Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formal (procedural law)
memiliki fungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan hukum
materiil (handhaving van het materiele recht), yaitu hukum tata negara materiil
(materiele staatsrecht). Hukum Tata Negara materiil ini meliputi berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara formal dalam praktik penyelenggaraan
negara yang berpuncak pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai the
supreme law of the land.1
Dalam rangka menegakkan hukum materiil, mengawal dan menegakkan supremasi
konstitusi, demokrasi, keadilan dan hakhak konstitusional warga negara, Undang-
Undang Dasar 1945 telah memberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi untuk: (1) menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus
pembubaran partai politik; (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
dan (5) memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden, atau perbuatan tercela dan/ atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Atas dasar
kewenangan viii Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan kewajiban konstitusional
inilah, hukum acara (procedural law) diperlukan untuk mengatur mekanisme atau
prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi.2
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mengatur penegakan hukum yang materinya
telah ditentukan dalam hukum materiilnya – het materiele recht moet ‘gehandhaafd’
worden en dat gebeurt in een process. Jadi, hukum materiil harus ditegakkan dan hal
itu terjadi di dalam suatu acara. Hukum yang mengatur acara inilah yang disebut
dengan ‘formeel recht’ atau ‘procedural law’.3

1
Kata Pengantar Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di dalam Buku “Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi”, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2010, bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
2
Ibid.
3
Ibid.

1
Sejak pertama kali berdiri, MK telah menunjukkan perannya dalam pembaharuan
hukum dan peradilan di Indonesia. Sejak periode pertama hakim konstitusi, berbagai
terobosan dilakukan yang mendobrak kebuntuan dan kebekuan hukum. MK sejak awal
juga telah menunjukkan bagaimana seharusnya lembaga peradilan menjalankan
tugasnya menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
kepercayaan dan harapan masyarakat terhadap institusi peradilan, bahwa mewujudkan
peradilan yang bersih dan adil bukan suatu hal yang mustahil.4
Tugas pengadilan dalam memutus suatu perkara tidak hanya menerapkan aturan
hukum positif, tetapi lebih dari itu, yaitu untuk menegakkan keadilan dan memberi
solusi atas permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu dalam
praktik peradilan di MK banyak muncul hal-hal baru karena adanya kebutuhan hukum
untuk dapat memberikan solusi hukum. Hal-hal baru semacam ini tentu pada awalnya
menimbulkan pro dan kontra, apalagi di kalangan akademisi, namun biasanya pro dan
kontra itu lebih pada belum dipahaminya latar belakang pemikiran dan argumentasi
yang mendasari terobosan hukum itu sendiri.5
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk
melalui Perubahan Ketiga UUD 1945.6 Indonesia merupakan negara ke-78 yang
membentuk MK. Pembentukan MK sendiri merupakan fenomena negara modern abad
ke-20. Ide pembentukan MK di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada
saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun demikian, dari sisi gagasan
judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada
tahun 1945. Anggota BPUPK, Prof. Muhammad Yamin, telah mengemukakan
pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding
Undang-Undang. Namun Prof. Soepomo menolak pendapat tersebut karena
memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut paham
trias politika dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki
pengalaman judicial review.7

4
Kata Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi di dalam Buku “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, Penerbit
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2010, bekerjasama
dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
5
Ibid.
6
Ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9 November 2001.
7
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959),
hal. 341 – 342

