Anda di halaman 1dari 99

Tugas 1

Kebijakan Bansos Pemerintah Akibat Covid-19 Perlu Dievaluasi

Pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) dalam dua bulan terakhir menimbulkan
permasalahan pada kesejahteraan masyarakat. Meski pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan bantuan sosial (bansos) dan stimulus bagi masyarakat namun penerapannya
masih belum maksimal. Sebagai contoh, bansos pemerintah masih belum diberikan
secara merata kepada masyarakat yang membutuhkan. Belum lagi, program Kartu Pra-
Kerja pemerintah dianggap tidak efektif mengantisipasi gelombang pemutusan
hubungan kerja (PHK).

Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi segera program-program bantuan tersebut


sehingga lebih tepat sasaran dan efektif membantu masyarakat. Permasalahan ini
dikhawatirkan semakin memperparah tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya
penduduk miskin.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Akhmad Akbar Susamto,


menjelaskan anjloknya pertumbuhan ekonomi serta penerapan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) tidak hanya berpotensi mengakibatkan hilangnya lapangan
kerja dalam jumlah besar, tapi juga meningkatkan kemiskinan secara masif. Potensi
lonjakan jumlah penduduk miskin sangat beralasan mengingat begitu banyaknya
masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat kesejahteraan mendekati batas
kemiskinan, walaupun tidak berada di bawah garis kemiskinan.

Menurutnya, masyarakat golongan rentan dan hampir miskin ini umumnya bekerja di
sektor informal dan banyak yang sangat bergantung pada bantuan-bantuan pemerintah.
Dengan menyebarnya pandemi dan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB), banyak golongan masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan dan
bahkan harus kehilangan mata pencahariannya, khususnya yang bekerja di sektor
informal. Apalagi, jika bantuan sosial yang diberikan pemerintah tidak mencukupi atau
datang terlambat, golongan rentan dan hampir miskin akan semakin banyak yang jatuh
ke bawah garis kemiskinan.

“Akibat pandemi Covid-19 pada tahun ini, kami memperkirakan jumlah penduduk di
bawah garis kemiskinan berpotensi bertambah 5,1 juta hingga 12,3 juta orang pada
Triwulan II 2020. Pada skenario berat, jumlah pertambahan penduduk miskin
berpotensi mencapai 5,1 juta orang, dengan asumsi bahwa penyebaran Covid-19 akan
semakin luas pada bulan Mei 2020, tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan
PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di pulau Jawa dan satu dua kota di luar
pulau Jawa,” jelas Akhmad.

Selain itu, meningkatnya jumlah penduduk miskin dan rentan miskin yang tidak
terjangkau bantuan sosial pemerintah dinilai memicu naiknya angka kriminalitas.
Sehingga, Akhmad menekankan pentingnya meletakkan prioritas kebijakan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah saat ini pada menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat
terutama yang berada di sekitar garis kemiskinan.

Dia merekomendasikan berbagai langkah bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan


bantuan akibat Covid-19. Pertama, pemerintah harus memperbarui data penerima dan
meningkatkan jumlah penerima dan anggaran Program Keluarga Harapan (PKH).
Selama pandemi terdapat 10 juta keluarga dengan alokasi anggaran Rp37,4 triliun atau
Rp3,7 juta per tahun. Sementara, Kartu Sembako ditargetkan sebanyak 20 juta
keluarga dengan 3 anggaran Rp43,6 triliun, yang terdiri dari Rp200 ribu per bulan
selama sembilan bulan, termasuk Rp600 ribu untuk 1,776 juta keluarga di Jabodetabek
selama tiga bulan. Selain itu, ada transfer cash dari Program Kartu Prakerja untuk 5,6
juta peserta senilai Rp600 ribu selama empat bulan.

“Di samping terus memperbarui data penduduk miskin dan rentan miskin yang layak
mendapatkan bantuan sosial, pemerintah perlu meningkatkan anggaran Bantuan Sosial
dan memperluas jumlah penerima bantuan kepada penduduk yang jatuh miskin akibat
Covid19,” jelas Akhmad.

Kemudian, Akhmad juga menyarankan pemerintah agar menyederhanakan penyaluran


bansos. Di banyak tempat, berbagai bentuk Bantuan Sosial yang berbeda-beda jenis
dan jumlahnya telah menimbulkan ketegangan sosial di sejumlah daerah. Hal ini
diperparah dengan basis data Bantuan Sosial, khususnya Data Terpadu Kesejahteraan
Sosial (DTKS), yang digunakan oleh pemerintah daerah yang belum mencakup
masyarakat yang sebelumnya tidak terdata namun kondisi ekonominya memburuk
selama pandemi.

“Salah satu alternatif yang dapat ditempuh pemerintah adalah menggandeng bank-bank
pemerintah untuk melakukan transfer Bantuan Sosial secara langsung melalui rekening
khusus untuk setiap penerima bantuan. Selain penyalurannya lebih efisien, penerima
bantuan tidak tumpang tindih. Di samping itu, potensi berkurangnya jumlah bantuan
dapat dihindari,” jelasnya.

Rekomendasi lain, Akhmad mendesak pemerintah segera menurunkan biaya-biaya


yang dikontrol pemerintah atau administered prices seperti bahan bakar minyak (BBM),
tarif listrik, gas LPG dan air. Khusus BBM, pemerintah harus merevisi Keputusan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 62.K/12/MEM/2020, yang menaikkan
biaya konstanta dari Rp1.000 menjadi Rp1.800 untuk RON di bawah 95 dan Minyak
Solar CN 48 dan dari Rp1.200 menjadi Rp2.000 untuk RON 95, RON 98, Minyak Solar
CN 51.

“Semestinya dalam situasi seperti ini, pemerintah dapat merevisi kembali formula
penetapan harga BBM tersebut sehingga dapat membantu meringankan beban
ekonomi masyarakat,” jelasnya.

 
 

Insentif bagi Petani dan Nelayan

Ekonom Core lainnya, Muhammad Ishak Razak menambahkan pemerintah juga harus
meningkatkan insentif bagi petani, peternak, dan nelayan melalui skema pembelian
produk oleh pemerintah dan perbaikan jalur logistik hasil pertanian, peternakan, dan
perikanan. Menurutnya, saat pandemi Covid-19, para petani, peternak, dan nelayan
yang terus berproduksi kini menghadapi minimnya serapan pasar.

“Jika insentif di sektor ini tidak segera dan secara khusus diberikan, maka mereka
berpotensi menambah jumlah penduduk kemiskinan. Selain itu, Kebijakan tersebut juga
akan membantu pemerintah mengamankan ketersediaan stok pangan nasional
khususnya selama berlangsungnya masa pandemi,” kata Razak.

Kebijakan relokasi anggaran juga diperlukan untuk mengatasi pandemi ini. Meskipun
terdapat ruang untuk memperlebar defisit, pemerintah dapat mengoptimalkan realokasi
anggaran yang telah disusun dan menerapkan beberapa kebijakan alternatif dengan
melakukan pembagian beban atau burden sharing antara pemerintah pusat dan daerah
dengan mengalihkan sebagian anggaran transfer daerah dan dana desa untuk
dialokasikan menjadi anggaran bantuan sosial.

Salah satu anggaran yang perlu direlokasi yaitu program Kartu Pra-Kerja yang
digunakan untuk membayar program pelatihan senilai Rp5,63 triliun. Akhmad menilai
program ini tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya angkatan
kerja yang menganggur akibat PHK.

Sumber:

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eb1000c12494/kebijakan-bansos-
pemerintah-akibat-covid-19-perlu-dievaluasi?page=3

SOAL 1 NILAI 40 

Dari kasus di atas, bagaimana manfaat hukum dan masyarakat hadir menjembatani
masalah hukum dengan masalah sosial?

SOAL 2 NILAI 35

Sosiologi hukum tumbuh dan berkembang dari dorongan berbagai aliran filsafat hukum.
Bagaimana kaitan contoh kasus di atas ditinjau dari mahzab sejarah dari Carl Von
Savigny?
SOAL 3 NILAI 25

Carilah contoh kasus lainnya yang terjadi di lingkungan masyarakat tempat tinggal anda
dan berikan analisis penyelesaiannya menurut karakteristik hukum dan masyarakat
yang telah anda pelajari!

LEMBAR PEDOMAN PENSKORAN

SOAL TUGAS TUTORIAL ATAU TUGAS MATA KULIAH I (Set 1)

Sumber Soal  
Kode MK & Nomor KB
Fakultas                                        : FHISIP
Nomor
Modul Program Studi                              : Ilmu Hukum
Modul 1 KB 1
Kode/Nama MK                          : HKUM4102/ Hukum dan
Masyarakat

Penulis Soal/Institusi                   : Dian Ratu Ayu Uswatun Khasanah /UT

Penelaah soal//institusi               : Purwaningdyah M. W /UT

Butir Soal No.                               :  1

Skor Maks                                    :  40

Aspek / Konsep yang dinilai Skor


   

Ada jawaban Manfaat mempelajari hukum dan masyarakat secara umum.  


Bisa menyebutkan salah satu dari jawaban di bawah:
15
1. Memahami perkembangan hukum positif pada suatu negara atau
masyarakat  
2. Mengetahui efektifitas berlakunya hukum positif dalam masyarakat
3. Menganalisis penerapan hukum dalam masyarakat  
4. Mengkontruksi fenomena hukum dalam masyarakat
5. Memetakan permasalahan sosial untuk menerapkan hukum dalam  
masyarakat
 
   

Ada penjabaran argumen mahasiswa dengan analisis kasus dalam  


kaitannya pada manfaat mempelajari  hukum dan masyarakat. Semisal:
dari kasus yang dicontohkan pada soal, disebutkan pemberian bansos di  
masa pandemi yang tidak tepat pada sasaran membuat meningkatnya
jumlah penduduk miskin yang akhirnya akan meningkatkan angka  
kriminalitas demi bertahan hidup. Fenomena tersebut ditangkap ketika
kita mempelajari hukum dan masyarakat, sehingga bisa  
segera mengkontruksi fenomena yang terjadi dalam
masyarakat (optional) sehingga dapat menerapkan kebijakan hukum  
yang lebih layak digunakan demi terjaganya situasi masyarakat yang
stabil.  

   

   

25

 
Total Nilai maksimum  40
           

Jumlah skor jawaban                 :   40

Skor penggunaan bahasa          :  


Skor maksimal                      :  40

LEMBAR PEDOMAN PENSKORAN

SOAL TUGAS TUTORIAL ATAU TUGAS MATA KULIAH I

Sumber Soal  
Kode MK & Nomor KB
Fakultas                                        :  FHISIP
Nomor
Modul Program Studi                              : Ilmu Hukum
Modul 1 KB 1
Kode/Nama MK                          : HKUM4102/ Hukum dan
Masyarakat

Penulis Soal/Institusi                   : Dian Ratu Ayu Uswatun Khasanah /UT

Penelaah soal//institusi               : Purwaningdyah M. W /UT

Butir Soal No.                               :  2

Skor Maks                                    :  35

Aspek / Konsep yang dinilai Skor


   

Ada penjelasan aliran filsafat hukum.  

Mempelajari hukum dan masyarakat tidak terlepas dari filsafat hukum, 10


yang menjelaskan apa latar belakang yang mendasari suatu kebijakan
tersebut ada, dan bagaimana penerapannya dalam masyarakat. Dengan  
kata lain filsafat hukum menjelaskan bagaimana hukum itu berproses di
tengah masyarakat. Bagaimana hukum berfungsi untuk mengarahkan dan  
membina masyarakat, dan untuk mengetahui kesenjangan antara dogmatif
hukum dengan empiris yang terjadi, sehingga bisa dijadikan evaluasi yang  
mendasari kebijakan lanjutanya.  

   

Ada penjelasan mahzab sejarah dari Carl Von Savigny; yang menyatakan  
bahwa  hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang
bersama-sama dengan masyarakat (volksgeist).  

   

Analisis kasus yang ada dalam soal ditinjau dari mahzab sejarah dari Carl  
Von Savigny. Semisal: dari kasus dapat kita ketahui bahwa kebijakan
tentang bantuan yang telah ada aturannya, bisa berkembang lagi dengan  
adanya masa pandemi Covid-19. Munculnya masyarakat miskin terkena
dampak pandemi tidak dapat disepelekan karena mereka dalam keadaan  
yang belum siap. Sehingga ketika dampak tersebut menimpa bisa
menimbulkan putus asa dan memilih jalan yang menghalalkan segala cara  
untuk memenuhi kebutuhannya. Teori Carl Von Savigny mengambil peran,
bahwa aturan yang sudah ada akhirnya berkembang dengan kasus-kasus  
baru yang tumbuh mengiringi keadaan pada masyarakat.
 
 
 

10

15

 
 
Total Nilai maksimum  35
           

Jumlah skor jawaban                 :  35

Skor penggunaan bahasa          :  

Skor maksimal                      : 35

LEMBAR PEDOMAN PENSKORAN

SOAL TUGAS TUTORIAL ATAU TUGAS MATA KULIAH I

Sumber Soal  
Kode MK & Nomor KB
Fakultas                                        :  FHISIP
Nomor
Modul Program Studi                              : Ilmu Hukum
Modul 1 KB 1
Kode/Nama MK                          : HKUM4102/ Hukum dan
Masyarakat

Penulis Soal/Institusi                   : Dian Ratu Ayu Uswatun Khasanah /UT

Penelaah soal//institusi               : Purwaningdyah M. W /UT

Butir Soal No.                               :  3

Skor Maks                                    :  25

Aspek / Konsep yang dinilai Skor


Memberikan contoh kasus hukum yang terjadi di lingkungan masing-  
masing.
 
Semisal kasus dalam lingkungan sekitar: masyarakat membuang sampah
pada sungai atau saluran air walaupun mengetahui dampaknya saat 10
musim hujan tiba akan menyebabkan tersumbatnya saluran air dan
banjir.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/02/01/14423041/buang-  
sampah-sembarangan-warga-bisa-didenda-hingga-rp-20-juta?page=all
 
 
 
Ada analisis penyelesaian kasus sesuai dengan kasus yang dibuat oleh
mahasiswa dalam kaitannya dengan karakteristik hukum dan  
masyarakat.
 
Dari kasus (yang dicontohkan) terdapat aturan hukum yang ada seperti
PERDA sebagai turunan dari Undang-Undang Pengelolaan dan  
Pelestarian Lingkungan Hidup. Akan tetapi pada kenyataan yang ada
masyarakat tetap secara sembunyi-sembunyi membuang sampah pada  
sungai. Disini karakteristik hukum dan masyarakat hadir untuk
mengetahui apa motif seseorang melakukan tingkah laku yang secara  
sadar merugikan dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Karena
mempelajari hukum dan masyarakat tidak hanya menyelidiki dari apa  
yang nampak di luarnya saja, melainkan juga masuk untuk mendapatkan
penjelasan secara dalam mengenai tingkah laku yang mendasarinya.  
Sehingga dari pemahaman motif, bisa dicari solusi yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan. Seumpama setelah diselidiki, masyarakat membuang 15
sampah di sungai karena tidak adanya lahan yang digunakan untuk
pembuangan sampah (padat dengan dibuatnya rumah/bangunan liar),  
atau tidak adanya petugas kebersihan yang mengambil sampah pada
daerah tersebut. Dari hasil penyelidikan dapat diberikan solusi agar  
daerah tersebut ada yang menjadi petugas kebersihan/mencari petugas
kebersihan yang setiap hari mengambil sampah di rumah-rumah  
penduduk dengan imbalan yang disepakati.
 

 
Total Nilai maksimum  25
            Jumlah skor jawaban     :   25

          Skor penggunaan bahasa        :  

   Skor maksimal                   : 25

Tambahan Materi :
1. Mempelajari Hukum dan Masyarakat, sedikitnya ada tiga kegunaan atau manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu :

1. Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial;

2. Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam masyarakat


baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana pengubah masyarakat dan sarana
untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau yang diharapkan;

3. Memberikan kemampuan mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap hukum dalam


masyarakat.

Kegunaan-kegunaan tersebut diatas dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut :

1. Pada taraf organisasi dalam masyarakat

1. Hukum dan Masyarakat dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang


mempengaruhi perencanaan,pembentukan dan penegakan hukum;
2. Dapat diidentifikasikannya unsur-unsur kebudayaan manakah yang
mempengaruhi isi atau substansi hukum;
3. Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan
hukum dan penegakannya

2. Pada taraf golongan dalam masyarakat

1. Pengungkapan golongan-golongan manakah yang sangat menentukan di dalam


pembentukan dan penerapan hukum;
2. Golongan-golongan manakah dalam masyarakat yang beruntung atau
sebaliknya dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu;
3. Kesadaran hukum dari golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.

3. Pada taraf individual

1. Identifikasi unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan warga


masyarakat;
2. Kekuatan, kemampuan dan kesungguhan hati para penegak hukum dalam
melaksanakan fungsinya;
3. Kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum.

Analisa saya berdasarkan kasus diatas yang artinya sekarang menjadi di tren baru
dalam tindak pidana atau kriminalitas. Yaitu memanfaatkan subjek hukum berupa anak
dibawah umur untuk melakukan tindak pidana kriminalitas dan mereka berpikir bahwa
terdapat undang-undang perlindungan anak dan anak tersebut akan tidak dapat
dipidana dan akan dibebaskan itu merupakan suatu mindset masyarakat yang sangat
tidak benar. Pada dasarnya setiap tindakan kriminal atau pidana didasari oleh jenis
tindakan dan seberapa dalam atau seberapa berpengaruh terhadap lingkungan sosial.
Seharusnya dengan mempelajari hukum dan masyarakat kita lebih memahami konteks
hukum di dalam perlindungan anak di bawah umur dikategorikan di dalam apa dan jenis
yang bagaimana dan tidak dimanfaatkan untuk sebagai kesempatan berlaku seenaknya
dan melawan hukum. Hukum dan masyarakat merupakan spesialisasi sosiologi yang
mempelajari dan mengkaji keterkaitan antara aspek sosial dan aspek hukum
keterkaitan itu merupakan hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi produk
hukum pendekatan sosiologi hukum konteks sosial pendekatan ini lebih melihat hukum
sebagai pembangunan sosial yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya dan
hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang dan tidak dipahami sebagai
peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan sosial yang harus dipatuhi dan ditaati oleh
setiap lapisan masyarakat.

Sosiologi hukum sebagai ilmu terapan menjadi sosiologi sebagai subjek seperti fungsi
sosiologi dalam penerapan hukum pembangunan hukum pembaharuan hukum dan
perubahan masyarakat berupa hukum dan dampak efektivitas hukum serta kultur
hukum. Selanjutnya tingkat kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat berdasarkan
beberapa motif yang pertama kesadaran hukum disebabkan karena takut terhadap
konsekuensi hukum yang kedua kesadaran hukum karena takut akan hubungan sosial
dan orang lain serta menjadi kesadaran hukum karena betul-betul memahami tujuan
fungsi dan manfaat dari hukum tersebut sebagai upaya menuju pemahaman hukum
secara holistik dan visioner kiranya diperlukan adanya pergeseran paradigma di
masyarakat ketika kedua pendekatan tersebut dapat digunakan sebagai sinergi dan
komplementer atau pelengkap artinya pendekatan terhadap hukum tidak hanya
mengambil salah satu tetapi harus mengambil keduanya secara utuh sehingga dapat
dilakukan analisa secara holistik dan komprehensif.

1. Hukum memiliki beberapa unsur, yaitu peraturan mengenai tingkah laku manusia
dalam pergaulan masyarakat, peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang
berwajib, peraturan itu bersifat memaksa dan sanksi terhadap pelanggaran tersebut
adalah tegas.

2. Fungsi hukum adalah (1) Sebagai pedoman / pengarahan pada masyarakat dalam
bertingkah laku, yaitu Hukum sebagai kaedah menentukan mana perilaku yang
diperbolehkan dan mana perilaku yang dilarang, sehingga keserasian dan keutuhan
masyarakat terpelihara. (2) Sebagai sarana pengendalian sosial (social control), adalah
suatu proses dan sistem yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga
masyarakat agar berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku. (3) Sebagai sarana
penyelesaian perkara atau sengketa (dispute settlement), maksudnya jika terjadi
perkara atau sengketa antar warga masyarakat, maka diupayakan penyelesaiannya
menurut ketentuan hukum. Masyakat manapun biasanya selalu menyediakan suatu
mekanisme untuk penyelesaian perkara tersebut. (4) Sebagai sarana rekayasa sosial
(social engineering), maksudnya hukum tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-
pola kebiasaan dan terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan
pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang tidak
sesuai lagi, menciptakan pola-pola perilaku baru dan sebagainya. Sedangkan tujuan
hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum hanya dapat mencapai
tujuannya jika ia menuju peraturan yang adil, artinya terdapat keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi.

3. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber
hukum materil ialah kesadaran hukum masyarakat, kesadaran hukum yang hidup
dalam masyarakat yang dianggap seharusnya. Jadi sumber hukum materil atau sumber
isi hukum menentukan isi apakah yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat disebut
hukum serta mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum. Sedangkan sumber
hukum formil adalah tempat dimana kita dapat menemukan dan mengenal hukum.
Dengan kata lain menyangkut dengan masalah prosedur atau cara pembentukan
undang-undang. yang terdiri atas undang-undang, kebiasaan, jurisprudensi, traktat dan
doktrin.

4. Hukum dapat dibedakan atas beberapa azas pembagian, yaitu menurut Menurut
sumbernya (Hukum undang-undang, Hukum kebiasaan, Hukum traktat, Hukum
jurisprudensi). Menurut bentuknya (hukum tertulis, Hukum tak tertulis). Menurut tempat
berlakunya (Hukum nasional, Hukum internasional, Hukum asing dan Hukum gereja).
Menurut waktu berlakunya (Ius Constitutum, Ius Constituendum dan Hukum Asasi )
Menurut cara mempertahankannya (Hukum materiil dan Hukum formil /hukum acara).
Menurut sifatnya atau sanksinya (Hukum yang memaksa dan Hukum yang mengatur).
Menurut isinya (Hukum publik dan Hukum privat / hukum sipil).

Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan
empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya. Pentingnya mempelajari Sosiologi Hukum adalah karena
hukum secara sosiologis adalah penting dan merupakan suatu lembaga
kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah
dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hidup berdampingan dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling mempengaruhi. 

       Dengan mempelajari sosiologi hukum, sedikitnya ada lima kegunaan atau manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif
(tertulis dan tidak tertulis) didalam negara atau masyarakat, mengetahui efektivitas
berlakunya hukum positif dalam masyarakat, memberikan kemampuan pemahaman
hukum dalam konteks sosial; memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas
hukum dalam masyarakat dan memberikan kemampuan mengadakan evaluasi
(penilaian) terhadap hukum dalam masyarakat

       Terkait dengan soal “Meski di Bawah Umur, Pelaku "Klitih" Tetap Dikenakan
Pidana” klitih sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti suatu aktivitas mencari angin di
luar rumah atau keluyuran. Seiring berjalannya waktu, makna klitih mengalami
pergeseran menjadi negatif, yaitu aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan
menggunakan senjata tajam yang dilakukan perseorangan atau berkelompok. Para
pelaku pun kebanyakan adalah pelajar atau remaja.
       Jika pelaku adalah anak, maka berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”). Pasal 1 angka 3 UU 11/2012
menerangkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.

       Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan
negeri wajib diupayakan diversi yang hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:

 Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun


 Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

       Yang dimaksud diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Selanjutnya, patut diperhatikan
bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan,
dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.

Karena dalam hukum dan masyarakat memberikan manfaat :

1. Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial;


2. Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam
Masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana pengubah
Masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau Yang
diharapkan.
3. Memberikan kemampuan mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap Hukum
dalam masyarakat

Analisis

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan


kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum serta bagi pelanggarnya diancam
dengan hukum yang berupa suatu penderitaan atau siksaan.

Dari definisi tersebut diatas dapat kita menggolongkan kasus tersebut sebagai kasus
pidana karena perbuatan Klitih itu telah mengganggu kepentingan umum.

       Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian.

Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah kejahatan yang
dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan:

“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,


dipidana kurungan paling lama 1 tahun” Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas
adalah:

 Adanya unsur kelalaian (culpa)


 Adanya wujud perbuatan tertentu
 Adanya akibat kematian orang lain
 Adanya hubungan kausa antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang
lain.

Perbedaan antara Pasal 359 KUHP dengan Pasal 338 KUHP yakni pada pembunuhan
pasal 359 KUHP ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa),
sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kengajaan (dolus).

Analisis Pelaku Klitih yang Disertai dengan Kejahatan di Kapolda Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Brigjend Pol Ahmad Dofir

a. Aspek Biologis

Anak remaja berusia 17 tahun.

b. Aspek Psikologis

Yang kasus ini, mereka dari beberapa sekolah, dipertemukan dan dikenalkan karena
teman, ada teman kakaknya

Pelakunya pun beragam usia. Namun meski di bawah umur, pihaknya akan menindak
tegas pelaku kekerasan atau "klitih" yang berunsur pidana.

-    Pelaku mempunyai sistem integral (dapat mengulangi perbuatan yang sama) karena
akibat penggunaan minuman keras.

-    Pelaku melakukan kejahatan terdorong dari lingkungan yang mempunyai kelompok


tertentu (geng) dan mempunyai musuh.

-    Pelaku yang memiliki pola pikir masih muda dari  beragam  usia yang  masih
menempuh dunia pendidikan dan ada juga yang tidak menempuh dunia pendidikan
SMA (Sekolah Menengah Atas). 

c. Metode Kejahatannya

-    Pelaku melakukan kejahatan di waktu malam hari dan di tempat yang sepi.

-    Pelaku menggunakan senjata tajam (pedang, celurit, belati, stik besi) untuk melukai
korban hingga mendapatkan luka dan juga hanya ingin menakut-nakuti saja.

-    Pelaku menggunakan sepeda motor manual (sepeda laki-laki) ataupun matic.


Pelaku ini umumnya melakukan aksinya bersama teman-teman kelompok geng (lebih
dari 2 orang).

-    Pelaku ingin meluki korban dan langsung lari dari tanggung jawab atas perbuatan
yang mereka lakukan. Pelaku memilih korban secara random (acak) dari kalangan anak
sebayanya, laki-laki yang lebih tua, wanita, ibu-ibu.

d. Modus Operandi

-    Pelaku cenderung ingin harta atau kekayaan dari korban (HP, Uang, Sepeda Motor).

-    Pelaku hanya ingin melukai dan menakut-nakuti saja.

Berdasarkan penyampaian Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Brigjend Pol


Ahmad Dofiri mengingatkan kepada masyarakat, orang tua, maupun para remaja,
anggapan ketika pelaku tindak pidana masih berusia di bawah umur akan dibebaskan
oleh polisi, itu keliru. Ia menegaskan, meski di bawah umur, namun kalau ancamannya
lebih dari 7 tahun mereka tetap dikenakan ketentuan pidana. "Mereka berpikir apabila
usianya belum 17 tahun akan dibebaskan, itu keliru. Kalau ancamannya lebih dari 7
tahun mereka tetap dikenakan ketentuan pidana, akan kita proses," tandasnya.
Beberapa kasus yang terjadi, sambung Dofiri, senior-seniornya menyuruh mereka yang
di bawah 17 tahun melakukan tindak pidana. Mereka berpikir, ketika di bawah 17 tahun
dan ketangkap polisi tidak akan diproses dan didamaikan. "Ingat ini kan kasus
pembunuhan penganiayaan berat, sehingga itu tetap kita proses lanjut. Jadi
ketentuannya boleh ditangkap, ditahan dan ke pengadilan, agar menjadi efek jera,"
bebernya. Sama halnya dengan kejadian di daerah Selopamioro, Imogiri, Bantul pada
12 Desember 2016 lalu. Polisi menangkap 9 tersangka yang semuanya masih berstatus
pelajar. Mereka tetap diproses hukum dan divonis.

Sementara itu, untuk pelaku "klitih" yang terjadi di Jalan Kenari, Kota Yogyakarta,
Kapolda DIY, menyampaikan akan dikenakan pasal 338 dan 354 KUHP, mengenai
pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal dunia.

