Anda di halaman 1dari 3

HUKUM PAJAK DAN ACARA PERPAJAKAN

TUGAS 3

NAMA : NOVRI ARIFANDI


NIM : 043745657

Soal Tugas Tutorial 3


PutusanMahkamahKonstitusi No. 133/PUU-XIII/2015
Permohonan uji materiil adalah persoalan mengenai:
- Ketentuan kewajiban 50% pajak terhutang bagi wajib pajak yang mengajukan banding
yang diatur dalam Pasal 36 ayat 4 UU 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak.
- Ketentuan Pengajuan Permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan yang berlaku bagi Pemohon karena diatur dalam Pasal II
angka 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
- Ketentuan pajak dan batas pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali yang diatur
Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1)
UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

1. Berikan analisa berupa pendapat secara singkat dan jelas atas kasus posisi dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 133/PUU-XIII/2015!
2. Persoalan hukum apa yang menjadi pokok sengketa dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut?
Akses Putusan Mahkamah Konstitusi:
https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/133_PUU-XIII_2015.pdf

JAWABAN
1. Putusan bernomor 133/PUU-XIII/2015 isinya “Menyatakan menolak permohonan
Pemohon untuk seluruhnya,”
Menurut saya, syarat membayar 50 persen pajak terutang dapat menjadi jalan tengah.
Sebab, di satu sisi negara membutuhkan dana dari sektor pajak, di sisi lain wajib pajak
akan mendapatkan kompensasi bunga apabila keberatan/bandingnya dikabulkan.
Bahkan, pemohon/wajib pajak akan mendapatkan keuntungan dengan hanya membayar
jaminan sebesar 50 persen dari pajak terutang.
“Karena itu, menurut MK, tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan
berlakunya pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak,” tegasnya.

2. Mahkamah Konstitusi (MK) secara bulat menolak pengujian Pasal 36 ayat (4) UU No.14
Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak terkait syarat pengajuan banding pajak dan Pasal
II angka 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengenai penangguhan
pembayaran pajak.

MK juga menolak aturan pengajuan peninjauan kembali (PK)hanya sekali dalam Pasal
89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (MA) dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang UU Kekuasaan
Kehakiman. Alasannya, pasal-pasal tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan UUD
Tahun 1945.    

“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis


MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 133/PUU-XIII/2015.
Sebelumnya, likuidator PT Textra Amspin, Nizarman Aminuddin mempersoalkan syarat
pengajuan banding pajak dalam Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak dan Pasal II
angka 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengenai penangguhan
pembayaran pajak. Pemohon juga mempersoalkan aturan PK hanya sekali dalam Pasal
89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak, Pasal 66 ayat (1) UU MA, Pasal 24 ayat (2) UU
Kekuasaan Kehakiman.

Pemohon keberatan atas pengenaan pajak terutang PT Textra Amspin yang turut
memperhitungkan aset pribadi ke dalam aset perusahaan. Setelah keberatan ditolak
Ditjen Pajak, Pemohon mengajukan banding yang kemudian Pengadilan Pajak
menyatakan tidak dapat menerima karena Pemohon belum menyampaikan bukti
pembayaran 50 persen pajak terutang sebagai syarat banding.

Demikian pula, saat diajukan PK juga dinyatakan tidak diterima. Pemohon hendak
mengajukan PK kedua karena selama proses hukum ini tidak ada penundaan kewajiban
pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak terutang. Namun, terhalang aturan PK
hanya bisa dilakukan sekali yang sebenarnya sudah dibatalkan melalui putusan MK No.
34/PUU-XI/2013.

Dalam putusannya, Mahkamah menerangkan sesuai Pasal 9 ayat (3) UUKUP, kewajiban
perpajakan bagi wajib pajak dianggap telah timbul dan dianggap telah dilunasi dalam
jangka waktu 1 bulan sejak tanggal diterbitkan. Karena itu, saat wajib pajak mengajukan
keberatan (banding) ke Pengadilan Pajak, saat itu utang pajaknya telah timbul.

Meskipun asasnya demikian, namun dalam sengketa pajak, belum dapat dipastikan pihak
yang benar atau yang salah, apakah negara atau pemohon sebagai wajib pajak?. Atas
dasar itu, dalam rangka menerapkan asas keseimbangan, negara tidak memaksakan wajib
pajak untuk membayar seluruh pajak terutangnya, namun cukup membayar 50 persen
dari pajak terutang (sebagai jaminan).
Selain itu, syarat membayar 50 persen pajak terhutang tersebut tidak terlepas dari
kebutuhan negara akan kesinambungan pembangunan yang sumber utamanya dari
penerimaan pajak. Apabila seluruh wajib pajak keberatan atas keputusan Direktorat
Jenderal Pajak dan hukum acara di Pengadilan Pajak tidak mensyaratkan adanya
kewajiban membayar sebesar 50 persen pajak terutang sebagai jaminan, dapat dipastikan
negara akan mengalami defisit.
“Persyaratan membayar sebesar 50 persen pajak terutang sebagai jaminan untuk dapat
mengajukan keberatan/banding, dipandang tidak menghalangi pemohon/wajib pajak
dalam mendapatkan keadilan,” dalih Mahkamah dalam pertimbangan putusan.

REFERENSI

 Buku Modul Hukum Pajak Dan Acara Perpajakan


 https://www.hukumonline.com/berita/a/begini-alasan-mk-tolak-syarat-pengajuan-
banding-pajak-lt58771877309ec/
 https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjTpZT
_27n7AhXBmeYKHdDeAAQQFnoECAwQAQ&url=https%3A%2F
%2Fwww.mkri.id%2Findex.php%3Fpage%3Ddownload.Putusan%26id
%3D2541&usg=AOvVaw380Vh6hB7QWrAByn-B9sV2

Anda mungkin juga menyukai