Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya badan Yudikatif sangatlah penting fungsinya dalam penentuan

proses hingga pemutusan masalah yang diangkat dalam persidangan. Mahkamah

Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia telah

banyak menyelesaikan masalah – masalah yang dipersidangkan.Namun prestasi

yang dicapai oleh Mahkamah Agung tidak berbanding lurus dengan banyaknya

hakim Mahkamah Agung yang menyalahgunakan wewenangnya hingga

melakukan tindak pidana yang membuat mereka harus terjerat hukum, misalnya

saja tentang adanya hakim yang terlibat kasus tindakan asusila, penyalahgunaan

narkoba hingga kasus suap (korupsi). Hal ini menandai betapa buruknya kinerja

badan Yudikatif di Indonesia dalam mengemban amanah keadilan yang

dipercayakan kepada hakim yang seharusnya dituntut bersikap adil dan bijaksana

justru sibuk dengan kesenangan mereka sendiri, termasuk dalam hal

penyelewengan wewenang guna memperkaya diri. Hal ini membuat pentingnya

pengawasan terhadap lembaga – lembaga yang menjalankan kekuasaan

kehakiman di Indonesia.

Transisi demokrasi di berbagai negara pada umumnya ditandai dengan

terjadinya perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan

akuntabilitas kekuasaan kehakiman. Reformasi di Indonesia juga menghasilkan

1
amandemen Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NKRI Tahun 1945) yang memberikan jaminan konstitusional

terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman. 1 Terjadinya amendemen terhadap

Undang – Undang Dasar 1945 telah memberikan perubahan terhadap kekuasaan

kehakiman di Indonesia yang membentuk dua kekuasaan kehakiman, yakni

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditambah satu lembaga negara yang

tugasnya bukan di bidang kekuasaan kehakiman, tetapi berkaitan dengan

kekuasaan kehakiman, yakni Komisi Yudisial. 2

Lahirnya Komisi Yudisial merupakan konsekuensi logis dari arus reformasi

yang bergulir pada tahun 1998. Pembentukan Komisi Yudisial dilandasi oleh

kondisi tidak berfungsinya lembaga-lembaga konvensional yang terlebih dahulu

ada. Dalam konteks ini, lembaga konvensional yang dimaksud adalah Mahkamah

Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi. Mahkamah Agung dinilai gagal

dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan rekrutmen hakim yang efektif. Oleh

karenanya, konstitusi melalui Pasal 24B ayat (1) memberikan dua wewenang

utama kepada Komisi Yudisial yaitu, kewenangan mengusulkan pengangkatan

Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk yang

fungsi kedua ini, sejumlah kalangan memaknainya sebagai fungsi pengawasan.

Meskipun baru resmi diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun 2001 dan

1
Imam Anshori Saleh. 2014. Konsep Pengawasan Kehakiman ‘Upaya Memperkuat
Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan’. Malang. Setara
Press. Hal. 1

2
Moh. Mahfud MD. 2009. Konstruksi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada. Hal. 268

2
kemudian secara kelembagaan terbentuk tahun 2005, namun Komisi Yudisial

dalam arti konsep sebenarnya telah hidup sejak tahun 1970. Tepatnya, ketika

Undang – Undang No. 14 Tahun 1970 masih dalam proses perancangan. Kondisi

pada era itu memang tidak bisa disamakan dengan era reformasi 1998. Ketika itu,

pengawasan dan rekrutmen hakim tidak atau belum menjadi permasalahan krusial.

Adapun yang menjadi perhatian justru soal koordinasi antara eksekutif dan

yudikatif, mengingat pengelolaan lembaga peradilan saat itu masih berada di dua

atap. Eksekutif, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Departemen

Kehakiman), mengurusi hal-hal administratif. Sementara, yudikatif, dalam hal ini

MA, mengurusi hal-hal teknis. Lalu, dalam proses pembahasan UU No. 14 Tahun

1970 muncul gagasan pembentukan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai

jembatan antara eksekutif dan yudikatif terkait pengelolaan lembaga peradilan.

Gagasan ini lalu mengerucut menjadi sebuah usulan nama lembaga yaitu Majelis

Pertimbangan dan Penelitian Hakim (MPPH). Walaupun akhirnya batal

dimasukkan dalam Undang – Undang No. 14 Tahun 1970, MPPH diyakini

sejumlah kalangan sebagai cikal – bakal Komisi Yudisial, setidaknya dalam arti

gagasan. Setelah MPPH, gagasan pembentukan sebuah lembaga independen yang

mengurusi peradilan terus bergulir di forum – forum diskusi dan pembahasan

peraturan perundang-undangan. 3 Menariknya, UU berikutnya yang juga

menyinggung gagasan yang secara konsep mirip dengan MPPH adalah Undang –

Undang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman versi amandemen,

Undang – Undang No. 35 Tahun 1999. Di Undang – Undang itu, nomenklaturnya

3
Risalah Komisi Yudisial. 2013. Cikal Bakal Pelembagaan dan dinamika wewenang.
Jakarta. Pusat Analisis dan Layanan Informasi. Hal. 11-12

