Anda di halaman 1dari 8

1.

Jelaskan pelaksanaan judicial review di Indonesia hingga terbentuknya


Mahkamah Konstitusi (MK)

2. Jelaskan dan uraikan objek norma hukum yang dapat dilakukan pengujian

3. Jelaskan perbedaan “Produk Legislatif” dan “Produk Regulatif” kaitannya dengan


pengujian terhadap produk peraturan

Jawaban

1. Sebelum kemerdekaan Indonesia, metode judicial review/constitutional review dalam


perkembangannya di Indonesia tidak begitu marak dan massif. Karena, pemikir-
pemikir hukum Indonesia pada waktu itu lebih mengenal prinsip-prinsip hukum Eropa
Continental yang menjunjung tinggi civil law, seperti di negeri Belanda, dan Belanda
pun menolak metode judicial review/constitutional review ini. Meskipun demikian,
ketika terjadi proses penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, masalah hak menguji
oleh hakim (toetsingsrecht van de rechter) menjadi bahan perdebatan dalam sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Chosa Kai).

Perdebatan ini muncul ketika pada tanggal 11 Juli 1945, M. Yamin melontarkan
gagasan mengenai Balai Agung dan Mahkamah Tinggi, M. Yamin mengatakan:

“Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga dalam membanding undang-


undang, maka Balai Agung inilah akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum
adat, syariah dan Undang-Undang Dasar.”

Pada persidangan tanggal 15 Juli 1945, M. Yamin kembali menjelaskan gagasannya


tentang fungsi Balai Agung/Mahkamah Agung. M. Yamin menyatakan bahwa:

“Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga hendaklah
menjadi badan yang membanding, apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan, tidak melanggar undang-undang dasar republic atau bertentangan
dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syarah agama
Islam…”

Pemikiran M. Yamin ini ditolak oleh Soepomo dengan mengatakan: “…Menurut


pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini kita memang
tidak memakai sistim yang membedakan principieel tiga badan itu artinya, tidaklah
bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.
Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin, supaya kekuasaan kehakiman
mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang. Pertama, dari buku-buku ilmu
negara ternyata bahwa antara para ahli tata-negara tidak ada kebulatan
pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro, ada yang kontra kontrol. Apa
sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai semua aturan yang pokok dan
biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi interpretasi demikian bahwa
pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa juga. Jadi, dalam praktek, jikalau
ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal
politis; oleh karena itu mungkin dan disini dalam praktek begitu, pula ada konflik
antara kekuasaan sesuatu Undang Undang dan Undang- Undang Dasar. Maka,
menurut pendapat saya sistim itu tidak baik buat Negara lndonesia yang akan kita
bentuk!”

Alasan kedua Soepomo mengatakan: “Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan
terus terang akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak
mempunyai pengalaman dalam hal ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa
di Austria, Chekoslowakia dan Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan
tetapi pengadilan spesial, constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesifik- yang melulu
mengerjakan konstitusi. Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu
banyak, dan bahwa kita harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi,
buat negara yang muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Pada masa orde lama dan orde baru, MPR adalah sebagai lembaga tertinggi Negara,
yang menjadi penyeimbang (check and balances) jika terjadi benturan antar lembaga
tinggi negara, hal ini bertahan sampai dengan rezim orde baru, dan setelah tumbangnya
rezim tersebut memberi peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk mereformasi
kehidupan politik, ekonomi dan hukum ke arah yang lebih terbuka, demokratis dan
adil,[7] sehingga dalam perkembangannya setelah rezim orde baru terjadi empat kali
amandemen terhadap UUD 1945. Namun, setelah terjadinya amandemen terhadap
UUD 1945, sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia juga turut berubah
menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan ketatanegaraan di Indonesia, salah
satunya adalah dengan munculnya Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK)
sebagai lembaga yang keberadaannya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian
konstitusi (the guardian of the constitution), yang berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD
1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara (check and balences),
memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil
presiden menurut UUD 1945.

Di Indonesia, sistem dan mekanisme Judicial review hadir seiring lahirnya Mahkamah
Konstitusi pada bulan Agustus 2003. Pengujian konstitusional itu dimaksudkan untuk
memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakan dalam proses
penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga
yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau
tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru. Sebelumnya memang tidak dikenal
dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.
Dari paparan diatas, dapat diperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum yang
berlaku dalam mekanisme pengujian konstitusional di Amerika Serikat. Dengan
memahami perkembangan gagasan aslinya, kita diharapkan dapat lebih mengerti apa
yang mesti dikembangkan di tanah air setelah kita mengadopsikan ide pengujian
konstitusional itu dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Amandemen Keempat.

