Pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) dalam dua bulan terakhir menimbulkan
permasalahan pada kesejahteraan masyarakat. Meski pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan bantuan sosial (bansos) dan stimulus bagi masyarakat namun penerapannya
masih belum maksimal. Sebagai contoh, bansos pemerintah masih belum diberikan
secara merata kepada masyarakat yang membutuhkan. Belum lagi, program Kartu Pra-
Kerja pemerintah dianggap tidak efektif mengantisipasi gelombang pemutusan
hubungan kerja (PHK).
Menurutnya, masyarakat golongan rentan dan hampir miskin ini umumnya bekerja di
sektor informal dan banyak yang sangat bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah.
Dengan menyebarnya pandemi dan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB), banyak golongan masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan dan
bahkan harus kehilangan mata pencahariannya, khususnya yang bekerja di sektor
informal. Apalagi, jika bantuan sosial yang diberikan pemerintah tidak mencukupi atau
datang terlambat, golongan rentan dan hampir miskin akan semakin banyak yang jatuh
ke bawah garis kemiskinan.
“Akibat pandemi Covid-19 pada tahun ini, kami memperkirakan jumlah penduduk di
bawah garis kemiskinan berpotensi bertambah 5,1 juta hingga 12,3 juta orang pada
Triwulan II 2020. Pada skenario berat, jumlah pertambahan penduduk miskin
berpotensi mencapai 5,1 juta orang, dengan asumsi bahwa penyebaran Covid-19 akan
semakin luas pada bulan Mei 2020, tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan
PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di pulau Jawa dan satu dua kota di luar
pulau Jawa,” jelas Akhmad.
Selain itu, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan rentan miskin yang tidak
terjangkau bantuan sosial pemerintah dinilai memicu naiknya angka kriminalitas.
Sehingga, Akhmad menekankan pentingnya meletakkan prioritas kebijakan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah saat ini pada menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat
terutama yang berada di sekitar garis kemiskinan.
“Di samping terus memperbarui data penduduk miskin dan rentan miskin yang layak
mendapatkan bantuan sosial, pemerintah perlu meningkatkan anggaran Bantuan Sosial
dan memperluas jumlah penerima bantuan kepada penduduk yang jatuh miskin akibat
Covid19,” jelas Akhmad.
“Salah satu alternatif yang dapat ditempuh pemerintah adalah menggandeng bank-bank
pemerintah untuk melakukan transfer Bantuan Sosial secara langsung melalui rekening
khusus untuk setiap penerima bantuan. Selain penyalurannya lebih efisien, penerima
bantuan tidak tumpang tindih. Di samping itu, potensi berkurangnya jumlah bantuan
dapat dihindari,” jelasnya.
“Semestinya dalam situasi seperti ini, pemerintah dapat merevisi kembali formula
penetapan harga BBM tersebut sehingga dapat membantu meringankan beban
ekonomi masyarakat,” jelasnya.
Ekonom Core lainnya, Muhammad Ishak Razak menambahkan pemerintah juga harus
meningkatkan insentif bagi petani, peternak, dan nelayan melalui skema pembelian
produk oleh pemerintah dan perbaikan jalur logistik hasil pertanian, peternakan, dan
perikanan. Menurutnya, saat pandemi Covid-19, para petani, peternak, dan nelayan
yang terus berproduksi kini menghadapi minimnya serapan pasar.
“Jika insentif di sektor ini tidak segera dan secara khusus diberikan, maka mereka
berpotensi menambah jumlah penduduk kemiskinan. Selain itu, Kebijakan tersebut juga
akan membantu pemerintah mengamankan ketersediaan stok pangan nasional
khususnya selama berlangsungnya masa pandemi,” kata Razak.
Kebijakan relokasi anggaran juga diperlukan untuk mengatasi pandemi ini. Meskipun
terdapat ruang untuk memperlebar defisit, pemerintah dapat mengoptimalkan realokasi
anggaran yang telah disusun dan menerapkan beberapa kebijakan alternatif dengan
melakukan pembagian beban atau burden sharing antara pemerintah pusat dan daerah
dengan mengalihkan sebagian anggaran transfer daerah dan dana desa untuk
dialokasikan menjadi anggaran bantuan sosial.
Salah satu anggaran yang perlu direlokasi yaitu program Kartu Pra-Kerja yang
digunakan untuk membayar program pelatihan senilai Rp5,63 triliun. Akhmad menilai
program ini tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya angkatan
kerja yang menganggur akibat PHK.
Sumber:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eb1000c12494/kebijakan-bansos-
pemerintah-akibat-covid-19-perlu-dievaluasi?page=3
Dari kasus di atas, bagaimana manfaat hukum dan masyarakat hadir menjembatani
masalah hukum dengan masalah sosial?
SOAL 2 NILAI 35
Sosiologi hukum tumbuh dan berkembang dari dorongan berbagai aliran filsafat hukum.
Bagaimana kaitan contoh kasus di atas ditinjau dari mahzab sejarah dari Carl Von
Savigny?
SOAL 3 NILAI 25
Carilah contoh kasus lainnya yang terjadi di lingkungan masyarakat tempat tinggal anda
dan berikan analisis penyelesaiannya menurut karakteristik hukum dan masyarakat
yang telah anda pelajari!
Sumber Soal
Kode MK & Nomor KB
Fakultas : FHISIP
Nomor
Modul Program Studi : Ilmu Hukum
Modul 1 KB 1
Kode/Nama MK : HKUM4102/ Hukum dan
Masyarakat
Skor Maks : 40
25
Total Nilai maksimum 40
Sumber Soal
Kode MK & Nomor KB
Fakultas : FHISIP
Nomor
Modul Program Studi : Ilmu Hukum
Modul 1 KB 1
Kode/Nama MK : HKUM4102/ Hukum dan
Masyarakat
Skor Maks : 35
Ada penjelasan mahzab sejarah dari Carl Von Savigny; yang menyatakan
bahwa hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang
bersama-sama dengan masyarakat (volksgeist).
Analisis kasus yang ada dalam soal ditinjau dari mahzab sejarah dari Carl
Von Savigny. Semisal: dari kasus dapat kita ketahui bahwa kebijakan
tentang bantuan yang telah ada aturannya, bisa berkembang lagi dengan
adanya masa pandemi Covid-19. Munculnya masyarakat miskin terkena
dampak pandemi tidak dapat disepelekan karena mereka dalam keadaan
yang belum siap. Sehingga ketika dampak tersebut menimpa bisa
menimbulkan putus asa dan memilih jalan yang menghalalkan segala cara
untuk memenuhi kebutuhannya. Teori Carl Von Savigny mengambil peran,
bahwa aturan yang sudah ada akhirnya berkembang dengan kasus-kasus
baru yang tumbuh mengiringi keadaan pada masyarakat.
10
15
Total Nilai maksimum 35
Skor maksimal : 35
Sumber Soal
Kode MK & Nomor KB
Fakultas : FHISIP
Nomor
Modul Program Studi : Ilmu Hukum
Modul 1 KB 1
Kode/Nama MK : HKUM4102/ Hukum dan
Masyarakat
Skor Maks : 25
Total Nilai maksimum 25
Jumlah skor jawaban : 25
Skor maksimal : 25
Tambahan Materi :
1. Mempelajari Hukum dan Masyarakat, sedikitnya ada tiga kegunaan atau manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu :
Analisa saya berdasarkan kasus diatas yang artinya sekarang menjadi di tren baru
dalam tindak pidana atau kriminalitas. Yaitu memanfaatkan subjek hukum berupa anak
dibawah umur untuk melakukan tindak pidana kriminalitas dan mereka berpikir bahwa
terdapat undang-undang perlindungan anak dan anak tersebut akan tidak dapat
dipidana dan akan dibebaskan itu merupakan suatu mindset masyarakat yang sangat
tidak benar. Pada dasarnya setiap tindakan kriminal atau pidana didasari oleh jenis
tindakan dan seberapa dalam atau seberapa berpengaruh terhadap lingkungan sosial.
Seharusnya dengan mempelajari hukum dan masyarakat kita lebih memahami konteks
hukum di dalam perlindungan anak di bawah umur dikategorikan di dalam apa dan jenis
yang bagaimana dan tidak dimanfaatkan untuk sebagai kesempatan berlaku seenaknya
dan melawan hukum. Hukum dan masyarakat merupakan spesialisasi sosiologi yang
mempelajari dan mengkaji keterkaitan antara aspek sosial dan aspek hukum
keterkaitan itu merupakan hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi produk
hukum pendekatan sosiologi hukum konteks sosial pendekatan ini lebih melihat hukum
sebagai pembangunan sosial yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya dan
hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang dan tidak dipahami sebagai
peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan sosial yang harus dipatuhi dan ditaati oleh
setiap lapisan masyarakat.
Sosiologi hukum sebagai ilmu terapan menjadi sosiologi sebagai subjek seperti fungsi
sosiologi dalam penerapan hukum pembangunan hukum pembaharuan hukum dan
perubahan masyarakat berupa hukum dan dampak efektivitas hukum serta kultur
hukum. Selanjutnya tingkat kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat berdasarkan
beberapa motif yang pertama kesadaran hukum disebabkan karena takut terhadap
konsekuensi hukum yang kedua kesadaran hukum karena takut akan hubungan sosial
dan orang lain serta menjadi kesadaran hukum karena betul-betul memahami tujuan
fungsi dan manfaat dari hukum tersebut sebagai upaya menuju pemahaman hukum
secara holistik dan visioner kiranya diperlukan adanya pergeseran paradigma di
masyarakat ketika kedua pendekatan tersebut dapat digunakan sebagai sinergi dan
komplementer atau pelengkap artinya pendekatan terhadap hukum tidak hanya
mengambil salah satu tetapi harus mengambil keduanya secara utuh sehingga dapat
dilakukan analisa secara holistik dan komprehensif.
1. Hukum memiliki beberapa unsur, yaitu peraturan mengenai tingkah laku manusia
dalam pergaulan masyarakat, peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang
berwajib, peraturan itu bersifat memaksa dan sanksi terhadap pelanggaran tersebut
adalah tegas.
2. Fungsi hukum adalah (1) Sebagai pedoman / pengarahan pada masyarakat dalam
bertingkah laku, yaitu Hukum sebagai kaedah menentukan mana perilaku yang
diperbolehkan dan mana perilaku yang dilarang, sehingga keserasian dan keutuhan
masyarakat terpelihara. (2) Sebagai sarana pengendalian sosial (social control), adalah
suatu proses dan sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga
masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. (3) Sebagai sarana
penyelesaian perkara atau sengketa (dispute settlement), maksudnya jika terjadi
perkara atau sengketa antar warga masyarakat, maka diupayakan penyelesaiannya
menurut ketentuan hukum. Masyakat manapun biasanya selalu menyediakan suatu
mekanisme untuk penyelesaian perkara tersebut. (4) Sebagai sarana rekayasa sosial
(social engineering), maksudnya hukum tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-
pola kebiasaan dan terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan
pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang tidak
sesuai lagi, menciptakan pola-pola perilaku baru dan sebagainya. Sedangkan tujuan
hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum hanya dapat mencapai
tujuannya jika ia menuju peraturan yang adil, artinya terdapat keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi.
3. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber
hukum materil ialah kesadaran hukum masyarakat, kesadaran hukum yang hidup
dalam masyarakat yang dianggap seharusnya. Jadi sumber hukum materil atau sumber
isi hukum menentukan isi apakah yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat disebut
hukum serta mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum. Sedangkan sumber
hukum formil adalah tempat dimana kita dapat menemukan dan mengenal hukum.
Dengan kata lain menyangkut dengan masalah prosedur atau cara pembentukan
undang-undang. yang terdiri atas undang-undang, kebiasaan, jurisprudensi, traktat dan
doktrin.
4. Hukum dapat dibedakan atas beberapa azas pembagian, yaitu menurut Menurut
sumbernya (Hukum undang-undang, Hukum kebiasaan, Hukum traktat, Hukum
jurisprudensi). Menurut bentuknya (hukum tertulis, Hukum tak tertulis). Menurut tempat
berlakunya (Hukum nasional, Hukum internasional, Hukum asing dan Hukum gereja).
Menurut waktu berlakunya (Ius Constitutum, Ius Constituendum dan Hukum Asasi )
Menurut cara mempertahankannya (Hukum materiil dan Hukum formil /hukum acara).
Menurut sifatnya atau sanksinya (Hukum yang memaksa dan Hukum yang mengatur).
Menurut isinya (Hukum publik dan Hukum privat / hukum sipil).
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan
empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya. Pentingnya mempelajari Sosiologi Hukum adalah karena
hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga
kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah
dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hidup berdampingan dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling mempengaruhi.
Dengan mempelajari sosiologi hukum, sedikitnya ada lima kegunaan atau manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif
(tertulis dan tidak tertulis) didalam negara atau masyarakat, mengetahui efektivitas
berlakunya hukum positif dalam masyarakat, memberikan kemampuan pemahaman
hukum dalam konteks sosial; memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas
hukum dalam masyarakat dan memberikan kemampuan mengadakan evaluasi
(penilaian) terhadap hukum dalam masyarakat
Terkait dengan soal “Meski di Bawah Umur, Pelaku "Klitih" Tetap Dikenakan
Pidana” klitih sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti suatu aktivitas mencari angin di
luar rumah atau keluyuran. Seiring berjalannya waktu, makna klitih mengalami
pergeseran menjadi negatif, yaitu aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan
menggunakan senjata tajam yang dilakukan perseorangan atau berkelompok. Para
pelaku pun kebanyakan adalah pelajar atau remaja.
Jika pelaku adalah anak, maka berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”). Pasal 1 angka 3 UU 11/2012
menerangkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan
negeri wajib diupayakan diversi yang hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:
Yang dimaksud diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Selanjutnya, patut diperhatikan
bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan,
dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Analisis
Dari definisi tersebut diatas dapat kita menggolongkan kasus tersebut sebagai kasus
pidana karena perbuatan Klitih itu telah mengganggu kepentingan umum.
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah kejahatan yang
dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan:
Perbedaan antara Pasal 359 KUHP dengan Pasal 338 KUHP yakni pada pembunuhan
pasal 359 KUHP ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa),
sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kengajaan (dolus).
Analisis Pelaku Klitih yang Disertai dengan Kejahatan di Kapolda Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Brigjend Pol Ahmad Dofir
a. Aspek Biologis
b. Aspek Psikologis
Yang kasus ini, mereka dari beberapa sekolah, dipertemukan dan dikenalkan karena
teman, ada teman kakaknya
Pelakunya pun beragam usia. Namun meski di bawah umur, pihaknya akan menindak
tegas pelaku kekerasan atau "klitih" yang berunsur pidana.
- Pelaku mempunyai sistem integral (dapat mengulangi perbuatan yang sama) karena
akibat penggunaan minuman keras.
- Pelaku yang memiliki pola pikir masih muda dari beragam usia yang masih
menempuh dunia pendidikan dan ada juga yang tidak menempuh dunia pendidikan
SMA (Sekolah Menengah Atas).
c. Metode Kejahatannya
- Pelaku melakukan kejahatan di waktu malam hari dan di tempat yang sepi.
- Pelaku menggunakan senjata tajam (pedang, celurit, belati, stik besi) untuk melukai
korban hingga mendapatkan luka dan juga hanya ingin menakut-nakuti saja.
- Pelaku ingin meluki korban dan langsung lari dari tanggung jawab atas perbuatan
yang mereka lakukan. Pelaku memilih korban secara random (acak) dari kalangan anak
sebayanya, laki-laki yang lebih tua, wanita, ibu-ibu.
d. Modus Operandi
- Pelaku cenderung ingin harta atau kekayaan dari korban (HP, Uang, Sepeda Motor).
Sementara itu, untuk pelaku "klitih" yang terjadi di Jalan Kenari, Kota Yogyakarta,
Kapolda DIY, menyampaikan akan dikenakan pasal 338 dan 354 KUHP, mengenai
pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia.
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Analisa kesenjangan dari kasus diatas yaitu terdapat perubahan yang mencolok di
dalam pola pikir masyarakat terhadap memaknai arti pentingnya perlindungan hukum
bagi anak-anak. Sehingga anak-anak dipakai sebagai alat untuk melakukan tindak
pidana atau melawan hukum berasaskan mereka terdapat undang-undang
perlindungan anak. Karena pada dasarnya meskipun anak-anak itu dikategorikan masih
dilindungi hukum tetapi jika iya melakukan tindak pidana hukum dan tuntutan dari 7
tahun harus diberikan tindakan hukum agar membuat efek jera dan kesenjangan ini
memuat beberapa pemahaman yaitu penganut sosiologi hukum yang berbasis moral
menempatkan hukum tidak sekedar alat untuk menempatkan keadaan keadilan tetapi
juga sebagai alat pendidikan, sekalian dengan fungsi edukatif Nya maka proses hukum
selalu melibatkan masyarakat secara transparan termasuk dalam penerapan hukum
maupun pemberian sanksi hukum, melalui proses sosial ini diharapkan tumbuh
kesadaran hukum bahwa setiap kejahatan akan berakibat fatal bagi pelakunya,dan
dengan kesadaran yang diperoleh melalui penjelasan dan pengalaman atau
penglihatan langsung maka masyarakat tidak akan mencoba coba berbuat kejahatan
dan berpikir untuk menggunakan anak-anak sebagai alat untuk melawan hukum.
- Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak
pidana.
- Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.
Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke sidang anak
didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kesadaran hukum perlu ditanamkan sejak dini yang berawal dari lingkungan keluarga,
yaitu setiap anggota keluarga dapat melatih dirinya memahami hak-hak dan tanggung
jawabnya terhadap keluarga, menghormati hak-hak anggota keluarga lain, dan
menjalankan kewajibannya sebelum menuntut haknya. Apabila hal ini dapat dilakukan,
maka ia pun akan terbiasa menerapkan kesadaran yang telah dimilikinya dalam
lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat dan bahkan negara.
Hukum adalah suatu tata aturan kehidupan yang diciptakan untuk mencapai nilai-nilai
yang diinginkan masyarakat. Salah satu nilai yang menjadi tujuan hukum adalah
ketertiban. Ketertiban artinya ada kepatuhan dan ketaatan perilaku dalam menjalankan
apa yang dilarang dan diperintahkan hukum. Konkretnya, dapat kita ambil contoh
sederhana dalam tata aturan berlalu lintas. Hukum atau perangkat aturan yang dibuat
dalam bidang lalu lintas mempunyai tujuan agar terjadi tertib dalam kegiatan berlalu-
lintas. Hal ini juga dalam upaya melindungi kepentingan dan hak-hak orang lain.
