DISUN OLEH:
NAMA ARMAN MAULANA
NIM D1A020072
MK HUKUM ACARA MK (B1)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat bimbingannya, maka makalah “Munculnya Ide Membentuk Lembaga
Judicial Riview” dapat terselesaikan.
Makalah ini saya susun dari berbagai sumber yang kami peroleh dari buku,
internet, dsb. Makalah ini saya susun sebagai tugas mata kuliah Huku Acara Mahkamah
Konstitusi,dimana dalam hal ini fokus saya ada pada munculnya ide membentuk
lembaga judicial riview.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini akan saya terima dengan
senang hati. Akhir kata seoga keberadaan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak baik yang menyusun maupun yang membaca.
1 Sarkawi, hukum acara mahkamah konstitusi (Jilid 1), Pustaka bangsa, Mataram 2017 hlm 2
2. Kedua, melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka
yang dijamin dalam konstitusi. Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan
melakukan kegiatan “constitutional review” berkembang pesat melalui tahap-
tahap pengalaman yang beragam di setiap negara.
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktik dikenal dengan adanya dua
macam hak menguji (toetsingrecht) yaitu hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan
hak menguji materiil (materiele toetsingrecht). Berikut ini akan diuraikan lebih jelas
mengenai ke dua hak menguji tersebut.
a. Pengujian Formil (formele toetsingrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 yang kemudian diubah
dalam Pasal 51A ayat (4) huruf b UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MKRI
mengatur mengenai pengujian formil, dimana dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentuk UU tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.5Menurut Sri Soemantri hak
menguji formil adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti
UU diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah
tidak.Harun Alfrasid mengemukakan bahwa hak menguji formil ialah mengenai
prosedural pembuatan UU.6 Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengemukakan
bahwa secara umum yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formele
toetsingrecht) tidak hanya mencakup proses pembentukan UU dalam arti
sempit tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk UU dan
pemberlakuan UU.
I do solemnly swear that I will administer justice without respect to persons, and
do equal right to the poor and to the rich; and that I will faithfully and impartially
discharge all the duties incumbent on me as according to the best of my abilities
and under- standing, agreeably to the constitution, and laws the United States.
2 Sarkawi, hukum acara mahkamah konstitusi (Jilid 1), Pustaka bangsa, Mataram 2017 hlm 3
karena itu, sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi, hukum yang bertentangan
dengan konstitusi harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal itu
bukan saja merupakan kewajiban konstitusional pengadilan, melainkan juga lembaga
negara lain sebagaimana secara tegas dinyatakan oleh John Marshall di akhir opininya
sebagai berikut.3
Thus, the particular phraseology of the constitution of the United States confirms
and strengthens the principle, supposed to be essential to all written
constitutions, that a law repugnant to the constitution is void; and that courts, as
wwell as other departments, are bound by that instrument.
33 Sarkawi, hukum acara mahkamah konstitusi (Jilid 1), Pustaka bangsa, Mataram 2017 hlm 3
John Marshall. Pada saat itu MA Austria sudah memiliki wewenang mengadili sengketa
antara warga negara dengan pemerintahan terkait dengan per- lindungan hak politik,
bahkan pengadilan negara bagian juga telah memiliki wewenang memutus keberatan
konstitusional yang diajukan warga negara atas tindakan negara (constitutional
complaint). Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani
perkara judicial review pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen pada saat menjadi
anggota Chancelery dalam pembaruan Konstitusi Austria pada 1919 - 1920. Gagasan
tersebut diterima dan menjadi Bagian dalam Konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya
dibentuk Mahkamah Konstitusi (Verfassungs-gerichtshof). Sejak saat itulah dikenal dan
berkembang lembaga Mah- kamah Konstitusi yang berada di luar MA yang secara
khusus menangani judicial review dan perkara-perkara konstitusional lainnya.4
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK, keberadaan MK pada
awalnya adalah untuk men- jalankan wewenang judicial review, sedangkan munculnya
judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai per- kembangan hukum dan politik
ketatanegaraan modern. Dari aspek politik, keberadaan MK dipahami sebagai bagian
dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan
negara berdasarkan prinsip demokrasi. Hal ini terkait dengan dua wewenang yang
biasanya dimiliki oleh MK di berbagai negara, yaitu menguji konstitusionalitas peraturan
perundang-un- dangan dan memutus sengketa kewenangan konsti- tusional lembaga
negara.
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.
Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh
karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.
Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.
Sistem demokrasi, baik dari teori maupun praktik, berlandaskan pada suara
mayoritas. Sistem politik demokrasi pada dasarnya adalah pembuatan kebijakan publik
atas dasar suara mayoritas melalui mekanisme perwakilan yang dipilih lewat Pemilu.
Kekuatan mayoritas itu perlu dibatasi karena dapat menjadi legitimasi bagi
penyalahgunaan kekuasaan, bahkan membahayakan demokrasi itu sendiri. Oleh
karena itu diperlukan pembatasan yang rasional, bukan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru menjadi salah satu esensi demokrasi.
Mekanisme judicial review yang di banyak negara dijalankan oleh MK merupakan
mekanisme untuk membatasi dan mengatasi kelemahan demokrasi tradisional.
10
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk
melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Indonesia merupakan negara ke-78 yang
membentuk MK, pembentukan MK sendiri merupakan fenomena negara modern abad
ke-20. Pembentukan MK RI dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari
sisi hukum:11
UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Negara Indonesia berbentuk republik.
Di dalam negara republik penyelenggaraan negara dimaksudkan untuk kepentingan
seluruh rakyat melalui sistem demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh, dan untuk
rakyat. Penyelenggaraan negara harus merupakan wujud kehendak seluruh rakyat yang
termanifestasikan dalam konstitusi. Oleh karena itu segenap penyelenggaraan negara
harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi yang dikenal dengan prinsip supremasi
konstitusi.12
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Hukum adalah satu kesatuan sistem yang hierarkis dan berpuncak pada
konstitusi. Oleh karena itu supremasi hukum dengan sendirinya berarti juga supremasi
konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi juga terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang