Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 11

NAMA : 1. NATALIUS TELAUMBANUA


2. MARTIN BOY WARUWU
3. YULIRMAN GEA
SEMESTER/KELAS : VI/A
FAKULTAS/PRODI : FKIP/PPKN
MATA KULIAH : TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI

DOSEN PENGAMPU :
HENDRIKUS OTNIEL N. HAREFA, MH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS NIAS
T. A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan
kami rahmat kesehatan dan kesempatan. Sehingga kami bisa menyusun atau menyelesaikan
tugas tentang “ANALISIS KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI” Penulisan ini
kami sajikan secara ringkas dan sederhana sesuai dengan kemampuan yang kami miliki, dan
tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas pada Mata Kuliah TEORI DAN HUKUM
KONSTITUSI.
Dalam penyusunan tugas ini banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu kritik
yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan tugas ini, dan
dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dan secara khusus kami berterima kasih kepada Bapak HENDRIKUS OTNIEL
N. HAREFA, M.H, selaku dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Dan Konstitusi. karena
telah memberikan bimbingan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini hingga selesai.
Akhir kata kami sampaikan terimakasih Ya’ahowu.

Gunungsitoli, 22 April, 2022


Penyusun,

Kelompok 11
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Putusan Mahkamah Konstitiusi Atas Suatu Pasal UU Yang
Bertentangan Dengan UUD 1945…………………………………. 3
B. Sejarah Mahkamah Konstitusi…………………………………….. 5
BAB III PENUTUP............................................................................................. 10
A. Kesimpulan........................................................................................... 10
B. Saran..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam konsep negara hukum, keberadaan norma-norma hukum yang mengatur
tatanan kehidupan masyarakat guna mencapai suatu ketertiban, merupakan karakter umum
dari negara yang diselenggarakan oleh hukum. Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit
banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tantanan. Karena
adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib. Pandangan ini menjelaskan fungsi utama
hukum untuk menciptakan keadilan akibat adanya ketertiban, yang diorganisasikan oleh
lembaga-lembaga formil dan informil, yang masing-masing merujuk kepada hukum
tertulis dan tidak tertulis.
Negara hukum adalah konsep yang selalu saja mengalami simplikasi makna menjadi
dalam negara berlaku hukum. Padahal filosofi negara hukum meliputi pengertian, ketika
negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk terhadap pengawasan hukum.
Artinya, ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan menjadi terkendali dan
selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis
atau tidak tertulis. Akan tetapi, jika pengawasan hukum atas kekuasaan negara tidak
memadai, pengertian substantif negara hukum akan terperosok ke dalam kubangan lumpur
negara yang kuasa. Jika kondisi demikian berlangsung terus, maka negara itu lebih tepat
disebut sebagai negara yang nihil hukum. Dalam negara seperti ini bila dipandang secara
kasat mata memang terdapat seperangkat aturan hukum. Tetapi hukum itu tidak lebih dari
sekedar perisai kekuasaan yang membuaat kekuasaan steril dari hukum dan melahirkan
negara yang semata-mata dikendalikan oleh kekuasaan.
Untuk memahami perkembangan konsep negara hukum, secara empiris dapat
dikatakan sebagai objek kajian yang tidak bisa terpisah dari perkembangan fungsi yudisial
dalam melaksanakan pengujian hukum secara formil dan konsep negara hukum yang
awalnya bersifat transedental menjadi lebih nyata atau konkret dirasakan oleh masyarakat
luas. Karena melalui sistem pengujian seperti ini diperkirakan hak-hak konstitusional
masyarakat yang dilanggar oleh produk hukum dapat dikembalikan pada hakikatnya
semula. Untuk itu negara membutuhkan suatu lembaga independen yang bertugas untuk
menguji hukum yang ada di dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
a. Apa saja putusan mahkamah konstitusi yang bertentangan dengan UUD 1945?

C. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa saja putusan Mahkamah Konstitusi yang bertentangan dengan
UUD 1945.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Putusan Mahkamah Konstitiusi Atas Suatu Pasal UU Yang Bertentangan Dengan


UUD 1945
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain
itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945
yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presidan dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi diberikan
kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, artinya dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi merupakan batu uji bagi undang-undang dibawah di bawah UUD
1945 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa secara hirarkis kedudukan UUD 1945
adalah lebih tinggi dari undang-undang oleh karna itu setiap ketentuan undang-undang
tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dalam hal suatu undang-undang diduga
bertentangan dengan UUD 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilu Legislatif dilaksanakan
secara terpisah, hal ini juga banyak medapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat,
karena pemilu terpisah tersebut dinilai tidak efisien. Selain biayannya yang cukup besar,
pelaksanaan pemilu tidak serentak telah menimbulkan kerugiaan hak konstitusonal warga
negara sebagai pemilih. Apabila pemilu serentak diterapkan maka akan dapat menghemat
uang negara sebesar 120 triliun.
Atas dasar itu, pakar komunikasi politik, Effendi Gazali mempersoalkan sejumlah
pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi. Effendi memohon pengujian
konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat(2), Pasal 14 ayat (2),
dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924), (selanjutnya disebut UU
42/2008).
Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut
hanya berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan
adalah uji materi atas Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat
mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential treshold).
Mahkamah Konstitusi menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk
Pemilu 2014 agar tidak muncul ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan putusan,
Mahkamah Konstitusi menilai tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki tahap akhir. Bila
seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi
adalah terganggunya Pemilu 2014. Meskipun lima dari enam gugatan uji materi
dikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009
dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya, harus tetap dinyatakan sah dan
konstitusional. Putusan ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting
opinion atau pendapat berbeda yang disampaikan Maria Farida Indrati.
Dari dinamika putusan Mahkamah Konstitusi yang di luar kebiasaan ini mengundang
berbagai pendapat para ahli hukum tata negara salah satunya ialah Yusril Ihza Mahendra
ia berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi soal Pemilihan Umum serentak
menyebabkan kevakuman hukum dalam pelaksanaan pemilu. Hal ini karena pengajuan
permohonan yang diajukan Effendi Ghazali dan kawan-kawan tidak meminta secara
langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Selain itu juga Yusril mengatakan putusan yang di hasilkan oleh
Mahkamah Konstitusi di dalam melakukan pengujian undangundang itu merupakan
putusan yang blunder dan menggantung. Pelaksanaan dan hasil pemilu 2014 potensial
ditafsrikan inkonstitusional dan terlegitimasi. Hal ini di karenakan putusan Mahkamah
Konstitusi memiliki kekuatan hukum yang mengikat seketika setelah putusan di bacakan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Secara prinsip, dalam memutus perkara pengujian undang-undang, Mahkamah
Konstitusi hanya dapat berperan sebagai negative legislator, Artinya, Mahkamah
Konstitusi hanya dapat menyatakan pasal, ayat, bagian atau seluruh norma undang-undang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan dinyatakan tidak lagi memiliki
kekuatan hukum mengikat. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 dan Pasal 54
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Namun dalam perkembangan, Mahkamah Konstitusi membuat beberapa putusan yang
tidak sekedar membatalkan norma, melainkan juga membuat putusan yang bersifat
mengatur (positive legislature). Dalam perpektif yuridis normatif, tindakan aktivisme
yudisial yang mengarah pada kedudukan positive legislature, tersebut tidak sesuai dengan
pasal di atas dan terkesan melampaui batas.
Sekalipun demikian, apabila ditelaah, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang
bersifat positive legislature justru menunjukkan dan menjadi bukti penegakan hukum
yang progresif. Meskipun, putusan yang demikian tersebut menimbulkan problematika
dan dinamika dalam implementasinya. Dalam penegakan hukum yang progresif, hukum
tidak hanya dilihat dari kacamata teks undang-undang saja, melainkan menghidupkan
kemaslahatan dalam kontekstualitas.