Untuk menumbuhkan kebiasaan sadar hukum inilah yang menjadi tantangan dan
tanggung jawab semua pihak. Budaya sadar dan taat hukum sejatinya haruslah
ditanamkan sejak dini. Maka elemen pendidikanlah menjadi ujung tombak dalam
menanamkan sikap dan kebiasaan untuk mematuhi aturan-aturan yang ada. Institusi
pendidikan merupakan media sosialisasi primer yang sangat mempengaruhi
pembentukan karakter manusia dikemudian hari. Jika sikap dan perilaku taat hukum
telah ditanamkan sejak din, maka kedepan, sikap untuk menghargai dan mematuhi
aturan akan mendarah daging dan membudaya di masyarakat. Tentunya hal ini
dilakukan dengan memberikan pengetahuan yang benar tentang apa saja yang tidak
boleh dilakukan dan boleh dilakukan.
Dengan adanya kesadaran hukum ini kita akan menyaksikan tidak adanya pelanggaran
sehingga kehidupan yang ideal akan ditemui. Lembaga pendidikan formal, informal dan
non formal perlu diajak bersama-sama mengembangkankesadaran dan kecerdasan
hukum sejak dini.Pendidikan hukum tidak terbatas hanya pendidikan formal di bangku
sekolah saja. Namun juga dapat dilakukan di luar bangku sekolah. Pembelajaran
mengenai hukum sejak dini harus diajarkan kepada anak-anak. Agar nantinya tertanam
dalam diri mereka rasa kebutuhan akan peraturan hukum. Sehingga kesadaran hukum
akan terbentuk sejak dini.
Dalam fenomena klithih oleh remaja kerap disertai dengan kekerasan bahkan hingga
terjadi pembunuhan. Sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan telah diatur pada pasal
170 KUHP. Pasal tersebut memiliki unsur-unsur yaitu:
Dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang mengakibatkan luka-luka
Dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat
Dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
Sanksi pidana tentang penganiayaan juga diatur dalam pasal 358 KUHP yang
berbunyi: Mereka yang dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau
perkelahian di mana terlibat beberapa rang, selain tanggungjawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, bila akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat; (KUHP 90.)
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, bila akibatnya ada yang mati.
Bagi pelaku aksi klithih yang masih dibawah umur, butuh ketelitian hakim untuk
mengeluarkan keputusan bila si anak dibawah umur atau remaja memang di putus
bersalah. Butuh kebijaksanaan hakim untuk memutuskan sanksi pidana bagi remaja
atau anak dibawah umur. Misal keputusan hakim berupa dikembalikan si anak kepada
orang tuanya atau wali, maka harus melihat keadaan dari orang tua atau si wali. Bila
diputus terbukti bersalah dan meyakinkan bersalah, maka diserahkan kepada negara
untuk dididik melalui lembaga-lembaga sosial tanpa pidana apapun. Tentunya bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan remaja delinkuen berupa aksi klithih dan
juga melindungi kepentingan si anak agar tidak terjerumus untuk melakukan.
Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anak
dibawah umur terkait aksi klithih, KUHP mengaturnya dalam pasal 45 Kitab Undang -
undang Hukum Pidana:
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya
tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 504, 505, 514,
517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 54, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
bersalah karena melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut diatas, dan
putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”
Pasal ini dipandang dapat memadai sebagai pasal yang memuat beberapa
ketentuan yuridis mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak usia 16 tahun.
Ketentuan- ketentuan didalamnya menyangkut penuntutan serta kemungkinan yang
dapat dipilih oleh hakim dalam membuat putusan seperti :
Selebihnya, menurut pasal 58 ayat (1) Undang undang nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya ataupun
pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan si anak.
Adanya akulturasi budaya tersebut tidak hanya menciptakan ketegangan sosial
yang memicu lahirnya tindak kejahatan. Adanya akulturasi budaya membawa
perubahan terhadap sendi - sendi bermasyarakat. Salah satunya dalam segi hukum.
Hukum di masyarakat tumbuh bersama nilai - nilai yang ada dimasyarakat. Dengan
kata lain, nilai - nilai dan sikap - sikap masyarakat inilah yang mempengaruhi hukum itu
sendiri sehingga terciptalah suatu budaya hukum. sikap - sikap inilah yang menentukan
pendapat masyarakat tentang hukum. Baik penolakan maupun penerimaan terhadap
hukum. Dan hal tersebut ditentukan oleh budaya hukum.
Budaya hukum diibaratkan sebagai orang yangmenjalankan sebuah mesin yang
mempunyai kewajiban untuk menghidupkan atau mematikan mesin tersebut. Dapat
diartikan bahwa orang-orang tersebut adalah masyarakat yang menentukan bagaimana
hukum sebagai suatu produk dapat berjalan dengan sewajarnya atau tidak.
Terkait dengan peranan masyarakat akan upaya untuk meminimalisir aksi klithih,
dapat dilihat dari data yang disajikan oleh bps d.i yogyakarta pada tahun 2014. Dalam
data yang disajikan tersebut, terdapat indikator yang menunjukkan bagaimana upaya
masyarakat untuk turut membantu menjaga keamanan lingkungannya. Masing-masing
indikator tersebut yakni :
4) Pelaporan tamu yang menginap lebih dari 24 jam ke aparat lingkungan,dll
Posisi masyarakat dalam budaya hukum mempunyai peranan penting. Karena
budaya hukum yang merupakan sikap, perilaku, dan keinginan masyarakat terhadap
hukum merupakan gambaran bagaimana berlakunya hukum di masyarakat.
Keberadaan budaya hukum dipengaruhi oleh substansi dan struktur hukum. Oleh
karena itu, untuk membentuk sebuah iklim hukum yang sehat, dibutuhkan beberapa
faktor yang saling terkait. Soerjono soekanto menjabarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum :
1) Hukum dan aturannya. Yakni perlu adanya peraturan perundang- undangan yang
dapat dijalankan.
2) Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang penegakan hukum
3) Kesadaran akan hukum dan kepastian hukum dan perilaku masyarakat itu sendiri.
Faktor ini adalah wujud dari budaya hukum di masyarakat (budaya hukum eksternal)
Berdasarkan faktor-faktor diatas, penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-
aturan hukum, fasilitas, juga sangat bergantung pada mentalitas aparat penegak hukum
dan kesadaran masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Sebaik
apapun sebuah produk hukum apabila tidak didukung oleh budaya hukum yang baik,
maka produk hukum hanya sebatas tulisan-tulisan saja. Dan bila produk hukum dibuat
sangat baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat namun penegak hukum
tidak menegakkan hukum dengan baik maka tidak akan tercipta iklim hukum yang
sehat.
Dalam fenomena klithih oleh remaja kerap disertai dengan kekerasan bahkan hingga
terjadi pembunuhan. Sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan telah diatur pada pasal
170 KUHP. Pasal tersebut memiliki unsur-unsur yaitu:
Dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang mengakibatkan luka-luka
Dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat
Dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
Sanksi pidana tentang penganiayaan juga diatur dalam pasal 358 KUHP yang
berbunyi: Mereka yang dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau
perkelahian di mana terlibat beberapa rang, selain tanggungjawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, bila akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat; (KUHP 90.)
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, bila akibatnya ada yang mati.
Bagi pelaku aksi klithih yang masih dibawah umur, butuh ketelitian hakim untuk
mengeluarkan keputusan bila si anak dibawah umur atau remaja memang di putus
bersalah. Butuh kebijaksanaan hakim untuk memutuskan sanksi pidana bagi remaja
atau anak dibawah umur. Misal keputusan hakim berupa dikembalikan si anak kepada
orang tuanya atau wali, maka harus melihat keadaan dari orang tua atau si wali. Bila
diputus terbukti bersalah dan meyakinkan bersalah, maka diserahkan kepada negara
untuk dididik melalui lembaga-lembaga sosial tanpa pidana apapun. Tentunya bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan remaja delinkuen berupa aksi klithih dan
juga melindungi kepentingan si anak agar tidak terjerumus untuk melakukan.
Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anak
dibawah umur terkait aksi klithih, KUHP mengaturnya dalam pasal 45 Kitab Undang -
undang Hukum Pidana:
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya
tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 504, 505, 514,
517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 54, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
bersalah karena melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut diatas, dan
putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”
Pasal ini dipandang dapat memadai sebagai pasal yang memuat beberapa
ketentuan yuridis mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak usia 16 tahun.
Ketentuan- ketentuan didalamnya menyangkut penuntutan serta kemungkinan yang
dapat dipilih oleh hakim dalam membuat putusan seperti :
Selebihnya, menurut pasal 58 ayat (1) Undang undang nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya ataupun
pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan si anak.
Adanya akulturasi budaya tersebut tidak hanya menciptakan ketegangan sosial
yang memicu lahirnya tindak kejahatan. Adanya akulturasi budaya membawa
perubahan terhadap sendi - sendi bermasyarakat. Salah satunya dalam segi hukum.
Hukum di masyarakat tumbuh bersama nilai - nilai yang ada dimasyarakat. Dengan
kata lain, nilai - nilai dan sikap - sikap masyarakat inilah yang mempengaruhi hukum itu
sendiri sehingga terciptalah suatu budaya hukum. sikap - sikap inilah yang menentukan
pendapat masyarakat tentang hukum. Baik penolakan maupun penerimaan terhadap
hukum. Dan hal tersebut ditentukan oleh budaya hukum.
Budaya hukum diibaratkan sebagai orang yangmenjalankan sebuah mesin yang
mempunyai kewajiban untuk menghidupkan atau mematikan mesin tersebut. Dapat
diartikan bahwa orang-orang tersebut adalah masyarakat yang menentukan bagaimana
hukum sebagai suatu produk dapat berjalan dengan sewajarnya atau tidak.
Terkait dengan peranan masyarakat akan upaya untuk meminimalisir aksi klithih,
dapat dilihat dari data yang disajikan oleh bps d.i yogyakarta pada tahun 2014. Dalam
data yang disajikan tersebut, terdapat indikator yang menunjukkan bagaimana upaya
masyarakat untuk turut membantu menjaga keamanan lingkungannya. Masing-masing
indikator tersebut yakni :
4) Pelaporan tamu yang menginap lebih dari 24 jam ke aparat lingkungan,dll
Posisi masyarakat dalam budaya hukum mempunyai peranan penting. Karena
budaya hukum yang merupakan sikap, perilaku, dan keinginan masyarakat terhadap
hukum merupakan gambaran bagaimana berlakunya hukum di masyarakat.
Keberadaan budaya hukum dipengaruhi oleh substansi dan struktur hukum. Oleh
karena itu, untuk membentuk sebuah iklim hukum yang sehat, dibutuhkan beberapa
faktor yang saling terkait. Soerjono soekanto menjabarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum :
1) Hukum dan aturannya. Yakni perlu adanya peraturan perundang- undangan yang
dapat dijalankan.
2) Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang penegakan hukum
3) Kesadaran akan hukum dan kepastian hukum dan perilaku masyarakat itu sendiri.
Faktor ini adalah wujud dari budaya hukum di masyarakat (budaya hukum eksternal)
Berdasarkan faktor-faktor diatas, penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-
aturan hukum, fasilitas, juga sangat bergantung pada mentalitas aparat penegak hukum
dan kesadaran masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Sebaik
apapun sebuah produk hukum apabila tidak didukung oleh budaya hukum yang baik,
maka produk hukum hanya sebatas tulisan-tulisan saja. Dan bila produk hukum dibuat
sangat baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat namun penegak hukum
tidak menegakkan hukum dengan baik maka tidak akan tercipta iklim hukum yang
sehat.
Dari keterangan diatas kita data mengetahui Bahwa, kesadaran masyarakat masih
kurang terhadap pehaman hukum tertulis itu masyarakat masih salah penafsiran dalam
hukum tertulis yang pada dasarnya jika mereka mempelajari sosiologi hukum hal- hal
seperti kasus diatas dapat di tolerir, GAP/Kesenjangan dalam kasus ini adalah masih
minimnya pengetahuaan/Pemahaman Hukum masyarakat terhadap Hukum tertulis.
Dengan mempelajari Sosiologi Hukum, sedikitnya ada tiga kegunaan atau Manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu :
Dari keterangan diatas kita data mengetahui Bahwa, kesadaran masyarakat masih
kurang terhadap pehaman hukum tertulis itu masyarakat masih salah penafsiran dalam
hukum tertulis yang pada dasarnya jika mereka mempelajari sosiologi hukum hal- hal
seperti kasus diatas dapat di tolerir, GAP/Kesenjangan dalam kasus ini adalah masih
minimnya pengetahuaan/Pemahaman Hukum masyarakat terhadap Hukum tertulis.
Dengan mempelajari Sosiologi Hukum, sedikitnya ada tiga kegunaan atau Manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu :
Pasal 338 dan 354 KUHP ; “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Apabila luka berat itu dimaksud, dikenakan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat),
sedangkan jika kematian itu dimaksud, maka perbuatan itu masuk pembunuhan (Pasal
338 KUHP).
a. diskriminasi;
c. penelantaran;
e. ketidakadilan; dan
Menjawab pertanyaan Anda, pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam
Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Melihat dari keterangan di atas pelaku "klitih, diasumsikan usianya sebelum 17 tahun
akan diberikan ancamannya lebih dari 7 tahun mereka tetap dikenakan ketentuan
pidana,untuk hukum jerah dan direabilitas.
Dasar Hukum:
Dalam hal ini, benarlah apa yang dikemukakan oleh Esmi Warassih bahwa “Penerapan
suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat
merupakan masalah, khususnya di negara negara yang sedang berubah karena terjadi
ketidakcocokan antara nilai nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara
lain dengan nilai nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”
Tingkat kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat berdasar beberapa motif sebagai
berikut; 1) Kesadaran hukum disebabkan karena takut terhadap konsekuensi hukum, 2)
Kesadaran hukum karena takut akan hubungan sosial dengan orang lain akan menjadi
renggang, 3) Kesadaran hukum karena betul-betul memahami tujuan, fungsi, dan
manfaat dari hukum tersebut. Untuk memperbaiki budaya hukum hendaknya sering
dilakukan program-program peningkatan kesadaran hukum. Peningkatan kesadaran
hukum tersebut dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas
dasar perencanaan hukum yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar
masyarakat mengetahui dan memahami keberadaan hukum tertentu sehingga dapat
merasakan manfaatnya.
"Sebenarnya tidak meningkat, cuma ini lebih sadis. Potong tangan itu luar biasa," kata
Danny saat ditemui detikcom di sebuah tempat makan di Jalan Serigala, Makassar,
Senin (3/12//2018).
Danny mengatakan salah satu penyebab maraknya kasus begal di Makassar adalah
waktu masyarakat mengumpulkan uang bertepatan dengan orang-orang yang juga
membutuhkan uang sehingga kebutuhan pun meningkat saat itu.
"Biasanya para begal ini ada kebutuhan pesta menjelang tahun baru ini, maka
meningkat kebutuhan. Saat bersamaan, uang itu terkumpul. Nah, kebutuhan meningkat
dan kejahatan meningkat," terangnya.
Oleh karena itu, pihaknya akan melawan para begal dengan segala cara. Termasuk
melibatkan pejabat setingkat RT dan RW untuk menjadi intelijen khusus yang bekerja
sama dengan kepolisian.
Meski kejahatan begal terbilang sadis tahun ini, pengungkapan kejahatan ini terbilang
cepat, bahkan dalam hitungan hari. Dia membandingkan kasus serupa di daerah lain
yang belum terungkap.
Sumber : https://news.detik.com/berita/d-4328311/2018-jadi-tahun-begal-sadis-di-
makassar
Berdasarkan contoh kasus diatas kejahatan adalah suatu tindakan yang termasuk
dalam tindak pidana berat atau lebih berat dari sekedar pelanggaran, perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja dan dilakukan dengan sadar dengan maksud tertentu untuk
menguntungkan diri sendiri yang merugikan orang lain atau masyarakat.
Ada 2 (dua) sudut pandang yang menjelaskan defenisi kejahatan (Alam,2010:16-
17), yaitu:
1. Dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view).
Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang
melanggar hukum pidana. Bagaimana jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan
itu tidak dilarang di dalam perundang-undangan pidana perbuatan itu tetap sebagai
perbuatan yang bukan kejahatan.
1. Dari sudut pandang msayarakat (a crime from the sociological point of view).
Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang melanggar
norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.Terjadinya suatu kejahatan
sangatlah berhubungan dengan kemiskinan, pendidikan, pengangguran dan faktor-
faktor sosial ekonomi lainnya utamanya pada Negara berkembang, di mana
pelanggaran norma dilatarbelakangi oleh hal-hal tersebut (Ninik widyanti dan Yulius
Weskit, 1987:62). Pernyataan bahwa faktor-faktor ekonomi banyak mempengaruhi
terjadinya suatu kejahatan didukung oleh penelitian Clinard di Uganda menyebutkan
bahwa kejahatan terhadap harta benda akan terlihat naik dengan sangat pada negara-
negara berkembang, kenaikan ini akan mengikuti pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi.
Faktor lain yang lebih dominan adalah faktor lingkungan Bonger (Soesilo,1985:28)
dalam in leading tot the criminologie berusaha menjelaskan betapa pentingnya faktor
lingkungan sebagai penyebab kejahatan. Sehingga dengan demikian, bahwa faktor
ekonomi, faktor pendidikan, dan faktor lingkungan merupakan faktor-faktor yang lebih
dominan khususnya.Kondisi kehidupan manusia dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Menurut Matinus Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi
(VIVAco.id, diakses: 20 November 2015) Begal itu hanya istilah sosiologi bukan bahasa
hukum karena begal itu tak dikenal dalam Kitab Undang-undang Kepolisian. Dalam
kategori tindak pencurian, kepolisian hanya mengenal pencurian dengan kekerasan dan
pencurian dengan pemberatan.Misalnya curasmelibatkan penodongan, perampas
menggunakan senjata dan menyakiti korban dikenakan pasal 364 KUHP.
Tindak kejahatan khususnya pencurian dengan kekerasan atau dengan istilah kata
jaman sekarang yaitu begal sudah menjadi salah satu tindak kriminal yang cukup
menonjol di kota Makassar. Hal tersebut dikarenakan semakin beraninya pelaku
pencurian dengan kekerasan dalam melakukan aksinya tidak peduli korbannya laki-laki
maupun perempuan.