2. Tindak pidana penganiayaan, di antaranya, diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Analisa kesenjangan dari kasus diatas yaitu terdapat perubahan yang mencolok di
dalam pola pikir masyarakat terhadap memaknai arti pentingnya perlindungan hukum
bagi anak-anak. Sehingga anak-anak dipakai sebagai alat untuk melakukan tindak
pidana atau melawan hukum berasaskan mereka terdapat undang-undang
perlindungan anak. Karena pada dasarnya meskipun anak-anak itu dikategorikan masih
dilindungi hukum tetapi jika iya melakukan tindak pidana hukum dan tuntutan dari 7
tahun harus diberikan tindakan hukum agar membuat efek jera dan kesenjangan ini
memuat beberapa pemahaman yaitu penganut sosiologi hukum yang berbasis moral
menempatkan hukum tidak sekedar alat untuk menempatkan keadaan keadilan tetapi
juga sebagai alat pendidikan, sekalian dengan fungsi edukatif Nya maka proses hukum
selalu melibatkan masyarakat secara transparan termasuk dalam penerapan hukum
maupun pemberian sanksi hukum, melalui proses sosial ini diharapkan tumbuh
kesadaran hukum bahwa setiap kejahatan akan berakibat fatal bagi pelakunya,dan
dengan kesadaran yang diperoleh melalui penjelasan dan pengalaman atau
penglihatan langsung maka masyarakat tidak akan mencoba coba berbuat kejahatan
dan berpikir untuk menggunakan anak-anak sebagai alat untuk melawan hukum.

Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa hukum sebagaimana diterima dan dijalankan


oleh banyak negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori
hukum yang modern. Sementara negara yang sedang berkembang kebanyakan
hukumnya terdiri atas hukum tradisional dan hukum modern. Negara-negara ini
umumnya mewarisi suatu tata hukum yang pluralistis sifatnya, ketika hukum tradisional
berlaku berdampingan dengan hukum modern. Hukum modern memiliki ciri-ciri utama
berbentuk tertulis, berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan sebagai instrumen yang
secara sadar dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.
karakteristik hukum modern tersebut memang secara eksplisit melekat pada sistem
hukum yang berasal dari Eropa daratan yang diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh
karena itu, pertimbangan untuk memilih hukum yang bentuknya tertulis dianggap lebih
berorientasi ke masa depan.

Hal tersebut diatas menyebabkan kehidupan hukum dalam masyarakat selalu


mengandung persoalan seperti :

1. Kesadaran hukum masyarakat mengenai peristiwa-peristiwa tertentu tidak


sejalan dengan kesadaran hukum para pejabat hukum.

2. Kesadaran hukum atau pola perilaku masyarakat mengenai peristiwa-peristiwa


tertentu belum sejalan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis, pada
khususnya yang menyangkut kepastian hukum dan ketertiban umum.

3. Kesadaran hukum para pejabat belum sejalan dengan ketentuan-ketentuan hukum

       yang tertulis.

definisi anak yang berhubungan dengan tindak pidana sebagai berikut:


-  Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

-   Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak
pidana.

-   Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.

Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke sidang anak
didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kesadaran hukum perlu ditanamkan sejak dini yang berawal dari lingkungan keluarga,
yaitu setiap anggota keluarga dapat melatih dirinya memahami hak-hak dan tanggung
jawabnya terhadap keluarga, menghormati hak-hak anggota keluarga lain, dan
menjalankan kewajibannya sebelum menuntut haknya. Apabila hal ini dapat dilakukan,
maka ia pun akan terbiasa menerapkan kesadaran yang telah dimilikinya dalam
lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat dan bahkan negara.

Faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum yang pertama adalah pengetahuan


tentang kesadaran hukum. Peraturan dalam hukum harus disebarkan secara luas dan
telah sah. Maka dengan sendirinya peraturan itu akan tersebar dan cepat diketahui oleh
masyarakat. Masyarakat yang melanggar belum tentu mereka melanggar hukum. Hal
tersebut karena  bisa jadi karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat
tentang kesadaran hukum dan peraturan yang berlaku dalam hukum itu sendiri.

Faktor yang mempengaruhi kesadaran hukum selanjutnya adalah tentang ketaatan


masyarakat terhadap hukum. Dengan demikian seluruh kepentingan masyarakat akan
bergantung pada ketentuan dalam hukum itu sendiri. Namun juga ada anggapan bahwa
kepatuhan hukum justru disebabkan dengan adanya takut terhadap hukuman ataupun
sanksi yang akan didapatkan ketika melanggar hukum.

Menurut Soerjono Soekanto, indikator-indikator dari kesadaran hukum sebenarnya


merupakan petunjuk yang relatif kongkrit tentang taraf kesadaran hukum. Dijelaskan
lagi secara singkat bahwa indikator pertama adalah pengetahuan hukum. Seseorang
mengetahui bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan
hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.
Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum maupun perilaku yang
diperbolehkan oleh hukum.Indikator kedua adalah pemahaman hukum. Seseorang
warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan
tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan pemahaman yang benar dari masyarakat
tentang hakikat dan arti pentingnya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Indikator yang ketiga adalah sikap hukum. Seseorang mempunyai
kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum. Indikator yang
keempat adalah perilaku hukum, yaitu dimana seseorang atau dalam suatu masyarakat
warganya mematuhi peraturan yang berlaku.

Hukum adalah suatu tata aturan kehidupan yang diciptakan untuk mencapai nilai-nilai
yang diinginkan masyarakat. Salah satu nilai yang menjadi tujuan hukum adalah
ketertiban. Ketertiban artinya ada kepatuhan dan ketaatan perilaku dalam menjalankan
apa yang dilarang dan diperintahkan hukum. Konkretnya, dapat kita ambil contoh
sederhana dalam tata aturan berlalu lintas. Hukum atau perangkat aturan yang dibuat
dalam bidang lalu lintas mempunyai tujuan agar terjadi tertib dalam kegiatan berlalu-
lintas. Hal ini juga dalam upaya melindungi kepentingan dan hak-hak orang lain.

Untuk menumbuhkan kebiasaan sadar hukum inilah yang menjadi tantangan dan
tanggung jawab semua pihak. Budaya sadar dan taat hukum sejatinya haruslah
ditanamkan sejak dini. Maka elemen pendidikanlah menjadi ujung tombak dalam
menanamkan sikap dan kebiasaan untuk mematuhi aturan-aturan yang ada. Institusi
pendidikan merupakan media sosialisasi primer yang sangat mempengaruhi
pembentukan karakter manusia dikemudian hari. Jika sikap dan perilaku taat hukum
telah ditanamkan sejak din, maka kedepan, sikap untuk menghargai dan mematuhi
aturan akan mendarah daging dan membudaya di masyarakat. Tentunya hal ini
dilakukan dengan memberikan pengetahuan yang benar tentang apa saja yang tidak
boleh dilakukan dan boleh dilakukan.

Tingginya kesadaran hukum di suatu wilayah akan memunculkan masyarakat yang


beradab. Membangun kesadaran hukum sejak dini, tidak harus menunggu setelah
terjadi pelanggaran dan penindakan oleh penegak hukum. Upaya pencegahan dinilai
sangat penting dan bisa dimulai dari dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat.
Kesadaran inilah yang mesti kita bangun dimulai dari keluarga.

Dengan adanya kesadaran hukum ini kita akan menyaksikan tidak adanya pelanggaran
sehingga kehidupan yang ideal akan ditemui. Lembaga pendidikan formal, informal dan
non formal perlu diajak bersama-sama mengembangkankesadaran dan kecerdasan
hukum sejak dini.Pendidikan hukum tidak terbatas hanya pendidikan formal di bangku
sekolah saja. Namun juga dapat dilakukan di luar bangku sekolah. Pembelajaran
mengenai hukum sejak dini harus diajarkan kepada anak-anak. Agar nantinya tertanam
dalam diri mereka rasa kebutuhan akan peraturan hukum. Sehingga kesadaran hukum
akan terbentuk sejak dini.

Dalam fenomena klithih oleh remaja kerap disertai dengan kekerasan bahkan hingga
terjadi pembunuhan. Sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan telah diatur pada pasal
170 KUHP. Pasal tersebut memiliki unsur-unsur yaitu:

1. Barang siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan


kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
2. Yang bersalah diancam :

 Dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang mengakibatkan luka-luka
 Dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat
 Dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.

1. Pasal 89 KUHP tidak berlaku bagi pasal ini

     Sanksi pidana tentang penganiayaan juga diatur dalam pasal 358 KUHP yang
berbunyi: Mereka yang dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau
perkelahian di mana terlibat beberapa rang, selain tanggungjawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, bila akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat; (KUHP 90.)
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, bila akibatnya ada yang mati.

     Bagi pelaku aksi klithih yang masih dibawah umur, butuh ketelitian hakim untuk
mengeluarkan keputusan bila si anak dibawah umur atau remaja memang di putus
bersalah. Butuh kebijaksanaan hakim untuk memutuskan sanksi pidana bagi remaja
atau anak dibawah umur. Misal keputusan hakim berupa dikembalikan si anak kepada
orang tuanya atau wali, maka harus melihat keadaan dari orang tua atau si wali. Bila
diputus terbukti bersalah dan meyakinkan bersalah, maka diserahkan kepada negara
untuk dididik melalui lembaga-lembaga sosial tanpa pidana apapun. Tentunya bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan remaja delinkuen berupa aksi klithih dan
juga melindungi kepentingan si anak agar tidak terjerumus untuk melakukan.

       Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anak
dibawah umur terkait aksi klithih, KUHP mengaturnya dalam pasal 45 Kitab Undang -
undang Hukum Pidana:

“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya
tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 504, 505, 514,
517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 54, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
bersalah karena melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut diatas, dan
putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”

       Pasal ini dipandang dapat memadai sebagai pasal yang memuat beberapa
ketentuan yuridis mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak usia 16 tahun.
Ketentuan- ketentuan didalamnya menyangkut penuntutan serta kemungkinan yang
dapat dipilih oleh hakim dalam membuat putusan seperti :

1. Merupakan kejahatan sebagaimana yang tertuang dalam buku kedua KUHP


2. Merupakan pelanggaran terhadap salah satu pasal yang tertuang pada pasal 45
KUHP
3. Belum kadaluwarsa. Yakni belum melewati dua tahun sejak dinyatakan bersalah
karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran seperti yang tertuang
pada pasal 45 KUHP.

       Selebihnya, menurut pasal 58 ayat (1) Undang undang nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya ataupun
pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan si anak.

Ditinjau dari kesadaran hukum masyarakat

       Akulturasi budaya akan mempengaruhistruktur sosial dan akan mempengaruhi


kondisi sosial dimasyarakat. Dapat dikatakan bahwa, akibat dari perkembangan
akulturasi budaya inilah, kota yogyakarta mendapatkan perubahan dalam kondisi
sosialnya baik perubahan yang positif maupun negatif. Dari segi sosial, norma-norma
dan nilai-nilai dimasyarakat pun mengalami perubahan seiring perkembangan akulturasi
budaya. Dari segi hukum, sistem hukum mulai tumbuh mengikuti perkembangan
masyarakat didalamnya. Namun, perubahan tidak selalu memiliki dampak yang positif.
Dengan perkembangan akulturasi budaya tersebut bahkan menghadirkan ketegangan
sosial sehingga kejahatan dapat terjadi.

       Adanya akulturasi budaya tersebut tidak hanya menciptakan ketegangan sosial
yang memicu lahirnya tindak kejahatan. Adanya akulturasi budaya membawa
perubahan terhadap sendi - sendi bermasyarakat. Salah satunya dalam segi hukum.
Hukum di masyarakat tumbuh bersama nilai - nilai yang ada dimasyarakat. Dengan
kata lain, nilai - nilai dan sikap - sikap masyarakat inilah yang mempengaruhi hukum itu
sendiri sehingga terciptalah suatu budaya hukum. sikap - sikap inilah yang menentukan
pendapat masyarakat tentang hukum. Baik penolakan maupun penerimaan terhadap
hukum. Dan hal tersebut ditentukan oleh budaya hukum.

       Budaya hukum diibaratkan sebagai orang yangmenjalankan sebuah mesin yang
mempunyai kewajiban untuk menghidupkan atau mematikan mesin tersebut. Dapat
diartikan bahwa orang-orang tersebut adalah masyarakat yang menentukan bagaimana
hukum sebagai suatu produk dapat berjalan dengan sewajarnya atau tidak.

       Masyarakat yogyakarta khususnya kota yogyakarta mempunyai keinginan untuk


turut serta berpartisipasi dalam menjalankan hukum itu sendiri. Meski sebatas diskusi
melalui forum, gerakan - gerakan, organisasi, namun hal tersebut menunjukkan budaya
hukum yang sehat di masyarakat. Dalam kaitannya dengan aksi klithih, masyarakat
kota yogyakarta tidak hanya diam melihat aksi klithih menggangu ketentraman
lingkungannya.

       Terkait dengan peranan masyarakat akan upaya untuk meminimalisir aksi klithih,
dapat dilihat dari data yang disajikan oleh bps d.i yogyakarta pada tahun 2014. Dalam
data yang disajikan tersebut, terdapat indikator yang menunjukkan bagaimana upaya
masyarakat untuk turut membantu menjaga keamanan lingkungannya. Masing-masing
indikator tersebut yakni :

1)    Membangun pos kamling

2)    Membentuk regu keamanan lingkungan

3)    Menambah jumlah anggota hansip/linmas

4)    Pelaporan tamu yang menginap lebih dari 24 jam ke aparat lingkungan,dll

       Dalam sosiologi, masyarakat pedesaan disebut sebagai masyarakat


“gemeinschaft” atau masyarakat paguyuban. Yang identik dengan niali-nilai dan
ideologi yang selaras didalam masyarakat. Dan itu akan mewujudkan masyarakat yang
berbudaya hukum berdasarkan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat dan aturan-aturan
yang di tentukan oleh penguasa. Namun, data tersebut tentu tidak mutlak untuk
dijadikan patokan pada saat ini. Karena masyarakat selalu berkembang dan dalam
setiap perkembangan masyarakat selalu terjadi akulturasi nilai-nilai.

       Posisi masyarakat dalam budaya hukum mempunyai peranan penting. Karena
budaya hukum yang merupakan sikap, perilaku, dan keinginan masyarakat terhadap
hukum merupakan gambaran bagaimana berlakunya hukum di masyarakat.
Keberadaan budaya hukum dipengaruhi oleh substansi dan struktur hukum. Oleh
karena itu, untuk membentuk sebuah iklim hukum yang sehat, dibutuhkan beberapa
faktor yang saling terkait. Soerjono soekanto menjabarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum :

1)  Hukum dan aturannya. Yakni perlu adanya peraturan perundang- undangan yang
dapat dijalankan.

2)  Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang penegakan hukum

3)  Kesadaran akan hukum dan kepastian hukum dan perilaku masyarakat itu sendiri.
Faktor ini adalah wujud dari budaya hukum di masyarakat (budaya hukum eksternal)

4)  Mental aparat penegak hukum (budaya hukum internal)

       Berdasarkan faktor-faktor diatas, penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-
aturan hukum, fasilitas, juga sangat bergantung pada mentalitas aparat penegak hukum
dan kesadaran masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Sebaik
apapun sebuah produk hukum apabila tidak didukung oleh budaya hukum yang baik,
maka produk hukum hanya sebatas tulisan-tulisan saja. Dan bila produk hukum dibuat
sangat baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat namun penegak hukum
tidak menegakkan hukum dengan baik maka tidak akan tercipta iklim hukum yang
sehat.

Dalam fenomena klithih oleh remaja kerap disertai dengan kekerasan bahkan hingga
terjadi pembunuhan. Sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan telah diatur pada pasal
170 KUHP. Pasal tersebut memiliki unsur-unsur yaitu:

1. Barang siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan


kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan.
2. Yang bersalah diancam :

 Dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, jika dengan sengaja
menghancurkan barang atau jika kekerasan yang mengakibatkan luka-luka
 Dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat
 Dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.

1. Pasal 89 KUHP tidak berlaku bagi pasal ini

     Sanksi pidana tentang penganiayaan juga diatur dalam pasal 358 KUHP yang
berbunyi: Mereka yang dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau
perkelahian di mana terlibat beberapa rang, selain tanggungjawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:

1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, bila akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat; (KUHP 90.)
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun, bila akibatnya ada yang mati.

       Bagi pelaku aksi klithih yang masih dibawah umur, butuh ketelitian hakim untuk
mengeluarkan keputusan bila si anak dibawah umur atau remaja memang di putus
bersalah. Butuh kebijaksanaan hakim untuk memutuskan sanksi pidana bagi remaja
atau anak dibawah umur. Misal keputusan hakim berupa dikembalikan si anak kepada
orang tuanya atau wali, maka harus melihat keadaan dari orang tua atau si wali. Bila
diputus terbukti bersalah dan meyakinkan bersalah, maka diserahkan kepada negara
untuk dididik melalui lembaga-lembaga sosial tanpa pidana apapun. Tentunya bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari perbuatan remaja delinkuen berupa aksi klithih dan
juga melindungi kepentingan si anak agar tidak terjerumus untuk melakukan.

       Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anak
dibawah umur terkait aksi klithih, KUHP mengaturnya dalam pasal 45 Kitab Undang -
undang Hukum Pidana:

“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan
suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya
tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada
pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu
pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 504, 505, 514,
517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 54, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan
bersalah karena melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut diatas, dan
putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana pada yang bersalah”

       Pasal ini dipandang dapat memadai sebagai pasal yang memuat beberapa
ketentuan yuridis mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak usia 16 tahun.
Ketentuan- ketentuan didalamnya menyangkut penuntutan serta kemungkinan yang
dapat dipilih oleh hakim dalam membuat putusan seperti :

1. Merupakan kejahatan sebagaimana yang tertuang dalam buku kedua KUHP


2. Merupakan pelanggaran terhadap salah satu pasal yang tertuang pada pasal 45
KUHP
3. Belum kadaluwarsa. Yakni belum melewati dua tahun sejak dinyatakan bersalah
karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran seperti yang tertuang
pada pasal 45 KUHP.

       Selebihnya, menurut pasal 58 ayat (1) Undang undang nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
segala bentuk kekerasan fisik maupun mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan
pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya ataupun
pihak lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan si anak.

Ditinjau dari kesadaran hukum masyarakat

       Akulturasi budaya akan mempengaruhistruktur sosial dan akan mempengaruhi


kondisi sosial dimasyarakat. Dapat dikatakan bahwa, akibat dari perkembangan
akulturasi budaya inilah, kota yogyakarta mendapatkan perubahan dalam kondisi
sosialnya baik perubahan yang positif maupun negatif. Dari segi sosial, norma-norma
dan nilai-nilai dimasyarakat pun mengalami perubahan seiring perkembangan akulturasi
budaya. Dari segi hukum, sistem hukum mulai tumbuh mengikuti perkembangan
masyarakat didalamnya. Namun, perubahan tidak selalu memiliki dampak yang positif.
Dengan perkembangan akulturasi budaya tersebut bahkan menghadirkan ketegangan
sosial sehingga kejahatan dapat terjadi.

       Adanya akulturasi budaya tersebut tidak hanya menciptakan ketegangan sosial
yang memicu lahirnya tindak kejahatan. Adanya akulturasi budaya membawa
perubahan terhadap sendi - sendi bermasyarakat. Salah satunya dalam segi hukum.
Hukum di masyarakat tumbuh bersama nilai - nilai yang ada dimasyarakat. Dengan
kata lain, nilai - nilai dan sikap - sikap masyarakat inilah yang mempengaruhi hukum itu
sendiri sehingga terciptalah suatu budaya hukum. sikap - sikap inilah yang menentukan
pendapat masyarakat tentang hukum. Baik penolakan maupun penerimaan terhadap
hukum. Dan hal tersebut ditentukan oleh budaya hukum.

       Budaya hukum diibaratkan sebagai orang yangmenjalankan sebuah mesin yang
mempunyai kewajiban untuk menghidupkan atau mematikan mesin tersebut. Dapat
diartikan bahwa orang-orang tersebut adalah masyarakat yang menentukan bagaimana
hukum sebagai suatu produk dapat berjalan dengan sewajarnya atau tidak.

       Masyarakat yogyakarta khususnya kota yogyakarta mempunyai keinginan untuk


turut serta berpartisipasi dalam menjalankan hukum itu sendiri. Meski sebatas diskusi
melalui forum, gerakan - gerakan, organisasi, namun hal tersebut menunjukkan budaya
hukum yang sehat di masyarakat. Dalam kaitannya dengan aksi klithih, masyarakat
kota yogyakarta tidak hanya diam melihat aksi klithih menggangu ketentraman
lingkungannya.

       Terkait dengan peranan masyarakat akan upaya untuk meminimalisir aksi klithih,
dapat dilihat dari data yang disajikan oleh bps d.i yogyakarta pada tahun 2014. Dalam
data yang disajikan tersebut, terdapat indikator yang menunjukkan bagaimana upaya
masyarakat untuk turut membantu menjaga keamanan lingkungannya. Masing-masing
indikator tersebut yakni :

1)  Membangun pos kamling

2)  Membentuk regu keamanan lingkungan

3)  Menambah jumlah anggota hansip/linmas

4)  Pelaporan tamu yang menginap lebih dari 24 jam ke aparat lingkungan,dll

       Dalam sosiologi, masyarakat pedesaan disebut sebagai masyarakat


“gemeinschaft” atau masyarakat paguyuban. Yang identik dengan niali-nilai dan
ideologi yang selaras didalam masyarakat. Dan itu akan mewujudkan masyarakat yang
berbudaya hukum berdasarkan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat dan aturan-aturan
yang di tentukan oleh penguasa. Namun, data tersebut tentu tidak mutlak untuk
dijadikan patokan pada saat ini. Karena masyarakat selalu berkembang dan dalam
setiap perkembangan masyarakat selalu terjadi akulturasi nilai-nilai.

       Posisi masyarakat dalam budaya hukum mempunyai peranan penting. Karena
budaya hukum yang merupakan sikap, perilaku, dan keinginan masyarakat terhadap
hukum merupakan gambaran bagaimana berlakunya hukum di masyarakat.
Keberadaan budaya hukum dipengaruhi oleh substansi dan struktur hukum. Oleh
karena itu, untuk membentuk sebuah iklim hukum yang sehat, dibutuhkan beberapa
faktor yang saling terkait. Soerjono soekanto menjabarkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum :

1)  Hukum dan aturannya. Yakni perlu adanya peraturan perundang- undangan yang
dapat dijalankan.

2)  Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang penegakan hukum

3)  Kesadaran akan hukum dan kepastian hukum dan perilaku masyarakat itu sendiri.
Faktor ini adalah wujud dari budaya hukum di masyarakat (budaya hukum eksternal)

4)  Mental aparat penegak hukum (budaya hukum internal)

       Berdasarkan faktor-faktor diatas, penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-
aturan hukum, fasilitas, juga sangat bergantung pada mentalitas aparat penegak hukum
dan kesadaran masyarakat dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Sebaik
apapun sebuah produk hukum apabila tidak didukung oleh budaya hukum yang baik,
maka produk hukum hanya sebatas tulisan-tulisan saja. Dan bila produk hukum dibuat
sangat baik sesuai dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat namun penegak hukum
tidak menegakkan hukum dengan baik maka tidak akan tercipta iklim hukum yang
sehat.

Dari keterangan diatas kita data mengetahui Bahwa, kesadaran masyarakat masih
kurang terhadap pehaman hukum tertulis itu masyarakat masih salah penafsiran dalam
hukum tertulis yang pada dasarnya jika mereka mempelajari sosiologi hukum hal- hal
seperti kasus diatas dapat di tolerir, GAP/Kesenjangan dalam kasus ini adalah masih
minimnya pengetahuaan/Pemahaman Hukum masyarakat terhadap Hukum tertulis.

Dengan mempelajari Sosiologi Hukum, sedikitnya ada tiga kegunaan atau Manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu :

 Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial;


 Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam
Masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana pengubah
Masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau Yang
diharapkan;
 Memberikan kemampuan mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap Hukum
dalam masyarakat.Kegunaan-kegunaan tersebut diatas dapat diuraikan secara
rinci sebagai Berikut.

Dari keterangan diatas kita data mengetahui Bahwa, kesadaran masyarakat masih
kurang terhadap pehaman hukum tertulis itu masyarakat masih salah penafsiran dalam
hukum tertulis yang pada dasarnya jika mereka mempelajari sosiologi hukum hal- hal
seperti kasus diatas dapat di tolerir, GAP/Kesenjangan dalam kasus ini adalah masih
minimnya pengetahuaan/Pemahaman Hukum masyarakat terhadap Hukum tertulis.

Dengan mempelajari Sosiologi Hukum, sedikitnya ada tiga kegunaan atau Manfaat
yang bisa diperoleh, yaitu :

 Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks sosial;


 Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum dalam
Masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana pengubah
Masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial tertentu atau Yang
diharapkan;
 Memberikan kemampuan mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap Hukum
dalam masyarakat.

Tindak pidana masih berusia di bawah umur

Pasal 338 dan 354 KUHP ; “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Apabila luka berat itu dimaksud, dikenakan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat),
sedangkan jika kematian itu dimaksud, maka perbuatan itu masuk pembunuhan (Pasal
338 KUHP).

Pengaturan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) yang menyatakan
bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana
pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan

1.    perlakuan salah lainnya.

Menurut yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja


menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Contoh “rasa
sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng,
dan sebagainya.

Pasal yang Menjerat Pelaku Penganiayaan Anak

Menjawab pertanyaan Anda, pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam
Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,


atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku


kekerasan/peganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4)  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Melihat dari keterangan di atas pelaku "klitih, diasumsikan  usianya sebelum 17 tahun
akan diberikan  ancamannya lebih dari 7 tahun mereka tetap dikenakan ketentuan
pidana,untuk hukum jerah dan direabilitas.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang


telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua
kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Menjadi Undang-Undang.

Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa hukum sebagaimana diterima dan dijalankan


oleh banyak negara di dunia sekarang ini, pada umumnya termasuk ke dalam kategori
hukum yang modern. Sementara negara yang sedang berkembang kebanyakan
hukumnya terdiri atas hukum tradisional dan hukum modern. Negara-negara ini
umumnya mewarisi suatu tata hukum yang pluralistis sifatnya, ketika hukum tradisional
berlaku berdampingan dengan hukum modern. Hukum modern memiliki ciri-ciri utama
berbentuk tertulis, berlaku untuk seluruh wilayah negara, dan sebagai instrumen yang
secara sadar dipakai untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.
karakteristik hukum modern tersebut memang secara eksplisit melekat pada sistem
hukum yang berasal dari Eropa daratan yang diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh
karena itu, pertimbangan untuk memilih hukum yang bentuknya tertulis dianggap lebih
berorientasi ke masa depan.

Dalam hal ini, benarlah apa yang dikemukakan oleh Esmi Warassih bahwa “Penerapan
suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat
merupakan masalah, khususnya di negara negara yang sedang berubah karena terjadi
ketidakcocokan antara nilai nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara
lain dengan nilai nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”

Tingkat kesadaran hukum masyarakat dapat dilihat berdasar beberapa motif sebagai
berikut; 1) Kesadaran hukum disebabkan karena takut terhadap konsekuensi hukum, 2)
Kesadaran hukum karena takut akan hubungan sosial dengan orang lain akan menjadi
renggang, 3) Kesadaran hukum karena betul-betul memahami tujuan, fungsi, dan
manfaat dari hukum tersebut. Untuk memperbaiki budaya hukum hendaknya sering
dilakukan program-program peningkatan kesadaran hukum. Peningkatan kesadaran
hukum tersebut dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan hukum yang teratur atas
dasar perencanaan hukum yang mantap. Penyuluhan hukum bertujuan agar
masyarakat mengetahui dan memahami keberadaan hukum tertentu sehingga dapat
merasakan manfaatnya.

3. Makassar - Beberapa kasus pembegalan di Kota Makassar selama 2018 cukup


menyita perhatian masyarakat. Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan 'Danny'
Pomanto menyebut tahun ini kasus begal terbilang sadis.

"Sebenarnya tidak meningkat, cuma ini lebih sadis. Potong tangan itu luar biasa," kata
Danny saat ditemui detikcom di sebuah tempat makan di Jalan Serigala, Makassar,
Senin (3/12//2018).

Danny mengatakan salah satu penyebab maraknya kasus begal di Makassar adalah
waktu masyarakat mengumpulkan uang bertepatan dengan orang-orang yang juga
membutuhkan uang sehingga kebutuhan pun meningkat saat itu.

"Biasanya para begal ini ada kebutuhan pesta menjelang tahun baru ini, maka
meningkat kebutuhan. Saat bersamaan, uang itu terkumpul. Nah, kebutuhan meningkat
dan kejahatan meningkat," terangnya.

Oleh karena itu, pihaknya akan melawan para begal dengan segala cara. Termasuk
melibatkan pejabat setingkat RT dan RW untuk menjadi intelijen khusus yang bekerja
sama dengan kepolisian. 

