Anda di halaman 1dari 17

PERADILAN PUTN

Disusun Oleh:

T.Permata Sari(2032021006)

Yunita Alviana(2032021016)

An Nur Shadiqin(2032021019)

Sharifah Aqilah Lubis(2032021020)

PRODI: Hukum Tata Negara

Dosen Pembimbing:

Nanda Herijal Putra, S.IP.,M.A.P

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmad dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah. Sholawat dan
salam penulis haturkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW.
Semoga kita mendapat syafaat-Nya di yaumil akhir kelak. Aamiin.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Nanda Herijal Putra,


S.IP.,M.A.P selaku pembimbing mata kuliah Hukum Administrasi Negara. Karya
ilmiah ini berjudul, “Peradilan PUTN”. Karya ilmiah ini membahas mengenai
Bahasa dan Hukum. Tujuan penulisan untuk melengkapi tugas mata kuliah
Bahasa Indonesia.

Penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan pada karya ilmiah ini.
Oleh karna itu penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran.
Kritik dan saran tersebut akan menjadi bahan evaluasi penulis kedepannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Langsa, 10 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Makalah....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. Karakteristik dan Prinsip PUTN...........................................................
B. Organisasi Administrative....................................................................
C. Upaya Administrative...........................................................................
D. Kompetensi absolut PUTN...................................................................
E. Keputusan Tata Usaha Negara..............................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Karakteristik utama yang membedakan hukum acara peradilan tata usaha


negara dengan hukum acara perdata adalah bahwa hukum acaranya bersama-sama
diatur dalam hukum materialnya, yaitu dalam UU no. 5 tahun 1986 jo UU no. 9
tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009.Dalam proses peradilan tata usaha negara
selalu tersangkut baik kepentingan umum maupun kepentingan perorangan.
Dalam proses TUN yang selalu menjadi pokok permasalahan adalah mengenai
sah tidaknya penggunaan wewenang pemerintahan badan atau pejabat TUN
menurut hukum publik. Sedangkan motor penggerak agar proses peradilan ini
mulai bekerja adalah kepentingan perorangan yang marasa dirugikan karena
terbitnya suatu keputusan TUN yang berupa suatu penetapan tertulis tersebut.
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota Kabupaten/Kota,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Sedangkan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibu kota Provinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Namun demikan sampai dengan saat
Pengadilan TUN belum terbentuk di tiap ibu kota Kabupaten/Kota, dan
Pengadilan Tinggi TUN juga belum terbentuk di tiap Ibu Kota Provinsi.
Bahwa Pengadilan TUN tingkat pertama maupun tingkat banding
mengadili Sengketa TUN. Menurut Pasal 1 angka 10 UU Peradilan TUN,
Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN baik di tingkat pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian pengertian hukum acara peradilan TUN adalah hukum
yang mengatur tentang cara menyelesaikan Sengketa TUN antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN akibat dikeluarkannya
keputusan TUN termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang
- undangan yang berlaku. Hukum Acara Peradilan TUN termuat dalam UU
Peradilan TUN, karena UU Peradilan TUN selain memuat aturan hukum tentang
lembaga Peradilan TUN juga memuat tentang hukum acara yang berlaku dalam
Peradilan TUN.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana Karakteristik dan Prinsip PUTN ?

