal ini justru menjadikan kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan menjadi tumpang tindih antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Serta
akan ada potensi wilayah kosong dalam ranah judicial review, permasalahan dapat muncul
ketika suatu peraturan daerah bersinggungan dengan materi muatan Hak Asasi Manusia
(HAM) yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia/UUD Tahun
1945, maka Mahkamah Agung tidak bisa mengujinya karena batu ujinya adalah UUD NRI
Tahun 1945, karena kewenangan Mahkamah Agung adalah untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Mahkamah
Konstitusi juga tidak dapat mengujinya karena yang menjadi kewenangan MK sebagaimana
diatur dalam Pasal 24C adalah untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, hal yang sedememikian itu dapat menyebabkan adanya kekosongan hukum, dan hal

6
Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945,”
Makalah, dipresentasikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan (Denpasar, 14-18 Juli 2003), 32-33.
ini tidak boleh terjadi dan tidak dibenarkan dalam negara Indonesia sebagai negara hukum
sebagaimana yang telah termaktub dalam undangan undang dasar Republik Indonesia.
Dari beberapa problematika yang ada baik dalam konsep, pradigma, mekanisme serta
implementasi judicial review menggunakan dua atap dalam sistem hukum indonesia yang
cukup banyak dan memiliki dampak yang besar terhadap terwujudnya hukum yang dicita-
citakan oleh bangsa indonesia yang mana tertuang dalam kostitusi negara kesatuan republik
indonesia menjadikan proses pengujian perundang-undangan atau judicial review tidak
efektif dan efesien hal ini telah mengahambat terciptanya sitem hukum yang baik dan juga
melanggar asas peradilan cepat atau efesiensi peradilan karena terdapat beberapa kendala dan
persoalan jika mengunakan dua atap dalam judicial review yakni di Mahkamah Agung Dan
mahkamah Konstitusi. Karena dalam praktik implementasinya model pengaturan yang
demikian (dua atap) justru rentan menimbulkan sejumlah persoalan hukum. 7 Maka perlu
untuk di kaji dan diteliti lebih mendalam mengenai model dua atap yang belum efektif dan
efesien serta diperlukan bentuk atau model jucial review yang ideal untuk sistem hukum
yang baik dan berintegritas di indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana model pengaturan Judicial Review di Indonesia?
2. Bagaimana model ideal pengaturan Judicial Review di Indonesia?

7
Janpatar Simamora, “Analisa Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial review di Indoensia” Mimbar
Hukum, Vol. 25 No. 3 (Oktober 2013), 389-390.

Anda mungkin juga menyukai