B. Sejarah Mahkamah Konstitusi


Sejarah judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat
melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs Madison”
tahun1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang
ditulis John Marshall dan didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa
pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Dalam perkara tersebut, ketentuan yang memberikan kewenangan Supreme Court
untuk mengeluarkan writ of mandamus pada Pasal 13 Judiciary Act dianggap melebihi
kewenangan yang diberikan konstitusi, sehingga Supreme Court menyatakan hal itu
bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme of the land.
Namun, di sisi lain juga dinyatakan bahwa William Marbury sesuai hukum berhak
atas surat-surat pengangkatannya. Keberanian John Marshall dalam kasus “Marbury vs
Madison” untuk berijtihad menjadi preseden baru dalam sejarah Amerika dan
pengaruhnya meluas dalam pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Sejak saat itu
telah banyak undangundang federal maupun undang-undang negara bagian yang
dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.
Sementara, keberadaan lembaga mahkamah konstitusi merupakan fenomena baru
dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak
mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang
membentuk mahkamah ini secara tersendiri. Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi
Supreme Court yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat.
Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi MK seperti judicial review dalam
rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil ataupun
dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung
(Supreme Court).
Akan tetapi, di beberapa negara lainnya, terutama di lingkungan negara-negara yang
mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan mahkamah
konstitusi itu dapat dinilai cukup populer. Negara-negara seperti ini dapat disebut sebagai
contoh, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Lithuania, Ceko, dan sebagainya
memandang perlu untuk membentuk mahkamah konstitiusi.
Di Indonesia sejarah berdirinya lembaga MK diawali dengan diadopsinya ide
mahkamah konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan
dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945, perubahan ketiga,
pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya perubahan ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu
Pembentukan mahkamah konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA)
menjalankan fungsi mahkamah konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945, perubahan keempat DPR dan Pemerintah kemudian
membuat Rancangan Undang-Undang mengenai mahkamah konstitusi. Setelah melalui
pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh
Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan
Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara
pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan mahkamah konstitiusi selanjutnya
adalah pelimpahan perkara dari mahkamah agung ke mahkamah konstitusi, pada tanggal
15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu
cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Meskipun mahkamah agung dan mahkamah konstitiusi sama-sama sebagai lembaga
peradilan (judicial), dalam menjalankan tugasnya terdapat beberapa perbedaan sifat dan
kewenangannya. Sebagaimana Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, perubahan ketiga, 2001
joncto UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung serta perubahannya,10 joncto
Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,11
menyebutkan: MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang
berada di dalam keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara.
Sementara, kewenangannya yaitu a) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan
yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah mahakamah agung , kecuali undang-undang menentukan lain; b) menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan, c)
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Artinya, mahakamah
agung hanya dapat mengadili pada tingkat kasasi (terakhir), sedangkan untuk mengadili
pada tingkat pertama dan banding berada pada badan peradilan dalam empat lingkungan
peradilan tersebut sesuai dengan kasus-kasus yang ditangani.
Sebagaimana diketahui eksistensi MK sebagai lembaga judicial yang baru, meskipun
sudah memberi dampak perubahan hukum yang signifikan bagi masyarakat. Namun,
masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui baik kewenangan, pelaksanaan maupun
implikasi putusannya. Misalnya, bagaimana eksekusi putusan MK dilaksanakan?
Bagaimana jika pemerintah, DPR/DPD, pemerintah daerah, DPRD atau masyarakat tidak
mematuhi putusan tersebut?
Pertanyaan ini muncul tidak lain karena konsekuensi sifat putusan MK. Sebagaimana
Pasal 57 ayat (1-3) UU No. 24 Tahun 2003 disebutkan:
a. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan
dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak putusan diucapkan.
Jika melihat putusan MK tersebut, maka dikategorikan masuk kedalam jenis putusan
declaratoir constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa
yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Hal ini bisa dilihat pada amar
putusan pengujian undang-undang yang menyatakan bahwa materi muatan, ayat, pasal
dan/atau bagian undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bersifat
constitutif artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum
dan/atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru.
Berbeda dengan sifat putusan condemnatoir, merupakan putusan yang bisa
dilaksanakan, yaitu putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum
untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, pascaputusan MK yang menyatakan suatu
undang-undang tidak berlaku mengikat karena kontradiksi dengan UUD, maka dengan
sendirinya putusan tersebut juga sekaligus menciptakan suatu keadaan hukum yang baru.
Namun, sebagai syarat untuk diketahui oleh umum, sebagaimana Pasal 57 ayat (3) UU
No.24 Tahun 2003 disebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Kalau pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi putusan tersebut dan
justru masih tetap memperlakukan UU yang telah dinyatakan MK tidak mempunyai
kekuatan mengikat, hal itu merupakan suatu tindakan yang pengawasannya ada dalam
mekanisme hukum dan tatanegara itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan atas dasar UU
yang sudah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah
merupakan perbuatan melawan hukum. Jika konsekuensi hukum yang terjadi berupa
kerugian finansial, aparat negara atau lembaga negara tersebut akan menanggung akibat
hukum yang bersifat pribadi (personal liability).
Putusan MK sejak diucapkan diucapkan di hadapan siding terbuka untuk umum, dapat
mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu 1) kekuatan mengikat, 2) kekuatan pembuktian, dan 3)
kekuatan eksekutorial. Jenis kekuatan putusan yang demikian dikenal dalam teori hukum
acara perdata pada umumnya dan hal ini dapat diterapkan dalam hukum acara MK.
Kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak
hanya meliputi pihak-pihak berpekara yaitu Pemohon, Pemerintah, DPR/DPD ataupun
pihak terkait yang diizinkan memasuki perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat bagi
semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Ia
berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim
MK dikatakan sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang
ditujukan kepada semua orang.
Berbeda dengan putusan MA bersifat inter partes yang hanya mengikat para pihak
bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum, diperkenankan melakukan upaya
hukum seperti banding, kasasi dan lainnya. Putusan MK meniadakan satu keadaan hukum
atau menciptakan hak atau kewenangan tertentu akan membawa akibat tertentu yang
mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan. Jika menyangkut
pengujian undang-undang (judicial review), sebagaimana diatur dalam Pasal 58 berbunyi:
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan
yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Artinya, putusan MK yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan
UUD dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, tidak boleh berlaku surut. Akibat
(implikasi) hukum yang timbul dari putusan itu, dihitung sejak putusan tersebut diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karenanya, akibat hukum yang timbul dari
berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang
menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan
mengikat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh penulis antara lain :