Seperti diketahui, sistem dan mekanisme pengujian konstitusional (constitutional


review) itu sendiri baru saja kita adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita
dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus 2003. Pengujian
konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh
dijalankan atau ditegakan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-hari. Pengujian
terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh-
sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru.
Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.

Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era
reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang
memberikan kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-
undang. Sebelum ini, prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung
hanya dibatasi pada objek peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap Undang-Undang. Dengan demikian, pengujian oleh Mahkamah Agung itu
bukanlah pengujian mengenai konstitusionalitas, melainkan hanya pengujian mengenai
legalitas peraturan perundang-undangan.

Pengujian aktif (active review) yang seyogyanya akan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat berdasarkan TAP No. III/MPR/2000 tersebut, sampai masa
berlakunya ketetapan MPR tersebut berakhir, tidak pernah dilaksanakan karena
memang tidak ada mekanisme yang memungkinkannya secara teknis dapat
dilaksanakan. Sekiranyapun hal itu dapat dilaksanakan, maka niscaya apa yang
dilakukannya tidak dapat disebut dengan istilah ‘judicial review’, melainkan
merupakan ‘legislative review’ karena organ MPR itu sendiri termasuk cabang
kekuasaan judisial. Betapapun juga, meskipun bukan sebagai legislator atau lembaga
pembentuk undang-undang, MPR adalah lembaga yang termasuk kategori cabang
kekuasaan legislatif dalam arti luas. Karena itu, pengujian konstitusional (constitutional
review) yang seyogyanya akan dilakukan lebih tepat disebut sebagai ‘legislative review
on the constitutionality of law’ atau pengujian legislatif atas konstitusionalitas undang-
undang.

Pengujian konstitusional dalam arti ‘judicial review on the constitutionality of law’ atau
pengujian judisial atas konstitusionalitas undang-undang baru kita adopsikan
mekanismenya ke dalam sistem ketatanegaraan kita dengan diterimanya ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tidak seperti negara-negara dengan tradisi ‘common law’
seperti Amerika Serikat, Indonesia dengan tradisi ‘civil law’, mengikuti pola Kelsenian
atau model Eropa Kontinental dalam mengembangkan kelembagaan Mahkamah
Konstitusi yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung.

Ketentuan umum mengenai Mahkamah Konstitusi ini dalam UUD 1945 dicantumkan
dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1), (2), (3),
(4), (5), dan ayat (6) sebagai hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001.
Kemudian ditambah Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil perubahan keempat
UUD 1945 pada tahun 2002. Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia benar-benar dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003.
Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai mahkamah ini selesai
disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003 menjadi Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003 No. 98, dan TLN-RI
No. 4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang hakim
konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal
15 Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.

Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh


Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus
2003, persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan
hari Senin, 18 Agustus 2003, adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa,
tanggal 19 Agustus 2003, kesembilan hakim konstitusi mulai bekerja dengan
mengadakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal lain berkenaan dengan
pelembagaan lembaga baru ini.

Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19


Agustus 2003, maka mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan
yang tersendiri dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan
Peralihan Pasal III UUD 1945 ditentukan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi dibentuk
selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala
kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Artinya, sejak disahkannya
naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan
terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan pengujian
konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu
dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi
Sementara.

Generasi pertama sangat ‘sukses’ karena dapat menyelesaikan tugas sejarah mendirikan
dan membangun Mahkamah Konstitusi itu di Indonesia dengan kokoh dan berwibawa
menjalankan kewenangan konstitusionalnya dalam mengawal demokrasi dan konstitusi
sesuai dengan harapan masyarakat dan tuntutan sejarah.
Dapat dikatakan, Mahkamah Konstitusi telah dengan baik menjalankan fungsinya
sebagai (i) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), (ii) pengawal
demokrasi (the guardian of democracy), (iii) pelindungan hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara (the protector of human rights and the citizens’
constitutional rights), dan (iv) penafsir final konstitusi negara (the final interpreter of
the constitution). Fungsi-fungsi itu dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dengan 5
(lima) kewenangan konstitusional, yaitu memeriksa dan memutus permohonan (1)
pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review of the constitutionality of
law), (2) perselisihan hasil pemilihan umum, (3) sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara, (4) pembubaran partai politik, dan (5) perkara ‘impeachment’ terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Jadi, secara filosofis, judicial review dihadirkan untuk memastikan adanya saling
control dan saling imbang (checks and balances) antar lembaga negara. Produk
legislatif dan eksekutif berupa UU masih dapat diuji konstitusionalitasnya oleh suatu
lembaga Peradilan. Di pihak lain, sebagai negara yang menganut asas kedaulatan rakyat
di dalam Konstitusi, rakyat mesti diberikan ruang untuk mempertahankan hak-hak nya,
sekaligus membangun kontrol atas kinerja pemerintahan, termasuk kinerja dalam
bidang pembuatan perundang-undangan atau legislasi.

2. Jenis review juga dapat dibedakan berdasarkan objek yang diuji. Pembagian objek
judicial review ini tidak jauh berbeda dengan pembagian pengujian produk hukum
secara umum (toetsingrecht), yaitu (a) formele toetsingrecht dan (b) materiele
toetsingrecht.5 Sehingga dalam judicial review terdapat pula jenis formiil judicial
review dan materiil judicial review. Hal tersebut dikarenakan kaidah hukum juga
terbagi antara kaidah formil dan materil yang menurut Jimly Asshiddiqie parallel
dengan pembedaan antara hukum materill dan hukum formill. Hukum materiil atau
substantive law mengatur mengenai substansi normanya, sedangkan hukum formil atau
procedural law mengatur mengenai prosedur penegakkan norma hukum materiil itu.

Sri Soemantri menjelaskan mengenai perbedaan uji materil dan formil tersebut.
Menurut Soemantri hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu
produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara
(procedure) sebagaimana telah ditentukan diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku ataukah tidak. Jadi dalam bahasa yang lebih ringkas, review terhadap
formalitas suatu produk perundang-undangan adalah pengujian prosedur pembentukan
produk perundang-undangan.Terhadap hak uji materil, Sri Soemantri, memberikan
garis bawah bahwa pengujian tersebut adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.
Oleh karenanya objek judicial review juga terbagi dua, yaitu pertama, objek yang
berupa isi (bunyi pasal-pasal) dari sebuah peraturan perundang-undangan (materiel
law) dan kedua, objek yang berupa prosedur pembentukan peraturan perundang-
undangan (formal law). Jika sebuah permohonan pengujian memohonkan uji terhadap
dua objek tersebut, objek materil maupun objek formil, maka yang harus dibuktikan
oleh hakim semestinya adalah objek formilnya terlebih dahulu. Hal itu dikarenakan
secara logika hukumnya, jika objek formilnya atau prosedur pembentukan sebuah
peraturan perundang-undangan telah bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi
maka otomatis seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan (termasuk objek
materil) tersebut dianggap telah bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih
tinggi.

3. Dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan perundang-undangan


(dan perbuatan administrasi negara), yaitu :

Pengujian oleh badan peradilan (judicial review). 2. Pengujian oleh badan yang sifatnya
politik (political review), dan 3. Pengujian oleh Pejabat atau Badan Administrasi
Negara (administrative review).

Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen mengatur hal baru dalam hal
kekuasaan kehakiman, antara lain pengaturan tentang kewenangan hak menguji
(toetsingsrecht) yang dimiliki hakim dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat 1) dan diaturnya kewenangan
Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU
terhadap UU (Pasal 24A ayat 1).

Di dalam praktek dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji, yaitu :
1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regelling);
2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan admnistratif (beschikking);
3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa
disebut vonis.
Ketiga bentuk norma tersebut dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan
(justisial) atau non justisial, jika dilakukan oleh lembaga peradilan maka proses
pengujiannya disebut judicial review. Jika bukan dilakukan oleh lembaga judicial maka
tergantung kepada lembaga apa kewenangan untuk menguji atau toetsingsrecht itu
diberikan.
Toetsingsrecht atau hak menguji itu jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai
legislator, maka proses pengujian itu disebut legislative review. Jika hak menguji
diberikan kepada pemerintah maka disebut executive review. Jadi pengujian materiil
tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak
menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan
perundang-undangan di bawah UUD tidak bertentangan dengan UUD sebagai "the
supreme law."

