Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

HUKUM & HAK ASASI MANUSIA

OLEH

NAMA : JOHAN USIAS WELMAU


NIM : 041338149

UNIVERSITAS TERBUKA
FAKULTAS FHISIP
TAHUN 2021
Soal
Jakarta, CNN Indonesia– Amnesty Internasional Indonesia (AII) menegaskan penyiksaan
terhadap seorang kuli di sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan, Deli Serdang, adalah tindakan
kriminal. Polisi yang melakukan penyiksaan harus mendapat sanksi berat, tak cukup sekadar
sanksi disiplin.
Menurut Usman, Direktur Eksekutif AII , penyiksaan yang kerap dilakukan oleh aparat
kepolisian disebabkan oleh lemahnya pencarian bukti dalam proses penyelidikan.
Praktik penyiksaan tersebut biasanya terjadi ketika aparat ingin memperoleh pengakuan dari
seseorang yang ingin ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus.
Berdasarkan laporan KontraS, terdapat 48 praktik penyiksaan yang terjadi di lingkaran institusi
Polri pada periode Juni 2019 hingga Mei 2020.
Mayoritas penyiksaan terjadi di ranah Polres sebanyak 28 kasus, disusul Polsek 11 kasus, dan
Polda 8 kasus. Dengan instrumen penyiksaan menggunakan tangan kosong.
KontraS menduga praktik penyiksaan berlangsung dalam proses interogasi saat seseorang
berstatus sebagai tersangka.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan KontraS adalah kasus seorang pemuda di Jeneponto
bernama Irfan (20), yang diduga menjadi korban salah tangkap dan penyiksaan oleh lima
anggota Tim Pegasus Polres Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Warga Desa Sapanang, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto itu dipaksa mengaku oleh
polisi sebagai pelaku pencurian emas seberat 70 gram milik Daeng Nojeng, mantan atasannya.
Namun, keesokan harinya Irfan dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana.
Data KontraS itu, kata Usman, harus diperhatikan oleh para pemangku kebijakan yakni pimpinan
polisi, Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM. DPR dan Menteri Dalam Negeri juga harus
terlibat.
Sebelumnya, seorang kuli bangunan bernama Sarpan (57), mengalami penyiksaan saat ditahan
dalam sel tahanan Polsek Percut Sei Tuan.
Selama penyiksaan itu Sarpan dipaksa untuk mengakui bila dirinya adalah pelaku pembunuhan
terhadap Dodi Somanto. Padahal, tersangka pelaku pembunuhan berinisial A sudah diamankan.
Akibat peristiwa itu, warga Jalan Sidomulyo, Pasar IX, Dusun XIII, Desa Sei Rotan, Kecamatan
Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang ini menderita luka di sekujur tubuh dan wajahnya.
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200710111319-20-523166/amnesty-soal-
penyiksaan-kuli-di-tahanan-itu-tindak-kriminal
Berdasarkan kasus tersebut:
1. Uraikanlah pendapat anda apakah peristiwa di atas merupakan bentuk pelanggaran hak
bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture)?
 Konvensi Menentang Penyiksaan dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia) yang disahkan pada tanggal 28 September 1998 Kemudian berdasarkan
Pasal 33 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak untuk
bebas dari penyiksaan juga diatur dan dijamin keberadaannya, yaitu: “Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”.
Selanjutnya, hak untuk bebas dari penyiksaan diatur secara langsung oleh
konstitusi melalui
 Perubahan Kedua UUD 1945 berdasarkan Pasal 28 G ayat (2), yaitu: “Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
adanya jaminan melalui konstitusi dan ratifikasi konvensi internasional terhadap
hak untuk bebas dari penyiksaan di Indonesia ternyata dalam tataran implementasi
belum efektif melindungi hak tersebut, karena masih terdapat sejumlah praktik
pelanggaran. Sebagai contoh, masih sering terjadi kasus-kasus penyiksaan
terhadap tahanan atau tersangka yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum
dalam penanganan suatu perkara.
faktor yang menjadi penyebab masih maraknya praktik penyiksaan di Indonesia akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Rendahnya Komitmen Pemerintah
b. Absennya Kerangka Hukum Normatif Anti Penyiksaan dan Tidak Memadainya
Mekanisme Pertanggungjawaban Pelaku
c. Keterlibatan Aparat Penegak Hukum sebagai Pelaku Penyiksaan
d. Ketiadaan Kebijakan Afirmatif bagi Kelompok Rentan
2. HAM yang dilanggar oleh tindakan pada kasus tersebut di atas!
a. Instrument Hukum Internasional
a) Piagam PBB 1945
b) Deklarasi Universal HAM 1948
c) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
d) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
e) Instrumen HAM internasional lainnya.
b. Instrument Hukum Nasional
a) UUD 1945 beserta amandemenya;
b) Tap MPR No. XVII/MPR/1998
c) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
d) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
e) UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
f) UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Peraturan
g) perundang-undangan nasional lainnya yang terkait.
Bebas dari penyiksaan merupakan HAM yang bersifat universal dengan pengertian
instrument hukum internasional terkandung di dalamanya dan merupakan juga hak
konstitusional yang diatur dalam UUD 1945.
3. Berikan Analisa saudara, apakah hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from
torture) termasuk dalam non derogable rights atau derogable rights ? Jelaskan alasan dan
argumentasi saudara! 
a. Hak Bebas dari Penyiksaan masuk dalam non derogable rights
Konsep Non-Derogable Rights juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM yang dapat dibaca pada ketentuan Pasal 4 yang
menyebutkan bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Pengaturan lebih
konkrit dari hak sipil dan politik dapat dibaca mulai dari Pasal 9 s.d. 34 UU
HAM, yakni hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak
mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk bebas memeluk agama, hak untuk berpendapat dan berorganisasi, hak atas
rasa aman, hak untuk tidak disiksa, dan hak untuk tidak ditahan secara sewenang-
wenang.
b. Hak Bebas dari Penyiksaan masuk dalam derogable rights
Undang-Undang Dasar 1945
Sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, UUD 1945 menjadi acuan bagi
seluruh peraturan perundang-undangan yang dibawahnya. Konsep HAM menjadi
lebih jelas pengaturannya dalam arti mendapat tempat tersendiri, yakni pada Bab
XA tentang HAM, ditambah beberapa pasal diluar Bab tersebut yang tetap
memuat materi HAM. Muatan hak sipil dan politik di dalam UUD 1945 dapat
dibaca pada Pasal 27 tentang persamaan dalam hukum, Pasal 28 tentang
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, Pasal 28A tentang hak hidup, Pasal 28B
tentang hak berkeluarga, Pasal 28C tentang hak mengembangkan diri, Pasal 28D
tentang hak mendapat perlakuan hukum yang adil dan kepastian hukum, Pasal
28E tentang hak beragama, Pasal 28F tentang hak berkomunikasi, dan Pasal 28G
tentang hak atas rasa aman. Konsep Non Derogable Rights juga dianut dalam
UUD 1945, yakni pada Pasal 28I yang menyebutkan bahwa: “Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Penyebutan secara
limitatif ini menimbulkan implikasi bahwa hak-hak lain diluar Pasal ini
mengandung arti termasuk jenis derogale rights.

Anda mungkin juga menyukai