Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN (JUDICIAL REVIEW) OLEH
MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Ketatanegaraan (H) yang diampu
oleh Ibu:

Dr. Hj. Megawati., S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Syaffira Amalia Risty


NIM. 1800024375

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA

TAHUN 2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah sebelum adanya perubahan atau Amandemen Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945), kekuasaan kehakiman tidak diberikan kewenangan melakukan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Baru pada tahun 2001 melalui
amandemen ketiga UUD 1945 menghadirkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang membawa konsekuensi terhadap cabang
kekuasaan kehakiman di Indonesia yakni memiliki wewenang melakukan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) disamping Mahkamah Agung
(MA).
Hadirnya judicial review merupakan perkembangan dari gagasan modern
tentang negara hukum demokratis. Secara teoritik gagasan ini dimaksudkan untuk:
Pertama, mencegah warga negara dari dominasi kekuasaan atau penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) oleh lembaga negara, serta menjamin berfungsinya
sistem demokrasi dalam hubungan peran antara cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Kedua, menjamin dan melindungi agar setiap warga negara
terlindung dari penyalahgunaan kekuasaan yang dapat menciderai hak–hak
fundamental yang dijamin oleh konstitusi.
Kewenangan judicial review dapat diartikan sebagai mekanisme kontrol
terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan dengan
kualitas rendah, atau bahkan peraturan perundang-undangan tersebut memuat materi
yang merugikan warga negara. Selanjutnya, dalam hal kewenangan Judicial Review
ini oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
didistribusikan kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung
(MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung berdasarkan Pasal
24A Ayat (1) UUD NRI 1945 berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Sedangkan, berdasarkan Pasal
24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berwenang untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar adalah Mahkamah Konstitusi.

1
Adanya kewenangannya judicial review yang dimiliki oleh Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstusi menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya adalah
dualisme pengujian norma hukum di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya
persinggungan normatif secara vertikal yang bersifat kontradiktif. Dalam praktik
kedua lembaga tersebut menggunakan paradigma hukum yang berbeda untuk
pengujian peraturan perundang-undangan terkait yang dapat saja berujung pada
putusan yang berbeda secara mencolok.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan Judicial Review di Indonesia?
2. Apa problematika pelaksanaan Judicial Review saat ini?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana pelaksanaan Judicial Review di Indonesia.
2. Mengetahui problematika dalam pelaksanaan Judicial Review saat ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Judicial Review


Judicial review bermula dari Amerika (1803) yakni dalam perkara Madison
versus Marbury hingga pembentukan peradilan khusus konstitusional di Austria
(1920). Tokoh awal pokok pemikiran ini adalah John Marshall dan Hans Kelsen.
Konsep ini kemudian semakin berkembang dan mampu mempengaruhi “cara”
berhukum di banyak negara, termasuk Indonesia.
Dibentuknya sistem judicial review menurut teori Hans Kelsen karena peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau yang dikenal dengan teori
Stufenbauw ades Recht the Hierarkhy of Law Theory:
“The Legal order . . . is therefore not a system of norms coordinated to each other,
standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarkhy of different
levels of norms”
(sebuah tata hukum bukanlah merupakan suatu sistem kaidah - kaidah hukum yang
berhubungan satu sama lain dalam kedudukan yang sederajat melainkan merupakan
berhirarki dari kaidah-kaidah yang berada sederajat).
Di Indonesia sendiri, melalui Amandemen Ketiga UUD 1945 merumuskan ada
dua lembaga kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan
Mahkamah Agung (MA) yang diberi kewenangan untuk melakukan judicial review.
MA diberikan kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang dan kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam hal melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 ini selain
disebut Judicial Review sering juga disebut dengan Constitional Review atau
pengujian konstitusional.
Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan diterima sebagai cara
Negara hukum modern untuk mengendalikan dan mengimbangi (check and balances)
kecenderungan kekuasaan yang ada pada genggaman para pejabat pemerintahan
untuk menjadi sewenang-wenang. (Jimly Asshiddiqie, 2006 : v).

3
Sejalan dengan pendapat tersebut Lee Bridges, George Meszaros dan Maurice
Sunkin juga mengemukakan, “judicial review has been increasingly celebrated, not
least by the judiciary itself, as means by which the citizen can obtain redress against
oppressive government, and as a key vehicle forenabling the judiciary to prevent and
checks theabuse of executive power”.