Secara garis besar pemberian wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang
kepada hakim terhadap dakwaan yang diberikan meliputi :
2) Penindakan;
Selain dakwaan yang diberikan juga meliputi unsur-unsur yang ada pada pasal-
pasal KUHP, hakim juga harus memiliki pemenuhan pada Pasal 183, 184 KUHAP dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Menurut keputusan
seminar hukum nasional ke-1 tahun 1983, yang dimaksud dengan hukum acara pidana
adalah norma hukum yang berwujud wewenang yang diberikan kepada negera untuk
bertindak apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi hukum acara
pidana mempunyai tiga tugas pokok, yaitu :
Tekanan dalam tiga tugas pokok tersebut harus diletakkan pada fungsi mencari
kebenaran material sebab kebenaran yang harus menjadi dasar dari pada keputusan
hakim pidana. Menurut KUHP, peristiwa pidana dibedakan menjadi dua jenis yaitu
“misdrijf“ (kejahatan) dan “overtrading” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan syarat-
syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran.KUHP hanya menentukan
semua ketentuan yang dimuat dalam buku II adalah kejahatan sedang semua yang
terdapat dalam buku III adalah pelanggaran.
Kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada
pelanggaran, selain itu terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Pencurian pada umumnya
merupakan tindakan yang pada KUHP terdapat pada buku II (kejahatan), namun
pencurian juga dapat dikatergorikan pada delik materil apabila pencurian tersebut
disertai pembunuhan, penganiayaan atau hal-hal yang menitik beratkan pada akibat
yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
Sosiologi Hukum timbul karena adanya celah di dalam penerapan Hukum Positif.
Sosiologi hukum sendiri, mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala yang empiris
dan dapat diamati dalam kehidupan masyarakat.
Sosiologi hukum menjadi penting karena dalam proses penegakan hukum, tidak serta
merta hanya melihat siapa dan apa pasal-pasal yang menjerat untuk menjatuhkan
pelaku ke dalam sanksi.
Namun lebih jauh, sosiologi hukum membawa sudut pandang baru untuk menilai
sebuah permasalahan dengan melihat latar belakang kehidupan dan kebudayaan,
sosial, dan ekonomi dalam masyarakat.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup sosiologi hukum dalam artikel ini, meliputi aspek-aspek yang tidak
mampu dilihat dan dijangkau oleh sistem hukum positif.
Dimana aspek-aspek ini seringkali diabaikan oleh para penegak dan pelaku hukum
dalam penyelesaian masalah.
Hukum di Indonesia saat ini, seolah memiliki sisi tajam bagi para kaum marjinal dan
masyarakat yang buta akan hukum, namun sangat tumpul jika dihadapkan dengan
pelaku dan pemilik kekuasaan.
Seperti yang ditulis dalam artikel ini, kutipan dari Filsuf Yunani pada abad ke-7 dalam
ungkapan dari hukum Anarcharsis:
“Hukum itu adalah jaring laba-laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-orang
miskin, tetapi tidak mampu untuk menjaring orang-orang kaya. Bahkan oleh orang-
orang kaya, jaring laba-laba itu akan dirobek-robek olehnya”.
Realitanya, ungkapan itu memang benar untuk melihat berbagai polemik hukum saat
ini. Seolah hal itu memang menjadi tabiat bagaimana sifat hukum itu sejak dahulu.
Nenek Asyanti merupakan salah satu contoh, dari tidak beresnya penerapan hukum di
negara ini. Dengan melihat latar belakang dan bagaimana kondisi fisik, sosial dan
ekonominya, seharusnya hal itu mampu menjadi pertimbangan lebih agar
permasalahan itu mampu diselesaikan secara adil.
Kerugian yang tidak seberapa, menjadi dasar dan alasan kasus ini diakhiri dengan
dakwaan yang mengundang prihatin banyak pihak.
Padahal di luar sana, banyak kasus dengan kerugian yang berdampak besar dengan
skala besar pula, bisa lolos dengan mudahnya tanpa sanksi yang menjerat. Seperti
kasus pembakaran hutan di Sumatera selatan.
Celah-celah dan ketimpangan inilah yang menjadi kajian-kajian dan fokus dalam
sosiologi hukum. Sosiologi hukum lahir, untuk mencapai keadilan bagi pelanggar dan
korban dengan melihat berbagai latar belakang kehidupan masing-masing.
Analisis
Dari definisi tersebut diatas dapat kita menggolongkan kasus tersebut sebagai kasus
pidana karena perbuatan yang dilakukan Andi Rismanto alias Ambon itu telah
mengganggu kepentingan umum.
Dilihat dari sisi sumber tindakan pada hukum pidana ada 3 macam:
Pelaku dijerat oleh pasal mengenai pemerasan yang diatur dalam pasal 368
KUHPidana. Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan diramuskan
dengan rumusan sebagai berikut :
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah
milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang,
diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2. Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini.
Unsur obyektif yaitu unsur yang terdapat di luar diri si pelaku tindak pidana, yang
meliputi unsur-unsur:
1. Memaksa .
Unsur subyektif, yaitu unsur yang terdapat di dalam diri si pelaku tindak pidana yang
meliputi unsur – unsur :
Kaitannya dengan kasus diatas pelaku memenuhi semua unsur-unsur di atas, baik
yang subjektif maupun yang obyektif. Pelaku memeras korban setiap minggu dengan
cara memaksa untuk memberikan uang Rp 150.000,-, korban pun terpaksa memenuhi
permintaan pelaku. Barang yang diserahkan adalah uang, yang akhirnya digunakan
oleh pelaku untuk membeli rokok dan minuman keras untuk dirinya sendiri. Artinya,
pelaku telah memeras korban untuk menguntungkan dirinya sendiri.
Contoh kasus hukum lainnya dan analisa menggunakan sudut pandang hukum dan
masyarakat permasalahan penegakan hukum mulai dari; Kholil dan Basri dalam kasus
pencurian semangka, Nenek Minah yang mencuri cokelat, hingga Nenek Asyani
dengan kasus pencurian 7 batang kayu. Artikel ini lantas mengerucutkan permasalahan
yang dialami oleh nenek Asyani.
Nenek Asyani didakwa sebagai tersangka atas hilangnya 7 batang kayu jati di
Situbondo, Jawa Timur. Beliau terjerat hukum atas kasus pencurian tersebut dan
terjerat pasal 12 huruf c dan d jo pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.18 tahun
2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Kasus ini mampu menjadi perhatian masyarakat luas lantaran dalam proses dan
penegakan hukum, dinilai terlalu berlebihan. Hukum yang seharusnya mampu
melahirkan keadilan, dalam kasus ini justru melahirkan ketidak adilan yang merugikan
pihak kecil.
Seringkali, hukum di negeri ini terlalu tajam untuk kaum bawah, dan tumpul untuk kaum
yang berkuasa. Dalam penanganan kasus Nenek Asyani ini, para pelaku hukum dan
penegak seolah tidak memiliki kepekaan sosial.
Karena dalam kasus ini, penyelesaian sebenarnya bisa dilakukan pada tahap pertama.
Kepolisian selaku pengayom masyarakat, seharusnya mampu menjadi mediator dalam
menemukan penyelesaian dengan jalur kekeluargaan.
Namun, meskipun dalam kenyataannya Nenek Asyanti sudah meminta maaf dan
bahkan hingga menyembah penegak keadilan, hukum yang diterimanya begitu berat.
Nenek Asyanti akhirnya dikenai hukuman 1 tahun penjara, dengan ganti rugi sebesar
Rp500.000.000 untuk 7 batang kayu jati, yang bahakan dia tidak merasa mencuri.
Artikel ini juga menyinggung tentang hukum positif yang ada di negara ini. Dengan
dasar berbagai permasalahan penegakan hukum seperti yang dicontohkan di atas,
hukum positif lebih terlihat sebagai penindas daripada pendidik atau pembimbing.
Akar dari permasalahan ini adalah bentuk hukum yang dipegang negara ini seolah tidak
melihat sisi lain dalam praktiknya. Padahal, dalam penanganan masalah yang berkaitan
dengan hukum, perlu adanya pendekatan dan menilik latar belakang masyarakat.
Kasus hukum tidak melulu menghasilkan hukuman sebagai hasil mutlak dalam
penyelesaiannya. Restorative Justice, menjadi solusi untuk berbagai polemik dalam
penyelesaian hukum.
Sosiologi Hukum timbul karena adanya celah di dalam penerapan Hukum Positif.
Sosiologi hukum sendiri, mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala yang empiris
dan dapat diamati dalam kehidupan masyarakat.
Sosiologi hukum menjadi penting karena dalam proses penegakan hukum, tidak serta
merta hanya melihat siapa dan apa pasal-pasal yang menjerat untuk menjatuhkan
pelaku ke dalam sanksi.
Namun lebih jauh, sosiologi hukum membawa sudut pandang baru untuk menilai
sebuah permasalahan dengan melihat latar belakang kehidupan dan kebudayaan,
sosial, dan ekonomi dalam masyarakat.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup sosiologi hukum dalam artikel ini, meliputi aspek-aspek yang tidak
mampu dilihat dan dijangkau oleh sistem hukum positif.
Dimana aspek-aspek ini seringkali diabaikan oleh para penegak dan pelaku hukum
dalam penyelesaian masalah.
Hukum di Indonesia saat ini, seolah memiliki sisi tajam bagi para kaum marjinal dan
masyarakat yang buta akan hukum, namun sangat tumpul jika dihadapkan dengan
pelaku dan pemilik kekuasaan.
Seperti yang ditulis dalam artikel ini, kutipan dari Filsuf Yunani pada abad ke-7 dalam
ungkapan dari hukum Anarcharsis:
“Hukum itu adalah jaring laba-laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-orang
miskin, tetapi tidak mampu untuk menjaring orang-orang kaya. Bahkan oleh orang-
orang kaya, jaring laba-laba itu akan dirobek-robek olehnya”.
Realitanya, ungkapan itu memang benar untuk melihat berbagai polemik hukum saat
ini. Seolah hal itu memang menjadi tabiat bagaimana sifat hukum itu sejak dahulu.
Nenek Asyanti merupakan salah satu contoh, dari tidak beresnya penerapan hukum di
negara ini. Dengan melihat latar belakang dan bagaimana kondisi fisik, sosial dan
ekonominya, seharusnya hal itu mampu menjadi pertimbangan lebih agar
permasalahan itu mampu diselesaikan secara adil.
Kerugian yang tidak seberapa, menjadi dasar dan alasan kasus ini diakhiri dengan
dakwaan yang mengundang prihatin banyak pihak.
Padahal di luar sana, banyak kasus dengan kerugian yang berdampak besar dengan
skala besar pula, bisa lolos dengan mudahnya tanpa sanksi yang menjerat. Seperti
kasus pembakaran hutan di Sumatera selatan.
Celah-celah dan ketimpangan inilah yang menjadi kajian-kajian dan fokus dalam
sosiologi hukum. Sosiologi hukum lahir, untuk mencapai keadilan bagi pelanggar dan
korban dengan melihat berbagai latar belakang kehidupan masing-masing.
Hukum yang diterapkan hanya mengikuti aturan formal namun tidak memperhitungkan
substansi dan hati nurani. Guru Besar Hukum UI, Hikmahanto Juwana juga menyebut
hukum ini hanya tajam ke arah bawah namun tumpul ke atas.Pemerintah seharusnya
peka terhadap ketidakadilan yang terus dialami rakyat dalam hal hukum semacam ini.
Sosiologi Hukum timbul karena adanya celah di dalam penerapan Hukum Positif.
Sosiologi hukum sendiri, mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala yang empiris
dan dapat diamati dalam kehidupan masyarakat.
Sosiologi hukum menjadi penting karena dalam proses penegakan hukum, tidak serta
merta hanya melihat siapa dan apa pasal-pasal yang menjerat untuk menjatuhkan
pelaku ke dalam sanksi.
Namun lebih jauh, sosiologi hukum membawa sudut pandang baru untuk menilai
sebuah permasalahan dengan melihat latar belakang kehidupan dan kebudayaan,
sosial, dan ekonomi dalam masyarakat.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup sosiologi hukum dalam artikel ini, meliputi aspek-aspek yang tidak
mampu dilihat dan dijangkau oleh sistem hukum positif.
Dimana aspek-aspek ini seringkali diabaikan oleh para penegak dan pelaku hukum
dalam penyelesaian masalah.
Hukum di Indonesia saat ini, seolah memiliki sisi tajam bagi para kaum marjinal dan
masyarakat yang buta akan hukum, namun sangat tumpul jika dihadapkan dengan
pelaku dan pemilik kekuasaan.
Seperti yang ditulis dalam artikel ini, kutipan dari Filsuf Yunani pada abad ke-7 dalam
ungkapan dari hukum Anarcharsis:
“Hukum itu adalah jaring laba-laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-orang
miskin, tetapi tidak mampu untuk menjaring orang-orang kaya. Bahkan oleh orang-
orang kaya, jaring laba-laba itu akan dirobek-robek olehnya”.
Realitanya, ungkapan itu memang benar untuk melihat berbagai polemik hukum saat
ini. Seolah hal itu memang menjadi tabiat bagaimana sifat hukum itu sejak dahulu.
Nenek Asyanti merupakan salah satu contoh, dari tidak beresnya penerapan hukum di
negara ini. Dengan melihat latar belakang dan bagaimana kondisi fisik, sosial dan
ekonominya, seharusnya hal itu mampu menjadi pertimbangan lebih agar
permasalahan itu mampu diselesaikan secara adil.
Kerugian yang tidak seberapa, menjadi dasar dan alasan kasus ini diakhiri dengan
dakwaan yang mengundang prihatin banyak pihak.
Padahal di luar sana, banyak kasus dengan kerugian yang berdampak besar dengan
skala besar pula, bisa lolos dengan mudahnya tanpa sanksi yang menjerat. Seperti
kasus pembakaran hutan di Sumatera selatan.
Celah-celah dan ketimpangan inilah yang menjadi kajian-kajian dan fokus dalam
sosiologi hukum. Sosiologi hukum lahir, untuk mencapai keadilan bagi pelanggar dan
korban dengan melihat berbagai latar belakang kehidupan masing-masing.
Dalam surat dakwaan disebutkan perbuatan Juliari dibatu oleh Adi Wahyono sebagai
Kepala Biro Umum Kemensos yang perannya sebagai kuasa pengguna anggaran atau
KPA untuk bansos, sedangkan Matheus Joko Santoso sebagai pejabat pembuat
komitmen atau PPK di Kemensos. Lalu pemberinya Harry Van Sidabukke dari pihak
swasta PT Mandala Hamonangan Sude dan Ardian Iskandar Maddanatja sebagai
direktur di PT Tigapilar Agro Utama.
Dua perusahaan itu merupakan penyedia atau vendor sembako untuk bansos yang
disediakan Kemensos untuk warga terdampak pandemi COVID-19. Harry dan Ardian
sudah lebih dulu menjalani sidang dalam perkara ini.
Analisis:
Tindak pidana korupsi merupakan suatu masalah sangat serius dan perlu diperhatikan
karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara
dan masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat,
politik, bahkan dapat pula merusak nilainilai demokrasi serta moralitas bangsa karena
dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi.
Terlepas dari semua pemikiran tersebut, korupsi dalam struktur budaya Indonesia
terlahir dari bentuk masyarakat feodal. Kelahirannya dibidani oleh sebuah struktur
sosial hierarkis, ketika kekuasaan yang berada di atas mengumpulkan kekayaan
dengan menghisap struktur sosial di bawahnya. Dari sini muncul kebiasaan
menyetorkan “upeti” kepada raja, biasanya sebagai simbol ketaatan/kesetiaan. Bagi
raja, upeti bukan hanya bermakna nilai kekayaan yang terkumpul, akan tetapi, juga
bermakna pengakuan mayoritas terhadap kekuasaannya. Ketika kolonialisme masuk ke
Indonesia, tradisi ini sepenuhnya tidak pernah diputus. Bahkan administrator Belanda
memanfaatkan budaya ini untuk memperkuat dan memaksimalkan profit
keuntungannya. Istilah “pangreh praja” merujuk kepada administrator Hindia-belanda
yang direkrut dari para bupati, patih, wedana, dan lain-lain. Setelah Indonesia merdeka,
bentuk budaya lama (korupsi) tidak terhapus oleh kelahiran budaya baru yang progresif.
Penyebabnya adalah lapisan social yang banyak mengisi jabatan pemerintahan setelah
Indonesia merdeka masih didominasi kaum priayi. Sebuah kelompok elit Jawa yang
banyak menikmati status sosialnya dari kerja dan pengabdian masyarakat bawah.
Memberantas korupsi yang sudah berurat dan berakar dalam struktur sosial
masyarakat Indonesia memang bukan pekerjaan yang mudah. Kerugian besar yang
diderita negara belum cukup untuk mengundang protes luas dan massal dari rakyat.
Persoalannya, kritisisme dari rakyat sangat susah muncul mengingat ada
kecenderungan sikap “diam” atas permasalahan ini. Karakter masyarakat yang seperti
ini, juga dimotivasi dan dilahirkan oleh struktur sosial masyarakat yang masih kuat
dipengaruhi budaya feodalistik. Akan tetapi, yang terpenting untuk dilakukan dalam
situasi sekarang adalah penyelamatan uang negara dari nafsu serakah koruptor. Ujung
tombak dari gerakan ini terletak pada; pertama, lembaga pemberantasan korupsi
negara, yakni KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BPK, dan institusi negara lainnya. Kedua,
gerakan protes yang terdiri atas gerakan mahasiswa, LSM, serikat pekerja, organisasi
tani, partai politik, pekerja seni, dan lain-lain.
Contoh Nenek Asyani dengan kasus pencurian 7 batang kayu, Nenek Asyani didakwa
sebagai tersangka atas hilangnya 7 batang kayu jati di Situbondo, Jawa Timur. Beliau
terjerat hukum atas kasus pencurian tersebut dan terjerat pasal 12 huruf c dan d jo
pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
Kasus ini menjadi perhatian masyarakat luas lantaran dalam proses dan penegakan
hukum, dinilai terlalu berlebihan. Hukum yang seharusnya mampu melahirkan keadilan,
dalam kasus ini justru melahirkan ketidak adilan yang merugikan pihak kecil.
Seringkali, hukum di negeri ini terlalu tajam untuk kaum bawah, dan tumpul untuk kaum
yang berkuasa. Dalam penanganan kasus Nenek Asyani ini, para pelaku hukum dan
penegak seolah tidak memiliki kepekaan sosial. dalam kasus ini, penyelesaian
sebenarnya bisa dilakukan pada tahap pertama. Kepolisian selaku pengayom
masyarakat, seharusnya mampu menjadi mediator dalam menemukan penyelesaian
dengan jalur kekeluargaan.
