Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Pelaksanaan Kewenangan MK di dalam Pengujian Undang-


Undang Terhadap UUD 1945 atas Pemeriksaan Perkara
Nomor 27/PUU-XVII/2020 Tertanggal 23 Maret 2020

Dr. Ofis Ricardo, S.H., M.H

Disusun Oleh:
Yoga Manggala Wisnu
NPM : 201910115300
KELAS : 5A4

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA
Abstrak

Permasalahan penulisan ini yaitu bagaimana melakukan pengujian materiil


UU nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api terhadap UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dibentuk berdasarkan
Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga. Pembentukannya
dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
MK berwenang melakukan judicial review atas undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”).

Kata Kunci: Hak Uji Materiil; Pengujian Materiil


Abstract
The problem of this writing is how to conduct a material review of Law
number 12 of 1951 regarding firearms against the 1945 Constitution. The
Constitutional Court is one of the actors of judicial power which was formed based
on Article 24C of the third amendment of the 1945 Constitution. Its formation was
confirmed in Law Number 24 of 2003 concerning the Constitutional Court. The
Constitutional Court has the authority to adjudicate at the first and final levels whose
decisions are final to examine laws against the Constitution, decide on disputes over
the authority of state institutions whose authority is granted by the Constitution,
decide on the dissolution of political parties, and decide disputes regarding the
results of the general election. , and is obliged to give a decision on the opinion of the
House of Representatives regarding alleged violations by the President and/or Vice
President according to the Constitution. The Constitutional Court has the authority to
conduct a judicial review of the law against the 1945 Constitution ("UUD 1945").

Keywords: Material Test Rights; Material Test


DAFTAR ISI
BAB I ........................................................................................................................................ 7
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 7
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 7
BAB II....................................................................................................................................... 9
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 9
B. Pengertian dan Ruang Lingkup ........................................................................................ 9
C. Pengujian Undang-Undang ............................................................................................ 10
D. Legal Standing ............................................................................................................... 11
E. Kewenangan Prosedural ................................................................................................. 13
F. Kepemilikan Senjata Api ................................................................................................ 14
G. Kajian Teoretis Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak ......................................... 17
H. Regulasi Pengelolaan Senjata Api dan Bahan Peledak .................................................. 18
I. Teori Pemidanaan dalam Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak. .......................... 20
J. Asas-Asas Hukum Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak. .................................... 20
K. Putusan Pengadilan ........................................................................................................ 22
BAB III ................................................................................................................................... 25
PENUTUP .............................................................................................................................. 25
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih
jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-
hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bekasi, 27 Desember 2021

Yoga Manggala Wisnu


A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengujian materiil terhadap UUD 1945 oleh


Mahkamah Konstitusi
2. Apa saja dasar penilaian uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senanatiasa berdasarkan
atas hukum.

Menurut Simorangkir1, “negara hukum diartikan sebagai suatu Negara yang


menerapkan prinsip legalitas, yaitu segala tindakan Negara melalui, berdasarkan dan
sesuai dengan hukum”. Hukum mempunyai kedudukan tertinggi agar supaya
pelaksanaan kekuasaan Negara tidak menyimpang dari Undang-Undang, dengan
demikian kekuasaan akan tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.

Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran Prioritas Baku” mengemukakan ada


tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak
berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik
adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat. Menurut Radbruch: Keadilan yang dimaksud adalah
keadilan dalam arti sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang didepan
pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum
memang sesuai dengan tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut, sedangkan
kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati2.

Dari ketiga ide dasar hukum Gustaf Radbruch tersebut, kepastian hukum yang
menghendaki bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati
tentunya tidak hanya terhadap bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan, akan tetapi

1
JCT Simorangkir, Hukum dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1983, hlm. 36.
2
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Kanisius, 1982, hlm. 162.
bagaimana norma-norma atau materi muatan dalam peraturan tersebut memuat
prinsip-prinsip dasar hukum. Peraturan perundang-undangan sebagai sebuah norma
(hukum) tertulis, dalam konteks negara hukum Indonesia menjadi landasan bagi
penyelenggaraan negara dan sebagai pedoman untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Setiap produk peraturan perundang-undangan, haruslah sebagai
cerminan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar.

Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, peraturan perundang-


undangan menempati urutan pertama dalam penerapan dan penegakan hukum.
Peraturan perundangundangan hanya dapat dikesampingkan oleh hakim apabila
penerapannya akan menyebabkan pelanggaran dasar-dasar keadilan atau tidak lagi
sesuai dengan realitas sosial, atau karena dalam masyarakat tertentu berlaku secara
nyata hukum lain diluar peraturan perundangundangan (seperti hukum adat dan
hukum agama).

