Anda di halaman 1dari 13

Universitas Pamulang S1 Hukum

PERTEMUAN 3

SEJARAH JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

A. Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa mampu menjelaskan syarat dan ketentuan permohonan uji materil
B. Uraian Materi
1. Judicial Review Pada Proses Perumusan UUD 1945

Judicial Review merupakan salah satu materi rancangan UUD yang menjadi
perdebatan cukup Panjang. Perdebatan M. Yamin dan Soepomo pada Rapat Besar
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal
11 Juli 1945 dan 15 Juli 1945 menggambarkan bagaimana para fownding father
membahas pentingnya pengujian peraturan perundang-undangan. M. Yamin adalah
perumus rancangan UUD yang mengusulkan agar Mahkamah Tinggi atau Balai
Agung mempunyai kewenangan judictal review undang-undang. Atas usulan M.
Yamin tersebuc Soepomo mengajukan argumentasi penolakan atau setidaknya
menunda judicial reutew sebagai kewenangan Mahkamah Agung."

M. Yamin pada Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan


Indonesia (BPUPKI) tanggal 11 Juli 1945 tentang Balai Agung dan Mahkamah
Tinggi mengatakan, “Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sebingga dalam
membanding undang-undang, maka Balai Agung inilah akan memutuskan apakah
sejalan dengan hukum adat, syariah dan Undang-Undang Dasar?”

Pada Rapat Besar BPUPKI selanjutnya, tanggal 15 Juli 1945, M. Yamin


menegaskan bahwa:

“Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga


hendaklah menjadi badan yang membanding, apakah Undang-Undang yang dibuat
oleh Dewan Perwakilan, tidak melanggar Undang Undang Dasar republik atau
bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan
syariah agama Islam...”

Pendapat M. Yamin tersebut ditanggapi oleh Soepomo yang mengatakan:


“Menurut pendapat saya, tuan Ketua, dalam rancangan Undang-Undang Dasar ini
kita memang tidak memakai sistim yang membedakan principieel tiga badan itu
artinya, tidaklah bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan
membentuk undang-undang. Memang maksud sistim yang diajukan oleh Yamin,
supaya kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan (membentuk) undang-undang.

Hak Uji Materil 1


Universitas Pamulang S1 Hukum

Pertama, dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli
tatanegara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro,
ada yang kontra kontrol, Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai
semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi
interpretasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa
juga. Jadi, dalam praktik, jikalan ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada
umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis, oleh karena itu mungkin dan di sini
dalam praktik begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang
dan Undang-Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistem itu tidak baik buat
Negara Indonesia yang akan kita bentuk!”

Selanjutnya Soepomo mengatakan:

“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa
para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal
ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria Chekoslowakia dan
Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial,
constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesia1 yang melulu mengerjakan konstitusi.
Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita
harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang
muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”

Pendapat Soepomo di atas intinya terdapat 4 (empat) alasan mengapa


Mahkamah Agung tidak diberi kewenangan melakukan pengujian UndangUndang
terhadap Undang-Undang Dasar.

Pertama, negara yang menerapkan pengujian undang-undang terhadap undang


undang dasar adalah negara yang menerapkan sistem pemisahan kekuasaan seperti
Amerika Serikat.

Kedua, di Austria, Ceko-Slowakia, dan Jerman, bukan Mahkamah Agung yang


melakukan pengujian tetapi oleh pengadilan spesifik yang selalu mengerjakan
konstitusi.

Keriga, para ahli tata negara tidak ada kebulatan tentang masalah tersebut,
Praktiknya, masalah apakah undang-undang bertentangan dengan undang undang
dasar atau tidak adalah masalah politis bukan masalah yuridis.

Keempat, para ahli hukum Indonesia (saat itu) tidak mempunyai pengalaman,
perlu tenaga ahli banyak. buat negara yang masih muda belum waktunya mengerjakan
persoalan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar."