2
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, judicial review pernah menjadi salah satu
wewenang MA, tetapi terbatas untuk menguji Undang-Undang Negara Bagian
terhadap konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi
RIS. Sedangkan di dalam UUDS 1950, tidak ada lembaga pengujian undang-undang
karena undang-undang dipandang sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
dijalankan oleh pemerintah bersama DPR.8
Di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia Ad Hoc II MPRS (1966-1967) yang
merekomendasikan diberikannya hak menguji material UU kepada MA. Namun
rekomendasi tersebut ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menyatakan bahwa hanya
MPR lah yang dapat bertindak sebagai pengawal konstitusi.15 Hal itu sudah pernah
dilakukan oleh MPRS melalui Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo
Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/MPRS/1968 tentang Peninjauan Kembali Produk
Hukum Legislatif Di Luar Produk Hukum MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan UUD
1945.9
Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, kembali muncul pada saat pembahasan RUU Kekuasaan
Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Saat itu Ikatan Hakim Indonesia
yang mengusulkan agar MA diberikan wewenang menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Namun karena ketentuan tersebut dipandang merupakan
materi muatan konstitusi sedangkan dalam UUD 1945 tidak diatur sehingga usul itu
tidak disetujui oleh pembentuk undang-undang. MA ditetapkan memiliki wewenang
judicial review secara terbatas, yaitu menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, itupun dengan ketentuan harus dalam

8
Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 25.
9
Di dalam ketetapan MPRS ini dilakukan peninjauan terhadap produk legislatif serta produk hukum lain
terutama yang dikeluarkan dalam bentuk Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Sebagai pelaksanaan
dari Tap MPRS ini dibentuk UU Nomor 25 Tahun 1968 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai
Penetapan Presiden Dan Peraturan Presiden dan UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Penetapan dan Peraturan Presiden
yang masih relevan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) menjadi Undang-Undang dengan disahkannya UU
Nomor 5 Tahun 1969; (2) menjadi Undang-Undang dengan ketentuan materi Penetapan Presiden atau
Peraturan Presiden tersebut ditampung dan dijadikan bahan penyusunan Undang-Undang yang baru; dan (3)
diserahkan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali dan pengaturannya disesuaikan dengan materi
masing-masing.

3
pemeriksaan tingkat kasasi yang mustahil dilaksanakan. Ketentuan ini juga dituangkan
dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978.10
Perdebatan mengenai hak menguji muncul lagi pada pertengahan tahun 1992 ketika
Ketua MA Ali Said menganggap bahwa pemberian hak uji kepada MA adalah hal yang
proporsional karena MA merupakan salah satu pilar demokrasi. Jika dua pilar lain,
yaitu Presiden dan DPR bertugas membuat dan menetapkan UU, maka MA bertugas
mengujinya. Gagasan tersebut merupakan gagasan yang didasarkan pada prinsip
checks and balances.11
Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari Perubahan Ketiga
UUD 1945, wewenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dipegang oleh
MPR. Hal itu diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 5 ayat (1) ketetapan
tersebut menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan MPR.” Namun
pengujian ini tidak dapat disebut sebagai judicial review, karena dilakukan oleh MPR
yang bukan merupakan lembaga peradilan.
Pada awalnya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi
kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD, yaitu MPR atau MA atau MK.
Gagasan memberikan wewenang tersebut kepada MPR akhirnya dikesampingkan
karena, di samping tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, MPR bukan merupakan
kumpulan ahli hukum dan konstitusi, melainkan wakil organisasi dan kelompok
kepentingan politik. Gagasan memberi wewenang pengujian UU kepada MA juga
akhirnya tidak dapat diterima karena MA sendiri sudah terlalu banyak beban tugasnya
dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi kompetensinya. Itulah sebabnya
wewenang pengujian UU terhadap UUD akhirnya diberikan kepada lembaga
tersendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman.
Pembentukan MK RI dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari
sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan MK diperlukan guna
mengimbangi kekuasaan pembentukan undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan

10
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007),
hal. 96.
11
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hal. 331.

