Anda di halaman 1dari 24

TUGAS U1 HUKUM ACARA MK B1

“MUNCULNYA IDE MEMBENTUK LEMBAGA JUDICIAL RIVIEW”

DISUN OLEH:
NAMA ARMAN MAULANA
NIM D1A020072
MK HUKUM ACARA MK (B1)
KATA PENGANTAR

Pertama-tama Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat bimbingannya, maka makalah “Munculnya Ide Membentuk Lembaga
Judicial Riview” dapat terselesaikan.
Makalah ini saya susun dari berbagai sumber yang kami peroleh dari buku,
internet, dsb. Makalah ini saya susun sebagai tugas mata kuliah Huku Acara Mahkamah
Konstitusi,dimana dalam hal ini fokus saya ada pada munculnya ide membentuk
lembaga judicial riview.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini akan saya terima dengan
senang hati. Akhir kata seoga keberadaan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak baik yang menyusun maupun yang membaca.

Gerung, April 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3
BAB I ................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 4
1.1 PENGERTIAN JUDICIAL RIVIEW .................................................................... 4
1.2 SEJARAH JUDICIAL RIVIEW ........................................................................... 6
BAB I
PEMBAHASAN
1.1 PENGERTIAN JUDICIAL RIVIEW
Dalam kamus besar Bahasa Inggris, yudicial diartikan yang berhak dengan
pengadilan dan review diartikan tinjauan. Judicial review (hak uji materil) merupakan
kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produkproduk
hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi
yang berlaku. Peristilahan “judicial review” dapat dibedakan dengan istilah
“constitutional review” atau pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan sekurang-
kurangnya karena dua alasan. Pertama, “constitutional review” selain dilakukan oleh
hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung
kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua,
dalam konsep “judicial review” terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya
mencakup soal legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-
Undang, sedangkan “constitutional review” hanya menyangkut pengujian
konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD. Konsep “constitutional review” itu dapat
dilihat sebagai hasil perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan
demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia
(the protection of fundamental rights). Dalam sistem “constitutional review” itu tercakup
2 (dua) tugas pokok. 1
1. Pertama, menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan
perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan kata lain, “constitutional review”
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu
cabang kekuasaan sedemikian rupa sehingga cabang kekuasaan lainnya;

1 Sarkawi, hukum acara mahkamah konstitusi (Jilid 1), Pustaka bangsa, Mataram 2017 hlm 2
2. Kedua, melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka
yang dijamin dalam konstitusi. Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan
melakukan kegiatan “constitutional review” berkembang pesat melalui tahap-
tahap pengalaman yang beragam di setiap negara.

Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktik dikenal dengan adanya dua
macam hak menguji (toetsingrecht) yaitu hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan
hak menguji materiil (materiele toetsingrecht). Berikut ini akan diuraikan lebih jelas
mengenai ke dua hak menguji tersebut.
a. Pengujian Formil (formele toetsingrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 yang kemudian diubah
dalam Pasal 51A ayat (4) huruf b UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MKRI
mengatur mengenai pengujian formil, dimana dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentuk UU tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.5Menurut Sri Soemantri hak
menguji formil adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti
UU diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah
tidak.Harun Alfrasid mengemukakan bahwa hak menguji formil ialah mengenai
prosedural pembuatan UU.6 Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengemukakan
bahwa secara umum yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formele
toetsingrecht) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti
sempit tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU dan
pemberlakuan UU.

b. Pengujian Materiil (materiele toetsingrecht)


Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 yang kemudian diubah
dalam Pasal 51A ayat (5) huruf b UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MKRI
mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam
ayat, Pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.8
Mengenai hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang -
Undang, mengatur mengenai pengujian materiil sebagai berikut: “Pengujian
materiil adalah pengujian UU yang berkenan dengan materi mautan dalam ayat,
Pasal, dan/atau bagian yang bertentangan dengan UUD 1945.” Menurut Sri
Soemantri hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai apakah isi suatu peraturan perundang - undangan sesuai
atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

1.2 SEJARAH JUDICIAL RIVIEW


Dalam sejarahnya judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di
Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara
“Marbury Vs Madison” tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum
dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat
membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung 4 Hakim Agung
lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan ketentuan dalam
Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat. 2
Pada saat itu tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS maupun undang-undang
yang memberikan wewenang judicial review kepada MA, namun para hakim agung MA
AS yang diketuai oleh John Marshal berpendapat hal itu adalah kewajiban konstitusional
mereka yang telah ber3sumpah untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi.
Sumpah hakim agung AS adalah sebagai berikut:

I do solemnly swear that I will administer justice without respect to persons, and
do equal right to the poor and to the rich; and that I will faithfully and impartially
discharge all the duties incumbent on me as according to the best of my abilities
and under- standing, agreeably to the constitution, and laws the United States.

Berdasarkan sumpah tersebut, MA memiliki kewa- jiban untuk menjaga


supremasi konstitusi, termasuk dari aturan hukum yang melanggar konstitusi. Oleh

2 Sarkawi, hukum acara mahkamah konstitusi (Jilid 1), Pustaka bangsa, Mataram 2017 hlm 3
karena itu, sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan
dengan konstitusi harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal itu
bukan saja merupakan kewajiban konstitusional pengadilan, melainkan juga lembaga
negara lain sebagaimana secara tegas dinyatakan oleh John Marshall di akhir opininya
sebagai berikut.3

Thus, the particular phraseology of the constitution of the United States confirms
and strengthens the principle, supposed to be essential to all written
constitutions, that a law repugnant to the constitution is void; and that courts, as
wwell as other departments, are bound by that instrument.

Terhadap perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard menyatakan


bahwa judicial review merupakan bagian dari sistem checks and balances yang telah
ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks and balances merupakan
elemen esensial konstitusi dan dibangun di atas doktrin bahwa cabang pemerintahan
tidak boleh berkuasa penuh, apalagi terkait dengan pelaksanaan undang-undang yang
menyangkut hak kepemilikan.
Putusan MA Amerika Serikat tersebut memicu per- debatan tentang judicial
review hingga ke daratan eropa pada saat itu didominasi pandangan bahwa hukum
adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang meng- hendaki supremasi parlemen
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk
menerapkan suatu undang-undang walaupun dinilai melanggar Undang-Undang Dasar.
Pandangan tersebut sedikit berkurang dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan
yang memberikan peluang kepada pengadilan untuk menolak menerapkan suatu
undang-undang yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tanpa mencampuri
kekuasaan legislatif sehingga penolakan itu tidak dapat diikuti dengan pencabutan oleh
pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong Perkembangan di George
Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19 agar terhadap MA Austria
ditambahkan kewenangan melakukan judicial review seperti yang di- praktikkan oleh

33 Sarkawi, hukum acara mahkamah konstitusi (Jilid 1), Pustaka bangsa, Mataram 2017 hlm 3
John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa
antara warga negara dengan pemerintahan terkait dengan per- lindungan hak politik,
bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki wewenang memutus keberatan
konstitusional yang diajukan warga negara atas tindakan negara (constitutional
complaint). Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani
perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi
anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919 - 1920. Gagasan
tersebut diterima dan menjadi Bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya
dibentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungs-gerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan
berkembang lembaga Mah- kamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara
khusus menangani judicial review dan perkara-perkara konstitusional lainnya.4
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada
awalnya adalah untuk men- jalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya
judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai per- kembangan hukum dan politik
ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan
negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang
biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan
perundang-un- dangan dan memutus sengketa kewenangan konsti- tusional lembaga
negara.

Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.
Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh
karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.