Perbedaan pendapat antara Soepomo dan M. Yamin berakhir setelah Ketua


Sidang K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (Ketua BPUPKI) meminta anggota

Hak Uji Materil 2


Universitas Pamulang S1 Hukum

BPUPKI untuk dilakukan pemungutan suara atas usulan M. Yamin. Sebelum


dilakukan pemungutan suara M. Yamin minta pembahasan ditunda seperti beberapa
pembahasan materi rancangan UUD." Tetapi tidak ada pembahasan lanjutan.
Perdebatan tersebut berakhir dengan perumusan konsep judicial review tidak
dimasukkan dalam UUD 1945.

Draf Rancangan Panitia Perancang UUD 1945 kembali diperdebatkan pada


Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945. Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 25 Rancangan UUD menyebutkan:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan
pengadilan, (2) Susunan dan Kekuasaan badan pengadilan itu diatur dalam undang-
undang.”

Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin


Ir. Soekarno, tanggal 18 Agustus 1945, memutuskan bahwa Kekuasaan Kehakiman
diatur Pada Bab IX terdiri dari 2 Pasal yaitu Pasal 24 terdiri atas dua ayat) dan Pasal
25.

Pasal 24 ayat 1: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan


lain-lain badan kebakiman”

Ayat 2: “Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan


undang-undang”.

Pasal 25: “Syarat-syarat untuk menjadi hakim dan untuk diperbentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang.”

Pada masa kemerdekaan, ketentuan UUD 1945 tidak dapat dijalankan


sepenuhnya. Kondisi sosial politik belum memungkinkan untuk membentuk sebuah
kelembagaan baru sesuai amanah UUD 1945. Pada masa awal kemerdekaan, susunan
pengadilan di Indonesia menggunakan sistem peng. adilan yang berlaku pada masa
pemerintahan Jepang di Indonesia.”

Pada tahun 1947, berdasarkan UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan serta
Kekuasaan Mahkamah Agung dan Susunan Kejaksaan Agung serta Kekuasaan Jaksa
Agung dibentuk Mahkamah Agung yang berkedudukan di Yogyakarta. Kewenangan
Mahkamah Agung ini hanya melakukan pengawasan disiplin terhadap pengadilan di
bawahannya dan memutuskan petselisihan tentang wewenang mengadili.” Untuk
melakukan pengawasan terhadap perilaku badan kehakiman dan hakim, MA dapat
memberikan peringatan, teguran dan petunjuk, baik dengan surat maupun dengan
surat edaran.”

Pada tahun 1948, Sistem peradilan mulai berubah sejak diundangkannya UU


No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah

Hak Uji Materil 3


Universitas Pamulang S1 Hukum

Agung dan Kejaksaan Agung" (mengganti UU No. 7 tahun 1947) dengan


membentuk Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 6 UU No. 19 Tahun 1948 dibentuk 3 lingkungan peradilan di bawah MA.,


yaitu: 1) Peradilan Umum: 2) Peradilan Tata Usaha Negara, dan 3) Peradilan
Ketentaraan.

Dalam konteks judicial review secara umum, pembentukan Peradilan Tata


Usaha Negara sendiri merupakan salah satu upaya membangun judicial review di
Indonesia meski kewenangannya terbatas. Peraturan ini tidak pernah sempat berlaku
karena adanya perang kemerdekaan (clash Il).

Kewenangan Mahkamah Agung menurut UU No. 19 Tahun 1948 adalah:

1. melakukan pengawasan (Pasal 55 ),


2. memutus pada tingkatan peradilan pertama dan terakhir semua perselisihan
tentang kekuasaan mengadili antara: 2) semua badan kehakiman yang tempat
kedudukannya tidak sedaerah hukum sesuatu Pengadilan Tinggi, b) Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Tinggi, dan c) Pengadilan Tinggi dan sesuatu badan
Kehakiman dalam daerah hukumnya (Pasal 58):
3. memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkatan kedua segala perkara yang
telah diputus oleh Pengadilan Tinggi dalam peradilan tingkatan pertama dan
yang dimintakan ulangan pemeriksaan (Pasal 59).
4. memeriksa perkara pidana pejabat, (pemeriksaan ini biasa disebut dengan forum
previlegiatum) menyebutkan 7 pejabat yang dapat diperiksa melalui forum
previlegiatum yaitu: para Menteri dan Menteri Muda, para anggauta Dewan
Pertimbangan Agung, Ketua dan anggauta Dewan Perwakilan Rakyat Pusat,
para Hakim dan para Jaksa, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan: para Gubernur,
Kepala Daerah Provinsi, para Residen, Kepala Daerah Karesidenan (Pasal 60
ayat (1)).
5. Pemeriksaan kasasi yaitu pembatasan atas putusan badan kehakiman dalan,
tingkatan peradilan yang terakhir, dan penetapan dan perbuatan badar
Kehakiman, dan para Hakim, yang bertentangan dengan hukum (Pasuj 61).
Kasasi dapat dilakukan dengan alasan apabila:
a. beraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam
melaksanakannya,
b. badan Kehakiman atau Hakim melampaui batas kekuasaannya:
c. ada kesalahan dalam menetapkan berkuasa memutus atau tidak berkuasa
memutus:
d. tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan, yang harus diturut menurut
undang-undang (Pasal 63).

2. Judicial Review pada Masa Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950

Hak Uji Materil 4


Universitas Pamulang S1 Hukum

Mulai tahun 1949 (pada masa berlakunya Konstitusi RIS) hingga 1950, terdapat
dua Undang Undang Dasar yang berlaku yaitu Konstitusi RIS dan UUD Sementara
1950. Republik Indonesia Serikat yang hanya berjalan beberapa bulan mulai 27
Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950 saat di berlakukannya UUD Sementara
1950. Kedua konstitusi Indonesia tersebut merupakan konstitusi sementara pada masa
peralihan.

Kesementaraan Konstitusi RIS dapat dilihat dari Piagam Persetujuan antara


Delegasi Republik Indonesia dan Delegasi Pertemuan Untuk Permusyawaratan
Federal (Bijeenkomst Federall Overleg) yang menetapkan rencana Konstitusi
Republik Indonesia Serikat sebagai Undang-Undang Dasar Peralihan bernama
Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sifat kesementaraan tersebut ditegaskan
kembali dalam Pasal 186 Konstitusi RIS yang menyebutkan bahwa “Konstituante
(Sidang Pembuat Konstitusi), bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnja
menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantik Konstitusi
sementara in?”. Seperti Konstitusi RIS, sifat kesementaraan juga melekat pada UUD
S 1950. hal tersebut disebabkan UUDS 1950 merupakan perubahan dari Konstitusi
RIS yang pemberlakuannya berdasarkan UU No. 7 Tahun 1950'.

Sebagai Undang-Udang Dasar Negara Indonesia, baik Konstitusi RIS maupun


UUDS 1950 mengatur alat-alat kelengkapan negara termasuk Mahkamah Agung.
Pada masa kedua konstitusi tersebut, kedudukan Mahkamah Agung berbeda.
Perbedaan tersebut berkaitan dengan bentuk Negara Indonesia pada masa itu. Pada
masa Konstitusi RIS bentuk Negara Indonesia adalah Federal” sedangkan pada masa
berlakunya UUD 1950 kembali menjadi negara kesatuan.” Pada masa Kontitusi RIS,
sesuai ketentuan Pasal 147, Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Federal
Tertinggi sedangkan menurut ketentuan Pasal 105 UUD S 1950, Mahkamah Agung
sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Konstutusi RIS dan UUDS 1950 memuat ketentuan cukup luas tentang
Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung yang sebelumnya diatur dalam
UU No. 19 Tahun 1948 diadopsi dan dimasukkan dalam Konstitusi RIS dan UUDS
1950 dengan penambahan wewenang.“

