Anda di halaman 1dari 11

HUKUM ACARA PENGUJIAN UNDANG –

UDANG TERHADAP UNDANG – UNDANG


DASAR

TUGAS KELOMPOK

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


Hukum Acara Peradilan Konstitusi

Dosen : Risky Waldo S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Dendranisa Rizky Azzahra 191010201194


Denni Henry Kurniawan 191010201190
Deny Fitrianto 191010201102
Dela Romatul Janah 191010201454

FAKULTAS HUKUM
JURUSAN HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya
Tujuan pokok makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Konstitusi dan tujuan umumnya untuk memberikan
beberapa informasi pengetahuan tentang Hukum Acara Undang – Undang
terhadap Undang – Undang Dasar bagi para pembacanya.
Kami menyimpulkan masih banyak kekurangan terdapat dalam makalah
ini, oleh karena itu Kami memohon kepada para pembaca untuk dapat
memberikan tanggapan atau masukan maupun saran yang sifatnya membangun
agar makalah ini menjadi lebih baik.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................
1.1. Latar Belakang..........................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................................
1.3. Tujuan........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................
2.1. Pengujian Undang Undang Terhadap UUD 1945..................................................
2.1.1. Undang – Undang yang dapat dimohonkan pengujian........................................
2.1.2. Pihak yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam permohonan
pengujian undang – undang................................................................................................
2.2. Bentuk Pengujian Undang – Undang......................................................................
2.2.1. Pengujian Formil (Formele Toetsingrecht)..........................................................
2.2.2. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingrecht)......................................................
2.3. Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujian Peraturan Perundang
– Undangan...........................................................................................................................
2.3.1. Peraturan Perundang – Undangan (Regeling)......................................................
2.3.2. Pengujian keputusan (beschikking) dilakukan oleh Peradilan Tata
Usaha Negara......................................................................................................................
BAB III PENUTUP................................................................................................................
3.1. Kesimpulan..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kurun waktu 13 (tiga belas) tahun ini, khususnya sejak berdirinya Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2003, pengujian undang-undang (judicial review) terhadap Undang-
Undang Dasar merupakan suatu hal yang lazim yang terjadi di Indonesia. Dalam perspektif
ketatanegaraan Indonesia, pengujian peraturan perundang-undangan telah diperkenalkan
sejak tahun 1970, yakni melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana kewenangannya diletakkan pada Mahkamah
Agung dengan kekuasaan dan kewenangan yang terbatas. Terbatasnya kekuasaan dan
kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian tersebut dapat dipahami karena
sistem politik termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemerintahan dalam kurun waktu
(1970-1998) dilakukan dengan pendekatan otoritarian. Dari sejumlah putusan Mahkamah
Konsitusi yang dikabulkan tersebut, tidak terdapat satu putusan yang mengabulkan pengujian
undang-undang secara formil yang diajukan oleh pemohon. Hal ini menarik untuk dikaji
karena secara teoritis jelas bahwa pengujian secara formil diperkenankan untuk diajukan
kepada Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar.
Kemudian ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan
ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan tersebut maka salah satu subsatnsi penring
perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkahmah Konstitusi sebagai Lembaga negara
yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga
konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita – cita demokrasi. Keberadaan MK untuk menjaga terslenggaranya pemerintahan negara

4
yang stabil, dan merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa
lampau yang di timbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Pada Pasal 24C Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945, MK memiliki wewang untuk, menguji UU
terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil
pemilihan umum, dan MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/ atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidana berat, atau perbuatan tercela, atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan judul permasalahan, maka terdapat perumusan masalah
yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah ruang lingkup Pengujian Undang – Undang terhadap UUD 1945?
2. Bagaimanakah bentuk – bentuk dari Pengujian Undang – Undang?
3. Apa saja Lembaga – Lembaga yang Menguji Undang – Undang?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui dan membahas ruang lingkup Pengujian Undang – Undang
terhadap UUD 1945.
2. Untuk mengetahui dan membahas apa saja bentuk – bentuk dari Pengujian Undang –
Undang.
3. Untuk mengetahui dan membahas Lembaga – Lembaga apa saja yang dapat menguji
undang – undang.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengujian Undang Undang Terhadap UUD 1945


Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pasal 50. Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan Hukum mengikat berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUUII/ 2004 mengenai Pengujian Undang
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kosntitusi dan Undang Undang No.1 Tahun
1987 tentang Kamar Dagang dan Industri terhadap UUD 1945 tanggal 13 Desember 2004.
Di dalam praktik ketentuan tersebut tidak dapat menampung permasalahan-permasalahan
yang timbul. Karena itu berdasar Pasal 86 UU MK, MK yang diberikan kewenangan
mengatur, telah membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) guna melengkapi hukum
acara yang telah ada, yakni dengan PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
2.1.1. Undang – Undang yang dapat dimohonkan pengujian
Di dalam UUD 1945 tidak terdapat batasan mengenai undang-undang yang dapat
dimohonkan pengujian. Namun di dalam UU MK undang-undang yang dapat
dimohonkan pengujian itu dibatasi hanya undang-undang yang diundangkan setelah
terjadinya perubahan UUD 1945. Terhadap ketentuan ini MK dengan putusannya Nomor
004/PUU-I/2004, berpendapat tidak sesuai konstitusi, karena itu MK mengesampingkan.
Dengan adanya permohonan kepada MK untuk menguji pasal tersebut, jetentuan
dimaksud dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan karena itu dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum melalui putusan Nomor 066/PUU-II/2004.
Maka dari itu secara efektif tidak terdapat lagi batasan undang – undang yang dapat
dimohonkan pengujian.
2.1.2. Pihak yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam permohonan pengujian
undang – undang
Sesuai dengan Pasal 51 UU MK, pemohon pengujian Undang – Undang adalah pihak
yang menganggap hak/ kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang
– undang

6
Kerugian konstitusional itu merupakan syarat untuk diajukan sebagai pemohon dalam
pengujian undang – undang (legal standing). Di dalam praktik Mahkamah Konstitusi
menetapkan rincian ketentuan dimaksud dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
1945;
b. Bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi;
Pasal 51 UU MK merincikan secara limitatif siapa saja pihak tersebut, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyrakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang – undang;
c. Badan hukum public atau privat; atau
d. Lembaga negara
2.2. Bentuk Pengujian Undang – Undang
Sebagaimana telah dikenal, pengujian undang-undang itu meliputi pengujian formil dan
pengujian materiil. Sejalan dengan itu, maka pemohon wajib menguraikan dengan jelas,
apakah yang dimaksudkan dalam permohonan itu permohonan pengujian formal atau
permohonan pengujian secara materiil undang-undang terhadap UUD 1945.
2.2.1. Pengujian Formil (Formele Toetsingrecht)
Permohonan pengujian formil dimaksudkan sebagai bentuk pengujian berkenaan
dengan pembentukan undangundang yang dianggap tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945.
Sri Soemantri mendefinisikan pengujian formil sebagaimana yang dikemukakan
dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sri Soemantri
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak menguji formal adalah wewenang
untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya, terjelma

7
melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.
Untuk pengujian formal, rumusan hal-hal yang dimohonkan adalah sebagai
berikut:
1. mengabulkan permohonan pemohon;
2. menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945;
3. menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
2.2.2. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam ketentuan tersebut
diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Harun Alrasid mengemukakan bahwa hak menguji material ialah mengenai
kewenangan pembuat UU dan apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan
yang lebih tinggi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian materiil berkaitan
dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang
lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan
dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum.
Adapun untuk pengujian materiil, rumusan hal-hal yang dimohonkan adalah
sebagai berikut:
1. mengabulkan permohonan pemohon;
2. menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang
dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2.3. Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujian Peraturan Perundang – Undangan
Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga yakni
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 diatur bahwa Mahkamah
Konstitusi berhak menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sedangkan
Mahkamah Agung berhak menguji produk perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang.
letak kekurangan sistem pengujian. Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi. Dimana
pengujian seluruhnya dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang dikeluarkan tidak
akan mengakibatkan pertentangan. Lingkup Judicial Review/Toetsingrecht di Indonesia:

8
2.3.1. Peraturan Perundang – Undangan (Regeling)
a. Menguji undang – undang terhadap UUD dilakukan oleh MK
b. Menguji peraturan perundang – undangan dibawah undang – undang terhadap undang
– undang oleh MA

2.3.2. Pengujian keputusan (beschikking) dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi
yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah masyarakat, MK bertugas
mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen
negara secara konsisten dan bertanggung jawab, ditengah kelemahan sistem konstitusi yang
ada MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Fungsi MK yaitu sebagai pengawal
konstitusi, penafsir konstitusi, juga adalah pengawal demokrasi
Selain itu, keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan
negara yang stabil dan merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan
dimasa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 bahwa “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD”, pasal tersebut sudah
jelas bahwa MK memiliki kewenangan pengujian undang-undang. Namun, seiring
berjalannya waktu muncul pro-kontra tentang kewenangan MK dalam menguji undang-
undang yang mengatur eksistensinya. Pro-kontra ini diawali dengan putusan MK
No.004/PUU-I/2003 perihal pengujian Undang-undang No.14 Tahun 1985 yang menyatakan
bahwa MK berwenang menguji undang-undang tersebut dan mengenyampingkan Pasal 50
UU MK No.24/2003. Berawal dari putusan tersebut, Putusan MK No. 066/PUU-II/2004
menjadi langkah awal “keberanian” MK dalam menguji undang-undang yang mengatur
eksistensinya, sebab putusan tersebut menyatakan batal Pasal 50 UU MK No.24/2003
“Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan UUD 1945”.

9
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Judicial Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan
terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang
terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih tinggi. Sementara Sri Soemantri
berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji
materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan
yang lebih tinggi derajatnya.
Kemudian dalam melakukan judicial review dilakukan dengan 2 bentuk pengujian yaitu :
Pengujian materiil yaitu suatu pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan.
Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal
atau ayat dalam sebuah undang-undang .
Fungsi MK yaitu sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga adalah pengawal
demokrasi. Selain itu, keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil dan merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi. Berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 bahwa “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD”, pasal
tersebut sudah jelas bahwa MK memiliki kewenangan pengujian undang-undang. Namun,
seiring berjalannya waktu muncul pro-kontra tentang kewenangan MK dalam menguji
undang-undang yang mengatur eksistensinya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fadlil Sumadi. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori dan Praktik,
Jakarta
Sriwaty Sakkirang. 2014. Hukum Acara Pengujian Undang – Undang di Mahkamah
Konstitusi
Jorawati Simarmata. 2017. Pengujian Undang – Undang Secara Formil Oleh Mahkamah
Konstitusi: Apakah Keniscayaan?, Riau
Syara Nurhayati. 2015. Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislature Dalam Pengujian
Undang – Undang Terhadap Undang – Undang Dasar 1945. Pekanbaru
Materi Pertemuan Ke-5. Hukum Acara Pengujian Undang – Undang Terhadap Undang –
Undang Dasar (Bagian I)

11

Anda mungkin juga menyukai