Meski kejahatan begal terbilang sadis tahun ini, pengungkapan kejahatan ini terbilang
cepat, bahkan dalam hitungan hari. Dia membandingkan kasus serupa di daerah lain
yang belum terungkap.

Sumber : https://news.detik.com/berita/d-4328311/2018-jadi-tahun-begal-sadis-di-
makassar

     Berdasarkan contoh kasus diatas kejahatan adalah suatu tindakan yang termasuk
dalam tindak pidana berat atau lebih berat dari sekedar pelanggaran, perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja dan dilakukan dengan sadar dengan maksud tertentu untuk
menguntungkan diri sendiri  yang merugikan orang lain atau masyarakat.

     Ada 2 (dua) sudut pandang yang menjelaskan defenisi kejahatan (Alam,2010:16-
17), yaitu:

1. Dari sudut pandang hukum (a crime from the legal point of view).

     Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap tingkah laku yang
melanggar hukum pidana. Bagaimana jeleknya suatu perbuatan sepanjang perbuatan
itu tidak dilarang di dalam perundang-undangan pidana perbuatan itu tetap sebagai
perbuatan yang bukan kejahatan.

1. Dari sudut pandang msayarakat (a crime from the sociological point of view).

     Batasan kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap perbuatan yang melanggar
norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat.Terjadinya suatu kejahatan
sangatlah berhubungan dengan kemiskinan, pendidikan, pengangguran dan faktor-
faktor sosial ekonomi lainnya utamanya pada Negara berkembang, di mana
pelanggaran norma dilatarbelakangi oleh hal-hal  tersebut (Ninik widyanti dan Yulius
Weskit, 1987:62). Pernyataan bahwa faktor-faktor ekonomi banyak mempengaruhi
terjadinya suatu kejahatan didukung oleh penelitian Clinard di Uganda menyebutkan
bahwa kejahatan terhadap harta benda akan terlihat naik dengan sangat pada negara-
negara berkembang, kenaikan ini akan mengikuti pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi.

       Faktor lain yang lebih dominan adalah faktor lingkungan Bonger (Soesilo,1985:28)
dalam in leading tot the criminologie berusaha menjelaskan betapa pentingnya faktor
lingkungan sebagai penyebab kejahatan. Sehingga dengan demikian, bahwa faktor
ekonomi, faktor pendidikan, dan faktor lingkungan merupakan faktor-faktor yang lebih
dominan khususnya.Kondisi kehidupan manusia dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.

       Menurut Matinus Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi
(VIVAco.id, diakses: 20 November 2015) Begal itu hanya istilah sosiologi bukan bahasa
hukum karena begal itu tak dikenal dalam Kitab Undang-undang Kepolisian. Dalam
kategori tindak pencurian, kepolisian hanya mengenal pencurian dengan kekerasan dan
pencurian dengan pemberatan.Misalnya curasmelibatkan penodongan, perampas
menggunakan senjata dan menyakiti korban dikenakan pasal 364 KUHP.

       Tindak kejahatan khususnya pencurian dengan kekerasan atau dengan istilah kata
jaman sekarang yaitu begal sudah menjadi salah satu tindak kriminal yang cukup
menonjol di kota Makassar. Hal tersebut dikarenakan semakin beraninya pelaku
pencurian dengan kekerasan dalam melakukan aksinya tidak peduli korbannya laki-laki
maupun perempuan.

       Secara garis besar pemberian wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang
kepada hakim terhadap dakwaan yang diberikan meliputi :

1)      Putusan hakim (pemidanaan, pembebasan dan pelepasan);

2)      Penindakan; 

3)      Pemberian kebijakan. 

       Selain dakwaan yang diberikan juga meliputi unsur-unsur yang ada pada pasal-
pasal KUHP, hakim juga harus memiliki pemenuhan pada Pasal 183, 184 KUHAP dan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Menurut keputusan
seminar hukum nasional ke-1 tahun 1983, yang dimaksud dengan hukum acara pidana
adalah norma hukum yang berwujud wewenang yang diberikan kepada negera untuk
bertindak apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.

       Atas dasar hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi hukum acara
pidana mempunyai tiga tugas pokok, yaitu :

1. Mencari dan mendapat kebenaran material;


2. Memberikan suatu putusan hakim;
3. Melaksanakan putusan hakim.

       Tekanan dalam tiga tugas pokok tersebut harus diletakkan pada fungsi mencari
kebenaran material sebab kebenaran yang harus menjadi dasar dari pada keputusan
hakim pidana. Menurut KUHP, peristiwa pidana dibedakan menjadi dua jenis yaitu
“misdrijf“ (kejahatan) dan “overtrading” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan syarat-
syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran.KUHP hanya menentukan
semua ketentuan yang dimuat dalam buku II adalah kejahatan sedang semua yang
terdapat dalam buku III adalah pelanggaran.
       Kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pada
pelanggaran, selain itu terdapat beberapa ketentuan yang termuat dalam buku I yang
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Pencurian pada umumnya
merupakan tindakan yang pada KUHP terdapat pada buku II (kejahatan), namun
pencurian juga dapat dikatergorikan pada delik materil apabila pencurian tersebut
disertai pembunuhan, penganiayaan atau hal-hal yang menitik beratkan pada akibat
yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Perspektif Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum timbul karena adanya celah di dalam penerapan Hukum Positif.
Sosiologi hukum sendiri, mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala yang empiris
dan dapat diamati dalam kehidupan masyarakat.

Sosiologi hukum menjadi penting karena dalam proses penegakan hukum, tidak serta
merta hanya melihat siapa dan apa pasal-pasal yang menjerat untuk menjatuhkan
pelaku ke dalam sanksi.

Namun lebih jauh, sosiologi hukum membawa sudut pandang baru untuk menilai
sebuah permasalahan dengan melihat latar belakang kehidupan dan kebudayaan,
sosial, dan ekonomi dalam masyarakat.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup sosiologi hukum dalam artikel ini, meliputi aspek-aspek yang tidak
mampu dilihat dan dijangkau oleh sistem hukum positif.

Dimana aspek-aspek ini seringkali diabaikan oleh para penegak dan pelaku hukum
dalam penyelesaian masalah.

Hukum di Indonesia saat ini, seolah memiliki sisi tajam bagi para kaum marjinal dan
masyarakat yang buta akan hukum, namun sangat tumpul jika dihadapkan dengan
pelaku dan pemilik kekuasaan.

Seperti yang ditulis dalam artikel ini, kutipan dari Filsuf Yunani pada abad ke-7 dalam
ungkapan dari hukum Anarcharsis:

“Hukum itu adalah jaring laba-laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-orang
miskin, tetapi tidak mampu untuk menjaring orang-orang kaya. Bahkan oleh orang-
orang kaya, jaring laba-laba itu akan dirobek-robek olehnya”.

Realitanya, ungkapan itu memang benar untuk melihat berbagai polemik hukum saat
ini. Seolah hal itu memang menjadi tabiat bagaimana sifat hukum itu sejak dahulu.

Nenek Asyanti merupakan salah satu contoh, dari tidak beresnya penerapan hukum di
negara ini. Dengan melihat latar belakang dan bagaimana kondisi fisik, sosial dan
ekonominya, seharusnya hal itu mampu menjadi pertimbangan lebih agar
permasalahan itu mampu diselesaikan secara adil.

Kerugian yang tidak seberapa, menjadi dasar dan alasan kasus ini diakhiri dengan
dakwaan yang mengundang prihatin banyak pihak.

Padahal di luar sana, banyak kasus dengan kerugian yang berdampak besar dengan
skala besar pula, bisa lolos dengan mudahnya tanpa sanksi yang menjerat. Seperti
kasus pembakaran hutan di Sumatera selatan.

Celah-celah dan ketimpangan inilah yang menjadi kajian-kajian dan fokus dalam
sosiologi hukum. Sosiologi hukum lahir, untuk mencapai keadilan bagi pelanggar dan
korban dengan melihat berbagai latar belakang kehidupan masing-masing.

Sehingga aspek-aspek seperti kemanusiaan, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi


patokan dan sudut pandang lain dalam menyelesaikan sebuah perkara, untuk
mencapai keadilan.

Analisis

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan


kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum serta bagi pelanggarnya diancam
dengan hukum yang berupa suatu penderitaan atau siksaan.

Dari definisi tersebut diatas dapat kita menggolongkan kasus tersebut sebagai kasus
pidana karena perbuatan yang dilakukan Andi Rismanto alias Ambon itu telah
mengganggu kepentingan umum.

Dilihat dari sisi sumber tindakan pada hukum pidana ada 3 macam:

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) pelaku Andi Rismanto telah


melakukan tindak pidana pemerasan kepada keluarga Nunung dengan cara meminta
secara paksa uang Rp 150.000,- setiap minggu. Karena yang melakukan tindak pidana
adalah warga Negara Indonesia dan terjadi di wilayah Indonesia, maka berlaku hukum
pidana Indonesia , yang berarti KUHP (asas teritorialitas).

Pelaku dijerat oleh pasal mengenai pemerasan yang diatur dalam pasal 368
KUHPidana. Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan diramuskan
dengan rumusan sebagai berikut :

1.  Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah
milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang,
diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
2.  Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini.

Dalam pasal diatas terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

  Unsur obyektif yaitu unsur yang terdapat di luar diri si pelaku tindak pidana, yang
meliputi unsur-unsur:

1. Memaksa .

2.  Orang lain.

3.  Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

4. Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seleruhnya atau


sebagian kepunyaan orang lain).

5. Supaya memberi hutang.

6.  Untuk menghapus piutang.

  Unsur subyektif, yaitu unsur yang terdapat di dalam diri si pelaku tindak pidana yang
meliputi unsur – unsur :

1.  Dengan maksud.

2.  Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Kaitannya dengan kasus diatas pelaku memenuhi semua unsur-unsur di atas, baik
yang subjektif maupun yang obyektif. Pelaku memeras korban setiap minggu dengan
cara memaksa untuk memberikan uang Rp 150.000,-, korban pun terpaksa memenuhi
permintaan pelaku. Barang yang diserahkan adalah uang, yang akhirnya digunakan
oleh pelaku untuk membeli rokok dan minuman keras untuk dirinya sendiri. Artinya,
pelaku telah memeras korban untuk menguntungkan dirinya sendiri.

Contoh kasus hukum lainnya dan analisa menggunakan sudut pandang hukum dan
masyarakat  permasalahan penegakan hukum mulai dari; Kholil dan Basri dalam kasus
pencurian semangka, Nenek Minah yang mencuri cokelat, hingga Nenek Asyani
dengan kasus pencurian 7 batang kayu. Artikel ini lantas mengerucutkan permasalahan
yang dialami oleh nenek Asyani.

Nenek Asyani didakwa sebagai tersangka atas hilangnya 7 batang kayu jati di
Situbondo, Jawa Timur. Beliau terjerat hukum atas kasus pencurian tersebut dan
terjerat pasal 12 huruf c dan d jo pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.18 tahun
2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Kasus ini mampu menjadi perhatian masyarakat luas lantaran dalam proses dan
penegakan hukum, dinilai terlalu berlebihan. Hukum yang seharusnya mampu
melahirkan keadilan, dalam kasus ini justru melahirkan ketidak adilan yang merugikan
pihak kecil.

Seringkali, hukum di negeri ini terlalu tajam untuk kaum bawah, dan tumpul untuk kaum
yang berkuasa. Dalam penanganan kasus Nenek Asyani ini, para pelaku hukum dan
penegak seolah tidak memiliki kepekaan sosial.

Karena dalam kasus ini, penyelesaian sebenarnya bisa dilakukan pada tahap pertama.
Kepolisian selaku pengayom masyarakat, seharusnya mampu menjadi mediator dalam
menemukan penyelesaian dengan jalur kekeluargaan.

Namun, meskipun dalam kenyataannya Nenek Asyanti sudah meminta maaf dan
bahkan hingga menyembah penegak keadilan, hukum yang diterimanya begitu berat.

Nenek Asyanti akhirnya dikenai hukuman 1 tahun penjara, dengan ganti rugi sebesar
Rp500.000.000 untuk 7 batang kayu jati, yang bahakan dia tidak merasa mencuri.

Artikel ini juga menyinggung tentang hukum positif yang ada di negara ini. Dengan
dasar berbagai permasalahan penegakan hukum seperti yang dicontohkan di atas,
hukum positif lebih terlihat sebagai penindas daripada pendidik atau pembimbing.

Akar dari permasalahan ini adalah bentuk hukum yang dipegang negara ini seolah tidak
melihat sisi lain dalam praktiknya. Padahal, dalam penanganan masalah yang berkaitan
dengan hukum, perlu adanya pendekatan dan menilik latar belakang masyarakat.

Kasus hukum tidak melulu menghasilkan hukuman sebagai hasil mutlak dalam
penyelesaiannya. Restorative Justice, menjadi solusi untuk berbagai polemik dalam
penyelesaian hukum.

Dimana dalam peradilan seharusnya menimbulkan perbaikan, bukan mencari


pemenang. Restorasi sendiri meliputi pemulihan hubungan antara pihak pelaku dengan
korban.

Keterbukaan menjadi kunci penting dalam proses berlangsungnya peradilan. Korban


dapat menyampaikan apa saja yang menjadi kerugian, dan pelaku pun diberikan
kesempatan untuk menebusnya dengan cara yang masuk akal.

Perspektif Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum timbul karena adanya celah di dalam penerapan Hukum Positif.
Sosiologi hukum sendiri, mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala yang empiris
dan dapat diamati dalam kehidupan masyarakat.

Sosiologi hukum menjadi penting karena dalam proses penegakan hukum, tidak serta
merta hanya melihat siapa dan apa pasal-pasal yang menjerat untuk menjatuhkan
pelaku ke dalam sanksi.

Namun lebih jauh, sosiologi hukum membawa sudut pandang baru untuk menilai
sebuah permasalahan dengan melihat latar belakang kehidupan dan kebudayaan,
sosial, dan ekonomi dalam masyarakat.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup sosiologi hukum dalam artikel ini, meliputi aspek-aspek yang tidak
mampu dilihat dan dijangkau oleh sistem hukum positif.

Dimana aspek-aspek ini seringkali diabaikan oleh para penegak dan pelaku hukum
dalam penyelesaian masalah.

Hukum di Indonesia saat ini, seolah memiliki sisi tajam bagi para kaum marjinal dan
masyarakat yang buta akan hukum, namun sangat tumpul jika dihadapkan dengan
pelaku dan pemilik kekuasaan.

Seperti yang ditulis dalam artikel ini, kutipan dari Filsuf Yunani pada abad ke-7 dalam
ungkapan dari hukum Anarcharsis:

“Hukum itu adalah jaring laba-laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-orang
miskin, tetapi tidak mampu untuk menjaring orang-orang kaya. Bahkan oleh orang-
orang kaya, jaring laba-laba itu akan dirobek-robek olehnya”.

Realitanya, ungkapan itu memang benar untuk melihat berbagai polemik hukum saat
ini. Seolah hal itu memang menjadi tabiat bagaimana sifat hukum itu sejak dahulu.

Nenek Asyanti merupakan salah satu contoh, dari tidak beresnya penerapan hukum di
negara ini. Dengan melihat latar belakang dan bagaimana kondisi fisik, sosial dan
ekonominya, seharusnya hal itu mampu menjadi pertimbangan lebih agar
permasalahan itu mampu diselesaikan secara adil.

Kerugian yang tidak seberapa, menjadi dasar dan alasan kasus ini diakhiri dengan
dakwaan yang mengundang prihatin banyak pihak.

Padahal di luar sana, banyak kasus dengan kerugian yang berdampak besar dengan
skala besar pula, bisa lolos dengan mudahnya tanpa sanksi yang menjerat. Seperti
kasus pembakaran hutan di Sumatera selatan.

Celah-celah dan ketimpangan inilah yang menjadi kajian-kajian dan fokus dalam
sosiologi hukum. Sosiologi hukum lahir, untuk mencapai keadilan bagi pelanggar dan
korban dengan melihat berbagai latar belakang kehidupan masing-masing.

Sehingga aspek-aspek seperti kemanusiaan, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi


patokan dan sudut pandang lain dalam menyelesaikan sebuah perkara, untuk
mencapai keadilan

Analisa Hukum dan masyarakat :

Hukum yang diterapkan hanya mengikuti aturan formal namun tidak memperhitungkan
substansi dan hati nurani. Guru Besar Hukum UI, Hikmahanto Juwana juga menyebut
hukum ini hanya tajam ke arah bawah namun tumpul ke atas.Pemerintah seharusnya
peka terhadap ketidakadilan yang terus dialami rakyat dalam hal hukum semacam ini.

Perspektif Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum timbul karena adanya celah di dalam penerapan Hukum Positif.
Sosiologi hukum sendiri, mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala yang empiris
dan dapat diamati dalam kehidupan masyarakat.

Sosiologi hukum menjadi penting karena dalam proses penegakan hukum, tidak serta
merta hanya melihat siapa dan apa pasal-pasal yang menjerat untuk menjatuhkan
pelaku ke dalam sanksi.

Namun lebih jauh, sosiologi hukum membawa sudut pandang baru untuk menilai
sebuah permasalahan dengan melihat latar belakang kehidupan dan kebudayaan,
sosial, dan ekonomi dalam masyarakat.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup sosiologi hukum dalam artikel ini, meliputi aspek-aspek yang tidak
mampu dilihat dan dijangkau oleh sistem hukum positif.

Dimana aspek-aspek ini seringkali diabaikan oleh para penegak dan pelaku hukum
dalam penyelesaian masalah.

Hukum di Indonesia saat ini, seolah memiliki sisi tajam bagi para kaum marjinal dan
masyarakat yang buta akan hukum, namun sangat tumpul jika dihadapkan dengan
pelaku dan pemilik kekuasaan.

Seperti yang ditulis dalam artikel ini, kutipan dari Filsuf Yunani pada abad ke-7 dalam
ungkapan dari hukum Anarcharsis:

“Hukum itu adalah jaring laba-laba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-orang
miskin, tetapi tidak mampu untuk menjaring orang-orang kaya. Bahkan oleh orang-
orang kaya, jaring laba-laba itu akan dirobek-robek olehnya”.

Realitanya, ungkapan itu memang benar untuk melihat berbagai polemik hukum saat
ini. Seolah hal itu memang menjadi tabiat bagaimana sifat hukum itu sejak dahulu.

Nenek Asyanti merupakan salah satu contoh, dari tidak beresnya penerapan hukum di
negara ini. Dengan melihat latar belakang dan bagaimana kondisi fisik, sosial dan
ekonominya, seharusnya hal itu mampu menjadi pertimbangan lebih agar
permasalahan itu mampu diselesaikan secara adil.

Kerugian yang tidak seberapa, menjadi dasar dan alasan kasus ini diakhiri dengan
dakwaan yang mengundang prihatin banyak pihak.

Padahal di luar sana, banyak kasus dengan kerugian yang berdampak besar dengan
skala besar pula, bisa lolos dengan mudahnya tanpa sanksi yang menjerat. Seperti
kasus pembakaran hutan di Sumatera selatan.

Celah-celah dan ketimpangan inilah yang menjadi kajian-kajian dan fokus dalam
sosiologi hukum. Sosiologi hukum lahir, untuk mencapai keadilan bagi pelanggar dan
korban dengan melihat berbagai latar belakang kehidupan masing-masing.

Sehingga aspek-aspek seperti kemanusiaan, ekonomi, sosial, dan budaya menjadi


patokan dan sudut pandang lain dalam menyelesaikan sebuah perkara, untuk
mencapai keadilan.

Satu per satu perbuatan korupsi berkaitan kasus bansos Corona terungkap saat Juliari


Peter Batubara duduk di kursi pesakitan. Juliari didakwa jaksa KPK menerima suap
puluhan miliar dari penyedia bansos.

Dalam surat dakwaan disebutkan perbuatan Juliari dibatu oleh Adi Wahyono sebagai
Kepala Biro Umum Kemensos yang perannya sebagai kuasa pengguna anggaran atau
KPA untuk bansos, sedangkan Matheus Joko Santoso sebagai pejabat pembuat
komitmen atau PPK di Kemensos. Lalu pemberinya Harry Van Sidabukke dari pihak
swasta PT Mandala Hamonangan Sude dan Ardian Iskandar Maddanatja sebagai
direktur di PT Tigapilar Agro Utama.

Dua perusahaan itu merupakan penyedia atau vendor sembako untuk bansos yang
disediakan Kemensos untuk warga terdampak pandemi COVID-19. Harry dan Ardian
sudah lebih dulu menjalani sidang dalam perkara ini.

Analisis:

Tindak pidana korupsi merupakan suatu masalah sangat serius dan perlu diperhatikan
karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara
dan masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat,
politik, bahkan dapat pula merusak nilainilai demokrasi serta moralitas bangsa karena
dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi.
Terlepas dari semua pemikiran tersebut, korupsi dalam struktur budaya Indonesia
terlahir dari bentuk masyarakat feodal. Kelahirannya dibidani oleh sebuah struktur
sosial hierarkis, ketika kekuasaan yang berada di atas mengumpulkan kekayaan
dengan menghisap struktur sosial di bawahnya. Dari sini muncul kebiasaan
menyetorkan “upeti” kepada raja, biasanya sebagai simbol ketaatan/kesetiaan. Bagi
raja, upeti bukan hanya bermakna nilai kekayaan yang terkumpul, akan tetapi, juga
bermakna pengakuan mayoritas terhadap kekuasaannya. Ketika kolonialisme masuk ke
Indonesia, tradisi ini sepenuhnya tidak pernah diputus. Bahkan administrator Belanda
memanfaatkan budaya ini untuk memperkuat dan memaksimalkan profit
keuntungannya. Istilah “pangreh praja” merujuk kepada administrator Hindia-belanda
yang direkrut dari para bupati, patih, wedana, dan lain-lain. Setelah Indonesia merdeka,
bentuk budaya lama (korupsi) tidak terhapus oleh kelahiran budaya baru yang progresif.
Penyebabnya adalah lapisan social yang banyak mengisi jabatan pemerintahan setelah
Indonesia merdeka masih didominasi kaum priayi. Sebuah kelompok elit Jawa yang
banyak menikmati status sosialnya dari kerja dan pengabdian masyarakat bawah.

Memberantas korupsi yang sudah berurat dan berakar dalam struktur sosial
masyarakat Indonesia memang bukan pekerjaan yang mudah. Kerugian besar yang
diderita negara belum cukup untuk mengundang protes luas dan massal dari rakyat.
Persoalannya, kritisisme dari rakyat sangat susah muncul mengingat ada
kecenderungan sikap “diam” atas permasalahan ini. Karakter masyarakat yang seperti
ini, juga dimotivasi dan dilahirkan oleh struktur sosial masyarakat yang masih kuat
dipengaruhi budaya feodalistik. Akan tetapi, yang terpenting untuk dilakukan dalam
situasi sekarang adalah penyelamatan uang negara dari nafsu serakah koruptor. Ujung
tombak dari gerakan ini terletak pada; pertama, lembaga pemberantasan korupsi
negara, yakni KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BPK, dan institusi negara lainnya. Kedua,
gerakan protes yang terdiri atas gerakan mahasiswa, LSM, serikat pekerja, organisasi
tani, partai politik, pekerja seni, dan lain-lain.

Contoh Nenek Asyani dengan kasus pencurian 7 batang kayu, Nenek Asyani didakwa
sebagai tersangka atas hilangnya 7 batang kayu jati di Situbondo, Jawa Timur. Beliau
terjerat hukum atas kasus pencurian tersebut dan terjerat pasal 12 huruf c dan d jo
pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.

Kasus ini menjadi perhatian masyarakat luas lantaran dalam proses dan penegakan
hukum, dinilai terlalu berlebihan. Hukum yang seharusnya mampu melahirkan keadilan,
dalam kasus ini justru melahirkan ketidak adilan yang merugikan pihak kecil.

Seringkali, hukum di negeri ini terlalu tajam untuk kaum bawah, dan tumpul untuk kaum
yang berkuasa. Dalam penanganan kasus Nenek Asyani ini, para pelaku hukum dan
penegak seolah tidak memiliki kepekaan sosial. dalam kasus ini, penyelesaian
sebenarnya bisa dilakukan pada tahap pertama. Kepolisian selaku pengayom
masyarakat, seharusnya mampu menjadi mediator dalam menemukan penyelesaian
dengan jalur kekeluargaan.
Namun, meskipun dalam kenyataannya Nenek Asyanti sudah meminta maaf dan
bahkan hingga menyembah penegak keadilan, hukum yang diterimanya begitu berat.
Nenek Asyanti akhirnya dikenai hukuman 1 tahun penjara, dengan ganti rugi sebesar
Rp500.000.000 untuk 7 batang kayu jati, yang bahakan dia tidak merasa mencuri.

Akar dari permasalahan ini adalah bentuk hukum yang dipegang negara ini seolah tidak
melihat sisi lain dalam praktiknya. Padahal, dalam penanganan masalah yang berkaitan
dengan hukum, perlu adanya pendekatan dan menilik latar belakang masyarakat.
Kasus hukum tidak melulu menghasilkan hukuman sebagai hasil mutlak dalam
penyelesaiannya. Restorative Justice, menjadi solusi untuk berbagai polemik dalam
penyelesaian hukum. Dimana dalam peradilan seharusnya menimbulkan perbaikan,
bukan mencari pemenang. Restorasi sendiri meliputi pemulihan hubungan antara pihak
pelaku dengan korban. Keterbukaan menjadi kunci penting dalam proses
berlangsungnya peradilan. Korban dapat menyampaikan apa saja yang menjadi
kerugian, dan pelaku pun diberikan kesempatan untuk menebusnya dengan cara yang
masuk akal. Sehingga aspek-aspek seperti kemanusiaan, ekonomi, sosial, dan budaya
menjadi patokan dan sudut pandang lain dalam menyelesaikan sebuah perkara, untuk
mencapai keadilan

Berdasarkan  dokumen  penuntut  umum,  kasus  nenek

Asyani ini bermula hari Jum’at, 4 juli 2014 sekitar pukul

08.30 WIB, bertempat di kawasan hutan produksi petak

43 Blok Curah Cotok masuk wilayah dusun Kristal Desa Jatibanteng, Kecamatan
Jatibanteng Kab. Situbondo, yang masuk dalam daerah hukum, petugas Perhutani
yakni Sawwin, Misyanto, Efendi, dan Sayadi merasa kehilangan dua pohon kayu jati
yang telah dipotong- potong. Karena barang miliknya hilang, petugas perhutani tersebut
melakukan pengecekan dan mencari informasi rumah-rumah di sekitar hutan tersebut.
petugas mendapatkan informasi dari masyarakat, bahwa di rumah warga atas nama
Cipto di dusun Kristal Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng Kab. Situbondo,
terdapat banyak tumpukan kayu jati.

Selanjutnya pada hari senin tanggal 7 Juli 2014 pukul

08.30 melakukan pengecekan ke rumah Cipto, dan ternyata benar ada sekitar 38 sirap
atau lembaran kayu jati dengan beberapa ukuran yang bervariatif. Setelah Cipto  
dimintai   keterangan   oleh   pihak   Perhutani, Cipto mengaku bahwa batang kayu
yang dipotong tersebut  adalah  milik  nenek  Asyani.  Atas  informasi dan keterangan
pihak perhutani berkoordinasi dengan pihak kepolisian melakukan razia ke rumah
nenek Asyani dan mendapati beberapa kayu jati ada di rumah nenek Asyani. Perhutani
merasa sering kehilangan atau kecolongan kayu jati miliknya. Karena sering kehilangan
kayu jati, pihak perhutani melakukan patroli di sekitar hutan dan rumah warga. Menurut
pihak Perhutani Humas KPH Perhutani, Abdul Gani, menjelaskan pada tanggal 14 Juli
2014 lalu, petugas Perhutani melakukan patroli menemukan dua tunggak bekas
pencurian pohon di petak 43. Selanjutnya, pihak Perhutani melakukan

penyelidikan hilangnya pohon kayu jati itu. Dari hasil penyelidikan, petugas lapangan
mencurigai ada seseorang yang menimbun kayu jati tersebut.

