Anda di halaman 1dari 10

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.1 (2020.2)

Nama Mahasiswa : BAIQ RESA YAMISSUROJA

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 031475937

Tanggal Lahir : 15/01/1998

Kode/Nama Mata Kuliah : 4401/INTERPRETASI DAN PENALARAN HUKUM

Kode/Nama Program Studi : ILMU HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : MATARAM

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/20 Desember 2020

Tanda Tangan Peserta


Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS
TERBUKASurat
Pernyataan
Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Mahasiswa : BAIQ RESA YAMISSUROJA

NIM : 031475937

Kode/Nama Mata Kuliah : 4401/INTERPRETASI DAN PENALARAN HUKUM

Fakultas : FISIP

Program Studi : ILMU HUKUM

UPBJJ-UT : MATARAM

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik
dengan tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE
melalui media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan
akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari
terdapat pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan
menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.

Mataram, 20 Desember 2020

Yang Membuat Pernyataan


1. SOAL :
a. Analisa klasifikasi hukum menurut Thomas Aquinas. Menurut anda bagaimana
keterkaitan klasifikasi hukum Thomas Aquinas dengan Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945.
JAWAB :
Menurut Thomas Aquinas, hukum manusia tidak pernah bersifat abadi karena
hanya hukum yang berasal dari Tuhan itu bersifat abadi. Maka, Thomas
Aquinas membagi hukum menjadi dua bagian yaitu hukum abadi (yang terdiri
dari hukum ilahi dan hukum natural) dan hukum manusiawi atau hukum positif.
Aliran-aliran filsafat hukum salah satunya aliran Hukum Alam. Aliran hukum alam dapat
dibagi dua macam yaitu: Irasional dan Rasional.
Aliran hukum yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan
abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung.
Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat bahwa sumber hukum yang
universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pendukung aliran hukum alam menurut
Thomas Aquinas ada 4 macam hukum yaitu:
1) Lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera
manusia).
2) Lex devina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia).
3) Lex naturalis (hukum alam yaitu penjelmaan dari lex aeterna kedalam rasio
manusia).
4) Lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia didunia)

Secara konstitusional ditegaskan dalam rumusan Pancasila pada pembukaan dan pasal
29 UUD Tahun 1945, Landasan idiil Pancasila pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dalam penjelasan UUD Tahun 1945 sila pertama tersebut adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa, mengandung makna bahwa kewajiban pemerintah dan para penyelenggara
negara lainnya untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-
cita moral yang luhur. Untuk memelihara moral yang luhur tersebut tidak dapat
dilepaskan dari usaha untuk membina dan mengembangkan kehidupan beragama
bangsa Indonesia, bahkan ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran
agama.
Menurut Thomas Aquinas, hukum manusia tidak pernah bersifat abadi karena hanya
hukum yang berasal dari Tuhan itu bersifat abadi. Maka, Thomas Aquinas membagi
hukum menjadi dua bagian yaitu hukum abadi (yang terdiri dari hukum ilahi dan hukum
natural) dan hukum manusiawi atau hukum positif. Bagi Thomas Aquinas keduanya
saling berhubungan. Artinya, hukum manusiawi akan memilik daya ikat sejauh hukum
tersebut sejalan dengan akal budi manusia. Akal budi manusia berpastisipasi dalam akal
budi Allah karena manusia diciptakan secitra dengan Dia. Maka, produk akal budi
manusia haruslah melukiskan partisipasi pada rencana ilahi. Bagi Thomas Aquinas, akal
budi manusia mampu mencetuskan sederetan peraturan yang dapat membimbing hidup
manusia. Dengan pemahaman bahwa akal budi manusia itu harus mengalir dari
kecerdasan akal budi ilahi Allah sendiri. Dan sebab itu, keterkaitan hukum ilahi dan
hukum manusiawi sangatlah dekat dan nyata.

