NIM : 020343849
Soal Diskusi :
Pada Diskusi Sesi 3 ini Kita akan membahas mengenai pendekatan penelitian hukum
doktrinal dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Silahkan mengemukakan pendapat dengan memberikan
teori/landasan yang kuat mengenai pendapat yang anda sampaikan!
Berikan pendapat Saudara pada kolom diskusi dalam inisiasi ini berkaitan dengan
pembahasan materi di atas, dengan merujuk pada referensi, baik yang disajikan dalam
turorial ini, maupun referensi yang saudara dapatkan dari sumber lain yang berkaitan
dengan pembahasan.
Tutor
Jawab :
Ada dua jenis hukum adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, yaitu hukum
adat tertulis dan hukum adat tidak tertulis. Dimana ada persamaan dan perbedaan.
Baik norma hukum tertulis maupun tidak tertulis berada dalam posisi untuk
menegakkan kebijakan sosial, tetapi berbeda dalam penyampaiannya. Dimana hukum
tertulis biasanya dihasilkan pada lembaran-lembaran hukum dan diakui oleh negara,
sedangkan hukum adat yang tidak tertulis sering dijumpai dalam kehidupan rutin
masyarakat. Lebih jelasnya mengenai hal ini dapat dilihat pada penjelasan berikut ini:
1. Hukum Tertulis
Hukum tertulis adalah seperangkat standar peraturan yang dihasilkan oleh lembaga
yang berwenang dalam bentuk tertulis. Lembaran seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, adalah aturan hukum tertulis, dimana aturan dibuat oleh lembaga negara
sehingga lembaran hukum tertulis memiliki kekuatan untuk digunakan dalam kehidupan
masyarakat secara total. Di Indonesia, ada lembaga negara yang berhak membuat
peraturan seperti itu, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Pemerintah
Eksekutif.
Sejak disahkan secara tertulis, undang-undang ini berlaku sepenuhnya bagi setiap
warga negara di suatu negara. Masing-masing daerah yang berbeda, termasuk
provinsi, kabupaten, kecamatan dan sampai ke tingkat desa, tunduk pada aturan yang
disepakati. Keberadaan standar hukum tertulis terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum
pidana dan hukum perdata.
2. Hukum Pidana
Hukum perdata bertujuan untuk menegakkan hukum dan ketertiban serta melindungi
setiap warga negara. Kepentingan umum dan hubungan di antara mereka ditentukan
dan dilindungi oleh norma-norma hukum. Negara yang baik berhasil menjaga ketertiban
sosial melalui hukum.
Oleh karena itu, jika aturan tidak diikuti, mereka akan dihukum secara formal dan
terkadang informal. Hukuman berat seringkali melibatkan penegakan hukum yang
berlaku, hukuman ini dikenakan pada siapa saja yang melanggar aturan atau standar.
Hukum pidana adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan digolongkan sebagai perbuatan pidana.
Hukum juga menentukan hukuman apa yang akan diberikan kepada mereka yang
melanggar kejahatan tersebut. Setiap orang yang melanggar dan menimbulkan
kerugian materil maupun non materil dapat dikenakan sanksi. Kerugian tersebut dapat
menimpa orang lain atau merugikan masyarakat luas.
Misalnya kasus hukum pidana, dimana ada sekelompok orang yang membobol rumah
dan membunuh korban (pemilik rumah), menimbulkan kerugian materiil dan dengan
sengaja membunuh seseorang. Oleh karena itu, pencuri diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
3. Hukum Perdata
Hukum perdata adalah bagian dari norma hukum tertulis yang memuat aturan-aturan
untuk kepentingan seseorang (individu) dalam suatu kelompok sosial (masyarakat).
Dimana didalamnya juga mengatur tentang hak dan kewajiban yang harus diikuti.
Misalnya, hukum kependudukan dan hukum keluarga yang akan Anda pelajari dalam
buku Pengembangan Hukum Perdata Tentang People & Family Law Ed.R.
Istilah ini juga sering disebut sebagai hukum perdata atau privat, meskipun hukum
perdata berlaku baik untuk jenis tertulis maupun tidak tertulis. Contoh yang sering
terlihat adalah masalah utang yang tidak melibatkan masyarakat lain. Kerugian yang
timbul dari hutang hanya dirasakan oleh salah satu pihak (individu).
Hukum tidak tertulis pada umumnya mempunyai tujuan yang sama dengan hukum
tertulis, berlaku bagi semua pengguna hukum dan bersifat mengikat. Namun, undang-
undang ini tidak terdaftar secara resmi dalam Lembaran Negara ketika telah mengikat
secara hukum. Biasanya hukum tertulis lahir dari kehidupan orang-orang yang
standarnya dapat digunakan dalam kehidupan, tetapi sifatnya lebih abstrak.
Hukum tidak tertulis banyak dijumpai dalam masyarakat yang hidup berdasarkan
hukum, yang mengatur kehidupan dan kegiatan masyarakat dengan menggunakan
hukum yang tidak diatur dalam lembaran hukum tertulis. Seperti halnya masyarakat
Baduy, para pemuka adat dan penduduk asli menyepakati asas-asas hukum.
Pengguna hukum adat tidak tertulis biasanya menitikberatkan pada kepercayaan yang
telah diturunkan dari generasi ke generasi kepada pengguna hukum lainnya. Namun,
undang-undang ini tidak berlaku untuk seluruh masyarakat, yang cakupannya lebih
sempit. Karena sifatnya yang tidak tertulis, undang-undang ini berubah dari waktu ke
waktu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Hukum tidak tertulis ini juga memiliki ketentuan mengenai sanksi yang dapat diterapkan
kepada orang yang melanggar norma. Hukuman dapat berupa hukuman sosial,
penjara, denda atau pengusiran yang lebih berat dari pada suku adat. Orang yang
berwenang menetapkan hukum tidak tertulis ini biasanya diberikan kepada seorang
penguasa adat atau penguasa adat yang dianggap cakap.
Dalam kurun 2000-2017 terdapat 35.901 peraturan, terdiri 1 UUD yaitu UUD 1945.
Sedangkan jumlah terbanyak adalah Peraturan Daerah (Perda) yaitu sebanyak 14.225
Perda. Disusul dengan Peraturan Menteri (Permen) sebanyak 11.873 Permen. Dan di
tempat ketiga diduduki peraturan lembaga non kementerian sebanyak 3.163 peraturan.
Masih tercatat pula peraturan peninggalan Penjajah Belanda sebanyak 36
peraturan.Jumlah kuantitas yang demikian itu tidak berjalan lurus dengan kualitas
regulasi, hal ini nampak dari banyaknya kaidah-kaidah hukum yang timbul dari proses
pengujian norma di kekuasaan kehakiman. Tercatat, hingga Maret 2017 terdapat 802
putusan Mahkamah Konstitusi, 203 putusan Mahkamah Agung, dan kaidah hukum
melalui menafsiran hukum seperti yang terdapat dalam putusan pengadilan niaga yang
berjumlah 168 putusan. Dengan kontur yang demikian itu, nampak bahwa penerbitan
regulasi di Indonesia masih belum sepenuhnya terencana. Apabila penerbitan regulasi
tidak segera diselesaikan maka tentu akan berakibat kontraproduktif dengan upaya
meningkatkan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi. Parahnya, problem
ini seolah tidak terselesaikan dari tahun ke tahun sehingga regulasi kian menumpuk
dan tak terkendali meskipun dalam sejarah kebijakan penataan regulasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan kesejahteraan kerap dilakukan.
Di sisi lain peran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
pembentukan perundang-undangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 20
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), seolah tak mampu membendung besarnya
keinginan pembentukan perundang-undangan yang diajukan oleh pemerintah maupun
yang rancangan undang-undang tersebut merupakan inisiatif DPR. Alhasil, fungsi
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan pun tak berjalan optimal.
Masing-masing pihak memiliki argumen yang kuat dalam mempertahankan suatu
peraturan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas yang
semestinya bisa menciptakan perencanaan dan arahan yang sistematis dalam program
pembangunan hukum nasional, sekaligus menjadi pintu utama guna menyaring
kebutuhan peraturan perundang-undangan yang menjadi aspirasi sekaligus kebutuhan
hukum masyarakat, justru menjadikan faktor ”kepentingan” sebagai tolak ukur
pembentukan regulasi. Akibatnya Kondisi ini akan melahirkan situasi hukum yang serba
multitafsir, konfliktual, dan tidak taat asas. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya
efektivitas implementasi regulasi yang pada ujungnya menciptakan tidak harmonisnya
antara satu peraturan dan peraturan yang lain.
Permasalahan 2
Setiap negara yang dibentuk, selalu memiliki tujuan. Indonesia salah satunya, dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, menjelaskan tujuan negara
Indonesia, yaitu:
Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD NRI 1945).
Secara historis diartikan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), sebagai
Negara yang berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat). Pemahaman akan konsep negara hukum itu menjadi suatu
pandangan bahwa segala tindakan dalam penyelenggaraan negara haruslah
berdasarkan hukum. Hal ini juga dikenal dengan asas legalitas yang berarti keabsahan
tindakan pemerintah harus dilihat dari acuan peraturan perundang- undangan yang
mengatur. Sejarah Singkat Asas Legalitas berawal dari pungutan Pajak. Di AS dikenal
dengan istilah “taxation without representation is robbery” di Inggris dikenal dengan
istilah “no taxation without representation”.