Setelah itu, pihak kepolisian dan Perhutani melakukan operasi gabungan untuk
memastikan kebenaran laporan tersebut. dan ternyata benar dan yang menyimpan itu
Cipto alias Pak Pit. Dan menrut bapak gani, petugas kami sudah sesuai prosedur kalau
ada kehilangan kayu dan langsung membuat laporan huruf A. Dari penyitaan barang
bukti itu, akhirnya berkembang setelah Cipto dimintai keterangan oleh pihak Polsek,
kalau kayu itu titipan milik Asyani yang diangkut dengan pikap. Menurut Pihak Perhutani
kasus pencurian yang dilakukan nenek Asyani terjadi pada Hari jum’at tanggal 4 Juli
2014 sekitar pukul 08.30. Setelah ada indikasi kuat kasus pencurian ini, pihak Perhutani
melaporkan kasus pencurian nenek Asyani ini ke kepolisian setempat. Dalam
keterangan di pengadilan dan kepada media, pihak Perhutani mengalami kerugian
meteriil sebesar Rp 4 juta lebih.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan Direktur Perhutani, Mustafa Iskandar  terkait
dengan pelaporan kasus pencurian tujuh batang kayu jati ke pihak kepolisian, sebagai
berikut;

“dalam kasus pencurian kayu jati tersebut, pihaknya murni hanya melaporkan adanya
dugaan tindak pidana pencurian. Selanjutnya, diserahkan ke proses hukum. Sekali lagi
kewenangan kami hanya melaporkan bila ada tindakan pencurian. Penetapan
tersangka menjadi kewenangan penyidik dan bukan kewenangan Perhutani,” jelasnya.

Pada saat kejadian tersebut, nenek Asyani merasa tidak mencuri kayu jati milik
perhutani, dalam berbagai pernyataan, termasuk ketika di muka persidangan, nenek 
Asyani  dan  keluarganya  menyatakan  bahwa kayu jati yang ia miliki adalah kayu kayu
jati miliknya, peninggalan suaminya. Bahkan tim pengacaranya, menyatakan bahwa
pihak jakwa penuntut umu, salah dalam menerapkan pasal kepada nenek Asyani.

Tim Pengacara nenek Asyani menyatakan bahwa ;

Undang-undang dan pasal yang digunakan untuk menjerat nenek Asyani kurang tepat
dan sangat memberatkan dan tidak ber-perikemanusiaan, apalagi yang dituduh adalah
seorang nenek yang telah  berusia  lanjut.  Berdasarkan  fakta, nenek Asyani bertempat
tinggal di sekitar hutan. Penggunaan pasal “illegal loging” sebagai yang diatur dalam
UU No. 18 tahun 2013 tidak tepat dan  terlalu dipaksaan, apalagi jika menilik kerugian
yang diklaim pihak Perhutani sebesar Rp 4 juta. Pasal sebagaimana yang ada dalam
UU No. 18 tahun   2013   itu,   sesungguhnya dipergunakan untuk para pengrusak
hutan, kejahatan yang terorgaanisir, sistematis, dan masif atau yang dikenal dengan
sebutan ilegal loging.10
Proses Hukum;  Kepolisian, Kejaksaan, dan

Pengadilan. Kepolisian

Atas laporan pihak perhutani, pihak kepolisian, Polsek Jatibanteng langsung melakukan
penyidikan dan mem- buat Berita Acara Pemeriksaan terhadap nenek Asyani. Proses
hukum di kepolisian, nenek Asyani sempat di tahan pihak kepolisian selama 20 hari,
yakni sejak tanggal 15 Desember 2014 sampai 03 Januari 2015.

Dalam beberapa kesempatan, termasuk ketika dalam proses pengadilan, tindakan


pihak Perhutani lebih memilih  melaporkan  kasus  pencurian  nenek  Asyani ke Polisi,
selain karena untuk memberikan efek jera, juga karena di kawasan hutan miliknya
sering terjadi pencurian kayu jati. Menurut Tim Pengacara nenek Asyani, ketika proses
hukum di Kepolisian, sudah ada adanya upaya-upaya perdamaian antara pihak
keluarga nenek Asyani dengan pihak Perhutani, tetapi ada pihak Perhutani yang minta
supaya tetap terus ditindak dan di proses secara hukum dan memberikan efek jera.
Pihak Perhutani tetap bersih keras agar kasus pencurian kayu jati  (yang  melibatkan 
nenek  Asyani)  ini  di  hukum. Polisi yang diharapkan bisa memediasi kasus pencurian
ringan nenek Asyani tersebut, ternyata juga tidak bisa berbuat apa-apa. Selain karena
pelapornya adalah pihak Perhutani, perusahaan besar, polisi cenderung lebih bersikap
normatif, legal-formal sebagaimana yang dijelaskan dalam aturan hukum positif, yakni
KUHP.

Berdasarkan keterangan dari tim pengacaranya, nenek Asyani disangka melakukan


pencurian kayu jati dan diduga melakukan tindak pidana penebangan dan pencurian 
kayu jati  secara  tidak  sah,  disangka  telah melakukan tindak pidana sebagai diatur
dalam Undang- Undang No. 18  tahun 2016 tentang Pencegahan dan

10  Lihat Surat Pembelaan (Pledoi) dari tim pengacaranya yang tergabung dalam
Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, tertanggal, 13 April 2015 atas kasus nenek
Asyani. Sebagai catatan : menurut penjelasan tim pengacaranya dan masyarakat
sekitar, seringnya pihak  Perhutani kehilangan kayu jati atau tindakan pencurian kayu
jati di kawasan hutan, dilakukan oleh “oknum” perhutani sendiri yang berkolusi dengan
orang luar. Artinya, sering hilangnya kayu jati atau pencurian kayu jati, patut diduga
dilakukan oleh “oknum” perhutani sendiri yang berkolusi dengan orang luar, namun
tidak ada tindakan apapun dari pihak Perhutani. Ketika muncul informasi bahwa
pencurian kayu jati yang dilakukan warga

Pemberantasan   Perusakan Hutan, dengan ancaman hukuman  di  atas  lima  tahun. 
Pada  tanggal  20  Juli 2015,  nenek  Asyani  diperiksa  secara  maraton  oleh polisi di
Polsek Jatibanteng. Dari hasil pemeriksaan, polisi menyimpulkan bahwa perbuatan
nenek Asyani sepenuhnya memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 12
huruf d jo pasal 83 ayat (1) huruf a dan d Undang-Undang No. 18 tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang secara legal-formal harus
dibilangkan sebagai tindak pidana pencurian.

Pasal 12 huruf d (UU No. 18 tahun 2013):

Setiap orang dilarang: memuat, membongkar, mengeluarkan,   mengangkut,  


menguasai,   dan/ atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;

jo Pasal 83 ayat (1) huruf a (UU No. 18 tahun 2013)

Orang perseorangan yang dengan sengaja: memuat,  membongkar,  mengeluarkan,


mengang- kut, menguasai, dan/atau memiliki hasil pene- bangan di kawasan hutan
tanpa izin sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  12 huruf d;

jo Pasal 83 ayat (1) huruf d (UU No. 18 tahun 2013)

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Nenek Asyani tak tahu liku-liku proses hukum, dengan prosedur-prosedur yang diatur
secara formal dalam bahasa Indonesia; notabene itu bukan bahasa yang dimengerti
neek Asyani yang sepanjang hidup tinggal di desa pengguna bahasa Jawa. Meskipun
kasus nenek Asyani mendapat sorotan tajam dari masyarakat luas, proses hukum di
kepolisian tetap berjalan. Pola pikir hukum pihak kepolisian masih sangat legalistik-
formalistik, sebagaimana disampaikan Kabag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang
Priambodo dalam beberapa kesempatan yang disampaikan media:

“Proses penyidikan sudah selesai dan sekarang sudah memasuki tahap persidangan.
Silahkan hormati proses hukum yang berjalan, agar tidak muncul opini yang justru bisa
membingungkan masyarakat. Kalau ada yang merasa dirugikan, silahkan tempuh jalur
hukum,” kata Kasubbag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang Priambodo. Kasus
nenek Asyani ini mendapat perhatian khalayak ramai, termasuk lembaga swadaya
masyarakat seperti Kontras Jakarta, dalam pernyataan, berdasarkan fakta di lapangan,
ditemukan ada beberapa keganjilan dalam proses penyidikan di tingkat kepolisian, dan
juga yang aptut dipertanyakan adalah mengapa kasus kecil dengan kerugian materiil
yang tidak seberapa, sampai diproses secara hukum, yang lebih kejam lagi, nenek
Asyani yang lanjut usia harus kena Undang-Undang No. 18 tahun 2013 atau sering
dikenal sebagai illegal loging. Wakil Koordinator Bidang Advokasi Badan Pekerja
Kontras Yati Andriyani, menyatakan ada beberapa keganjilan yang muncul diantaranya
(Republika, 17/3/2015);

1.   Alat bukti yang disita kepolisian dinilai tidak memadai, tidak sesuai dengan apa
yang terdapat di rumah nenek Asyani. Adanya barang bukti yang tidak memadai
merupakan hal yang sangat tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia.
Apalagi nenek Asyani telah berusia lanjut.

2.  Sedari awal, menurut Kontras, penyidikan yang dilakukan terhadap nenek Asyani
sangat kental dengan dugaan upaya rekayasa kasus. Hal ini terlihat karena sejak
dilakukannya proses BAP, terdapat keganjilan antara lain usia korban disebutkan masih
45  tahun.  Namun  dalam  penuntutan  jaksa,  usia nenek Asyani 63 tahun.

3.   Saat persidangan berlangsung, barang bukti yang dihadirkan diduga berbeda


dengan barang bukti yang menjadi milik korban.

Berdasarkan fakta, sebagaimana yang diungkapkan Tim Pengacaranya dari LBH 


Nusantara  Situbondo, ketika pemeriksanaan di kepolisian, nenek Asyani tidak
didampingi pengacara, nenek Asyani baru di dampingi ketika berproses di kejaksaan
sampai pengadilan. Bahkan di kepolisian, tidak ada penyelesaian-penyelesaian yang
sifatnya  mendamaikan.  Di  sini  nampak  tergambar, begitu telanjang sekali pihak
polisi memperlakukan nenek Asyani. Polisi tidak memberikan kesempatan sedikitpun
bagi nenek Asyani dan keluarga untuk melakukan “pembelaan”, salah satunya
melakukan kompromi atau solusi damai yang dimediasi oleh polisi. Alih-alih
mendapatkan “solusi damai” dari polisi, nenek Asyani terus diproses secara hukum.
Ketika diperiksa di Polsek Jatibanteng Situbondo, nenek Asyani merasakan pengabnya
jeruji besi. Nenek Asyani mengalami penahanan selama 20 hari.

Proses Hukum di Kejaksaan Negeri Kabupaten Situbondo

Setelah proses hukum di kepolisian selesai, tanpa adanya “kompromi” dan


penyelesaian secara kekeluar- gaan,  proses  hukum  nenek Asyani  berlanjut  sampai
kejaksanaan. Hal ini terlihat dari Surat Pelimpahan Berkas Perkara dari asyani
mengalami masa penahanan kurang lebih 40 hari15  Dalam surat dakwaan yang dibuat
oleh jaksa Penuntut Umum, jaksa menguraikan unsur-unsur tindak pidananya,
diantaranya ;

1.   Pasal  12  huruf  c  jo  pasal  82  ayat    (1)  huruf  c UU No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;

2.   Pasal 12 huruf d jo pasal 83 ayat (1) huruf a UU No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;

3.  Yang dilakukan terdakwa nenek Asyani dalam dakwaan pertama, nenek Asyani
didakwa dengan sengaja melakukan penebangan pohon di dalam kawasan hhutan
secara tidak sah; atau

4.   Terdakwa didakwa dengan sengaja memuat, mem- bongkar, mengeluarkan,


mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa
izin.

Setelah tidak mendapatkan permintaan maaf dari Perhutani, keluaga nenek Asyani
selanjutnya dibawa dan dilaporkan ke polisi dalam lelah dan memprihatinkan sebagai
pelaku tindak kejahatan pencurian.16  Nenek Asyani di kantor kepolisiian menjalani
proses pemeriksaan. Akhinya, nenek Asyani diproses secara hukum oleh pihak
kepolisian.17 Sebuah proses yang tidak pernah dibayangkan dan dipikirkan sama
sekali. Nenek Asyani mengaku tidak mengangka sama sekali, hanya karena mengambil
tujuh batang kayu jati, harus berurusan dan berujung ke proses hukum di kepolisian.

Nenek  Asyani  yang  sudah  lanjt  usia  itu  didakwa dengan “Undang-Undnag Ilegal
Loging”, mengusik keprihatinka. Koalisi Anti Mafia Hutan19  yang menilai perkara yang
menjerat Nenek Asyani merupakan bukti Kepolisian Jatibanteng; Berkas Perkara No.
BP/02/XII/2014/ Reskrim tanggal 15 Desember 2014 atas nama Asyani alias B. Muaris
binti Mukdin.

bahwasanya UU P3H secara substantif bermasalah. Sekjen Konsorsium Pembaruan


Agraria (KPA), Iwan Nurdin, mengatakan isi dari UU P3H bertentangan dengan
semangat menjerat korporasi besar yang melakukan perusakan hutan.20

Sementara itu, menurut Dalam pandangan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejaksanaan
Negeri Situbondo, Ida Haryani meskinpun nenek Asyani telah meminta maaf dan
mengupayakan jalur kekeluargaan, nenek Asyani tetap tak bisa lepas dari jeruji besi.
Keduanya langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara Kabuaten Situbondo untuk
menunggu disidang. Lebih lanjut kejaksanaan menyatakan tak memiliki kewenangan
untuk menghentikan kasus tersebut. Menurut dia, tindak pidana yang dilakukan nenek
Asyani telah memenuhi unsur  pencurian,  yang  diatur  dalam  Pasal  12  jo  83

Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Perngrusakan Hutan (P3H).

Selama proses hukum di Kejaksaan Negeri Kabupaten Situbondo, nenek Asyani tetap
ditahan. Nenek Asyani menjadi tahanan Kejaksaan Negeri selama 36 hari, yakni
terhitung sejak 04 Januari sampai 10 Februari 2015. Penahanan  ini  merupakan 
perpanjangan  penahanan yang dilakukan pihak kejaksaan setelah sebelumnya ditahan
di kepolisian selama 18 hari (15 Desember 2014- 03 Januari 2015). Setelah
mendapatakan perpanjangan penahanan oleh kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten
Situbondo, dengan alasan untuk kepentingan penuntutan, Jaksa Penuntut umum
menahan kembali nenek Asyani selama 20 hari terhitung sejak 11 Februari-02 Maret
2015. Sehingga total nenek Asyani mendekam di penjara selama 74 hari.21  Akibat
mendekam di penjara cukup lama kondisi fisik dan psikologis terpidana langsung  drop. 
Dan  keluarga Asyani  merasa  sangat prihatin dengan kondisi ibunya yang kondisi
fisiknya semakin melemah.

Proses Hukum di Pengadilan (Pangadilan Negeri Kab Situbondo).

Proses   persidangan   nenek   Asyani   selalu   dipadati dan diwarnai aksi unjuk rasa
dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa yang menyuarakan ketidakadilan
hukum dalam praktik penegakan hukum di  Indoensia,  termasuk  dalam  kasus  nenek 
Asyani ini.. Pada persidangan pertama tanggal 09 Maret 2015 mengagendakan
pembacaan dakwaan oleh JPU. Dalam dakwanaannya, JPU mendakwa terdakwa
nenek Asyani telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, yakni dengan
sengaja melakukan penebangan   pohon dalam kawasan hutan yang tidak sah, akibat
perbuatan terdakwa pihak Perhutani mengalami kerugian sebesar Rp 4.323.000, atas
perbuatan tersebut, terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal 12
huruf c dan d jo pasal 83  ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Pada persidangan ketiga, pembacaan tunttan JPU, tertanggal 09 April 2015, mejelis
hakim mendengarkan tuntutan dari JPU. Dalam surat tuntutan, yang dibacakan JPU,
Ida Haryani, SH, menuntut terdakwa nenek Asyani dengan pidana penjara selama 1
tahun dengan masa percobaan  selama  18  bulan  dan  dendan  sebesar  Rp
500.000.000. Selain itu, para terdakwa, nenek Asyani, diharuskan membayar biaya
perkara Rp 5.000 ke pengadilan.

Jaksa Penuntut Umum, menyatakan bahwa tindakan terdakwa nenek Asyani itu
memenuhi semua unsur sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf c dan d jo pasal  83 
ayat  (1)  huruf  a  Undang-Undang  No.  18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Kesimpulan tersebut berdasar pada
keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang dikemukakan  di  depan 
persidangan.23     “Karena  itu. saya meminta majelis hakim untuk menghukum para
terdakwa,” ujarnya dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Situbondo.24

Dalam surat dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum, Ida haryani, SH menyatakan


berdasarkan analisis-yuridis normatif dan pembuktian tentang unsure-unsur pidana
sebagaimana yang diatur dalam pasal 12 huruf c dan d jo pasal 83 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 18 tahun  2003  tentang  Pencegahan  dan  Pemberantasan aksi
teatrikal yang menggambarkan ketidakadilan di Indonesia. “Kami tidak bermaksud
untuk membela seorang pencuri. Tapi, kami hanya menyuarakan agar hukum
ditegakkan tanpa tebang pilih,” seeorang aktivis. lihat pemberitaan Jawa Pos 24 April
2015. Persidangan nenek Asyani ini juga mendapat liputan

Perusakan Hutan (P3H),  menyimpulkan ;

Sementara  itu,  dalam  tuntutannya,  Jaksa  Penuntut

Umum, Ida Haryani, SH, menyatakan sebagai berikut;25

1.  Terdakwa  nenek Asyani  terbukti  secara  sah  dan meyakinkan menurut hukum
bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja memuat, membong- kar,
mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/ atau memiliki hasil penebangan di
kawasan hutan tanpa iji” sebagaimana yang diatur dalam dalam dakwaan kedua pasal
12 huruf d jo pasal 83 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perngrusakan Hutan (P3H).
2.  Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Asyani dengan  pidana  penjara  selama  1 
tahun  dengan masa percobaan 18 bulan dan denda sebesar Rp 500.000.000 subsider
selama 1 hari kurungan.

3.   Menyatakan barang bukti berupa; kayu ati 38 sirap dengan berbagai ukuran

4.   Menetapkan   terdakwa   dibebani   biaya   perkara sebesar Rp 5.000.

Sementara  pada  sidang  lanjutan  tertanggal  23 April 2015, mengagendakan


pembacaan vonis dari majelis hakim yang saat itu diketuai oleh Kadek Dedy Archana,
SH, MH. Dalam putusannya, majelis hakim Pangadilan Negeri Kabupaten Situbondo
menyatakan;

1.   Terdakwa  nenek Asyani  terbukti  secara  sah  dan meyakinkan bersalah


melakukan tindak pidana dengan sengaja memiliki hasil penebangan di kawasan hutan
tanpa izin.

2.   Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1 tahun dan denda sejumlah RP 500.000.000 dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak terbayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 hari.

4.   Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari ada
putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu
tindak pidana sebelum masa percobaan selama 1 tahun 3 bulan terakhir.
Membebankan kepada terdakwa membayar biata perkara sejumlah Rp 5.000.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

Menurut Zudan Arif Fakrulloh dalam tulisannya Penegakan Hukum Sebagai Peluang
Menciptakan Kea- dilan, di jurnal “Jurisprudence” (2005:26), mengata-

media massa luar biasa, baik cetak maupun elektronik.                                         

kan, berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk


mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial
bagi masyarakatnya. Untuk menuju pada cita- cita pengadilan sebagai pengayoman
masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedapkan empat tujuan hukum di
atas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi
dasar berpijaknya hukum yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”.

Seiring dengan perubahan dan perkembangan masya- rakat yang semakin kompleks,
menuntut adanya kajian hukum  yang  tak  sekedar  nomatif,  tapi  juga  empiris atau
sosiologis. Bagi kalangan penstudi hukum kritis, positivism hukum dan pemahaman
hukum legal-formal dianggap tidak mampu menjelaskan pelbagai persoalan aktua dan
faktual yang ditumbulkan dari proses perubahan dan dinamika masyarkaat yang begitu
cepat. Dalam konteks ini, menurut Soetandyo (2002:160), di dalam kehidupan
masyarkaat yang mulai mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat
cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata
perubahan dan perkembangan masyarakat.

Kelemahan substansial dari positivism hukum tersebut, memberi celah munculnya


kajian-kajian sosiologi hukum, yang mengkonsepsikan hukum sebagai suatu gejala
empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan masyarakat. Hukum tidak lagi
dimaknakan sebagai norma-norma yang eksis secara eksklusif dalam suatu sistem
legitimasi yang formal. Dari segi substansinya, kini hukum sebagai kekuatan sosial
yang empiris wujudnya,namun   terlihat   secara   sah,   dan   bekerja untuk memola
perilaku-periaku actual masyarakat (Wignjosoebroto, 2002: 161).

Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal
yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum
yang bergerak dan beroperasi dalam dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam
sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup, dan
berkembang dalam jariangan sosial masyarakat yang kompleks. Dan hukum sosiologis
memiliki varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan pelbagai konflik sosial
yang muncul dalam masyarakat.

Hukum sosiologis ini dalam pandangan Sosiolog hukum, Eugen Ehrlich (1862-1922)
sebagai hukum kebiasaan, yakni seluruh keteraturan perilaku warga masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari secara riil dan telah menjadi tradisi (Wignjosoebroto, 2008:13).
Dan hukum sosiologis dan mekanisme sosiologis ini bisa menjadi tawaran alternatif
penjelasan dan solusi atas masalah sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk untuk
menjelaskan kasus hukum nenek Asyani ini. Penjelasan hukum sosiologis atas kasus
tersebut bisa menjadi jawaban yang visible di tengah terjadinya “kebekuan” hukum
positif Negara.

Konflik Sosial dan Penyelesaian (hukum) Sosiologis

Dalam sebuah masyarakat apapun dan di manapun, setiap kelompok masyarakat


selalu memiliki problem sebagai  akibat  adanya  perbedaan  antara  yang  ideal dan
yang actual atau factual, antara yang standard dan yang praktis, antara yang
seharusnya (das sollen) atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam
kenyataan (das sein). Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat memiliki
variasi sebagai faktor yang yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan
nilai-nilai yang ideal dalam masyarkaat dapat disebut sebaai contoh pencurian,
perzinaan, ketidakmampuan membayar utang, melukai orang lain, dan sebagainya.
Semua itu bentuk tingkah laku yang dapat menimbulkan persoalan di dalam
masyarakat (Ali, 2005:23).

Kasus nenek Asyani yang mencuri tujuh batang kayu jati semangka adalah salah satu
problem sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kasus pencurian semangka tersebut
tentunya menimbulkan sengketa dan bahkan konflik sosial antara pihak pelaku dan
korban, yang dalam hal ini adalah nenek Asyani dengan pihak Perhutani setempat.
Menurut Ade Saptono (2004), sengketa atau konflik sosial terjadi karena persediaan
sumberdaya yang semakin terbatas. Cara mendapatkan sumberdaya masih
menampilkan kepentingan perorangan atau kelompok tertentu, dalam berinteraksi salah
satu pihak memaksakan kehendak dengan menggunakan –salah satunya- identitasnya.

Dalam pespektif teori konflik, bahwa konflik adalah sebuah keniscayaan dalam
masyarakat. Secara sosiologis, Setiap masyarakat setiap saat dihadapkan pada
perubahan-perubahan sosial, setiap masyarakat pasti memperlihatkan adanya
ketidakcocokan dan konflik-konflik sosial dan itu adalah hal yang umum, dan dalam
setiap masyarakat didasarkan pemaksaan oleh segolongan anggota masyarakat
terjadap anggota yang lain (Rahardjo, 2010:7).

Sebagai salah satu bentuk tinglah laku yang menyimpang dalam masyarakat lokal,
tentu saja akan mempengaruhi keserasian, tertib sosial, dan keharmonisan dalam
masyarakat. Karena itu, fungsi hukum sebagai instrument kontrol sosial dalam
masyarakat memiliki peran   yang   sangat   penting.   Hukum   difungsikan untuk
mengembalikan kondisi dan tertib sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum
kebiasaan menjadi pegangan dan patokan dalam bertingkah laku, termasuk dalam
menyelesaikan probem sosial yang muncul.  Dalam  hukum  sosiologis,  hukum 
bersifat “remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial pada keadaan
semula. Olah karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang
menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak
menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi atau “merukunkan”,
standarnya adalah normalitas, keserasian, dan kesepakatan yang biasa disebut
keharmonisan (Ali, 2005:23).

Dalam kasus nenek Asyani, masyarakat lokal setempat secara relatif masih
berpengang teguh pada nilai, norma dan hukum kebiasaan masyarakat. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya keinginan keluarga Asyani yang disampaikan melalui
penagcarnay, agar kasus pencurian tujuh kayu jati diselesaikan secara kekeluargaa.
Namun, penyelesaian damai dan kekeluargaan yang sebelumnya terjadi, tidak terlihat
pada terus berlanjutnya kasus nenek Asyani sampai kemudian bermuara ke
penagdilan. Dan bahkan nenek Asyani harus mendekam di penjara selama lebih dari
60 hari sejak ditahan di kepolisian sampai kasusnya masuk ke pengadilan. Dalam
pernyataannya, pihak perhutani mengatakan, proses hukum positif ini dilakukan untuk
memberikan pelajaran dan efek jera para pelaku. Sehingga kasus yang sama tidak
terjadi kembali. Faktor pelapor yang kebetulan adalah dari koorporasi juga ikut berperan
dalam berlanjutnya kasus nenek Asyani ke proses ranah hukum positif. Bahkan pihak
polisi lebih aktif dalam memperkarakan nenek Asyani ini sampai ke ranah hukum positif,
dibanding warga masyarakat lokal sendiri yang menginginkan diselesaikan secara
kekeluargaan. Dalam pandangan masyarakat setempat, kasus seperti itu sebaiknya
diselesaikan di tingkat masyarakat lokal sendiri, apalagi menimpa orang lanjut usia
yang seeprti nenek Asyani yang juga buta hukum.

Selain berfungsi sebagai penegak hukum, pihak kepolisian sebenarnya juga memiliki
fungsi menjaga ketertiban dan kedamaian kehidupan masyarakat. Karena itu, pihak
kepolisian dituntut tidak sekedar faham dan hafal pasal-pasal dalam undang-undang,
tapi juga harus memiliki kepekaan sosial atas kejadian yang ada dalam masyarakat. Hal
ini yang diungkapkan mantan Direktur LBH Surabaya, Syaiful Aris sebagai berikut;

“….Kepekaan  social  harus  terbangun  artinya dia  harus  sensitif  melihat  karena 
kalau  dilihat dari aspek peraturan perundang-undangan aspek hukum itukan tidak
bicara tentang general atau hukum berlaku secara nasional dan itu memang betul.
Artinya dalam spesifikasi tertentu, konteks budaya lokal, kearifannya harus dilihat
menjadi bagian yang harus dipertimbangkan…”

Nihilnya kepekaan sosial (social sencitive) tersebut yang menjadikan pihak kepolisian
terus memproses nenek Asyani secara hukum. Perlakuan hukum oleh aparat kepolisian
dan pihak Perhutani yang melaporkan nenek Asyani ke Polsek Jatibanteng dinilai
masyarakat terlalu  berlebihan,

Sebagai salah satu bentuk tinglah laku yang menyimpang dalam masyarakat lokal,
tentu saja akan mempengaruhi keserasian, tertib sosial, dan keharmonisan dalam
masyarakat. Karena itu, fungsi hukum sebagai instrument kontrol sosial dalam
masyarakat memiliki peran   yang   sangat   penting.   Hukum   difungsikan untuk
mengembalikan kondisi dan tertib sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat hukum
kebiasaan menjadi pegangan dan patokan dalam bertingkah laku, termasuk dalam
menyelesaikan probem sosial yang muncul. Dalam hukum sosiologis, hukum bersifat
“remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial pada keadaan semula. Olah
karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan
yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para
pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi atau “merukunkan”, standarnya adalah
normalitas, keserasian, dan kesepakatan yang biasa disebut keharmonisan (Ali,
2005:23).

Dalam pandangan lain, menurut Armada ((2011:77-79), para pengusung filsafat


Levinasian mengkritik bahkan menggugat “tirani” positivisme hukum  yang tuna etik-
moral, kaum Levinasian hadir sebagai “penggebrak” meja formalitas dan legalistik-
positivistik yang kerap kejam dan beku oleh prosedur dan tata tertib. Prosedur legalitas
dan tata tertib meja hukum kerap tak memberi ruang akan prinsip-prinsip manusiawi.
Hukum positif negara hadir hadir lebih berwajah dan berdimensi violatif   terhadap  
kelompok-kelompokk   masyarakat yang secara sosial-ekonomi tak berdaya.