Berkaitan dengan pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review),


baik Konstitusi RIS maupun UUDS 1950 hanya memberikan kewenangan menguji
peraturan di bawah Undang-Undang. Ketentuan Pasal 130 ayat (2) mengatakan bahwa
Undang-Undang federal tidak dapat diganggu gugat. Sementara itu, UUDS 1950
dengan tegas menentukan Mahkamah Agung tidak dapat melakukan uji materiil
terhadap undangundang. Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 menegaskan: Undang-Undang
tidak dapat diganggu gugat' (de wet is onschenbaar).

Pasal 156 Kontitusi RIS memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung


untuk melakukan judicial review terhadap peraturan ketatanegaraan atau undang-

Hak Uji Materil 5


Universitas Pamulang S1 Hukum

undang suatu daerah bagian (dapat disamakan dengan per, aturan daerah provinsi)
berlawanan dengan Konstitusi.

Secara jelas Pasal 156 Konstitusi RIS menyatakan bahwa:

(1) Djika Mahkamah Agung atau pengadilan-perngadilan lain jang mengadij,


dalam perkara perdata atau dalam perkara hukuman perdata, beranggapan, bahwa
suatu ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau undang2 suap, daerah-bagian
berlawanan dengan Konstitusi ini, maka dalam keputusan kehg, keiman itu djnga,
ketentuan itu dinjatakan dengan tegas tak menurut Konstitusi.

(2) Mahkamah Agung berkuasa djuga menjatakan dengan tegas bahwa suat,
ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau dalam Undang: Undang daerah-bagian
tak-menurut-Konstitusi, djika ada surat permohonan Jang beralasan jang dimadjukan,
untuk Pemerintah Republik Indonesia Serikat oleh atau atas nama Djaksa Agung pada
Mahkamah Agung, ataupun, untuk suatu pemerintah daerah-bagian jang lain, oleh
Kedjaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian jang dimaksud kemudian.

Baik Konstitusi RIS maupun UUDS 1950 menganut prinsip undang. undang
tidak dapat diganggu gugat” (de wet is onschenbaar). Mahkamah Agung tidak dapat
melakukan uji materiil terhadap undang-undang. Kedua konstitusi hanya memberikan
kewenangan kepada MA untuk menguji peraturan di bawah undang-undang temasuk
undang-undang dearah/ federal.

3. Judicial Review Pasca Masa Dekrit 1959

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden


1959 (Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959) tentang
Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit Presiden dikeluarkan
berdasarkan pertimbangan Presiden, yaitu:

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang


Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat
Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara, Bahwa berhubung
dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-
Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya:

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang


membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh
keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan Negara Proklamasi:

Hak Uji Materil 6


Universitas Pamulang S1 Hukum

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945


menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan Konstitusi tersebut?

Berdasarkan pertimbangan dan tujuan penyelamatan negara, Presiden Soekarno


menetapkan:

1. Pembubaran Konstituante.
2. Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini,
dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Berdasarkan Dekrit Presiden 1959, Indonesia kembali menggunakan UUD


1945. Sebagai norma dasar dalam sistem hukum dan ketatanegaraan Indonesia, UUD
1945 tidak mengatur banyak tentang kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung.
Hal berbeda dengan Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Konstruksi sistem kekuasaan
kehakiman dan Mahkamah Agung diatur dalam undang-undang yang dapat dilihat
dari dua masa, yaitu:

1. pada masa berlakunya UU No. 19 Tahun 1964 dan

2. pada masa berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah berdasarkan UU
No. 35 Tahun 1999.

Dinamika sosial politik pada akhir tahun 50 hingga 60-an dengan se, mangat
revolusi berdampak pada politik hukum kekuasaan kehakiman dan peradilan di
Indonesia. Pada tahun 1964, dibentuk UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pembentukan Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman ini adalah untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini
ditetapkan sebagai ketentuan-ketentuan pokok mengenai kekuasaan kehakiman yang
sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara, alat Revolusi dan Manifesto Politik
Republik Indonesia sebagai Haluan Negara, serta pedoman-pedoman
pelaksanaannya.” Kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai alat revolusi.

Pada tahun 1964, kembali terjadi perubahan dalam sistem peradilan di bawah
MA. Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1964 memasukkan Peradilan Agama sebagai salah
satu lingkungan peradilan di bawah MA. Hierarki semua pengadilan berpuncak pada
Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan
peradilan.”

Hak Uji Materil 7


Universitas Pamulang S1 Hukum

Empat lingkungan yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1964 adalah:

a) Peradilan Umum,

b) Peradilan Agama,

c) Peradilan Militer, dan

d) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam penjelasan Pasal 7, Peradilan Agama dan Militer merupakan peradilan


khusus, sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara bukan merupakan peradilan khusus
tetapi Peradilan Tata-Usaha Negara adalah yang disebut “peradilan administratif”
dalam Ketetapan MPRS No. 1I/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang
disebut “Peradilan Kepegawaian” dalam Pasal 21 UU No. 18 Tahun 1961.

Pada tahun 1974, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pada Bagian Menimbang Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran-Negara
Tahun 1964 No. 107) tidak merupakan pelaksanaan murni dari Pasal 24 Undang-
Undang Dasar 1945, karena memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar pertimbangan demikian dibentuk undang-
undang tentang kekuasaan kehakiman yang baru yaitu UndangUndang No. 14 Tahun
1970.

Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah pada masa berlakunya


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yaitu dengan menambah kewenangan Mahkamah Agung
untuk menguji peraturan-peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang. Putusan tentang tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat
diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Sementara itu,
pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan
oleh instansi yang bersangkutan.”

Pada tahun 1985 dikeluarkan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang


baru, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menggantikan Undang-
Undang Nomot 13 Tahun 1965. Kewenangan melakukan pengujian menguji
peraturan-peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang kembali
dituangkan dalam Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 (diubah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004" dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009”). Secara
keseluruhan, UU Nomor 14 Tahun 1985 menentukan 11 kewenangan Mahkamah
Agung, yaitu:

Hak Uji Materil 8


Universitas Pamulang S1 Hukum

1. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi (Pasal 28 ayat (1), Pasal 29,
Pasal 30).
2. Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili (Pasal 28
ayat (2), Pasal 33 ayat (1)).
3. Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah mem, peroleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 28 ayat (3), Pasal 34).
4. Berwenang menguji secara materiil peraturan perundang-undangan dj bawah
undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 31).
5. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di
semua lingkungan peradilan (Pasal 32).
6. Berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa
yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang
Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 ayat (2)).
7. Memberi nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka
pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35).
8. Bersama Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan
Notaris (Pasal 36).
9. Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tdak
kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain (Pasal 37 dan Pasal 38).
10. Diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Pasal 39)
seperti menyelesaikan sengketa pemilu, dan lain-lain.
11. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum
cukup diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 79). Perubahan penting lainnya
pada masa ini adalah pembentukan peradilan tata usaha negara. Setelah
melalui perjalanan panjang, pada tahun 1986, dikeluarkan UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku efektif pada tahun
1991 bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1986. Menurut Paulus Effendi Lotulung, peradilan tata usaha negara di
Indonesia dipengaruhi oleh model peradilan administrasi tentang besichikking
(A.R.O.B) di Belanda. Meski demikian, lebih lanjut Paulus Effendi Lotulung
mengatakan bahwa Indonesia yang berlandaskan falsafah Pancasila, kelak juga
harus mencerminkan filosofi pancasila yang menjaga keseimbangan
kepentingan individu dan kepentingan umum. # Di Belanda sendiri juga terjadi
perubahan di mana model peradilan administrasi tentang beschi&£ing
(A.R.O.B) menjadi bagian dari peradilan umum.

Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan langkah maju dalam


penegakan hukum dan upaya menuju negara hukum di Indonesia. Menurut Stewart
Fenwick” terdapat perbedaan signifikan antara kondisi system peradilan adminstrasi
Indonesia pada tahun 1980-an dengan kondisi pada 20 tahun terakhir. Dengan
diberlakukannya Peradilan Tata Usaha Negara, maka terdapat dua bentuk judicial
review di Indonesia yaitu pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang dan pengujian keputusan pejabat tata usaha negara.

Hak Uji Materil 9


Universitas Pamulang S1 Hukum

4. Judicial Review Setelah Amandemen UUD NRI Tahun 1945

Perubahan sistem hukum dan peradilan di Indonesia terjadi sejalan dengan


dilakukannya perubahan UUD 1945. Hasil amandemen UUD NRI 1945 membangun
lembaga baru dalam sistem kekuasaan kehakiman, yaitu mem. bentuk Mahkamah
Konstitusi (sebagai salah satu pelaku kekuasaan ke. hakiman) dan Komisi Yudisial
(penegak kehormatan hakim).

Amandemen UUD NRI 1945 sendiri dilakukan sejak tahun 1999 hingga 2002
yaitu banyak 4 kali amandemen. Perubahan pertama diputuskan dalam Rapat
Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-12 tanggal 19
Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Perubahan pertama ini mengubah Pasal 5
ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan
(3), Pasal 20, dan Pasal 21 UUD NRI Tahun 1945. |

Perubahan Kedua UUD NRI 1945 disahkan pada Sidang Tahunan MPR
pertama pada tanggal 18 Agustus 2000. Dalam perubahan kedua ini, MPR mengubah
dan/atau menambah beberapa pasal, yaitu: Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19,
Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25 E,Bab X,
Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal
28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 281, Pasal 28J,
Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 3GA, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan ketiga UUD NRI 1945 disahkan dalam Sidang 'Tahunan MPR kedua
pada tanggal 9 November 2001. Perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/atau
menambah Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3) dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4),
Pasal 22C ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22E
ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C,
Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23F ayat (1) dan 92), Pasal 23G ayat (1) dan (2),
Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24B ayat (1),
(2), (3) dan (4), dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UUD 1945.

Perubahan keempat UUD NRI 1945 disahkan dalam Sidang Tahunan MPR
ketiga, pada tanggal 10 Agustus 2002. Pada Perubahan ketiga, MPR mengubah
dan/atau menambah Pasal 2 ayat (1), Pasal GA ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1), Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24 ayat 3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan
(5), Aturan Peralihan Pasal I, II dan III, Aturan Tambahan Pasal I.

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, perubahan Bab IX tentang Kekuasaan


Kehakiman UUD 1945 dilakukan pada perubahan ke III Tahun 2001 dan perubahan
ke IV Tahun 2002. Amandemen III disahkan pada tanggal 9 November 2001, melalui

Hak Uji Materil 10


Universitas Pamulang S1 Hukum

Rapat Paripurna MPR RI ke-7 (Lanjutan 2) Sidang Tahunan Majelis


Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia meliputi Pasal 24, 24 A, 24 b, 24C, dan
24 D.

Amandemen IV mulai berlaku sejak disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002


diputuskan dalam rapat paripurna MPR RI ke-6 (lanjutan). Amandemen IV terhadap
Kekuasaan Kehakiman hanya meliputi Pasal 24 ayat (3) yang berbunyi: Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-
Undang. Lihat Indonesia, Amandemen ke-IV UUD 1945.

Hasil amandemen UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) tentang lembaga peradilan yang
melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu:

1. Mahkamah Agung.

2. Badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam


lingkungan:
a. peradilan umum,
b. peradilan agama,
c. peradilan militer,
d. peradilan tata usaha negara.