B. Penerapan Konsep Judicial Review


Judicial review yang dominan dipraktikkan di dunia, dikelompokan menjadi 2
(dua) sistem, yaitu centralised system (sistem yang terpusat) merupakan sistem
pengujian yang hanya dilakukan dan difokuskan oleh satu lembaga saja, misalnya
oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, atau lembaga khusus lainnya. Sistem
yang kedua adalah decentralised system (sistem tidak terpusat) berbeda dengan
sistem yang pertama, jika pada sistem kedua pengujian tidak hanya dilakukan oleh
satu badan peradilan saja.
Pengujian dengan decentralised system seperti dipraktikkan di negara Amerika,
dimana Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya sama-sama
berwenang memutuskan perkara judicial review. Namun yang perlu ditegaskan
bahwa meskipun badan peradilan di bawah Mahkamah Agung juga berwenang
melakukan judicial review tetapi semuanya berada dalam satu atap di bawah naungan
Mahkamah Agung.
Bagaimana Penerapan Konsep Judicial Review di Indonesia?
Di Indonesia kewenangan judicial review diberikan kepada dua badan Peradilan
yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Sebelumnya, pada zaman rezim
otoriter, Indonesia menerapkan pengujian sistem perundang-undang terpusat
(centralised system), dengan memposisikan Mahkamah Agung sebagai organ
tunggal negara. Sejalan perkembangannya kemudian lahirlah Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga negara yang kedudukannya mandiri atau terpisah dari Mahkamah
Agung, yang berperan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Yang mana peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetap
menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Dari hal ini tentunya menimbulkan
ketidakpastian sistem apa yang dianut oleh Indonesia, karena dapat terdapat dualisme
pengujian peraturan-perundang yang dipegang oleh dua lembaga yang berbeda.

4
C. Pengaturan Judicial Review pada Mahkamah Konstitusi
Upaya pembentukan Mahkamah konstitusi merupakan salah satu wujud nyata
perubahan sistem ketatanegaraan, sehingga tercipta keseimbangan dan kontrol yang
ketat di antara lembaga negara. Meskipun demikian, hakikat pembentukan
Mahkamah Konstitusi selain lebih mempertegas prinsip negara hukum dan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dijamin konstitusi, juga sebagai
sarana penyelesaian sengketa ketatanegaraan yang memerlukan lembaga atau badan
yang berwenang menyelesaikannya, karena sebelumnya tidak ada dalam UUD 1945.
(Iriyanto, 2008 : ix)
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung.
Hal ini dirumuskan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Lebih lanjut fungsi Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam ketentuan Pasal
24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yakni berwenang untuk:
(1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
(2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3) memutus pembubaran partai politik;
(4) memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
(5) memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

5
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Atas ketentuan inilah pengaturan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi
mendapatkan pijakan dasar hukumnya. Yang mana judicial review yang diatur dalam
pasal 24 C ayat (1) hanya membatasi fungsi Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
judicial review Undang-Undang terhadap UUD 1945.
Adapun pengaturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi lebih jelas dirumuskan dalam ketentuan UU No. 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Kemudian dalam Pasal 53 UU a quo juga menyebutkan bahwa Mahkamah
Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan
pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Pasal ini
sebagai dasar untuk menjalin komunikasi ataupun koordinasi antara dua lembaga
kekuasaan kehakiman Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan fungsinya masing-masing.

D. Problematika Pelaksanaan Judicial Review


Pemikiran mengenai konsep pengujian peraturan perundang-undangan (judicial
review) di Indonesia sebetulnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Namun,
konsep ini mulai berkembang dan menemukan bentuknya dalam tataran hukum serta
praktik ketatanegaraan di Indonesia sejak terjadinya Perubahan atas UUD 1945.
Sayangnya, pengujian peraturan perundang-undangan dalam desain UUD 1945
dengan memberikan kewenangan pada dua lembaga yakni, MA dan MK untuk
melakukan pengujian peraturan perundang-undangan tidaklah kemudian dapat
mengakhiri persoalan dan perdebatan yang ada selama ini. Bahkan, justru
bertendensi menimbulkan problematika baru baik dalam tataran teoritis maupun
dalam artikulasi empirisnya yang sudah barang tentu memicu perdebatan-perdebatan
berikutnya. Ada empat (4) problematika yang dihadapi dalam pelaksanaan pengujian
peraturan perundang-undangan (judicial review) saat ini, yaitu :