Namun, meskipun dalam kenyataannya Nenek Asyanti sudah meminta maaf dan
bahkan hingga menyembah penegak keadilan, hukum yang diterimanya begitu berat.
Nenek Asyanti akhirnya dikenai hukuman 1 tahun penjara, dengan ganti rugi sebesar
Rp500.000.000 untuk 7 batang kayu jati, yang bahakan dia tidak merasa mencuri.
Akar dari permasalahan ini adalah bentuk hukum yang dipegang negara ini seolah tidak
melihat sisi lain dalam praktiknya. Padahal, dalam penanganan masalah yang berkaitan
dengan hukum, perlu adanya pendekatan dan menilik latar belakang masyarakat.
Kasus hukum tidak melulu menghasilkan hukuman sebagai hasil mutlak dalam
penyelesaiannya. Restorative Justice, menjadi solusi untuk berbagai polemik dalam
penyelesaian hukum. Dimana dalam peradilan seharusnya menimbulkan perbaikan,
bukan mencari pemenang. Restorasi sendiri meliputi pemulihan hubungan antara pihak
pelaku dengan korban. Keterbukaan menjadi kunci penting dalam proses
berlangsungnya peradilan. Korban dapat menyampaikan apa saja yang menjadi
kerugian, dan pelaku pun diberikan kesempatan untuk menebusnya dengan cara yang
masuk akal. Sehingga aspek-aspek seperti kemanusiaan, ekonomi, sosial, dan budaya
menjadi patokan dan sudut pandang lain dalam menyelesaikan sebuah perkara, untuk
mencapai keadilan
43 Blok Curah Cotok masuk wilayah dusun Kristal Desa Jatibanteng, Kecamatan
Jatibanteng Kab. Situbondo, yang masuk dalam daerah hukum, petugas Perhutani
yakni Sawwin, Misyanto, Efendi, dan Sayadi merasa kehilangan dua pohon kayu jati
yang telah dipotong- potong. Karena barang miliknya hilang, petugas perhutani tersebut
melakukan pengecekan dan mencari informasi rumah-rumah di sekitar hutan tersebut.
petugas mendapatkan informasi dari masyarakat, bahwa di rumah warga atas nama
Cipto di dusun Kristal Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng Kab. Situbondo,
terdapat banyak tumpukan kayu jati.
08.30 melakukan pengecekan ke rumah Cipto, dan ternyata benar ada sekitar 38 sirap
atau lembaran kayu jati dengan beberapa ukuran yang bervariatif. Setelah Cipto
dimintai keterangan oleh pihak Perhutani, Cipto mengaku bahwa batang kayu
yang dipotong tersebut adalah milik nenek Asyani. Atas informasi dan keterangan
pihak perhutani berkoordinasi dengan pihak kepolisian melakukan razia ke rumah
nenek Asyani dan mendapati beberapa kayu jati ada di rumah nenek Asyani. Perhutani
merasa sering kehilangan atau kecolongan kayu jati miliknya. Karena sering kehilangan
kayu jati, pihak perhutani melakukan patroli di sekitar hutan dan rumah warga. Menurut
pihak Perhutani Humas KPH Perhutani, Abdul Gani, menjelaskan pada tanggal 14 Juli
2014 lalu, petugas Perhutani melakukan patroli menemukan dua tunggak bekas
pencurian pohon di petak 43. Selanjutnya, pihak Perhutani melakukan
penyelidikan hilangnya pohon kayu jati itu. Dari hasil penyelidikan, petugas lapangan
mencurigai ada seseorang yang menimbun kayu jati tersebut.
Setelah itu, pihak kepolisian dan Perhutani melakukan operasi gabungan untuk
memastikan kebenaran laporan tersebut. dan ternyata benar dan yang menyimpan itu
Cipto alias Pak Pit. Dan menrut bapak gani, petugas kami sudah sesuai prosedur kalau
ada kehilangan kayu dan langsung membuat laporan huruf A. Dari penyitaan barang
bukti itu, akhirnya berkembang setelah Cipto dimintai keterangan oleh pihak Polsek,
kalau kayu itu titipan milik Asyani yang diangkut dengan pikap. Menurut Pihak Perhutani
kasus pencurian yang dilakukan nenek Asyani terjadi pada Hari jum’at tanggal 4 Juli
2014 sekitar pukul 08.30. Setelah ada indikasi kuat kasus pencurian ini, pihak Perhutani
melaporkan kasus pencurian nenek Asyani ini ke kepolisian setempat. Dalam
keterangan di pengadilan dan kepada media, pihak Perhutani mengalami kerugian
meteriil sebesar Rp 4 juta lebih.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan Direktur Perhutani, Mustafa Iskandar terkait
dengan pelaporan kasus pencurian tujuh batang kayu jati ke pihak kepolisian, sebagai
berikut;
“dalam kasus pencurian kayu jati tersebut, pihaknya murni hanya melaporkan adanya
dugaan tindak pidana pencurian. Selanjutnya, diserahkan ke proses hukum. Sekali lagi
kewenangan kami hanya melaporkan bila ada tindakan pencurian. Penetapan
tersangka menjadi kewenangan penyidik dan bukan kewenangan Perhutani,” jelasnya.
Pada saat kejadian tersebut, nenek Asyani merasa tidak mencuri kayu jati milik
perhutani, dalam berbagai pernyataan, termasuk ketika di muka persidangan, nenek
Asyani dan keluarganya menyatakan bahwa kayu jati yang ia miliki adalah kayu kayu
jati miliknya, peninggalan suaminya. Bahkan tim pengacaranya, menyatakan bahwa
pihak jakwa penuntut umu, salah dalam menerapkan pasal kepada nenek Asyani.
Undang-undang dan pasal yang digunakan untuk menjerat nenek Asyani kurang tepat
dan sangat memberatkan dan tidak ber-perikemanusiaan, apalagi yang dituduh adalah
seorang nenek yang telah berusia lanjut. Berdasarkan fakta, nenek Asyani bertempat
tinggal di sekitar hutan. Penggunaan pasal “illegal loging” sebagai yang diatur dalam
UU No. 18 tahun 2013 tidak tepat dan terlalu dipaksaan, apalagi jika menilik kerugian
yang diklaim pihak Perhutani sebesar Rp 4 juta. Pasal sebagaimana yang ada dalam
UU No. 18 tahun 2013 itu, sesungguhnya dipergunakan untuk para pengrusak
hutan, kejahatan yang terorgaanisir, sistematis, dan masif atau yang dikenal dengan
sebutan ilegal loging.10
Proses Hukum; Kepolisian, Kejaksaan, dan
Pengadilan. Kepolisian
Atas laporan pihak perhutani, pihak kepolisian, Polsek Jatibanteng langsung melakukan
penyidikan dan mem- buat Berita Acara Pemeriksaan terhadap nenek Asyani. Proses
hukum di kepolisian, nenek Asyani sempat di tahan pihak kepolisian selama 20 hari,
yakni sejak tanggal 15 Desember 2014 sampai 03 Januari 2015.
10 Lihat Surat Pembelaan (Pledoi) dari tim pengacaranya yang tergabung dalam
Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, tertanggal, 13 April 2015 atas kasus nenek
Asyani. Sebagai catatan : menurut penjelasan tim pengacaranya dan masyarakat
sekitar, seringnya pihak Perhutani kehilangan kayu jati atau tindakan pencurian kayu
jati di kawasan hutan, dilakukan oleh “oknum” perhutani sendiri yang berkolusi dengan
orang luar. Artinya, sering hilangnya kayu jati atau pencurian kayu jati, patut diduga
dilakukan oleh “oknum” perhutani sendiri yang berkolusi dengan orang luar, namun
tidak ada tindakan apapun dari pihak Perhutani. Ketika muncul informasi bahwa
pencurian kayu jati yang dilakukan warga
Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman hukuman di atas lima tahun.
Pada tanggal 20 Juli 2015, nenek Asyani diperiksa secara maraton oleh polisi di
Polsek Jatibanteng. Dari hasil pemeriksaan, polisi menyimpulkan bahwa perbuatan
nenek Asyani sepenuhnya memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 12
huruf d jo pasal 83 ayat (1) huruf a dan d Undang-Undang No. 18 tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang secara legal-formal harus
dibilangkan sebagai tindak pidana pencurian.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Nenek Asyani tak tahu liku-liku proses hukum, dengan prosedur-prosedur yang diatur
secara formal dalam bahasa Indonesia; notabene itu bukan bahasa yang dimengerti
neek Asyani yang sepanjang hidup tinggal di desa pengguna bahasa Jawa. Meskipun
kasus nenek Asyani mendapat sorotan tajam dari masyarakat luas, proses hukum di
kepolisian tetap berjalan. Pola pikir hukum pihak kepolisian masih sangat legalistik-
formalistik, sebagaimana disampaikan Kabag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang
Priambodo dalam beberapa kesempatan yang disampaikan media:
“Proses penyidikan sudah selesai dan sekarang sudah memasuki tahap persidangan.
Silahkan hormati proses hukum yang berjalan, agar tidak muncul opini yang justru bisa
membingungkan masyarakat. Kalau ada yang merasa dirugikan, silahkan tempuh jalur
hukum,” kata Kasubbag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang Priambodo. Kasus
nenek Asyani ini mendapat perhatian khalayak ramai, termasuk lembaga swadaya
masyarakat seperti Kontras Jakarta, dalam pernyataan, berdasarkan fakta di lapangan,
ditemukan ada beberapa keganjilan dalam proses penyidikan di tingkat kepolisian, dan
juga yang aptut dipertanyakan adalah mengapa kasus kecil dengan kerugian materiil
yang tidak seberapa, sampai diproses secara hukum, yang lebih kejam lagi, nenek
Asyani yang lanjut usia harus kena Undang-Undang No. 18 tahun 2013 atau sering
dikenal sebagai illegal loging. Wakil Koordinator Bidang Advokasi Badan Pekerja
Kontras Yati Andriyani, menyatakan ada beberapa keganjilan yang muncul diantaranya
(Republika, 17/3/2015);
1. Alat bukti yang disita kepolisian dinilai tidak memadai, tidak sesuai dengan apa
yang terdapat di rumah nenek Asyani. Adanya barang bukti yang tidak memadai
merupakan hal yang sangat tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia.
Apalagi nenek Asyani telah berusia lanjut.
2. Sedari awal, menurut Kontras, penyidikan yang dilakukan terhadap nenek Asyani
sangat kental dengan dugaan upaya rekayasa kasus. Hal ini terlihat karena sejak
dilakukannya proses BAP, terdapat keganjilan antara lain usia korban disebutkan masih
45 tahun. Namun dalam penuntutan jaksa, usia nenek Asyani 63 tahun.
1. Pasal 12 huruf c jo pasal 82 ayat (1) huruf c UU No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
2. Pasal 12 huruf d jo pasal 83 ayat (1) huruf a UU No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
3. Yang dilakukan terdakwa nenek Asyani dalam dakwaan pertama, nenek Asyani
didakwa dengan sengaja melakukan penebangan pohon di dalam kawasan hhutan
secara tidak sah; atau
Setelah tidak mendapatkan permintaan maaf dari Perhutani, keluaga nenek Asyani
selanjutnya dibawa dan dilaporkan ke polisi dalam lelah dan memprihatinkan sebagai
pelaku tindak kejahatan pencurian.16 Nenek Asyani di kantor kepolisiian menjalani
proses pemeriksaan. Akhinya, nenek Asyani diproses secara hukum oleh pihak
kepolisian.17 Sebuah proses yang tidak pernah dibayangkan dan dipikirkan sama
sekali. Nenek Asyani mengaku tidak mengangka sama sekali, hanya karena mengambil
tujuh batang kayu jati, harus berurusan dan berujung ke proses hukum di kepolisian.
Nenek Asyani yang sudah lanjt usia itu didakwa dengan “Undang-Undnag Ilegal
Loging”, mengusik keprihatinka. Koalisi Anti Mafia Hutan19 yang menilai perkara yang
menjerat Nenek Asyani merupakan bukti Kepolisian Jatibanteng; Berkas Perkara No.
BP/02/XII/2014/ Reskrim tanggal 15 Desember 2014 atas nama Asyani alias B. Muaris
binti Mukdin.
Sementara itu, menurut Dalam pandangan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejaksanaan
Negeri Situbondo, Ida Haryani meskinpun nenek Asyani telah meminta maaf dan
mengupayakan jalur kekeluargaan, nenek Asyani tetap tak bisa lepas dari jeruji besi.
Keduanya langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara Kabuaten Situbondo untuk
menunggu disidang. Lebih lanjut kejaksanaan menyatakan tak memiliki kewenangan
untuk menghentikan kasus tersebut. Menurut dia, tindak pidana yang dilakukan nenek
Asyani telah memenuhi unsur pencurian, yang diatur dalam Pasal 12 jo 83
Selama proses hukum di Kejaksaan Negeri Kabupaten Situbondo, nenek Asyani tetap
ditahan. Nenek Asyani menjadi tahanan Kejaksaan Negeri selama 36 hari, yakni
terhitung sejak 04 Januari sampai 10 Februari 2015. Penahanan ini merupakan
perpanjangan penahanan yang dilakukan pihak kejaksaan setelah sebelumnya ditahan
di kepolisian selama 18 hari (15 Desember 2014- 03 Januari 2015). Setelah
mendapatakan perpanjangan penahanan oleh kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten
Situbondo, dengan alasan untuk kepentingan penuntutan, Jaksa Penuntut umum
menahan kembali nenek Asyani selama 20 hari terhitung sejak 11 Februari-02 Maret
2015. Sehingga total nenek Asyani mendekam di penjara selama 74 hari.21 Akibat
mendekam di penjara cukup lama kondisi fisik dan psikologis terpidana langsung drop.
Dan keluarga Asyani merasa sangat prihatin dengan kondisi ibunya yang kondisi
fisiknya semakin melemah.
Proses persidangan nenek Asyani selalu dipadati dan diwarnai aksi unjuk rasa
dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa yang menyuarakan ketidakadilan
hukum dalam praktik penegakan hukum di Indoensia, termasuk dalam kasus nenek
Asyani ini.. Pada persidangan pertama tanggal 09 Maret 2015 mengagendakan
pembacaan dakwaan oleh JPU. Dalam dakwanaannya, JPU mendakwa terdakwa
nenek Asyani telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, yakni dengan
sengaja melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sah, akibat
perbuatan terdakwa pihak Perhutani mengalami kerugian sebesar Rp 4.323.000, atas
perbuatan tersebut, terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 12
huruf c dan d jo pasal 83 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pada persidangan ketiga, pembacaan tunttan JPU, tertanggal 09 April 2015, mejelis
hakim mendengarkan tuntutan dari JPU. Dalam surat tuntutan, yang dibacakan JPU,
Ida Haryani, SH, menuntut terdakwa nenek Asyani dengan pidana penjara selama 1
tahun dengan masa percobaan selama 18 bulan dan dendan sebesar Rp
500.000.000. Selain itu, para terdakwa, nenek Asyani, diharuskan membayar biaya
perkara Rp 5.000 ke pengadilan.
Jaksa Penuntut Umum, menyatakan bahwa tindakan terdakwa nenek Asyani itu
memenuhi semua unsur sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf c dan d jo pasal 83
ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Kesimpulan tersebut berdasar pada
keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang dikemukakan di depan
persidangan.23 “Karena itu. saya meminta majelis hakim untuk menghukum para
terdakwa,” ujarnya dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Situbondo.24
1. Terdakwa nenek Asyani terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum
bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memuat, membong- kar,
mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/ atau memiliki hasil penebangan di
kawasan hutan tanpa iji” sebagaimana yang diatur dalam dalam dakwaan kedua pasal
12 huruf d jo pasal 83 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perngrusakan Hutan (P3H).
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Asyani dengan pidana penjara selama 1
tahun dengan masa percobaan 18 bulan dan denda sebesar Rp 500.000.000 subsider
selama 1 hari kurungan.
3. Menyatakan barang bukti berupa; kayu ati 38 sirap dengan berbagai ukuran
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1 tahun dan denda sejumlah RP 500.000.000 dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak terbayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 hari.
4. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari ada
putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu
tindak pidana sebelum masa percobaan selama 1 tahun 3 bulan terakhir.
Membebankan kepada terdakwa membayar biata perkara sejumlah Rp 5.000.
Menurut Zudan Arif Fakrulloh dalam tulisannya Penegakan Hukum Sebagai Peluang
Menciptakan Kea- dilan, di jurnal “Jurisprudence” (2005:26), mengata-
Seiring dengan perubahan dan perkembangan masya- rakat yang semakin kompleks,
menuntut adanya kajian hukum yang tak sekedar nomatif, tapi juga empiris atau
sosiologis. Bagi kalangan penstudi hukum kritis, positivism hukum dan pemahaman
hukum legal-formal dianggap tidak mampu menjelaskan pelbagai persoalan aktua dan
faktual yang ditumbulkan dari proses perubahan dan dinamika masyarkaat yang begitu
cepat. Dalam konteks ini, menurut Soetandyo (2002:160), di dalam kehidupan
masyarkaat yang mulai mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat
cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata
perubahan dan perkembangan masyarakat.
Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal
yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum
yang bergerak dan beroperasi dalam dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam
sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup, dan
berkembang dalam jariangan sosial masyarakat yang kompleks. Dan hukum sosiologis
memiliki varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan pelbagai konflik sosial
yang muncul dalam masyarakat.
Hukum sosiologis ini dalam pandangan Sosiolog hukum, Eugen Ehrlich (1862-1922)
sebagai hukum kebiasaan, yakni seluruh keteraturan perilaku warga masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari secara riil dan telah menjadi tradisi (Wignjosoebroto, 2008:13).
Dan hukum sosiologis dan mekanisme sosiologis ini bisa menjadi tawaran alternatif
penjelasan dan solusi atas masalah sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk untuk
menjelaskan kasus hukum nenek Asyani ini. Penjelasan hukum sosiologis atas kasus
tersebut bisa menjadi jawaban yang visible di tengah terjadinya “kebekuan” hukum
positif Negara.
Kasus nenek Asyani yang mencuri tujuh batang kayu jati semangka adalah salah satu
problem sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kasus pencurian semangka tersebut
tentunya menimbulkan sengketa dan bahkan konflik sosial antara pihak pelaku dan
korban, yang dalam hal ini adalah nenek Asyani dengan pihak Perhutani setempat.