3. Mahkamah Konstitusi.

Selain membentuk Mahkamah Konstitusi, Amandemen UUD NRI Tahun 1945


juga membentuk Komisi Yudisial. Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
menyebutkan “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.

Tentang kewenangan judical Review peraturan perundang-undangan, konstitusi


memilah pengujian undang-undang terhadap UUD yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi dan pengujian peraturan perundang undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang oleh Mah. kamah Agung. Pasal 24A ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 menyebutkan: Mahkamah Agung berwenang menjadi pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terbadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
undang. Pasal 24C ayat (1) menentukan bahwa: Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa
kewenangan lembaga negara yang Rewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Pasal 24C ayat (2) menentukan bahwa: Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai

Hak Uji Materil 11


Universitas Pamulang S1 Hukum

dugaan pelanggaran oleh Presiden dan| atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar. Perubahan UUD 1945 mendorong dilakukannya sinkronisasi aturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah
Agung. Untuk hal tersebut dikeluarkan undang-undang tentang Kekuasaan
Kehakiman baru, yaitu UU No. 4 Tahun 2004.” Kewenangan Mahkamah Agung
tentang judicial review diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b sedangkan kewenangan
Mahkamah Konstitusi melakukan constitutional review diatur dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf a.

Sinkronisasi substansi hukum juga dilakukan terhadap Undang-Undang tentang


Mahkamah Agung dengan melakukan perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004” dan kembali dilakukan
perubahan kedua berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 20092. Salah satu
perubahan penting adalah perubahan Pasal 31 tentang judicial review/ toetsingsrecht
yang semula hanya hak uji materiil (yudicial review/ materieele toetsingsrecht)
menjadi hak uji materiil (syateriele #oetsingsrecht) dan hak uji formil (formele
toetsingsrechf).

Pasal 31 menyebutkan:

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang undangan


di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah


undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada
tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.

(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud


pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebagai upaya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan


dengan hak uji materiil, Mahkamah Agung mengganti Peraturan Mahkamah Agung
yang lama, yaitu Perma No. 1 Tahun 1999 diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004
tentang Hak Uji Materiil. Pada tahun 2011, Mahkamah Agung kembali merevisi
ketentuan tentang hak uji materil dengan mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2011
tentang Hak Uji Materil.

Selain sebagai upaya sinkronisasi, pemikiran penting yang mendasari


dikeluarkannya Perma tentang Hak Uji Materiil tersebut adalah sebagai “ upaya
penyesuaian dengan berbagai perkembangan baru untuk menjamin pelaksanaan
prinsip “fazrness” dalam pemeriksaan, perlu memberikan kesempatan kepada

Hak Uji Materil 12


Universitas Pamulang S1 Hukum

pembuat peraturan perundang-undangan untuk memberikan jawaban, pendapat dan


kesempatan mempertahankan peraturan perundang-undangan yang sedang di uji.

C. Uji Pemahaman Materi


1. Jelaskan Syarat dan Ketentuan Permohonan Uji Materil di MK?
2. Jelaskan Syarat dan Ketentuan Permohonan Uji Materil di MA?
3. Uraikan apa yang menjadi perbedaan secara substansial antara Permohonan
Uji Materil di MK dan di MA berdasarkan materi yang telah anda pelajari?

D. Daftar Pustaka

Ahmad Syahrizal. (2006). Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi


Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif,
Prandnya Paramita: Jakarta.
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulat. (2006). Memahami Keberadaan Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Rineka Cipta: Jakarta.
Imam Soebechi. (2016). Hak Uji Materiil. Sinar Grafika: Jakarta
Maruarar Siahaan. (2012). Hukum Acara MK Republik Indonesia. Sinar Grafika:
Jakarta.
Muchamad Ali Safaat dkk. (2011). Hukum Acara MK, Sekretariat Jendral MK RI:
Jakarta.
Soeprapto, M. F. I. (2007). Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan. PT Kanisius: Yogyakarta.

Hak Uji Materil 13

Anda mungkin juga menyukai