2. Bagaimana Organisasi Administrative ?

3. Bagaimana Upaya Administrative ?

4. Bagaimana Kompetensi absolut PUTN ?

5. Apa saja Keputusan Tata Usaha Negara ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik dan Prinsip PUTN


Tujuan pemebentukan PTUN seperti terdapat dalam pertimbangan UU
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, juga tercermin dalam Keterangan
Pemerintah di Hadapan Sidang Paripurna DPR RI mengenai RUU PTUN tanggal
25 April 1986 yang menyebutkan tujuan pembentukan PTUN adalah ; Petama;
Memberikan perlindungan hak- hak rakyat yang bersumber pada hak – hak
individu ; Kedua, Memberikan perlindungan terhadap hak – hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam
masyarakat tersebut.
Dalam hubungan dengan asas hukum peradilan tata usaha negara itu
Indroharto (1993:43 ), Untuk melakukan kontrol terhadap tindakan hukum
pemerintah dalam bidang hukum publik harus memperhatikan ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Sifat atau karakteristik dari suatu keputusan TUN yang selalu mengandung
asas praesumptio iustae causa , yaitu suatu Keputusan Tata Usaha Negara (
Beschikking ) harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan
sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera
dilaksanakan.
2. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau public yang menonjol
disamping perlindungan terhadap individu.
3. Asas self respect atau self obidence dari aparatur pemerintah terhadap
putusanputusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya
pemaksa yang langsung melalui juru sita seperti halnya dalam prosedur
hukum perdata.
Penggabungan antara hukum materiil dan hukum formil ini merupakan
karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan Tata Usaha Negara dengan
peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang hukum acara di
Peradilan Tata Usaha Negara ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang
merupakan ciri atau karakteristik hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara
sebagai pembeda dengan peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum
(Perdata), sebagai berikut:
a. Adanya tenggang waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
b. Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam Perhitungan gugatan
penggugat (Pasal 53).
c. Adanya proses dismisal (rapat permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).
d. Dilakukannya pemeriksaan persiapan sebelum diperiksa di persidangan
yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
e. Peranan hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran
materiil (Pasal 63,80,85,95, dan 103).
f. Kedudukan yang tidak seimbang antara penggugat dan tergugat, oleh
karenanya “kompensasi” perlu diberikan karena kedudukan penggugat
diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan tergugat
selaku pemegang kekuasaan publik.
g. Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas
(Pasal 107).
h. Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat (Pasal 67).
i. Putusan hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa
yang dituntut dalam gugatan penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya
reformatio in peius (membawa penggugat pada keadaan yang lebih buruk)
sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
j. Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut
tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku
juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait
k. Berlakunya asas audit alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam
sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Selain karakteristik tersebut, perlu ditegaskan bahwa Peratun pada
dasarnya menegakkan hukum publik, yakni Hukum Administrasi sebagaimana
ditegakkan dalam UU Peratun Pasal 47, bahwa sengketa termasuk lingkup
kewenangan Peratun adalah sengketa Tata Usaha Negara. Hal ini ditegaskan lagi
dalam rumusan tentang KTUN (Pasal 1 angka 9) yang mensyaratkan juga
tindakan Hukum Tata Usaha untuk adanya KTUN.1

B. Sejarah Organisasi PUTN


Cita-cita terbentuknya Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945, hal ini dapat diketahui
dari ketentuan pasal 24 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh suatu Mahkama Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut Undang-Undang. Susunan dan badan kehakiman diatur dengan
Undang-Undang.2
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan yang terakhir
dibentuk,yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “menimbang”
undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata
kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentran serta tertip
yang menjamin kehidupan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin
terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antara
aparatur dibidang Tata Usaha Negara dan para warga masyarakat. Dengan
demikian, lahirnya PERATUN yang menjadi bukti bahwa Indonesia
adalah Negara hukum, yang menjunjung tinggi nilainilai keadilan.
Kepastian hukum hak asasi manusia (HAM).3
Sebagai Negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem
ketatatnegaraan dengan memiliki lembaga Eksekutif, Legislatif dan
Yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan

1
Ravi Bramasta Putra,Karekteristik Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara,
(Padang:Universitas Eka Sakti,2020), hlm. 03
2
Ali Abdullah M, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Pasca-Amandemen, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), h. 1
3
Titik Triuwulan T. dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum
Acara Tata Usaha Negara Indonesia, (Surabaya : Kencana, 2010), h. 566
wewenang yang paling bersar apabila dibandingkan dengan lembaga
lainnya, oleh karenaperlu ada control terhadap pemerintah untuk adanya
chack and Balances. Salahsatu bentuk control yudisial atas tindakan
administrasi pemerintah adalahmelalui lembaga peradilan. Dalam konteks
inilah maka Peradilan Tata UsahaNegara (PERATUN) dibentuk dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986,yang kemudian dengan adanya
tuntutan reformasi di bidang hukum, telahdisahkan UU No. 9 tahun 2004
tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.4

C. Upaya Administrative
Menurut Penjelasan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, upaya
administratif adalah merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan
perundang-undangan untuk 8 menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara
yang dilaksanakan dilingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh badan peradilan
yang bebas), yang terdiri dari :prosedur keberatan dan prosedur banding
administrative.
Berdasarkan rumusan penjelasan pasal 48 tersebut maka upaya
administratif merupakan sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat
(orang perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata Usaha
Negara (Beschikking) yang merugikannya melalui Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara dilingkungan pemerintah itu sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan.
1. Bentuk Upaya Administrasi
Berdasarkan penjelasan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bentuk
upaya administrasi ada 2 (dua) yaitu :
a. Banding administrasi;
b. Keberatan