Akhirnya,  hukum  positif  negara  yang  begitu  “tajam ke bawah tumpul ke atas” lebih
berwajah penindas daripada “pendidik” dan “pembimbing” yang meng- hantarkan
manusia pada hidup yang lebih bahagia. Hukum dilahirkan bukan untuk hukum, tapi
untuk terwujudnya kebahagiaan manusia. hukum yang indah dan manusiawi, kata
Thoma Aquinas, adalah hukum yang  didasarkan  pada  kebenaran  akal  budi.  Hukum
akan menjadi penindas ketika hukum dibangun atas dasar kesepakatan (elitis
penguasa) dan meminjam yang sering kali diungkapkan Soetandyo Wignyosoebroto,
lebih menguntungkan kaum elit, dan menindas kaum alit. Hukum hanya menindas bagi
mereka yang tidak memiliki akses kekuasaan (karena tidak punya untuk untuk membeli
kata –sepakatnya) (Armada, 2011:80).

Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal
yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam perspektif sosiologis adalah hukum 
yang  bergerak  dan  beroperasi  dalam  dalam dinamikanya yang aktual dan faktual
dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup, dan
berkembang dalam jaringan sosial masyarakat yang kompleks. Dan hukum sosiologis
memiliki varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan pelbagai konflik sosial
yang muncul dalam masyarakat. Dengan kata lain, mengutip Armada, setiap hukum
tidak hanya sekadar peraturan melainkan juga promosi nilai-nilai kultural eduaktif-etis.
(Armada, 2013;86),

Restorative Justice untuk nenek Asyani. Realitas empirik masyarakat Indonesia saat ini
adalah masyarakat yang sebagian besar masyarakat miskin. Kemiskinan mereka tidak
hanya sekedar miskin secara sosial, politik, maupun ekonomi. Sebagian besar
masyarakat Indonesia juga miskin dan buta hukum. Mereka tidak mengetahui dan
memahami hukum positif yang ada. Bahkan akses terhadap hukum (positif) pun sangat
sulit. Kondisi sosiologis ini yang menjadikan sebagian besar masyarakat miskin kita
memiliki posisi tawar yang sangat lemah di hadapan hukum. Bahkan seringkali
masyarakat miskin kerapkali menjadi korban hukum itu sendiri. Melihat realitas ini,
keberpihakan hukum pada masyarakat miskin atau lemah adalah adalah sebuah
kenicayaan. Karena bagaimanapun juga, moral dari hukum adalah keadilan.

Di tengah realitas masyarakat seperti itu, pendekatan restorative   justice   adalah  


salah   satu   jawabannya untuk mencairkan “kebekuan” penerapan hukum legalistic-
postivistik. Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang
lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana
yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog  dan  mediasi  untuk 
menciptakan  kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang
sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya
restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang
lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.
Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan
pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan
pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi,
perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan- kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini
menjadi penting? Karena  proses    pemidanaan    konvensional    tidak memberikan
ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi
aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa
memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan  terus  digulirkan  ke  ranah 
penegakan  hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif
dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada
putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, keberpihakan hukum
terhadap rakyat kecil perlu penerapan model keadilan restoratif untuk kasus tertentu.
Keadilan restoratif adalah konsep pemikiran yang merespon sistem peradilan pidana
yang meniktiberatkan pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian melalui
musyawarah antara pelaku dan korban (Kompas, 2/2/2010). Keadilan restoratif 27,
yaitu keadilan yang berlaku dalam proses penyelesaian sengketa non-litigasi
(Alternative Dispute Revolutions). Tujuan pendekatan keadilan restoratif adalah
mencapai konsensus mengenai solusi yang paling baik untuk menyelesaikan konflik.
Keadilan restoratif merupakan suatu cara baru dalam melihat peradilan pidana yang
berpusat pada perbaikan kerusakan dan kerugian korban dan hubungan antar manusia,
daripada menghukum pelaku tindak pidana. Negara yang direpresentasikan oleh
institusi-institusi penegak hukum, tidak mengambil alih penyelesaian konflik yang
merupakan kejahatan, karena suatu tindak pidana dalam keadilan restoratif tidak
dipandang sebagai kejahatan terhadap negara, tetapi terhadap anggota masyarakat
yang menjadi korban.

Terkait dengan keadilan restoratif, Artidjo Alkostar dalam   tulisannya   “Keadilan  


Restoratif”   (Kompas,

4/4/2010), mengatakan tindakan pemidanaan alternatif harus diupayakan oleh Negara


di tengah fenomena praktik ketidakadilan hukum yang menimpa masyarakat miskin.
Kepatutan penjatuhan pidana melalui restora- tive justice jadi tugas dan tanggung
jawab aparat penegak  hukum  untuk  mempertajam  analisis  hukum dan memperpeka
nurani kemanusiaan. Restorative justice akan menjadi lembaga yang dapat menjadi
sarana pemerataan keadilan, terutama bagi korban dan pihak yang rentan secara
sosial-politik dan lemah secara ekonomi, seperti kelompok anak-anak, lansia, dan kaum
miskin. Karena itu, hukum positif Negara harus dapat Keadilan restotatif merupakan
konsep baru yang diperkenalkan PBB dalam menyelesaikan persoalan di sejumlah
Negara. Keadilan restoratif ini termuat dalam pasal 9 Konvensi PBB tentang Keadilan
Restoratif, dan telah diterapkan di sejumlah Negara di dunia seperti di Inggris, Austria,
Finlandia, Jerman, AS,  Kanada,  Australia,  Afrika  Selatan,  Gambia,  Jamaika, dan
Kolombia. Menurut Artidjo Alkostar, Indonesia bisa saja membuat prosedur berbeda
dengan Negara lain, misalnya mengambil atau mengadopsi nilai kearifan hukum lokal
(sosiologis), seperti kearifan hukum lokal Papua, Aceh dan lain sejenisnya. Prioritas
dari keadilan restoratif ini adalah martabat kemanusian korban korban kejahatan.
Terkait dengan ini, lihat opini Artidjo AlKostar “Keadilan Restoratif” dalam Kompas Edisi
4 April 2011 mengadopsi keberadaan restorative justice ini .
Karena itu, Pelanggaran hukum yang dilakukan nenek Asyani   tidak   semestinya  
dituntut   secara   hukum. Dalam konsep lain, penyelesian lain di luar pengadilan
Menurut  mantan  Guru  Besar  Universitas  Groningen, Vrij sebagaimana dikutip oleh
Topo Santosa dalam tulisannya tentang “Penjara Untuk Siapa”, mengatakan bahwa  
kasus-kasus   sepele   dan   apalagi   pelakunya adalah pelanggar hukum yang tidak
mengandung resiko dan dampak yang besar terhadap masyarakat, cukup diselesaikan
dengan pendekatan sosialitas. Pendekatan ini sama dengan sosilogis. Initinya adalah
penuntutan tidak layak dilakukan untuk perbuatan tertentu yang tak mengandung resiko
bahaya yang dimunculkan pelanggar hukum terhadap masyarakat (Kompas, 25 Maret
2011).

Sementara itu, menurut Anton Prihatno, dalam tulisannya tentang “Penalaran Hukum
untuk Keadilan Masyarakat Miskin” (Kompas, 2/6/2010), mengatakan realitas
masyarakat Indonesia sebagian besar adalah masyarakat bawah baik dari sosial,
ekonomi dan politik yang mempunyai posisi lemah dihadapan hukum. Karena itu, harus
ada keberpihakan hukum pada masyarakat bawah. Keberpihakan ini harus dilakukan
oleh para penstudi hukum pada semua level baik pengamat, pengembanan hukum
teoritis maupun terutama oleh pengembanan hukum praktis. Oleh karena itu design
model penalaran positivisme hukum yang dibutuhkan adalah adanya sinergisitas antara
hukum dan moralitas dengan cara mengintervensi hukum dalam tataran aksiologis
dengan memasukkan keadilan yang memihak pada masyarakat bawah. Dengan kata
lain, keadilan restoratif adalah wujud riil dari keadilan hukum sosiologis, karena
keadilan  restoratif  dihasilkan  dari  proses  sosiologis yang  melibatkan  berbagai 
stakholder  (pihak)  yang lebih berorientasi pada memulihkan kondisi sosial-
kemasyarakat dan

Model keadilan hukum sosiologis sebagaimana yang dinyatakan oleh B. Arief Sidharta
(2000) sebagai aspek aksiologis dari hukum itu sendiri yakni mengarah kepada
pencapaian nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan secara simultan, yang kemudian diikuti
dengan kepastian hukum, dua nilai yang disebutkan pertama menjadi tujuan dalam
proses pencarian (context of discovery), sementara nilai terakhir adalah tujuan dalam
konteks penerapannya (context  of  justification). Intervensi  keadilan  terhadap hukum
dengan keberpihakan ini menjadi penting dengan tetap menjaga titik keseimbangan
bagi kepentingan pelanggar hukum, korban pelanggaran hukum, masyarakat dan
negara agar hukum dapat menaikkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Menurut Budi Winarno, Selama ini, aparat penegak hukum kita terlalu sempit memaknai
keadilan. Keadilan masih dilihat secara harfiah dengan memaknainya sebagai apa yang
sesuai dengan hukum. Sebaliknya, apa yang melanggar hukum akan disebut tidak adil.
Praktik hukumnya adalah, jika terjadi pelanggaran hukum, maka pengadilanlah jalan
penyelesaiannya. Cara pandang seperti itu, harus kita akhiri. Keadilan hukum haruslah
mencerminkan keadilan sosial. Hukum bukanlah untuk memenjarakan, tapi untuk
menyadarkan (Jurnal Nasional, 19/2/2009).

Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalaan mana


dapat dijumpai hampir di setiap masyarakat. Hukum memiliki dua tugas utama yakni
mencapai suatu kepastian hukum dan mencapai keadilan bagi semua masyarakat. Di
antara sekian banyaknya pemikiran dan konsep keadilan, salah satu konsep keadilan
yang cukup relevan adalah sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Roscoe Pound.
Pemikir sosiologi hukum ini mengatakan bahwa keadilan bukan semata- mata
persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal disoroti
oleh sosiologi hukum. Pound membedakan antara legal justice dengan social justice
(R.J. Simon, 1969:12-13). Dalam pandangan Soerjono Soekanto (2005:185), Keadilan
adalah suatu keselarasan hubungan antarmanusia dalam masyarakat dan antar
manusia dengan masyarakatnya yang sesuai dengan moral yang berlaku di dalam
masyarakat Ini yang kita kenal dengan keadilan sosiologis; keadilan yang didasarkan
pada kebiasaan,   budaya, pola perilaku dan hubungan antar manusa dalam
masyarakat.

Dengan kata lain, lain, Adil adalah natura dari kehadiran manusia yang berelasi hukum
yang tidak adil adalah ketika hukum tidak berrelasi dengan orang lain atau lingkungan
sosial. Adil bukanlah perkara sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum, atau adil
bukanlah perkara proseduralistik dan formalistik. Adil merupakan kodrat perbuatan
manusia yang terarah kepada orang lain. dalam bahasa Aristoteles, adil adalah sebuah
keutamaan yang tertuju dan berkaitan dengan orang lain. (Armada, 2013:74). Adil
adalah sebuah keseimbangan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam bahasa
Socrates sebagaimana dikutip Armada (2013: 80-81), keadilan adalah sebuah simfoni,
yang keindahannya terletak pada keseluruhan pada instrument music, dalam konteks
negara, keseluruhan pda setiap komponen negara, termasuk aparat penegak hukum
menjalankan tugasnya dengan baik. Tatatanan hukum yang ada adil adalah ketika
kehidupan dan keluruhan martabat setiap manusia dibela dan dimuliakan.

Dalam sistem yang adil, makna legalitas adala rasionalitas. Artinya,  sebuah  prinsip 
hukum  disimak sebagai “benar” semata-mata karena isi kebenaran itu masuk dalam
ranah akal budi menusia, sesuai dengan kodrat  kemanusiaannya.  Legalitas  bukanlah 
sekadar segala kebenaran yang dikatakan oleh ahli hukum atau yang ditulis dalam
sebuah udang-undang. Sebab, dalam kenyataan, pada ahli hukum pun memiliki
perspektif pertimbangan sendiri dan berbeda-beda, pun aneka ketentuan (hukum)
kerap menuliskan ketentuan yang salah dan tidak adil (Armada, 2011: 90).

Keadilan hukum bagi masyarakat tak sekedar keadilan yang bersifat formal-prosedural;
keadilan yang didasarkan pada aturan-aturan nomatif yang rigid yang jauh dari
moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Lawan dari keadilan formal-prosedural adalah
keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang
muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas
publik dan nilai-nilai kemanusian dan mampu memberikan kepuasaan dan kebahagiaan
bagi masyarakat.

SIMPULAN

Kasus hukum nenek Asyani dengan “pencurian tujuh kayu jati”, dalam pandangan
hukum normatif atau hukum negara yang berparadigma legalistik-positivistik, adalah
tindakan pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam No. 18 tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perngrusakan Hutan (P3H), karena layak
untuk diberi hukuman. Namun dalam pandangan sosiologi hukum, kasus nenek Asyani
adalah perkara kecil dengan nilai meterial yang kecil, pun demikian dilakukan oleh
kelompok sosial yang marginal, warga miskin yang buta bukum, karena itu, hadirnya
hukum negara bukannya melahirkan keadilan hukum, justru sebaliknya menimbulkan
ketidakadilan hukum. Karena itu, kasus  hukum  yang  menimpa  masyarakat  miskin
sebaiknya    lebih    menggunakan    pendekatan    yang lebih sosiologis dan humanis.
Penyelesaian ini yang dikenal dalam dunia akademik-teoritik sebagai prinsip restorative
justice, yakni keadilan yang diperoleh di luar pengadilan hukum positif, melalui proses
pemulihan dengan semangat saling memaafkan antara pelaku dan korban. Restorative
justice adalah solusi yang paling baik dan tepat untuk menyelesaikan masalah hukum
yang menimpa masyarakat miskin.

Kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin –seperti nenek Asyani- ini sebenarnya
bisa dihentikan di tingkat pertama, yakni kepolisian. Aparat penegak hukum bisa
menghentikan suatu kasus jika merasa, ketika kasus dibawa  ke  tingkat  lebih  tinggi, 
justru  akan  melukai rasa keadilan. Pihak kepolisian dengan kewenangan
diskresionalnya seharusnya bisa menghentikan kasus kecil yang menimpa masyarakat
miskin seperti nenek Asyani dengan pertimbangan etik, moral, sosial, kemanusiaan dan
kemanfaatan sosial.

Dalam  praktik  penegakan  hukum  atas  nenek Asyani, pendekatan yang digunakan
para penegak hukum hanya semata-mata berorientasi pada pendekatan legalistik-
positivistik; dengan hanya mengedepankan sisi peng- gunaan kekuasaan dan aturan
normatif semata, tanpa mempertimbangkan sama sekali pendekatan yuridis- sosiologis
yang berdimensi keadilan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Nampak adanya pemahaman
yang sempit dari para penegak hukum dalam penerapan hukum formal atas kasus
nenek Asyani ini. Penerapan hukum formal dipahami terbatas hanya sebagai
penerapan hukum yang bersifat prosedural semata, tanpa mempertimbangkan sisi rasa
keadilan masyarakat yang lebih bersifat substantif dan sosiologis. Pendekatan dan
penerapan hukum secara legalistik-positivistik, hanya   menghadirkan   keadilan yang
bersifat legal-formal dan prosedural yang kaku, jauh dari nilai-nilai moral dan
kemanusiaan. Sementara pendekatan yuridis-sosiologis atau sosiologi hukum akan
lebih menghadirkan keadilan yang lebih substantif yang berdasar pada basis etika,
moral dan nilai kemanusiaan masyarakat.

TAMBAHAN MATERI :

INISIASI 1
Modul 1

Pengertian Dasar Sosiologi Hukum, dan Ruang Lingkup Sosiologi dan Hukum
Mengupas hukum dan masyarakat, maka tidak lepas kita akan mengupas apa itu
hukum dan apa itu masyarakat, dan bagaimana peran masyarakat terhadap hukum,
seberapa pentingkah masyarakat dalam hukum, maka tidak lepas pembahsan kita
terhadap sosiologi hukum.

Pengertian Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum dapat dipahami sebagai spesialisasi yang mengkaji keterkaitan antara
aspek-aspek sosial dan aspek-aspek hokum, antara dinamika kehidupan sosial dan
keberadaan hukum.

Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

(1)   Pola-pola perilaku (hukum) warga masyarakat,

(2)   Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok-kelompok
sosial, dan

(3)   Hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-


perubahan sosial dan budaya

Modul 6 Hubungan antara Hukum dan Perubahan Sosial, dan Perubahan Budaya

Kegiatan Belajar 1

Pengertian, Sifat dan Dimensi Perubahan Sosial

1. Pengertian perubahan sosial

Perubhan sosial merupakan bagian dari perubahan bagian dari perubahan budaya.
Perubahan sosial meliputi perubahan dalam perbedaan usia, tingkat kelahiran dan
penurunan rasa kekluargaan antar anggota masyarakat sbagi akibat terjadinya arus
urbanisasi dan modernisasi. Perubahan kebudayaan jauh lebih luas dari perubahan
sosial. Perubahan budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan sperti kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, aturan2 hidup berorganisasi, dan filsafat. Perubahan
sosial dan perubahan budaya yang terjadi di masyarakat saling berkaitan. Tidak ada
masyarakat yg tdk memiliki kebudayaan dan sebaliknya tdk mungkin ada kebudayaan
tanpa masyarkat.

Perubahan sosial didefinisikan sebagai suatu proses yg mmperlohatkan bahwa did lm


suatu sistem sosial atau kehidupan sosial, dijumpai ada perbedaan2 yg dpt diukur, dlm
kurun waktu tertentu. Perubahan yg trjadi bisa kea rah kemajuan atau kemuduran. Yg
mgalami perubahan menegenai nilai2 sosial, norma2 sosial, pola2 prilaku, organisasi
sosial, lembaga2 sosial, sertifikasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan
dll. perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dlm unsur2 yg mmpertahankan
keseimbangan msyrkt sperti mis prubahan dlm unsure geografis, biologis, ekonomis
dan kebudayaan.

Perubahan sosial adlh perubahan dalam struktur sosial dn dlm pola2 hubungan sosial,
yg antara lain mncakup sistem status, hubungan2 dlm kluarga, sistem2 politik dan
kekuatan, dan persebaran penduduk. Perubahan kebudayaan adlh perubahan yg
terjadi dlm sistem ide yg dimiliki bersama olh para warga atau oleh sejumlah warga
msyrkt yg bersangkutan, yg antara lain mncakup, aturan2 atau norma2 yg digunakan
sebagi pegangan dlm kehidupan warga msyrkt, nilai2 teknologi, selera dan rasa
keindahan atau kesenian dan bahasa.

1. Sifat perubahan sosial

Progresif menuju kea rah yg lebih baik. Regresif menuju kea rah yg lebih buruk. Sifat
lain dari sisi gejala yg dapt diamati prosesnya, misalnya pemugaran rumah sehat, pada
saatnya akan nampak adanya rumah2 sehat yg bersirkulasi lancar. Selain itu ada juga
yg muncul secara tiba2 / latent misal banjir. Proses terjadinya perubahan sosial ada
yang bersifat evolusioner atau perlahan2, revolusioner/ terjadi dlm waktu singkat dan
bahkan ada yg radikal/ singkat bahkan drastis. Selain itu sifat perubahan sosila ada:

1. Perubahan sosial terjadi dimana saja dan di setiap lapisan msyarkt.


2. Perubahan sosial yg direncanakan dan tidak direncanakan.
3. Perubahan sosial sering menghasilkan kontroversi, atau perubahan yg terjadi
dlm suatu bidang akan slalu memunculkan bantahan dan konflik dgn pihak lain.
4. Bbrapa perubahan memiliki nilai kepentingan lainnya.

1. Factor yang mndorong terjadinya perubahan sosial: ketidak puasan thdp ssuatu
yg ada, sehingga timbul keinginan utk mencari atau menciptakan situasi baru yg
lebih baik, timbulnya ketimpangan antara hal2 yg skrg ada dan yg seharusnya
ada di msyrkt, timbul tekanan dari luar yg mengharuskan individu atau msyrkt utk
menyesuaikan diri dgn msyrkt.
2. Factor penghambat perubahan sosial budaya: kurangnya hubungan thdp msyrkt
lain. Cth msyrkt suku pedalaman, pendidikan yg terbelakang, msyrkt brsikap
tradisonal, memprtahnkan tradisi penguasa yg konservatif, adanya kepentingan
yg tertanam dgn kuat sekali pd sklompok orang. Cth kmpok yg sudah mapan
takut akan peruabahn krna takut hidup susah, ketakukan adanya disintegrasi,
persangka buruk thdp unsure budaya asing, hambatan ideologis. Cth perubahan
dianggap bertntgan dgn ajaran agama.
1. Macam2 proses perubahan sosial budaya
2. Akulturasi: proses pertemuan unsur2 dari berbagai kebudayaan yg ada
dan diikuti dgn percampuran unsur2 trsbt. Mis: proses percampuran dua
budaya atau lebih yg saling bertemu dan saling mempengaruhi.
3. Asimilasi: suatu penyesuaian atau peleburan sifat2 asli yg dimiliki olh
suatu masyrkt dgn latar belakang budaya yg berbeda2.
4. Difusi: proses penyebaran atau perembesan suatu unsur budaya kpd
orang lain dan suatu kelompok msyrkt ked lm msyrkt lainnya , disfusi ada
dua, ytu: primer (penyebarluasan unsur2 kebudayaan baru dlm msyrkt
asal kebudayaan tsb). Sekunder adlh (proses penyebarluasan unsur2
kbudayaan suatu msyrkt ked lm msyrkt lain).
5. Discovery: mmpunyai makna penemuan suatu yg sbenarnya sesuatu itu
telah ada sebelumnya, ttpi blm diketahui.
6. Invention: penemuan yg benar2 baru sebagai hasil kegiatan manusia,
sedangkan invent yg dlm kamus didefinisikan sbagai menciptakan
sesuatu yg baru yg tdk pernah ada sblumnya. Cth invention adlh
penemuan Thomas Alva Edison (1847-1931), yaitu penemuan perekam
suara elektronik, penyempurnaan mesin telegram yg secara otomatis
mencetak huruf mesin, mesin piringan hitam, dan pengembangan bola
lampu pijar.
7. Inovasi/perubahan yg direncanakan.
8. Modernisasi: artinya baru, terbaru cara baru atau mutakhir, sikap dan cara
berpikir serta bertindak sesuai dgn tuntunan zaman, dapat juga diartikan
maju, baik.
1. Dimensi perubahan sosial
2. Structural: perubahan2 itu menyangkut masalah komposisi posisi
para warga masyarkat, baik dlm dimensi horizontal (perpindahan
penduduk dari satu tpt ke tpt lain/ warga msyrkt dari satu kpok ke
klpok lain), vertical (perpindahan strata sosial) maupun diagonal
(vertical dan horizontal bersama, mis: perpindahan seseorang ke
mota karena naik pangkat).
3. Cultural: budaya material maupun immaterial, baik pola perilaku
maupun arti hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Mis: dulu belanja
di pasar tradisional kini di mall.

KEGIATAN BELAJAR 2 HUKUM, PERUBAHAN STRUKTUR, dan Perubahan Budaya

1. A.    Hukum dan Perubahan Struktur Sosial Dimensi Horizontal


2. Kategori sosial: sejumlah orang yg dipandang sbgai satuan sosial yg memiliki
satu cirri atau lebih yg sama. Yg akan menjadi unsure pembeda bagi kategori
sosial yg lain. Cirri berwujud fisik meliputi warna kulit, tinggi badan, berat badan,
bentuk rambut, bentuk mata dll. selanjutnya cirri sosial berkaitan dgn pola
perilaku, fungsi maupun peran dari para aggota msyrkt dlm kehidupan sosial.
Fungsi dan tugas yg berkaitan dgn pekerjaan atau profesi para anggota msyrkt,
termasuk mata pencaharian atau okupasi. Mis: ketika melihat orang kulit hitam
pakai koteka maka kita tau org tsb berasal dari tanah papua.
3. Kelompok sosial:
1. Definisi kelompok sosial: himpunan atau kesatuan2 manusia yg hidup
bersama, oleh karena adanya hbungan timbale balik yg saling
mmpengaruhi dan juga suatu kesadaran utk saling mendorong  antara
mereka. Syarat kelompok sosial:
1. Setiap anggota kelompok tsb harus sadar bahwa dia merupakan
sebagian dari kelompok yg brsangkutan.
2. Ada hubungan timbale balik antara anggota yg satu dgn anggota
lainnya.
3. Terdapat factor yg dimiliki bersama olh anggota2 klpok itu,
sehingga hubungan antara mereka bertambah erat.

Syarat2 kelompok sosial:

1. Setiap anggota tersbut harus sadar bahwa dia merupakan sebagain dari
kelompok yg bersangkutan.
2. Ada hubungan timbale balik antara anggota yg satu dgn yg lain.
3. Terdapat suatu factor yg dimiliki bersama oleh anggota2 kelompok itu, sehingga
hbungan antara mereka bertambah erat. Factor dpt berupa kepentingn yg sama.
4. Berstruktur, berkaidah dan mmpunyai pola perilaku.
5. Kelompok2 sosial yg teratur:
1. In group dan out group: in group mrpkn kelompok sosial yg dijadikan
tempat olh individu2nya utk mengidentifikasi dirinya. Out group: lawan in
group.
2. Kelompok primer dan sekunder: kelompok sosial yg paling sederhana, di
mana antara anggotanya di tandai dngnciri2 saling mengenal dan ada
kerja sama yg erat dan bersifat pribadi dan iteraksi sosial dilakukan
secara ttap muka. Adgkan klompok sekuner mrpk kelompok sosial yg
terdiri dai banyak org, antara siapa hubungannya tdk prlu brdasarkan
pengenalan pribadi dan sifatnya tdk begitu langeng.
3. Paguyuban (bentuk2 kehidupan dimana anggota2 di ikat olh hbugan batin
yg murni, ilmiah an kekal) dan patembayan (ikatan lahir batin yg bersifat
pokok utk jangka waktu tertentu (jangka pendek) atau bersifat kontraktual.
4. Formal group: klompok yg mmpunyai praturan tegas dan sengaja
diciptakan olg angota2nya utk mengatur hub antar sesamanya.
5. Informal group: tdk mmpuyai struktur dan organisasi tertentu atau yg pasti.
6. Membership group dan reference group: membership (tercatat sebagai
anggota) reference (acuan bagi bukan anggota utk mengembangkan
keperibadianya).
7. Kelompok okupasional.
8. Kelompok volunteer: kelompok mempuayi kepentingan sama ttpi tdk ada
prhatian msrkt.
9. Kelompok sosial yg tidak teratur

Kerumunan (individu berkumpul secara bersama serta kebetulan di suatu tempat dan
juga pada waktu yg bersamaan. Bentuk kerumunan: berartikulasi dengan struktur
sosial, smentara, berlawanan dgn norma hukum.

1. 3.   Kerumunan sosial

Sejumlah orang  yg berada pd tmpat yg sama, ada kalanya tdk saling mengenal, dan
sejumlah oran ini biasanya memiliki sifat yg peka atau sensitif terhadap stimulus yg
datang dari luar. Misalnya: sejumlah orang yg sedang berada di pingir jalan, apakah
sedang menanti angkutan umum, berteduh, atau orang yg sedang melihat sebuah
peristiwa kecelakaan. Sifat pekanya ketika ada kendaraan yg lewat dan debunya
berhamburan maka otomatis semua orang akan mengumpat orang itu. Kelompok sosial
dapat diartikan sebagai sejumlah org yg saling berinteraksi dgn peran dan tujuan yg
jelas dan memiliki seorang pemimpin. Contoh kelompok pemain music.

1. 4.   Lembaga-lembaga sosial

Sebagai institutes lembaga2 sosial dpt diartikan sbagai suatu wadah atau tpt dari
sejumlah individu utk berinteraksi. Institutions, lembaga2 sosial diartikan sbagai:

1. Sistem norma, tata kelakuan dan peralatan serta manusia yg melakukan.


2. Cara yg terorganisasi utk melakukan sesuatu.
3. Pola yg sudah pasti utk melakukan sesuatu.

Misal tata cara bertamu.