4 SEJARAH PERKEMBANGAN PEGUJIAN UNDANGUNDANG ATAU JUDICAL REVIEW


Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK merupakan
mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, secara teoritis


keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) diperkenalkan oleh pakar hukum Austria Hans
Kelsen.Ide tersebut diterima dalam Konstitusi Austria Tahun 1919. Konsep judicial
review di Indonesia banyak berkembang setelah amandemen UUD 1945. Terutama
dengan dibentuknya MK. Mulai dari istilah yang mengundang berbagai perdebatan.
Seperti istilah judicial review, toetsingrecht, constitutional review, yang seringkali
tumpang-tindih satu dengan lainnya. Berbeda cakupan maknanya daripada istilah
constitutional review. Judicial Review dalam sistem common law tidak hanya bermakna
‘the power of the court to declare laws unconstitutional’. Namun demikian, istilah tersebut
juga berkaitan dengan kegiatan examination of administration decisions by the court.10
Muh. Yamin sebagai salah satu anggota telah mengusulkan tentang perlunya dibentuk
lembaga yang melakukan pengujian Judicial Review konstitusionalitas undang- undang
dan diatur dalam UUD. Namun pemikiran Muh. Yamin tentang hal tersebut, ditolak oleh
Soepomo dengan alasan keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi tidak sesuai
dengan sistem berpikir UUD yang disusun dengan prinsip supremasi parlemen yang
menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Baru setelah era reformasi
bergulir dengan dilakukannya amandemen UUD 1945, pemikiran tentang perlunya
pembentukan Mahkamah Konstitusi kembali digulirkan, dan MPR tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi negara dimana supremasi telah beralih dari MPR ke supremasi
Konstitusi. Karena itu kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD
itu perlu diberikan kepada suatu mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung yaitu
Mahkamah Konstitusi.5
Penegasan sebagaimana dimaksudkan UUD Tahun 1945 tersebut, lebih lanjut
diatur dan dipertegas kembali dalam UU. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Sistematik pengaturan struktur kewenangan Mahkamah Konstitusi

5 SEJARAH PERKEMBANGAN PEGUJIAN UNDANGUNDANG ATAU JUDICAL REVIEW


baikdalam UUD NRI Tahun 1945 maupun dalam UU. No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang menempatkan pengujian UU terhadap UUD, maka tentunya
pembentuk undang-undang mempunyai alasan dan pertimbangan tertentu sehingga
menempatkan pengujian UU terhadap UUD dalam urut pertama, yang secara logika
dapat dikatakan bahwa wewenang utama Mahkamah Konstitusi adalah melakukan
Judicial Review atas UU terhadap UUD (pengujian konstitusionalisme). Pemikiran
Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassung
sgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi ( Constitutional Court ) yang berdiri sendiri di
luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian
Model”. Kemudian Mahkamah Konstitusi pertama itu berdiri pada tahun 1920 di Austria.
Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia.Model ini menyangkut hubungan antara
prinsip supremasi konstitusi ( the principle of the supremacy of the Constitution ) dan
prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).
Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat
abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma konkrit
(concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak
menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori. keberadaan MK pada awalnya
adalah untuk menjalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya judicial
review itu sendiri dapat dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik
ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan
negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang
biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan
perundang-undangan dan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara. Dalam sistem demokrasi konstitusional, penyelenggaraan negara diatur dengan
model pemisahan ataupun pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya konsentrasi kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan “Power
tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely". 6

