Anda di halaman 1dari 23

TUGAS 1

TEORI PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh :
SUHENDI
NIM : 031192224
Program Studi : Ilmu Hukum S1

UPBJJ SERANG

FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2021.1
Tugas.1
Kerjakan soal di bawah ini dengan singkat dan jelas. Jawaban yang hanya
mengambil dari internet (plagiat) tidak akan mendapatkan nilai maksimal.
Sertakan referensi dalam mengutip.
Submit (unggah) pada tempat yang sudah disediakan dan tidak melebihi waktu
yang telah ditentukan.
 
1. Contoh Kasus

Luhut Panjaitan: Silakan judicial review UU Cipta Kerja, itu yang kami
anjurkan
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU oleh DPR
memantik aksi penolakan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Luhut Binsar Pandjaitan meminta pihak-pihak yang tak sepakat dengan adanya
Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja untuk mengambil jalur hukum uji
materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Silakan (ajukan judicial review), itu kita anjurkan. Itu yang betul. Pergi saja ke
Mahkamah Konstitusi, itu kan jalur yang benar. Masukkan saja judicial review, itu
kan boleh," kata Luhut dalam tayangan virtual Satu Meja the Forum Kompas TV,
Rabu (7/10).

https://nasional.kontan.co.id/news/luhut-panjaitan-silakan-judicial-review-uu-cipta-
kerja-itu-yang-kami-anjurkan

Jelaskan hak judicial review yang dimiliki oleh MK sebagai lembaga


kehakiman.

2. Bacalah terlebih dahulu

Pada prinsipnya kewenangan mengadili Undang-Undang terhadap Undang-Undang


Dasar 1945, sudah diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar."

Namun, untuk lebih mempertegas kewenangan tersebut Pemerintah membentuk


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jelaskan makna dari mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945”. Termasuk jelaskan karakteristik
undang-undang yang dapat diajukan ke MK.

3. Cari dan buatlah ringkasan penyelesaian perkara yang ditangani oleh Mahkamah
Konstitusi untuk masing-masing wewenang yang dimiliki oleh MK. Mulai dai
pengajuan, pihak-pihak yang berperkara, hingga putusannya. Masing-masing satu
kasus.
Jawaban 1

Judicial Review adalah pengujian kepada produk hukum yang dilakukan oleh lembaga
yudikatif atau peradilan. Lembaga ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
untuk menguji produk hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Kewenangan melakukan
pengujian (judicial review) ini juga dipercaya dilakukan untuk menjalankan fungsi check and
balances di antara lembaga pemegang kekuasaan negara. Secara teori, fungsi tersebut
dilakukan untuk menghindari kesewenang-wenangan lembaga-lembaga negara1. Judicial
review di Indonesia maka hak menguji produk hukum yang dipegang oleh lembaga yudikatif
di Indonesia terbagi dua yaitu oleh MA atau MK dengan tugas yang berbeda satu sama lain.
MK menguji khusus undang-undang dan MA menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang lahir setelah adanya perubahan ketiga
Undang-undang Dasar 1945. MK dibentuk untuk menjalankan tugas menguji undang-undang
yang sebelumnya tidak pernah ada lembaga yang melakukannya. Dalam Pasal 24 ayat (2),
Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945 yang dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 1945
memberikan landasan hukum bagi terbentuknya MK di Indonesia. Pembentukan pertama
kali yang disebutkan pada saat disahkan perubahan ketiga UUD yaitu pada 9 November
2001.

Pengaturan tentang mahkamah konstitusi diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 . Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dijelaskan bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan
atas perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara
bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita cita demokrasi.

Fungsi demikian dijalankan melalui wewenang yang dimiliki dengan memeriksa, mengadili,
dan memutuskan perkara tertentu dengan pertimbangan konstitusional. Terdapat lima fungsi
yang melekat pada keberadaan MK yaitu, pengawal konstitusi, penafsir final konstitusi,

1Indrati, Maria Farida, Teori Perundang-undangan, Modul 1, Universitas Terbuka: Tangerang Selatan. Hal, 1.3
pelindung hak asasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara, dan pelindung
demokrasi.