1. Hukum dan Perubahan Sosial Vertikal


2. Pengertian stratifikasi sosial atau lapisan2 sosial

Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yg melihat bagaimana


anggota msrakat dibedakan berdasarkan status yg dimilikinya. Status yg dimiliki olh
setiap anggota msyrkt ada yg didapat dengan suatu usaha dan ada yg di dapat tanpa
suatu usaha. Lapisan sosial diartikan sebagai penggolongan di dalam suatu sistem
sosial tertntu ke dalam bentuk lain, dan biasanya dilengkapi juga dengan tugas pokok
dan fungsi masing2.

Pitirin A. Sorokin stratifikasi sebagai pembeda penduduk atau anggota msyrkt ked lm
kelas2 hierarkis. Factor yg menyebabakan stratifikasi sosial dpt tumbuh dengan
sendirinya adalah kepandaian, usia, sistem kekerabatan, dan harta dalam batas2
tertentu.

1. Jenis2 mobilitas sosial

Mrupakan perubahan status individu atau kelompok dlm statifikasi sosial. Mobilitas
dapat terbagi ke dalam:

1. Mobilitas sosial horizontal: struktur sosial yg mobilitas horizontalnya lentur atau


dinamis adalah perpindahan penduduk. Ketika mulai banyak anggota msyrkt yg
pindah telah mengalami serangkaian aturan main. Misal keharusan memiliki
kartu pemukiman smentara atau keterangan mutasi.
2. Mobilitas sosial vertical . cth kenaikan pangkat. Maka harus mngikuti peraturan
yg berlaku.

Berkaitan dengan mobilitas ini maka stratifikasi sosial memiliki dua sifat, ytu terbuka
(kemungkinan terjadinya mobilitas sosial cukup besar) tertutup (kemungkinan terjadinya
mobilitas sosial sangat kecil).

1. Faktor2 yg mempengaruhi mobilitas sosial


1. Perubahan kondisi sosial status sosial: setiap manusia dilahirkan dlm
staus sosial yg dimiliki olh orang tuanya. Bila anaknya ingin mncari status
yg lebih tinggi anaknya dapat berusaha untuk mengubah status yg
dimilikinya.
2. Ekspansi territorial dan gerak populasi: pertambahan penduduk yg pesat
akan berdampak pd kehidupan masyarkat penganguran bertambah,
pemukiman padat kondisi ini dapat mengubah status dan staratifikasi
sosial dlm msyrkt, ada yg naik ada jatuh.
3. Komunikasi yg bebas: memudarkan semua batas garis dari starata sosial
uang adadan merangsang mobilitas sekaligus menerobos rintangan yg
menghalang.
4. Pembagian kerja: jika pembagian kerja tinggi dan sangat dispesialkan
maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang untuk
bergerak dari satu strata ke setrata yg lain karena spesialiasi pekerjaan
membutuhkan keterampilan khusus. Kondisi ini memacu anggota msyrkt
utk lebih kuat berusaha agar dpt menempati status tsb.
5. C.    Hukum dan perubahan budaya

Manusia dinyatakan sebagai mahluk yg memiliki budaya, baik budaya dalam arti pola
perilaku, maupun budaya dalam arti material:

1. Hukum dan perubahan pola perilaku: cepat atau lambat, kehidupan manusia
akan berproses dlam lima tahap: tahap berburu dan menagkap ikan, tahap
menetap, tahap bercocok tanam, tahap kerajinan tangan, tahap industri. Dalam
menjalani kehidupan masyarakat kadangkala melhirkan konflik, agar konflik itu
dapat di hindari maka perubahan budaya dalam dimensi pola perilaku, pada
saatnya ternyata memerlukan perangkat hukum untuk mengaturnya.

Perubahan pola perilaku dapat menyangkut: sistem peralatan dan perlengkapan hidup,
sistem mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem kesenian, sistem religi,
sistem bahasa, sistem pengetahuan. Contoh perubahan yg memerlukan aturan
penggunaan sepeda motor telah membuat munculnya serangkaian peraturan
penggunaan helm standard an kelengkapan spion.

1. Hukum dan perubahan kebudayaan material: dlm proses perkembangannya,


ternyata perubahan dan atau perkembangan sistem peralatan dan perlengkapan
hidup ini telah melahirkan serangkaian hasil  cipt, rasa dan karsa, yang berujud
hasil budaya material, seperti prasarana2 komunikasi dan atau informasi tsb,
semakin lama semakin nyata melahirkan kebutuhan atas produk hukum. Misal:
karena banyak penumpang yg tidak sama dengan daftar dengan nama orang yg
mau naik pewawat karena mereka membeli dgn calo tiket. Maka dibuat
peraturan bagi para penumpang wajib menunjukkan kartu identitas pd saar
melakukan check in dan atau pada saat mau boarding di bandara.

OER : 

Play Video
 Pertemuan 1
Hukum dan Masyarakat Modul 1

PENGERTIAN DASAR SOSIOLOGI HUKUM, RUANG LINGKUP, DAN ASPEK-ASPEK


HUKUM

A. Pengertian sosiologi, hukum, dan sosiologi hukum


B. Ruang lingkup sosiologi hukum.
C. Aspek-aspek bidang hukum yang penting bagi pengembangan pengertian
pengertian sosiologi terhadap gejala hukum.
D. Kedudukan sosiologi hukum dalam ilmu-ilmu sosial.
E. Kedudukan sosiologi hukum dalam sosiologi.

KB 1 Pengertian Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum

Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari jaringan hubungan antara


manusia, baik manusia dianggap sebagai mahluk individu maupun sekaligus sebagai
mahluk sosial atau anggotanya.

Hukum merupakan gambaran suatu usaha manusia untuk meweujudkan cita keadilan
dalam suatu lingkungan sosial tertentu yaitu perdamaian pendahuluan dan yang pada
hakikatnya tidak tetap dari nilai rohani yang saling bertentangan, yang terwujud dalam
suatu struktur sosial.

Sosiologi hukum merupakan salah satu spesialisasi dan sosiologi yang berusaha
dinamika kehidupan sosial dan keberadaan hukum.

KB 2

Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Pertama sampai sejauh mana hukum membentuk pola-pola perilaku, atau sebaliknya
pola-pola kekuatan macam apa yang membentuk hukum. Kedua, kekuatan-kekuatan
apa yang dapat membentuk, menyebar luaskan atau bahkan merusak pola-pola
perilaku yang bersifat yuridis. Ketiga, hbungan timbal balik antara perubahan-perbahan
dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial budaya.

KB 3 Aspek-aspek Bidang Hukum, yang Penting bagi Pengembangan Pengertian


Sosiologi terhadap Gejala Hukum

A.Versi Soerjono Soekanto

Peranan hukum sebagai alat pengubah masyarakat, sangat berkaitan dengan aspek-
aspek:

1. Pengadilan. dalam putusan hakim tidak bisa dilakukan sendiri, tanpa ilmu lain seperti
sosiologi, ilmu politik, psikologi, ekonomi dan atropologi.

2.         Tertinggalnya hukum di belakang perubahan-perubahan sosial dalam


masyarakat.

3.         Disfusi hukum dan pelembagaan.

4.         Hubungan antara penegakan atau pelaksana hukum.

5.         Masalah keadilan.

B.Versi R. Otje Salman

1.         Cara pandang terhadap ilmu hukum. Ilmu hukum yang dilakukan secara
normatif, pada tingkat tertentu sudah tidak cocok lagi. Desakan untuk menentukan
secara sistematis tentang bagaimana hubungan antara sistem hukum dengan
kenyataan sosial semakin terasa di saat kenyataannya menunjukkan betapa hukum
tersebut semakin memegan peranan sebagai kerangka kehidupan sosial masyarakat
modern.

2.         Hukum sebagai faktor integrasi. Kehidupan manusia mengalami perubahan


maka agar terjaga integritas manusia diperlukan hukum.

3.         Sosiologi hukum dan perkembangannya. Perkembangan sosiologi hukum


didasarkan  pada suatu anggapan bahwa proses hukum berlangsung di dalam

Suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya hukum hanya
dapat dimengerti dengan memahami sistem sosial terlebih dahulu hukum merupakan
suatu proses.

4.         Kesadaran hukum. Dikaitkan dengan efektivitas hukum. Ditentukan oleh faktor
hukum, penegak hukum, fasilitas, kesadaran masyarakat dan budaya hukum.

5.         Peranan kesadaran hukum dalam pembentukan hukum. Kesadaran akan


perlunya hukum yang baru dan sesuai dengan masyarakat sangat besar berperan bagi
kehidupan hukum serta ketentraman masyarakat.

6.         Peranan hukum dalam perubahan sosial. Sebagai atisipasi kemungkinan buruk
perubahan sosial agar manusia tidak lupa diri.

Pertemuan 2

Hukum dan Masyarakat

Modul 2

KEUDUKAN SOSIOLOGI HUKUM DALAM ILMU-ILMU SOSIAL

KB 1 Keudukan Sosiologi Hukum dalam Ilmu-ilmu Sosial

A.        Gambaran sejumlah ilmu pengetahuan sosial.

1.         Ilmu ekonomi. Sosiologi hukum sebagai ilmu yang menjembatani mengenai apa
yang seharusnya dilakukan dan mengenai apa yang senyatanya terjadi, menjadi sangat
besar perannya. Ilmu ekonomi yang kegiatan studi dan penelitiannya tidak akan lepas
dari kehidupan masyarakat.

2.         Kedudukan dan fugsi bagi ilmu politik. sosiologi hukum berperan besar untuk 
menghindari ketegangan diantara masyarakat.
3.         Sejarah. benda-benda peninggalan sejarah itu juga memiliki makna dan
manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, maka keberadaanya perlu dilindungi oleh
hukum.

4.        Geografi. perlunya serangkaian kaidah hidup yang dapat befungsi untuk
menjaga kelestarian lingkungan alam.

5.         Psikologi. perlindungan hukum bagi orang yang mengalami ganguan jiwa atas
perilaku orang lain, tentunya mulai dipikirkan.

6.         Antropologi. antropologi sosial, yang mempelajari prinsip-prinsip persamaan di


belakang aneka ragam kebudayaan dan masyarakat dan kelompok masyarakat di
muka bumi.

7.         Pekerja Sosial. Sebagai ilmu terapan maka segala bentuk upaya yang berfungsi
untuk pengembangan disiplin ilmu ini, seperti sosiologi sangat diperlukan.

KB 2 Kedudukan Sosiologi Hukum dalam Sosiologi

A.        Kecenderungan mendasar manusia dan urgensi keberadaan norma hukum.


Makin tepat norma hukum bagi masyarakat setempat,maka makin efektiflah daya guna
norma tersebut dalam rangka mengendalikan kehidupan sosial ke arah yang baik
sesuai dengan tujuan dan hakikat hidup bermasyarakat.

B.        Norma hukum dan norma sosial lain. Norma hukum hidup berdampingan
dengan kaidah agama, kesusilaan, dll yang saling menutupi kekurangan satu sama lain.
Dengan tujuan tertib, teratur, tenteram dan seimbang.

C.        Kedudukan sosiologi hukum dan sosiologi. Hanya dengan sosiologi saja,
pembahasan mengenai asek hukum akan menjadi sangat kurang dan kering, karena
Ilmu ini

Memiliki cakupan mengenai kehidupan manusia yang sangat luas, sementara


sebaliknya jika hanya norma sosial dipelajari oleh bidang hukum saja, maka tingkat
ketepatgunaannya akan sangat rendah, dan bahkan lebih menekankan pada das sollen
bukan das sein. Sosiologi merupakan genusnya, sementara sosiologi hukum
merupakan speciesnya. Kedua-duanya memiliki fungsi saling mengisi.

Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Sosiologi Hukum, Ruang Lingkup, dan Kegunaannya: Beberapa Kutipan


Oleh A.P. Edi Atmaja

MENGAPA sosiologi menempati kedudukan penting dalam kajian ilmu hukum di dunia,
terutama di Indonesia? Karena, seperti dikatakan Roscoe Pound, sosiologi bisa
memperjelas pengertian “hukum” dan segala sesuatu yang berdiri di belakang gejala-
gejala ketertiban umum, yang dapat diamati oleh ahli hukum.

Kemajuan terpenting dalam ilmu hukum modern, demikian Roscoe Pound, adalah
perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional menuntut supaya hakim,
ahli hukum, dan pengacara mengingat adanya hubungan antara hukum dan kenyataan
sosial yang hidup.

Sementara itu, menurut Esmi Warassih, antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu hukum
mempunyai hubungan yang saling melengkapi dan memengaruhi. Perbedaan fungsi
antara keduanya boleh dikata hanya bersifat marjinal.

Sebagai cabang sosiologi yang terpenting, sosiologi hukum masih dicari


perumusannya. Kendati selama puluhan terakhir semakin mendapat perhatian dan
aktual, sosiologi hukum belum memiliki batas-batas tertentu yang jelas. Ahli-ahlinya
belum menemukan kesepakatan mengenai pokok persoalannya, atau masalah yang
dipecahkannya, serta hubungannya dengan cabang ilmu hukum lainnya.

Terdapat pertentangan antara ahli sosiologi dan ahli hukum mengenai keabsahan
sosiologi hukum. Ahli hukum memerhatikan masalah quid juris, sementara ahli sosiologi
bertugas menguraikan quid facti: mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan
hubungan-hubungan. Sosiologi hukum dipandang oleh ahli hukum dapat
menghancurkan semua hukum sebagai norma, asas yang mengatur fakta-fakta,
sebagai suatu penilaian. Para ahli khawatir, kehadiran sosiologi hukum dapat
menghidupkan kembali penilaian baik-buruk (value judgement) dalam penyelidikan
fakta sosial.

Terdapat perbedaan antara sosiologi hukum yang dikenal di Eropa dan ilmu hukum
sosiologis yang dikenal di Amerika Serikat. Sosiologi hukum memusatkan penyelidikan
di lapangan sosiologi dengan membahas hubungan antargejala kehidupan kelompok
dengan “hukum”. Sementara itu, ilmu hukum sosiologis menyelidiki ilmu hukum serta
hubungannya dengan cara menyesuaikan hubungan dan tertib tingkah-laku dalam
kehidupan kelompok.

Memang, sebagaimana dikatakan Soerjono Soekanto, untuk mengetahui hukum yang


berlaku, sebaiknya seseorang menganalisis gejala-gejala hukum dalam masyarakat
secara langsung: meneliti proses-proses peradilan, konsepsi-konsepsi hukum yang
berlaku dalam masyarakat (semisal tentang keadilan), efektivitas hukum sebagai
sarana pengendalian sosial, serta hubungan antara hukum dan perubahan-perubahan
sosial.[7] Perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta
pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang menghendaki
pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu.

Sosiologi hukum berkembang atas suatu anggapan dasar bahwa proses hukum
berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat.[9]
O.W. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kehidupan hukum
tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman.

Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi (1) pola-pola
perilaku (hukum) warga masyarakat, (2) hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan
dan wujud dari kelompok-kelompok sosial, dan (3) hubungan timbal-balik antara
perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan sosial dan budaya.

Sosiologi hukum memiliki kegunaan yang bermacam-macam. Pertama, sosiologi


hukum mampu memberi penjelasan tentang satu dasar terbaik untuk lebih mengerti
Undang-undang ahli hukum ketimbang hukum alam, yang kini tak lagi diberi tempat,
tetapi tempat kosong yang ditinggalkannya perlu diisi kembali.[12] Kedua, sosiologi
hukum mampu menjawab mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia
gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang
memengaruhinya.

Ketiga, sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman


terhadap hukum di dalam konteks sosial. Keempat, sosiologi hukum memberikan
kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam
masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah
masyarakat, maupun sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-
keadaan sosial tertentu. Kelima, sosiologi hukum memberikan kemungkinan dan
kemampuan-kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di
dalam masyarakat.

[1] Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2004), hal. 1.
[2] Ibid., hal. 10.
[3] Esmi Warassih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru
Utama, 2005), hal. 2.
[4] Alvin S. Johnson, op. cit., hal. 9.
[5] Loc. cit.
[6] Ibid., hal. 10.
[7] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1980), hal. 4.
[8] Esmi Warassih, op. cit., hal. 3.
[9] Soerjono Soekanto, loc. cit.
[10] Alvin S. Johnson, op. cit., hal. 11.
[11] Soerjono Soekanto, op. cit., hal 10-11.
[12] Alvin S. Johnson, op. cit., hal. 3.
[13] Soerjono Soekanto, loc. cit.
[14] Ibid., hal. 22.
 

Sering sekali terjadi pelanggaran hukum namun kita sebagai warga negara hampir tidak
berdaya dan berdiam diri mengetahui kejadian tersebut. Bahkan Polisi juga sering
melakukan pembiaran. Keadaan pembiaran ini berakibat munculnya MAFIA HUKUM.
Menurut Anda Mengapa Hal ini terjadi. Silahkan untuk menggunakan teori Sosiologi
untuk menjelaskan fenomena ini.

Jawaban diskusi 2 :

mafia hukum

karena banyak orang yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas

Penjelasan:

Mafia Hukum Adalah Orang Yang Bersalah Dalam Suatu Kelompok Yang Membuat
Terjadinya Kerusakan Mafia.

Keterkaitan Mafia Hukum; Realitas Penegakan Hukum di Indonesia

Di era globalisasi ini penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam tentang penegakan
suata negara, terutama yang berkaitan dengan keadaan dan situasi penegakan hukum
di negara kita yaitu negara Indonesia. Hal ini penting bagi kita karena erat hubungannya
dengan apa yang kita saksikan dalam realita kehidupan masyarakat saat ini. Terkadang
masih banyak orang yang salah mengartikan dan belum banyak mengerti tentang
keadaan sistem hukum di Indonesia, sehingga kita sebagai masyarakat kadang pasrah
saja menerima hukuman dari kesalahan, terkadang hal tersebut dialami suatu
perusahaan karena lemahnya pengetahuan sebagian masyarakat akan pengetahuan
tentang proses hukum dan sanksi-sanksi yang diberikan kepada para pelaku yang
berlaku di negara Indonesia. Banyak kasus hukum yang di selesaikan secara tidak adil,
dimana para penegak hukum memiliki peran ganda sebagai mafia hukum secara tidak
kasat mata.

Para mafia hukum inilah yang memporak-porandakan sistem hukum yang berlaku di
tanah air kita. Gencarnya aksi mafia hukum tersebut disambut kritik dan protes yang
tajam dari masyarakat sendiri, namun tak ayal, jarang yang sanggup untuk
menghentikan mereka.Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di
Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat
yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang
memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.

Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh
lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak
bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama
yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan
dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang
paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di
Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya
berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga
meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari
penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana
dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga
pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan
dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.

Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang
carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di
televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang
menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga
maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
 

Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata.
Namun tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media
masa sungguh tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia
(LSI) menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan
penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan
sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa
rendahnya wibawa hukum di mata publik.

Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai


kewajiban hakim dalam menemukan hukum serta ingin memaparkan ketidakpuasan
masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Secara umum, undang-undang dibuat oleh pembentuk undang-undang untuk


melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan dan ditegakkan. Akan
tetapi, perlu diingat bahwa kegiatan dalam kehidupan manusia itu sangat luas, tidak
terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu peraturan
perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karena itu tidak ada peraturan
perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga
tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan
jelas sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak  jelas, maka harus
dicari dan diketemukan.

Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, lazimnya diartikan sebagai proses


pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkret atau
merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein) tertentu. Pada pokoknya,
penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim berawal dari peristiwa hukum konkret
yang dihadapkan kepada hakim untuk diputuskan, sehingga sudah seharusnya putusan
hakim memenuhi dimensi keadilan, kepastian hukum dan juga kemanfaatan.

Teori hukum tradisional mengajarkan bahwa hukum merupakan seperangkat aturan


dan prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan
kebebasannya. Hukum haruslah netral dan dapat diterapkan pada siapa saja secara
adil, tanpa memandang kekayaan, ras, gender ataupun hartanya. Hukum harus
dipisahkan dari politik, penerapan hukum di pengadilan pun harus dilakukan secara
adil. Akan tetapi, sebenarnya hal tersebut tidaklah dapat dilaksanakan secara
konsekuen dalam penerapannya, karena menurut teoretisi potsmodern, hukum tidak
mempunyai dasar objektif dan tidak ada kebenaran sebagai tempat berpijak hukum,
yang ada hanyalah kekuasaan semata yang menjadi alat kekuasaan bagi penguasa.

Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah benar atau salah, bermoral atau tidak
bermoral, melainkan hukum merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh
kelompok masyarakat yang paling berkuasa. Hukum harus ditafsirkan yang nyatanya
akan ditafsirkan menurut keinginan yang menafsirkannya, dan penafsir akan
menafsirkan sesuai dengan perasaan dan kepentingannya sendiri, sehingga yang
namanya keadilan hanya merupakan semboyan retorika yang digunakan oleh kelompok
mayoritas untuk menjelaskan apa yang mereka inginkan, dan keinginan pihak minoritas
tidak pernah menjadi hasil penafsiran hukum dan akan selalu menjadi bulan-bulanan
hukum.

Fakta didepan mata, penegakan hukum di Indonesia masih carut marut, dan hal ini
sudah diketahui dan diakui bukan saja oleh orang-orang yang sehari-harinya
berkecimpung dibidang hukum, tetapi juga oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
dan juga komunitas masyarakat Internasional. Bahkan banyak pendapat menyatakan
bahwa penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia sudah sampai pada titik nadir.
Proses penegakan hukum acapkali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan
hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, padahal seharusnya
penegakan hukum merupakan ujung tombak terciptanya tatanan hukum yang baik
dalam masyarakat.

Salah satu sebab mengapa Indonesia sulit keluar dari krisis ekonomi sejak tahun 1998,
dibandingkan negara lainnya yang terkena imbas krisis tersebut, adalah dikarenakan
penegakan hukum di Indonesia terbilang sangat buruk. Bangsa Indonesia belum
berhasil mengangkat hukum sampai pada taraf mendekati ideal, tetapi malah makin
menimbulkan kekecewaan yang mendalam, khususnya yang berkaitan dengan
pemberantasan korupsi yang kian merajalela.

Salah satu faktor penyebab sulitnya memberantas korupsi di Indonesia adalah karena
tidak konsistennya law enforcement yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
yang masih menganut paradigma legalistik, formalistik, dan prosedural belaka dalam
melaksanakan hukum, dan dalam pandangan kaum legalistik normatif, seseorang
barulah dianggap bersalah apabila sudah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht).

Inti dari keterpurukan maupun kemunduran hukum itu adalah bahwa kejujuran, empati
dan dedikasi dalam menjalankan hukum menjadi sesuatu yang makin langka dan
mahal. Hampir dimana-mana dapat dijumpai kerendahan budi yang makin merajalela,
yang semakin menyengsarakan masyarakat banyak.

Apabila dilihat aspek bahasa, mafia hukum terdiri akar kata mafia dan hukum. Mafia
berasal dari bahasa Sisiliakuno, Mafiusu, yang diduga mengambil kata Arab “mahyusu”
yang artinya tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah revolusi pada 1848, keadaan
pulau Sisilia kacau sehingga mereka perlu membentuk ikatan suci yang melindungi
mereka dari serangan bangsa lain dalam hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai
terkenal setelah sandiwara dimainkan pada1863 dengan judul mafusi de la Vicaria
“Cantiknya rakyat Vicaria”, yang menceritakan tentang kehidupan pada gang penjahat
di penjara Palermo.

Dari beberapa sumber ada dua bentuk pengertian dari mafia hukum ini, yaitu
penyebutan mafia hukum dan mafia peradilan.Pertama, Mafia Hukum disini lebih
dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-Undang oleh Pembuat undang-
undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada
kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di
Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu
ajaran keputusan politik yang menyangkut kebijakan politik, namun nuansa politis di sini
tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang
bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka
panjang.

Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 tahun 1997


yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 oktober 2002 (berdasarkan

Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28
tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut
telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No. 25 tahun 1997. Kedua, Mafia
Peradilan di sini dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para
Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi
suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.

 
Bentuk-bentuk mafia peradilan, misalnya makelar kasus, suap menyuap, pemerasan,
mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan
sebagainya. Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaanya. Jika bisa dibuktikan
berarti bukan “mafia” namun kejahatan biasa. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia,
mafia adalah suatu organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang
melakukan tindak kejahatan terorganisasi sehingga kegiatan mereka sangat sulit
dilacak secara hukum. Ada pengertian lain dari mafia hukum ini. Istilah mafia disini
menunjuk pada adanya “suasana” yang sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan,
kebijaksanaan maupun keputusan tertentu akan terlihat secara kasat mata sebagai
suatu yang berjalan sesuai dengan hukum padahal sebetulnya “tidak”. Dengan kata lain
mafia peradilan ini tidak akan terlihat karena mereka bisa berlindung dibalik penegakan
dan pelayanan hukum. Masyarakat menjadi sulit untuk mengenali mana penegak
hukum yang jujur dan tidak terpengaruh oleh mafia dengan para penegak hukum yang
sudah terkontaminasi.

Mafia Peradilan dalam perkara pidana mencakup semua proses pidana sejak
pemeriksaan di kepolisian, penututan di kejaksaan, pemeriksaan di semua tingkat
peradilan, sejak pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Misalnya perihal
Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) di tingkat kepolisian maupun
kejaksaan.

SP3 ini tidak mungkin bisa diterbitkan gratis. Pasti ada harganya. Harganya bisa dalam
rupiah maupun keuntungan politis tertentu. Hak penyidik, penuntut umum atau hakim
untuk menahan atau tidak menahan seseorang tersangka atau terdakwa adalah
wilayah paling rawan terjadinya transaksi yang sifatnya moniter. Hukum acara yang
mendasari wewenang untuk menahan memang lemah. Hanya atas dasar kekhawatiran
maka para penegak hukum ini dengan mudah dapat melakukan penahanan terhadap
tersangka.

Rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah bukti bahwa


ternyata mafia itu ada. Makelar itu punya akses VIP ke orang-orang VVIP di puncak-
puncak badan penegak hukum. Mafia itu kuatdan bisa bahkan menjebloskan orang,
memerangkap orang, dan mengatur berbagai kesaksian agar bisa dipercepat dan
dieksekusi badan penwgak hukum. Rekaman selama beberapa jam itu membeberkan
misteri yang selama ini hanya diketahui sepotong-sepotong dan tidak ada bukti yang
jelas. Jika diungkapkan ke publik pun akan dikenai pasal pencemaran nama baik.
Mereka adalah korps tidak terlihat, tangan-tangan yang mengatur semua perkara apa
yang bisa diselesaikan sesuai permintaan. Busyro Muqoddas membeberkan modus
operandi dari mafia hukum ini. Menurutnya, ada empat modus operandi mafia peradilan
di Indonesia.
 

Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. “Kalau
ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu”. Modus kedua,
adalah manipulasi fakta hukum. “Hakim sengaja tidak memberi penilaian terhadap
suatu fakta atau sutu bukti tertentu sehingga putusannya ringan atau bebas”.  Modus
ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai
dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencariperaturan
hukum sendiri sehingga fakkta-fakta hukum ditafsirkan berbeda.Modus keempat,
adalah pencaria peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan
jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. “Dibuat agar
terdakwamelakukan hal tersebut atas perintah atasan sehingga terdakwa dibebaskan”.

Selain itu, terdapat bentuk-bentuk dan modus operansi dari mafia hukum mulai dari
kepolisian hingga di Lembaga pemasyarakatan;

Tahap Penyelidikan (Di Kepolisian) Permintaan uang jasa. Laporan ditindak lanjuti
setelah menyerahkan uang jasa, penggelapan perkara, penanganan perkara dihentikan
setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang pada polisi.

Tahap Penyidikan (Di Kepolisian) Negosiasi perkara, tawar menawar pasal yang
dikenakan terhadap tersangka dengan uang yang berbeda-beda, menunda surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan, pemerasan oleh Polisi,
tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan menyerahkan uang,
mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai, pengaturan ruang Tahanan,
penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar menawar.

Pemerasan (Di Kejaksaan) Penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai,


Surat panggilan sengaja tanpa status “saksi” atau “tersangka”, pada ujung agar
statusnya tidak menjadi “tersangka”.

Negosiasi Status. Perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat tawar-
menawar.

Pelepasan Tersangka. Melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau


sengaja membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa di vonis
bebas

Penggelapan Perkara. Berkas perkara dapat dihentikan jika memberikan sejumlah


uang.

Negosiasi Perkara. Proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar keluarga
tersangka menghubungi jaksa. Dapat melibatkan Calo, antara lain dari kejaksaan, anak
pejabat, pengacara rekanan jaksa. Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar
menawar.