Dalam hal ini, agar Undang-Undang Dasar dapat dilindungi atau terproteksi, maka
keberadaan hak menguji materiil sebagai bagian dari "the guarentees of the
constitution." UUD sebagai hukum tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari
pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pmbentukan Peraturan Perundang-
undangan, telah dibedakan dengan tegas dan jelas antara penggunaan istilah Peraturan
dan Keputusan. Peraturan merupakan produk pengaturan (regeling), sedangkan
keputusan merupakan produk penetapan yang bersifat admnistratif (beschikking).
Prof. Muchsan dalam kuliah umum Politik Hukum pada Magister Kenegaraan UGM,
mendefinisikan Peraturan sebagai produk hukum yang mempunyai daya ikat terhadap
sebagian / seluruh penduduk wilayah negara, dalam hal ini kata sebagian tidak
menunjuk jumlah tapi kebulatan suatu wilayah. Contohnya, Peraturan Daerah yang
dibuat oleh Pemerintah Provinsi DIY, mengikat warga yang berdomisili dan berada di
wilayah Provinsi DIY (sebagian penduduk Indonesia).

Pengujian atas peraturan sebagai produk pengaturan atau regeling, jika dilakukan oleh
lembaga yang membuatnya sendiri maka pengujian semacam itu disebut legislative
review atau regulative review. Jika perangkat hukum yang diuji itu merupakan produk
lembaga legislatif (legislative acts) maka pengujiannya dilakukan melalui proses
legislative review. Jika perangkat hukum yang diuji itu merupakan produk lembaga
regulatif (regulative or executive acts) maka pengujiannya dilakukan melalui proses
executive review atau regulative review.

Perbedaan antara legislasi dan regulasi adalah bahwa kegiatan legislasi dilakukan oleh
lembaga perwakilan rakyat atau setidak-tidaknya melibatkan peran lembaga perwakilan
rakyat yang dipilih melalui Pemillihan Umum. Sedangkan regulasi merupakan
pengaturan oleh lembaga eksekutif yang menjalankan produk legislasi dan
mendapatkan delegasi kewenangan utk mengatur (regulasi) itu dari produk legislasi
yang bersangkutan.

Dalam Pasal 145 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Peraturan Daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden. Selanjutnya, Pasal 185
ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Mendagri dapat
membatalkan Peraturan Daerah Provinsi tentang APBD dan Peraturan Gubernur
tentang Penjabaran APBD.

Mekanisme peninjauan atau pengujian oleh Mendagri dapat dikategorikan sebagai


executive review, yaitu mekanisme pengujian Peraturan Daerah oleh Mendagri selaku
pejabat eksekutif tingkat pusat. Pengujian yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat
(eksekutif) terhadap Peraturan Daerah tersebut, merupakan salah satu bentuk
pengawasan terhadap implementasi otonomi daerah, yaitu agar kebijakan daerah yang
dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah tidak menyalahi peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, terutama terhadap UUD 1945.

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah, jelas merupakan


Peraturan yang tingkatannya berada di bawah UU, yang apabila diuji dengan
menggunakan ukuran UU pengujinya adalah Mahkamah Agung. Namun Perda tidak
dapat disebut sebagai produk regulatif atau executive act seperti halnya Peraturan
Pemerintah ataupun Peraturan Presiden. Peraturan Daerah, seperti halnya UU adalah
produk legislative (legislative acts). Peraturan Pemerintah Pengganti UU / PERPPU,
sebagai peraturan yang bersifat sementara, tidak dapat diuji, baik oleh Mahkamah
Konstitusi maupun oleh Mahkamah Agung.

PERPPU adalah produk hukum yang merupakan objek pengujian oleh DPR sebagai
lembaga pembentuk UU. Dengan kata lain terhadap PERPPU tidak dapat dilakukan
judicial review oleh hakim, melainkan hanya dapat dilakukan legislative review oleh
DPR. Jika PERPPU diuji oleh Mahkamah Agung, sudah pasti norma hukum yang
terkandung di dalamnya dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan UU yang sudah
ada sebelumnya. Sedangkan apabila diuji oleh Mahkamah Konstitusi, PERPPU
tersebut belum mendapat persetujuan DPR dan belum disahkan menjadi UU,
sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji peraturan yang
berbentuk UU. Sehingga dalam hal ini, terhadap PERPPU hanya dapat dilakukan
legislative review oleh DPR.

Anda mungkin juga menyukai