PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang dicapai oleh Mahkamah Agung tidak berbanding lurus dengan banyaknya
melakukan tindak pidana yang membuat mereka harus terjerat hukum, misalnya
saja tentang adanya hakim yang terlibat kasus tindakan asusila, penyalahgunaan
narkoba hingga kasus suap (korupsi). Hal ini menandai betapa buruknya kinerja
dipercayakan kepada hakim yang seharusnya dituntut bersikap adil dan bijaksana
kehakiman di Indonesia.
1
amandemen Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ditambah satu lembaga negara yang
yang bergulir pada tahun 1998. Pembentukan Komisi Yudisial dilandasi oleh
ada. Dalam konteks ini, lembaga konvensional yang dimaksud adalah Mahkamah
dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan rekrutmen hakim yang efektif. Oleh
karenanya, konstitusi melalui Pasal 24B ayat (1) memberikan dua wewenang
Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
Meskipun baru resmi diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen tahun 2001 dan
1
Imam Anshori Saleh. 2014. Konsep Pengawasan Kehakiman ‘Upaya Memperkuat
Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan’. Malang. Setara
Press. Hal. 1
2
Moh. Mahfud MD. 2009. Konstruksi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta. PT Raja
Grafindo Persada. Hal. 268
2
kemudian secara kelembagaan terbentuk tahun 2005, namun Komisi Yudisial
dalam arti konsep sebenarnya telah hidup sejak tahun 1970. Tepatnya, ketika
Undang – Undang No. 14 Tahun 1970 masih dalam proses perancangan. Kondisi
pada era itu memang tidak bisa disamakan dengan era reformasi 1998. Ketika itu,
pengawasan dan rekrutmen hakim tidak atau belum menjadi permasalahan krusial.
Adapun yang menjadi perhatian justru soal koordinasi antara eksekutif dan
yudikatif, mengingat pengelolaan lembaga peradilan saat itu masih berada di dua
atap. Eksekutif, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Departemen
MA, mengurusi hal-hal teknis. Lalu, dalam proses pembahasan UU No. 14 Tahun
Gagasan ini lalu mengerucut menjadi sebuah usulan nama lembaga yaitu Majelis
sejumlah kalangan sebagai cikal – bakal Komisi Yudisial, setidaknya dalam arti
menyinggung gagasan yang secara konsep mirip dengan MPPH adalah Undang –
3
Risalah Komisi Yudisial. 2013. Cikal Bakal Pelembagaan dan dinamika wewenang.
Jakarta. Pusat Analisis dan Layanan Informasi. Hal. 11-12
3
tidak lagi MPPH tetapi Dewan Kehormatan Hakim (DKH). Sesuai tahun Undang
– Undang-nya, gagasan DKH antara lain dilandasi oleh salah satu tuntutan
reformasi yang digaungkan kalangan LSM, mahasiswa, dan tokoh reformisi yakni
reformasi peradilan secara total. Konsep DKH lebih diarahkan pada fungsi
sistem ketatanegaraan yang lebih baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
Konstitusi di negara-negara lain. Dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal
24C UUD 1945 yang menjadi bagian dari Perubahan ke tiga UUD 1945 pada ST
MPR 2001 tanggal 9 November 2001 menjadi bukti nyata pentingnya pengadilan
kewenangan dan satu kewajiban oleh UUD 1945, adapun kewenangan tersebut
1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
4
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-
dua lembaga peradilan yang berbeda, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan
yang dalam hal ini memiliki perbedaan pengertian yang mendasar dengan istilah
objek kajian yang lebih luas dari Constitutional Review, karena bukan hanya
bukan hanya soal Konstitusionalitasnya, melainkan juga dapat diuji legalitas dari
memiliki pengertian yang lebih sempit, karena kewenangan pengujian ini hanya
memiliki pengertian lebih luas, karena subyek yang mengujinya bisa lembaga
4
Lihat pasal 24C Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
5
Jimly Asshiddiqie. 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta. Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hal.
187
5
selain peradilan, tergantung lembaga mana yang diberi kewenangan oleh
Yudisial. Lebih dari itu sering terjadi ‘perang pernyataan’ kedua lembaga negara
yang mandiri dan dijamin dalam konstitusi, terkesan merespon dengan ‘risih’
terhadap pengawasan dan setiap aktivitas Komisi Yudisial, karena dianggap dapat
mengancam kebebasan hakim.7 Maka atas beberapa faktor itu hakim mahkamah
sebab dengan kedudukannya sebagai lembaga negara “yang bebas dan merdeka”
6
Jimly Asshiddiqie. 2006. Model-Model Pengajuan Konstitusional di Berbagai Negara.
Jakarta. Konstitusi Press. Hal. 2-4
7
Imam Anshori Saleh. 2014. Op.Cit. Hal. 188
6
Mahkamah Agung tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain, dan di dalam
juga bukan obyek pengawasan Komisi Yudisial dengan alasan hakim konstitusi
bukanlah hakim profesi seperti hakim biasa. Bila hakim biasa tak terikat dengan
jangka waktu, tidak demikian dengan hakim konstitusi yang diangkat hanya untuk
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial di mana Komisi Yudisial
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam
martabat serta prilaku hakim, Komisi Yudisial selama masa perjalanannya telah
para hakim yang dinilai telah berprilaku melanggar kode etik, tidak profesional
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut antara lain dihapuskannya fungsi
8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
7
IV/2006 adalah hanya sebagai pengusul pengangkatan Hakim Agung kepada
DPR. Dengan kata lain Komisi Yudisial hanya menjalankan fungsi pengawasan
dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak ada lagi. Artinya, pengawasan yang bersifat
represif sudah dibatalkan dengan putusan tersebut yang menyangkut juga perihal
oleh KPK terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan Lebak,
hal ini membuat Mahkamah Konstitusi dan publik benar-benar shock. Soalnya,
tak tanggung-tanggung aktor yang terlibat di dalamnya adalah orang nomor satu
Konstitusi ditahan karena menerima suap kecuali di Indonesia. Tidak heran, citra
Mahkamah Konstitusi yang selama ini dikenal berwibawa dan bersih, langsung
jatuh ke titik nadir. Sejak saat itu, muncul desakan publik agar hakim konstitusi
lewat uji materi Undang – Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
8
Komisi Yudisial. Desakan ini direspon Mahkamah Konstitusi dengan membentuk
Dewan Etik Hakim Konstitusi lewat Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun
2013 yang bertugas mengawasi perilaku hakim konstitusi. Dewan Etik Hakim
tentang Perubahan Kedua atas Undang – Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Beleid ini memberi wewenang kepada Komisi Yudisial untuk membentuk MKHK
unsur mantan hakim konstitusi, praktisi hukum, dua orang akademisi, dan tokoh
Negara di Indonesia”.
9
Ibid.,
9
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
komisi yudisial.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
10
Sebagai salah satu persyarat untuk meraih gelar sarjana hukum, dan juga
untuk menambah wawasan yang baru kepada penulis, selaku calon pemimpin
2. Bagi Mahasiswa
Komisi Yudisial.
3. Bagi Masyarakat
Yudisial.
11
E. Kegunaan Penelitian
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan pada penulisan hukum ini adalah yuridis normatif,
atau yang sering disebut dengan metode penulisan doktrinial. Pendekatan yuridis
dengan penulisan hukum ini. Oleh karena metode penelitian yang digunakan
adalah yuridis normatif, maka satu hal yang pasti adalah digunakannya
12
undangan yang berhubungan dengan sentral penelitian.10 Selain itu juga
dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap
dengan permasalahan.
secara umum menggunakan data yang terarah pada penelitian data sekunder.
a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari karya ilmiah
yang berupa buku, jurnal hukum, karya tulis, dan makalah hukum yang dimuat
di media cetak, media elektronik, maupun media massa yang menyangkut dan
10
Jhonny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang.
Bayumedia. Hal. 302
13
berhubungan dengan “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-
IV/2006”. Selain itu pendapat para sarjana dan kasus-kasus hukum lainnya
c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum,
ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara entimologi atau arti kata
atau secara gramatikal untuk istilah – istilah tertentu terutama yang terkait
dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni terkait dengan istilah-
005/PUU-IV/2006. 11
sesuai permasalahan penelitian. Oleh karena itu, teknik pengumpulan bahan yang
ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan topik dari penelitian ini
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2004. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta. PT. Radja Grafindo Persada. Hal. 13
14
pasal dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian membuat
hubungan antar bahan hukum yang digunakan. Kemudian semua bahan hukum
Sistematika penulisan ini terdiri dari 4 Bab yang tersusun secara berurutan,
mulai dari Bab I sampai Bab IV, secara garis besar dan dapat diuraikan sebagai
berikut :
Bab I : Pendahuluan
Berisi diskripsi atau uraian tentang bahan-bahan teori, doktrin atau pendapat
15
Bab III : Pembahasan
Berisi tentang hasil penelitian yang telah dikaji dan di analisa secara
Bab IV : Penutup
16