Pengurangan Tuntutan. Tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan uang.


Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan. Pasal yang disangkakan juga
dapat diperdagangkan.

Hakim sebagai sebuah jabatan yang memiliki fungsi yudikatif, pada dasarnya memiliki
dua tindakan peran. Pertama, untuk membuktikan keberadaan suatu fakta yang
dikualifikasikan sebagai delik perdata atau pidana oleh suatu norma umum yang harus
diterapkan kepada kasus tertentu. Kedua, hakim menjatuhkan suatu sanksi perdata
atau pidana yang konkret yang ditetapkan secara umum dalam norma yang harus
diterapkan. Dari kedua peran tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim merupakan
penerap dari norma hukum yang berupa peraturan perundang-undangan yang
kemudian diikuti dengan menerapkan sanksi demi tegaknya peraturan perundang-
undangan tersebut.

Pada kesejarahannya menurut van apeldoorn peranan hakim dapat dibagi kedalam 3
masa yng terdiri dari masa abad ke-19 (legisme), pada masa ajaran hukum bebas atau
ajaran menemukan hukum dengan bebas dan pada masa ini. Peranan hakim pada
masa-masa legalisme (abad ke 19) mencapai puncak kejayaannya hanya difungsikan
sebagai terompet undang-undang/corong undang-undang. Hakim pada konteks ini
diposisikan untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan
asas logikal, tanpa memperhatikan aspek-aspek lain diluar logika dan aturan hukum
tersebut. Secara operasional penerapan suatu aturan hukum dalam perkara konkret
mengikuti aturan berpikir silogisme, dimana aturan hukum diposisikan sebagai premis
mayor dan fakta konkret/kenyataan-kenyataan diperlakukan sebagai premis minor,
sehingga penentuan apakah seseorang telah melanggar hak sesorang atau seseorang
telah melakukan suatu tindak pidana sangat bergantung pada
kualifikasi-kualifikasi/unsur-unsur yang dinyatakan dalam aturan hukum tersebut
(premis mayor). Pada masa legisme ini hakim tidak mempersoalkan motif, seperti
apakah seseorang melakukan suatu tindakan pencurian dengan alasan karena lapar
atau karena alasan-alasan lainnya. Sehingga pada masa ini, hakim memiliki tugas
sebagai subsumptie-automaat karena tugasnya semata-mata terdiri atas melakukan
pencocokan (subsumptie) kedalam peraturan perundang-undangan yang sesuai untuk
hal tersebut.

Peranan hakim pada masa ajaran hukum bebas atau ajaran menemukan hukum
dengan bebas, merupakan penolakan terhadap pandangan legisme yang berkembang
pada abad ke-19. Ajaran hukum bebas ini, menyatakan tidak semua hukum terdapat di
dalam undang-undang, bahwa disamping undang-undang terdapat sumber-sumber
yang lainnya, dimana hakim dapat mengambil hukum tersebut (hukum bebas) sebagai
dasar bagi putusan. Mengenai dari manakah asal hukum bebas tersebut berasal, ajaran
ini terbagi menjadi dua. Pertama, ialah aliran hukum sosiologis dan kedua, ialah aliran
hukum kodrat.

Aliran pertama, yakni aliran hukum sosiologis digawangi oleh Hamaker yang
menyatakan hukum bebas tersebut berasal dari adat istiadat, kebiasaan dalam
masyarakat yang sifatnya lebih empirik. Sedangkan aliran hukum kodrat menunjuk
kepada hal-hal yang sifatnya kontemplatif di dalam ruang-ruang perenungan penuh ide.
Namun demikian, aliran-aliran yang datang berikutnya semakin radikal untuk
meniadakan undang-undang sebagai sumber satu-satunya yang memandang bahwa
hakim dalam memutus tidak hanya mengangap bahwa hukum bebas sebagai suplemen
untuk menutupi kekosongan hukum. Namun lebih dari itu, hukum bebas ini dapat
mengecualikan peraturan perundang-undangan tertulis dan mengadakan koreksi
apabila dianggap telah bertentangan dengan hukum. Para pendukung aliran baru ini,
memberikan hakim peran sebagai apa yang disebut dalam hukum romawi sebagai
rechter-konigschap, namun demikian pandangan ini dianggap justru akan
menghilangkan kepastian hukum sehingga banyak terjadi penolakan terhadap paham
ini.

Pada masa ini, peranan hakim lebih dititik beratkan untuk melakukan penafsiran
terhadap aturan-aturan hukum yang sudah ada, namun dengan tidak hanya
menggunakan aktivitas logika semata. Tetapi juga memperhatikan anasir-ansir di luar
hal tersebut, yakni kepatutan, keadilan, susila yang baik, itikad yang baik, dan
sebagainya. Hakim memiliki tugas untuk mengisi kekosongan hukum yang ada, dimana
hakim dalam melakukan penafsiran hukumnya tidak terlepas dari aturan hukum yang
ada. Hakim dalam pada masa ini tidak melakukan pembentukan hukum dalam arti dia
mengadakan suatu aturan hukum yang tidak ada menjadi ada. Namun hakim memutus
berdasarkan perasaan hukum dengan memperhatika kebiasaan dan pendangan-
pandangan yang berlaku di dalam masyarakat dan menyesuaikan hukum yang konkret
pada tuntutan hal-hal yang khusus.

Secara universal, jika ingin keluar dari situasi keterpurukan hukum, maka harus
membebaskan diri dari belenggu formalisme-positivisme, karena jika hanya
mengandalkan pada teori pemahaman hukum secara legalistik-positivistis yang hanya
berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka tidak akan pernah mampu untuk
menangkap hakikat akan kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
 

Usaha pembebasan dan pencerahan tersebut dapat dilakukan dengan mengubah cara
kerja yang konvensional yang selama ini diwariskan oleh mazhab hukum positif dengan
segala doktrin dan prosedurnya yang serba formal prosedural tersebut. Di situasi yang
serba extra ordinary, dimana bangsa dan negara ini masih sulit keluar dari tekanan
krisis disegala bidang kehidupan, yang mana tidak mentutup kemungkinan bangsa ini
akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam, dengan situasi ini
tidak mustahil, hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap
tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Padahal sejak awal reformasi,
hampir setiap saat lahir peraturan perundangan yang mengatur dan problematika
kehidupan negeri ini, sehingga keberadaan bangsa dalam kondisi yang hiperregulated
society. Akan tetapi dengan banyaknya peraturan perundangan itu, baik yang
menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kehidupan manusia, keteraturan (order)
tidak kunjung datang menghampiri. Malahan hukum kita saat ini tampak kewalahan
menghadapi segala macam permasalahan hukum yang terjadi, sehingga berakibat
pada bukan membaiknya kondisi penegakan hukum, akan tetapi justru memunculkan
persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya.

Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


menentukan bahwa : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini
mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila suatu peraturan perundang-undangan
belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya
sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan
untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-
undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan
penemuan hukum.

Masalah penemuan hukum dalam kaitannya dengan tugas hakim adalah muncul pada
saat hakim melakukan pemeriksaan perkara hingga saat menjatuhkan putusan. Hakim
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya memeriksa, mengadili dan kemudian
menjatuhkan putusan harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan juga
berdasarkan keyakinannya, bukan berdasarkan logika hukum semata.

Menurut Bagir Manan, rumusan undang-undang yang bersifat umum tidak pernah
menampung secara pasti setiap peristiwa hukum. Hakimlah yang berperan
menghubungkan atau menyambungkan peristiwa hukum yang konkret dengan
ketentuan hukum yang abstrak.

Secara faktual, tidak dapat ditentukan metode penemuan hukum yang bagaimanakah
yang dapat digunakan hakim dalam melakukan penemuan hukum yang sesuai dengan
karakteristik penemuan hukum yang baik, karena dalam setiap perkara atau kasus
mempunyai bentuk dan karakteristik yang berlainan atau variatif sifatnya. Sehingga
hakim akan menggunakan metode penemuan hukum yang sesuai dengan kasus yang
dihadapinya (case by case), apakah itu salah satu metode interpretasi hukum ataukah
salah satu dari metode konstruksi hukum atau hanya berupa gabungan dari beberapa
metode interpretasi hukum atau konstruksi hukum, ataukah sekaligus dari metode
interpretasi hukum dan konstruksi hukum sekaligus.

Sistem peradilan umumnya diartikan sebagai keseluruhan komponen peradilan, pihak-


pihak dalam proses peradilan, hirarki kelembagaan peradilan maupun aspek-aspek
yang bersifat prosedural yang saling berkait sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu
keadilan hukum. Untuk mewujudkan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia
peradilan adalah suatu kesukaran, terutama ketika tidak ada grand desain
pembangunan hukum sebagai acuan pokok. Bahkan upaya mewujudkan sistem
peradilan yang bersih dan dan bebas mafia peradilan akan terjebak dalam ranah
perbedaan pandangan dan paham hukum. Dalam keadaan serupa itu satu-satunya
kekuatan bagi penciptaan sistem peradilan yang bersih dan bebas mafia peradilan
bertumpu pada hakim dalam menemukan hukum.

Penemuan hukum dilakukan untuk menutupi kekurangan dari suatu peraturan


perundang-undangan dan untuk mencegah kekosongan hukum. Tugas untuk
melakukan penemuan hukum, merupakan tugas yang diemban oleh hakim di dalam
melakukan memutus perkara konkret. Hakim di dalam melakukan penafsiran terikat
oleh teks dan tidak dapat menciptakan hukum baru, hakim hanya menggali nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat, di dalam sistem hukum Indonesia,
penemuan hukum memiliki dasar yuridisnya yang terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, terutama di dalam Pasal 16 ayat
(1) dan (2) sebagai dasar hakim dapat melakukan penemuan hukum dan Pasal 28 ayat
(1) dan (2) sebagai dasar hakim dalam menemukan hukum adalah memperhatikan
aspek-aspek nilai-nilai dan keadilan di dalam masyarakat.

Mafia hukum Dalam perkembangan mafia hukum di Indonesia, ada kecenderungan


praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di lingkungan penegakan hukum
semakin leluasa dalam proses penyelidikan, penyidikan, pembuatan BAP, penyusunan
dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga keputusan hakim hampir dapat ditemui baik di
lingkungan kepengacaraan, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun lembaga
pemasyarakatan. Ironisnya, para saksi, ahli, atau akademisi yang diminta untuk
memberikan keterangan dalam persidangan bisa dipesan sesuai dengan keinginan
terdakwa. Bagai lingkaran setan (the devil circle), antara oknum satu dan lainnya saling
menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak
membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini. Apabila
sirkulasi kotor itu terus-menerus terjadi dan dipertahankan, akan selamanya pula rantai
mafia hukum sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan
atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah 'tersandera' oleh perilaku
kelamnya, susah untuk berani mengambil kebijakan tegas dan menjatuhkan sanksi
terhadap rekan kerja atau bawahannya. Busyro Muqoddas (2014) mencatat empat
faktor yang menyebabkan sistem peradilan di Indonesia menjadi terkorup. Pertama,
moralitas yang rendah dari aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, panitera,
hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar
kasus, dan aktor politik. Kedua, budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam
birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistis, tidak transparan, dan tidak ada
kekuatan kontrol dari masyarakat. Ketiga, apatisme dan ketidakpahaman masyarakat
tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut.
Keempat, kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih
belum sepenuhnya transparan dan profesional. Kelima, rendahnya kemauan negara
(political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh
dan jujur. Perilaku korup Dugaan kolusi antara mafia hukum dan aparat kepolisian
terungkap dalam kasus Irjen DS sebagai tersangka simulator SIM oleh KPK. Dari
peristiwa itu, tampak terjadinya hubungan antara Polri dan mafia hukum disebabkan
lemahnya integritas moral pejabat kepolisian. Ada peluang pertukaran 'kekuasaan'
dengan kepentingan 'mafia'. Peluang itu muncul karena 'ketidaktegasan' dan 'tidak
konsistennya' pejabat dalam menerapkan aturan. Kondisi itu menjadi celah untuk
melakukan kecurangan. Apalagi pengawasan juga tidak ketat. Penyimpangan itu terjadi
dalam lingkup tugas Polri berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement) serta
public service (pelayanan masyarakat). Termasuk dalam hal ini penyalahgunaan
wewenang oleh pejabat kepolisian yang melibatkan warga masyarakat yang bukan
anggota kepolisian. Dua pola perilaku korup di lingkungan kepolisian. Pertama pada
strata pimpinan, modusnya cenderung dalam bentuk white collar crime, sedangkan
pada strata bawah dalam bentuk blue collar crime. Keduanya dalam proses
pembelajaran yang berlangsung lama dan dalam hubungan komplementer. Terjadinya
perilaku korup dalam hubungan komplementer antara pimpinan dan anggota karena
kedua pihak tidak berada dalam kehidupan organisasi yang menjamin adanya
kebebasan berpikir kritis atas tanggung jawab dan kewajiban yang diemban (bawahan
hanya mengatakan 'siap... ndan'). Untuk mengatasi polisi korup yang melekat pada
jabatan dan seakan terlindungi oleh hukum memang tidak mudah. Perbuatan itu mudah
dilihat, tapi sulit dibuktikan karena pelakunya tahu celah-celah hukum yang bisa untuk
berkelit. Apalagi di lingkungan Polri, upaya memberantas mafia hukum lebih bersifat
menunggu daripada inisiatif sendiri. Sejauh itu pula keberhasilan mengungkap secara
transparan dan menindak dengan sungguh-sngguh kurang didukung tekad dari
pimpinan Polri. Banyak kasus korupsi lama belum terungkap. Hal itu mengindikasikan
bahwa sesama koruptor polisi tidak boleh saling mengganggu. Karena itu, dalam
memberantas mafia hukum, Polri perlu bekerja sama lintas sektoral dengan organisasi
profesi yang menaungi para advokat untuk membantu pengendalian secara eksternal
dalam menghadapi praktik mafia hukum. Hal serupa juga harus dilakukan dengan
Kompolnas dan Komisi Yudisial karena kedua lembaga itu memiliki kaitan cukup erat
dengan tingkah polah mafia hukum. Mencermati timbulnya hubungan antara aparat
kepolisian dan mafia hukum disebabkan adanya peluang 'penyalahgunaan kekuasaan',
dimungkinkan hal itu terkait dengan masalah strukturisasi dari organisasi Polri.
Meluasnya masalah mafia hukum di lingkungan kepolisian berkaitan dengan besarnya
organisasi, dalam upaya penanggulangan perlu dilakukan dengan menggunakan
pendekatan ekstra operasional. Di Indonesia model ini pernah dilakukan
Pangkopkamtib Laksamana Soedomo dalam Operasi Tertib (Opstib).

MAFIA PERADILAN

MAFIA PERADILAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Proses reformasi di tubuh Mahkamah Agung dinilai


tak berimplikasi langsung dengan praktik jaringan mafia peradilan.

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyatakan bahwa modus-modus korupsi di dunia


peradilan belum banyak berkurang.

Hal tersebut menandakan masih ada ruang gelap yang dapat dimanfaatkan mafia
peradilan untuk membajak putusan pengadilan untuk kepentingan mereka.

Salah satu anggota koalisi, Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera
mengatakan, reformasi di sektor yudisial sudah dilakukan sejak tahun 1999.

Namun, kenyataannya tidak berdampak positif dalam membasmi maraknya mafia


hukum di lembaga peradilan.

"Praktik mafia peradilan itu benar terjadi di lapangan. Ada beberapa pola atau modus
yang mereka lakukan untuk mengatur jalanya perkara," ujar Bivitri saat memberikan
keterangan pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2016).

Bivitri menjelaskan, ada lima modus yang kerap terjadi di dalam lingkup pengadilan.
(baca: Koalisi Pemantau Peradilan Catat 27 Oknum Peradilan Terlibat Korupsi)

Dalam tahap prapersidangan, calo perkara membangun hubungan baik dengan hakim
atau pegawai pengadilan dengan memberikan hadiah atau fasilitas. Tujuannya,
menciptakan hutang budi ketika berperkara.

Pada tahap pendaftaran perkara pun sering ditemui adanya pungutan liar di luar
ketentuan saat pendaftaran perkara dan menawarkan penggunaan jasa advokat
tertentu. Biasanya, kata Bivitri, oknum tersebut akan mengaku bisa mempercepat atau
memperlambat pemeriksaan perkara. (baca: Ketua MA Dinilai Tak Punya Sikap Jelas
Terkait Maraknya Mafia Peradilan)

Modus lain yang biasa terjadi, calo perkara kerap meminta pihak tertentu untuk
mengatur majelis hakim pada saat penetapan majelis hakim.

Sedangkan dalam proses persidangan biasanya muncul upaya merekayasa


persidangan dengan mengatur saksi, pengadaan barang bukti sampai pada mengatur
putusan pengadilan.

Modus terakhir, lanjutnya, yakni pungutan liar yang diminta oleh oknum tertentu guna
mempercepat atau memperlambat minutasi putusan.

OER : https://youtu.be/9yAdh8C0vEk

Pertemuan 2

Hukum dan Masyarakat

Modul 2 & 3

MASALAH-MASALAH SOSIOLOGI HUKUM

Hukum dan Sistem Sosial

A.Pengertian sistem sosial

Sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang hubungan timbal-baliknya relatif konstan.
Sistem sosial selalu mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan
membedakan dari lingkungan lain, serta mempertahankan keseimbangan dari kegiatan-
kegiatan yang memungkinkanya tetap bertahan dan beroperasi. Sistem sosial
diciptakan oleh manusia. Dipertahankan dan bahkan diubah atau diganti oleh manusia.

B. Sistem sosial sebagai dasar keharmonisan

Bila saja masyarakat menginginkan keadaan yang harmoni  maka masing-masing


masyarakat itu harus bersedia memberi fungsi secara timbal balik dan konstan bagi
anggota masyarakat lain dalam kualitas sistem. Kesanggupan untuk saling memberi
fungsi, maka keseimbangan atau keharmonisan yang ada akan menjadi goyah.

C.Unsur-unsur sistem sosial

Unsur pertama dalam sistem sosial ada sejumlah orang beserta kegiatannya. Kedua
orang-orang atau sejumlah kegiatan itu berhubungan secara timbal balik. Ketiga
hubungan yang timbal-balik itu bersifat konstan atau ajeng.

D.Hubungan hukum dengan sistem sosial

Agar eksistensi, keharmonisan dan keseimbangan kehidupan manusia dapat


dipertahankan, maka kehidupan manusia harus selalu mempertahankan kualitas sistem
sosial. Namun kehidupan manusia selalu berubah, maka sistem ada harus mengikuti,
maka diperlukan aturan-aturan baik berupa norma sosial, hukum.

Persamaan-persamaan dan Perbedaan-perbedaan Sistem-sistem Hukum

Sesuatu hal yang baru dirasakan dan ditemui oleh seseorang ketika berinteraksi
dengan pihak lain, ada yang bersifat universal, general atau umum berlaku dan diterima
oleh anggota masyarakat pada umumnya, akan tetapi ada pula yang hanya bersifat
seperti spesifik atau khusus berlaku di lingkungan masyarakat setempat itu saja. Lebih
dari sekedar apakah nilai-nilai sosial, budaya dan norma soaial itu bersifat universal
ataukah spesifik, adalah juga perlu dianut serta dikembangkan atau tidak patut dianut
dan perlu dihindari. Karena alat ukur mengenai baik buruknya suatu perilaku,
kadangkala bersifat relatif.  Untuk mempermudah pendefinisian perilaku menyimpang
atau tidak, dapat dilakukan: pertama, definisi absolut yaitu

Pendefinisian yang menganggap norma sebagai

sesuatu yang bersifat universal dan nyata,

sehingga dapat diketahui oleh setiap orang mengenai adanya perilaku yang salah atau
buruk, dan apabila ada orang yang melakukannya, hal itu disebabkan oleh adanya nilai
kemasyarakatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Definisi  statistikal,
yaitu pendefinisian yang didasarkan pada lazim atau tidak lazim suatu perilaku
dilakukan. definisi label, berusaha meminimalkan pentingnya norma-norma. Seorang
dapat dikatakan sebagai pelaku menyimpang, atau dapat melakukan perilaku
menyimpang menjadikannya sebagai hal biasa, bermula dan label yang diberikan orang
lain kepadanya dan terakhir definisi relatif, didasarkan pada norma, nialai dan budaya
dan lingkungan masyarakat tertentu, artinya tidak bebas dan tempat dan waktu.

Hukum, Kekuasaan, dan Nilai Sosial Budaya

A.        Pengertian kekuasaan

Max Weber kemungkinan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kehendaknya terhadap pihak lain, walaupun harus menghadapi perlawanan. Apabila
upaya memenuhi kehendak  merasa kesulitan maka seseorang atau sekelompok orang
tersebut dapat mengunakan cara tertentu baik kasar maupun halus. Power akan lebih
efektit apabila dalam proses pelaksanaannya dilengkapi dengan konsep dominasi dan
legitimasi yang menghasilkan otorita.
B.        Sumber kekuasaan

Pertama, faktor tradisional didasarkan pada kepercayaan

Kekerabatan tradisi yang berlaku,

ketundukan atau kepatuhan pada

adat istiadat, hubungan yang bersifat

“kawula-guati”, atau penguasa dan kawula, perubahan kesinambungan yang bersifat


evolusioner, kekuatan kedudukan yang bersifat turun-temurun dan loyalitas. Kedua
faktor kharismatik, didasarkan pada kepercayaan dimilikinya sifat-sifat luar biasa dan
pemimpin, ketundukan atau kepatuhan pada keluarbiasaan, hubungan yang diibaratkan
antara nabi dan umat yang sedang mengemban tugas sejarah, perubahan yang bersifat
revolusioner, kekuatan kedudukan yang bersifat pertahanan kemampuan dan
keluarbiasaan dalam rekruitmen. Ketiga faktor legal-rasid didasarkan kepercayaan pada
suatu sistem yang konsisten, yang

Terdiri dan aturan-aturan yang

abstrak impersonal, ketundukan atau

kepatuhan terhadap hukum atau aturan yang dibuat berdasar perjanjian sukarela
maupun paksaan yang dianggap sah, hubungan antara penguasa yang dipilih dengan
warga negara yang memilih, perubahan yang didasarkan pada kebutuhan, kekuatan
kedudukan berdasar peraturan, kualitas teknis dalam rekrutmen. Keempat, sumber
kekuasaan lain meliputi coercive power (kekuasaan paksa), connection power
(kekuasaan berdasar koneksi), reward power (kekuasaan berdasar imbalan),  legitime
power (kekuasaan kewenangan), referent power (kekuasaan daya tarik), information
power (kekuasaan informasi), expert power (kekuasaan keahlian).

Menurut Mao Tse Tung, sumber

kekuasaan muncul dari laras

senjata. Bertahannya suatu masyarakat sebagai suatu sistem sosial, sangat tergantung
pada pembagian kekuasaan di dalam masyarakat yang bersangkutan, dan pembagian
kekuasaan dimaksud, akan sangat ditentukan oleh keberadaan laras senjata.

C.Hubungan hukum dan kekuasaan

Untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok


orang, maka seseorang atau sekelompok orang itu haruslah memiliki suatu sistem
hukum yang dapat mengamankan posisinya.
D.Pengertian nilai

Nilai merupakan suatu yang dianggap baik dan yang diharapkan oleh masyarakat. Nilai
merupakan segala

Sesuatu yang dianggap baik dan

jahat, bagi kehidupan bersama.

Nilai yang dimiliki oleh setiap

masyarakat itu, seringkali dituangkan dalam bentuk hukum yang mengatur segala
tingkah laku warganya, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.

E.Tolak ukur nilai

Nilai sosial merupakan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala


sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan
bersama. Daya guna sebagai tolak ukur yaitu pertama kelompok tolak ukur tradisional,
meliputi keturunan, benda-benda sakti, harta kekayaan, sifat badani, keberhasilan
menaklukan musuh. Kedua, tolak ukuran modern meliputi pengukuran pengukuran
yang bersifat rasional.

F.Jenis-jenis nilai

1. Berdasarkan tempat.

Pertama nilai sosial pada benda kultural ciptaan manusia, misal keris. Kedua, nialai
sosial pada pola kelakuan, misal beristeri banyak dulu tidak apa-apa sekarang mala
tidak baik. Ketiga, nilai sosial pada cara berpikir, misal kritis, ada yang menganggap
baik ada yang tidak.

2.         Klasifikasi berdasar bobot etis.

3.         Klasifikasi berdasar solidaritas.

4.         Klasifikasi berdasar sifat keporosannya. Pertama penghargaan terhadap nilai-


nilai luhur Pancasila. Kedua penghargaan terhadao falsafat (bagimu agamamu, bagiku
agamaku).

G.Hubungan antara hukum dengan nilai

Hukum sebagai kaidah tidak terlepas dari nilai sosial yang berlaku di dalam suatu
masyarakat. Jadi proses pembuatan hukum hendaknya dikaitkan dengan sistem nilai
yang berlaku, agar tercipta kesesuaian antara hukum yang diciptakan dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku.

OER : https://youtu.be/DextVfv5F88

Aliran Aliran Sosiologi Hukum

ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA


SOSIOLOGI HUKUM

.Mazhab Formalistis (Jhon Austin dan Hans Kelsen)

Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Hukum adalahperintah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berfikir, perintah manadilakukan oleh makhluk
berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan.Austin juga beranggapan bahwa
hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetapdan bersifat tertutup.Hukum dibagi dalam
dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan danhukum yang dibuat oleh manusia.
Hukum yang dibuat oleh manusia dapatdibedakan dalam:

a.Hukum yang sebenarnya :Yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-
pengikutnya, danhukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-
hakyangdiberikan kepadanya.

b.Hukum yang tidak sebenarnya.Hukum yang tidak sebenarnya bukanlah merupakan


hukum yang secaralangsung berasal dari penguasa, akan tetapi merupakan peratura-
peraturanyang disusun oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.

Sementara Hans Kelsen beranggapan bahwa, suatu sistem hukum sebagaisuatu


sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan
dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang
merupakan puncak dari sistem pertanggapan itudinamakan kaidah dasar atau
Grundnorm.Kaidah dasar tersebut merupakan dasar dari segenap penilaian yang
bersifatyuridis yang dimungkinkan didalam suatu tertib hukum dari suatu negara-negara
berbeda dengan negara lainnya.Kelsen juga menyatakan bahwa hukum berdiri sendiri
terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Teorinya bertujuan untuk
menunjukkanapakah hukum positif dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar.

2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Friedrich Karl Von Savigny dan SirHenry).

Von Savigny beranggapan bahwa hukum merupakan perwujudan darikesadaran hukum


masyarakat (Volksgeist). Hukum berasal dari adat-istiadatdan kepercayaan dan bukan
berasal dari pembentuk undang-undang. Iamengemukakan pentingnya meneliti
hubungan antara hukum dengan strukturmasyarakat beserta sistem nilai-nilainya.Hal
lain yang menjadi pokok ajaran Von Savigny adalah penekanannya padaaspek dinamis
dari hukum yang diadakan pada sejarah hukum tersebut.Sementara menurut Sir Henry
Main, hubungan-hubungan hukum yangdidasarkan pada status warga-warga
masyarakat yang masih sederhana,berangsur-angsur hilang apabila masyarakat itu
berkembang menjadimasyarakat yang modern dan kompleks.

3. Aliran Utilitarianisme (Jeremy Betham dan Rudolph von Ihering)

Betham menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukumdengan
prinsip yang ia gunakan yaitu “bahwa manusia bertindak untukmemperbanyak
kebahagian dan mengurangi penderitaan. Ukuran baikburuknya suatu perbuatan
manusia tergantung pada apakah perbuatantersebut mendatangkan kebahagiaan atau
tidak. Selanjutnya iamengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk
hukum yang adilbagi segenap warga-warga masyarakat secara individual.Disisi lain,
Ihering didalam bukunya yang berjudul

“Der Zweck in Recht”,menganggap bahwa hukum merupakan suatu alat bagi


masyarakat untukmencapai tujuannnya, hukum sebagai sarana untuk mengendalikan
individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana
merekamenjadi warganya.

