PERTEMUAN 3
A. Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa mampu menjelaskan syarat dan ketentuan permohonan uji materil
B. Uraian Materi
1. Judicial Review Pada Proses Perumusan UUD 1945
Judicial Review merupakan salah satu materi rancangan UUD yang menjadi
perdebatan cukup Panjang. Perdebatan M. Yamin dan Soepomo pada Rapat Besar
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal
11 Juli 1945 dan 15 Juli 1945 menggambarkan bagaimana para fownding father
membahas pentingnya pengujian peraturan perundang-undangan. M. Yamin adalah
perumus rancangan UUD yang mengusulkan agar Mahkamah Tinggi atau Balai
Agung mempunyai kewenangan judictal review undang-undang. Atas usulan M.
Yamin tersebuc Soepomo mengajukan argumentasi penolakan atau setidaknya
menunda judicial reutew sebagai kewenangan Mahkamah Agung."
Pertama, dari buku-buku ilmu negara ternyata bahwa antara para ahli
tatanegara tidak ada kebulatan pemandangan tentang masalah itu. Ada yang pro,
ada yang kontra kontrol, Apa sebabnya? Undang-Undang Dasar hanya mengenai
semua aturan yang pokok dan biasanya begitu lebar bunyinya sehingga dapat diberi
interpretasi demikian bahwa pendapat A bisa selaras, sedang pendapat B pun bisa
juga. Jadi, dalam praktik, jikalan ada perselisihan tentang soal, apakah sesuatu
undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, itu pada
umumnya bukan soal yuridis, tetapi soal politis, oleh karena itu mungkin dan di sini
dalam praktik begitu, pula ada konflik antara kekuasaan sesuatu Undang Undang
dan Undang-Undang Dasar. Maka, menurut pendapat saya sistem itu tidak baik buat
Negara Indonesia yang akan kita bentuk!”
“Kecuali itu Paduka Tuan Ketua, kita dengan terus terang akan mengatakan bahwa
para ahli hukum Indonesia pun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam hal
ini, dan tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria Chekoslowakia dan
Jerman waktu Weimar, bukan Mahkamah Agung, akan tetapi pengadilan spesial,
constitutioneelhof, -sesuatu pengadilan spesia1 yang melulu mengerjakan konstitusi.
Kita harus mengetahui, bahwa tenaga kita belum begitu banyak, dan bahwa kita
harus menambah tenaga-tenaga, ahli-ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang
muda saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.”
Keriga, para ahli tata negara tidak ada kebulatan tentang masalah tersebut,
Praktiknya, masalah apakah undang-undang bertentangan dengan undang undang
dasar atau tidak adalah masalah politis bukan masalah yuridis.
Keempat, para ahli hukum Indonesia (saat itu) tidak mempunyai pengalaman,
perlu tenaga ahli banyak. buat negara yang masih muda belum waktunya mengerjakan
persoalan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar."
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan
pengadilan, (2) Susunan dan Kekuasaan badan pengadilan itu diatur dalam undang-
undang.”
Pasal 25: “Syarat-syarat untuk menjadi hakim dan untuk diperbentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang.”
Pada tahun 1947, berdasarkan UU No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan serta
Kekuasaan Mahkamah Agung dan Susunan Kejaksaan Agung serta Kekuasaan Jaksa
Agung dibentuk Mahkamah Agung yang berkedudukan di Yogyakarta. Kewenangan
Mahkamah Agung ini hanya melakukan pengawasan disiplin terhadap pengadilan di
bawahannya dan memutuskan petselisihan tentang wewenang mengadili.” Untuk
melakukan pengawasan terhadap perilaku badan kehakiman dan hakim, MA dapat
memberikan peringatan, teguran dan petunjuk, baik dengan surat maupun dengan
surat edaran.”
2. Judicial Review pada Masa Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950
Mulai tahun 1949 (pada masa berlakunya Konstitusi RIS) hingga 1950, terdapat
dua Undang Undang Dasar yang berlaku yaitu Konstitusi RIS dan UUD Sementara
1950. Republik Indonesia Serikat yang hanya berjalan beberapa bulan mulai 27
Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950 saat di berlakukannya UUD Sementara
1950. Kedua konstitusi Indonesia tersebut merupakan konstitusi sementara pada masa
peralihan.
Konstutusi RIS dan UUDS 1950 memuat ketentuan cukup luas tentang
Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung yang sebelumnya diatur dalam
UU No. 19 Tahun 1948 diadopsi dan dimasukkan dalam Konstitusi RIS dan UUDS
1950 dengan penambahan wewenang.“
undang suatu daerah bagian (dapat disamakan dengan per, aturan daerah provinsi)
berlawanan dengan Konstitusi.
(2) Mahkamah Agung berkuasa djuga menjatakan dengan tegas bahwa suat,
ketentuan dalam peraturan ketatanegaraan atau dalam Undang: Undang daerah-bagian
tak-menurut-Konstitusi, djika ada surat permohonan Jang beralasan jang dimadjukan,
untuk Pemerintah Republik Indonesia Serikat oleh atau atas nama Djaksa Agung pada
Mahkamah Agung, ataupun, untuk suatu pemerintah daerah-bagian jang lain, oleh
Kedjaksaan pada pengadilan tertinggi daerah bagian jang dimaksud kemudian.
Baik Konstitusi RIS maupun UUDS 1950 menganut prinsip undang. undang
tidak dapat diganggu gugat” (de wet is onschenbaar). Mahkamah Agung tidak dapat
melakukan uji materiil terhadap undang-undang. Kedua konstitusi hanya memberikan
kewenangan kepada MA untuk menguji peraturan di bawah undang-undang temasuk
undang-undang dearah/ federal.