Dalam Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUD 1945 terdapat tugas yang diberikan kepada MK.
Tugas-tugas MK dituangkan dalam kalimat wewenang dan kewajiban MK. Terdapat 4
wewenang dan 1 kewajiban. Pada Pasal 24 (1) UUD 1945 MK dinyatakan memiliki beberapa
wewenang, yang kemudian dikuatkan kembali pada Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Wewenang tersebut salah satunya adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap UUD 1945.

Berdasarkan urian di atas mulai dari latar belakang dibentuknya MK hingga adanya
perubahan termasuk penghapusan, perubahan substansi, dan penambahan pengaturan MK
berfungsi sebagai lembaga penegak supremasi konstitusi. Dalam perubahan Undang-undang
Mahkamah Konstitusi, ditegaskan bahwa MK memiliki hak untuk menguji undang-undang
secara materiil maupun formil. Pengujian secara materi dilakukan apabila ada dugaan bahwa
materi ayat/pasal dan atau bagian dari undang-undang yang diuji bertentangan dengan UUD
1945. Sedangkan pengujian undang-undang secara formil, diajukan apabila ada undang-
undang yang pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang ada dalam UUD 1945.

Dengan demikian pembentukan MK menjadi jawaban akhir dari beberapa kemungkinan


lembaga mana yang diberikan kewenangan untuk melakukan judicial review. Perubahan
Konstitusi Indonesia yang menempatkan konstitusi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
atau supremasi konstitusi. Konstitusi adalah norma tertinggi yang berlaku sebagai pedoman
atau patokan dari norma-norma hukum lainnya. Konstitusi tidak dapat dikesampingkan.
Norma hukum di bawahnya harus sesuai. Untuk memastikan kesesuaian antara konstitusi
dengan norma hukum di bawahnya, harus ada suatu mekanisme yang mengatur itu. Oleh
karenanya, MK lahir untuk memastikan bahwa aturan hukum di bawah konstitusi sesuai dan
tidak bertentangan.

Jawaban 2

Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, MK memiliki wewenang untuk menguji secara
konstitusionalitas suatu undang-undang yang bersangkutan bersesuaian atau bertentangan
dengan UUD baik pengujian UU secara formil maupun materiil dengan bersifat final dan
mengikat.

Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki
makna hukum tersendiri. Frase final dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
terakhir dari rangkaian pemeriksaan, sedangkan frase mengikat diartikan sebagai
mengeratkan, menyatukan. Bertolak dari arti harafiah ini maka frase final dan frase
mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya akhir dari suatu proses
pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan
tidak dapat dibantah lagi. Bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan MK
artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan
tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan
mengikat (verbindende kracht). Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum
terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketa. 2 Dengan demikian,
artinya suatu keputusan MK itu langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak di
ucapkan dan tidak bisa dilakukan upaya hukum banding ataupun upaya hukum lainnya (final
and binding). Yang kemudian putusan MK itu tidak hanya berlaku bagi pihak tertentu
melainkan seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam Pasal 51 Ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, terdapat dua karakteristik UU yang dapat di ajukan pemohon ke MK yaitu UU
yang cacat secara formal (formale toetsing) dan secara materiil (materieele toetsing). UU
yang dianggap pemohon cacat secara formal adalah suatu UU yang dalam proses
pembentukannya dianggap tidak memenuhi ketentuan yang berdasarkan UUD. Sedangkan
UU yang dianggap pemohon cacat materiil adalah suatu UU yang dalam materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD.

Jawaban 3

A. Wewenang MK Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap UUD 1945

2Jurnal Mahkamah Konstitusi,Telaah Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final
dan Mengikat, hal. 81-82.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pihak
yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan akibat diberlakukannya
suatu UU dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 (judicial
review) ke MK sebagai pemohon, yaitu:

1. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang memiliki


kepentingan yang sama kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
2. Badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara.