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dan Mahkamah


Konstitusi memiliki kewenangan yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Dari
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
tersebut, salah satu kewenangannya yang menjadi perhatian adalah kewenangan
menguji Peraturan Perundang-undangan. Mahkamah Agung menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, sedangkan
Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
BAB II
PEMBAHASAN
B. Pengertian dan Ruang Lingkup
Judicial Review atau Hak Uji Materiil (disingkat HUM) pada prinsipnya
adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Yudikatif untuk
melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-
undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Hak
uji materiil di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

1. Hak uji materiil atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,


yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi (vide: UUD 1945 Amandemen ke-3
Pasal 24 C ayat I Jo. UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10
ayat I huruf a);

2. Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang


tingkatannya lebih rendah atau di bawah Undang-Undang (seperti: Peraturan
Pemerintah, Kepufusan Presiden, Peraturan Daerah, dll.) terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yang menjadi wewenang Mahkamah Agung
(vide: UUD 1945 Amandemen ke-3 Pasal 24 Ayat 1 Jo. UU No. 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004
Pasal 31, Jo. Peraturan Mahkamah Agung / PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana
telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun l999, terakhir dengan PERMA No. 1 tahun
2004). Menurut PERMA No. I tahun 2004 pasal I ayat (1), yang dimaksud dengan
hak uji materiil adalah “hak mahkamah agung untuk menilai materi muatan
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap peraturan
perandang-undangan yang lebih tinggi.
Hak uji materiil di Mahkamah Konstitusi yang akan dibahas dalam makalah ini.

C. Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final guna -antara lain- menguji undang-undang terhadap
UUD. Putusan final Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun
1945 tidak membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun upaya
hukum lainnya. Berbeda halnya dengan hak uji (toetsingsrecht) undang-undang yang
dimiliki Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sebagaimana dimaksud
Pasal 24 A UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung merupakan bagian dari
fungsi peradilan (justitieele functie) mahkamah dalam pemeriksaan tingkat kasasi
namun pengujian peraturan perundang-undangan sedemikian dapat pula dimohonkan
langsung kepada Mahkamah Agung (vide pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Pengujian undang-undang yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara konstitusionalitas suatu
undang-undang, menguji sejauh mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai
atau bertentangan (tegengesteld) dengan UUD. Constitutie is de hoogste wet!

Manakala Mahkamah Konstitusi memandang suatu undang-undang


bertentangan dengan UUD maka undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Menurut Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 (dua) macam pengujian undang-undang,
yakni:

– Pengujian undang-undang secara formal (formele toetsing), yakni pengujian


terhadap suatu undang-undang dilakukan karena proses pembentukan undang-undang
tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang
Dasar.

– Pengujian undang-undang secara materiil (materieele toetsing), yakni


pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena terdapat materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap pemohon
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Dalam hal suatu pembentukan undang-
undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD
maka undang-undang tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Apabila suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
undang-undang dinyatakan mahkamah bertentangan dengan UUD maka materi
muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak lagi mempunyai
kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003]. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib
dimuat dalam Berita Negara, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak putusan diucapkan. Undang-undang yang diuji tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD
(Pasal 57 ayat 3 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Mahkamah
Konstitusi tidak membatalkan keberlakuan suatu undangundang tetapi menyatakan
bahwasanya suatu undang-undang, atau materi ayat, pasal dan/atau bagian undang-
undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding).
Mahkamah tidaklah dapat mengubah rumusan redaksi ayat, pasal dan/atau bagian
undang-undang.

D. Legal Standing
Legal standing (lazim dialihbahasakan : kedudukan hukum) mendasari pembenaran
subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke
hadapan Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus dapat mendalilkan legal standing
yang mendasari pengajuan permohonan pengujiannya itu. Legal standing adalah
entitle atau hak yang membenarkan subyektum mengajukan permohonan pengujian
undang-undang. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
menentukan bahwasanya pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undangundang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang perorang yang


mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat, atau;

d. Lembaga negara. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun


2003 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hakhak
yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.

Hanya subyektum („pihak‟) yang menganggap hak dan/atau kewenangan


konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yang dapat
dipandang memiliki legal standing guna pengajuan permohonan pengujian undang-
undang ke hadapan mahkamah. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap
merugikan itu. (Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Di sini
berlaku adagium hukum : point d‟etre point d‟action, artinya tanpa kepentingan maka
tidak ada gugatan (tindakan). Apabila subyektum tidak ternyata dirugikan hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya maka yang bersangkutan dipandang tidak
memiliki kepentingan guna mengajukan permohonan pengujian undang-undang.
Zonder belang, het is geen rechsingang. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 dalam pertimbangan hukumnya,
memandang Para Pemohon I, Prof. Dr. Deliar Noer dan kawan-kawan tidak memiliki
legal standing guna pengujian Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang mengatur hal
larangan menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota bagi mereka yang „bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau orang yang terlibat langsung
atau tidak langsung dalam G 30 S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya‟, karena
mahkamah memandang tidak terbukti adanya keterkaitan sebab akibat (causal
verband) yang menunjukkan bahwasanya hak konstitusional mereka dirugikan oleh
berlakunya Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Para Pemohon
dimaksud bukan bekas anggota PKI, termasuk organisasi massanya, dan bukan pula
orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G 30 S/PKI serta bukan bekas
anggota organisasi terlarang lainnya. Dalam pada itu, Para Pemohon II, Payung
Salenda dan kawan-kawan memenuhi persyaratan legal standing untuk mengajukan
permohonan pengujian Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
Sebagian para Pemohon adalah bekas tahanan politik. Mereka telah ditahan atau
dipenjara karena dituduh terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
peristiwa G 30 S/ PKI.

