Disusun Oleh:
Yoga Manggala Wisnu
NPM : 201910115300
KELAS : 5A4
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA
Abstrak
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih
jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-
hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
A. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senanatiasa berdasarkan
atas hukum.
Dari ketiga ide dasar hukum Gustaf Radbruch tersebut, kepastian hukum yang
menghendaki bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati
tentunya tidak hanya terhadap bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan, akan tetapi
1
JCT Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1983, hlm. 36.
2
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Kanisius, 1982, hlm. 162.
bagaimana norma-norma atau materi muatan dalam peraturan tersebut memuat
prinsip-prinsip dasar hukum. Peraturan perundang-undangan sebagai sebuah norma
(hukum) tertulis, dalam konteks negara hukum Indonesia menjadi landasan bagi
penyelenggaraan negara dan sebagai pedoman untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Setiap produk peraturan perundang-undangan, haruslah sebagai
cerminan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar.
C. Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final guna -antara lain- menguji undang-undang terhadap
UUD. Putusan final Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun
1945 tidak membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun upaya
hukum lainnya. Berbeda halnya dengan hak uji (toetsingsrecht) undang-undang yang
dimiliki Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sebagaimana dimaksud
Pasal 24 A UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung merupakan bagian dari
fungsi peradilan (justitieele functie) mahkamah dalam pemeriksaan tingkat kasasi
namun pengujian peraturan perundang-undangan sedemikian dapat pula dimohonkan
langsung kepada Mahkamah Agung (vide pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Pengujian undang-undang yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara konstitusionalitas suatu
undang-undang, menguji sejauh mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai
atau bertentangan (tegengesteld) dengan UUD. Constitutie is de hoogste wet!
D. Legal Standing
Legal standing (lazim dialihbahasakan : kedudukan hukum) mendasari pembenaran
subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke
hadapan Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus dapat mendalilkan legal standing
yang mendasari pengajuan permohonan pengujiannya itu. Legal standing adalah
entitle atau hak yang membenarkan subyektum mengajukan permohonan pengujian
undang-undang. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
menentukan bahwasanya pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undangundang, yaitu:
E. Kewenangan Prosedural
Selain kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan pengujian
undang-undang terhadap UUD, sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 C UUD NRI
Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
terdapat pula kewenangan prosedural mahkamah, berdasarkan Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003. Dikemukakan, bahwasanya undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah undangundang yang diundangkan setelah
perubahan UUD NRI Tahun 1945, yakni terhitung sejak perubahan pertama UUD
pada tanggal 19 Oktober 1999. Undang-undang yang diundangkan sebelum
perubahan UUD tidak dapat diajukan permohonan pengujian. Maksud pembentuk
undang-undang agar tidak terjadi tumpukan berkas perkara („een papieren muur‟)
yang dikuatirkan bakal tidak mampu ditangani mahkamah. Namun, dalam perkara
Machry Hendra, SH, hakim Pengadilan Negeri Padang, Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Perkara Nomor 004/PUU-I/ 2003 tanggal 30 Desember 2003, pernah
menyampingkan (opzij leggen, to put aside, exeption d‟illegalite) Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tatkala pemohon memohonkan pengujian Pasal 7 ayat
91) huruf g UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Mahkamah bukan menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak
mengikat secara hukum, tetapi menyampingkan pasal dimaksud guna menguji pasal
undang-undang tertentu. Judicial Review di Mahkamah Konstitusi 6 Vol. 1 No. 3 -
November 2004 Penyampingan pasal undang-undang tidak membatalkan atau
menyatakan tidak sahnya suatu ketentuan undang-undang atau peraturan perundangan
lainnya, tetapi dalam kasus tertentu, ketentuan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan itu karena satu dan lain hal, dikesampingkan (Benjamin
Mangkudilaga, 2002 : 91).
1. “Pertama, negara hadir secara aktif dan efektif di tengah masyarakat guna
memastikan warga negaranya aman dari berbagai ancaman dalam bentuk verbal
maupun non-verbal. Perlindungan negara atas aktivitas individu maupun komunitas
publik oleh negara memberikan kepastian bahwa negara hadir aktif di tengah
3
republika.co.id, senjata illegal ganggu stabilitas, http://www. /berita/koran/newsupdate/13/09/1II mt6
cud -senjata-ilegal-ganggu-stabilitas
masyarakat. Kehadiran negara dalam bentuk yang penuh menggambarkan bahwa
negara cenderung melihat bahwa warga negaranya tidak cukup mampu untuk
mengamankan diri dan lingkungannya. Selain itu indikasi ketidakpercayaan negara
kepada warga negaranya ditegaskan dengan melakukan pembatasan atas aktivitas
warga negaranya atas nama keamanan. Hal tersebut menjadi penegas bahwa efek
yang paling kentara dari hadirnya negara secara penuh adalah terbatasnya aktivitas
warga negara dengan berbagai latar belakang sebagai alasannya”.4
4
Karp, Aaron, Completing the Count: Civilian Firearms. In Small Arms Survey. Small Arms Survey
2007: Guns and the City. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
memastikan warga negaranya aman, baik disengaja maupun tidak disengaja karena
ketidakmampuan negara dalam pengelolaan tersebut”.5
“Kehadiran negara dalam pengelolaan rasa aman warga negaranya menjadi cermin
bahwa negara harus tetap hadir dan mengontrol melalui kebijakan yang dibuatnya.
Eksistensi negara secara gradual maupun secara penuh menjadi penanda bahwa
negara hadir untuk memastikan warga negaranya aman. Adalah tanggung jawab
negara manakala ada yang mengusik rasa aman warga dalam berbagai bentuk.
Pentingnya negara hadir menjadi alat ukur sejauhmana negara memposisikan warga
negaranya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, kehadiran negara juga
dapat diartikan sebagai bentuk dari kontrol negara dalam derajat tertentu”.6
“Senjata api dapat dijadikan sebagai instrumen yang sangat berbahaya apabila
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kadiv Humas Mabes
Polri menyatakan bahwa sejak 2009 hingga 2011 terdapat 453 kasus penyalahgunaan
senjata api yang digunakan untuk aksi kejahatan, yaitu pada 2009 terdapat 171 kasus,
tahun 2010 ada 143 kasus, dan 2011 terdapat 139 kasus. Sedangkan berdasarkan
catatan Imparsial, mulai 2005 hingga 2012, tercatat 46 kasus penyalahgunaan senjata
api, baik oleh aparat keamanan maupun oleh masyarakat”.7
5
Zimring, Franklin, Firearms, Violence, and Public Policy, Scientific American, November, 1991,
hlm. 48-54.
6
Villaveces, Andres, Effect of a Ban on Carrying Firearms on Homicide Rates in 2 Colombian Cities,
Journal of the American Medical Association, Vol. 283, No. 9, 2000, hlm. 1205-09.
7
teknologi.news. viva.co.id, ?Polri: Tiga Tahun, 453 Kasus Senjata Api?, http ://teknologi.ne ws.
viva.co. id/news/read/279 814-tiga-tahun-4 5 3 -kasus-dengan-senj ata-api
G. Kajian Teoretis Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak
Pengaturan pemakaian dan pemanfaatan senjata api dan bahan peledak setiap
negara memiliki pendekatan yang berbeda dan cenderung bergantung sejauhmana
senjata api dan bahan peledak tersebut dimanfaatkan. Dalam konteks keamanan
berkembang secara evolutif sejumlah pendekatan, mulai negara harus berperan penuh
hingga hanya memposisikan negara sebatas sebagai pembuat regulasi saja tanpa harus
mencampuri aktivitas warga negara secara luas. Kondisi tersebut mengharuskan
warga negara mengamankan dirinya sendiri, selain negara hanya menjalankan
implementasi dan kewajibannya dalam bentuk yang bersifat pelengkap saja. Proses
tersebut pada derajat tertentu menegaskan bagaimana negara dan publik memiliki
kepentingan dan kewenangan yang terbatas.
Berkaca pada sejumlah kasus penyalahgunaan senjata api dan bahan peledak,
dalam bentuk penembakan berlatar belakang dendam dan kemarahan akibat
kesehatan mental yang terganggu dan atau dimanfaatkan justru untuk melawan
negara dalam bentuk aksi teror dan pemberontakan, maka negara harus
hadir dan tegas dalam mengatur regulasi penggunaan senjata dan bahan
peledak secara tegas. Hal tersebut dimungkinkan karena negara harus
hadir dalam berbagai aktivitas warga negara untuk memastikan bahwa
aktivitas tersebut tetap dalam kondisi yang kondusif dan terjangkau oleh negara.
8
Lihat misalnya Hahn, Robert. (et al). (2005). „Firearms Laws and the Reduction of Violence: A
Systematic Review‟. American Journal of Preventive Medicine, Vol. 28, Iss. 2,Suppl. 1. February, pp.
40–71. Lihat juga misalnya Burridge, Tom. (2010). ‗Finland Reviews Its Gun Laws after Mass
Shootings.„ BBC News. 16 August.
H. Regulasi Pengelolaan Senjata Api dan Bahan Peledak
Sejumlah negara cenderung menggunakan pendekatan regulasi pengelolaan
senjata api dan bahan peledak dengan pendekatan dan berbagai alasan dan latar
belakang. Namun secara umum ada empat alasan pembuatan regulasi pengelolaan
senjata api yang dalam perspektif keamanan menjadi lebih masuk akal dan dipahami,
yakni: Pertama, bergantung bagaimana negara melihat ancaman atas teritorial dan
warga negaranya. Pada latar belakang yang pertama ini dipraktikkan oleh tiga tipe
negara yakni: [1] dipraktikkan di negara-negara dengan sejarah konflik yang panjang
serta instabilitas yang tinggi. Tipikal negara dengan mendekati kegagalan,
manajemen yang salah serta menuju jurang kehancuran cenderung menggunakan
alasan pendekatan ancaman karena negara tidak lagi mampu menjaga keamanan
warga negaranya secara berkesinambungan. Negara-negara di Afrika, dan sejumlah
negara dengan sejarah konflik yang panjang mempraktikkan pendekatan dan alasan
tersebut. [2] dipraktikkan oleh negara dengan tingkat ancaman dari luar negara yang
meluas. Pada tipe negara kedua ini, regulasi terkait dengan senjata api dan bahan
peledak lebih menitikberatkan pada harapan agar warga negaranya diminta atau tidak
diminta oleh negara untuk bersama-sama melakukan perlawanan atas upaya invasi
dan atau serangan kepada teritori dan obyek vital negara. [3] hal yang sama juga
dilakukan oleh negara dengan kontrol negara yang kuat serta kekuatan militer yang
baik, namun rawan oleh manuver dan ancaman yang bersifat lintas negara. Negara
melakukan mobilisasi dengan mudah apabila serangan yang bersifat tiba-tiba
dilakukan, setidaknya negara berharap agar warganya dapat serta merta termobilisasi
menjadi milisi dan mudah diarahkan untuk kepentingan negara atas nama kedaulatan
dan harga diri bangsa. Hal ini termasuk juga melakukan perlawanan akan adanya
ancaman terorisme dan insujensi yang membuat negara harus melakukan perlawanan
semesta atas ancaman tersebut. Kedua, mengacu pada kebijakan umum dan regulasi
keamanan nasional. Dengan latar belakang dan alasan yang kedua ini, negara tetap
mempraktikkan regulasi atas senjata api dan bahan peledak secara menyeluruh
dengan tetap mengacu pada tiga model terbuka, semi terbuka dan tertutup yang dapat
juga dipahami sebagai negara membebaskan warganya untuk memiliki dan
menggunakan senjata dan bahan peledak, negara membatasi pemanfaatan dan
penggunaan senjata api dan bahan peledak, serta yang ketiga adalah melarang
penggunaan senjata api dan bahan peledak secara bebas oleh publik. Hal tersebut
didasari atas apa yang menjadi prioritas dan bagaimana mereka merumuskan
ancaman dan kedewasaan warga negaranya dalam memanfaatkan senjata api dan
bahan peledak. Alasan dan latar belakang kedua ini dirumuskan oleh negara dengan
tingkat kestabilaan politik dan keamanannya relatif baik. Sehingga apabila mereka
merumuskan salah satu dari tipe regulasi yang ada, maka dapat dipastikan hal tersebut
karena mengacu pada kebijakan umum dan regulasi keamanan nasional. Ketiga,
dilatarbelakangi oleh struktur dan pola hubungan antar aktor keamanan. Tidak banyak
negara merumuskan kebijakan terkait dengan regulasi senjata api dan bahan peledak
dikarenakan alasan struktur dan pola hubungan antar aktor keamanan. Namun
sejumlah negara kerap kali terjebak oleh pola dan struktur aktor keamanannya dalam
mengatur regulasi senjata api dan bahan peledak. Beberapa di antaranya justru terkait
siapa yang menjadi aktor utama dalam penindakan atas sejumlah permasalahan yang
berbasis pada regulasi senjata api dan bahan peledak. Keempat, perumusan kebijakan
dan regulasi senjata api dan bahan peledak dikarenakan struktur pemerintahan dan
bentuk negara. Di negara kesatuan dengan negara federal praktik regulasi senjata api
dan bahan peledak memiliki perbedaan pada implementasinya. Sebagai gambaran
misalnya Amerika Serikat yang berbentuk negara federal tidak memiliki kebijakan
umum secara nasional terkait dengan penggunaan senjata api dan bahan peledak.
Basis regulasi ada di masing-masing negara bagian, sehingga dapat dipastikan antara
satu negara bagian dengan negara bagian lain memiliki aturan yang tidak sama
berhubungan dengan regulasi senjata api dan bahan peledak. Sebaliknya misalnya
negara dengan bentuk negara kesatuan seperti Jepang yang mengintegrasikan
pembatasan dan pelarangan penggunaan senjata api dan bahan peledak secara
nasional.9
9
Lebih lanjut misalnya lihat Zimring FE and Hawkins G. (1997). Crime is Not the Problem – Lethal
Violence in America. New York: Oxford University Press. Terutama Bab 3.
I. Teori Pemidanaan dalam Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak.
Dalam kajian hukum pidana terdapat beberapa anasir yang menjadi perhatian, yakni:
1. Unsur tindak pidana, dalam hal ini perbuatan apa saja yang dilarang dan dapat
diancam dengan hukuman;
3. Unsur sanksi yang diancamkan atas perbuatan tersebut, apakah memenuhi asas
subsidaritas (satu-satunya jalan mengingat hukum pidana berfungsi sebagai ultimum
remedium) dan proporsionalitas (seimbang antara seriusnya perbuatan beserta akibat
yang ditimbulkan dengan pidana yang diancamkan dalam ketentuan perundang-
undangan).
10
A. Hamid Attamimi, Perananan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Suatu Studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan
dalam kurun waktu PELITA I-PELITA IV, dalam `Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan:
Proses dan teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius, 2007, hal. 227.
11
Noto Hamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hal. 33.
lain asas-asas hukum akan menjadi payung untuk rumusan-rumusan norma-norma
yang akan dibentuk agar tidak tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
b. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Asas ini menjadi pedoman dalam
penyusunan aturan mengenai senjata api dan bahan peledak, sehingga akan tercipta
ketertiban di berbagai institusi yang terkaitdengan senjata api dan bahan peledak
melalui kepastian hukum yang ditimbulkan akibat adanya pengaturan mengenai
senjata api dan bahan peledak. Sejalan dengan hal tersebut, kondisi ini akan
memberikan dampak pada munculnya ketertiban dan kepastian hukum di dalam
masyarakat.
d. Asas koordinatif. Bahwa pengelolaan senjata api dan bahan peledak perlu
dilakukan koordinasi yang baik, karena masalah senjata dan bahan peledak tidak
dapat dilakukan hanya oleh satu institusi saja, tetapi harus melibatkan berbagai
instansi terkait sesuai dengan tugas fungsi dan perannya.
K. Putusan Pengadilan
Pasal 1.
(1) Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat,
menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencobamenyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau
mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak,
dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman
penjara sementara setinggitingginya dua-puluh tahun.
(2) Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk juga
segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Senjata
Api (Vuurwapenregeling : in-, uit-, doorvoer en lossing) 1936 (Stbl. 1937 No. 170),
yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl. No. 278), tetapi
tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan
pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa
sehingga tidak dapat dipergunakan.
(3) Yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak termasuk semua
barang yang dapat meledak, yang dimaksudkan dalam Ordonnantie tanggal 18
September 1893 (Stbl. 234), yang telah diubah terkemudian sekali dengan
Ordonnantie tanggal 9 Mei 1931 (Stbl. No. 168), semua jenis mesin, bom-bom, bom-
bom pembakar, ranjau-ranjau (mijnen), granat-granat tangan dan pada umumnya
semua bahan peledak baik yang merupakan luluhan kimia tunggal (enkelvoudige
chemische verbindingen) maupun yang merupakan adukan bahan-bahan peledak
(explosieve mengsels) atau bahan-bahan peledak pemasuk (inleidende explosieven),
yang dipergunakan untuk meledakkan lain-lain barang peledak, sekedar belum
termasuk dalam pengertian munisi.
Pasal 2.
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-,
steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh
tahun.
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk
dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaanpekerjaan rumah tangga atau untuk
kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).
Pasal 3.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-undang Darurat ini dipandang
sebagai kejahatan.
Pasal 4.
(1) Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang
Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan
dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada
wakilnya setempat.
(2) Ketentuan pada ayat 1 dimuka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang
bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.
Pasal 5.
(1) Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana terhadap mana sesuatu perbuatan
yang terancam hukuman pada pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga bilamana barang-
barang itu tidak kepunyaan si-tertuduh.
(2) Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat 1, harus
dirusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri
Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain.
Pasal 6.
(1) Yang diserahi untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
berdasarkan pasal 1 dan 2 selain dari orang-orang yang pada umumnya telah ditunjuk
untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, juga orang-orang, yang
dengan peraturan Undang-undang telah atau akan ditunjuk untuk mengusut
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang bersangkutan dengan senjata
api, munisi dan bahan-bahan peledak.
(2) Pegawai-pegawai pengusut serta orang-orang yang mengikutinya senantiasa
berhak memasuki tempat-tempat, yang mereka anggap perlu dimasukinya, untuk
kepentingan menjalankan dengan saksama tugas mereka Apabila mereka dihalangi
memasuknya, mereka jika perlu dapat meminta bantuan dari alat kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
- Hak uji Materiil adalah hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga yudikatif
untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-
undangan terhadap peraturan perundangundangan yang tingkatnya lebih tinggi.
- Hak Uji Materiil ada dua:
1. Hak Uji Materiil UU terhadap UUD → menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi;
2. Hak uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang → menjadi wewenang Mahkamah Agung.
- Dasar hukum hak uji materiil:
* Tap MPR RI No. III/MPR/1978.
* UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas uu No. 14 tahun l985 tentang
Mahkamah Agung.
* Perma No. 1 tahun 2004.
Masalah kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya sudah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Terdapat ketentuan tersendiri mengenai
kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Kepemilikan senjata api secara umum
diatur dalam Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang bersifat pidana. Pasal
1 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan : “Barangsiapa, yang tanpa hak
memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata
api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau
hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya
dua puluh tahun.”
Tanpa hak sebagai suatu kualifikasi pasal ancaman pidana di atas, dapat
diartikan juga sebagai perbuatan melawan hukum dalam pidana. Tanpa hak di sini
berarti bahwa pemilik senjata api itu tidak mempunyai kewenangan untuk
memilikinya, atau tidak memiliki izin kepemilikan.
Lebih lanjut, pengajuan izin kepemilikan senjata api non organik yang
dilakukan oleh masyarakat yang biasa disebut dengan Izin Khusus Senjata Api
(IKSHA), dilakukan sesuai ketentuan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia No.Pol : Skep/82/II/2004.
Maka dapat dilihat bahwa kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil jelas
memerlukan prosedur permohonan izin tertentu mencakup syarat keterampilan dan
psikologis. Hal ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di atas.
Bahkan surat izin tersebut harus diperpanjang per jangka waktu tertentu. Oleh karena
itu, kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil bukanlah hal yang sembarangan.
Bahkan, kepemilikan tanpa hak atas senjata api dapat dijatuhkan sanksi pidana
hingga hukuman mati. Hal ini terkait potensi besar penyalahgunaan senjata api ilegal
yang bahkan dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara. Kepolisian adalah
pihak yang harus menindak tegas kepemilikan sejata api oleh masyarakat sipil ini.
Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat (Pasal 5 UU No.2 Tahun 2002). Instrumen
hukum yang lama dan tidak sesuai lagi juga harus diperbaharui (instrumen undang-
undang tahun 1951 sebaiknya diajukan perubahan). Selain itu, tindakan preventif
seperti razia senjata api juga harus terus diupayakan. Pengawasan peredaran senjata
api ilegal harus ditangani serius agar tidak terjadi penyalahgunaan senjata api yang
membahayakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Lumbanraja, H. 2018. Hak Uji Materil, Tujuan, Aturan dan 5 Kriteria Menentukan
Kapasitas Pemohon. Diakses pada 27 Desember 2021.
https://www.larasonline.com/ulasan/Hak-Uji-Materil--Tujuan--Aturan-dan-5-
Kriteria-Menentukan-Kapasitas-Pemohon