Tahapan Permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Terdapat beberapa tahapan yang dilalui dalam pengajuan permohonan judicial review ke MK,
yaitu:

1. Pengajuan Permohonan.
 Permohonan diajukan secara tertulis berbahasa Indonesia oleh pemohon atau
kuasanya kepada MK, dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12
rangkap.
 Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat nama dan alamat pemohon, uraian
mengenai dasar perihal permohonan, dan hal-hal yang diminta untuk diputus.
 Pengajuan permohonan juga harus disertai dengan alat bukti yang mendukung
permohonan tersebut.
2. Pendaftaran Permohonan
 Pendaftaran permohonan dapat dilakukan secara langsung atau secara daring melalui
Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik. 
 Terhadap permohonan yang diajukan, panitera MK melakukan pemeriksaan
kelengkapan permohonan.
 Apabila belum lengkap, maka pemohon dapat diberi kesempatan untuk melengkapi
permohonan tersebut dalam jangka waktu maksimal 7 hari sejak pemberitahuan
kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
 Apabila dinilai sudah lengkap, maka permohonan tersebut akan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara, dan pemohon akan diberi tanda terima.
3. Penjadwalan Sidang
Dalam waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, MK menetapkan hari sidang pertama. Penetapan tersebut akan diumumkan
kepada pemohon, termohon, pihak terkait, dan masyarakat umum.

4. Pemeriksaan Pendahuluan
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK akan memeriksa kelengkapan dan kejelasan
materi permohonan. Dalam pemeriksaan tersebut MK wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu
maksimal 14 hari.
5. Pemeriksaan Persidangan
Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum. Dalam pemeriksaan persidangan,
Hakim Konstitusi akan memeriksa permohonan dan alat bukti yang diajukan, yang
meliputi:
 Pemeriksaan pokok permohonan;
 Pemeriksaan alat bukti tertulis;
 Mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
 Mendengarkan keterangan saksi;
 Mendengarkan keterangan ahli;
 Mendengarkan keterangan pihak terkait;
 Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang
sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
 Pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
alat bukti itu.
6. Putusan
Setelah dilakukan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi melaksanakan sidang
pleno untuk mengambil putusan secara musyawarah untuk mufakat, namun apabila
mufakat bulat tidak tercapai, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila tidak
dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi
menentukan.
Putusan MK ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan
panitera, dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum.

Contoh Kasus3

Putusan PKWTT Lewat Penetapan Pengadilan Tak berselang lama, pada 4 November 2015,
MK memberi jalan hukum atas kebuntuan pelaksanaan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59
ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Aturan itu terkait terpenuhinya syarat-syarat perubahan status perjanjian
kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
alias pekerja kontrak (outsourcing) menjadi pekerja tetap secara otomatis.

Prosesnya, pengesahan peralihan status dari PKWT ke PKWTT harus melalui penetapan
pengadilan negeri. Sebelum ke pengadilan kedua pihak (pekerja dan pengusaha) telah
menempuh upaya perundingan bipartit, tetapi tidak mencapai kesepakatan dan adanya nota
hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan pada Dinas Ketenagakerjaan. Sebab,
selama ini penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan terkait peralihan pekerja
PKWT ke PKWTT tidak pernah dijalankan secara sukarela oleh pengusaha. Penetapan ini
pun tidak bisa dimintakan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atau PTUN.

Lewat putusan bernomor 7/PUU-XII/2014 yang dimohonkan sejumlah aktivis buruh ini


setidaknya bisa menjadi “modal” bagi pekerja kontrak/outsourcing yang memenuhi syarat
untuk bisa diangkat sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan pengguna atau perusahaan
pemberi jasa pekerjaan. Meski putusan ini terkesan melindungi buruh/pekerja kontrak, namun
hingga kini belum ada aturan teknis dari instansi terkait prosedur pengajuan penetapan
peralihan PKWT menjadi PKWTT ini ke pengadilan negeri.

B. Wewenang MK Dalam Memutuskan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang


Kewenangannya Diberikan Oleh UUD 1945
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, lembaga
negara yang dapat mengajukan perkara (Pemohon) adalah lembaga negara yang menganggap

3https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56811a92f17c8/8-putusan-mk-menarik-sepanjang-
2015/
kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain. Dan termohon adalah adalah lembaga negara yang dianggap
telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.