4
Presiden. Hal itu diperlukan agar undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani
mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas
rakyat. Di sisi lain, perubahan ketatanegaraan yang tidak lagi menganut supremasi
MPR menempatkan lembaga-lembaga negara pada posisi yang sederajat. Hal itu
memungkinkan – dan dalam praktik sudah terjadi – muncul sengketa antar lembaga
negara yang memerlukan forum hukum untuk menyelesaikannya. Kelembagaan paling
sesuai adalah Mahkamah Konstitusi. Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah salah
satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi,
prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah negara
kesatuan yang berbentuk republik. Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai
kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Di dalam prinsip
negara kesatuan menghendaki adanya satu sistem hukum nasional. Kesatuan sistem
hukum nasional ditentukan oleh adanya kesatuan dasar pembentukan dan
pemberlakuan hukum, yaitu UUD 1945. Substansi hukum nasional dapat bersifat
pluralistik, tetapi keragaman itu memiliki sumber validitas yang sama, yaitu UUD
1945.
Prinsip supremasi konstitusi juga telah diterima sebagai bagian dari prinsip negara
hukum.12 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Hukum adalah satu kesatuan sistem yang hierarkis
dan berpuncak pada konstitusi. Oleh karena itu supremasi hukum dengan sendirinya
berarti juga supremasi konstitusi.
Prinsip supremasi konstitusi juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Dengan demikian konstitusi menjadi penentu bagaimana dan siapa saja yang
melaksanakan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dengan batas sesuai
dengan wewenang yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri. Bahkan, konstitusi juga
menentukan substansi yang harus menjadi orientasi sekaligus sebagai batas
penyelenggaraan negara, yaitu ketentuan tentang hak asasi manusia dan hak

12
Menurut A.V. Dicey salah satu prinsip negara hukum adalah supremasi hukum (supremacy of law). Salah
satu konsekuensi dari kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi, maka berlaku pula prinsip supremasi
konstitusi. Lihat A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition, (London;
Macmillan Education LTD, 1959).

5
konstitusional warga negara yang perlindungan, pemenuhan, dan pemajuannya adalah
tanggung jawab negara.
Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, maka harus
dijamin bahwa ketentuan hukum di bawah konstitusi tidak bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika
memang ketentuan hukum dimaksud bertentangan dengan konstitusi. Pengujian ini
sangat diperlukan karena aturan hukum undang-undang itulah yang akan menjadi
dasar penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran yang paling mendasar adalah ada
atau tidaknya pelanggaran terhadap hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD
1945. Dengan latar belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui Perubahan Ketiga
UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945.
Dalam perjalanannya hingga tahun 2015, terdapat beberapa Putusan Mahkamah
Konstitusi yang menarik perhatian masyarakat Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah dan isu yang menjadi topik di dalam penulisan makalah ini adalah
beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang menarik perhatian masyarakat
Indonesia sepanjang tahun 2015.

1.3. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas beberapa Putusan
Mahkamah Konstitusi yang menarik perhatian masyarakat Indonesia sepanjang tahun
2015.

6
BAB II
PEMBAHASAN

Bahwa dalam perjalanan Mahkamah Konstitusi sejak berdirinya, terdapat beberapa


putusan yang menarik perhatian publik, yaitu :
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 mengenai
pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Alasan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air adalah dikarenakan belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak
swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD 1945.
Dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, MK kembali memberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan. Sebagai tindak lanjut putusan, Pemerintah Menyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Air dan RPP tentang
Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Namun, APINDO keberatan dengan isi
kedua RPP karena potensial menutup peluang swasta. Beberapa bulan pasca
terbitnya putusan MK, kalangan pengusaha melalui wadah APINDO khawatir
terkait pelaksanaan putusan MK ini di lapangan. Sebab, UU Pengairan tak mengatur
tegas model kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengusahaan air.13

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai


Kewenangan Praperadilan Penetapan Tersangka.
Dalam Putusan MK tersebut, diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A
KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Adapun salah satu
pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka
seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat
dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut
semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenangwenang penyidik
yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai

13
https://www.hukumonline.com/berita/a/8-putusan-mk-menarik-sepanjang-2015-lt56811a92f17c8/
?page=2, diakses pada 01 Mei 2023, pukul 13.39 WIB.

7
tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata
lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Putusan
MK ini memberikan perlindungan terhadap seseorang yang mengalami proses
hukum yang keliru pada saat ditetapkan sebagai tersangka. Di dalam ketentuan
Pasal 8 UU 39/1999 tentang HAM diatur bahwa “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab
pemerintah. Hal ini berarti MK mengambil peran dalam pemenuhan hak asas
manusia melalui putusannya sebagai bagian dari upaya responsif konstitusional.
Salah satu unsur perlindungan hukum yang ditekankan melalui putusan ini adalah
kepastian hukum bahwa penyidik harus melakukan tindakan penyidikan sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku. Setelah lahirnya Putusan MK ini, maka
permohonan praperadilan atas penetapan tersangka memiliki landasan hukum
untuk diajukan ke pengadilan namun terdapat karakteristik khusus pengajuan
praperadilan terkait penetapan tersangka yakni :14
a. Penetapan tersangka tidak sah karena pemeriksan saksi-saksi, ahli,
tersangka, penggeledahan, serta penyitaan dilakukan setelah penetapan
tersangka sehingga tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti,
b. Permohonan praperadilan yang kedua kalinya mengenai penetapan
tersangka tidak dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem karena belum
menyangkut pokok perkara,
c. Penetapan tersangka atas dasar hasil pengembangan Penyidikan terhadap
tersangka lainnya dalam berkas berbeda adalah tidak sah.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109/PUU-XIII/2015 mengenai


Pembatasan Ruang Lingkup Materi Praperadilan.
MK melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015 menafsirkan makna penyidik
independen KPK yang dijadikan sebagai alasan mengajukan permohonan
praperadilan tidak sahnya penetapan tersangka. MK mempertimbangkan, bahwa
ketika terdapat perbedaan antara UU 30/2002 dengan KUHAP perihal kedudukan
penyidik, maka dalam menjalankan tugasnya KPK tetap terikat pada UU 30/2002
dan dapat mengesampingkan KUHAP sepanjang hal itu secara khusus diatur dalam

14
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/Praperadilan%20Pasca%204%20Putusan%
20MK.pdf, diakses pada 01 Mei 2023, pukul 13.21 WIB.

8
UU 30/2002, sejalan dengan prinsip lex specialis derogat legi generalis.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat penyidik KPK sebagaimana diatur dalam
Pasal 45 ayat (1) UU 30/2002 tidak harus hanya berasal dari institusi Kepolisian
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan menurut Mahkamah, KPK
memiliki kewenangan untuk mengangkat sendiri penyidiknya. Melalui putusan ini,
MK menegaskan posisinya sebagai penafsir undang-undang dengan
menghubungkan melalui menafsiran sistematis dengan prinsip kekhususan suatu
undang-undang. Untuk menciptakan konsistensi sikap terhadap muatan menafsiran
MK maka penyidik independen KPK sudah tidak eksis untuk dijadikan bagian dari
permohonan praperadilan penetapan tersangka. Kesatuan hukum perlu dibangun
untuk menghindari abuse of power untuk kepentingan-kepentingan tertentu.15

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 mengenai


Gugurnya Permohonan Praperadilan
Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu
perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur
ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap
pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”. Melalui putusan ini
pengertian “perkara sudah mulai diperiksa” dalam perkara praperadilan adalah pada
saat pokok perkara disidangkan. Putusan MK ini akan menyelesaian perbedaan tasir
para hakim pada saat menggugurkan permohonan praperadilan karena sebelumnya
ada sebagian putusan praperadilan yang menggugurkan permohonan setelah berkas
dikirim sebagaimana Putusan Nomor 02/Pid.Pra/2015/PN.Tdn. Adapun alasanya
frasa “sudah mulai diperiksa” tidak diatur secara gramatikal (menurut tata bahasa)
oleh KUHAP sehingga kualifikasi “sudah mulai diperiksa” ditafsirkan secara
sistematis terhadap ketentuan Bab XVI “Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan”
Bagian Ketiga “Acara Pemeriksaan Biasa” pada Pasal 152 KUHAP yang mengatur

15
Ibid.

9
“Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat
bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang
akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari
sidang”. Proses penunjukan hakim dan proses penetapan hari sidang dilakukan oleh
hakim melalui proses pemeriksaan berkas perkara terlebih dahulu.16

5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 mengenai


Penyerahan SPDP
MK menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak
hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor
dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup
bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut. Adapun alasan
MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah
mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan
pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya,
sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan
keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas
laporannya. Putusan ini memberikan ruang bagi tersangka melakukan praperadilan
apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya
waktu 7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor saat itu. Acuannya adalah
adanya prinsip due process of law yang harus dipenuhi. Due Process of law : The
conduct of legal proceedings according to established rules and principles for the
protection and enforcement of privat right, including notice and the right to a fair
hearing beforing a tribunal with the power to decide the case (Black’s law
dictionary). Pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum merupakan hak
konstitusional yang dijamin pelaksanaannya oleh aparatur hukum sehingga SPDP
sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya. Penolakan
terhadap alasan praperadilan karena telat mengirim SPDP sesuai dengan Putusan
MK dapat diketahui melalui Putusan 71/Pid.Pra/2017/PN JKT.SEL dengan alasan
“apabila tidak didalilkan ke dalam permohonan berarti pemohon menganggap
tentang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan bukan perkara yang substansial

16
Ibid.

10
sehingga alasan tersebut ditolak”. Putusan ini merujuk pada formulasi permohonan
praperadilan yang tidak memuat keberatan atas keterlambatan penyerahan SPDP
melainkan diajukan pada kesimpulan.17

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 mengenai Kawin


Beda Agama
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait
konstitusionalitas nikah bedah agama tetap menjadi putusan menarik pada 2015
karena isu sensitif yang ditunggu-tunggu oleh publik. Mahkamah
menganggap perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi
juga aspek spiritual dan sosial. Agama juga telah menetapkan keabsahan
perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif oleh
negara.18
Dalam sidang yang memakan waktu berbulan-bulan ini, Mahkamah berinisiatif
mengundang sejumlah organisasi keagamaan memberikan pandangan. Ada pula
pihak terkait yang mengajukan intervensi, sehingga menimbulkan perdebatan
panjang. Namun, dengan putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 yang dibacakan
pada 18 Juni 2015 ini, keinginan beberapa mahasiswa dan alumnus FHUI agar
kawin beda agama dilegalkan pupus.19

7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 mengenai


Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia mengambil sumpah advokat tanpa
mengkaitkan keanggotaan organisasi advokat yang secara de facto ada yakni
PERADI) dan KAI.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menegaskan putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai sumpah advokat sejalan dengan SK Ketua MA No.
73/KMA/HK.01/IX/2015 yang memerintahkan Pengadilan Tinggi (PT)
menyumpah advokat dari organisasi advokat manapun. “Putusan MK
itu linier dengan SK KMA No. 73 itu sehingga keduanya tidak bertentangan.” MA
sendiri menganggap putusan MK dan SK KMA No. 73 pada hakikatnya sama.

17
Ibid.
18
https://www.hukumonline.com/berita/a/8-putusan-mk-menarik-sepanjang-2015-lt56811a92f17c8/
?page=2, diakses pada 01 Mei 2023, pukul 13.39 WIB.
19
Ibid.

11
Sebab, pertimbangan putusan MK disebut dasar penyumpahan tidak melihat asal
dari satu organisasi advokat (PERADI). Artinya, pengusulan sumpah advokat lebih
dari satu organisasi. Menurut Mahkamah keharusan mengambil sumpah para
advokat oleh PT tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang secarade
facto ada agar tidak mengganggu proses pencarian keadilan (access to justice) bagi
masyarakat yang membutuhkan jasa advokat dan tidak menghalang-halangi hak
konstitusional para advokat. Putusan ini sebenarnya memperkuat kembali amar
putusan No. 101/PUU-VII/2009, tetapi tidak memberikan jangka waktu
penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul.
Sebab, persoalan eksistensi kepengurusan organisasi advokat yang sah menjadi
tanggung jawab sepenuhnya organisasi advokat itu sendiri selaku organisasi yang
bebas dan mandiri untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.20