3
tidak lagi MPPH tetapi Dewan Kehormatan Hakim (DKH). Sesuai tahun Undang

– Undang-nya, gagasan DKH antara lain dilandasi oleh salah satu tuntutan

reformasi yang digaungkan kalangan LSM, mahasiswa, dan tokoh reformisi yakni

reformasi peradilan secara total. Konsep DKH lebih diarahkan pada fungsi

pengawasan hakim yang ketika itu memang dinilai bobrok integritasnya.

Lahirnya Mahkamah Konstitusi tidak terlepas dari semangat penyelenggaraan

sistem ketatanegaraan yang lebih baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa

lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak terlepas dari adanya Mahkamah

Konstitusi di negara-negara lain. Dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal

24C UUD 1945 yang menjadi bagian dari Perubahan ke tiga UUD 1945 pada ST

MPR 2001 tanggal 9 November 2001 menjadi bukti nyata pentingnya pengadilan

konstitusi di indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung dan badadan-

badan peradilan yang berada di bawahnya. Dalam menjalankan kekuasaan

kehakiman, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diberikan 4 (empat)

kewenangan dan satu kewajiban oleh UUD 1945, adapun kewenangan tersebut

yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-

undang terhadap Undang – Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar

1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum dan kewajibannya yaitu Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

4
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-

Undang Dasar 1945. 4

Pengujian undang-undang (judicial review) di Indonesia dilaksanakan oleh

dua lembaga peradilan yang berbeda, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan

Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-

undang (UU) terhadap undang-undang dasar 1945 (UUD 1945), sedangkan

Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang dasar (UUD 1945). 5

Pengujian undang-undang di Indonesia dikenal dengan istilah Judicial Review

yang dalam hal ini memiliki perbedaan pengertian yang mendasar dengan istilah

Constitutional Review atau pengujian konstitusional. Judicial Review memiliki

objek kajian yang lebih luas dari Constitutional Review, karena bukan hanya

menguji produk perundang-undangan berbentuk undang-undang, tetapi mencakup

pula peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pengujiannya

bukan hanya soal Konstitusionalitasnya, melainkan juga dapat diuji legalitas dari

produk perundang-undangan tersebut. Namun disisi lain, Judicial Review

memiliki pengertian yang lebih sempit, karena kewenangan pengujian ini hanya

dilakukan oleh hakim atau lembaga judicial. Sedangkan, Constitutional Review

memiliki pengertian lebih luas, karena subyek yang mengujinya bisa lembaga

4
Lihat pasal 24C Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

5
Jimly Asshiddiqie. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta. Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal.
187

5
selain peradilan, tergantung lembaga mana yang diberi kewenangan oleh

konstitusi negara tersebut. 6

Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap hakim

ternyata berdampak terhadap hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi

Yudisial. Lebih dari itu sering terjadi ‘perang pernyataan’ kedua lembaga negara

tersebut. Mahkamah Agung sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman

yang mandiri dan dijamin dalam konstitusi, terkesan merespon dengan ‘risih’

terhadap pengawasan dan setiap aktivitas Komisi Yudisial, karena dianggap dapat

mengancam kebebasan hakim.7 Maka atas beberapa faktor itu hakim mahkamah

agung melakukan uji materil (Judicial Review) terhadap Undang-Undang Nomor

18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial, yang dalam pelaksanaantugasnya-pun ternyata langkah-

langkah Komisi Yudisial dianggap sangat kontroversial. Bahkan kewenangan

lembaga ini dipangkas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-

IV/2006 yang dibuat berdasar permohonan pengujian atas Undang-Undang

Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2004 tentang Komisi Yudisialoleh 31 orang hakim agung. Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial terhadap hakim

adalah pengawasan terhadap individu-individu hakim dan bukan pengawasan

terhadap institusi Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman

sebab dengan kedudukannya sebagai lembaga negara “yang bebas dan merdeka”

6
Jimly Asshiddiqie. 2006. Model-Model Pengajuan Konstitusional di Berbagai Negara.
Jakarta. Konstitusi Press. Hal. 2-4

7
Imam Anshori Saleh. 2014. Op.Cit. Hal. 188

6
Mahkamah Agung tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain, dan di dalam

putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa hakim konstitusi

juga bukan obyek pengawasan Komisi Yudisial dengan alasan hakim konstitusi

bukanlah hakim profesi seperti hakim biasa. Bila hakim biasa tak terikat dengan

jangka waktu, tidak demikian dengan hakim konstitusi yang diangkat hanya untuk

jangka waktu lima tahun.8 Dengan berlakunya putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 005/PPU-IV/2006 maka kewenangan pengawasan eksternal terhadap

hakim Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial

dinyatakan tidak berlaku lagi.