b. Berdasarkan klasifikasi hukum Thomas Aquinas, menurut analisa saudara apakah


Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 merupakan perwujudan Lex Aeterna ? Jelaskan.
JAWAB:
Lex aeterna merupakan hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indera manusia. Hal yang penting dan perlu diingat yaitu bagaimana sebagai makhluk
ciptaan yang diciptakan secitra dengan Allah ini haruslah melihat bahwa hukum tersebut
berasal dari Allah dan yang punya hukum itu sendiri Allah. Pada hakikatnya negara
indonesia adalah Negara hukum yang sungguh berotoritas tinggi dan menjunjung tinggi
hukum yang telah dibuat dan disusun dalam perarturan perudang-undangan bangsa
Indonesia.
Mengenai hukum kodrat ini harus berhubungan juga dengan hukum positif karena
hukum kodrat harus meresapi hukum positif. Hukum positif haruslah diinspirasikan oleh
hukum kodrat. Hukum kodrat mengedepankan kodrat manusia sebagai manusia, maka
hukum sipil/positif yang diberlakukan dalam kehidupan bersama manusia tidak boleh
melepaskan diri dan aneka imperatif hukuk kodrat. Kodrat manusia memiliki keterarahan
kepada yang baik, kepada sang kebaikan itu sendiri, yaitu Allah. Oleh sebab itu, hukum
yang digariskan haruslah mengantar manusia kepada kebaikan, hukum positif
manusiawi harus diresapi oleh hukum kodrat.
Pada hakekatnya pandangan Thomas Aquinas mengenai hukum ini harus dilihat
pertama bahwa hukum itu ada karena sang pemilik hukum itu sendiri yaitu Allah. Setelah
itu dengan manusia yang punya akal budi yang sehat dapat menjalankan hukum
tersebut sesuai dengan kaidah dan norma-norma yang ada di masyarakat. Dengan
melihat hal ini sebagai suatu yang baik maka keadilan hukum di indonesia berjalan
dengan baik dengan tidak meliha otoritas suatu golongan atau individu. Perlu dipahami
pula bahwa hukum kodrat dan hukum positif yaitu,moral haruslah meresapi hukum.
Hidup manusia hendaknya sungguh bermoral sehingga hukum sungguh tunduk pada
moral. Artinya, apa yang diperintahkan haruslah merupakan kebaikan; dan apa yang
dilarang haruslah merupakan keburukan.

2. SOAL
a. Bagaimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan berkenaan batas usia
anak dan usia dewasa di Indonesia dengan beberapa ketentuan perundangan yang
berkaitan dengan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum yaitu
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.

JAWAB :
Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai
batasan yang mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini beberapa
pengaturan batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia.
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan memang masih
tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang, sebagian memberi batasan
21 (dua puluh satu) tahun, sebagian lagi 18 (delapan belas) tahun, bahkan ada yang 17
(tujuh belas) tahun.
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan
diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum
mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Dalam Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan mengenai batas usia
dewasa seseorang, yaitu : “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Ketentuan dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
“Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah (pernah)
menikah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah mengatur
mengenai definisi pengertian dari anak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1,
yaitu sebagai berikut :anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang bahwa Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan

b. Analisa metode interpretasi dan penalaran hukum apa yang dapat digunakan untuk
menjawab kasus di atas.
JAWAB:
Metode Interpretasi yang digunakan adalah
1) Metode Interpretasi Gramatikal
Metode interpretasi gramatikal adalah metode interpretasi dengan melihat kaidah
kebahasaan. Interpretasi ini merupakan metode interpretasi yang paling
sederhana,karena memahami makna teks dari teks itu sendiri.nMajelis hakim dalam
menggunakan metode ini terlihat ketika memahami Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974, yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua
pihak pria atau pihak wanita”. Pada kata “penyimpangan” ditafsirkan sebagai
“seseorang yang inginmelangsungkan pernikahan tetapi masih di bawah umur yang
ditetapkan undang- undang.” Kenapa demikian, karena secara gramatikal, arti
“penyimpangan” dalam undang-undang tersebut adalah “penolakan” terhadap ayat
(1) yang berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun”.
Melihat hal tersebut, dihubungkan dengan kasus bahwa anak pemohon dengan
keinginannya melangsungkan perkawinan, akan tetapi ditolak oleh PPN karena
masih di bawah umur, secara tidak langsung melakukan penyimpangan atau
penolakan terhadap pasal 7 ayat (1) UU Tahun 1974. Oleh karena itu majelis hakim
mengabulkan permohonan dispensasi nikah tersebut, yang tentunya dengan
mempertimbangkan fakta-fakta konkrit yang ada. Peraturan hukum yang terdapat
dalam undang-undang tersebut tidak akan berfungsi sama sekali, jika tidak ada fakta
konkritnya. Undang-undang hanya sebagai legitimasi dari pada sebuah fakta konkrit.
Selain itu undang-undang seperti disinggung di bagian depan,bahwa semua
peraturan hukum hanyalah sebagai sumber penemuan hukum, dan putusan hakim
itulah hukum yang sebenarnya.

