Anda di halaman 1dari 12

Nama : Rizki Satria

NIM : 020343849

Jurusan : Ilmu Hukum (S1)

Mata Kuliah : Metode Penelitian Hukum 34

Soal Diskusi :

 Pada Diskusi Sesi 3 ini Kita akan membahas mengenai pendekatan penelitian hukum
doktrinal dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Silahkan mengemukakan pendapat dengan memberikan
teori/landasan yang kuat mengenai pendapat yang anda sampaikan!

Diskusikanlah dan jelaskanlah mengenai norma hukum umum yang


berlaku dalam asas perundang-undangan?

Berikan pendapat Saudara pada kolom diskusi dalam inisiasi ini berkaitan dengan
pembahasan materi di atas, dengan merujuk pada referensi, baik yang disajikan dalam
turorial ini, maupun referensi yang saudara dapatkan dari sumber lain yang berkaitan
dengan pembahasan.

Selamat berdiskusi, silahkan memberikan pendapat secara sistematis dengan


menyebutkan sumber (dasar Hukum), Teori yang relevan dan kemudian dikemukanan
dengan pendapat/cara pendang anda terhadap masalah tersebut. 

Tutor

Jawab :

Ada dua jenis hukum adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, yaitu hukum
adat tertulis dan hukum adat tidak tertulis. Dimana ada persamaan dan perbedaan.

Baik norma hukum tertulis maupun tidak tertulis berada dalam posisi untuk
menegakkan kebijakan sosial, tetapi berbeda dalam penyampaiannya. Dimana hukum
tertulis biasanya dihasilkan pada lembaran-lembaran hukum dan diakui oleh negara,
sedangkan hukum adat yang tidak tertulis sering dijumpai dalam kehidupan rutin
masyarakat. Lebih jelasnya mengenai hal ini dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:
1. Hukum Tertulis

Hukum tertulis adalah seperangkat standar peraturan yang dihasilkan oleh lembaga
yang berwenang dalam bentuk tertulis. Lembaran seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, adalah aturan hukum tertulis, dimana aturan dibuat oleh lembaga negara
sehingga lembaran hukum tertulis memiliki kekuatan untuk digunakan dalam kehidupan
masyarakat secara total. Di Indonesia, ada lembaga negara yang berhak membuat
peraturan seperti itu, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Pemerintah
Eksekutif.

Sejak disahkan secara tertulis, undang-undang ini berlaku sepenuhnya bagi setiap
warga negara di suatu negara. Masing-masing daerah yang berbeda, termasuk
provinsi, kabupaten, kecamatan dan sampai ke tingkat desa, tunduk pada aturan yang
disepakati. Keberadaan standar hukum tertulis terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum
pidana dan hukum perdata.

2. Hukum Pidana

Hukum perdata bertujuan untuk menegakkan hukum dan ketertiban serta melindungi
setiap warga negara. Kepentingan umum dan hubungan di antara mereka ditentukan
dan dilindungi oleh norma-norma hukum. Negara yang baik berhasil menjaga ketertiban
sosial melalui hukum.

Oleh karena itu, jika aturan tidak diikuti, mereka akan dihukum secara formal dan
terkadang informal. Hukuman berat seringkali melibatkan penegakan hukum yang
berlaku, hukuman ini dikenakan pada siapa saja yang melanggar aturan atau standar.
Hukum pidana adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan digolongkan sebagai perbuatan pidana.

Hukum juga menentukan hukuman apa yang akan diberikan kepada mereka yang
melanggar kejahatan tersebut. Setiap orang yang melanggar dan menimbulkan
kerugian materil maupun non materil dapat dikenakan sanksi. Kerugian tersebut dapat
menimpa orang lain atau merugikan masyarakat luas.

Misalnya kasus hukum pidana, dimana ada sekelompok orang yang membobol rumah
dan membunuh korban (pemilik rumah), menimbulkan kerugian materiil dan dengan
sengaja membunuh seseorang. Oleh karena itu, pencuri diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).