E. Kewenangan Prosedural
Selain kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan pengujian
undang-undang terhadap UUD, sebagaimana dimaktub dalam Pasal 24 C UUD NRI
Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003,
terdapat pula kewenangan prosedural mahkamah, berdasarkan Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003. Dikemukakan, bahwasanya undang-undang yang
dapat dimohonkan untuk diuji adalah undangundang yang diundangkan setelah
perubahan UUD NRI Tahun 1945, yakni terhitung sejak perubahan pertama UUD
pada tanggal 19 Oktober 1999. Undang-undang yang diundangkan sebelum
perubahan UUD tidak dapat diajukan permohonan pengujian. Maksud pembentuk
undang-undang agar tidak terjadi tumpukan berkas perkara („een papieren muur‟)
yang dikuatirkan bakal tidak mampu ditangani mahkamah. Namun, dalam perkara
Machry Hendra, SH, hakim Pengadilan Negeri Padang, Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Perkara Nomor 004/PUU-I/ 2003 tanggal 30 Desember 2003, pernah
menyampingkan (opzij leggen, to put aside, exeption d‟illegalite) Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tatkala pemohon memohonkan pengujian Pasal 7 ayat
91) huruf g UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Mahkamah bukan menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak
mengikat secara hukum, tetapi menyampingkan pasal dimaksud guna menguji pasal
undang-undang tertentu. Judicial Review di Mahkamah Konstitusi 6 Vol. 1 No. 3 -
November 2004 Penyampingan pasal undang-undang tidak membatalkan atau
menyatakan tidak sahnya suatu ketentuan undang-undang atau peraturan perundangan
lainnya, tetapi dalam kasus tertentu, ketentuan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan itu karena satu dan lain hal, dikesampingkan (Benjamin
Mangkudilaga, 2002 : 91).

F. Kepemilikan Senjata Api


Senjata api merupakan salah satu karya cipta manusia yang terus mengalami
perkembangan selama ribuan tahun. Kegunaan senjata api turut mengalami
perkembangan seiring dengan peradaban manusia yang terus mengikuti
perkembangan zaman. Awalnya, senjata api hanya dipergunakan untuk kepentingan
berperang, akan tetapi kemudian juga dipergunakan untuk kepentingan yang lain,
misalnya sebagai salah satu alat atau instrumen utama dalam pembangunan
pertahanan melalui penyediaan kelengkapan sarana persenjataan bagi angkatan
bersenjata suatu negara, sebagai sarana untuk mendukung tugas-tugas aparat
keamanan dalam melakukan pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat dan
penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagai sarana
kelengkapan tugas satuan pengamanan/polisi khusus, sebagai sarana untuk
kepentingan olahraga dan kepentingan pembelaan diri.

“Terkait penggunaan senjata api tersebut, berdasarkan data yang diberikan


oleh Polri, sampai dengan pertengahan tahun 2016 terdapat 18.030 pucuk senjata api
berizin di tangan sipil. Jumlah itu terdiri dari senjata berpeluru tajam 3.060 pucuk,
berpeluru karet 9.800 pucuk, dan berpeluru gas 5.000 pucuk. Pada tahun yang sama,
Polri telah menarik 10.910 senjata api karena tak memiliki izin atau izinnya habis”.3

Esensi bahwa negara harus hadir di tengah-tengah makin dinamisnya


masyarakat menjadi penegas mengapa sejumlah negara secara tegas dan ketat
melakukan pengelolaan senjata api. Kehadiran negara bisa dilihat dalam tiga
perspektif, yakni:

1. “Pertama, negara hadir secara aktif dan efektif di tengah masyarakat guna
memastikan warga negaranya aman dari berbagai ancaman dalam bentuk verbal
maupun non-verbal. Perlindungan negara atas aktivitas individu maupun komunitas
publik oleh negara memberikan kepastian bahwa negara hadir aktif di tengah

3
republika.co.id, senjata illegal ganggu stabilitas, http://www. /berita/koran/newsupdate/13/09/1II mt6
cud -senjata-ilegal-ganggu-stabilitas
masyarakat. Kehadiran negara dalam bentuk yang penuh menggambarkan bahwa
negara cenderung melihat bahwa warga negaranya tidak cukup mampu untuk
mengamankan diri dan lingkungannya. Selain itu indikasi ketidakpercayaan negara
kepada warga negaranya ditegaskan dengan melakukan pembatasan atas aktivitas
warga negaranya atas nama keamanan. Hal tersebut menjadi penegas bahwa efek
yang paling kentara dari hadirnya negara secara penuh adalah terbatasnya aktivitas
warga negara dengan berbagai latar belakang sebagai alasannya”.4

2. “Kedua, negara memberikan sebagian kewenangannya kepada warga negara untuk


mengamankan diri dan lingkungannya dari ancaman keamanan. Pemberian sebagian
kewenangannya ini untuk memastikan bahwa secara sosiologis, masyarakat memiliki
tingkat imunitas yang berbeda-beda, sehingga negara tidak bisa menyamakan
pengamanan yang sama antara satu daerah dan atau komunitas dengan komunitas
lainnya. hal ini juga berarti negara tetap memiliki kewenangan yang bersifat terbatas,
dengan catatan apabila kewenangan yang diberikan sebagian tersebut tidak lagi
efektif dan atau disalahgunakan untuk membuat publik menjadi resah dan atau
melawan negara. Salah satu bentuk memberikan sebagian kewenangan pengamanan
oleh negara kepada publik adalah dengan berkembangnya pengamanan swasta, Pam
Swakarsa, dan atau mengijinkan masing-masing individu untuk memiliki senjata api
untuk pengamanan secara terbatas.