6
a) Problematika Konseptual
Berdasarkan kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi hanya
menguji konstitusionalitas undang-undang. Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-undang
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD
1945. Begitupun terhadap keberlakuan suatu undang-undang, Mahkamah
Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak
berdasarkan UUD 1945. (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2006 : 57-58).
Adapun kemudian, menurut Maruarar Siahaan pengalaman menunjukkan
bahwa ada kalanya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang
menjadi pusat permasalahannya, bukanlah ketidaksesuaian dengan undang-
undang yang menjadi dasar atau landasan pembentukannya, melainkan justru
pertentangan atau ketidaksesuaian dengan UUD 1945. Ini merupakan satu
kekosongan dan masalah tersendiri dalam ketatanegaraan Indonesia, karena uji
konstitusionalitas (constitutional review) terhadap peraturan perundang-
undangan di bawah UU tersebutlah yang merupakan masalah yang sungguh-
sungguh menjadi perhatian (JimlyAsshiddiqie, 2007:282).
Di dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya undang-undang saja yang
bertentangan dengan UUD 1945 ataupun hanya pertentangan antara peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Namun
seringkali dijumpai adanya pertentangan antara peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang dengan konstitusi. Selain itu permasalahan lain adalah
adanya dua lembaga yang berwenang dalam melakukan pengujian materi yang
mengakibatkan tidak ada sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan dari
peraturan perundang-undangan paling bawah sampai dengan yang paling atas.
Konseptual penataan politik hukum perundang-undangan melalui putusan
peradilan untuk memperkuat nation building masih sulit diwujudkan. Hal ini
disebabkan secara konseptual belum ada lembaga yang secara integral dan
menyeluruh dapat mengawal penegakkan konstitusi untuk mereview seluruh
peraturan perundang-undangan mulai tingkat bawah sampai pada lebih tertinggi
agar sejalan dengan UUD 1945.

7
b) Timbulnya Konflik Norma dan Kelembagaan
Kewenangan judicial review yang berada dalam dua lembaga menyebabkan
terjadinya pertentangan putusan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung selain itu juga melahirkan polemik hukum yang cukup serius dalam
praktik ketatanegaraan saat ini, oleh karena putusan kedua Lembaga tersebut
sama-sama memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak saling membatalkan
satu sama lain dan apabila tidak diatasi tentu akan menjadi preseden buruk dalam
praktik ketatatanegaraan kita.
Contoh pertentangan putusan tersebut, misalnya pada putusan kasasi
Mahkamah Agung Nomor 1.110/K/Pid.Sus/2012 yang dalam putusannya justru
menggunakan dasar hukum yang telah dinyatakan tidak sah dan mengikat oleh
Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dalam kasus lain yang cukup menimbulkan
kontroversi adalah persoalan mengenai legalitas calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) yang berasal dari unsur partai politik. Mengenai persoalan ini
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan putusan
yang kontras dalam menilai isu hukum tersebut. Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya Nomor 30/PUU-XVI/2018 memutuskan jika pengurus partai politik
tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD, sementara Mahkamah
Agung melalui putusan Nomor 65 P/HUM/2018 justru memutuskan jika pengurus
partai politik bisa mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD pada pemilu
2019.

c) Problematika Yuridis dan Teoretis


Berdasarkan prespektif teori wewenang dan teori politik hukum, tujuan
dibentuknya serta tugas dan fungsi utama Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi adalah untuk menangani perkara ketatanegaraan
atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggungjawab sesuai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan
MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil,
dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di
masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu,

8
Mahkamah Konstitusi selain sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the
constitution), Mahkamah Konstitusi juga merupakan penafsir tertinggi konstitusi
(the sole interpreter of constitution).
Selanjutnya, berdasarkan prinsip hukum yang berjenjang (Stufenbau Theory),
peraturan perundang-undangan akan saling kait mengait, utamanya secara
vertikal. Peraturan perundang-undangan yang memiliki derajat lebih tinggi
menjadi dasar dan cantolan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya,
demikian seterusnya. Karenanya, berlaku asas lex superior derogat lex inferior
dimana peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Sehingga, apabila dilakukan di dua
lembaga berbeda, tidak mustahil akan terjadi persinggungan normatif (Conflict of
norm) secara vertikal yang justru bersifat kontradiktif terhadap tujuan judicial
review untuk menjamin harmonisasi dan tertib hukum.