Menurut Ade Saptono (2004), sengketa atau konflik sosial terjadi karena persediaan
sumberdaya yang semakin terbatas. Cara mendapatkan sumberdaya masih
menampilkan kepentingan perorangan atau kelompok tertentu, dalam berinteraksi salah
satu pihak memaksakan kehendak dengan menggunakan –salah satunya- identitasnya.
Dalam pespektif teori konflik, bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan dalam
masyarakat. Secara sosiologis, Setiap masyarakat setiap saat dihadapkan pada
perubahan-perubahan sosial, setiap masyarakat pasti memperlihatkan adanya
ketidakcocokan dan konflik-konflik sosial dan itu adalah hal yang umum, dan dalam
setiap masyarakat didasarkan pemaksaan oleh segolongan anggota masyarakat
terjadap anggota yang lain (Rahardjo, 2010:7).
Sebagai salah satu bentuk tinglah laku yang menyimpang dalam masyarakat lokal,
tentu saja akan mempengaruhi keserasian, tertib sosial, dan keharmonisan dalam
masyarakat. Karena itu, fungsi hukum sebagai instrument kontrol sosial dalam
masyarakat memiliki peran yang sangat penting. Hukum difungsikan untuk
mengembalikan kondisi dan tertib sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum
kebiasaan menjadi pegangan dan patokan dalam bertingkah laku, termasuk dalam
menyelesaikan probem sosial yang muncul. Dalam hukum sosiologis, hukum
bersifat “remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial pada keadaan
semula. Olah karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang
menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak
menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi atau “merukunkan”,
standarnya adalah normalitas, keserasian, dan kesepakatan yang biasa disebut
keharmonisan (Ali, 2005:23).
Dalam kasus nenek Asyani, masyarakat lokal setempat secara relatif masih
berpengang teguh pada nilai, norma dan hukum kebiasaan masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya keinginan keluarga Asyani yang disampaikan melalui
penagcarnay, agar kasus pencurian tujuh kayu jati diselesaikan secara kekeluargaa.
Namun, penyelesaian damai dan kekeluargaan yang sebelumnya terjadi, tidak terlihat
pada terus berlanjutnya kasus nenek Asyani sampai kemudian bermuara ke
penagdilan. Dan bahkan nenek Asyani harus mendekam di penjara selama lebih dari
60 hari sejak ditahan di kepolisian sampai kasusnya masuk ke pengadilan. Dalam
pernyataannya, pihak perhutani mengatakan, proses hukum positif ini dilakukan untuk
memberikan pelajaran dan efek jera para pelaku. Sehingga kasus yang sama tidak
terjadi kembali. Faktor pelapor yang kebetulan adalah dari koorporasi juga ikut berperan
dalam berlanjutnya kasus nenek Asyani ke proses ranah hukum positif. Bahkan pihak
polisi lebih aktif dalam memperkarakan nenek Asyani ini sampai ke ranah hukum positif,
dibanding warga masyarakat lokal sendiri yang menginginkan diselesaikan secara
kekeluargaan. Dalam pandangan masyarakat setempat, kasus seperti itu sebaiknya
diselesaikan di tingkat masyarakat lokal sendiri, apalagi menimpa orang lanjut usia
yang seeprti nenek Asyani yang juga buta hukum.
Selain berfungsi sebagai penegak hukum, pihak kepolisian sebenarnya juga memiliki
fungsi menjaga ketertiban dan kedamaian kehidupan masyarakat. Karena itu, pihak
kepolisian dituntut tidak sekedar faham dan hafal pasal-pasal dalam undang-undang,
tapi juga harus memiliki kepekaan sosial atas kejadian yang ada dalam masyarakat. Hal
ini yang diungkapkan mantan Direktur LBH Surabaya, Syaiful Aris sebagai berikut;
“….Kepekaan social harus terbangun artinya dia harus sensitif melihat karena
kalau dilihat dari aspek peraturan perundang-undangan aspek hukum itukan tidak
bicara tentang general atau hukum berlaku secara nasional dan itu memang betul.
Artinya dalam spesifikasi tertentu, konteks budaya lokal, kearifannya harus dilihat
menjadi bagian yang harus dipertimbangkan…”
Nihilnya kepekaan sosial (social sencitive) tersebut yang menjadikan pihak kepolisian
terus memproses nenek Asyani secara hukum. Perlakuan hukum oleh aparat kepolisian
dan pihak Perhutani yang melaporkan nenek Asyani ke Polsek Jatibanteng dinilai
masyarakat terlalu berlebihan,
Sebagai salah satu bentuk tinglah laku yang menyimpang dalam masyarakat lokal,
tentu saja akan mempengaruhi keserasian, tertib sosial, dan keharmonisan dalam
masyarakat. Karena itu, fungsi hukum sebagai instrument kontrol sosial dalam
masyarakat memiliki peran yang sangat penting. Hukum difungsikan untuk
mengembalikan kondisi dan tertib sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum
kebiasaan menjadi pegangan dan patokan dalam bertingkah laku, termasuk dalam
menyelesaikan probem sosial yang muncul. Dalam hukum sosiologis, hukum bersifat
“remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial pada keadaan semula. Olah
karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan
yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para
pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi atau “merukunkan”, standarnya adalah
normalitas, keserasian, dan kesepakatan yang biasa disebut keharmonisan (Ali,
2005:23).
Akhirnya, hukum positif negara yang begitu “tajam ke bawah tumpul ke atas” lebih
berwajah penindas daripada “pendidik” dan “pembimbing” yang meng- hantarkan
manusia pada hidup yang lebih bahagia. Hukum dilahirkan bukan untuk hukum, tapi
untuk terwujudnya kebahagiaan manusia. hukum yang indah dan manusiawi, kata
Thoma Aquinas, adalah hukum yang didasarkan pada kebenaran akal budi. Hukum
akan menjadi penindas ketika hukum dibangun atas dasar kesepakatan (elitis
penguasa) dan meminjam yang sering kali diungkapkan Soetandyo Wignyosoebroto,
lebih menguntungkan kaum elit, dan menindas kaum alit. Hukum hanya menindas bagi
mereka yang tidak memiliki akses kekuasaan (karena tidak punya untuk untuk membeli
kata –sepakatnya) (Armada, 2011:80).
Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal
yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum
yang bergerak dan beroperasi dalam dalam dinamikanya yang aktual dan faktual
dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup, dan
berkembang dalam jaringan sosial masyarakat yang kompleks. Dan hukum sosiologis
memiliki varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan pelbagai konflik sosial
yang muncul dalam masyarakat. Dengan kata lain, mengutip Armada, setiap hukum
tidak hanya sekadar peraturan melainkan juga promosi nilai-nilai kultural eduaktif-etis.
(Armada, 2013;86),
Restorative Justice untuk nenek Asyani. Realitas empirik masyarakat Indonesia saat ini
adalah masyarakat yang sebagian besar masyarakat miskin. Kemiskinan mereka tidak
hanya sekedar miskin secara sosial, politik, maupun ekonomi. Sebagian besar
masyarakat Indonesia juga miskin dan buta hukum. Mereka tidak mengetahui dan
memahami hukum positif yang ada. Bahkan akses terhadap hukum (positif) pun sangat
sulit. Kondisi sosiologis ini yang menjadikan sebagian besar masyarakat miskin kita
memiliki posisi tawar yang sangat lemah di hadapan hukum. Bahkan seringkali
masyarakat miskin kerapkali menjadi korban hukum itu sendiri. Melihat realitas ini,
keberpihakan hukum pada masyarakat miskin atau lemah adalah adalah sebuah
kenicayaan. Karena bagaimanapun juga, moral dari hukum adalah keadilan.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang
sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya
restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang
lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.
Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan
pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan
pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi,
perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan- kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini
menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan
ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi
aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa
memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah
penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif
dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada
putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, keberpihakan hukum
terhadap rakyat kecil perlu penerapan model keadilan restoratif untuk kasus tertentu.
Keadilan restoratif adalah konsep pemikiran yang merespon sistem peradilan pidana
yang meniktiberatkan pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian melalui
musyawarah antara pelaku dan korban (Kompas, 2/2/2010). Keadilan restoratif 27,
yaitu keadilan yang berlaku dalam proses penyelesaian sengketa non-litigasi
(Alternative Dispute Revolutions). Tujuan pendekatan keadilan restoratif adalah
mencapai konsensus mengenai solusi yang paling baik untuk menyelesaikan konflik.
Keadilan restoratif merupakan suatu cara baru dalam melihat peradilan pidana yang
berpusat pada perbaikan kerusakan dan kerugian korban dan hubungan antar manusia,
daripada menghukum pelaku tindak pidana. Negara yang direpresentasikan oleh
institusi-institusi penegak hukum, tidak mengambil alih penyelesaian konflik yang
merupakan kejahatan, karena suatu tindak pidana dalam keadilan restoratif tidak
dipandang sebagai kejahatan terhadap negara, tetapi terhadap anggota masyarakat
yang menjadi korban.
Sementara itu, menurut Anton Prihatno, dalam tulisannya tentang “Penalaran Hukum
untuk Keadilan Masyarakat Miskin” (Kompas, 2/6/2010), mengatakan realitas
masyarakat Indonesia sebagian besar adalah masyarakat bawah baik dari sosial,
ekonomi dan politik yang mempunyai posisi lemah dihadapan hukum. Karena itu, harus
ada keberpihakan hukum pada masyarakat bawah. Keberpihakan ini harus dilakukan
oleh para penstudi hukum pada semua level baik pengamat, pengembanan hukum
teoritis maupun terutama oleh pengembanan hukum praktis. Oleh karena itu design
model penalaran positivisme hukum yang dibutuhkan adalah adanya sinergisitas antara
hukum dan moralitas dengan cara mengintervensi hukum dalam tataran aksiologis
dengan memasukkan keadilan yang memihak pada masyarakat bawah. Dengan kata
lain, keadilan restoratif adalah wujud riil dari keadilan hukum sosiologis, karena
keadilan restoratif dihasilkan dari proses sosiologis yang melibatkan berbagai
stakholder (pihak) yang lebih berorientasi pada memulihkan kondisi sosial-
kemasyarakat dan
Model keadilan hukum sosiologis sebagaimana yang dinyatakan oleh B. Arief Sidharta
(2000) sebagai aspek aksiologis dari hukum itu sendiri yakni mengarah kepada
pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti
dengan kepastian hukum, dua nilai yang disebutkan pertama menjadi tujuan dalam
proses pencarian (context of discovery), sementara nilai terakhir adalah tujuan dalam
konteks penerapannya (context of justification). Intervensi keadilan terhadap hukum
dengan keberpihakan ini menjadi penting dengan tetap menjaga titik keseimbangan
bagi kepentingan pelanggar hukum, korban pelanggaran hukum, masyarakat dan
negara agar hukum dapat menaikkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Menurut Budi Winarno, Selama ini, aparat penegak hukum kita terlalu sempit memaknai
keadilan. Keadilan masih dilihat secara harfiah dengan memaknainya sebagai apa yang
sesuai dengan hukum. Sebaliknya, apa yang melanggar hukum akan disebut tidak adil.
Praktik hukumnya adalah, jika terjadi pelanggaran hukum, maka pengadilanlah jalan
penyelesaiannya. Cara pandang seperti itu, harus kita akhiri. Keadilan hukum haruslah
mencerminkan keadilan sosial. Hukum bukanlah untuk memenjarakan, tapi untuk
menyadarkan (Jurnal Nasional, 19/2/2009).
Dengan kata lain, lain, Adil adalah natura dari kehadiran manusia yang berelasi hukum
yang tidak adil adalah ketika hukum tidak berrelasi dengan orang lain atau lingkungan
sosial. Adil bukanlah perkara sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum, atau adil
bukanlah perkara proseduralistik dan formalistik. Adil merupakan kodrat perbuatan
manusia yang terarah kepada orang lain. dalam bahasa Aristoteles, adil adalah sebuah
keutamaan yang tertuju dan berkaitan dengan orang lain. (Armada, 2013:74). Adil
adalah sebuah keseimbangan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam bahasa
Socrates sebagaimana dikutip Armada (2013: 80-81), keadilan adalah sebuah simfoni,
yang keindahannya terletak pada keseluruhan pada instrument music, dalam konteks
negara, keseluruhan pda setiap komponen negara, termasuk aparat penegak hukum
menjalankan tugasnya dengan baik. Tatatanan hukum yang ada adil adalah ketika
kehidupan dan keluruhan martabat setiap manusia dibela dan dimuliakan.
Dalam sistem yang adil, makna legalitas adala rasionalitas. Artinya, sebuah prinsip
hukum disimak sebagai “benar” semata-mata karena isi kebenaran itu masuk dalam
ranah akal budi menusia, sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. Legalitas bukanlah
sekadar segala kebenaran yang dikatakan oleh ahli hukum atau yang ditulis dalam
sebuah udang-undang. Sebab, dalam kenyataan, pada ahli hukum pun memiliki
perspektif pertimbangan sendiri dan berbeda-beda, pun aneka ketentuan (hukum)
kerap menuliskan ketentuan yang salah dan tidak adil (Armada, 2011: 90).
Keadilan hukum bagi masyarakat tak sekedar keadilan yang bersifat formal-prosedural;
keadilan yang didasarkan pada aturan-aturan nomatif yang rigid yang jauh dari
moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Lawan dari keadilan formal-prosedural adalah
keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang
muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas
publik dan nilai-nilai kemanusian dan mampu memberikan kepuasaan dan kebahagiaan
bagi masyarakat.
SIMPULAN
Kasus hukum nenek Asyani dengan “pencurian tujuh kayu jati”, dalam pandangan
hukum normatif atau hukum negara yang berparadigma legalistik-positivistik, adalah
tindakan pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam No. 18 tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perngrusakan Hutan (P3H), karena layak
untuk diberi hukuman. Namun dalam pandangan sosiologi hukum, kasus nenek Asyani
adalah perkara kecil dengan nilai meterial yang kecil, pun demikian dilakukan oleh
kelompok sosial yang marginal, warga miskin yang buta bukum, karena itu, hadirnya
hukum negara bukannya melahirkan keadilan hukum, justru sebaliknya menimbulkan
ketidakadilan hukum. Karena itu, kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin
sebaiknya lebih menggunakan pendekatan yang lebih sosiologis dan humanis.
Penyelesaian ini yang dikenal dalam dunia akademik-teoritik sebagai prinsip restorative
justice, yakni keadilan yang diperoleh di luar pengadilan hukum positif, melalui proses
pemulihan dengan semangat saling memaafkan antara pelaku dan korban. Restorative
justice adalah solusi yang paling baik dan tepat untuk menyelesaikan masalah hukum
yang menimpa masyarakat miskin.
Kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin –seperti nenek Asyani- ini sebenarnya
bisa dihentikan di tingkat pertama, yakni kepolisian. Aparat penegak hukum bisa
menghentikan suatu kasus jika merasa, ketika kasus dibawa ke tingkat lebih tinggi,
justru akan melukai rasa keadilan. Pihak kepolisian dengan kewenangan
diskresionalnya seharusnya bisa menghentikan kasus kecil yang menimpa masyarakat
miskin seperti nenek Asyani dengan pertimbangan etik, moral, sosial, kemanusiaan dan
kemanfaatan sosial.
Dalam praktik penegakan hukum atas nenek Asyani, pendekatan yang digunakan
para penegak hukum hanya semata-mata berorientasi pada pendekatan legalistik-
positivistik; dengan hanya mengedepankan sisi peng- gunaan kekuasaan dan aturan
normatif semata, tanpa mempertimbangkan sama sekali pendekatan yuridis- sosiologis
yang berdimensi keadilan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Nampak adanya pemahaman
yang sempit dari para penegak hukum dalam penerapan hukum formal atas kasus
nenek Asyani ini. Penerapan hukum formal dipahami terbatas hanya sebagai
penerapan hukum yang bersifat prosedural semata, tanpa mempertimbangkan sisi rasa
keadilan masyarakat yang lebih bersifat substantif dan sosiologis. Pendekatan dan
penerapan hukum secara legalistik-positivistik, hanya menghadirkan keadilan yang
bersifat legal-formal dan prosedural yang kaku, jauh dari nilai-nilai moral dan
kemanusiaan. Sementara pendekatan yuridis-sosiologis atau sosiologi hukum akan
lebih menghadirkan keadilan yang lebih substantif yang berdasar pada basis etika,
moral dan nilai kemanusiaan masyarakat.
TAMBAHAN MATERI :
INISIASI 1
Modul 1
Pengertian Dasar Sosiologi Hukum, dan Ruang Lingkup Sosiologi dan Hukum
Mengupas hukum dan masyarakat, maka tidak lepas kita akan mengupas apa itu
hukum dan apa itu masyarakat, dan bagaimana peran masyarakat terhadap hukum,
seberapa pentingkah masyarakat dalam hukum, maka tidak lepas pembahsan kita
terhadap sosiologi hukum.
Sosiologi hukum dapat dipahami sebagai spesialisasi yang mengkaji keterkaitan antara
aspek-aspek sosial dan aspek-aspek hokum, antara dinamika kehidupan sosial dan
keberadaan hukum.
(2) Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok-kelompok
sosial, dan
Modul 6 Hubungan antara Hukum dan Perubahan Sosial, dan Perubahan Budaya
Kegiatan Belajar 1
Perubhan sosial merupakan bagian dari perubahan bagian dari perubahan budaya.
Perubahan sosial meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat kelahiran dan
penurunan rasa kekluargaan antar anggota masyarakat sbagi akibat terjadinya arus
urbanisasi dan modernisasi. Perubahan kebudayaan jauh lebih luas dari perubahan
sosial. Perubahan budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan sperti kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, aturan2 hidup berorganisasi, dan filsafat. Perubahan
sosial dan perubahan budaya yang terjadi di masyarakat saling berkaitan. Tidak ada
masyarakat yg tdk memiliki kebudayaan dan sebaliknya tdk mungkin ada kebudayaan
tanpa masyarkat.
Perubahan sosial adlh perubahan dalam struktur sosial dn dlm pola2 hubungan sosial,
yg antara lain mncakup sistem status, hubungan2 dlm kluarga, sistem2 politik dan
kekuatan, dan persebaran penduduk. Perubahan kebudayaan adlh perubahan yg
terjadi dlm sistem ide yg dimiliki bersama olh para warga atau oleh sejumlah warga
msyrkt yg bersangkutan, yg antara lain mncakup, aturan2 atau norma2 yg digunakan
sebagi pegangan dlm kehidupan warga msyrkt, nilai2 teknologi, selera dan rasa
keindahan atau kesenian dan bahasa.