2) Metode Interpretasi Sistematis


Metode interpretasi sistematis adalah menafsirkan peraturan undang-undang dengan
menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan
keseluruhan sistem hukum. Majelis hakim tidak hanya menggunakan satu undang-
undang saja dalam menemukan hukum, akan tetapi beberapa sumber hukum. Selain
menggunakan UU No. 1 Tahun 1974, dalam penetapan juga menghubungkannya
dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Hal ini terlihat dalam menafsirkan UU No. 1
Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) tentang batas umur pernikahan, yang berbunyi:
“Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.”
Pasal tersebut dihubungakan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1)
yang berbunyi: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calom istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.
Melihat kedua pasal tersebut terlihat jelas bahwa terdapat kesamaan antara batas
usia perkawinan yang terdapat pada UU perkawinan maupun KHI, yaitu untuk laki-
laki adalah berusia 19 tahun dan perempuan adalah berusia 16 tahun. Akan tetapi
ada sedikit perbedaan antara kedua pasal tersebut, ada penambahan pada KHI,
yaitu “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga…”. Perbedaan itu tidak
terlalu berpengaruh, karena substansi dari undang-undang tersebut adalah terkait
batas usia perkawinan.

Selain itu juga dihubungkan dengan amanat pasal 28 b ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan; “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” Jo. Pasal 13 (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, yang
menyatakan; “Setiap anak harus terbebas dari penelantaran …”. Upaya hakim dalam
menghubungkan dengan pasal 28 b ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945 tersebut
adalah untuk memenuhi tujuan hukum itu sendiri, yaitu untuk kemanfaatan
(kemaslahatan).

Penalaran hukum adalah suatu kegiatan untuk mencari atau menelusuri dasar
hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan
perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dll) ataupun yang merupakan
kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan
memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.
Dalam kasus ini adalah menggunakan paradigma sekuritisasi yang digagas oleh
Barry Buzan dalam “Security: A New Framework for Analysis (1998)”. Isu pengantin
pesanan ini mengandung unsur perdagangan manusia yang perlu ditangani secara
khusus. Dalam menghadapi isu-isu sekuriti yang ada dalam ranah Hubungan
Internasional, paradigma sekuritisasi dikenalkan oleh Barry Buzan sebagai versi
yang lebih mendalam dari politsasi. Sekuritisasi adalah stabilisasi inter-subjektif dari
sebuah ancaman yang ada dan cukup kuat untuk memiliki dampak politik yang
substansial (Buzan, Waever, & Wilde, 1998).
Secara teoritis, paradigma sekuritisasi memandang bahwa setiap isu dapat
dikategorikan dalam masalah keamanan apabila mengandung ancaman yang
membutuhkan pertimbangan khusus. Pemahaman lebih singkatnya yakni proses
dimana suatu isu yang semulanya bukan sebagai isu keamanan/militer menjadi isu
keamanan yang diagendakan oleh suatu negara. Dengan demikian, isu sekuritisasi
tidak lagi hanya berfokus pada isu perang dan militer. Isu-isu non-konvensional
seperti isu LGBT, pelanggaran hak anak, ekonomi mikro-makro, lingkungan, bahkan
isu pengantin pesanan pun dapat dikategorikan sebagai isu sekuritisasi apabila
membawa ancaman yang substansial terhadap kestabilan politik suatu negara, dan
negara memiliki hak penuh dalam penanganan hal tersebut.
Dalam konteks sekuritisasi, analisis tekstual menunjukkan bahwa sesuatu yang
dianggap sebagai isu keamanan internasional adalah isu yang masyarakat percayai
telah menjadi ancaman bagi negara dan masyarakat itu sendiri dimana isu ini patut
diberi perhatian khusus dan tergolong sebagai existential threat. Emergency actions
di sini adalah langkah-langkah khususndan penerimaan atas sebuah ide yang telah
diterima oleh pihak-pihak yangnsignifikan atau rentan terhadap existential threat
yang berlaku. Existential threat harus telah dibicarakan atau diperdebatkan dan
mendapatkan respon yang cukup dari pihak-pihak yang dapat melegitimasi
pengambilan langkah-langkah darurat. Effects on interunit relations by breaking free
of rules dapat dijelaskan dengan dilihat dari sisi seberapa besar dampak sekuritisasi
yang terjadi terhadap pihak-pihak yang berkaitan dan aturan-aturan yang mengikat
pihak-pihak tersebut.
Dengan teori sekuritisasi ini, maka akan lebih mudah untuk mencapai kepentingan
yaitu penyelesaian terhadap suatu masalah yang timbul, dan menganalisa respon
pemerintah Indonesia dan Taiwan dalam mengatasi kasus perdagangan manusia
dalam bentuk pengantin pesanan.

3. SOAL :
a. Analisa kerangka kerja konseptual yang dikenal dengan istilah legal dogmatic pada
kasus di atas;
JAWAB:
Pandangan mengenai pelanggaran HAM berat menurut hukum pidana, baik dari sisi hukum
pidana internasional maupun hukum pidana nasional terdapat persamaan. Persamaan
tersebut yakni mengenai penggolongan pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan luar
biasa atau yang biasa disebut dengan extra ordinary crimes. Meskipun secara implisit
hukum pidana internasional menyebut istilah pelanggaran HAM berat sebagai The most
serious crimes of international concern sebagaimana tercantum dalam ketentuan Statuta
Roma 1998, namun terdapat persamaan sudut pandang. Karena pandangan mengenai
pelanggaran HAM berat yang terdapat dalarn UU No.26 Tahun 2000 (hukum nasional),
merupakan hasil proses adopsi dari ketentuan Statuta Roma 1998 baik dari segi definisi,
bentuk kejahatan maupun asas hukum pidana yang berlaku secara universal.
Mekanisme penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia, dapat
dilakukan melalui dua jalur, yakni melalui jalur peradilan atau melalui jalur di luar peradilan.
Kedua mekanisme penyelesaian perkara tersebut memiliki landasan yuridis yang kuat, yakni
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No.27 Tabun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kedua mekanisme tersebut bersifat khusus, karena ketentuan
dalam UU No.26 Tahun 2000 menyatakan Pengadilan HAM hanya berwenang untuk
mengadili pelanggaran HAM berat setelah adanya UU No.26 Tahun 2000, sedangkan untuk
pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum adanya UU No.26 Tahun 2000 harus dibentuk
Pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi penyelesaian melalui Pengadilan HAM ad hoc ini
bukan merupakan satu-satunya upaya, karena terdapat upaya alternatif yakni melalui
mekanisme KKR yang diatur dalam UU No.27 Tahun 2004. Namun tetap perlu digaris
bawahi bahwa mekanisme melalui KKR hanya terbatas pada perkara pelanggaran HAM
berat masa lalu sebelum adanya UU No.26 Tahun 2000. Sedangkan untuk perkara
pelanggaran HAM berat setelah adanya UU No.26 Tahun 2000, mutlak melalui mekanisme
Pengadilan HAM.

Pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang Pengadilan HAM didefinisikan sebagai


pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap komunitas
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Yang
dimaksud dengan kejahatan genosida menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan HAM adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnakan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a) Membunuh anggota kelompok.
b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mentak yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok.
c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya.
d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.

b. Analisa apakah perbuatan tersangka A dapat dikategorikan sebagai pelanggaran


HAM berat menurut Pasal 1 Angka 2 dengan UU No. 26 Tahun 2000 berpegang
mengikuti kerangka kerja legal dogmatic?
JAWAB :
Pasal 1 Angka 2 UU Noor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia berbunyi
“Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah Pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.
Pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang Pengadilan HAM Pasal 7 didefinisikan
sebagai pelanggaran HAM yang meliputi
a. kejahatan genosida dan
b. kejahatan terhadap komunitas

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat dipertegas lagi di dalam Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM adalah suatu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari rangsangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahawa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap pendidik sipil berupa:
1) Pembunuhan
2) Pemusnahan
3) Perbudakan
4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
6) Penyiksaan
7) Perkosaan, perbudakan seksual secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang
setara
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara umum sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional.
9) Penghilangan orang secara paksa
10) Kejahatan apartheid

Jadi, menurut legal dogmatic bahwa perbuatan tersangka Adapat dikategorikan sebagai
perbuatan pelanggaran HAM yang berat sesuai dengan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di
atas.