8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XII/2015 mengenai Calon


Tunggal Pilkada
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Wali Kota. MK memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk
melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak periode pertama pada Desember
2015. Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang
mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih
kepala daerah secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala
daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat. Selain itu,
MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan
adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan
kekosongan hukum. Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya
pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam
kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.21
Munculnya pasangan calon tunggal ini berawal dari Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) pada September 2015, yang melegalkan pasangan calon tunggal dalam
Pilkada. Keputusan tersebut, semula diharapkan menjadi solusi, atas kebuntuan

20
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12201, diakses pada 01 Mei 2023, pukul 13.48 WIB.
21
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12143, diakses pada 01 Mei 2023, pukul 13.53 WIB.

12
demokrasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang sekarang telah diubah
menjadi UU No. 10/2016 tentang Pilkada mensyaratkan minimal dua pasangan
calon kepala daerah. MK dengan pertimbangan untuk memberi kepastian
berjalannya demokrasi, memutuskan pilkada tetap dilaksanakan sekalipun meski
hanya dengan calon tunggal. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
100/PUU-XII/2015 daerah dengan calon tunggal, hanya ada pilihan setuju atau
tidak terhadap calon tersebut. Keputusan MK tersebut kemudian diadopsi dalam
Pasal 54C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu
menyatakan pemilihan pasangan calon tunggal bisa dilaksanakan jika setelah
penundaan dan memperpanjang pendaftaran tetap hanya ada satu pasangan bakal
calon yang mendaftar. Lalu dari hasil penelitian, pasangan calon memenuhi
syarat.22

9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 mengenai


Pembatalan Kewenangan Komisi Yudisial Perekrutan Hakim
MK membatalkan kewenangan KY dalam seleksi hakim tingkat pertama di tiga
lingkungan peradilan melalui pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan. Dengan
begitu, kewenangan seleksi calon hakim tetap menjadi wewenang tunggal
Mahkamah Agung (MA). Putusan ini sempat menuai protes dari Forum Kajian
Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai pihak terkait dengan mengadukan empat
hakim konstitusi ke Dewan Etik. Saat persidangan pun, pengujian tiga paket UU
Bidang Peradilan ini cukup banyak mendengar pandangan para ahli, terutama dari
pihak pemohon dan pihak terkait dari KY. MA pun turut memberi keterangan
sebagai pihak terkait. Makanya, proses pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan
yang diajukan IKAHI ini sempat mengundang konflik hubungan kelembagaan
antara MA dan KY. Apalagi, kedua lembaga sebelumnya sudah cukup lama
merencanakan persiapan pelaksanaan seleksi calon hakim tingkat pertama secara
bersama-sama hingga merumuskan draft Peraturan Bersama terkait seleksi calon
hakim. Namun, lewat putusan MK bernomor 43/PUU-XIII/2015.23

22
https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-dasar-hukum-sengketa-calon-tunggal-pilkada-di-mk-
lt58b3af97dc8dd, diakses pada 01 Mei 2023, pukul 13.56 WIB.
23
Ibid.

13
10. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 mengenai Putusan
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu Lewat Penetapan Pengadilan
Tak berselang lama, pada 4 November 2015, MK memberi jalan hukum atas
kebuntuan pelaksanaan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat
(8), dan Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aturan
itu terkait terpenuhinya syarat-syarat perubahan status perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) alias
pekerja kontrak outsourcing. Prosesnya, pengesahan peralihan status dari PKWT
ke PKWTT harus melalui penetapan pengadilan negeri. Sebelum ke pengadilan
kedua pihak (pekerja dan pengusaha) telah menempuh upaya perundingan bipartit,
tetapi tidak mencapai kesepakatan dan adanya nota hasil pemeriksaan pegawai
pengawas ketenagakerjaan pada Dinas Ketenagakerjaan. Sebab, selama ini
penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan terkait peralihan pekerja
PKWT ke PKWTT tidak pernah dijalankan secara sukarela oleh pengusaha.
Penetapan ini pun tidak bisa dimintakan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) atau PTUN. Lewat putusan bernomor 7/PUU-XII/2014 yang
dimohonkan sejumlah aktivis buruh ini setidaknya bisa menjadi “modal” bagi
pekerja kontrak/outsourcing yang memenuhi syarat untuk dapat diangkat sebagai
pegawai tetap di sebuah perusahaan pengguna atau perusahaan pemberi jasa
pekerjaan. Meski putusan ini terkesan melindungi buruh/pekerja kontrak, namun
hingga kini belum ada aturan teknis dari instansi terkait prosedur pengajuan
penetapan peralihan PKWT menjadi PKWTT ini ke pengadilan negeri.24

11. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XIII/2015 mengenai


Penghinaan Pejabat Delik Aduan
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XIII/2015 tertanggal 10
Desember 2015, MK menyatakan Pasal 319 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang mengatur penghinaan pejabat harus dimaknai sebagai delik aduan. Artinya,
penuntutan atas delik penghinaan pejabat atau pegawai negeri hanya dilakukan atas
dasar pengaduan dari pejabat atau pegawai negeri yang bersangkutan. Putusan ini
dianggap konsisten dengan putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang

24
Ibid.

14
menyatakan pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas
dasar pengaduan dari penguasa.25

25
Ibid.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Selama perkembangannya, sejak pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia
hingga saat ini, Mahkamah Konsitusi telah berusaha untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya dengan sebaik-baiknya dengan cara terus mengawal dan
menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun
tidak jarang, hasil dari Putusan Mahkamah Konstitusi menuai beberapa kritik tajam
dari masyarakat Indonesia dan juga belum adanya peraturan pelaksana baru yang dapat
menunjang hasil dari Putusan Mahkamah Konstitusi sehingga mengakibatkan adanya
kekosongan hukum bagi masyarakat Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut.
Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang sempat menjadi perhatian publik
hingga tahun 2015 adalah mengenai dihapuskan Undang-Undang Sumber Daya Air,
permasalahan mengenai praperadilan, permasalahan mengenai pengambilan sumpah
advokat tanpa memperhatikan organisasi advokat yang menaunginya, permasalahan
calon tunggal pilkada, permasalahan mengenai kewenangan Komisi Yudisial dalam
perekrutan hakim, permasalahan mengenai perubahan status perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) serta
permasalahan mengenai delik aduan terkait penghinaan pejabat.
3.2 SARAN
Mahkamah Konstitusi harus tetap menjalankan tugas dan tanggungjawabnya
dengan mendasarkan kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sehingga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dapat terus berdiri tegak di negara Indonesia. Namun di lain sisi, Mahkamah Konstitusi
seharusnya juga memikirkan bagaimana tindakan selanjutnya setelah putusan
dijatuhkan. Karena tidak hanya mengenai putusan, tapi bagaimana kondisi peraturan
perundang-undangan yang ada pasca putusan Mahkamah Konstitusi sehingga tidak
adanya kekosongan hukum dan menyulitkan masyarakat Indonesia.

16
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,
(London; Macmillan Education LTD, 1959).

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, (Jakarta:


Yayasan Prapanca, 1959), hal. 341 – 342

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 96.

Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999),
hal. 331.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ,“Hukum


Acara Mahkamah Konstitusi”, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2010, bekerjasama dengan
Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 25.

Internet :

https://www.hukumonline.com/berita/a/8-putusan-mk-menarik-sepanjang-2015-
lt56811a92f17c8/ ?page=2

https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/Praperadilan%20Pasca%204%2
0Putusan% 20MK.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/a/8-putusan-mk-menarik-sepanjang-2015-
lt56811a92f17c8/ ?page=2

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12201

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=12143

https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-dasar-hukum-sengketa-calon-tunggal-
pilkada-di-mk-lt58b3af97dc8dd

17

Anda mungkin juga menyukai