1. Pembubaran Konstituante.
2. Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini,
dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
2. pada masa berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah berdasarkan UU
No. 35 Tahun 1999.
Dinamika sosial politik pada akhir tahun 50 hingga 60-an dengan se, mangat
revolusi berdampak pada politik hukum kekuasaan kehakiman dan peradilan di
Indonesia. Pada tahun 1964, dibentuk UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pembentukan Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman ini adalah untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini
ditetapkan sebagai ketentuan-ketentuan pokok mengenai kekuasaan kehakiman yang
sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara, alat Revolusi dan Manifesto Politik
Republik Indonesia sebagai Haluan Negara, serta pedoman-pedoman
pelaksanaannya.” Kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai alat revolusi.
Pada tahun 1964, kembali terjadi perubahan dalam sistem peradilan di bawah
MA. Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1964 memasukkan Peradilan Agama sebagai salah
satu lingkungan peradilan di bawah MA. Hierarki semua pengadilan berpuncak pada
Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan
peradilan.”
Empat lingkungan yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1964 adalah:
a) Peradilan Umum,
b) Peradilan Agama,
Pada tahun 1974, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 dicabut dan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Pada Bagian Menimbang Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran-Negara
Tahun 1964 No. 107) tidak merupakan pelaksanaan murni dari Pasal 24 Undang-
Undang Dasar 1945, karena memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar pertimbangan demikian dibentuk undang-
undang tentang kekuasaan kehakiman yang baru yaitu UndangUndang No. 14 Tahun
1970.
1. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi (Pasal 28 ayat (1), Pasal 29,
Pasal 30).
2. Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili (Pasal 28
ayat (2), Pasal 33 ayat (1)).
3. Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah mem, peroleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 28 ayat (3), Pasal 34).
4. Berwenang menguji secara materiil peraturan perundang-undangan dj bawah
undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 31).
5. Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di
semua lingkungan peradilan (Pasal 32).
6. Berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa
yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang
Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 ayat (2)).
7. Memberi nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka
pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35).
8. Bersama Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan
Notaris (Pasal 36).
9. Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tdak
kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain (Pasal 37 dan Pasal 38).
10. Diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Pasal 39)
seperti menyelesaikan sengketa pemilu, dan lain-lain.
11. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum
cukup diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 79). Perubahan penting lainnya
pada masa ini adalah pembentukan peradilan tata usaha negara. Setelah
melalui perjalanan panjang, pada tahun 1986, dikeluarkan UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berlaku efektif pada tahun
1991 bersamaan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1986. Menurut Paulus Effendi Lotulung, peradilan tata usaha negara di
Indonesia dipengaruhi oleh model peradilan administrasi tentang besichikking
(A.R.O.B) di Belanda. Meski demikian, lebih lanjut Paulus Effendi Lotulung
mengatakan bahwa Indonesia yang berlandaskan falsafah Pancasila, kelak juga
harus mencerminkan filosofi pancasila yang menjaga keseimbangan
kepentingan individu dan kepentingan umum. # Di Belanda sendiri juga terjadi
perubahan di mana model peradilan administrasi tentang beschi&£ing
(A.R.O.B) menjadi bagian dari peradilan umum.
Amandemen UUD NRI 1945 sendiri dilakukan sejak tahun 1999 hingga 2002
yaitu banyak 4 kali amandemen. Perubahan pertama diputuskan dalam Rapat
Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-12 tanggal 19
Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Perubahan pertama ini mengubah Pasal 5
ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan
(3), Pasal 20, dan Pasal 21 UUD NRI Tahun 1945. |
Perubahan Kedua UUD NRI 1945 disahkan pada Sidang Tahunan MPR
pertama pada tanggal 18 Agustus 2000. Dalam perubahan kedua ini, MPR mengubah
dan/atau menambah beberapa pasal, yaitu: Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19,
Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25 E,Bab X,
Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal
28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 281, Pasal 28J,
Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 3GA, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan ketiga UUD NRI 1945 disahkan dalam Sidang 'Tahunan MPR kedua
pada tanggal 9 November 2001. Perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/atau
menambah Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3) dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), Pasal 7A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4),
Pasal 22C ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22E
ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C,
Pasal 23E ayat (1), (2) dan (3), Pasal 23F ayat (1) dan 92), Pasal 23G ayat (1) dan (2),
Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24B ayat (1),
(2), (3) dan (4), dan Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UUD 1945.
Perubahan keempat UUD NRI 1945 disahkan dalam Sidang Tahunan MPR
ketiga, pada tanggal 10 Agustus 2002. Pada Perubahan ketiga, MPR mengubah
dan/atau menambah Pasal 2 ayat (1), Pasal GA ayat (4), Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1), Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24 ayat 3), Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan
(5), Aturan Peralihan Pasal I, II dan III, Aturan Tambahan Pasal I.
Hasil amandemen UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) tentang lembaga peradilan yang
melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu:
1. Mahkamah Agung.
3. Mahkamah Konstitusi.
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan| atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar. Perubahan UUD 1945 mendorong dilakukannya sinkronisasi aturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah
Agung. Untuk hal tersebut dikeluarkan undang-undang tentang Kekuasaan
Kehakiman baru, yaitu UU No. 4 Tahun 2004.” Kewenangan Mahkamah Agung
tentang judicial review diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b sedangkan kewenangan
Mahkamah Konstitusi melakukan constitutional review diatur dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf a.
Pasal 31 menyebutkan:
D. Daftar Pustaka