NAMA : SUHERI
NIM : 042427975
MATAKULIAH : HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Terkait dengan persoalan
diatas, lebih tegas lagi Pasal 8 ayat (1) huruf f UU 8/1999melarang pelaku
usaha untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
Persetujuan untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik
persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang
menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan
penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan
ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu
bentuk Kontrak Elektronik. Kontrak Elektronik dianggap sah apabila :
Jika Barang yang Diterima Tidak Sesuai dengan yang Diperjanjikan pelaku usaha
wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang
yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kontrak atau terdapat cacat tersembunyi.
Selain itu, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada
iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat
menggugat penjual secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas
transaksi jual beli yang dilakukan.
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka secara perdata dapat
menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barangyang
Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuatdalam display
home page/web site).
Diantara Hukum Publik tersebut terdapat pula Hukum Administrasi Negara, Hukum
Pidana, Hukum Perdata Internasional, Hukum Acara Perdata serta Hukum Acara
Pidana yang paling banyak pengaruhnya dalam pembentukanHukum Konsumen.
Ada pula yang mengelompokkan hukum konsumen kepada hukum bisnis atau
hukum dagang, karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang dan atau
jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan.
Demikian pula digolongkan sebagai cabang dari hukum perdata disertai alasan
bahwa hubungan antara konsumen dengan produsen atau pelaku usaha dalam
aspek pemenuhan barang dan atau jasa tersebut lebih merupakan hubungan-
hubungan hukum perdata belaka.
Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari
hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada
terbentuknya undang-undang tentang Perlindungan konsumen ini telah ada
beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.
Beberapa undang-undang tersebut antara lain, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 Tentang
Barang, Undang-Undang No. 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene, Undang- Undang
No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 15 Tahun 1985
tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dll.
Selain itu, UUPK juga masih memberikan ruang untuk pengaturan atau peraturan
perundang-undangan baru yang bertujuan untuk perlindungan konsumen di
Indonesia. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Umum UUPK yang menyatakan
bahwa di kemudian hari, masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-
undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuanketentuan yang melindungi
konsumen. Dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini
merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum
di bidang perlindungan konsumen.