3. Ketiga, negara sepenuhnya menyerahkan keamanan lingkungan dan pribadi warga


negaranya kepada warga negara sendiri. Negara hanya hadir apabila ancaman
keamanan tersebut sudah bersifat meluas dan mengancam eksistensi negara. Pada
perspektif ini negara memberikan sepenuhnya tanggung jawab keamanan dengan
memberikan kemudahan warga negara memiliki senjata api dan sejenisnya untuk
digunakan secara bertanggung jawab. Kepemilikan senjata api dan sejenisnya secara
meluas menjadi bagian dari konsekuensi atas ketidakhadiran negara dalam

4
Karp, Aaron, Completing the Count: Civilian Firearms. In Small Arms Survey. Small Arms Survey
2007: Guns and the City. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
memastikan warga negaranya aman, baik disengaja maupun tidak disengaja karena
ketidakmampuan negara dalam pengelolaan tersebut”.5

“Kehadiran negara dalam pengelolaan rasa aman warga negaranya menjadi cermin
bahwa negara harus tetap hadir dan mengontrol melalui kebijakan yang dibuatnya.
Eksistensi negara secara gradual maupun secara penuh menjadi penanda bahwa
negara hadir untuk memastikan warga negaranya aman. Adalah tanggung jawab
negara manakala ada yang mengusik rasa aman warga dalam berbagai bentuk.
Pentingnya negara hadir menjadi alat ukur sejauhmana negara memposisikan warga
negaranya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, kehadiran negara juga
dapat diartikan sebagai bentuk dari kontrol negara dalam derajat tertentu”.6

“Senjata api dapat dijadikan sebagai instrumen yang sangat berbahaya apabila
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kadiv Humas Mabes
Polri menyatakan bahwa sejak 2009 hingga 2011 terdapat 453 kasus penyalahgunaan
senjata api yang digunakan untuk aksi kejahatan, yaitu pada 2009 terdapat 171 kasus,
tahun 2010 ada 143 kasus, dan 2011 terdapat 139 kasus. Sedangkan berdasarkan
catatan Imparsial, mulai 2005 hingga 2012, tercatat 46 kasus penyalahgunaan senjata
api, baik oleh aparat keamanan maupun oleh masyarakat”.7

5
Zimring, Franklin, Firearms, Violence, and Public Policy, Scientific American, November, 1991,
hlm. 48-54.
6
Villaveces, Andres, Effect of a Ban on Carrying Firearms on Homicide Rates in 2 Colombian Cities,
Journal of the American Medical Association, Vol. 283, No. 9, 2000, hlm. 1205-09.
7
teknologi.news. viva.co.id, ?Polri: Tiga Tahun, 453 Kasus Senjata Api?, http ://teknologi.ne ws.
viva.co. id/news/read/279 814-tiga-tahun-4 5 3 -kasus-dengan-senj ata-api
G. Kajian Teoretis Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak
Pengaturan pemakaian dan pemanfaatan senjata api dan bahan peledak setiap
negara memiliki pendekatan yang berbeda dan cenderung bergantung sejauhmana
senjata api dan bahan peledak tersebut dimanfaatkan. Dalam konteks keamanan
berkembang secara evolutif sejumlah pendekatan, mulai negara harus berperan penuh
hingga hanya memposisikan negara sebatas sebagai pembuat regulasi saja tanpa harus
mencampuri aktivitas warga negara secara luas. Kondisi tersebut mengharuskan
warga negara mengamankan dirinya sendiri, selain negara hanya menjalankan
implementasi dan kewajibannya dalam bentuk yang bersifat pelengkap saja. Proses
tersebut pada derajat tertentu menegaskan bagaimana negara dan publik memiliki
kepentingan dan kewenangan yang terbatas.

Keterbatasan tersebut pada konteks tertentu mengundang perdebatan yang


serius, bphn 20 khususnya pada bagaimana negara bisa memberikan rasa aman,
manakala publik justru diberikan kewenangan untuk mengelola keamanannya dengan
pendekatan yang bersifat permanen. Sebab banyak contoh dan kejadian ketika negara
memberikan kewenangan kepada publik dengan salah satunya memberikan
kebebasan publik untuk memanfaatkan senjata api dan bahan peledak justru menjadi
ancaman tersendiri bagi publik lainnya di sisi yang lain.8

Berkaca pada sejumlah kasus penyalahgunaan senjata api dan bahan peledak,
dalam bentuk penembakan berlatar belakang dendam dan kemarahan akibat
kesehatan mental yang terganggu dan atau dimanfaatkan justru untuk melawan

negara dalam bentuk aksi teror dan pemberontakan, maka negara harus
hadir dan tegas dalam mengatur regulasi penggunaan senjata dan bahan
peledak secara tegas. Hal tersebut dimungkinkan karena negara harus
hadir dalam berbagai aktivitas warga negara untuk memastikan bahwa
aktivitas tersebut tetap dalam kondisi yang kondusif dan terjangkau oleh negara.