3. Hukum Perdata

Hukum perdata adalah bagian dari norma hukum tertulis yang memuat aturan-aturan
untuk kepentingan seseorang (individu) dalam suatu kelompok sosial (masyarakat).
Dimana didalamnya juga mengatur tentang hak dan kewajiban yang harus diikuti.
Misalnya, hukum kependudukan dan hukum keluarga yang akan Anda pelajari dalam
buku Pengembangan Hukum Perdata Tentang People & Family Law Ed.R.

Bedanya dengan hukum pidana adalah jangkauan kerugiannya, biasanya hukum


perdata merupakan urusan pribadi yang tidak merugikan banyak pihak (masyarakat
luas). Dikutip dari laman Fakultas Hukum Untirta, disebutkan bahwa Hukum Perdata
berarti hukum tentang masalah antara dua orang dalam masyarakat yang timbul dari
kepentingan individu (swasta).

Istilah ini juga sering disebut sebagai hukum perdata atau privat, meskipun hukum
perdata berlaku baik untuk jenis tertulis maupun tidak tertulis. Contoh yang sering
terlihat adalah masalah utang yang tidak melibatkan masyarakat lain. Kerugian yang
timbul dari hutang hanya dirasakan oleh salah satu pihak (individu).

4. Hukum Tidak Tertulis

Hukum tidak tertulis pada umumnya mempunyai tujuan yang sama dengan hukum
tertulis, berlaku bagi semua pengguna hukum dan bersifat mengikat. Namun, undang-
undang ini tidak terdaftar secara resmi dalam Lembaran Negara ketika telah mengikat
secara hukum. Biasanya hukum tertulis lahir dari kehidupan orang-orang yang
standarnya dapat digunakan dalam kehidupan, tetapi sifatnya lebih abstrak.

Hukum tidak tertulis banyak dijumpai dalam masyarakat yang hidup berdasarkan
hukum, yang mengatur kehidupan dan kegiatan masyarakat dengan menggunakan
hukum yang tidak diatur dalam lembaran hukum tertulis. Seperti halnya masyarakat
Baduy, para pemuka adat dan penduduk asli menyepakati asas-asas hukum.

Pengguna hukum adat tidak tertulis biasanya menitikberatkan pada kepercayaan yang
telah diturunkan dari generasi ke generasi kepada pengguna hukum lainnya. Namun,
undang-undang ini tidak berlaku untuk seluruh masyarakat, yang cakupannya lebih
sempit. Karena sifatnya yang tidak tertulis, undang-undang ini berubah dari waktu ke
waktu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Hukum tidak tertulis ini juga memiliki ketentuan mengenai sanksi yang dapat diterapkan
kepada orang yang melanggar norma. Hukuman dapat berupa hukuman sosial,
penjara, denda atau pengusiran yang lebih berat dari pada suku adat. Orang yang
berwenang menetapkan hukum tidak tertulis ini biasanya diberikan kepada seorang
penguasa adat atau penguasa adat yang dianggap cakap.

Permasalahan 1 (TUGAS WAJIB)

MENEMUKAN FORMULASI DIET REGULASI

Persoalan “bawaan” negara hukum adalah potensi disharmonis regulasi yang


mengakibatkan apa yang disebut Richard Susskind sebagai hyper regulations atau
istilah yang kemudian populer disebut obesitas hukum. Selain meningkatnya peran
pengadilan dalam menentukan validitas setiap regulasi maupun kebijakan negara,
ternyata penyusunan regulasi yang dilakukan secara TSM (tidak terstruktur dan tidak
sistematis namun masif) merupakan bom waktu bagi penyelenggaraan negara hukum
yang demokratis. Dengan dianutnya konsepsi negara hukum yang berarti berujung
kepada kepastian hukum, persamaan di hadapan hukum, dan perlindungan hak asasi
manusia akan menjadi ilusi semata apabila tatanan regulasi mengalami obesitas.
Regulasi yang saling tumpang (dan tumbang) tindih (serta menindih) merupakan faktor
akut yang justru melahirkan ke (tidak) pastian hukum, kesenjangan perlakuan
dihadapan hukum, dan alienisasi HAM.