4. Aliran Sociological Jurisprudence (Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound).

Aliran ini berpokok pada pembedaan antara hukum positif (ius constitutum)dengan
hukum yang hidup (living law). Dikatakan bahwa hukum positif hanyaakan efektif
apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat(culture patterns).
Menurutnya, pusat perkembangan dari hukum bukanlahterletak pada badan-badan
legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum. Tata tertib dalam
masyarakat didasarkan padaperaturan-peraturan yang dipaksakan oleh
negara.Sementara itu menurut Pound, hukum harus dilihat atau dipandang
sebagaisuatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum untuk memperkembangkan
suatukerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi
secaramaksimal.Selanjutnya Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai
suatuproses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang
tertulis.Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik
hkumsubstantif maupun hukum ajektif.Aliran sociological jurisprudence telah
meninggalkan pengaruh yang mendalamterutama pada pemikiran hukum di Amerika
Serikat, walaupun belumsepenuhnya dapat dinamakan sosiologi hukum, akan tetapi
aliran tersebutmemperkenalkan teori-teori dan metode-metode sosiologi pada ilmu
hukum.

5. Aliran Realisme Hukum (Karl Llewellyn, Jerome Frank dan J.O.W Holmes).

Ketiganya terkenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilandengan


menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum, akantetapi bahkan
membentuk hukum. Keputusan-keputusan hakim seringkalimendahului penggunaan
prinsip-prinsip hukum yang formal.Keputusan-keputusan pengadilan dan doktrin hukum
selalu dapatdiperkembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil
proseshukum.J. Holmes dalam sebuah karyanya, ia menyatakan bahwa kewajiban
hukumhanyalah merupakan suatu dugaan apabila seseorang berbuat atau
tidakberbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu
pengadilan.Sedangkan Karl Llewellyn lebih menekankan pada fungsi lembaga-
lembagahukum. Tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta
danrekonstruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau yang menyebabkanterjadinya
perselisihan

OER :

https://youtu.be/pAOHz-5dXho

https://youtu.be/zQhwWFVX6aA

https://youtu.be/7WGCJ90eNNE

https://youtu.be/Y2OYs5pFvLM
https://youtu.be/B9ohRnCwW34

https://youtu.be/nPuKSYgdJs0

https://youtu.be/gZDMmyRCCBk

https://youtu.be/FKo9P8Sfe4Q

Pertemuan 3

Hukum dan Masyarakat

Modul 4

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN YANG MEMPENGARUHI SOSIOLOGI HUKUM

Dua Tradisi Intelektual Dalam Perkembangan Ilmu Hukum

Ada dua tradisi intelektual

Pertama, tradisi intelektual logico, dalah suatu tradisi intelektual yang berpandangan
bawha ilmu pengetahuan itu hanya satu, serta berusaha mempelajari sesuatu yang
bersifat nyata, faktual, dan bersifat fiskal.

Kedua, tradisi intelektual Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang


berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak sama, karena dasarnya berbeda.
Segala sesuatu terjadi karena berkaitan dengan masa lampau, bersumber pada suatu
sebab dan tidak berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dengan sesuatu yang
melatarbelakanginya, atau berkaitan dengan sesuatu yang melatarbelakanginya.

Hasil Pemikiran Para Ahli Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum

Pemikiran tokoh ahli filsafat hukum mengenai perlunya mempelajari sosisologi hukum:

Dalam buku Law and Society diuraikan penting bagi peminat sosiologi hukum yang
ingin memahami mengenai pemikiran yang mempengaruhi terbentuknya sosiologi
hukum:

mazhab sejarah dan kebudayaan

Dikemukakan Savigny dan Maine menjelaskan kerangka budaya hukum, hubungan


hukum dengan sistem nilai serta hubungan antara hukum dengan perubahan nilai.
Hukum baru akan dapat dimengerti, hanya dengan menelaah kerangka sejarah dan
kebudayaan di tempat hukum tersebut timbul. Hukum berasal dari adat istiadat,
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang-undang.

Aliran sociological jurisprudence

Oleh Ehrlich dan Pound, aliran ini berpokok pada pembedaan kaidah hukum dan kaidah
sosial lainnya. hukum positif baru akan efektif apabila selaras dengan hukum yang
hidup dengan masyarakat.

Mazhab Hukum Alam

Tujuan sistem hukum hubungan hukum dan moral serta kepastian hukum dan keadilan

Mazhab formalitas

Menelaah logika hukum, tekanan pada fungsi keajekan hukum serta peranan formal
dan petugas-petugas hukum

Aliran utilitarianisme

Aliran ini berupaya mengetegahkan penjelasan mengenai konsekuensi sosial dan


hukum, penggunaan hukum yang tidak wajar pembentukan undang-undang serta

Klasifikasi mengenai klasifikasi tujuan mahluk hidup dan tujuan sosial.

Aliran realisme hukum

Kewajiban hukum hanyalah merupakan sautu dugaan bahwa apabila seseorang


berbuat atau tidak berbuat, maka ia akan menderita sesuai dengan keputusan
pengadilan.

Pertemuan 3

Modul 4

HUKUM DAN MASYARAKAT

Dua Tradisi Intelektual Dalam

Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Ada dua kelompok pendekatan di dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan

B. Sistem sosial sebagai dasar keharmonisan

Bila saja masyarakat menginginkan keadaan yang harmoni  maka masing-masing


masyarakat itu harus bersedia memberi fungsi secara timbal balik dan konstan bagi
anggota masyarakat lain dalam kualitas sistem. Kesanggupan untuk saling memberi
fungsi, maka keseimbangan atau keharmonisan yang ada akan menjadi goyah.

C.Unsur-unsur sistem sosial

Unsur pertama dalam sistem sosial ada sejumlah orang beserta kegiatannya. Kedua
orang-orang atau sejumlah kegiatan itu berhubungan secara timbal balik. Ketiga
hubungan yang timbal-balik itu bersifat konstan atau ajeng.

D.Hubungan hukum dengan sistem sosial

Agar eksistensi, keharmonisan dan keseimbangan kehidupan manusia dapat


dipertahankan, maka kehidupan manusia harus selalu mempertahankan kualitas sistem
sosial. Namun kehidupan manusia selalu berubah, maka sistem ada harus mengikuti,
maka diperlukan aturan-aturan baik berupa norma sosial, hukum.

D.Hubungan hukum dengan sistem sosial

Agar eksistensi, keharmonisan dan keseimbangan kehidupan manusia dapat


dipertahankan, maka kehidupan manusia harus selalu mempertahankan kualitas sistem
sosial. Namun kehidupan manusia selalu berubah, maka sistem ada harus mengikuti,
maka diperlukan aturan-aturan baik berupa norma sosial, hukum.

Persamaan-persamaan dan Perbedaan-perbedaan Sistem-sistem Hukum

Sesuatu hal yang baru dirasakan dan ditemui oleh seseorang ketika berinteraksi
dengan pihak lain, ada yang bersifat universal, general atau umum berlaku dan diterima
oleh anggota masyarakat pada umumnya, akan tetapi ada pula yang hanya bersifat
seperti spesifik atau khusus berlaku di lingkungan masyarakat setempat itu saja. Lebih
dari sekedar apakah nilai-nilai sosial, budaya dan norma soaial itu bersifat universal
ataukah spesifik, adalah juga perlu dianut serta dikembangkan atau tidak patut dianut
dan perlu dihindari. Karena alat ukur mengenai baik buruknya suatu perilaku,
kadangkala bersifat relatif.  Untuk mempermudah pendefinisian perilaku menyimpang
atau tidak, dapat dilakukan: pertama, definisi absolut yaitu

Pendefinisian yang menganggap norma sebagai sesuatu yang bersifat universal dan
nyata, sehingga dapat diketahui oleh setiap orang mengenai adanya perilaku yang
salah atau buruk, dan apabila ada orang yang melakukannya, hal itu disebabkan oleh
adanya nilai kemasyarakatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Definisi 
statistikal, yaitu pendefinisian yang didasarkan pada lazim atau tidak lazim suatu
perilaku dilakukan. definisi label, berusaha meminimalkan pentingnya norma-norma.
Seorang dapat dikatakan sebagai pelaku menyimpang, atau dapat melakukan perilaku
menyimpang menjadikannya sebagai hal biasa, bermula dan label yang diberikan orang
lain kepadanya dan terakhir definisi relatif, didasarkan pada norma, nialai dan budaya
dan lingkungan masyarakat tertentu, artinya tidak bebas dan tempat dan waktu.
Hukum, Kekuasaan, dan Nilai Sosial Budaya

A.Pengertian kekuasaan

Max Weber kemungkinan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kehendaknya terhadap pihak lain, walaupun harus menghadapi perlawanan. Apabila
upaya memenuhi kehendak  merasa kesulitan maka seseorang atau sekelompok orang
tersebut dapat mengunakan cara tertentu baik kasar maupun halus. Power akan lebih
efektit apabila dalam proses pelaksanaannya dilengkapi dengan konsep dominasi dan
legitimasi yang menghasilkan otorita.

B.Sumber kekuasaan

Pertama, faktor tradisional didasarkan pada kepercayaan

Kekerabatan tradisi yang berlaku, ketundukan atau kepatuhan pada adat istiadat,
hubungan yang bersifat “kawula-guati”, atau penguasa dan kawula, perubahan
kesinambungan yang bersifat evolusioner, kekuatan kedudukan yang bersifat turun-
temurun dan loyalitas. Kedua faktor kharismatik, didasarkan pada kepercayaan
dimilikinya sifat-sifat luar biasa dan pemimpin, ketundukan atau kepatuhan pada
keluarbiasaan, hubungan yang diibaratkan antara nabi dan umat yang sedang
mengemban tugas sejarah, perubahan yang bersifat revolusioner, kekuatan kedudukan
yang bersifat pertahanan kemampuan dan keluarbiasaan dalam rekruitmen. Ketiga
faktor legal-rasid didasarkan kepercayaan pada suatu sistem yang konsisten, yang

Terdiri dan aturan-aturan yang abstrak impersonal, ketundukan atau kepatuhan


terhadap hukum atau aturan yang dibuat berdasar perjanjian sukarela maupun paksaan
yang dianggap sah, hubungan antara penguasa yang dipilih dengan warga negara yang
memilih, perubahan yang didasarkan pada kebutuhan, kekuatan kedudukan berdasar
peraturan, kualitas teknis dalam rekrutmen. Keempat, sumber kekuasaan lain meliputi
coercive power (kekuasaan paksa), connection power (kekuasaan berdasar koneksi),
reward power (kekuasaan berdasar imbalan),  legitime power (kekuasaan
kewenangan), referent power (kekuasaan daya tarik), information power (kekuasaan
informasi), expert power (kekuasaan keahlian).

Menurut Mao Tse Tung , sumber kekuasaan muncul dari laras senjata. Bertahannya
suatu masyarakat sebagai suatu sistem sosial, sangat tergantung pada pembagian
kekuasaan di dalam masyarakat yang bersangkutan, dan pembagian kekuasaan
dimaksud, akan sangat ditentukan oleh keberadaan laras senjata.

C.Hubungan hukum dan kekuasaan

Untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok


orang, maka seseorang atau sekelompok orang itu haruslah memiliki suatu sistem
hukum yang dapat mengamankan posisinya.
D.Pengertian nilai

Nilai merupakan suatu yang dianggap baik dan yang diharapkan oleh masyarakat. Nilai
merupakan segala

Sesuatu yang dianggap baik dan jahat, bagi kehidupan bersama. Nilai yang dimiliki oleh
setiap masyarakat itu, seringkali dituangkan dalam bentuk hukum yang mengatur
segala tingkah laku warganya, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.

E.Tolak ukur nilai

Nilai sosial merupakan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala


sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan
bersama. Daya guna sebagai tolak ukur yaitu pertama kelompok tolak ukur tradisional,
meliputi keturunan, benda-benda sakti, harta kekayaan, sifat badani, keberhasilan
menaklukan musuh. Kedua, tolak ukuran modern meliputi pengukuran pengukuran
yang bersifat rasional.

F.Jenis-jenis nilai

1.         Berdasarkan tempat. Pertama nilai sosial pada benda kultural ciptaan manusia,
misal keris. Kedua, nialai sosial pada pola kelakuan, misal beristeri banyak dulu tidak
apa-apa sekarang mala tidak baik. Ketiga, nilai sosial pada cara berpikir, misal kritis,
ada yang menganggap baik ada yang tidak.

2.         Klasifikasi berdasar bobot etis.

3.         Klasifikasi berdasar solidaritas.

4.         Klasifikasi berdasar sifat krporosannya. Pertama penghargaan terhadap nilai-


nilai luhur Pancasila. Kedua penghargaan terhadao falsafat (bagimu agamamu, bagiku
agamaku).

G.Hubungan antara hukum dengan nilai

Hukum sebagai kaidah tidak terlepas dari nilai sosial yang berlaku di dalam suatu
masyarakat. Jadi proses pembuatan hukum hendaknya dikaitkan dengan sistem nilai
yang berlaku, agar tercipta kesesuaian antara hukum yang diciptakan dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku.

OER :

 
 

https://youtu.be/pAOHz-5dXho

https://youtu.be/zQhwWFVX6aA

https://youtu.be/7WGCJ90eNNE

https://youtu.be/Y2OYs5pFvLM

https://youtu.be/B9ohRnCwW34

https://youtu.be/nPuKSYgdJs0

https://youtu.be/gZDMmyRCCBk

https://youtu.be/FKo9P8Sfe4Q

Aliran Aliran Sosiologi Hukum

ALIRAN-ALIRAN PEMIKIRAN YANG MEMPENGARUHI TERBENTUKNYA


SOSIOLOGI HUKUM

.Mazhab Formalistis (Jhon Austin dan Hans Kelsen)

Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Hukum adalahperintah yang
dibebankan untuk mengatur makhluk berfikir, perintah manadilakukan oleh makhluk
berfikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin juga beranggapan bahwa
hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetapdan bersifat tertutup.Hukum dibagi dalam
dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan danhukum yang dibuat oleh manusia.
Hukum yang dibuat oleh manusia dapatdibedakan dalam:

a.Hukum yang sebenarnya :Yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-
pengikutnya, danhukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-
hakyangdiberikan kepadanya.

b.Hukum yang tidak sebenarnya.Hukum yang tidak sebenarnya bukanlah merupakan


hukum yang secaralangsung berasal dari penguasa, akan tetapi merupakan peratura-
peraturanyang disusun oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.

Sementara Hans Kelsen beranggapan bahwa, suatu sistem hukum sebagaisuatu


sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan
dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang
merupakan puncak dari sistem pertanggapan itudinamakan kaidah dasar atau
Grundnorm.Kaidah dasar tersebut merupakan dasar dari segenap penilaian yang
bersifatyuridis yang dimungkinkan didalam suatu tertib hukum dari suatu negara-negara
berbeda dengan negara lainnya.Kelsen juga menyatakan bahwa hukum berdiri sendiri
terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Teorinya bertujuan untuk
menunjukkanapakah hukum positif dan bukan apa yang merupakan hukum yang benar.

2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Friedrich Karl Von Savigny dan SirHenry).

Von Savigny beranggapan bahwa hukum merupakan perwujudan darikesadaran hukum


masyarakat (Volksgeist). Hukum berasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan
berasal dari pembentuk undang-undang. Iamengemukakan pentingnya meneliti
hubungan antara hukum dengan strukturmasyarakat beserta sistem nilai-nilainya.Hal
lain yang menjadi pokok ajaran Von Savigny adalah penekanannya padaaspek dinamis
dari hukum yang diadakan pada sejarah hukum tersebut.Sementara menurut Sir Henry
Main, hubungan-hubungan hukum yangdidasarkan pada status warga-warga
masyarakat yang masih sederhana,berangsur-angsur hilang apabila masyarakat itu
berkembang menjadimasyarakat yang modern dan kompleks.

 3. Aliran Utilitarianisme (Jeremy Betham dan Rudolph von Ihering)

Betham menekankan pada apa yang harus dilakukan oleh suatu sistem hukumdengan
prinsip yang ia gunakan yaitu “bahwa manusia bertindak untukmemperbanyak
kebahagian dan mengurangi penderitaan. Ukuran baikburuknya suatu perbuatan
manusia tergantung pada apakah perbuatantersebut mendatangkan kebahagiaan atau
tidak. Selanjutnya iamengemukakan bahwa pembentuk hukum harus membentuk
hukum yang adilbagi segenap warga-warga masyarakat secara individual.Disisi lain,
Ihering didalam bukunya yang berjudul

“Der Zweck in Recht”,menganggap bahwa hukum merupakan suatu alat bagi


masyarakat untukmencapai tujuannnya, hukum sebagai sarana untuk mengendalikan
individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana
merekamenjadi warganya.

4. Aliran Sociological Jurisprudence (Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound).

Aliran ini berpokok pada pembedaan antara hukum positif (ius constitutum)dengan
hukum yang hidup (living law). Dikatakan bahwa hukum positif hanyaakan efektif
apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat(culture patterns).
Menurutnya, pusat perkembangan dari hukum bukanlahterletak pada badan-badan
legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum. Tata tertib dalam
masyarakat didasarkan padaperaturan-peraturan yang dipaksakan oleh
negara.Sementara itu menurut Pound, hukum harus dilihat atau dipandang
sebagaisuatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum untuk memperkembangkan
suatukerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi
secaramaksimal.Selanjutnya Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai
suatuproses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang
tertulis.Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik
hkumsubstantif maupun hukum ajektif.Aliran sociological jurisprudence telah
meninggalkan pengaruh yang mendalamterutama pada pemikiran hukum di Amerika
Serikat, walaupun belumsepenuhnya dapat dinamakan sosiologi hukum, akan tetapi
aliran tersebutmemperkenalkan teori-teori dan metode-metode sosiologi pada ilmu
hukum.

5. Aliran Realisme Hukum (Karl Llewellyn, Jerome Frank dan J.O.W Holmes).

Ketiganya terkenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilandengan


menyatakan bahwa hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum, akantetapi bahkan
membentuk hukum. Keputusan-keputusan hakim seringkalimendahului penggunaan
prinsip-prinsip hukum yang formal.Keputusan-keputusan pengadilan dan doktrin hukum
selalu dapatdiperkembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil
proseshukum.J. Holmes dalam sebuah karyanya, ia menyatakan bahwa kewajiban
hukumhanyalah merupakan suatu dugaan apabila seseorang berbuat atau
tidakberbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu
pengadilan.Sedangkan Karl Llewellyn lebih menekankan pada fungsi lembaga-
lembagahukum. Tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta
danrekonstruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau yang menyebabkanterjadinya
perselisihan

Pertemuan 3

Hukum dan Masyarakat

Modul 4

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN YANG MEMPENGARUHI SOSIOLOGI HUKUM

Ada dua tradisi intelektual

Pertama, tradisi intelektual logico, dalah suatu tradisi intelektual yang berpandangan
bawha ilmu pengetahuan itu hanya satu, serta berusaha mempelajari sesuatu yang
bersifat nyata, faktual, dan bersifat fiskal.

Kedua, tradisi intelektual Hermeneutika, merupakan tradisi intelektual yang


berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak sama, karena dasarnya berbeda.
Segala sesuatu terjadi karena berkaitan dengan masa lampau, bersumber pada suatu
sebab dan tidak berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dengan sesuatu yang
melatarbelakanginya, atau berkaitan dengan sesuatu yang melatarbelakanginya.

Hasil Pemikiran Para Ahli Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum

Pemikiran tokoh ahli filsafat hukum mengenai perlunya mempelajari sosisologi hukum:

Dalam buku Law and Society diuraikan penting bagi peminat sosiologi hukum yang
ingin memahami mengenai pemikiran yang mempengaruhi terbentuknya sosiologi
hukum:

mazhab sejarah dan kebudayaan

Dikemukakan Savigny dan Maine menjelaskan kerangka budaya hukum, hubungan


hukum dengan sistem nilai serta hubungan antara hukum dengan perubahan nilai.
Hukum baru akan dapat dimengerti, hanya dengan menelaah kerangka sejarah dan
kebudayaan di tempat hukum tersebut timbul. Hukum berasal dari adat istiadat,
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang-undang.

Aliran sociological jurisprudence

Oleh Ehrlich dan Pound, aliran ini berpokok pada pembedaan kaidah hukum dan kaidah
sosial lainnya. hukum positif baru akan efektif apabila selaras dengan hukum yang
hidup dengan masyarakat.

Mazhab Hukum Alam

Tujuan sistem hukum hubungan hukum dan moral serta kepastian hukum dan keadilan

Mazhab formalitas

Menelaah logika hukum, tekanan pada fungsi keajekan hukum serta peranan formal
dan petugas-petugas hukum

Aliran utilitarianisme

Aliran ini berupaya mengetegahkan penjelasan mengenai konsekuensi sosial dan


hukum, penggunaan hukum yang tidak wajar pembentukan undang-undang serta

Klasifikasi mengenai klasifikasi tujuan mahluk hidup dan tujuan sosial.

Aliran realisme hukum

Kewajiban hukum hanyalah merupakan sautu dugaan bahwa apabila seseorang


berbuat atau tidak berbuat, maka ia akan menderita sesuai dengan keputusan
pengadilan.

Ada dua kelompok pendekatan di dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan

B. Sistem sosial sebagai dasar keharmonisan

Bila saja masyarakat menginginkan keadaan yang harmoni  maka masing-masing


masyarakat itu harus bersedia memberi fungsi secara timbal balik dan konstan bagi
anggota masyarakat lain dalam kualitas sistem. Kesanggupan untuk saling memberi
fungsi, maka keseimbangan atau keharmonisan yang ada akan menjadi goyah.

C.Unsur-unsur sistem sosial

Unsur pertama dalam sistem sosial ada sejumlah orang beserta kegiatannya. Kedua
orang-orang atau sejumlah kegiatan itu berhubungan secara timbal balik. Ketiga
hubungan yang timbal-balik itu bersifat konstan atau ajeng.

D.Hubungan hukum dengan sistem sosial

Agar eksistensi, keharmonisan dan keseimbangan kehidupan manusia dapat


dipertahankan, maka kehidupan manusia harus selalu mempertahankan kualitas sistem
sosial. Namun kehidupan manusia selalu berubah, maka sistem ada harus mengikuti,
maka diperlukan aturan-aturan baik berupa norma sosial, hukum.

Sesuatu hal yang baru dirasakan dan ditemui oleh seseorang ketika berinteraksi
dengan pihak lain, ada yang bersifat universal, general atau umum berlaku dan diterima
oleh anggota masyarakat pada umumnya, akan tetapi ada pula yang hanya bersifat
seperti spesifik atau khusus berlaku di lingkungan masyarakat setempat itu saja. Lebih
dari sekedar apakah nilai-nilai sosial, budaya dan norma soaial itu bersifat universal
ataukah spesifik, adalah juga perlu dianut serta dikembangkan atau tidak patut dianut
dan perlu dihindari. Karena alat ukur mengenai baik buruknya suatu perilaku,
kadangkala bersifat relatif.  Untuk mempermudah pendefinisian perilaku menyimpang
atau tidak, dapat dilakukan: pertama, definisi absolut yaitu

Pendefinisian yang menganggap norma sebagai sesuatu yang bersifat universal dan
nyata, sehingga dapat diketahui oleh setiap orang mengenai adanya perilaku yang
salah atau buruk, dan apabila ada orang yang melakukannya, hal itu disebabkan oleh
adanya nilai kemasyarakatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Definisi 
statistikal, yaitu pendefinisian yang didasarkan pada lazim atau tidak lazim suatu
perilaku dilakukan. definisi label, berusaha meminimalkan pentingnya norma-norma.
Seorang dapat dikatakan sebagai pelaku menyimpang, atau dapat melakukan perilaku
menyimpang menjadikannya sebagai hal biasa, bermula dan label yang diberikan orang
lain kepadanya dan terakhir definisi relatif, didasarkan pada norma, nialai dan budaya
dan lingkungan masyarakat tertentu, artinya tidak bebas dan tempat dan waktu.

A.Pengertian kekuasaan

Max Weber kemungkinan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kehendaknya terhadap pihak lain, walaupun harus menghadapi perlawanan. Apabila
upaya memenuhi kehendak  merasa kesulitan maka seseorang atau sekelompok orang
tersebut dapat mengunakan cara tertentu baik kasar maupun halus. Power akan lebih
efektit apabila dalam proses pelaksanaannya dilengkapi dengan konsep dominasi dan
legitimasi yang menghasilkan otorita.

B.Sumber kekuasaan

Pertama, faktor tradisional didasarkan pada kepercayaan

Kekerabatan tradisi yang berlaku, ketundukan atau kepatuhan pada adat istiadat,
hubungan yang bersifat “kawula-guati”, atau penguasa dan kawula, perubahan
kesinambungan yang bersifat evolusioner, kekuatan kedudukan yang bersifat turun-
temurun dan loyalitas. Kedua faktor kharismatik, didasarkan pada kepercayaan
dimilikinya sifat-sifat luar biasa dan pemimpin, ketundukan atau kepatuhan pada
keluarbiasaan, hubungan yang diibaratkan antara nabi dan umat yang sedang
mengemban tugas sejarah, perubahan yang bersifat revolusioner, kekuatan kedudukan
yang bersifat pertahanan kemampuan dan keluarbiasaan dalam rekruitmen. Ketiga
faktor legal-rasid didasarkan kepercayaan pada suatu sistem yang konsisten, yang

Terdiri dan aturan-aturan yang abstrak impersonal, ketundukan atau kepatuhan


terhadap hukum atau aturan yang dibuat berdasar perjanjian sukarela maupun paksaan
yang dianggap sah, hubungan antara penguasa yang dipilih dengan warga negara yang
memilih, perubahan yang didasarkan pada kebutuhan, kekuatan kedudukan berdasar
peraturan, kualitas teknis dalam rekrutmen. Keempat, sumber kekuasaan lain meliputi
coercive power (kekuasaan paksa), connection power (kekuasaan berdasar koneksi),
reward power (kekuasaan berdasar imbalan),  legitime power (kekuasaan
kewenangan), referent power (kekuasaan daya tarik), information power (kekuasaan
informasi), expert power (kekuasaan keahlian).

Menurut Mao Tse Tung , sumber kekuasaan muncul dari laras senjata. Bertahannya
suatu masyarakat sebagai suatu sistem sosial, sangat tergantung pada pembagian
kekuasaan di dalam masyarakat yang bersangkutan, dan pembagian kekuasaan
dimaksud, akan sangat ditentukan oleh keberadaan laras senjata.

C.Hubungan hukum dan kekuasaan

Untuk mempertahankan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok


orang, maka seseorang atau sekelompok orang itu haruslah memiliki suatu sistem
hukum yang dapat mengamankan posisinya.

D.Pengertian nilai

Nilai merupakan suatu yang dianggap baik dan yang diharapkan oleh masyarakat. Nilai
merupakan segala

Sesuatu yang dianggap baik dan jahat, bagi kehidupan bersama. Nilai yang dimiliki oleh
setiap masyarakat itu, seringkali dituangkan dalam bentuk hukum yang mengatur
segala tingkah laku warganya, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.

E.Tolak ukur nilai

Nilai sosial merupakan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala


sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan
bersama. Daya guna sebagai tolak ukur yaitu pertama kelompok tolak ukur tradisional,
meliputi keturunan, benda-benda sakti, harta kekayaan, sifat badani, keberhasilan
menaklukan musuh. Kedua, tolak ukuran modern meliputi pengukuran pengukuran
yang bersifat rasional.
F.Jenis-jenis nilai

1.             Berdasarkan tempat. Pertama nilai sosial pada benda kultural ciptaan
manusia, misal keris. Kedua, nialai sosial pada pola kelakuan, misal beristeri banyak
dulu tidak apa-apa sekarang mala tidak baik. Ketiga, nilai sosial pada cara berpikir,
misal kritis, ada yang menganggap baik ada yang tidak.

2.             Klasifikasi berdasar bobot etis.

3.             Klasifikasi berdasar solidaritas.

4.             Klasifikasi berdasar sifat krporosannya. Pertama penghargaan terhadap nilai-


nilai luhur Pancasila. Kedua penghargaan terhadao falsafat (bagimu agamamu, bagiku
agamaku).

G.Hubungan antara hukum dengan nilai

Hukum sebagai kaidah tidak terlepas dari nilai sosial yang berlaku di dalam suatu
masyarakat. Jadi proses pembuatan hukum hendaknya dikaitkan dengan sistem nilai
yang berlaku, agar tercipta kesesuaian antara hukum yang diciptakan dengan nilai-nilai
sosial yang berlaku.

Jawaban Anda memuaskan tetapi sebaik ambil juga jawaban yang berdasarkan modul
HKUM 4102 UT dan SOSI4416. Silahkan diperbaiki untuk meningkatkan nilai dengan
jawaban yang lebih rinci. Dimohon untuk cantumkan rujukan. Silahkan baca materi
powerpoint dan materi OER serta materi BMP UT untuk mendapatkan jawaban yang
benar.

Anda mungkin juga menyukai