1. Adapun pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pembatalan terhadap Pasal


3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2), serta Pasal 112 UndangUndang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yaitu
adalah kaitan antara system pemilihan umum dan sistem pemerintahan presidensial,
original intent dari pembentuk UUD 1945, serta efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara
cerdas.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 telah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,
meskipun dalam sifat putusannya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang
bersifat positive legislature akan tetapi Mahkamah Konstitusi telah berhasil
menerapkan hukum progresif yang mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai
perspektif dalam rangka untuk mewujudkan sebuah keadilan substantif.
B. Saran
1. Diharapkan kepada pemerintah untuk menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan merevisi undang-undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan memasukkan substansi putusan
Mahkamah Konstitusi di dalamnya.
2. Diharapkan kepada KPU untuk membuat peraturan KPU yang sejalan dengan
maklumat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latif, etc (2009). Buka Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Total Media,
Yogjakarta.

Amrizal J. Prang, Menafsir UUPA dan Putusan MK, Serambi Indonesia, 15 Maret 2011.

Denny Indrayana dan Zainal Arifin Muchtar, Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial
Review Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara, Mimbar Hukum, Vol. 19,
No. 3, Oktober 2007.

I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a (2008), Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, PT. Alumni Bandung.

Jimly Assiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,


bahan ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

Janedjri M. Gaffar (2009), Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Maruar Siahaan (2005), Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi
Press, Jakarta.

Mariyadi faqih, Nilai-nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat,
Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Vol. 7 Nomor 3, Juni 2010.

Mahfud, MD, Calon Independen di Aceh Bukan Lagi Urusan MK, Serambi Indonesia, 30
Maret 2011

Anda mungkin juga menyukai