Progresif menuju kea rah yg lebih baik. Regresif menuju kea rah yg lebih buruk. Sifat
lain dari sisi gejala yg dapt diamati prosesnya, misalnya pemugaran rumah sehat, pada
saatnya akan nampak adanya rumah2 sehat yg bersirkulasi lancar. Selain itu ada juga
yg muncul secara tiba2 / latent misal banjir. Proses terjadinya perubahan sosial ada
yang bersifat evolusioner atau perlahan2, revolusioner/ terjadi dlm waktu singkat dan
bahkan ada yg radikal/ singkat bahkan drastis. Selain itu sifat perubahan sosila ada:
1. Factor yang mndorong terjadinya perubahan sosial: ketidak puasan thdp ssuatu
yg ada, sehingga timbul keinginan utk mencari atau menciptakan situasi baru yg
lebih baik, timbulnya ketimpangan antara hal2 yg skrg ada dan yg seharusnya
ada di msyrkt, timbul tekanan dari luar yg mengharuskan individu atau msyrkt utk
menyesuaikan diri dgn msyrkt.
2. Factor penghambat perubahan sosial budaya: kurangnya hubungan thdp msyrkt
lain. Cth msyrkt suku pedalaman, pendidikan yg terbelakang, msyrkt brsikap
tradisonal, memprtahnkan tradisi penguasa yg konservatif, adanya kepentingan
yg tertanam dgn kuat sekali pd sklompok orang. Cth kmpok yg sudah mapan
takut akan peruabahn krna takut hidup susah, ketakukan adanya disintegrasi,
persangka buruk thdp unsure budaya asing, hambatan ideologis. Cth perubahan
dianggap bertntgan dgn ajaran agama.
1. Macam2 proses perubahan sosial budaya
2. Akulturasi: proses pertemuan unsur2 dari berbagai kebudayaan yg ada
dan diikuti dgn percampuran unsur2 trsbt. Mis: proses percampuran dua
budaya atau lebih yg saling bertemu dan saling mempengaruhi.
3. Asimilasi: suatu penyesuaian atau peleburan sifat2 asli yg dimiliki olh
suatu masyrkt dgn latar belakang budaya yg berbeda2.
4. Difusi: proses penyebaran atau perembesan suatu unsur budaya kpd
orang lain dan suatu kelompok msyrkt ked lm msyrkt lainnya , disfusi ada
dua, ytu: primer (penyebarluasan unsur2 kebudayaan baru dlm msyrkt
asal kebudayaan tsb). Sekunder adlh (proses penyebarluasan unsur2
kbudayaan suatu msyrkt ked lm msyrkt lain).
5. Discovery: mmpunyai makna penemuan suatu yg sbenarnya sesuatu itu
telah ada sebelumnya, ttpi blm diketahui.
6. Invention: penemuan yg benar2 baru sebagai hasil kegiatan manusia,
sedangkan invent yg dlm kamus didefinisikan sbagai menciptakan
sesuatu yg baru yg tdk pernah ada sblumnya. Cth invention adlh
penemuan Thomas Alva Edison (1847-1931), yaitu penemuan perekam
suara elektronik, penyempurnaan mesin telegram yg secara otomatis
mencetak huruf mesin, mesin piringan hitam, dan pengembangan bola
lampu pijar.
7. Inovasi/perubahan yg direncanakan.
8. Modernisasi: artinya baru, terbaru cara baru atau mutakhir, sikap dan cara
berpikir serta bertindak sesuai dgn tuntunan zaman, dapat juga diartikan
maju, baik.
1. Dimensi perubahan sosial
2. Structural: perubahan2 itu menyangkut masalah komposisi posisi
para warga masyarkat, baik dlm dimensi horizontal (perpindahan
penduduk dari satu tpt ke tpt lain/ warga msyrkt dari satu kpok ke
klpok lain), vertical (perpindahan strata sosial) maupun diagonal
(vertical dan horizontal bersama, mis: perpindahan seseorang ke
mota karena naik pangkat).
3. Cultural: budaya material maupun immaterial, baik pola perilaku
maupun arti hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Mis: dulu belanja
di pasar tradisional kini di mall.
1. Setiap anggota tersbut harus sadar bahwa dia merupakan sebagain dari
kelompok yg bersangkutan.
2. Ada hubungan timbale balik antara anggota yg satu dgn yg lain.
3. Terdapat suatu factor yg dimiliki bersama oleh anggota2 kelompok itu, sehingga
hbungan antara mereka bertambah erat. Factor dpt berupa kepentingn yg sama.
4. Berstruktur, berkaidah dan mmpunyai pola perilaku.
5. Kelompok2 sosial yg teratur:
1. In group dan out group: in group mrpkn kelompok sosial yg dijadikan
tempat olh individu2nya utk mengidentifikasi dirinya. Out group: lawan in
group.
2. Kelompok primer dan sekunder: kelompok sosial yg paling sederhana, di
mana antara anggotanya di tandai dngnciri2 saling mengenal dan ada
kerja sama yg erat dan bersifat pribadi dan iteraksi sosial dilakukan
secara ttap muka. Adgkan klompok sekuner mrpk kelompok sosial yg
terdiri dai banyak org, antara siapa hubungannya tdk prlu brdasarkan
pengenalan pribadi dan sifatnya tdk begitu langeng.
3. Paguyuban (bentuk2 kehidupan dimana anggota2 di ikat olh hbugan batin
yg murni, ilmiah an kekal) dan patembayan (ikatan lahir batin yg bersifat
pokok utk jangka waktu tertentu (jangka pendek) atau bersifat kontraktual.
4. Formal group: klompok yg mmpunyai praturan tegas dan sengaja
diciptakan olg angota2nya utk mengatur hub antar sesamanya.
5. Informal group: tdk mmpuyai struktur dan organisasi tertentu atau yg pasti.
6. Membership group dan reference group: membership (tercatat sebagai
anggota) reference (acuan bagi bukan anggota utk mengembangkan
keperibadianya).
7. Kelompok okupasional.
8. Kelompok volunteer: kelompok mempuayi kepentingan sama ttpi tdk ada
prhatian msrkt.
9. Kelompok sosial yg tidak teratur
Kerumunan (individu berkumpul secara bersama serta kebetulan di suatu tempat dan
juga pada waktu yg bersamaan. Bentuk kerumunan: berartikulasi dengan struktur
sosial, smentara, berlawanan dgn norma hukum.
1. 3. Kerumunan sosial
Sejumlah orang yg berada pd tmpat yg sama, ada kalanya tdk saling mengenal, dan
sejumlah oran ini biasanya memiliki sifat yg peka atau sensitif terhadap stimulus yg
datang dari luar. Misalnya: sejumlah orang yg sedang berada di pingir jalan, apakah
sedang menanti angkutan umum, berteduh, atau orang yg sedang melihat sebuah
peristiwa kecelakaan. Sifat pekanya ketika ada kendaraan yg lewat dan debunya
berhamburan maka otomatis semua orang akan mengumpat orang itu. Kelompok sosial
dapat diartikan sebagai sejumlah org yg saling berinteraksi dgn peran dan tujuan yg
jelas dan memiliki seorang pemimpin. Contoh kelompok pemain music.
1. 4. Lembaga-lembaga sosial
Sebagai institutes lembaga2 sosial dpt diartikan sbagai suatu wadah atau tpt dari
sejumlah individu utk berinteraksi. Institutions, lembaga2 sosial diartikan sbagai:
Pitirin A. Sorokin stratifikasi sebagai pembeda penduduk atau anggota msyrkt ked lm
kelas2 hierarkis. Factor yg menyebabakan stratifikasi sosial dpt tumbuh dengan
sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas2
tertentu.
Mrupakan perubahan status individu atau kelompok dlm statifikasi sosial. Mobilitas
dapat terbagi ke dalam:
Berkaitan dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, ytu terbuka
(kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup besar) tertutup (kemungkinan terjadinya
mobilitas sosial sangat kecil).
Manusia dinyatakan sebagai mahluk yg memiliki budaya, baik budaya dalam arti pola
perilaku, maupun budaya dalam arti material:
1. Hukum dan perubahan pola perilaku: cepat atau lambat, kehidupan manusia
akan berproses dlam lima tahap: tahap berburu dan menagkap ikan, tahap
menetap, tahap bercocok tanam, tahap kerajinan tangan, tahap industri. Dalam
menjalani kehidupan masyarakat kadangkala melhirkan konflik, agar konflik itu
dapat di hindari maka perubahan budaya dalam dimensi pola perilaku, pada
saatnya ternyata memerlukan perangkat hukum untuk mengaturnya.
Perubahan pola perilaku dapat menyangkut: sistem peralatan dan perlengkapan hidup,
sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem kesenian, sistem religi,
sistem bahasa, sistem pengetahuan. Contoh perubahan yg memerlukan aturan
penggunaan sepeda motor telah membuat munculnya serangkaian peraturan
penggunaan helm standard an kelengkapan spion.
OER :
Play Video
Pertemuan 1
Hukum dan Masyarakat Modul 1
Hukum merupakan gambaran suatu usaha manusia untuk meweujudkan cita keadilan
dalam suatu lingkungan sosial tertentu yaitu perdamaian pendahuluan dan yang pada
hakikatnya tidak tetap dari nilai rohani yang saling bertentangan, yang terwujud dalam
suatu struktur sosial.
Sosiologi hukum merupakan salah satu spesialisasi dan sosiologi yang berusaha
dinamika kehidupan sosial dan keberadaan hukum.
KB 2
Pertama sampai sejauh mana hukum membentuk pola-pola perilaku, atau sebaliknya
pola-pola kekuatan macam apa yang membentuk hukum. Kedua, kekuatan-kekuatan
apa yang dapat membentuk, menyebar luaskan atau bahkan merusak pola-pola
perilaku yang bersifat yuridis. Ketiga, hbungan timbal balik antara perubahan-perbahan
dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial budaya.
Peranan hukum sebagai alat pengubah masyarakat, sangat berkaitan dengan aspek-
aspek:
1. Pengadilan. dalam putusan hakim tidak bisa dilakukan sendiri, tanpa ilmu lain seperti
sosiologi, ilmu politik, psikologi, ekonomi dan atropologi.
1. Cara pandang terhadap ilmu hukum. Ilmu hukum yang dilakukan secara
normatif, pada tingkat tertentu sudah tidak cocok lagi. Desakan untuk menentukan
secara sistematis tentang bagaimana hubungan antara sistem hukum dengan
kenyataan sosial semakin terasa di saat kenyataannya menunjukkan betapa hukum
tersebut semakin memegan peranan sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat
modern.
Suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya hukum hanya
dapat dimengerti dengan memahami sistem sosial terlebih dahulu hukum merupakan
suatu proses.
4. Kesadaran hukum. Dikaitkan dengan efektivitas hukum. Ditentukan oleh faktor
hukum, penegak hukum, fasilitas, kesadaran masyarakat dan budaya hukum.
6. Peranan hukum dalam perubahan sosial. Sebagai atisipasi kemungkinan buruk
perubahan sosial agar manusia tidak lupa diri.
Pertemuan 2
Modul 2
1. Ilmu ekonomi. Sosiologi hukum sebagai ilmu yang menjembatani mengenai apa
yang seharusnya dilakukan dan mengenai apa yang senyatanya terjadi, menjadi sangat
besar perannya. Ilmu ekonomi yang kegiatan studi dan penelitiannya tidak akan lepas
dari kehidupan masyarakat.
2. Kedudukan dan fugsi bagi ilmu politik. sosiologi hukum berperan besar untuk
menghindari ketegangan diantara masyarakat.
3. Sejarah. benda-benda peninggalan sejarah itu juga memiliki makna dan
manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, maka keberadaanya perlu dilindungi oleh
hukum.
4. Geografi. perlunya serangkaian kaidah hidup yang dapat befungsi untuk
menjaga kelestarian lingkungan alam.
5. Psikologi. perlindungan hukum bagi orang yang mengalami ganguan jiwa atas
perilaku orang lain, tentunya mulai dipikirkan.
7. Pekerja Sosial. Sebagai ilmu terapan maka segala bentuk upaya yang berfungsi
untuk pengembangan disiplin ilmu ini, seperti sosiologi sangat diperlukan.
B. Norma hukum dan norma sosial lain. Norma hukum hidup berdampingan
dengan kaidah agama, kesusilaan, dll yang saling menutupi kekurangan satu sama lain.
Dengan tujuan tertib, teratur, tenteram dan seimbang.
C. Kedudukan sosiologi hukum dan sosiologi. Hanya dengan sosiologi saja,
pembahasan mengenai asek hukum akan menjadi sangat kurang dan kering, karena
Ilmu ini
MENGAPA sosiologi menempati kedudukan penting dalam kajian ilmu hukum di dunia,
terutama di Indonesia? Karena, seperti dikatakan Roscoe Pound, sosiologi bisa
memperjelas pengertian “hukum” dan segala sesuatu yang berdiri di belakang gejala-
gejala ketertiban umum, yang dapat diamati oleh ahli hukum.
Kemajuan terpenting dalam ilmu hukum modern, demikian Roscoe Pound, adalah
perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional menuntut supaya hakim,
ahli hukum, dan pengacara mengingat adanya hubungan antara hukum dan kenyataan
sosial yang hidup.
Sementara itu, menurut Esmi Warassih, antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu hukum
mempunyai hubungan yang saling melengkapi dan memengaruhi. Perbedaan fungsi
antara keduanya boleh dikata hanya bersifat marjinal.
Terdapat pertentangan antara ahli sosiologi dan ahli hukum mengenai keabsahan
sosiologi hukum. Ahli hukum memerhatikan masalah quid juris, sementara ahli sosiologi
bertugas menguraikan quid facti: mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan
hubungan-hubungan. Sosiologi hukum dipandang oleh ahli hukum dapat
menghancurkan semua hukum sebagai norma, asas yang mengatur fakta-fakta,
sebagai suatu penilaian. Para ahli khawatir, kehadiran sosiologi hukum dapat
menghidupkan kembali penilaian baik-buruk (value judgement) dalam penyelidikan
fakta sosial.
Terdapat perbedaan antara sosiologi hukum yang dikenal di Eropa dan ilmu hukum
sosiologis yang dikenal di Amerika Serikat. Sosiologi hukum memusatkan penyelidikan
di lapangan sosiologi dengan membahas hubungan antargejala kehidupan kelompok
dengan “hukum”. Sementara itu, ilmu hukum sosiologis menyelidiki ilmu hukum serta
hubungannya dengan cara menyesuaikan hubungan dan tertib tingkah-laku dalam
kehidupan kelompok.
Sosiologi hukum berkembang atas suatu anggapan dasar bahwa proses hukum
berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat.[9]
O.W. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kehidupan hukum
tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman.
Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi (1) pola-pola
perilaku (hukum) warga masyarakat, (2) hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan
dan wujud dari kelompok-kelompok sosial, dan (3) hubungan timbal-balik antara
perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan sosial dan budaya.
[1] Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2004), hal. 1.
[2] Ibid., hal. 10.
[3] Esmi Warassih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru
Utama, 2005), hal. 2.
[4] Alvin S. Johnson, op. cit., hal. 9.
[5] Loc. cit.
[6] Ibid., hal. 10.
[7] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1980), hal. 4.
[8] Esmi Warassih, op. cit., hal. 3.
[9] Soerjono Soekanto, loc. cit.
[10] Alvin S. Johnson, op. cit., hal. 11.
[11] Soerjono Soekanto, op. cit., hal 10-11.
[12] Alvin S. Johnson, op. cit., hal. 3.
[13] Soerjono Soekanto, loc. cit.
[14] Ibid., hal. 22.
Sering sekali terjadi pelanggaran hukum namun kita sebagai warga negara hampir tidak
berdaya dan berdiam diri mengetahui kejadian tersebut. Bahkan Polisi juga sering
melakukan pembiaran. Keadaan pembiaran ini berakibat munculnya MAFIA HUKUM.
Menurut Anda Mengapa Hal ini terjadi. Silahkan untuk menggunakan teori Sosiologi
untuk menjelaskan fenomena ini.
Jawaban diskusi 2 :
mafia hukum
Penjelasan:
Mafia Hukum Adalah Orang Yang Bersalah Dalam Suatu Kelompok Yang Membuat
Terjadinya Kerusakan Mafia.
Di era globalisasi ini penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam tentang penegakan
suata negara, terutama yang berkaitan dengan keadaan dan situasi penegakan hukum
di negara kita yaitu negara Indonesia. Hal ini penting bagi kita karena erat hubungannya
dengan apa yang kita saksikan dalam realita kehidupan masyarakat saat ini. Terkadang
masih banyak orang yang salah mengartikan dan belum banyak mengerti tentang
keadaan sistem hukum di Indonesia, sehingga kita sebagai masyarakat kadang pasrah
saja menerima hukuman dari kesalahan, terkadang hal tersebut dialami suatu
perusahaan karena lemahnya pengetahuan sebagian masyarakat akan pengetahuan
tentang proses hukum dan sanksi-sanksi yang diberikan kepada para pelaku yang
berlaku di negara Indonesia. Banyak kasus hukum yang di selesaikan secara tidak adil,
dimana para penegak hukum memiliki peran ganda sebagai mafia hukum secara tidak
kasat mata.
Para mafia hukum inilah yang memporak-porandakan sistem hukum yang berlaku di
tanah air kita. Gencarnya aksi mafia hukum tersebut disambut kritik dan protes yang
tajam dari masyarakat sendiri, namun tak ayal, jarang yang sanggup untuk
menghentikan mereka.Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di
Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat
yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang
memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh
lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak
bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama
yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan
dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang
paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di
Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya
berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga
meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari
penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana
dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga
pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan
dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang
carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di
televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang
menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga
maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata.
Namun tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media
masa sungguh tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia
(LSI) menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan
penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan
sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa
rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak
bermoral, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh
kelompok masyarakat yang paling berkuasa. Hukum harus ditafsirkan yang nyatanya
akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirkannya, dan penafsir akan
menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang
namanya keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang digunakan oleh kelompok
mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan, dan keinginan pihak minoritas
tidak pernah menjadi hasil penafsiran hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan
hukum.
Fakta didepan mata, penegakan hukum di Indonesia masih carut marut, dan hal ini
sudah diketahui dan diakui bukan saja oleh orang-orang yang sehari-harinya
berkecimpung dibidang hukum, tetapi juga oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
dan juga komunitas masyarakat Internasional. Bahkan banyak pendapat menyatakan
bahwa penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia sudah sampai pada titik nadir.