Komisi Yudisial sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di mana Komisi Yudisial

merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan

wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam

melaksanakan tugasnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

martabat serta prilaku hakim, Komisi Yudisial selama masa perjalanannya telah

menerima banyak sekali laporan pengaduan dari masyarakat yang melaporkan

para hakim yang dinilai telah berprilaku melanggar kode etik, tidak profesional

dan melanggar prinsip imparsialitas dalam menjalankan tugasnya. Peran Komisi

Yudisial setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Nomor

22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut antara lain dihapuskannya fungsi

pengawasan Komisi Yudisial (KY) tersebut. Secara konstitusional, fungsi Komisi

Yudisial pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-

8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

7
IV/2006 adalah hanya sebagai pengusul pengangkatan Hakim Agung kepada

DPR. Dengan kata lain Komisi Yudisial hanya menjalankan fungsi pengawasan

yang bersifat preventif saja, sedangkan pengawasan secara eksternal yang

dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak ada lagi. Artinya, pengawasan yang bersifat

represif sudah dibatalkan dengan putusan tersebut yang menyangkut juga perihal

pengusulan sanksi kepada pimpinan Mahkamah Agug atau Mahkamah Konstitusi

setelah memberikan keterangan di depan Majelis Kehormatan.

Rabu, 2 Oktober 2013 Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar ditahan

oleh KPK terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan Lebak,

hal ini membuat Mahkamah Konstitusi dan publik benar-benar shock. Soalnya,

tak tanggung-tanggung aktor yang terlibat di dalamnya adalah orang nomor satu

di lembaga pengawal konstitusi. Belum pernah ada di dunia ketua Mahkamah

Konstitusi ditahan karena menerima suap kecuali di Indonesia. Tidak heran, citra

Mahkamah Konstitusi yang selama ini dikenal berwibawa dan bersih, langsung

jatuh ke titik nadir. Sejak saat itu, muncul desakan publik agar hakim konstitusi

diawasi sebuah lembaga permanen yang berfungsi menjaga keluhuran martabat

dan perilakunya. Sejak Mahkamah Konstitusi berdiri, belum ada organ/lembaga

yang mengawasi hakim konstitusi. Awalnya, Komisi Yudisial dianggap

berwenang mengawasi hakim konstitusi. Namun, Mahkamah Konstitusi

membatalkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim konstitusi

lewat uji materi Undang – Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

yang dimohonkan 31 hakim agung. Lewat Putusan Mahkamah Konstitusi No.

005/PUU-IV/2006 dinyatakan hakim konstitusi tidak termasuk objek pengawasan

8
Komisi Yudisial. Desakan ini direspon Mahkamah Konstitusi dengan membentuk

Dewan Etik Hakim Konstitusi lewat Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun

2013 yang bertugas mengawasi perilaku hakim konstitusi. Dewan Etik Hakim

Konstitusi dalam menjalankan tugasnya dapat menerima laporan masyarakat atau

temuan, mengumpulkan informasi, dan menganalisis laporan dugaan pelanggaran

perilaku hakim konstitusi terkait putusan Mahkamah Konstitusi.

Hampir dalam bersamaan, presiden-pun menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2013

tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Awalnya menuai polemik, tetapi akhirnya DPR

mengesahkan Perppu Mahkamah Konstitusi itu menjadi undang-undang.

Beleid ini memberi wewenang kepada Komisi Yudisial untuk membentuk MKHK

bersama Mahkamah Konstitusi yang bersifat tetap dan sekretariatnya

berkedudukan di Komisi Yudisial. MKHK ini beranggotakan lima orang dari

unsur mantan hakim konstitusi, praktisi hukum, dua orang akademisi, dan tokoh

masyarakat. Seperti termuat dalam Pasal 27A Undang – Undang Mahkamah

Konstitusi perubahan kedua.9

Dengan penjelasan latar belakang di atas maka penulis mengkaji

permasalahan yang ada dengan judul “Analisis Implikasi Putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim

Mahkamah Konstitusi ditinjau dari Sistem Pembagian Kekuasaan Lembaga

Negara di Indonesia”.

9
Ibid.,

9
B. Rumusan Masalah

Untuk memperoleh penelitian yang lebih jelas, maka penulis menguraikan

dalam bentuk rumusan masalah.

1. Bagaimana Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-


IV/2006 terhadap fungsi pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh
Komisi Yudisial?

2. Bagaimana fungsi pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim


Mahkamah Konstitusi jika ditinjau dari sistem pembagian kekuasaan
lembaga Negara di Indonesia pada masa mendatang ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-

IV/2006 terhadap fungsi pengawasan hakim mahkamah konstitusi oleh

komisi yudisial.

2. Untuk mengetahui fungsi pengawasan Komisial Yudisial terhadap Hakim

Mahkamah Konstitusi jika ditinjau dari sistem pembagian kekuasaan

lembaga Negara di Indonesia pada masa mendatang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis sendiri

dan pihak – pihak terkait :

1. Bagi Penulis

10
Sebagai salah satu persyarat untuk meraih gelar sarjana hukum, dan juga

untuk menambah wawasan yang baru kepada penulis, selaku calon pemimpin

masa depan bangsa.

2. Bagi Mahasiswa

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi

pemikiran dan wawasan terhadap mahasiswa, khususnya mahasiswa hukum

terkait dengan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-

IV/2006 terhadap fungsi pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh

Komisi Yudisial.

3. Bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian yang didapatkan ini di harapkan dapat memberikan

wawasan bagi masyarakat Indonesia terkait dengan Implikasi Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 terhadap fungsi pengawasan

Hakim Mahkamah Konstitusi ole Komisi Yudisial.

4. Bagi Penegak Hukum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi ilmu terkait

dengan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006

terhadap fungsi pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi

Yudisial.

11
E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

khususnya bagi mahasiswa maupun akademisi hukum tata negara menganai

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 terhadap fungsi

pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial. Serta menjadi

sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan Ilmu Hukum khususnya

Hukum Tata Negara.

F. Metode Penelitian

Untuk menyempurnakan penulisan hukum, penulis dengan ini menggunakan

metode pendekatan, sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan pada penulisan hukum ini adalah yuridis normatif,

atau yang sering disebut dengan metode penulisan doktrinial. Pendekatan yuridis

normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama

dengan cara menelah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum, serta peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini

dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-

buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan

dengan penulisan hukum ini. Oleh karena metode penelitian yang digunakan

adalah yuridis normatif, maka satu hal yang pasti adalah digunakannya

pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan perundang-

undangan (Statute Approach) melakukan pengkajian peraturan perundang-

12
undangan yang berhubungan dengan sentral penelitian.10 Selain itu juga

digunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan ini

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di

dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap

pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan

untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang

dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan

pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan

dengan permasalahan.

2. Jenis Bahan Hukum

Penelitian atau penulisan hukum yang menggunakan metode yuridis normatif

secara umum menggunakan data yang terarah pada penelitian data sekunder.

Dalam penelitian atau penulisan hukum, data sekunder mencakup :

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri

dari Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun

1945, Undang – Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari karya ilmiah

yang berupa buku, jurnal hukum, karya tulis, dan makalah hukum yang dimuat

di media cetak, media elektronik, maupun media massa yang menyangkut dan

10
Jhonny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang.
Bayumedia. Hal. 302

13
berhubungan dengan “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-

IV/2006”. Selain itu pendapat para sarjana dan kasus-kasus hukum lainnya

yang berhubungan dengan topik penulisan hukum ini.

c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,

ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara entimologi atau arti kata

atau secara gramatikal untuk istilah – istilah tertentu terutama yang terkait

dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni terkait dengan istilah-

istilah yang berkorelasi dengan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.

005/PUU-IV/2006. 11

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi

peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum

sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena itu, teknik pengumpulan bahan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi

kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menelah, mencatat, dan membuat

ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan topik dari penelitian ini

yaitu “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006”.

4. Teknik Analisa Bahan Hukum

Analisa bahan hukum di dalam penulisan hukum ini dilakukan secara

kualitatif, yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-

11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta. PT. Radja Grafindo Persada. Hal. 13

14
pasal dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian membuat

sistematika dari bahan – bahan hukum tersebut sehingga akan menemukan

kesesuaian dari Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-

IV/2006terhadap fungsi pengawasan Hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi

Yudisial. Bahan – bahan hukum yang dianalisis secara kualitatif akan

dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan

hubungan antar bahan hukum yang digunakan. Kemudian semua bahan hukum

tersebut diseleksi, diolah, dan dinyatakan secara deskriptif sehingga selain

menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya juga dapat memberikan

solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Rencana Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari 4 Bab yang tersusun secara berurutan,

mulai dari Bab I sampai Bab IV, secara garis besar dan dapat diuraikan sebagai

berikut :

Bab I : Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka

Berisi diskripsi atau uraian tentang bahan-bahan teori, doktrin atau pendapat

sarjana, dan kajian yuridis berdasarkan ketentuan hukum

15
Bab III : Pembahasan

Berisi tentang hasil penelitian yang telah dikaji dan di analisa secara

sistematis berdasarkan pada kajian pustaka dalam rumusan masalah

Bab IV : Penutup

Berisi tentang kesimpulan dan saran berdasarkan permasalahan yang dibahas.

16

Anda mungkin juga menyukai