8
Lihat misalnya Hahn, Robert. (et al). (2005). „Firearms Laws and the Reduction of Violence: A
Systematic Review‟. American Journal of Preventive Medicine, Vol. 28, Iss. 2,Suppl. 1. February, pp.
40–71. Lihat juga misalnya Burridge, Tom. (2010). ‗Finland Reviews Its Gun Laws after Mass
Shootings.„ BBC News. 16 August.
H. Regulasi Pengelolaan Senjata Api dan Bahan Peledak
Sejumlah negara cenderung menggunakan pendekatan regulasi pengelolaan
senjata api dan bahan peledak dengan pendekatan dan berbagai alasan dan latar
belakang. Namun secara umum ada empat alasan pembuatan regulasi pengelolaan
senjata api yang dalam perspektif keamanan menjadi lebih masuk akal dan dipahami,
yakni: Pertama, bergantung bagaimana negara melihat ancaman atas teritorial dan
warga negaranya. Pada latar belakang yang pertama ini dipraktikkan oleh tiga tipe
negara yakni: [1] dipraktikkan di negara-negara dengan sejarah konflik yang panjang
serta instabilitas yang tinggi. Tipikal negara dengan mendekati kegagalan,
manajemen yang salah serta menuju jurang kehancuran cenderung menggunakan
alasan pendekatan ancaman karena negara tidak lagi mampu menjaga keamanan
warga negaranya secara berkesinambungan. Negara-negara di Afrika, dan sejumlah
negara dengan sejarah konflik yang panjang mempraktikkan pendekatan dan alasan
tersebut. [2] dipraktikkan oleh negara dengan tingkat ancaman dari luar negara yang
meluas. Pada tipe negara kedua ini, regulasi terkait dengan senjata api dan bahan
peledak lebih menitikberatkan pada harapan agar warga negaranya diminta atau tidak
diminta oleh negara untuk bersama-sama melakukan perlawanan atas upaya invasi
dan atau serangan kepada teritori dan obyek vital negara. [3] hal yang sama juga
dilakukan oleh negara dengan kontrol negara yang kuat serta kekuatan militer yang
baik, namun rawan oleh manuver dan ancaman yang bersifat lintas negara. Negara
melakukan mobilisasi dengan mudah apabila serangan yang bersifat tiba-tiba
dilakukan, setidaknya negara berharap agar warganya dapat serta merta termobilisasi
menjadi milisi dan mudah diarahkan untuk kepentingan negara atas nama kedaulatan
dan harga diri bangsa. Hal ini termasuk juga melakukan perlawanan akan adanya
ancaman terorisme dan insujensi yang membuat negara harus melakukan perlawanan
semesta atas ancaman tersebut. Kedua, mengacu pada kebijakan umum dan regulasi
keamanan nasional. Dengan latar belakang dan alasan yang kedua ini, negara tetap
mempraktikkan regulasi atas senjata api dan bahan peledak secara menyeluruh
dengan tetap mengacu pada tiga model terbuka, semi terbuka dan tertutup yang dapat
juga dipahami sebagai negara membebaskan warganya untuk memiliki dan
menggunakan senjata dan bahan peledak, negara membatasi pemanfaatan dan
penggunaan senjata api dan bahan peledak, serta yang ketiga adalah melarang
penggunaan senjata api dan bahan peledak secara bebas oleh publik. Hal tersebut
didasari atas apa yang menjadi prioritas dan bagaimana mereka merumuskan
ancaman dan kedewasaan warga negaranya dalam memanfaatkan senjata api dan
bahan peledak. Alasan dan latar belakang kedua ini dirumuskan oleh negara dengan
tingkat kestabilaan politik dan keamanannya relatif baik. Sehingga apabila mereka
merumuskan salah satu dari tipe regulasi yang ada, maka dapat dipastikan hal tersebut
karena mengacu pada kebijakan umum dan regulasi keamanan nasional. Ketiga,
dilatarbelakangi oleh struktur dan pola hubungan antar aktor keamanan. Tidak banyak
negara merumuskan kebijakan terkait dengan regulasi senjata api dan bahan peledak
dikarenakan alasan struktur dan pola hubungan antar aktor keamanan. Namun
sejumlah negara kerap kali terjebak oleh pola dan struktur aktor keamanannya dalam
mengatur regulasi senjata api dan bahan peledak. Beberapa di antaranya justru terkait
siapa yang menjadi aktor utama dalam penindakan atas sejumlah permasalahan yang
berbasis pada regulasi senjata api dan bahan peledak. Keempat, perumusan kebijakan
dan regulasi senjata api dan bahan peledak dikarenakan struktur pemerintahan dan
bentuk negara. Di negara kesatuan dengan negara federal praktik regulasi senjata api
dan bahan peledak memiliki perbedaan pada implementasinya. Sebagai gambaran
misalnya Amerika Serikat yang berbentuk negara federal tidak memiliki kebijakan
umum secara nasional terkait dengan penggunaan senjata api dan bahan peledak.
Basis regulasi ada di masing-masing negara bagian, sehingga dapat dipastikan antara
satu negara bagian dengan negara bagian lain memiliki aturan yang tidak sama
berhubungan dengan regulasi senjata api dan bahan peledak. Sebaliknya misalnya
negara dengan bentuk negara kesatuan seperti Jepang yang mengintegrasikan
pembatasan dan pelarangan penggunaan senjata api dan bahan peledak secara
nasional.9

9
Lebih lanjut misalnya lihat Zimring FE and Hawkins G. (1997). Crime is Not the Problem – Lethal
Violence in America. New York: Oxford University Press. Terutama Bab 3.
I. Teori Pemidanaan dalam Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak.