Berikut yang masih dalam peraturan yang sama pasal 2, lembaga-lembaga negara yang dapat
menjadi pemohon dan termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Pemerintahan Daerah (Pemda); atau Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945 kecuali Mahkamah Agung (MA).

Pemohon atau termohon dalam proses pengajuan perkaranya dapat didampingi atau diwakili
oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus. Termohon didampingi oleh selain
kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus. Yang
kemudian surat kuasa khusus dan surat keterangan khusus itu harus ditunjukkan dan
diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.

Tahapan Memutuskan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang Kewenangannya


Diberikan Oleh UUD 1945

a. Permohonan dan tata cara pengajuan:


1. Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia dan harus memuat:
 Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara,
nama ketua lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara;
 nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
 uraian yang jelas tentang kewenangan yang dipersengketakan, kepentingan
langsung pemohon atas kewenangan tersebut, hal-hal yang diminta untuk
diputuskan.
2. Permohonan dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden
atau Pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya.
3. Selain dibuat dalam bentuk tertulis, permohonan dapat pula dibuat dalam format
digital yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket,
cakram padat (compact disk), atau yang sejenisnya.
4. Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan kepada
Mahkamah melalui Kepaniteraan. Permohonan ini harus disertai alat-alat bukti
pendukung, misalnya dasar hukum keberadaan lembaga negara atau surat/dokumen
pendukung. Alat-alat bukti tertulis yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12
(duabelas) rangkap dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.
5. Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon harus
menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan yang berisi
identitas, keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan yang akan diberikan. Akan
tetapi jika dalam hal pemohon belum mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon masih
dapat mengajukan ahli dan/atau saksi selama dalam pemeriksaan persidangan.
b. Memeriksa administrasi dan registrasi pemohon
Setelah syarat-syarat diajukan ke MK oleh pemohon, maka MK akan memeriksa
administrasi dan registrasi dari pemohon apakah sudah memenuhi syarat atau tidak. Jika
pemohon memenuhi syarat maka perkara akan dilanjutkan dengan jadwal persidangan
yang dibuat MK.
c. Penjadwalan sidang
Dalam waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, MK menetapkan hari sidang pertama. Penetapan tersebut akan diumumkan
kepada pemohon, termohon, pihak terkait, dan masyarakat umum.
d. Pemeriksaan Pendahuluan
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK akan memeriksa kelengkapan dan kejelasan
materi permohonan. Dalam pemeriksaan tersebut MK wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu
maksimal 14 hari.
e. Pemeriksaan Persidangan
Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum. Dalam pemeriksaan persidangan,
Hakim Konstitusi akan memeriksa permohonan dan alat bukti yang diajukan, yang
meliputi:
1. Pemeriksaan pokok permohonan;
2. Pemeriksaan alat bukti tertulis;
3. Mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara;
4. Mendengarkan keterangan saksi;
5. Mendengarkan keterangan ahli;
6. Mendengarkan keterangan pihak terkait;
7. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang
sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan
8. Pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
alat bukti itu.
f. Putusan
Setelah dilakukan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi melaksanakan sidang
pleno untuk mengambil putusan secara musyawarah untuk mufakat, namun apabila
mufakat bulat tidak tercapai, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila tidak
dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi
menentukan.
Putusan MK ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan
panitera, dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum.

Contoh Kasus

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang memeriksa, mengadili, dan


memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan
dalam perkara Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang Kewenangannya
Diberikan Oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan
pemohon Komisi Penyiaran Indonesia dan Termohon Presiden qq. Menteri Komunikasi dan
Informatika.

Berdasarkan 3 Ayat (1) PMK Nomor 08/PMK/2006, pemohon merupakan pihak yang
menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan,
dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Sedangkan Presiden melalui Menteri
Komunikasi dan Informatika adalah pihak termohon yang dianggap telah mengambil,
mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.

Kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah sengketa kewenangan pemberian


izin penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan dalam hal penyiaran. Berikut adalah
Pokok Permohonan pemohon yang memohon agar Mahkamah Konstitusi memberikan
putusan:

1. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran bukanlah


merupakan kewenangan Termohon
2. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran merupakan milik
negara yang diberikan melalui Pemohon
3. Menyatakan kewenangan pembuatan regulasi di bidang penyiaran bukan merupakan
kewenangan Termohon karena telah ada lembaga negara independen yang dibentuk
untuk menyelenggarakan tugas negara di bidang penyiaran, yaitu Pemohon
4. Menyatakan bahwa kewenangan penyusunan regulasi di bidang penyiaran haruslah
dilaksanakan oleh lembaga negara independen yang dibentuk untuk menyelenggarakan
tugas negara di bidang penyiaran, yaitu Pemohon.

Sedangkan Termohon memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah


Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-undang Dasar,
antara Pemohon dengan Presiden Republik Indonesia qq Menteri Komunikasi dan
Informatika sebagaimana termaktub dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menerima Keterangan Pemerintah (Termohon) secara keseluruhan


2. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
3. Menolak permohonan Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
4. Menolak permohonan Pemohon sebagai pihak yang memiliki kewenangan memberikan
izin penyelenggaraan penyiaran. Dan menyatakan bahwa kewenangan untuk
memberikan izin penyelenggaraan penyiaran sesuai dengan Pasal 33 Ayat (5) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan kewenangan Pemerintah
5. Menolak permohonan Pemohon yang menyatakan bahwa kewenangan penyusunan
peraturan di bidang penyiaran merupakan kewenangan Pemohon.

Berdasarkan PMK Nomor 030/SKLN-IV/2006, MK menyimpulkan bahwa KPI adalah


lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh undang-undang bukan
oleh Undang-undang Dasar. Dengan demikian, karena KPI bukanlah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan
hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan Pasal 61 Ayat (1) UUMK untuk mengajukan
permohonan a quo.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon


tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga MK mengadili permohonan
Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), dan oleh
karenanya Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.

C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutuskan Pembubaran Partai Politik

Berdasarkan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK memiliki wewenang dalam


memutuskan pembubaran partai politik. Dalam pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik, partai
Politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah apabila ideologi, asas, tujuan, program partai
politik bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan/atau kegiatan partai politik bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam perkara pembubaran partai politik ini yang menjadi pemohon adalah Pemerintah yang
dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu. Dan
Termohon adalah partai politik yang diwakili oleh pimpinan partai politik yang dimohonkan
untuk dibubarkan. Yang kemudian Termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa
hukumnya.

Tahapan Dalam Memutuskan Pembubaran Partai Politik

a. Permohonan dan tata cara pengajuan:


1. Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada
Mahkamah
2. Permohonan dibuat dalam 12 (dua belas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden
atau Pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya.
3. Selain dibuat dalam bentuk tertulis, permohonan dapat pula dibuat dalam format
digital yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket,
cakram padat (compact disk), atau yang sejenisnya.
4. Permohonan tertulis dan/atau format digitalnya (soft copy) diajukan kepada
Mahkamah melalui Kepaniteraan. Permohonan ini harus disertai alat-alat bukti
pendukung, misalnya dasar hukum keberadaan lembaga negara atau surat/dokumen
pendukung. Alat-alat bukti tertulis yang diajukan, seluruhnya dibuat dalam 12
(duabelas) rangkap dengan bukti yang asli diberi materai secukupnya.
5. Apabila pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon harus
menyertakan daftar ahli dan/atau saksi yang akan memberi keterangan yang berisi
identitas, keahlian, kesaksian dan pokok-pokok keterangan yang akan diberikan. Akan
tetapi jika dalam hal pemohon belum mengajukan ahli dan/atau saksi, pemohon masih
dapat mengajukan ahli dan/atau saksi selama dalam pemeriksaan persidangan.
b. Registrasi perkara
Setelah syarat-syarat diajukan ke MK oleh pemohon, maka MK akan memeriksa
registrasi dari pemohon apakah sudah memenuhi syarat atau tidak. Jika pemohon
memenuhi syarat maka perkara akan dilanjutkan dengan jadwal persidangan yang dibuat
MK.
c. Penjadwalan sidang
Dalam waktu 7 hari setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, MK menetapkan hari sidang pertama. Penetapan tersebut akan diumumkan
kepada pemohon, termohon, pihak terkait, dan masyarakat umum.
d. Pemeriksaan Pendahuluan
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK akan memeriksa kelengkapan dan kejelasan
materi permohonan. Dalam pemeriksaan tersebut MK wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu
maksimal 7 hari.
e. Pemeriksaan Persidangan
Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum. Dalam persidangan pemohon dan
termohon diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan dalil-dalilnya, baik
secara lisan maupun tertulis, dengan dilengkapi bukti-bukti. Alat-alat bukti yang
diajukan para pihak dapat berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli,
keterangan para pihak, petunjuk, dan alatalat bukti lainnya
f. Putusan
Setelah dilakukan pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi melaksanakan sidang
pleno untuk mengambil putusan secara musyawarah untuk mufakat, namun apabila
mufakat bulat tidak tercapai, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila tidak
dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi
menentukan.
Putusan MK ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan
panitera, dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang
pleno terbuka untuk umum.
Berikut adalah amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan pembubaran
partai politik:

1. Mengabulkan permohonan pemohon


2. Menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum partai politik yang
dimohonkan pembubaran
3. Memerintahkan kepada Pemerintah untuk menghapuskan partai politik yang
dibubarkan dari daftar pada Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja sejak putusan Mahkamah diterima, mengumumkan putusan Mahkamah
dalam Berita Negara Republik Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
putusan diterima.

Terhadap akibat hukum putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan yang


antara lain berkaitan dengan:

1. Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di
seluruh Indonesia
2. Pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang berasal dari partai politik yang dibubarkan
3. Pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk
melakukan kegiatan politik
4. Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.

Contoh Kasus

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011, bahwa para Pemohon


telah mengajukan permohonan bertanggal 3 Agustus 2011 yang diterima dan terdaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 3 Agustus 2011 berdasarkan Akta
Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 286/PAN.MK/2011 dan telah dicatat dalam Buku
Registrasi Berkas Konstitusi pada tanggal 8 Agustus 2011 dengan Nomor 53/PUU-IX/2011,
yang telah diperbaiki dengan permohonan bertanggal 21 September 2011 dan diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 September 2011.

Yang menjadi pemohon dalam perkara ini Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon
IV, dan Pemohon V adalah perseorangan berkewarganegaraan dan rakyat Indonesia yang
memiliki kedaulatan di dalam berbangsa dan bernegara. Berdasarkan PMK Nomor 53/PUU-
IX/2011, bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah:

1. Menyatakan Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, frasa
“pemerintah” bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional), kecuali sepanjang dimaknai tidak hanya Pemerintah yang dapat
mengajukan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi, tetetapi juga dapat pula
perorangan warga negara Indonesia dan badan hukum mengajukan pembubaran
partai politik ke Mahkamah Konstitusi
2. Menyatakan Pasal 68 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, frasa
“pemerintah” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali sepanjang
dimaknai tidak hanya pemerintah yang dapat mengajukan pembubaran partai politik ke
Mahkamah Konstitusi, tetetapi juga dapat pula perorangan warga negara Indonesia
dan badan hukum mengajukan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi
3. Menyatakan Pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik bertentangan dengan UUD 1945, yaitu:
 Pasal 48 ayat (1) pada frasa: “dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
kepengurusan oleh pengadilan negeri”
 Pasal 48 ayat (2) berbunyi: “dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
sementara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh
pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun”
 Pasal 48 ayat (3) pada frasa “telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan” dan frasa “lagi”.
 Pasal 48 ayat (6) pada frasa ”dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya
oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara.”
4. Menyatakan Pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, antara lain:
 Pasal 48 ayat (1) pada frasa: “dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
kepengurusan oleh pengadilan negeri”
 Pasal 48 ayat (2) berbunyi: “…dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
sementara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh
pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun”
 Pasal 48 ayat (3) pada frasa “telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan” dan frasa “lagi”.
 Pasal 48 ayat (6) pada frasa ”dikenai sanksi administratif berupa pembekuan
sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan
tingkatannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara.”

Dari permohonan pemohon di atas berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a quo, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo yang artinya berdasarkan inklusi PMK 53/PUU-IX/2011
setiap individu dan badan hukum di luar pemerintah dapat mengajukan permohonan
pembubaran partai politik, dan pokok permohonan tidak terbukti menurut hukum.

Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226), dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), Mahkamah Konstitusi Menyatakan menolak permohonan para
Pemohon untuk seluruhnya.

D. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Memutuskan Perselisihan Tentang Hasil


Pemilihan Umum
Perselisihan hasil Pemilu pada hakikatnya harus dibedakan dari pelanggaran pidana Pemilu.
Pelanggaran administratif Pemilu harus diselesaikan oleh KPU berdasarkan laporan
Bawaslu/Panwaslu, sedangkan pelanggaran pidana Pemilu harus ditangani dan diselesaikan
oleh aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan umum (pengadilan
negeri atau pengadilan tinggi). Menurut Pasal 257 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008,
pelanggaran pidana Pemilu yang memengaruhi perolehan suara Pemilu harus selesai sebelum
KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional
1. Permohonan Dan Muatan Materi Permohonan
Permohonan adalah penetapan perolehan suara hasil Pemilu yang telah diumumkan
secara nasional oleh KPU yang memengaruhi:
a. Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% (dua koma lima perseratus)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
b. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu dan kursi calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik di suatu daerah pemilihan.
c. Terpilihnya calon anggota DPD. (Pasal 5 PMK No. 14/2008).

Sedangkan materi permohonan pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah:

a. Penentuan asangan Calon yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden.
b. Terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
2. Waktu Pengajuan Dan Keberatan
Pemohon keberatan harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi dalam
jangka waktu “3 kali 24 jam sejak pengumuman oleh KPU tentang penetapan hasil
pemilu secara nasional”. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi dalam 12 (dua belas)
rangkap setelah ditandatangani oleh:
a. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang
sejenisnya dari Partai Politik Peserta Pemilu atau kuasanya.
b. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya
dari partai politik lokal atau kuasanya.
c. Calon anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya.
d. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden atau kuasanya.
3. Alat Bukti
Isi permohonan adalah uraian yang jelas tentang:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil
penghitungan yang benar menurut permohonan.
b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU
dan menetapkan hasil pengitungan suara yang benar menurut pemohon.

Untuk membuktikan apakah permohonan tadi benar diperlukan pembuktian. Alat bukti
dalam perkara perselisihan hasil pemilu juga merupakan hal yang sangat penting. Alat
bukti dalam perselisihan hasil pemilu terdiri atas:

a. Keterangan para pihak


b. Suara atau tulisan
c. Keterangan saksi
d. Petunjuk
e. Alat bukti lain berupa
f. Alat bukti lain beruapa informasi dan komunikasi elektronik

Khusus tentang alat bukti surat, alat bukti surat atau tulisan dalam perselisihan hasil
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terdiri atas:

a. Berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan sara partai politik peserta
pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di TPS.
b. Berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara partai politik peserta
pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di TPS
c. Berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta pemilu dan
calon anggota DPR, DPD, dan DPRD, dari PPK
4. Putusan
Sesuai ketentuan yang ada, di luar putusan Tidak dapat Diterima, MK juga dapat
memutuskan permohonan Ditolak atau permohonan Diterima. Apabila dalam
persidangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
beralasan, mar putusan menyatakan permohonan ditolak. Demikian pula sebaliknya,
dalam hal Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
terbukti beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan dan selanjutnya
Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Sebagaimana telah disinggung di atas, dalam perkembangannya melalui beberapa
putusan, MK juga mengenal putusan selain ketiga itu.
Intisari dari beberapa putusan MK tentang sengketa pemilu (kepala daerah), yang
pengaruhi hasil pemilu bukan hanya kesalahan penghitungan, tetapi juga kesalahan atau
pelanggaran dalam proses sehingga hal itu juga berpengaruh pada bentuk putusan
lainnya.
Putusan bukan hanya: (1) tidak dapat diterima dan (2) dikabulkan, dalam arti membatalkan
Keputusan KPUD dan menetapkan perhitungan yang benar; serta (3) ditolak, yaitu jika
permohonan tidak beralasan. Akan tetapi, kini putusan bisa memerintahkan Penghitungan
Suara Ulang dan Pemungutan Suara Ulang. Hal ini, menurut MK, dimaksudkan untuk
menegakkan keadilan substantif dan untuk memberi manfaat dalam penegakan demokrasi
dan konstitusi.
Contoh Kasus
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan.
Sebagai sengketa keberatan atas penetapan hasil Pemilukada, Mahkamah Konstitusi
sebagaimana yang telah dijelaskan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Kewenangan tersebut ditafsirkasn sebagai
kewenangan konstitusional yang statusnya disamakan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam Memutus perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Terhadap sengketa hasil penghitungan suara Pemilukada ini, yaitu Pemilukada Kabupaten
Bengkulu Selatan dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bengkulu Selatan
Nomor 59 Tahun 2008 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Terpilih Kabupaten Bengkulu Selatan dalam Pemilukada Kabupaten Bengkulu
Selatan Tahun 2008 Putaran II berdasarkan Hal tersebut Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pemohon Terkait dengan kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon,telah memenuhi syarat kedudukan (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo. Pendapat ini didasarkan pertimbangan hahwa permohonan
pemohon telah memenuhi ketentuan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 3 dan Pasal 4 PMK 15/2008.
Dari pertimbangan Mahkamah tersebut diatas bahwa pendapat Mahkamah yang menyatakan
Pemohon telah memenuhi legal standing permohonan sangatlah beralasan, karena terlihat
hubungan jelas antara kepentingan Pemohon dengan Keputusan KPU tentang Penetapan
Hasil Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan tersebut. Pemohon adalah pasangan calon
dalam Pemilukada tersebut yang merasa dirugikan oleh keputusan KPU, karena beranggapan
adanya kesalahan penghitungan hasil Pemilukada yang dilakukan oleh KPU.
Setelah menyatakan pemohon memenuhi legal standing kemudian MK akan mengambil
keputusan berdasarkan bukti-bukti dari pemohon, termohon, sanksi ahli (baik dari pemohom
maupun termohon) yang berdasar pada UUD 945. Keputusan MK dalam kasus ini adalah
Putusan Mahkamah Konstitusi in casu yang demi keadilan talah menetapkan dan
memerintahkan dilaksanakan pemungutan suara ulang dengan tidak mengikutsertakan Pihak
Terkait, terlepas dari pertimbangan- pertimbangan hukum Mahkamah yang menyimpulkan
dan menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilukada Bengkulu Selatan telah cacat hukum karena
terjadinya pelanggaran asas dalam pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada. Berikut adalah
penjelasan berdasarkan perkara Nomor 057/PHPU.D-VI/2008:
a. Perkara Nomor 057/PHPU.D-VI/2008 adalah sengketa hasil pemilukada yang terbukti
secara sah dan meyakinkan bahwa calon Bupati yang terpilih adalah calon yang nyata-
nyata sejak awal tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang
yang berlaku yakni “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” sehingga Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan batal hasil pelaksanaan
Pemilukada Bengkulu selatan karena pemenangnya nyata-nyata tidak memenuhi syarat
sejak awal.
b. Perkara Nomor 4/PUU-VII/2009 adalah perkara pengujian konstitusionalitas norma
Undang-undang terhadap UUD 1945 dan bukan penerapan ketentuan Undang-Undang
yang masih berlaku. Oleh karena menurut Mahkamah Konstitusi ketentuan Undang-
Undang tentang “syarat tidak pernah dijatuhi pidana” telah melanggar UUD 1945, maka
Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa ketentuan undang-undang ini merupakan
ketentuan yang inkunstitusional bersyarat.

Referensi: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56811a92f17c8/8-putusan-mk-menarik-
sepanjang-2015/
Dasar Hukum
1. UUD 1945
2. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah oleh UU No.
8 Tahun 2003 tentang perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah kedua kalinya oleh Peraturan Pengganti UU No. 1 Tahun
2013 teng Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi
dan diubah terkahir kali oleh UU No. 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU
No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006
5. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara
Dalam Pembubaran Partai Politik
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-IX/2011
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PMK Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu
8. Putusan MK Nomor 57/PHPU.D-VI/2008

Anda mungkin juga menyukai