6 Sayap Bening Law Office (bantuanhukum-sbm.com)


Kekuasaan negara dibagi atas cabang-cabang tertentu menurut jenis
kekuasaan dan masing-masing dipegang dan dijalankan oleh lembap yang berbeda.
Dalam perkembangnya kelembagaan negara dan pencabangan kekuasaan semakin
kompleks dan tidak dapat lagi dipisahkan secara tegas hanya menjadi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya konflik atau
sengketa antar lembaga negara, baik horizontal maupun vertikal yang harus dibuat
mekanisme penyelesaiannya. Di sinilah keberadaan MK diperlukan. Mengingat
permasalahan konstitusional di atas, MK sering dicirikan sebagai pengadilan politik
Bahkan judicial review secara tradisional dipahami sebagai tindakan politik untuk
menyatakan bahwa suatu ketentuan tidak konstitusional oleh pengadilan khusus yang
berisi para hakim yang dipilih oleh parlemen dan lembaga politik lain, dan bukan oleh
pengadilan biasa yang didominasi oleh hakim yang memiliki kemampuan teknis hukum.
Terhadap perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard menyatakan bahwa
judicial review merupakan bagian dari sistem checks and balances yang telah ditetapkan
dalam Constitution Convention. Sistem checks and balances merupakan elemen
esensial konstitusi dan dibangun di atas doktrin bahwa cabang pemerintahan tidak boleh
berkuasa penuh, apalagi terkait dengan pelaksanaan undang-undang yang menyangkut
hak kepemilikan.
Putusan MA Amerika Serikat tersebut memicu per- debatan tentang judicial
review hingga ke daratan eropa pada saat itu didominasi pandangan bahwa hukum
adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang meng- hendaki supremasi parlemen
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk
menerapkan suatu undang-undang walaupun dinilai melanggar Undang-Undang Dasar.
Pandangan tersebut sedikit berkurang dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan
yang memberikan peluang kepada pengadilan untuk menolak menerapkan suatu
undang-undang yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tanpa mencampuri
kekuasaan legislatif sehingga penolakan itu tidak dapat diikuti dengan pencabutan oleh
pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong Perkembangan di George
Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19 agar terhadap MA Austria
ditambahkan kewenangan melakukan judicial review seperti yang di- praktikkan oleh
John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa
antara warga negara dengan pemerintahan terkait dengan per- lindungan hak politik,
bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki wewenang memutus keberatan
konstitusional yang diajukan warga negara atas tindakan negara (constitutional
complaint). Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani
perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi
anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919 - 1920. Gagasan
tersebut diterima dan menjadi
Bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk Mahkamah
Konstitusi (Verfassungs-gerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan berkembang
lembaga Mah- kamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus menangani
judicial review dan perkara-perkara konstitusional lainnya.

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada


awalnya adalah untuk men- jalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya
judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai per- kembangan hukum dan politik
ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan
negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang
biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan
perundang-un- dangan dan memutus sengketa kewenangan konsti- tusional lembaga
negara. 7

Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.
Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh

7 Sayap Bening Law Office (bcxantuanhukum-sbm.com)


karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.
Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK merupakan
mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, secara teoritis


keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) diperkenalkan oleh pakar hukum Austria Hans
Kelsen.Ide tersebut diterima dalam Konstitusi Austria Tahun 1919. Konsep judicial
review di Indonesia banyak berkembang setelah amandemen UUD 1945. Terutama
dengan dibentuknya MK. Mulai dari istilah yang mengundang berbagai perdebatan.
Seperti istilah judicial review, toetsingrecht, constitutional review, yang seringkali
tumpang-tindih satu dengan lainnya. Berbeda cakupan maknanya daripada istilah
constitutional review. Judicial Review dalam sistem common law tidak hanya bermakna
‘the power of the court to declare laws unconstitutional’. Namun demikian, istilah tersebut
juga berkaitan dengan kegiatan examination of administration decisions by the court.10
Muh. Yamin sebagai salah satu anggota telah mengusulkan tentang perlunya dibentuk
lembaga yang melakukan pengujian Judicial Review konstitusionalitas undang- undang
dan diatur dalam UUD. Namun pemikiran Muh. Yamin tentang hal tersebut, ditolak oleh
Soepomo dengan alasan keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi tidak sesuai
dengan sistem berpikir UUD yang disusun dengan prinsip supremasi parlemen yang
menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Baru setelah era reformasi
bergulir dengan dilakukannya amandemen UUD 1945, pemikiran tentang perlunya
pembentukan Mahkamah Konstitusi kembali digulirkan, dan MPR tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi negara dimana supremasi telah beralih dari MPR ke supremasi
Konstitusi. Karena itu kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD
itu perlu diberikan kepada suatu mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung yaitu
Mahkamah Konstitusi.
Dari sisi hukum. keberadaan MK adalah konsekuensi dari prinsip supremasi
konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk menjaganya diperlukan pengadilan khusus
guna menjamin kesesuaian aturan hukum yang lebih rendah dendan aturan hukum di
atasnya. lde pembentukan MK di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada
saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun demkian, dari sisi gagasan
judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada
tahun 1945. Anggota BPUPK, Prof. Muhammad Yamin, telah mengemukakan pendapat
bahwa “Balai Agung” (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-
Undang Namun Prof. Soepomo menolak pendapat tersebut karena memandang bahwa
UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut paham mas polmka dan kondisi
saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki pengalaman judicial review.
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, judicial review pernah menjadi salah satu
wewenang MA, tetapi terbatas untuk menguji Undang-Undang Negara Bagian terhadap
konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS.
Sedangkan di dalam UUDS 1950. ndak ada lembaga pengujian undang-undang karena
undang-undang dipandang sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dijalankan
oleh pemenntah bersama DPR.
Di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia Ad Hoc ll MPRS (1966-1967) yang
merekomendasikan diberikannya hak menguji material UU kepada MA. Namun
rekomendasi tersebut ditolak oleh pemerintah. Pemerintah menyatakan bahwa hanya
MPR lah yang dapat bertindak sebagai pengawal konstitusi.
Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian undang-undang terhadap
UndangUndang Dasar, kembali muncul pada saat pembahasan RUU Kekuasaan
Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Saat itu Ikatan Hakim Indonesia
yang mengusulkan agar MA diberikan wewenang menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Namun karena ketentuan tersebut dipandang merupakan
materi muatan konsumsi sedangkan dalam UUD 1945 tidak diatur sehingga usul itu tidak
disetujui oleh pembentuk undang-undang. MA ditetapkan memiliki wewenang judicial
review secara terbatas, yaitu menguji peraturan perndang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang. itupun dengan ketentuan harus dalam pemeriksaan
tingkat kasasi yang mustahil dilaksanakan.
Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, maka
harus dijamin bahwa ketentuan hukum di bawah konstitusi tidak bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika
memang ketentuan hukum dimaksud bertentangan dengan konstitusi. Pengujian ini
sangat diperlukan karena aturan hukum undang-undang itulah yang akan menjadi dasar
penyelenggaraan negara. Salah satu ukuran yang paling mendasar adalah ada atau
tidaknya pelanggaran terhadap hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945.
Dengan latar belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945
yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C. dan Pasal 7B UUD 1945.
Dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, tidak dengan sendirinya
MK sebagai organisasi telah terbentuk walaupun dari sisi hukum kelembagaan itu sudah
ada. Untuk mengatasi kekosongan tersebut pada Perubahan Keempat UUD 1945
ditentukan dalam Aturan Peralihan Pasal III bahwa MK paling lambat sudah harus
terbentuk pada 17 Agustus 2003. Sebelum terbentuk, segala kewenangan MK dilakukan
oleh MA.
Terhadap perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard menyatakan
bahwa judicial review merupakan bagian dari sistem checks and balances yang telah
ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks and balances merupakan
elemen esensial konstitusi dan dibangun di atas doktrin bahwa cabang pemerintahan
tidak boleh berkuasa penuh, apalagi terkait dengan pelaksanaan undang-undang yang
menyangkut hak kepemilikan.
Putusan MA Amerika Serikat tersebut memicu per- debatan tentang judicial
review hingga ke daratan eropa pada saat itu didominasi pandangan bahwa hukum
adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang meng- hendaki supremasi parlemen
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk
menerapkan suatu undang-undang walaupun dinilai melanggar Undang-Undang Dasar.
Pandangan tersebut sedikit berkurang dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan
yang memberikan peluang kepada pengadilan untuk menolak menerapkan suatu
undang-undang yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tanpa mencampuri
kekuasaan legislatif sehingga penolakan itu tidak dapat diikuti dengan pencabutan oleh
pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong Perkembangan di George
Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19 agar terhadap MA Austria
ditambahkan kewenangan melakukan judicial review seperti yang di- praktikkan oleh
John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa
antara warga negara dengan pemerintahan terkait dengan per- lindungan hak politik,
bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki wewenang memutus keberatan
konstitusional yang diajukan warga negara atas tindakan negara (constitutional
complaint). Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani
perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi
anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919 - 1920. Gagasan
tersebut diterima dan menjadi Bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya
dibentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungs-gerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan
berkembang lembaga Mah- kamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara
khusus menangani judicial review dan perkara-perkara konstitusional lainnya. 8
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada
awalnya adalah untuk men- jalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya
judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai per- kembangan hukum dan politik
ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan
negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang
biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan
perundang-un- dangan dan memutus sengketa kewenangan konsti- tusional lembaga
negara.

Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.

8 Sayap Bening Law Office (bcxantuanhukum-sbm.com)


Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh
karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.
Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK merupakan
mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, secara teoritis


keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) diperkenalkan oleh pakar hukum Austria Hans
Kelsen.Ide tersebut diterima dalam Konstitusi Austria Tahun 1919. Konsep judicial
review di Indonesia banyak berkembang setelah amandemen UUD 1945. Terutama
dengan dibentuknya MK. Mulai dari istilah yang mengundang berbagai perdebatan.
Seperti istilah judicial review, toetsingrecht, constitutional review, yang seringkali
tumpang-tindih satu dengan lainnya. Berbeda cakupan maknanya daripada istilah
constitutional review. Judicial Review dalam sistem common law tidak hanya bermakna
‘the power of the court to declare laws unconstitutional’. Namun demikian, istilah tersebut
juga berkaitan dengan kegiatan examination of administration decisions by the court.10
Muh. Yamin sebagai salah satu anggota telah mengusulkan tentang perlunya dibentuk
lembaga yang melakukan pengujian Judicial Review konstitusionalitas undang- undang
dan diatur dalam UUD. Namun pemikiran Muh. Yamin tentang hal tersebut, ditolak oleh
Soepomo dengan alasan keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi tidak sesuai
dengan sistem berpikir UUD yang disusun dengan prinsip supremasi parlemen yang
menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Baru setelah era reformasi
bergulir dengan dilakukannya amandemen UUD 1945, pemikiran tentang perlunya
pembentukan Mahkamah Konstitusi kembali digulirkan, dan MPR tidak lagi menjadi
lembaga tertinggi negara dimana supremasi telah beralih dari MPR ke supremasi
Konstitusi. Karena itu kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD
itu perlu diberikan kepada suatu mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung yaitu
Mahkamah Konstitusi.
UU MK, yaitu UU No. 24 Tahun 2003 disahkan pada 13 Agustus 2003. Waktu
pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi inilah yang
ditetapkan sebagai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan UU MK,
pembentukan Mahkamah Konstitusi segera dilakukan melalui rekrutmen Hakim
Konstitusi oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung.
Setelah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing
lembaga , akhirnya DPR , Presiden , dan MA menetapkan masingmasing tiga calon
Hakim Konstitusi yang selanjutnya ditetapkan oleh Presiden sebagai Hakim Konstitusi.
Sembilan Hakim Konstitusi pertama ditetapkan pada 15 Agustus 2003 dengan
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003. Pengucapan sumpah jabatan
kesembilan hakim tersebut dilakukan di Istana Negara pada 16 Agustus 2003.

1.3 SEJARAH MAHKAMAH KONSTITUSI


Menurut Mirdedi, SH., MH dosen Bidang Ketatanegaraan Fakultas Hukum
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh
lembaga peradilan atau judicial review. Momentum utama
munculnya judicial review adalah pada keputusan MA Amerika Serikat dalam kasus
Marbury vs. Madison pada 1803, MA Amerika Serikat membatalkan ketentuan
dalam Judiciary Act 1789 karena dinilai bertentangan dengan Konstitusi Amerika
Serikat. Pada saat itu tidak ada ketentuan dalam Konstitusi AS maupun undang-undang
yang memberikan wewenang judicial review kepada MA, namun para hakim agung MA
AS yang diketuai oleh John Marshal berpendapat hal itu adalah kewajiban konstitusional
mereka yang telah bersumpah untuk menjunjung tinggi dan menjaga konstitusi. 9
Terhadap perkembangan hukum di Amerika Serikat itu, Beard menyatakan
bahwa judicial review merupakan bagian dari sistem checks and balances yang telah
ditetapkan dalam Constitution Convention. Sistem checks and balances merupakan
elemen esensial konstitusi dan dibangun di atas doktrin bahwa cabang pemerintahan
tidak boleh berkuasa penuh, apalagi terkait dengan pelaksanaan undang-undang yang
menyangkut hak kepemilikan.