Dalam kajian hukum pidana terdapat beberapa anasir yang menjadi perhatian, yakni:

1. Unsur tindak pidana, dalam hal ini perbuatan apa saja yang dilarang dan dapat
diancam dengan hukuman;

2. Unsur kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, yang menentukan bentuk


kesalahannya: apakah berbentuk kesengajaan atau kelalaian. Disamping itu berkaitan
pula dengan subyek atau pelaku tindak pidana, dimana telah terjadi perkembangan
bahwa tindak pidana dapat pula dilakukan oleh badan hukum - yang dalam UU lain
digunakan terminologi korporasi - yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pidana; dan

3. Unsur sanksi yang diancamkan atas perbuatan tersebut, apakah memenuhi asas
subsidaritas (satu-satunya jalan mengingat hukum pidana berfungsi sebagai ultimum
remedium) dan proporsionalitas (seimbang antara seriusnya perbuatan beserta akibat
yang ditimbulkan dengan pidana yang diancamkan dalam ketentuan perundang-
undangan).

J. Asas-Asas Hukum Pengaturan Senjata Api dan Bahan Peledak.


Mengutip pendapat Paul Scholten, Hamid S Attamimi menyatakan bahwa asas
hukum (rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel). Hal ini karena
muatan dalam asas hukum masih bersifat terlalu umum.10

Senada dengan hal tersebut Noto Hamidjojo menyatakan bahwa asasasas


hukum tidak boleh dianggap sebagai suatu norma hukum yang konkrit, melainkan
perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.11
Walaupun demikian, menurut Scholten, aturan hukum tidak akan dapat dimengerti
tanpa didasarkan pada asas-asas hukum yang melingkupinya. Oleh karena itu asas-
asas hukum sangat penting dalam merumuskan suatu undang-undang. Dengan kata

10
A. Hamid Attamimi, Perananan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Suatu Studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan
dalam kurun waktu PELITA I-PELITA IV, dalam `Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan:
Proses dan teknik Pembentukannya, Penerbit Kanisius, 2007, hal. 227.
11
Noto Hamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hal. 33.
lain asas-asas hukum akan menjadi payung untuk rumusan-rumusan norma-norma
yang akan dibentuk agar tidak tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.

Mendasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan
aturan mengenai senjata api dan bahan peledak didasarkan pada asas-asas:

a. Asas pengayoman. Mendasarkan pada asas pengayoman, pengaturan


senjata api dan bahan peledak berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap
pihak-pihak yang terkait dalam proses perencanan dan pengembangan senjata api dan
bahan peledak sampai dengan pemusnahannya. Selain itu, terciptanya ketentraman di
dalam masyarakat adalah salah satu tujuan dalam pengaturan senjata api dan bahan
peledak.

b. Asas ketertiban dan kepastian hukum. Asas ini menjadi pedoman dalam
penyusunan aturan mengenai senjata api dan bahan peledak, sehingga akan tercipta
ketertiban di berbagai institusi yang terkaitdengan senjata api dan bahan peledak
melalui kepastian hukum yang ditimbulkan akibat adanya pengaturan mengenai
senjata api dan bahan peledak. Sejalan dengan hal tersebut, kondisi ini akan
memberikan dampak pada munculnya ketertiban dan kepastian hukum di dalam
masyarakat.

c. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Keseimbangan, keserasian


dan keselarasan antara hak dan kewajiban negara dengan hak dan kewajiban
masyarakat menjadi asas yang harus dipedomani dalam menyusun pengaturan
mengenai senjata api dan bahan peledak. Mendasarkan pada hal tersebut, maka
kedudukan dan peranan masing-masing pihak dalam hubungan tersebut harus jelas.

d. Asas keadilan. Sejalan dengan asas keseimbangan, keserasian dan


keselarasan diatas, maka akan muncul rasa keadilan yang proporsional bagi pihak-
pihak yang terkena dampak terkait pengaturan senjata api dan bahan peledak. Selain
asas-asas tersebut diatas, penyusunan aturan mengenai senjata api dan bahan peledak
juga didasarkan pada asas-asas:
a. Monopoli instrumen kekerasan oleh negara. Bahwa senjata api dan bahan
peledak adalah salah satu sarana atau instrumen untuk yang dapat menimbulkan
kerusakan apabila digunakan secara sewenang-wenang oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Oleh karena itu keberadaan senjata api dan bahan peledak harus
dikendalikan oleh negara, baik dari segi penentuan batasan teknis senjata api dan
bahan peledak maupun dari segi penentuan pendekatan proses kendalinya.

b. Asas akuntabilitas. Bahwa penyelenggaraan pengaturan mengenai senjata


api dan bahan peledak dari proses perencanan dan pengembangan senjata api dan
bahan peledak sampai dengan pemusnahannya harus dapat dipertanggungjawabkan,
baik dari segi proses maupun pembiayaannya;

c. Asas kepentingan nasional. Bahwa penyelenggaraan pengaturan kegunaan


senjata api dan bahan peledak harus mengutamakan kepentingan nasional; dan

d. Asas koordinatif. Bahwa pengelolaan senjata api dan bahan peledak perlu
dilakukan koordinasi yang baik, karena masalah senjata dan bahan peledak tidak
dapat dilakukan hanya oleh satu institusi saja, tetapi harus melibatkan berbagai
instansi terkait sesuai dengan tugas fungsi dan perannya.