d) Menegasikan Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai Court of Law


Mahkamah Agung digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan
dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum
lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per
orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara-perkara
yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan-
persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut
kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap
norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per
orang atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit.
Menegaskan bahwa MK adalah court of law, dan MA adalah court of justice. MA
sebagai court of justice mengadili ketidakadilan dari subyek hukum untuk
mewujudkan keadilan, sedangkan MK sebagai court of law mengadili sistem
hukum untuk mencapai keadilan itu sendiri. Judicial review itu termasuk ke dalam
ranah court of law dikarenakan judicial review itu tidaklah mengadili orang per
orang, lembaga, organisasi, dan subyek hukum melainkan mengadili sistem
hukum (perundang-undangan) demi mencapai keadilan.

9
E. Urgensi Judicial Review Satu Atap di Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan berbagai problematika yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
sebaiknya lembaga peradilan yang diberikan wewenang untuk menguji peraturan
perundang-undangan atau judicial review cukup satu lembaga peradilan saja yakni,
Mahkamah Konstitusi dengan tolok ukur pengujiannya adalah peraturan
perundang-undang yang kedudukannya satu tingkat lebih tinggi dari objek yang diuji
sampai dengan peraturan perundang-undangan yang tertinggi yakni Undang-Undang
Dasar 1945. Sejalan dengan hal tersebut, berikut ini lima (5) keunggulan apabila
judicial review dilakukan oleh satu lembaga yakni Mahkamah Konstitusi, antara lain:
Pertama, mengurangi beban pekerjaan Mahkamah Agung yang luar biasa
banyaknya. Sehingga dengan diintegrasikannya kewenangan pengujian peraturan
perundang-undangan dibawah Mahkamah Konstitusi, diharapkan Mahkamah Agung
akan lebih fokus pada penanganan perkara konkrit ditingkat kasasi dan peninjauan
kembali bagi para pencari keadilan (teori wewenang dan politik hukum).
Kedua, memberikan kepastian dan keadilan kepada masyarakat karena tidak akan
ada lagi perbedaan penafsiran atau putusan yang saling bertentangan antara
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (teori politik hukum).
Ketiga, lebih efisien dan efektif dari segi waktu penyelenggaraan pengujiannya.
Sehingga tidak perlu lagi ada pengaturan larangan bagi Mahkamah Agung untuk
menguji suatu peraturan dibawah undang-undang manakala di Mahkamah Konstitusi
sedang diuji undang-undang yang berkaitan dengan peraturan yang akan diujikan di
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta akan dapat lebih menjamin
harmonisasi materi peraturan perundang-undangan melalui mekanisme kontrol
normatif (teori pengujian norma hukum). Selain itu, Menurut hasil penelitian
disertasi Zainal Arifin Hoesein, dilihat dari segi praktis efisien dan efektivitas, justru
pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung berjalan sangat
tidak efektif, karena rata-rata perkara yang diselesaikan per tahun antara 1.-2
(gugatan) dan 3 perkara (permohonan). Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi justru
lebih produktif, karena hanya dalam 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan dapat
menyelesaikan 22 (dua puiuh dua) perkara .

10
Keempat, meluruskan hakikat teori wewenang dan teori politik hukum yang
sebenarnya, yakni yang mana tujuan dibentuknya serta tugas dan fungsi utama
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah untuk
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam rangka
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman
kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap
konstitusi. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi selain sebagai penjaga konstitusi
(the guardian of the constitution), Mahkamah Konstitusi juga merupakan penafsir
tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).
Kelima, hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah
Konstitusi lebih terbuka dibanding dengan hukum acara pengujian peraturan
perundang-undangan di Mahkamah Agung, yaitu dengan melibatkan dan
mengundang pemohon, termohon, dan pihak terkait dalam setiap tahapan
persidangan.

11
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Di Indonesia kewenangan melakukan Judicial Review atau Pengujian Peraturan
Perundang-undangan diberikan kepada dua (2) lembaga yakni Mahkamah Agung
(MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah Agung diberikan kewenangan
melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
sedangkan Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan melakukan pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945.
Adanya dualisme kewenangan judicial review yang dimiliki kedua lembaga ini
nyatanya menimbulkan berbagai problematika, antara lain: problematika secara
konseptual; menimbulkan konflik norma dan kelembagaan; problematika yuridis dan
teoretis; dan menegasikan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai Court Of Law.
Sehingga dari berbagai problematika ini, akan lebih baik dan efektif apabila
kewenangan judicial review hanya dimiliki oleh satu lembaga saja yakni, Mahkamah
Konstitusi. Dan Mahkamah Agung lebih fokus pada penanganan perkara konkrit
ditingkat kasasi dan peninjauan kembali bagi para pencari keadilan.
Pemberian kewenangan judicial review satu atap pada Mahkamah Konstitusi ini
tentunya akan sesuai karena Mahkamah Konstitusi merupakan court of law, selain
itu Mahkamah Konstitusi juga sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the
constitution), serta penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of constitution).

b. Saran
Pengejawantahan judicial review satu atap oleh Mahkamah Konstitusi
merupakan revitalisasi Mahkamah Konstitusi, sejalan dengan hal tersebut perlu
diwujudkan pula pengawasan yang ketat terhadap hakim konstitusi, hal ini guna
mencegah timbulnya kekhawatiran atau permasalahan baru yakni Mahkamah
Konstitusi yang menjadi lembaga “superbody”.

12
DAFTAR PUSTAKA

Aris, T. W. 2020. Urgensi Judicial Review Satu Atap Oleh Mahkamah Konstitusi. de
Jure Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 1(2), 142-152. Diakses melalui
http://www.ejournal.unkhair.ac.id/index.php/deJure/article/view/1930 pada
Selasa, 28 Desember 2021.

Aritonang, D. M. 2013. Peranan dan Problematika Mahkamah Konstitusi (MK) dalam


Menjalankan Fungsi dan Kewenangannya. Jurnal Ilmu Administrasi: Media
Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi, 10(3), 373-389. Diakses
melalui
http://www.academia.edu/download/50408668/DM_Aritonang_PERANAN
_DAN_PROBLEMATIKA_MAHKAMAH_KONSTITUSI_MK_DALAM
_MENJALANKAN_FUNGSI_DAN_KEWENANGANNYA.pdf pada
Selasa, 28 Desember 2021.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta:


Konstitusi Press.

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi & Konstitualisme Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika.

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara.


Jakarta: Sinar Grafika.

Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan. 2006. Mahkamah Kontitusi Memahami


Keberadaanya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta:
PT Rineka Cipta.

Harjono. 2007. Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik


Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 3 September 2007.
Jakarta: Direktorat Jendral Peraturan Perundang-Undangan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Helmi, M. I. 2019. Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review di Mahkamah


Konstitusi. Jurnal Salam, 6(1). Diakses melalui

13
https://www.researchgate.net/profile/Muhammad_Helmi8/publication/3342
52732_Penyelesaian_Satu_Atap_Perkara_Judicial_Review_Di_Mahkamah_
Konstitusi/links/5e611e80458515163550ced0/Penyelesaian-Satu-Atap-
Perkara-Judicial-Review-Di-Mahkamah-Konstitusi.pdf pada Selasa, 28
Desember 2021.

Hoesein, Zainal Arifin. 2009. Judicial Review di Mahkamah Agung RI Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Huda, Ni’matul. 2008. Urgensi Judicial Review dalam Tata Hukum Indonesia. Jurnal
Hukum No.1 Vol. 15 Januari 2008.

Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Puspitaningrum, J. 2019. Perbandingan Judicial Review Oleh Mahkamah Agung Dan


Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi Pasca Perubahan UUD
1945. Legal Pluralism: Journal of Law Science, 9(1), 1-29. Diakses melalui
https://core.ac.uk/download/pdf/229022534.pdf pada Selasa, 28 Desember
2021.

Qamar, Nurul. 2012. Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi. Jurnal


Konstitusi, Vol. I, No.1, November 2012. Diakses melalui
https://jk.ejournal.unri.ac.id/index.php/JK/article/view/2081 pada Selasa, 28
Desember 2021.

14

Anda mungkin juga menyukai