Dalam kurun 2000-2017 terdapat 35.901 peraturan, terdiri 1 UUD yaitu UUD 1945.
Sedangkan jumlah terbanyak adalah Peraturan Daerah (Perda) yaitu sebanyak 14.225
Perda. Disusul dengan Peraturan Menteri (Permen) sebanyak 11.873 Permen. Dan di
tempat ketiga diduduki peraturan lembaga non kementerian sebanyak 3.163 peraturan.
Masih tercatat pula peraturan peninggalan Penjajah Belanda sebanyak 36
peraturan.Jumlah kuantitas yang demikian itu tidak berjalan lurus dengan kualitas
regulasi, hal ini nampak dari banyaknya kaidah-kaidah hukum yang timbul dari proses
pengujian norma di kekuasaan kehakiman. Tercatat, hingga Maret 2017 terdapat 802
putusan Mahkamah Konstitusi, 203 putusan Mahkamah Agung, dan kaidah hukum
melalui menafsiran hukum seperti yang terdapat dalam putusan pengadilan niaga yang
berjumlah 168 putusan. Dengan kontur yang demikian itu, nampak bahwa penerbitan
regulasi di Indonesia masih belum sepenuhnya terencana. Apabila penerbitan regulasi
tidak segera diselesaikan maka tentu akan berakibat kontraproduktif dengan upaya
meningkatkan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi. Parahnya, problem

ini seolah tidak terselesaikan dari tahun ke tahun sehingga regulasi kian menumpuk
dan tak terkendali meskipun dalam sejarah kebijakan penataan regulasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan kesejahteraan kerap dilakukan.
Di sisi lain peran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), seolah tak mampu membendung besarnya
keinginan pembentukan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah maupun
yang rancangan undang-undang tersebut merupakan inisiatif DPR. Alhasil, fungsi
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pun tak berjalan optimal.
Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu
peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas yang
semestinya bisa menciptakan perencanaan dan arahan yang sistematis dalam program
pembangunan hukum nasional, sekaligus menjadi pintu utama guna menyaring
kebutuhan peraturan perundang-undangan yang menjadi aspirasi sekaligus kebutuhan
hukum masyarakat, justru menjadikan faktor ”kepentingan” sebagai tolak ukur
pembentukan regulasi. Akibatnya Kondisi ini akan melahirkan situasi hukum yang serba
multitafsir, konfliktual, dan tidak taat asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya
efektivitas implementasi regulasi yang pada ujungnya menciptakan tidak harmonisnya
antara satu peraturan dan peraturan yang lain.

 Jelaskan ragam metode pendekatan penelitian dan tentukan pendekatan


penelitian yang paling relevan digunakan pada wacana diatas?

Permasalahan 2

MENGHARMONISKAN UNDANG-UNDANG MELALUI OMNIBUS LAW MODEL


INDONESIA

Setiap negara yang dibentuk, selalu memiliki tujuan. Indonesia salah satunya, dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, menjelaskan tujuan negara
Indonesia, yaitu:

 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia


 memajukan kesejahteraan umum,
 mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
 ikut melaksanakan ketertiban dunia

Dari keempat tujuan negara Indonesia, upaya memajukan kesejahteraan umum,


merupakan ide Welfare State (negara kesejahteraan). Dengan begitu, negara
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, melalui pemenuhan kebutuhan hidup sandang,
pangan dan papan. Tentunya upaya ini dilakukan dengan meningkatkan pembangunan
ekonomi di segala bidang, dengan mengupayakan peningkatan pendapatan negara.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019


mengenai kebijakan umum pembangunan nasional, menekankan pada visi
“Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri, Dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong-Royong”. Lebih lanjut diaktualisasikan dengan 7 misi pembangunan, yang salah
satunya “Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan
sejahtera.” Guna mewujudkan hal tersebut, maka dibentuklah NAWA CITA yang
merupakan 9 agenda priotitas pembangunan, salah satunya Mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Upaya
mewujudkan agenda priotitas Nawa Cita tersebut, dilakukan melalui peningkatan
investasi, guna mewujudkan kesejahteraan nasional.

Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD NRI 1945).
Secara historis diartikan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), sebagai
Negara yang berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat). Pemahaman akan konsep negara hukum itu menjadi suatu
pandangan bahwa segala tindakan dalam penyelenggaraan negara haruslah
berdasarkan hukum. Hal ini juga dikenal dengan asas legalitas yang berarti keabsahan
tindakan pemerintah harus dilihat dari acuan peraturan perundang- undangan yang
mengatur. Sejarah Singkat Asas Legalitas berawal dari pungutan Pajak. Di AS dikenal
dengan istilah “taxation without representation is robbery” di Inggris dikenal dengan
istilah “no taxation without representation”.

Eksistensi asas legalitas, merupakan aktualisasi dari sistem hukum Eropa Kontinental
“Rechstaat”. Kemudian berdampak pada hadirnya setiap peraturan perundang-
undangan sebagai acuan dari setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Secara
faktual di Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM RI pada akhir tahun 2016 lalu
memberikan informasi mengenai “obesitas” peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Kurang lebih 62 ribu-an peraturan tersebar di berbagai instansi berdampak
pada hambatan percepatan pembangunan.482. Kondisi ini juga memunculkan
ketidakpastian hukum dalam menggunakan suatu peraturan perundang- undangan
sebagai dasar hukum oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pasalnya, ketentuan
tersebut bertentangan dengan ketentuan yang sejajar atau dengan yang lebih tinggi.

Kenyataannya, banyak peraturan di level undang-undang yang tumpang tindih


sehingga mengubah satu undang-undang belum tentu kemudian akan bisa
menyelesaikan suatu masalah. Misalnya dalam hal penanaman modal, seorang
investor tidak hanya terpaku dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal saja, melainkan juga dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (berkaitan perizinan oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap penanaman
modal), Undang-Undang yang menyangkut Perpajakan, serta Peraturan Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan perizinan. Hal ini menunjukkan bahwa
suatu undang-undang (UU Penanaman Modal) belum mampu memberikan kepastian
usaha kepada penanam modal (investor), melainkan juga harus menyesuaikan dengan
aturan-aturan lain. Mengingat jangka waktu aturan-aturan itu dibuat berbeda-beda,
maka sudut pandang pemikiran masing-masing undang- undang juga berbeda, antara
undang-undang satu dengan yang lainnya. Ditambah lagi, dasar filosofi dan sosiologis
pembentukan masing-masing undang-undang berbeda. Hal ini akan berdampak pada
kemungkinan pertentangan diantara undang-undang tersebut.
Selain itu ada pula undang-undang yang saling bertentangan, sehingga pemerintah
daerah menjadi kebingungan dalam implementasinya. Seperti halnya dalam Pasal 8
ayat (1) huruf a, b dan c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, menentukan: Kewenangan pemerintah
daerah kabupaten/kota dalam memberikan ijin usaha pertambangan (IUP) dan ijin
pertambangan rakyat (IPR) serta pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai
dengan 4 (empat) mil. Akan tetapi dalam bagian Lampiran CC. Pembagian Urusan
Pemerintahan Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Undang-Undang No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi memberikan kewenangan kepada
Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan Izin, dan mengalihkan semuanya ke Pemerintah
Daerah Provinsi. Menariknya Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, tidak mencabut Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dalam bagian ketentuan penutup. Sehingga
memunculkan perdebatan sampai saat ini di daerah, terkait dengan pemberian
kewenangan terhadap ijin galian C, yang selama ini dilakukan oleh kabupaten/kota.

 Jelaskan menurut saudara, berdasarkan latar Belakang diatas pendekatan


penelitian apa yang paling cocok dalam melakukan penelitian tersebut!

Permasalahan 3

KONSTITUSIONALITAS PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN URGENSI


REVISI PENGATURAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

Dimulai dari inisiatif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), dkk.,
dilakukanlah pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah terhadap UUD 1945. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk sebagian, khususnya terkait norma pengujian atau
pembatalan Perda kabupaten/kota. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 137/PUU-
XIII/2015, bertanggal 5 April 2017 tegas menyatakan pengujian atau pembatalan
peraturan daerah (Perda) kabupaten/kota menjadi ranah kewenangan konstitusional
Mahkamah Agung.

Inisiatif tersebut dilanjutkan oleh Abda Khair Mufti, dkk yang menguji norma pengujian
atau pembatalan Perda provinsi pada undang-undang yang sama. Dengan
mendasarkan pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015,
pembatalan Perda provinsi melalui mekanisme executive review juga dinyatakan
Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hal demikian tertuang dalam Putusan Nomor
56/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Juni 2017.

Putusan yang menguatkan posisi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung


tersebut akan dipastikan memberi perhatian khusus publik terhadap hukum acara yang
diterapkan oleh Mahkamah Agung khususnya mengenai pengujian peraturan
perundang-undangan (judicial review) terhadap undang-undang sebagaimana
termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945.

Pada prinsipnya, setelah Perubahan UUD 1945, yang berwenang melakukan judicial
review tersebut adalah:

1.     Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan menguji Undang-Undang terhadap


UUD 1945 [vide Pasal 24C ayat (1) UUD 1945]; dan

2.     Mahkamah Agung dengan kewenangan menguji peraturan perundang- undangan


di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang [vide Pasal 24A ayat (1) UUD
1945].

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan, “Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang”. Dari ketentuan tersebut maka kewenangan
Mahkamah Agung mengadili peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
terhadap Undang- Undang merupakan perintah langsung dari UUD 1945.

Hingga saat ini, banyak kritik yang timbul khususnya terkait dengan mekanisme
beracara pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung, bahkan
sebelum kedua putusan terkait Perda tersebut menjadi final dan mengikat.  Khususnya
terkait dengan konstitusionalitas mekanisme pembatalan Perda baik provinsi maupun
kabupaten/kota dan pengaturan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selain itu, tulisan ini bermaksud untuk mengkaji
Putusan 30/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan yang mengatur mekanisme
pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung seperti yang tercantum
dalam Pasal 31A ayat (4) huruf h Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (UU MA).

Jelaskan menurut saudara, berdasarkan latar belakang diatas pendekatan


penelitian apa yang paling cocok dalam melakukan penelitian tersebut!

Jawab :

1. Pendekatan kualitatif.

Karena metode penelitian yang menggunakan data deskriptif berupa bahasa tulis atau
lisan dari orang dan pelaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini dilakukan
untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena individu atau kelompok, peristiwa,
dinamika sosial, sikap, keyakinan, dan persepsi. Oleh karena itu, proses penelitian
dengan pendekatan kualitatif diawali dengan pengembangan asumsi dasar. Kemudian
dikaitkan dengan kaidah berpikir yang digunakan dalam penelitian. Data yang
dikumpulkan dalam survei kemudian diinterpretasikan. Misalnya, penelitian dengan
pendekatan kualitatif di bidang sosiologi akan mengungkap makna sosial dari fenomena
yang diperoleh subjek penelitian. Topik ini biasanya diterima dari peserta atau
responden. Dengan cara demikian, peneliti dengan pendekatan ini kemudian mencoba
menjawab bagaimana pengalaman sosial budaya manusia itu terbentuk dan kemudian
diberi makna. Subyek penelitian dengan pendekatan kualitatif mencakup semua aspek
atau bidang kehidupan manusia, yaitu manusia dan semua yang dipengaruhinya.
Metode kualitatif tidak secepat dalam menganalisis data seperti penelitian kuantitatif.
Dalam studi kuantitatif, data mentah dapat segera diproses. Namun, data dalam studi
kualitatif membutuhkan proses sistematis yang lebih dalam. Contoh penelitian
kuantitatif seperti menjawab pertanyaan mengapa beberapa orang yang tinggal di
lereng gunung berapi rela mengungsi jika gunung berapi meletus. Sementara itu,
penelitian kualitatif akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyelidiki makna.
Seperti membahas makna gunung, bencana, kehidupan, dan aspek lainnya tentang
warga yang memilih untuk tidak mengungsi.

2. Pendekatan yang cocok atas soal diatas tentang mengharmoniskan undang-


undang dengan omnibus law versi Indonesia adalah dengan pendekatan
kualitatif, dimana Strategi penelitian adalah keseluruhan metode atau kegiatan
dalam suatu penelitian yang dimulai dengan merumuskan masalah sampai dengan
suatu kesimpulan. Ada dua jenis teknik penelitian, yaitu metode kuantitatif dan
metode kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung


menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan
dalam penelitian kualitatif. Landasan teori digunakan sebagai pedoman agar fokus
penelitian konsisten dengan kenyataan di lapangan. Selain itu, landasan teori juga
berguna untuk memberikan gambaran tentang latar belakang penelitian dan
sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Ada perbedaan mendasar antara peran
landasan teori dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kuantitatif. Dalam
penelitian kuantitatif, penelitian bergerak dari teori ke data, dan diakhiri dengan
menerima atau menolak teori yang digunakan; sedangkan dalam penelitian
kualitatif peneliti memulai dengan data, menggunakan teori-teori yang ada sebagai
bahan penjelas, dan diakhiri dengan “teori”.

Kriyantono mengatakan bahwa, “Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan


fenomena secara mendalam melalui pengumpulan data yang mendalam.”
Penelitian kualitatif lebih menekankan pada kedalaman data yang diperoleh
peneliti.Semakin dalam dan detail data yang diperoleh maka semakin baik kualitas
penelitian kualitatif ini.

Berbeda dengan kuantitatif, objek penelitian kualitatif biasanya terbatas


jumlahnya. Dalam penelitian ini, peneliti berpartisipasi dalam peristiwa/kondisi
yang diteliti. Oleh karena itu, hasil penelitian ini memerlukan analisis mendalam
dari peneliti. Selain itu, hasil penelitian ini bersifat subjektif sehingga tidak dapat
digeneralisasikan. Umumnya penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan
metode wawancara dan observasi. Melalui metode ini, peneliti akan menganalisis
data yang diperoleh dari lapangan secara detail. Peneliti tidak dapat menganalisis
kondisi sosial yang diamati, karena seluruh realitas yang terjadi merupakan
harmoni yang terjadi secara alamiah. Hasil penelitian kualitatif juga dapat
memunculkan teori atau konsep baru, jika hasil penelitian tersebut bertentangan
dengan teori dan konsep yang sebelumnya digunakan sebagai kajian penelitian.

3. Pendekatan yang cocok atas soal diatas tentang KONSTITUSIONALITAS


PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN URGENSI REVISI PENGATURAN
PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN adalah pendekatan
kualitatif. Dimana studi ilmiah yang sistematis tentang komponen dan fenomena
dan hubungan sebab akibat mereka. Tujuan penelitian kuantitatif adalah untuk
mengembangkan dan menggunakan model matematika, teori dan/atau hipotesis
yang berkaitan dengan suatu fenomena. Proses pengukuran adalah bagian
sentral dari penelitian kuantitatif karena menyediakan hubungan mendasar
antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan
kuantitatif.Penelitian kuantitatif banyak digunakan baik dalam ilmu alam maupun
ilmu sosial, mulai dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme. Metode
ini juga digunakan sebagai cara untuk mengevaluasi berbagai aspek pendidikan.
Istilah penelitian kuantitatif sering digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk
membedakannya dari penelitian kualitatif.
Jawab : pendekatan perundang-undangan

Jawab : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Jawab : Interpretasi Gramatikal.


Jawab : Keputusan Gubernur

Jawab : Asas welvaarstaat.

Anda mungkin juga menyukai