4. SOAL
a. Analisa alasan penolakan Hakim Konstitusi terhadap judicial review yang diajukan
oleh Abilio Osorio Soares berkenaan dengan asas retroaktif.
JAWAB :
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil (judicial
review) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan mantan
Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osso Soares.
Abilio mengajukan permohonan karena menganggap undang-undang Pengadilan HAM,
tertama pasal 43 ayat (1) yang digunakan menjeratnya ke penjara bertentangan dengan
pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, karena mengandung asas berlaku surut (asas retroaktif).
Padahal dalam pasal 28 I ayat (1) dinyatakan dengan tegas hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Tetapi majelis hakim yang terdiri dari sembilan orang hakim
konstitusi menolak permohonan Abilio mencabut pasal 43 ayat (1). Walaupun majelis
hakim mengakui pasal 43 memang mengandung ketentuan hukum yang berlaku surut
(retroaktif), tetapi majelis masih mempertimbangkan apakah benar pasal tersebut serta
merta bertentangan dengan pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.
Disamping itu, hakim juga mempertimbangkan masalah pengadilan HAM yang memiliki
relevansi kuat dengan dunia internasional, yakni mengakui dan menegakkan HAM sudah
menjadi tekad masyarakat internasional, termasuk Indonesia. Hakim juga
mempertimbangkan kewajiban negara untuk melaksanakan penegakkan HAM seperti
yang tercantum dalam UUD 1945, Deklarasi Universal, Ketetapan MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang harus dilaksanakan dengan
penuh tanggung jawab.

Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc pernah menimbulkan perdebatan karena merupakan


salah satu bentuk pengesampingan asas non-retroaktif. Namun demikian, melalui Putusan
MK No. 065/PUU-II/2004, Pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Pengadilan tersebut merupakan pengesampingan terhadap asas non-retroaktif
yang dilakukan dengan sangat hati-hati, hal itu tertuang dalam pertimbangan hukum
Putusan MK tersebut sebagai berikut.
a) pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti
dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
b) Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena menurut UUD
1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya
rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum
pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya
membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

b. Keputusan Mahkamah Konstitusi berkenaan Perkara Nomor 065 /PUU-II/2004 seolah


membolehkan menerapkan asas retroaktif walaupun bertentangan dengan Pasal 28 I
ayat (1) UUD 1945, bagaimana pendapat saudara apakah penerapan asas retroaktif
dapat diterapkan?
JAWAB :
Menurut pendapat saya bahwa penerapan asas retroaktif memang bukan hal yang baru.
Sebelumnya, penerapan asas retroaktif telah dipertimbangkan oleh majelis hakim ad
hoc pengadilan HAM untuk beberapa terdakwa kasus Timor Timur dalam putusan sela.
Di mana dalam putusan sela tersebut disebutkan asas retroaktif digunakan berdasarkan
kajian terhadap praktik pengadilan pidana internasional yang mengesampingkan asas
non-retroaktif demi tegaknya keadilan. Kajian tersebut antara lain mengacu pada praktik
negara-negara sejak pengadilan penjahat perang di Nuremberg dan Tokyo, pengadilan
internasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda (ICTY dan ICTR), dan kasus Adolf
Eichman di pengadilan distrik Yerusalem.
Selain itu, pertimbangan majelis hakim Ad Hoc saat itu antara lain adalah
kejahatan pelanggaran HAM berat merupakan extra ordinary crime dan berdampak
secara luas oleh karena itu asas retroaktif dapat diberlakukan dengan adanya
Amandemen UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2).
Jadi, memang dalam Pengadilan HAM Ad Hoc berlaku asas retroaktif dengan
mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM.

Anda mungkin juga menyukai