Anda di halaman 1dari 14

PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

OLEH :

Nama:Putu Candra Wedasmara


Npm:1510121098
Kelas: B5

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WARMADEWA
DENPASAR
TAHUN 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Ekonomi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini. 

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Denpasar, 28 Januari 2018

2
Daftar isi 

Kata pengantar .....................................................................


Daftar isi ............................................................................... 
Bab I pendahuluan .............................................................
A. Latar belakang ................................................................ 
B. Rumusan masalah ......................................................... 
C. Tujuan penelitian ..........................................................  
 Bab II Pembahasan ..........................................................  
A. Pengujian Peraturan Perundang-undangan.................. 
B. Lembaga yang berwenang dalam pengujian.................. 
 1.Mahkamah Konstitusi...................................................... 
 2.Mahkamah Agung........................................................... 
 3.Dewan Perwakilan Rakyat............................................. 
 4.Departemen Dalam Negeri............................................ 
C. Peraturan Perundang Undangan Di indonesia............. 
 1.Jenis dan Hierarki........................................................... 
D. Kedudukan Konstitusi...................................................
E.Perubahan UUD 1945..................................................... 
 Bab III Penutup ................................................................ 
A. Kesimpulan ................................................................... 
B. Saran ............................................................................. 
C.Daftar pustaka ...............................................................

3
 A. Latar Belakang
 Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan pengenalan dasar tentang judicial
review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan), yang di dalam sistem hukum di
Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945. Sebelumnya, tidak dikenal uji
materiil sebuah peraturan perundang-udangan terhadap konstitusi. Dalam UU No. 14 Tahun
1970 tentang kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 dan
diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009, disebut kewenangan uji materiil peraturan perundang-
undangan di bawah dan terhadap Undang-undang.[1] Dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasca perubahan, diadakan pembedaan yang tegas antara undang-undang dengan
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
mengatur sebagai berikut : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar… “. Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 mengatur sebagai berikut :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang… “[2] Dalam Pasal 145 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008
mengatur sebagai berikut : “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh Pemerintah.” Dalam pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, jenis dan Hierarki
peraturan peraturan perundang-undangan yaitu : 
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 
d. Peraturan Pemerintah; 
e. Peraturan Presiden; 
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan 
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dipastikan mengenai apa saja bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan yang resmi dalam sistem hukum Indonesia berdsarkan UUD 1945 dan
bentuk-bentuk peraturan mana saja yang lebih tinggi dan man yang lebih rendah tingkatannya
satu sama lain. berkaitan dengan itu dapat pula diketahui dengan pasti mana saja bentuk
peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai peraturan di bawah undang-undang,
mana saja yang setingkat dan mana yang lebih tinggi dari pada undang-undang.

B. Rumusan Masalah 
Dalam pembahasan Pengujian Peraturan Perundang-undangan ini kami membatasi masalah
kedalam beberapa bagian, yaitu : 
1. Pengertian Pengujian Perundang-undangan? 
2. Siapa yang berwenang dalam pengujian peraturan perundang-undangan? 

C. TUJUAN 
 Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah agar pembaca sekalian
mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang setiap negara memilikinya termasuk juga negara kita indonesia.yang mana
dengan memiliki pemahaman tentang konstitusi dan perundang-undangan ini kita sebagi
generasi penerus bangsa akan mempunyai arah dan pedoman yang jelas dalam melanjutkan
pembangunan ini di masa yang akan datang yang pada prinsipnya semua agenda penting
kenegaraan, serta prinsip – prinsip dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,
telah tercoverdalam konstitusi dan dilaksanakandalam bentuk perundang-undangan.untuk itu
kami rasa perlu dalam makalah ini mengajak rekan-rekan sekalian untuk mempelari semua

4
hal yang berhubungan dengan konstitusi ini dan menumbuhkan kesadaran berkonstitusi kita
sebagai warga Negara.

 BAB II PEMBAHASAN

 A. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan 


Judicial review, menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga
peradilan terhadap kebenaran suatu norma. Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya
bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele
toetsing. Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in
materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang
dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi
muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian
materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil. Jadi judicial
review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara
materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk
mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-
hak konstitusional warga negara.[3] Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan
pengenalan dasar tentang judicial review (uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan),
yang di dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945.[4]
Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh
lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan,
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh
Mahkamah Agung (“MA”).[5] Judicial review merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku peruduk-produk hukum yang dihasilkan oleh
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengajuan oleh
hakim terhadap produk-produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah konsekuensi
dari dianutnya prinsip check and balance berdasarkan pada doktrin pemisahan kekuasaan
(Sparation of power). Karena itu kewenanagan untuk melakukan judicial review melekat pada
fungsi hakim sebagi subyeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian dilakukan bukan oleh
hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu dapat disebut dengan
legislative review. Jika dilakukan oleh pemerintahan yang berada pada struktur yang lebih
tinggi terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh pemerintahan
yang berada pada struktur lebih rendah, maka pengujian itu disebut administrative review.[6]
Baik judicial review, legislatif review, maupun administrative review, pada dasarnya
merupakan kegiatan pengujian peraturan perundang-undangan, yang melahirkan
konsekuensinya keberlakuan dan atau perubahan sebuah undang-undang.[7] Amandemen
UUD 1945 dan reformasi perundang-udangan di bidang peradilan telah memetakan secara
jelas pengaturan tentang judicial review ini. Sementara dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang
diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah yang telah diubah dengan
UU No. 12 Tahun 2008 juga menyebutkan kewenangan kewenangan Departemen Dalam
Negeri untuk melakukan pembatalan sebuah peraturan daerah yang dianggap tidak
berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Di parlemen,
mekanisme peninjauan dan perubahan perundang-undangan juga tersedia. Secara ringkas
dapat dirumuskan, kewenangan judicial review di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Sementara kewenangan administratfi review melekat pada

5
Departemen Dalam Negeri, sebagai departemen yang secara administrative
menanggungjawabi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan kewenangan legislatif
reviewdimiliki Dewan Perwakilan Rakyat.[8] 

B. Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujian 


Peraturan Perundang-undangan[9] 
1. Mahkamah Konstitusi 
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi
(MK) adalah salah satu lembaga Negara yang lahir pascaamandemen UUD 1945, yang
termasuk rumpun lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif. Berdasarkan UUD 1945 Pasal
24 C Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan salah satunya adalah menguji Undang-
undang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Lebih lanjut kewenangan Mahkamah
Konstitusi diatur dalam UU. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah
perubahan UUD 1945, yaitu perubahan pertama UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.
Kewenangan memutus permhonan judicial review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, keputusannya bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap serta tidak ada upaya hukum lain. Pasal 10 UU No. 24
tahun 2003 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 
a. Menguji UU terhadap UUD dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 
c. Memutus pembubaran partai politik dan 
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 
Pemohon dari pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan / atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah UU, yaitu: 
a. Perorangan WNI 
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU 
c. Badan hukum public 
d. Lembaga negara 
Yang dimaksud hak konstitusional menurut penjelasan pasal 51 UU No. 24 tahun 2003 adalah
hak-hak yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sedangkan yang
dimaksud dengan orang perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
yang sama. 
2. Mahkamah Agung 
Hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UU dapat dilakukan teradap
materi muatan ayat, pasal dan/ atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang
bertengan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh tinggi maupun terhadap
pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini diatur dalam pasal 31 A UU No.
5 tahun 2004 Mahkamah Agung sebagai berikut: 
1. Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU diajukan
langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis
dalam bahasa Indonesia. 
2. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: 
a. Nama dan alamat pemohon 
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan wajib menguraikan dengan
jelas bahwa: 

6
1) Materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian peraturan perundang-undangan dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undagan yang lebuh tinggi. Dan / atau 
2) Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. c.
Hal-hal yang diminta untuk dihapus 
3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak
memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima. 
4. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan 
5. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4, amar putusan
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan / atau bagian dari peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebuh
tinggi. 
6. Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebuh tinggi dan/ atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar
putusan menyatakan permohonan ditolak. 
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan peraturan perundang-undangan dibawah UU
diatur oleh Mahkamah Agung 
 3. Dewan Perwakilan Rakyat 
Tidak ada mekanisme yang baku mengenai bagaimana, kapan dan terhadap UU seperti apa
DPR melakukan peninjauan dan revisi UU. Kewenangan melakukan peninjauan terhadap UU
melekat dan berpijak pada kewenangan yang dimiliki DPR sebagai lembaga legislasi.
Mengenai praktik selama ini, DPR bersama pemerintah melakukan berbagai perubahan UU,
jika menemukan ketidaksesuaian UU dengan UU yang lain. Bisa juga karena factor
ketertinggalan sebuah UU dengan situasi terbaru yang muncul belakangan, atau juga karena
peristiwa hukum yang lahir belakangan tidak cukup terwadahi penyelesaiannya dalam UU
yang sudah ada. Sebagai contoh, di tahun 2006 DPR bersama pemerintah melakukan
peninjauan dan membahas perubahan UU tentang kesehatan. Juga UU pemilu, patai polotik,
yang selalu hamper berubah-ubah pada setiap periode pemilu. 
4. Departemen Dalam Negeri 
Kewenangan Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan peraturan daerah jika tidak
sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi ini merupakan konsekuensi dari keberdaan
Departemen Dalam Negeri sebagai pihak yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan
terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. UU No. 32 Tahun 2004 bagian
pendahuluan angka 7 (tujuh) menyebutkan pembinaan atas penyelenggraan pemerintahan
daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan pusat dan atau Gubernur selaku wakil
pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non-
departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing
yang dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi
serta oleh Gubernur untuk pembinaan dan pengawasan Kabupaten atau kota. Dalam hal
pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah, pemerintah
malakukan dengan 2 cara : 
1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan
peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum
disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh MENDAGRI untuk RAPERDA
Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap RAPERDA Kabupaten/Kota. 
2) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu
setiap peraturan daerahwajib disampaikan kepada MENDAGRI untuk provinsi dan Gubernur
untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Mekanisme pembatalan peraturan
Daerah, disebutkan dalam pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,

7
sebagai berikut : 
1. Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. 
2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. 
3. Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). 
4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama
kepala daerah rnencabut Perda dimaksud. 
5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 
6. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan ;sebagian atau
seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal
dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 
7. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku. 

 C.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 


 Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Jenis dan hierarki Hierarki
maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.berikut adalah hieraki peraturan
perundang-undangan di indonesia menurut Undang-Undang No 10/2004 tentang
pembentukan peraturan perundang –undangan : 
 1.UUD 1945 Merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.UUD1945
ditempatkan dalam lembaran negara republik indonesia. 
 2. Undang-Undang (UU) Peratuaran perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama presiden. Materi muatan UU : mengatur lebih lanjut ketentuan UUD '45
yang meliputi: HAM, hak dan kewajiban warga negara,pelaksanaan dan penegakan
kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara,wilayah dan pembagian
daerah,kewarganegaraan dan kependudukan,serta keuangan negara. 
 3.Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang(Perpu) Peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. materi
muatannya sama dengan undang-undang. 
 4.Peratuaran Pemerintah(PP) PP adalah perturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
presiden untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.Materi muatan PP adalah materi
untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. 
 5. Peraturan Presiden(perpres) Merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
presiden.materi muatannya adalah materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi
untuk melaksanakan PP. 
 6. Perturan Daerah(Perda) Merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah(gubernur,bupati/walikota). Materi
muatannya adalah seluruh muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan,dan penampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Termasuk pula Qanun yang berlaku di NAD,serta
perdasus dan perdasi yang berlaku di provinsi papua dan papua barat. Dari peraturan
perundang-undangan tersebut,aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat
dalam undang-undang dan peraturan daerah 

8
 D. KEDUDUKAN KONSTITUSI 
 Dalam pengertian yang sederhana, konstitusi adalah suatu dokumen yang berisi aturan-aturan
untuk menjalankan suatu organisasi. Organisasi dimaksud bera¬gam bentuk dan kompleksitas
struktur¬nya, mulai dari orga¬nisasi mahasiswa, perkumpulan masyarakat di dae¬rah
ter¬ten¬tu, serikat buruh, organisasi-organisasi kemasya¬ra¬kat¬an, organisasi politik,
organisasi bisnis, perkumpulan sosial sam¬pai ke organisasi tingkat dunia seperti misalnya
Perkum¬pul¬an ASEAN, European Communities (EC), World Trade Orga¬nization (WTO),
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sebagainya semua¬nya membutuhkan dokumen
dasar yang disebut konstitusi. Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah
yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Bahkan negara yang tidak
memiliki satu naskah konstitusi seperti Inggris, tetap memiliki aturan-aturan yang tum¬buh
menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan dan para ahli tetap dapat
menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris, sebagaimana
dikemukakan oleh Phillips Hood and Jackson sebagai berikut” “a body of laws, customs and
conventions that define the composition and powers of the organs of the State and that
regulate the relations of the various State organs to one another and to the private citizen.”
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu ter-cakup juga pengertian peraturan tertulis
dan tidak tertulis. Peraturan tidak tertulis berupa kebiasaan dan konvensi-konvensi
ke¬negaraan (ketatanegaraan) yang me¬nen¬tukan susunan dan kedu¬dukan organ-organ
negara, meng¬atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-
organ negara tersebut dengan warga negara. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar
yang meng¬ikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut
dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedau¬latan rakyat, maka sumber
legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka
raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang dise¬but oleh para
ahli sebagaiconstituent power yang merupakan kewe¬nangan yang berada di luar dan
sekaligus di atas sistem yang diatur¬nya. Karena itu, di lingkungan negara-negara
demo¬krasi, rak¬yatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi. Hal itu dapat
dilakukan secara langsung oleh rakyat, misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan
di Irlan¬dia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan
rakyat. Dalam hubungannya dengan kewenangan mengubah UUD,secara tidak langsung ini
misalnya dilakukan di Amerika Serikat dengan menambah¬kan naskah perubahan Undang-
Undang Dasar secara terpi¬sah dari naskah aslinya. Meskipun, dalam pembukaan Konsti¬tusi
Amerika Serikat (preambule ) terdapat perkataan “We the people”,tetapi yang diterapkan
sesungguhnya ada¬lah sistem perwa¬kilan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi
khusus ( special convention ) dan kemudian disetu¬jui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam
forum perwakilan negara yang didirikan bersama. Dalam hubungan dengan pengertian
constituent po-wer tersebut di atas, muncul pula pengertian constituent act . Dalam hubungan
ini, konstitusi dianggap sebagai consti¬tuent act , bukan produk peraturan legislatif yang biasa
( ordinary legislative act ). Constituent power menda¬hului konstitusi, dan konstitusi
mendahului organ pe¬me¬rin¬tahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Seperti
dikatakan oleh Bryce, konstitusi tertulis meru¬pakan : “The instrument in which a
constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws,
is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordinary
legislative authority but by some higher and specially empowered body. When any of its
provisions conflict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law
must give way”. Karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power berkaitan pula
dengan pengertian hirarki hukum ( hierarchy of law ). Konstitusi merupakan hukum yang
lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu

9
sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau
peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku
universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang
Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. Atas dasar logika demikian itulah maka Mahkamah
Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan
menguji materi peraturan produk legislatif ( judicial review ) terhadap materi konstitusi,
meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewenangan demikian
kepada Mahkamah Agung . Basis pokok berlakunya konstitusi adalah adanya kesepa¬katan
umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo¬ritas rakyat mengenai bangunan yang
diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat
politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui
pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci¬nya adalah
konsensus atau general agreement . Jika kesepa¬katan umum itu runtuh, maka runtuh pula
legitimasi ke¬kua¬saan negara yang bersangkutan, dan pada gi¬lir¬annya perang saudara
( civil war ) atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misal¬nya, ter¬cermin dalam tiga peristiwa
besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789,
di Ame¬rika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917, ataupun di In¬do¬nesia pada
tahun 1945, 1965 dan 1998. E.PERUBAHAN UUD 1945 Salah satu keberhasilan yang
dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional
( constitutional reform ) . Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda
yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk
mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya
good governance , serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia. Perubahan
UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR dari 1999
hingga 2002 . Perubahan p ertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999 . Arah
perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif. Perubahan kedua
dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 . Perubahan kedua menghasilkan rumusan
perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan
daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan
ketentuan¬-ketentuan terperinci tentang HAM. Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang
Tahunan MPR 2001 . Perubahan tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-
ketentuan pasal tentang a sas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan
antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Sedangkan p
erubahan k eempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat
tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara,
penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan. Empat
tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah
asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan
199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25
(12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%)
butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan. Dari sisi
kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip
kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD
1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup
wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat
besar (concentration of power and responsibility upon the President)menjadi prinsip saling

10
mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) . Prinsip-prinsip tersebut menegaskan
cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis. Setelah berhasil
melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah
pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan
mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagai hukum dasar , UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-
benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the
living constitution) . Tata Urutan Perundang-undangan: Fungsi Perundang-undangan adalah
sebagai: 
1. Memberikan Jaminan Perlindungan bagi hak-hak kemanusiaan; 
2. Memastikan posisi hukum setiap orang sesuai dengan kedudukan hukumnya masing-
masing; 
3. Sebagai Pembatasan Larangan, perintah tertentu yang harus dipatuhi dalam berperilaku.

Manfaat peraturan perundang-undangan 


1. Peranan peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali
(diidentifikasi), mudah diketemukan kembali, dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum
tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya. 
2. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata., karena
kaidah2nya mudah diidentifikasi dan mudah ditemukan kembali. 
3. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas, sehingga
memungkinkan untuk diperikasa kembali dan diuji baik segi formal maupun materi
muatannya 
4. pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan,
faktor ini sangat penting bagi negara yang sedang membangun sistim hukum baru yang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. 
 Masalah dalam pemanfaatan peraturan per-UU-an: 
1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan per-
UU-an dengan perkembangan masyarakat. 
2. peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi peristiwa atau
tuntutan hukum, hal ini dapat menimbulkan kekosongan hukum. 
 Mengatasi masalah tersebut :
1. Kemampuan para legal drafter dalam merencanakan suatu peraturan perundang-undangan
yang tidak lekas usang dalam arti kemampuan untuk membaca gejala dan peristiwa kehidupan
masyarakat dalam suatu waktu tertentu untuk diprediksi nilai-nilainya, kemudian dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. 
2. Memperbesar peranan hakim untuk memberikan penafsiran terhadap suatu peraturan
perundangan. Sebab hakim tidak saja sekedar mulut Undang-undang melainkan melainkan
menegakkan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat itu sendiri. 

 BAB III PENUTUP 

11
A. Kesimpulan 
Judicial Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan
terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang
terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih tinggi. Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang Kewenangan melakukan peninjauan terhadap UU melekat
dan berpijak pada kewenangan yang dimiliki DPR sebagai lembaga legislasi. Departemen
Dalam Negeri dalam Kewenangannya untuk membatalkan peraturan daerah jika tidak sesuai
dengan peraturan yang lebih tinggi ini merupakan konsekuensi dari keberdaan Departemen
Dalam Negeri sebagai pihak yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan terhadap
jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. 
Hieraki peraturan perundang-undangan di indonesia menurut Undang-Undang No 10/2004
tentang pembentukan peraturan perundang –undangan : 
 1. UUD 1945 
 2. Undang-Undang 
 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
 4. Peraturan Pemerintah 
 5. Peraturan Presiden 
 6. Peraturan Daerah. 
 Konstitusi 
 • Konstitusi berasal dari kata constituer (bhs Perancis) yang berarti membentuk.
Dimaksudkan untuk pembentukan suatu negara 
 • Konstitusi sebagai peraturan dasar/awal mengenai negara. Sebagai dasar pembentukan
negara, landasan penyelenggaraan bernegara 
 • Berarti hukum dasar- nya negara, hukum tertinggi negara . Hukum dasar tertulis maupun
tidak tertulis (pengertian luas) 
 • Sebagai undang-undang dasar – nya negara (Konstitusi tertulis/ pengertian sempit) •
Sebagai hukum dasar yang tertulis atau undang-undang Dasar dan hukum dasar yang tidak
tertulis / Konvensi.(pengertian luas) 
 • Konstitusi penting bagi negara karena penyelenggaran bernegara diatur dan didasarkan atas
konstitusi negara Isi Konstitusi 

12
 • Berisi hal-hal yg mendasar, penting bagi negara 
 • Umumnya bersifat garis - garis besar yang nanti dituangkan lebih lanjut dalam peraturan
perundangan dibawahnya 
 • Konstitusi negara umumnya berisi tentang identitas /organisasi negara, pola kekuasaan
negara, hubungan antar lembaga negara, hubungan negara dengan warga negara, aturan
tentang perubahan konstitusi 
 • Konstitusi juga mengandung pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah yang merupakan nilai-
nilai luhur bangsa ybs. 
 • Dalam jenjang norma, konstitusi termasuk kelompok Staatgrundgesetz atau aturan
dasar/pokok negara 
B. SARAN
 sebagai generasi penerus bangsa kita harus tahu dan memahami akan pentingnya konstitusi
bagi negara,serta berusaha untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dengan konstitusi ini
untuk dapat kita jadikan pedoman dalam mengatasi setiap masalah dalam kapasitas kita
sebagai warga negara. Karena adanya konstitusi ini tidak lain di tujukan untuk menjamin hak
asasi kita sebagi warga negara agar kekuasaan tidak disalah gunakan dengan adanya norma
yang memberi arah terhadap jalannya pemerintahan sehingga para penguasa tidak bisa
berlaku semena-mena. 

13
 DAFTAR PUSTAKA  
Hasani, Ismail & Abdullah, A. Gani. Pengantar Ilmu Perundang-undangan, FSH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006. Asshiddiqqi, Jimliy. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
Jakarta : Konstitusi Press, 2006. Artikel Judicial
Review,http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4257 Artikel Judicial
Review,http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-
judicial-review-di-indonesia, diakses tgl 14 mei 2012.
Paramitha,Regina.Makalah Peraturan Perundang-undangan.Tangerang,2016.
Review,http://reginamitha.blogspot.co.id/

14

Anda mungkin juga menyukai