K. Putusan Pengadilan
Pasal 1.
(1) Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat,
menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencobamenyerahkan,
menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam
miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau
mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak,
dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman
penjara sementara setinggitingginya dua-puluh tahun.
(2) Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk juga
segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Senjata
Api (Vuurwapenregeling : in-, uit-, doorvoer en lossing) 1936 (Stbl. 1937 No. 170),
yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl. No. 278), tetapi
tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan
pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa
sehingga tidak dapat dipergunakan.
(3) Yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak termasuk semua
barang yang dapat meledak, yang dimaksudkan dalam Ordonnantie tanggal 18
September 1893 (Stbl. 234), yang telah diubah terkemudian sekali dengan
Ordonnantie tanggal 9 Mei 1931 (Stbl. No. 168), semua jenis mesin, bom-bom, bom-
bom pembakar, ranjau-ranjau (mijnen), granat-granat tangan dan pada umumnya
semua bahan peledak baik yang merupakan luluhan kimia tunggal (enkelvoudige
chemische verbindingen) maupun yang merupakan adukan bahan-bahan peledak
(explosieve mengsels) atau bahan-bahan peledak pemasuk (inleidende explosieven),
yang dipergunakan untuk meledakkan lain-lain barang peledak, sekedar belum
termasuk dalam pengertian munisi.

Pasal 2.
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-,
steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh
tahun.
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk
dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk
dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaanpekerjaan rumah tangga atau untuk
kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai
tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).

Pasal 3.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-undang Darurat ini dipandang
sebagai kejahatan.
Pasal 4.
(1) Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang
Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan
dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada
wakilnya setempat.
(2) Ketentuan pada ayat 1 dimuka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang
bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.

Pasal 5.
(1) Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana terhadap mana sesuatu perbuatan
yang terancam hukuman pada pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga bilamana barang-
barang itu tidak kepunyaan si-tertuduh.
(2) Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat 1, harus
dirusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri
Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain.

Pasal 6.
(1) Yang diserahi untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
berdasarkan pasal 1 dan 2 selain dari orang-orang yang pada umumnya telah ditunjuk
untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, juga orang-orang, yang
dengan peraturan Undang-undang telah atau akan ditunjuk untuk mengusut
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang bersangkutan dengan senjata
api, munisi dan bahan-bahan peledak.
(2) Pegawai-pegawai pengusut serta orang-orang yang mengikutinya senantiasa
berhak memasuki tempat-tempat, yang mereka anggap perlu dimasukinya, untuk
kepentingan menjalankan dengan saksama tugas mereka Apabila mereka dihalangi
memasuknya, mereka jika perlu dapat meminta bantuan dari alat kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
- Hak uji Materiil adalah hak atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga yudikatif
untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan perundang-
undangan terhadap peraturan perundangundangan yang tingkatnya lebih tinggi.
- Hak Uji Materiil ada dua:
1. Hak Uji Materiil UU terhadap UUD → menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi;
2. Hak uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang → menjadi wewenang Mahkamah Agung.
- Dasar hukum hak uji materiil:
* Tap MPR RI No. III/MPR/1978.
* UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas uu No. 14 tahun l985 tentang
Mahkamah Agung.
* Perma No. 1 tahun 2004.
Masalah kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya sudah diatur dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Terdapat ketentuan tersendiri mengenai
kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Kepemilikan senjata api secara umum
diatur dalam Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang bersifat pidana. Pasal
1 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan : “Barangsiapa, yang tanpa hak
memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai
persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata
api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau
hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya
dua puluh tahun.”

Dari ketentuan pasal di atas, terdapat cakupan yang luas mengenai


kepemilikan senjata api yang diancam pidana dari membuat hingga mengeluarkan
dari Indonesia suatu senjata api. Apabila kepemilikan senjata api di atas dilakukan
tanpa hak (tanpa alas hak yang sah, digolongkan sebagai tindak pidana) maka dapat
dijatuhkan sanksi pidana berupa hukuman mati, penjara seumur hdup, atau hukuman
penjara hingga 20 tahun.

Tanpa hak sebagai suatu kualifikasi pasal ancaman pidana di atas, dapat
diartikan juga sebagai perbuatan melawan hukum dalam pidana. Tanpa hak di sini
berarti bahwa pemilik senjata api itu tidak mempunyai kewenangan untuk
memilikinya, atau tidak memiliki izin kepemilikan.

Kepemilikan senjata api ini sendiri memang diatur secara terbatas. Di


lingkungan kepolisian dan TNI sendiri terdapat peraturan mengenai prosedur
kepemilikan dan syarat tertentu untuk memiliki senjata api. Di lingkungan masyarat
sipil juga terdapat prosedur tertentu untuk memiliki senjata api secara legal. Prosedur
tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan
Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1948
mewajibkan setiap senjata api yang berada ditangan orang bukan anggota Tentara
atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan. Menurut pasal 9
UU No. 8 Tahun 1948, setiap orang atau warga sipil yang mempunyai dan memakai
senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang
ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Surat izin pemakaian senjata api ini
diberikan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya.

Ketentuan mengenai pejabat yang diberikan kewenangan pemberian izin


kepemilikan senjata api ini diubah oleh Perpu No 20 Tahun 1960 untuk
menyesuaikan penyebutannya. Pasal 1 Perpu No. 20 Tahun 1960 mengatur bahwa
kewenangan untuk mengeluarkan dan/atau menolak sesuatu permohonan perizinan
diberikan kepada Menteri/Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan
olehnya untuk itu. Jadi penyebutannya bukan oleh Kepala Kepolisian Residen
sebagaimana dalam UU No. 8 Tahun 1948.