9 Perkembangan Judicial Reviiew – suduthukum.com


Putusan MA Amerika Serikat tersebut memicu per- debatan tentang judicial
review hingga ke daratan eropa pada saat itu didominasi pandangan bahwa hukum
adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang meng- hendaki supremasi parlemen
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Suatu pengadilan tidak dapat menolak untuk
menerapkan suatu undang-undang walaupun dinilai melanggar Undang-Undang Dasar.
Pandangan tersebut sedikit berkurang dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan
yang memberikan peluang kepada pengadilan untuk menolak menerapkan suatu
undang-undang yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tanpa mencampuri
kekuasaan legislatif sehingga penolakan itu tidak dapat diikuti dengan pencabutan oleh
pengadilan.
Perkembangan di Amerika Serikat mendorong Perkembangan di George
Jellinek mengembangkan gagasan pada akhir abad ke-19 agar terhadap MA Austria
ditambahkan kewenangan melakukan judicial review seperti yang di- praktikkan oleh
John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa
antara warga negara dengan pemerintahan terkait dengan per- lindungan hak politik,
bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki wewenang memutus keberatan
konstitusional yang diajukan warga negara atas tindakan negara (constitutional
complaint). Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani
perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi
anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919 - 1920. Gagasan
tersebut diterima dan menjadi
Bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk Mahkamah
Konstitusi (Verfassungs-gerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan berkembang
lembaga Mah- kamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus menangani
judicial review dan perkara-perkara konstitusional lainnya.

Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada


awalnya adalah untuk men- jalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya
judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai per- kembangan hukum dan politik
ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan
negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang
biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan
perundang-un- dangan dan memutus sengketa kewenangan konsti- tusional lembaga
negara.

Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.
Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh
karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.
Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK merupakan
mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.

Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani


perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi
anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919–1920. Gagasan
tersebut diterima dan menjadi bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya
dibentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan
berkembang lembaga Mahkamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara khusus
menangani judicial review dan perkara-perkara konstitusional lainnya.10
Keberadaan MK pada awalnya adalah untuk menjalankan
wewenang judicial review , sedangkan munculnya judicial review itu sendiri dapat
dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek
politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan
mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip
demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang biasanya dimiliki oleh MK di
berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan dan
memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.

10
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk
melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Indonesia merupakan negara ke-78 yang
membentuk MK, pembentukan MK sendiri merupakan fenomena negara modern abad
ke-20. Pembentukan MK RI dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari
sisi hukum:11

1. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan MK diperlukan guna mengimbangi


kekuasaan pembentukan undang-undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden.
Hal itu diperlukan agar undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani
mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh
mayoritas rakyat.
2. Dari sisi hukum, keberadaan MK adalah salah satu konsekuensi perubahan dari
supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk
republik).

UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Negara Indonesia berbentuk republik.
Di dalam negara republik penyelenggaraan negara dimaksudkan untuk kepentingan
seluruh rakyat melalui sistem demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat. Penyelenggaraan negara harus merupakan wujud kehendak seluruh rakyat yang
termanifestasikan dalam konstitusi. Oleh karena itu segenap penyelenggaraan negara
harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi yang dikenal dengan prinsip supremasi
konstitusi.12
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Hukum adalah satu kesatuan sistem yang hierarkis dan berpuncak pada
konstitusi. Oleh karena itu supremasi hukum dengan sendirinya berarti juga supremasi
konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

11 Perkembangan Judicial Review – suduthukum.com


12Sayap Bening Law Office (bantuanhukum-sbm.com)
Dasar. Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar, maka
harus dijamin bahwa ketentuan hukum di bawah konstitusi tidak bertentangan dengan
konstitusi itu sendiri dengan memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika
memang ketentuan hukum dimaksud bertentangan dengan konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Sarkawi, hukum acara mahkamah konstitusi (Jilid 1), Pustaka bangsa, Mataram 2017
Sayap Bening Law Office (bantuanhukum-sbm.com)
Perkembangan Judicial Review – suduthukum.com
http://www.law.umkc.edu/faculty/project/ftrials/conlaw/marburyvsmadison.mht
FOTO

Anda mungkin juga menyukai