Proses penegakan hukum acapkali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan
hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya
penegakan hukum merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik
dalam masyarakat.
Salah satu sebab mengapa Indonesia sulit keluar dari krisis ekonomi sejak tahun 1998,
dibandingkan negara lainnya yang terkena imbas krisis tersebut, adalah dikarenakan
penegakan hukum di Indonesia terbilang sangat buruk. Bangsa Indonesia belum
berhasil mengangkat hukum sampai pada taraf mendekati ideal, tetapi malah makin
menimbulkan kekecewaan yang mendalam, khususnya yang berkaitan dengan
pemberantasan korupsi yang kian merajalela.
Salah satu faktor penyebab sulitnya memberantas korupsi di Indonesia adalah karena
tidak konsistennya law enforcement yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
yang masih menganut paradigma legalistik, formalistik, dan prosedural belaka dalam
melaksanakan hukum, dan dalam pandangan kaum legalistik normatif, seseorang
barulah dianggap bersalah apabila sudah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht).
Inti dari keterpurukan maupun kemunduran hukum itu adalah bahwa kejujuran, empati
dan dedikasi dalam menjalankan hukum menjadi sesuatu yang makin langka dan
mahal. Hampir dimana-mana dapat dijumpai kerendahan budi yang makin merajalela,
yang semakin menyengsarakan masyarakat banyak.
Apabila dilihat aspek bahasa, mafia hukum terdiri akar kata mafia dan hukum. Mafia
berasal dari bahasa Sisiliakuno, Mafiusu, yang diduga mengambil kata Arab “mahyusu”
yang artinya tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah revolusi pada 1848, keadaan
pulau Sisilia kacau sehingga mereka perlu membentuk ikatan suci yang melindungi
mereka dari serangan bangsa lain dalam hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai
terkenal setelah sandiwara dimainkan pada1863 dengan judul mafusi de la Vicaria
“Cantiknya rakyat Vicaria”, yang menceritakan tentang kehidupan pada gang penjahat
di penjara Palermo.
Dari beberapa sumber ada dua bentuk pengertian dari mafia hukum ini, yaitu
penyebutan mafia hukum dan mafia peradilan.Pertama, Mafia Hukum disini lebih
dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-Undang oleh Pembuat undang-
undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada
kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di
Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu
ajaran keputusan politik yang menyangkut kebijakan politik, namun nuansa politis di sini
tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang
bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka
panjang.
Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28
tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut
telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No. 25 tahun 1997. Kedua, Mafia
Peradilan di sini dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para
Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi
suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Bentuk-bentuk mafia peradilan, misalnya makelar kasus, suap menyuap, pemerasan,
mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan
sebagainya. Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaanya. Jika bisa dibuktikan
berarti bukan “mafia” namun kejahatan biasa. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia,
mafia adalah suatu organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang
melakukan tindak kejahatan terorganisasi sehingga kegiatan mereka sangat sulit
dilacak secara hukum. Ada pengertian lain dari mafia hukum ini. Istilah mafia disini
menunjuk pada adanya “suasana” yang sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan,
kebijaksanaan maupun keputusan tertentu akan terlihat secara kasat mata sebagai
suatu yang berjalan sesuai dengan hukum padahal sebetulnya “tidak”. Dengan kata lain
mafia peradilan ini tidak akan terlihat karena mereka bisa berlindung dibalik penegakan
dan pelayanan hukum. Masyarakat menjadi sulit untuk mengenali mana penegak
hukum yang jujur dan tidak terpengaruh oleh mafia dengan para penegak hukum yang
sudah terkontaminasi.
Mafia Peradilan dalam perkara pidana mencakup semua proses pidana sejak
pemeriksaan di kepolisian, penututan di kejaksaan, pemeriksaan di semua tingkat
peradilan, sejak pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Misalnya perihal
Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) di tingkat kepolisian maupun
kejaksaan.
SP3 ini tidak mungkin bisa diterbitkan gratis. Pasti ada harganya. Harganya bisa dalam
rupiah maupun keuntungan politis tertentu. Hak penyidik, penuntut umum atau hakim
untuk menahan atau tidak menahan seseorang tersangka atau terdakwa adalah
wilayah paling rawan terjadinya transaksi yang sifatnya moniter. Hukum acara yang
mendasari wewenang untuk menahan memang lemah. Hanya atas dasar kekhawatiran
maka para penegak hukum ini dengan mudah dapat melakukan penahanan terhadap
tersangka.
Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. “Kalau
ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu”. Modus kedua,
adalah manipulasi fakta hukum. “Hakim sengaja tidak memberi penilaian terhadap
suatu fakta atau sutu bukti tertentu sehingga putusannya ringan atau bebas”. Modus
ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai
dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencariperaturan
hukum sendiri sehingga fakkta-fakta hukum ditafsirkan berbeda.Modus keempat,
adalah pencaria peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan
jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. “Dibuat agar
terdakwamelakukan hal tersebut atas perintah atasan sehingga terdakwa dibebaskan”.
Selain itu, terdapat bentuk-bentuk dan modus operansi dari mafia hukum mulai dari
kepolisian hingga di Lembaga pemasyarakatan;
Tahap Penyelidikan (Di Kepolisian) Permintaan uang jasa. Laporan ditindak lanjuti
setelah menyerahkan uang jasa, penggelapan perkara, penanganan perkara dihentikan
setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang pada polisi.
Tahap Penyidikan (Di Kepolisian) Negosiasi perkara, tawar menawar pasal yang
dikenakan terhadap tersangka dengan uang yang berbeda-beda, menunda surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan, pemerasan oleh Polisi,
tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan menyerahkan uang,
mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai, pengaturan ruang Tahanan,
penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar menawar.
Negosiasi Status. Perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat tawar-
menawar.
Negosiasi Perkara. Proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar keluarga
tersangka menghubungi jaksa. Dapat melibatkan Calo, antara lain dari kejaksaan, anak
pejabat, pengacara rekanan jaksa. Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar
menawar.
Hakim sebagai sebuah jabatan yang memiliki fungsi yudikatif, pada dasarnya memiliki
dua tindakan peran. Pertama, untuk membuktikan keberadaan suatu fakta yang
dikualifikasikan sebagai delik perdata atau pidana oleh suatu norma umum yang harus
diterapkan kepada kasus tertentu. Kedua, hakim menjatuhkan suatu sanksi perdata
atau pidana yang konkret yang ditetapkan secara umum dalam norma yang harus
diterapkan. Dari kedua peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim merupakan
penerap dari norma hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang
kemudian diikuti dengan menerapkan sanksi demi tegaknya peraturan perundang-
undangan tersebut.
Pada kesejarahannya menurut van apeldoorn peranan hakim dapat dibagi kedalam 3
masa yng terdiri dari masa abad ke-19 (legisme), pada masa ajaran hukum bebas atau
ajaran menemukan hukum dengan bebas dan pada masa ini. Peranan hakim pada
masa-masa legalisme (abad ke 19) mencapai puncak kejayaannya hanya difungsikan
sebagai terompet undang-undang/corong undang-undang. Hakim pada konteks ini
diposisikan untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan
asas logikal, tanpa memperhatikan aspek-aspek lain diluar logika dan aturan hukum
tersebut. Secara operasional penerapan suatu aturan hukum dalam perkara konkret
mengikuti aturan berpikir silogisme, dimana aturan hukum diposisikan sebagai premis
mayor dan fakta konkret/kenyataan-kenyataan diperlakukan sebagai premis minor,
sehingga penentuan apakah seseorang telah melanggar hak sesorang atau seseorang
telah melakukan suatu tindak pidana sangat bergantung pada
kualifikasi-kualifikasi/unsur-unsur yang dinyatakan dalam aturan hukum tersebut
(premis mayor). Pada masa legisme ini hakim tidak mempersoalkan motif, seperti
apakah seseorang melakukan suatu tindakan pencurian dengan alasan karena lapar
atau karena alasan-alasan lainnya. Sehingga pada masa ini, hakim memiliki tugas
sebagai subsumptie-automaat karena tugasnya semata-mata terdiri atas melakukan
pencocokan (subsumptie) kedalam peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk
hal tersebut.
Peranan hakim pada masa ajaran hukum bebas atau ajaran menemukan hukum
dengan bebas, merupakan penolakan terhadap pandangan legisme yang berkembang
pada abad ke-19. Ajaran hukum bebas ini, menyatakan tidak semua hukum terdapat di
dalam undang-undang, bahwa disamping undang-undang terdapat sumber-sumber
yang lainnya, dimana hakim dapat mengambil hukum tersebut (hukum bebas) sebagai
dasar bagi putusan. Mengenai dari manakah asal hukum bebas tersebut berasal, ajaran
ini terbagi menjadi dua. Pertama, ialah aliran hukum sosiologis dan kedua, ialah aliran
hukum kodrat.
Aliran pertama, yakni aliran hukum sosiologis digawangi oleh Hamaker yang
menyatakan hukum bebas tersebut berasal dari adat istiadat, kebiasaan dalam
masyarakat yang sifatnya lebih empirik. Sedangkan aliran hukum kodrat menunjuk
kepada hal-hal yang sifatnya kontemplatif di dalam ruang-ruang perenungan penuh ide.
Namun demikian, aliran-aliran yang datang berikutnya semakin radikal untuk
meniadakan undang-undang sebagai sumber satu-satunya yang memandang bahwa
hakim dalam memutus tidak hanya mengangap bahwa hukum bebas sebagai suplemen
untuk menutupi kekosongan hukum. Namun lebih dari itu, hukum bebas ini dapat
mengecualikan peraturan perundang-undangan tertulis dan mengadakan koreksi
apabila dianggap telah bertentangan dengan hukum. Para pendukung aliran baru ini,
memberikan hakim peran sebagai apa yang disebut dalam hukum romawi sebagai
rechter-konigschap, namun demikian pandangan ini dianggap justru akan
menghilangkan kepastian hukum sehingga banyak terjadi penolakan terhadap paham
ini.
Pada masa ini, peranan hakim lebih dititik beratkan untuk melakukan penafsiran
terhadap aturan-aturan hukum yang sudah ada, namun dengan tidak hanya
menggunakan aktivitas logika semata. Tetapi juga memperhatikan anasir-ansir di luar
hal tersebut, yakni kepatutan, keadilan, susila yang baik, itikad yang baik, dan
sebagainya. Hakim memiliki tugas untuk mengisi kekosongan hukum yang ada, dimana
hakim dalam melakukan penafsiran hukumnya tidak terlepas dari aturan hukum yang
ada. Hakim dalam pada masa ini tidak melakukan pembentukan hukum dalam arti dia
mengadakan suatu aturan hukum yang tidak ada menjadi ada. Namun hakim memutus
berdasarkan perasaan hukum dengan memperhatika kebiasaan dan pendangan-
pandangan yang berlaku di dalam masyarakat dan menyesuaikan hukum yang konkret
pada tuntutan hal-hal yang khusus.
Secara universal, jika ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka harus
membebaskan diri dari belenggu formalisme-positivisme, karena jika hanya
mengandalkan pada teori pemahaman hukum secara legalistik-positivistis yang hanya
berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka tidak akan pernah mampu untuk
menangkap hakikat akan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
Usaha pembebasan dan pencerahan tersebut dapat dilakukan dengan mengubah cara
kerja yang konvensional yang selama ini diwariskan oleh mazhab hukum positif dengan
segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal prosedural tersebut. Di situasi yang
serba extra ordinary, dimana bangsa dan negara ini masih sulit keluar dari tekanan
krisis disegala bidang kehidupan, yang mana tidak mentutup kemungkinan bangsa ini
akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam, dengan situasi ini
tidak mustahil, hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap
tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Padahal sejak awal reformasi,
hampir setiap saat lahir peraturan perundangan yang mengatur dan problematika
kehidupan negeri ini, sehingga keberadaan bangsa dalam kondisi yang hiperregulated
society. Akan tetapi dengan banyaknya peraturan perundangan itu, baik yang
menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kehidupan manusia, keteraturan (order)
tidak kunjung datang menghampiri. Malahan hukum kita saat ini tampak kewalahan
menghadapi segala macam permasalahan hukum yang terjadi, sehingga berakibat
pada bukan membaiknya kondisi penegakan hukum, akan tetapi justru memunculkan
persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya.
Masalah penemuan hukum dalam kaitannya dengan tugas hakim adalah muncul pada
saat hakim melakukan pemeriksaan perkara hingga saat menjatuhkan putusan. Hakim
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memeriksa, mengadili dan kemudian
menjatuhkan putusan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan juga
berdasarkan keyakinannya, bukan berdasarkan logika hukum semata.
Menurut Bagir Manan, rumusan undang-undang yang bersifat umum tidak pernah
menampung secara pasti setiap peristiwa hukum. Hakimlah yang berperan
menghubungkan atau menyambungkan peristiwa hukum yang konkret dengan
ketentuan hukum yang abstrak.
Secara faktual, tidak dapat ditentukan metode penemuan hukum yang bagaimanakah
yang dapat digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan
karakteristik penemuan hukum yang baik, karena dalam setiap perkara atau kasus
mempunyai bentuk dan karakteristik yang berlainan atau variatif sifatnya. Sehingga
hakim akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus yang
dihadapinya (case by case), apakah itu salah satu metode interpretasi hukum ataukah
salah satu dari metode konstruksi hukum atau hanya berupa gabungan dari beberapa
metode interpretasi hukum atau konstruksi hukum, ataukah sekaligus dari metode
interpretasi hukum dan konstruksi hukum sekaligus.
MAFIA PERADILAN
MAFIA PERADILAN
Hal tersebut menandakan masih ada ruang gelap yang dapat dimanfaatkan mafia
peradilan untuk membajak putusan pengadilan untuk kepentingan mereka.
Salah satu anggota koalisi, Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera
mengatakan, reformasi di sektor yudisial sudah dilakukan sejak tahun 1999.
"Praktik mafia peradilan itu benar terjadi di lapangan. Ada beberapa pola atau modus
yang mereka lakukan untuk mengatur jalanya perkara," ujar Bivitri saat memberikan
keterangan pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2016).
Bivitri menjelaskan, ada lima modus yang kerap terjadi di dalam lingkup pengadilan.
(baca: Koalisi Pemantau Peradilan Catat 27 Oknum Peradilan Terlibat Korupsi)
Dalam tahap prapersidangan, calo perkara membangun hubungan baik dengan hakim
atau pegawai pengadilan dengan memberikan hadiah atau fasilitas. Tujuannya,
menciptakan hutang budi ketika berperkara.
Pada tahap pendaftaran perkara pun sering ditemui adanya pungutan liar di luar
ketentuan saat pendaftaran perkara dan menawarkan penggunaan jasa advokat
tertentu. Biasanya, kata Bivitri, oknum tersebut akan mengaku bisa mempercepat atau
memperlambat pemeriksaan perkara. (baca: Ketua MA Dinilai Tak Punya Sikap Jelas
Terkait Maraknya Mafia Peradilan)
Modus lain yang biasa terjadi, calo perkara kerap meminta pihak tertentu untuk
mengatur majelis hakim pada saat penetapan majelis hakim.
Modus terakhir, lanjutnya, yakni pungutan liar yang diminta oleh oknum tertentu guna
mempercepat atau memperlambat minutasi putusan.
OER : https://youtu.be/9yAdh8C0vEk
Pertemuan 2
Modul 2 & 3
Sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang hubungan timbal-baliknya relatif konstan.
Sistem sosial selalu mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan
membedakan dari lingkungan lain, serta mempertahankan keseimbangan dari kegiatan-
kegiatan yang memungkinkanya tetap bertahan dan beroperasi. Sistem sosial
diciptakan oleh manusia. Dipertahankan dan bahkan diubah atau diganti oleh manusia.
Unsur pertama dalam sistem sosial ada sejumlah orang beserta kegiatannya. Kedua
orang-orang atau sejumlah kegiatan itu berhubungan secara timbal balik. Ketiga
hubungan yang timbal-balik itu bersifat konstan atau ajeng.
Sesuatu hal yang baru dirasakan dan ditemui oleh seseorang ketika berinteraksi
dengan pihak lain, ada yang bersifat universal, general atau umum berlaku dan diterima
oleh anggota masyarakat pada umumnya, akan tetapi ada pula yang hanya bersifat
seperti spesifik atau khusus berlaku di lingkungan masyarakat setempat itu saja. Lebih
dari sekedar apakah nilai-nilai sosial, budaya dan norma soaial itu bersifat universal
ataukah spesifik, adalah juga perlu dianut serta dikembangkan atau tidak patut dianut
dan perlu dihindari. Karena alat ukur mengenai baik buruknya suatu perilaku,
kadangkala bersifat relatif. Untuk mempermudah pendefinisian perilaku menyimpang
atau tidak, dapat dilakukan: pertama, definisi absolut yaitu
sehingga dapat diketahui oleh setiap orang mengenai adanya perilaku yang salah atau
buruk, dan apabila ada orang yang melakukannya, hal itu disebabkan oleh adanya nilai
kemasyarakatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Definisi statistikal,
yaitu pendefinisian yang didasarkan pada lazim atau tidak lazim suatu perilaku
dilakukan. definisi label, berusaha meminimalkan pentingnya norma-norma. Seorang
dapat dikatakan sebagai pelaku menyimpang, atau dapat melakukan perilaku
menyimpang menjadikannya sebagai hal biasa, bermula dan label yang diberikan orang
lain kepadanya dan terakhir definisi relatif, didasarkan pada norma, nialai dan budaya
dan lingkungan masyarakat tertentu, artinya tidak bebas dan tempat dan waktu.
A. Pengertian kekuasaan
Max Weber kemungkinan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kehendaknya terhadap pihak lain, walaupun harus menghadapi perlawanan. Apabila
upaya memenuhi kehendak merasa kesulitan maka seseorang atau sekelompok orang
tersebut dapat mengunakan cara tertentu baik kasar maupun halus. Power akan lebih
efektit apabila dalam proses pelaksanaannya dilengkapi dengan konsep dominasi dan
legitimasi yang menghasilkan otorita.
B. Sumber kekuasaan
kepatuhan terhadap hukum atau aturan yang dibuat berdasar perjanjian sukarela
maupun paksaan yang dianggap sah, hubungan antara penguasa yang dipilih dengan
warga negara yang memilih, perubahan yang didasarkan pada kebutuhan, kekuatan
kedudukan berdasar peraturan, kualitas teknis dalam rekrutmen. Keempat, sumber
kekuasaan lain meliputi coercive power (kekuasaan paksa), connection power
(kekuasaan berdasar koneksi), reward power (kekuasaan berdasar imbalan), legitime
power (kekuasaan kewenangan), referent power (kekuasaan daya tarik), information
power (kekuasaan informasi), expert power (kekuasaan keahlian).
senjata. Bertahannya suatu masyarakat sebagai suatu sistem sosial, sangat tergantung
pada pembagian kekuasaan di dalam masyarakat yang bersangkutan, dan pembagian
kekuasaan dimaksud, akan sangat ditentukan oleh keberadaan laras senjata.