Lebih lanjut, pengajuan izin kepemilikan senjata api non organik yang
dilakukan oleh masyarakat yang biasa disebut dengan Izin Khusus Senjata Api
(IKSHA), dilakukan sesuai ketentuan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia No.Pol : Skep/82/II/2004.

Maka dapat dilihat bahwa kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil jelas
memerlukan prosedur permohonan izin tertentu mencakup syarat keterampilan dan
psikologis. Hal ini diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di atas.
Bahkan surat izin tersebut harus diperpanjang per jangka waktu tertentu. Oleh karena
itu, kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil bukanlah hal yang sembarangan.
Bahkan, kepemilikan tanpa hak atas senjata api dapat dijatuhkan sanksi pidana
hingga hukuman mati. Hal ini terkait potensi besar penyalahgunaan senjata api ilegal
yang bahkan dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara. Kepolisian adalah
pihak yang harus menindak tegas kepemilikan sejata api oleh masyarakat sipil ini.
Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat (Pasal 5 UU No.2 Tahun 2002). Instrumen
hukum yang lama dan tidak sesuai lagi juga harus diperbaharui (instrumen undang-
undang tahun 1951 sebaiknya diajukan perubahan). Selain itu, tindakan preventif
seperti razia senjata api juga harus terus diupayakan. Pengawasan peredaran senjata
api ilegal harus ditangani serius agar tidak terjadi penyalahgunaan senjata api yang
membahayakan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Lumbanraja, H. 2018. Hak Uji Materil, Tujuan, Aturan dan 5 Kriteria Menentukan
Kapasitas Pemohon. Diakses pada 27 Desember 2021.
https://www.larasonline.com/ulasan/Hak-Uji-Materil--Tujuan--Aturan-dan-5-
Kriteria-Menentukan-Kapasitas-Pemohon

Abdullah, H. Ujang. HAK UJI MATERIIL DI BAWAH UNDANG-UNDANG. Diakses


pada 27 Desember 2021. https://ptun-palembang.go.id/upload_data/HUM.pdf

Nursobah, A. 2021. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Bawah Undang-


Undang. Diakses pada 27 Desember 2021.
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/prosedur-berperkara/hak-uji-
materiil-ppu
Admin DSLA. 04 Desember. Pentingnya Menggandeng Firma Hukum untuk Uji
Materi. Diakses pada 27 Desember 2021. https://www.dslalawfirm.com/uji-materi/
DPN SBMI. 2019. BELAJAR MENGENAL JUDICIAL REVIEW ATAU UJI MATERI
DI MAHKAMAH KONSTITUSI. Diakses pada 27 Desember 2021.
https://sbmi.or.id/belajar-mengenal-judicial-review-atau-uji-materi-di-
mahkamah-konstitusi/
Prayogo, R. Tony 2016, „Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang‟, Jurnal Legilasi
Indonesia, Vol. 13 N0. 02 - Juni 2016 : 191 – 193.
Department of Public Information, “Small Arms: United Nations Conference on the
Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects”.. Maret
2001.
Duff, Antony and David Garland, “A Reader on Punishment”, Oxford: Oxford
University Press, 1994.
Hamidjojo, Noto, ―Soal-soal Pokok Filsafat Hukum”, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1975.
Indrati, Maria Farida, ―Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan teknik
Pembentukannya”, Penerbit Kanisius, 2007.
Karp, Aaron. Completing the Count: Civilian Firearms.‟ In Small Arms Survey.
Small Arms Survey 2007: Guns and the City”. Cambridge:
CambridgeUniversity Press. 2007.
Kramer, Katherine. ―Legal Controls on Small Arms and Light Weapons in
Southeast Asia”. (2001) Small Arms Survey.
Mahmud, M.D, Moh., ―Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”,
Jakarta: 2006. Packer, Herbert L. ―The Limits of The Criminal Sanction”,
California: Stanford University Press, 1968
Salman, Otje, ―Beberapa Aspek Sosiologi Hukum”, Bandung: 1993.
Samosir, Djisman, ―Fungsi Pidana penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,‖
Bandung: Binacipta, Cetakan pertama, 1994.
Cook PJ & Cole TB. ―Strategic Thinking About Gun Markets & Violence‖. Journal
of American Medical Association. (1996).
Hahn, Robert. (et al). ―Firearms Laws and the Reduction of Violence: A Systematic
Review‖ American Journal of Preventive Medicine, Vol. 28, (2005). Iss.
2,Suppl. 1. February
Harkrisnowo, Harkristuti, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia (Pidato Orasi pada Upacara
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Hukum Pidana FHUI), Depok, 8 Maret
2003.
International Crisis Group. “Illicit Arms in Indonesia. Policy Briefing”. No 109.
Jakarta/Brussels, 6 September 2010.
Mohammad Fajrul Fallaakh, S.H., M.A. Mahkamah Agung dan Judicial Review
dalam cita Bernegara, Varia Peradilan No. 95 tahun 1993.
2. Mahkamah Agung RI. Himpunan putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Agung RI.
Jakarta, 2002.
3. Jan Bowe. The Legal system. The Macqurie, New south wales, 1987
4. UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
5. UU No. 5 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 14 ahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
6. PERMA No. 1 tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.
republika.co.id, senjata illegal ganggu stabilitas,
http://www./berita/koran/newsupdate/13/09/17/ mt6 cud -senjata-ilegal-
ganggu-stabilitas

Anda mungkin juga menyukai