Eksistensi asas legalitas, merupakan aktualisasi dari sistem hukum Eropa Kontinental
“Rechstaat”. Kemudian berdampak pada hadirnya setiap peraturan perundang-
undangan sebagai acuan dari setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Secara
faktual di Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM RI pada akhir tahun 2016 lalu
memberikan informasi mengenai “obesitas” peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Kurang lebih 62 ribu-an peraturan tersebar di berbagai instansi berdampak
pada hambatan percepatan pembangunan.482. Kondisi ini juga memunculkan
ketidakpastian hukum dalam menggunakan suatu peraturan perundang- undangan
sebagai dasar hukum oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pasalnya, ketentuan
tersebut bertentangan dengan ketentuan yang sejajar atau dengan yang lebih tinggi.
Permasalahan 3
Dimulai dari inisiatif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), dkk.,
dilakukanlah pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah terhadap UUD 1945. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk sebagian, khususnya terkait norma pengujian atau
pembatalan Perda kabupaten/kota. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 137/PUU-
XIII/2015, bertanggal 5 April 2017 tegas menyatakan pengujian atau pembatalan
peraturan daerah (Perda) kabupaten/kota menjadi ranah kewenangan konstitusional
Mahkamah Agung.
Inisiatif tersebut dilanjutkan oleh Abda Khair Mufti, dkk yang menguji norma pengujian
atau pembatalan Perda provinsi pada undang-undang yang sama. Dengan
mendasarkan pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015,
pembatalan Perda provinsi melalui mekanisme executive review juga dinyatakan
Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hal demikian tertuang dalam Putusan Nomor
56/PUU-XIV/2016, bertanggal 14 Juni 2017.
Pada prinsipnya, setelah Perubahan UUD 1945, yang berwenang melakukan judicial
review tersebut adalah:
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 memang tegas menyatakan, “Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang”. Dari ketentuan tersebut maka kewenangan
Mahkamah Agung mengadili peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang
terhadap Undang- Undang merupakan perintah langsung dari UUD 1945.
Hingga saat ini, banyak kritik yang timbul khususnya terkait dengan mekanisme
beracara pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung, bahkan
sebelum kedua putusan terkait Perda tersebut menjadi final dan mengikat. Khususnya
terkait dengan konstitusionalitas mekanisme pembatalan Perda baik provinsi maupun
kabupaten/kota dan pengaturan mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Selain itu, tulisan ini bermaksud untuk mengkaji
Putusan 30/PUU-XIII/2015 yang menguji ketentuan yang mengatur mekanisme
pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung seperti yang tercantum
dalam Pasal 31A ayat (4) huruf h Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (UU MA).
Jawab :
1. Pendekatan kualitatif.
Karena metode penelitian yang menggunakan data deskriptif berupa bahasa tulis atau
lisan dari orang dan pelaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini dilakukan
untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena individu atau kelompok, peristiwa,
dinamika sosial, sikap, keyakinan, dan persepsi. Oleh karena itu, proses penelitian
dengan pendekatan kualitatif diawali dengan pengembangan asumsi dasar. Kemudian
dikaitkan dengan kaidah berpikir yang digunakan dalam penelitian. Data yang
dikumpulkan dalam survei kemudian diinterpretasikan. Misalnya, penelitian dengan
pendekatan kualitatif di bidang sosiologi akan mengungkap makna sosial dari fenomena
yang diperoleh subjek penelitian. Topik ini biasanya diterima dari peserta atau
responden. Dengan cara demikian, peneliti dengan pendekatan ini kemudian mencoba
menjawab bagaimana pengalaman sosial budaya manusia itu terbentuk dan kemudian
diberi makna. Subyek penelitian dengan pendekatan kualitatif mencakup semua aspek
atau bidang kehidupan manusia, yaitu manusia dan semua yang dipengaruhinya.
Metode kualitatif tidak secepat dalam menganalisis data seperti penelitian kuantitatif.
Dalam studi kuantitatif, data mentah dapat segera diproses. Namun, data dalam studi
kualitatif membutuhkan proses sistematis yang lebih dalam. Contoh penelitian
kuantitatif seperti menjawab pertanyaan mengapa beberapa orang yang tinggal di
lereng gunung berapi rela mengungsi jika gunung berapi meletus. Sementara itu,
penelitian kualitatif akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyelidiki makna.
Seperti membahas makna gunung, bencana, kehidupan, dan aspek lainnya tentang
warga yang memilih untuk tidak mengungsi.