Nilai merupakan suatu yang dianggap baik dan yang diharapkan oleh masyarakat. Nilai
merupakan segala
masyarakat itu, seringkali dituangkan dalam bentuk hukum yang mengatur segala
tingkah laku warganya, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
F.Jenis-jenis nilai
1. Berdasarkan tempat.
Pertama nilai sosial pada benda kultural ciptaan manusia, misal keris. Kedua, nialai
sosial pada pola kelakuan, misal beristeri banyak dulu tidak apa-apa sekarang mala
tidak baik. Ketiga, nilai sosial pada cara berpikir, misal kritis, ada yang menganggap
baik ada yang tidak.
Hukum sebagai kaidah tidak terlepas dari nilai sosial yang berlaku di dalam suatu
masyarakat. Jadi proses pembuatan hukum hendaknya dikaitkan dengan sistem nilai
yang berlaku, agar tercipta kesesuaian antara hukum yang diciptakan dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku.
OER : https://youtu.be/DextVfv5F88
Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Hukum adalahperintah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berfikir, perintah manadilakukan oleh makhluk
berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan.Austin juga beranggapan bahwa
hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetapdan bersifat tertutup.Hukum dibagi dalam
dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan danhukum yang dibuat oleh manusia.
Hukum yang dibuat oleh manusia dapatdibedakan dalam:
a.Hukum yang sebenarnya :Yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-
pengikutnya, danhukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-
hakyangdiberikan kepadanya.
2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Friedrich Karl Von Savigny dan SirHenry).
Betham menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukumdengan
prinsip yang ia gunakan yaitu “bahwa manusia bertindak untukmemperbanyak
kebahagian dan mengurangi penderitaan. Ukuran baikburuknya suatu perbuatan
manusia tergantung pada apakah perbuatantersebut mendatangkan kebahagiaan atau
tidak. Selanjutnya iamengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk
hukum yang adilbagi segenap warga-warga masyarakat secara individual.Disisi lain,
Ihering didalam bukunya yang berjudul
Aliran ini berpokok pada pembedaan antara hukum positif (ius constitutum)dengan
hukum yang hidup (living law). Dikatakan bahwa hukum positif hanyaakan efektif
apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat(culture patterns).
Menurutnya, pusat perkembangan dari hukum bukanlahterletak pada badan-badan
legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum. Tata tertib dalam
masyarakat didasarkan padaperaturan-peraturan yang dipaksakan oleh
negara.Sementara itu menurut Pound, hukum harus dilihat atau dipandang
sebagaisuatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum untuk memperkembangkan
suatukerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi
secaramaksimal.Selanjutnya Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai
suatuproses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang
tertulis.Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik
hkumsubstantif maupun hukum ajektif.Aliran sociological jurisprudence telah
meninggalkan pengaruh yang mendalamterutama pada pemikiran hukum di Amerika
Serikat, walaupun belumsepenuhnya dapat dinamakan sosiologi hukum, akan tetapi
aliran tersebutmemperkenalkan teori-teori dan metode-metode sosiologi pada ilmu
hukum.
5. Aliran Realisme Hukum (Karl Llewellyn, Jerome Frank dan J.O.W Holmes).
OER :
https://youtu.be/pAOHz-5dXho
https://youtu.be/zQhwWFVX6aA
https://youtu.be/7WGCJ90eNNE
https://youtu.be/Y2OYs5pFvLM
https://youtu.be/B9ohRnCwW34
https://youtu.be/nPuKSYgdJs0
https://youtu.be/gZDMmyRCCBk
https://youtu.be/FKo9P8Sfe4Q
Pertemuan 3
Modul 4
Pertama, tradisi intelektual logico, dalah suatu tradisi intelektual yang berpandangan
bawha ilmu pengetahuan itu hanya satu, serta berusaha mempelajari sesuatu yang
bersifat nyata, faktual, dan bersifat fiskal.
Pemikiran tokoh ahli filsafat hukum mengenai perlunya mempelajari sosisologi hukum:
Dalam buku Law and Society diuraikan penting bagi peminat sosiologi hukum yang
ingin memahami mengenai pemikiran yang mempengaruhi terbentuknya sosiologi
hukum:
Aliran sociological jurisprudence
Oleh Ehrlich dan Pound, aliran ini berpokok pada pembedaan kaidah hukum dan kaidah
sosial lainnya. hukum positif baru akan efektif apabila selaras dengan hukum yang
hidup dengan masyarakat.
Tujuan sistem hukum hubungan hukum dan moral serta kepastian hukum dan keadilan
Mazhab formalitas
Menelaah logika hukum, tekanan pada fungsi keajekan hukum serta peranan formal
dan petugas-petugas hukum
Aliran utilitarianisme
Pertemuan 3
Modul 4
Unsur pertama dalam sistem sosial ada sejumlah orang beserta kegiatannya. Kedua
orang-orang atau sejumlah kegiatan itu berhubungan secara timbal balik. Ketiga
hubungan yang timbal-balik itu bersifat konstan atau ajeng.
Sesuatu hal yang baru dirasakan dan ditemui oleh seseorang ketika berinteraksi
dengan pihak lain, ada yang bersifat universal, general atau umum berlaku dan diterima
oleh anggota masyarakat pada umumnya, akan tetapi ada pula yang hanya bersifat
seperti spesifik atau khusus berlaku di lingkungan masyarakat setempat itu saja. Lebih
dari sekedar apakah nilai-nilai sosial, budaya dan norma soaial itu bersifat universal
ataukah spesifik, adalah juga perlu dianut serta dikembangkan atau tidak patut dianut
dan perlu dihindari. Karena alat ukur mengenai baik buruknya suatu perilaku,
kadangkala bersifat relatif. Untuk mempermudah pendefinisian perilaku menyimpang
atau tidak, dapat dilakukan: pertama, definisi absolut yaitu
Pendefinisian yang menganggap norma sebagai sesuatu yang bersifat universal dan
nyata, sehingga dapat diketahui oleh setiap orang mengenai adanya perilaku yang
salah atau buruk, dan apabila ada orang yang melakukannya, hal itu disebabkan oleh
adanya nilai kemasyarakatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Definisi
statistikal, yaitu pendefinisian yang didasarkan pada lazim atau tidak lazim suatu
perilaku dilakukan. definisi label, berusaha meminimalkan pentingnya norma-norma.
Seorang dapat dikatakan sebagai pelaku menyimpang, atau dapat melakukan perilaku
menyimpang menjadikannya sebagai hal biasa, bermula dan label yang diberikan orang
lain kepadanya dan terakhir definisi relatif, didasarkan pada norma, nialai dan budaya
dan lingkungan masyarakat tertentu, artinya tidak bebas dan tempat dan waktu.
Hukum, Kekuasaan, dan Nilai Sosial Budaya
A.Pengertian kekuasaan
Max Weber kemungkinan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kehendaknya terhadap pihak lain, walaupun harus menghadapi perlawanan. Apabila
upaya memenuhi kehendak merasa kesulitan maka seseorang atau sekelompok orang
tersebut dapat mengunakan cara tertentu baik kasar maupun halus. Power akan lebih
efektit apabila dalam proses pelaksanaannya dilengkapi dengan konsep dominasi dan
legitimasi yang menghasilkan otorita.
B.Sumber kekuasaan
Kekerabatan tradisi yang berlaku, ketundukan atau kepatuhan pada adat istiadat,
hubungan yang bersifat “kawula-guati”, atau penguasa dan kawula, perubahan
kesinambungan yang bersifat evolusioner, kekuatan kedudukan yang bersifat turun-
temurun dan loyalitas. Kedua faktor kharismatik, didasarkan pada kepercayaan
dimilikinya sifat-sifat luar biasa dan pemimpin, ketundukan atau kepatuhan pada
keluarbiasaan, hubungan yang diibaratkan antara nabi dan umat yang sedang
mengemban tugas sejarah, perubahan yang bersifat revolusioner, kekuatan kedudukan
yang bersifat pertahanan kemampuan dan keluarbiasaan dalam rekruitmen. Ketiga
faktor legal-rasid didasarkan kepercayaan pada suatu sistem yang konsisten, yang
Menurut Mao Tse Tung , sumber kekuasaan muncul dari laras senjata. Bertahannya
suatu masyarakat sebagai suatu sistem sosial, sangat tergantung pada pembagian
kekuasaan di dalam masyarakat yang bersangkutan, dan pembagian kekuasaan
dimaksud, akan sangat ditentukan oleh keberadaan laras senjata.
Nilai merupakan suatu yang dianggap baik dan yang diharapkan oleh masyarakat. Nilai
merupakan segala
Sesuatu yang dianggap baik dan jahat, bagi kehidupan bersama. Nilai yang dimiliki oleh
setiap masyarakat itu, seringkali dituangkan dalam bentuk hukum yang mengatur
segala tingkah laku warganya, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
F.Jenis-jenis nilai
1. Berdasarkan tempat. Pertama nilai sosial pada benda kultural ciptaan manusia,
misal keris. Kedua, nialai sosial pada pola kelakuan, misal beristeri banyak dulu tidak
apa-apa sekarang mala tidak baik. Ketiga, nilai sosial pada cara berpikir, misal kritis,
ada yang menganggap baik ada yang tidak.
Hukum sebagai kaidah tidak terlepas dari nilai sosial yang berlaku di dalam suatu
masyarakat. Jadi proses pembuatan hukum hendaknya dikaitkan dengan sistem nilai
yang berlaku, agar tercipta kesesuaian antara hukum yang diciptakan dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku.
OER :
https://youtu.be/pAOHz-5dXho
https://youtu.be/zQhwWFVX6aA
https://youtu.be/7WGCJ90eNNE
https://youtu.be/Y2OYs5pFvLM
https://youtu.be/B9ohRnCwW34
https://youtu.be/nPuKSYgdJs0
https://youtu.be/gZDMmyRCCBk
https://youtu.be/FKo9P8Sfe4Q
Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Hukum adalahperintah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berfikir, perintah manadilakukan oleh makhluk
berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin juga beranggapan bahwa
hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetapdan bersifat tertutup.Hukum dibagi dalam
dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan danhukum yang dibuat oleh manusia.
Hukum yang dibuat oleh manusia dapatdibedakan dalam:
a.Hukum yang sebenarnya :Yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-
pengikutnya, danhukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-
hakyangdiberikan kepadanya.
2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Friedrich Karl Von Savigny dan SirHenry).
Betham menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukumdengan
prinsip yang ia gunakan yaitu “bahwa manusia bertindak untukmemperbanyak
kebahagian dan mengurangi penderitaan. Ukuran baikburuknya suatu perbuatan
manusia tergantung pada apakah perbuatantersebut mendatangkan kebahagiaan atau
tidak. Selanjutnya iamengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk
hukum yang adilbagi segenap warga-warga masyarakat secara individual.Disisi lain,
Ihering didalam bukunya yang berjudul
Aliran ini berpokok pada pembedaan antara hukum positif (ius constitutum)dengan
hukum yang hidup (living law). Dikatakan bahwa hukum positif hanyaakan efektif
apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat(culture patterns).
Menurutnya, pusat perkembangan dari hukum bukanlahterletak pada badan-badan
legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum. Tata tertib dalam
masyarakat didasarkan padaperaturan-peraturan yang dipaksakan oleh
negara.Sementara itu menurut Pound, hukum harus dilihat atau dipandang
sebagaisuatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum untuk memperkembangkan
suatukerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi
secaramaksimal.Selanjutnya Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai
suatuproses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang
tertulis.Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik
hkumsubstantif maupun hukum ajektif.Aliran sociological jurisprudence telah
meninggalkan pengaruh yang mendalamterutama pada pemikiran hukum di Amerika
Serikat, walaupun belumsepenuhnya dapat dinamakan sosiologi hukum, akan tetapi
aliran tersebutmemperkenalkan teori-teori dan metode-metode sosiologi pada ilmu
hukum.
5. Aliran Realisme Hukum (Karl Llewellyn, Jerome Frank dan J.O.W Holmes).
Pertemuan 3
Modul 4
Pertama, tradisi intelektual logico, dalah suatu tradisi intelektual yang berpandangan
bawha ilmu pengetahuan itu hanya satu, serta berusaha mempelajari sesuatu yang
bersifat nyata, faktual, dan bersifat fiskal.
Pemikiran tokoh ahli filsafat hukum mengenai perlunya mempelajari sosisologi hukum:
Dalam buku Law and Society diuraikan penting bagi peminat sosiologi hukum yang
ingin memahami mengenai pemikiran yang mempengaruhi terbentuknya sosiologi
hukum:
Aliran sociological jurisprudence
Oleh Ehrlich dan Pound, aliran ini berpokok pada pembedaan kaidah hukum dan kaidah
sosial lainnya. hukum positif baru akan efektif apabila selaras dengan hukum yang
hidup dengan masyarakat.
Tujuan sistem hukum hubungan hukum dan moral serta kepastian hukum dan keadilan
Mazhab formalitas
Menelaah logika hukum, tekanan pada fungsi keajekan hukum serta peranan formal
dan petugas-petugas hukum
Aliran utilitarianisme
Unsur pertama dalam sistem sosial ada sejumlah orang beserta kegiatannya. Kedua
orang-orang atau sejumlah kegiatan itu berhubungan secara timbal balik. Ketiga
hubungan yang timbal-balik itu bersifat konstan atau ajeng.
Sesuatu hal yang baru dirasakan dan ditemui oleh seseorang ketika berinteraksi
dengan pihak lain, ada yang bersifat universal, general atau umum berlaku dan diterima
oleh anggota masyarakat pada umumnya, akan tetapi ada pula yang hanya bersifat
seperti spesifik atau khusus berlaku di lingkungan masyarakat setempat itu saja. Lebih
dari sekedar apakah nilai-nilai sosial, budaya dan norma soaial itu bersifat universal
ataukah spesifik, adalah juga perlu dianut serta dikembangkan atau tidak patut dianut
dan perlu dihindari. Karena alat ukur mengenai baik buruknya suatu perilaku,
kadangkala bersifat relatif. Untuk mempermudah pendefinisian perilaku menyimpang
atau tidak, dapat dilakukan: pertama, definisi absolut yaitu
Pendefinisian yang menganggap norma sebagai sesuatu yang bersifat universal dan
nyata, sehingga dapat diketahui oleh setiap orang mengenai adanya perilaku yang
salah atau buruk, dan apabila ada orang yang melakukannya, hal itu disebabkan oleh
adanya nilai kemasyarakatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Definisi
statistikal, yaitu pendefinisian yang didasarkan pada lazim atau tidak lazim suatu
perilaku dilakukan. definisi label, berusaha meminimalkan pentingnya norma-norma.
Seorang dapat dikatakan sebagai pelaku menyimpang, atau dapat melakukan perilaku
menyimpang menjadikannya sebagai hal biasa, bermula dan label yang diberikan orang
lain kepadanya dan terakhir definisi relatif, didasarkan pada norma, nialai dan budaya
dan lingkungan masyarakat tertentu, artinya tidak bebas dan tempat dan waktu.
A.Pengertian kekuasaan
Max Weber kemungkinan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kehendaknya terhadap pihak lain, walaupun harus menghadapi perlawanan. Apabila
upaya memenuhi kehendak merasa kesulitan maka seseorang atau sekelompok orang
tersebut dapat mengunakan cara tertentu baik kasar maupun halus. Power akan lebih
efektit apabila dalam proses pelaksanaannya dilengkapi dengan konsep dominasi dan
legitimasi yang menghasilkan otorita.
B.Sumber kekuasaan
Kekerabatan tradisi yang berlaku, ketundukan atau kepatuhan pada adat istiadat,
hubungan yang bersifat “kawula-guati”, atau penguasa dan kawula, perubahan
kesinambungan yang bersifat evolusioner, kekuatan kedudukan yang bersifat turun-
temurun dan loyalitas. Kedua faktor kharismatik, didasarkan pada kepercayaan
dimilikinya sifat-sifat luar biasa dan pemimpin, ketundukan atau kepatuhan pada
keluarbiasaan, hubungan yang diibaratkan antara nabi dan umat yang sedang
mengemban tugas sejarah, perubahan yang bersifat revolusioner, kekuatan kedudukan
yang bersifat pertahanan kemampuan dan keluarbiasaan dalam rekruitmen. Ketiga
faktor legal-rasid didasarkan kepercayaan pada suatu sistem yang konsisten, yang
Menurut Mao Tse Tung , sumber kekuasaan muncul dari laras senjata. Bertahannya
suatu masyarakat sebagai suatu sistem sosial, sangat tergantung pada pembagian
kekuasaan di dalam masyarakat yang bersangkutan, dan pembagian kekuasaan
dimaksud, akan sangat ditentukan oleh keberadaan laras senjata.
D.Pengertian nilai
Nilai merupakan suatu yang dianggap baik dan yang diharapkan oleh masyarakat. Nilai
merupakan segala
Sesuatu yang dianggap baik dan jahat, bagi kehidupan bersama. Nilai yang dimiliki oleh
setiap masyarakat itu, seringkali dituangkan dalam bentuk hukum yang mengatur
segala tingkah laku warganya, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
1. Berdasarkan tempat. Pertama nilai sosial pada benda kultural ciptaan
manusia, misal keris. Kedua, nialai sosial pada pola kelakuan, misal beristeri banyak
dulu tidak apa-apa sekarang mala tidak baik. Ketiga, nilai sosial pada cara berpikir,
misal kritis, ada yang menganggap baik ada yang tidak.
Hukum sebagai kaidah tidak terlepas dari nilai sosial yang berlaku di dalam suatu
masyarakat. Jadi proses pembuatan hukum hendaknya dikaitkan dengan sistem nilai
yang berlaku, agar tercipta kesesuaian antara hukum yang diciptakan dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku.
Jawaban Anda memuaskan tetapi sebaik ambil juga jawaban yang berdasarkan modul
HKUM 4102 UT dan SOSI4416. Silahkan diperbaiki untuk meningkatkan nilai dengan
jawaban yang lebih rinci. Dimohon untuk cantumkan rujukan. Silahkan baca materi
powerpoint dan materi OER serta materi BMP UT untuk mendapatkan jawaban yang
benar.