4
Ibid
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan :
IV.1. Yang dimaksud Upaya Adiministratif adalah :
1) Pengajuan surat keberatan (Bezwaarscriff Beroep) yang diajukan kepada
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan
(Penetapan/ Beschikking) semula;
2) Pengajuan banding administratif (administratif Beroep) yang ditujukan
kepada atasan Pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang memeriksa ulang
keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
IV.2.
1) Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya
administratif berupa peninjauan surat keberatan, maka gugatan terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada
pengadilan Tata Usaha Negara;
2) Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya adiministratif
berupa surat keberatan dan atau mewajibkan surat banding administratif,
maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus
dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang
berwenang.
Ketentuan tersebut sesuai pula dengan ketentuan yang diatur dalam pasal
48 ayat (2) yang menyatakan “pengadilan baru berwenang memeriksa,
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana 12 dimaksud dalam ayat
(1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan “ jo
ketentuan pasal 51 ayat (3) ditentukan bahwa dalam hal suatu sengketa
dimungkinkan adanya administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara apabila keputusannya merupakan
keputusan banding administratif.
Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid)
maupun aspek Opportunitas (Doelmatigheid), para pihak tidak dihadapkan pada
hasil keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti halnya di lembaga
peradilan, tapi denganpendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapat
terjadi pada tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha
Negara yang menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya
secara langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal
yang seharusnya ditempuh.5

D. Kompetensi Absolut PUTN


Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu
perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut.
Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili
suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut
adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,
materi atau pokok sengketa.
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha
Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok
sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah
Keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5
Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul
dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan
Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1
angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).

5
Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan Tata
Usaha Negara, (Jakarta:PT. Pramedya Pustaka, 1999)hlml.8.
Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara
sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang termuat dalam ketentuan
Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 yaitu Pasal 2, Pasal 48,
Pasal 49 dan Pasal 142. Pembatasan ini dapat dibedakan menjadi : Pembatasan
langsung, pembatasasn tidak langsung dan pembatasan langsung bersifat
sementara.
1. Pembatasan Langsung
Pembatasan langsung adalah pembatasan yang tidak memungkinkan sama
sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. Pembatasan
langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan Pasal 49 UU No. 5
Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004
menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata usaha negara menurut UU ini :
a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum.
c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab
UndangUndang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana.
e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha
negara yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau
keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2. Pembatasan Tidak Langsung


Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan atas kompetensi absolut
yang masih membuka kemungkinan bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus
sengketa administrasi, dengan ketentuan bahwa seluruh upaya administratif yang
tersedia untuk itu telah ditempuh.
Pembatasan tidak langsung ini terdapat di dalam Pasal 48 UU No. 9 Tahun
2004 yang menyebutkan:
a. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tersebut
harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
b. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah digunakan.
c. Pembatasan langsung bersifat sementara
Pembatasan ini bersifat langsung yang tidak ada kemungkinan sama sekali
bagi PTUN untuk mengadilinya, namun sifatnya sementara dan satu kali
(einmalig). Terdapat dalam Bab VI Ketentuan Peralihan Pasal 142 ayat (1) UU
No. 5 Tahun 1986 yang secara langsung mengatur masalah ini menentukan
bahwa, “ Sengketa tata usaha negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan
menurut UU ini belum diputus oleh Pengadilan menurut UU ini belum diputus
oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”.

E. Keputusan Tata Usaha Negara


Konsepsi tentang Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)[6] dalam UU
PERATUN berbunyi, keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarakan oleh Badan atau Pejabat yang berisi tindakan hukum TUN yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Selanjutnya dalam UU AP, konsepsi KTUN ini diatur lebih detail dan
menyeluruh, sehingga menimbulkan konstruksi baru tentang elemen-elemen yang
terkandung dalam KTUN yang akan menjadi obyek gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Pasal 1 butir 7 berbunyi Keputusan administrasi
pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan
Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Keputusan Badan atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya dalam UU AP memperluas sumber
terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN.  Selama ini
berdasarkan Pasal 2 huruf e UU PTUN, hanya terdapat satu sumber KTUN yang
dikecualikan yakni KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada
perkembangannya, tata usaha TNI saat ini sepenuhnya berada di lingkungan
eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Kementerian Pertahanan maupun
Markas Besar TNI di bawah komando Panglima TNI. Terlebih lagi belum adanya
wadah untuk mengakomodir sengketa tata usaha militer. Pengadilan Tata Usaha
Militer sampai saat ini belum berfungsi sebagaimana mestinya. Ruang lingkup
KTUN yang mencakup lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif, sementara TNI
murni dibawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyeleggaraan
pemerintahan di bidang pertahanan, maka setiap KTUN yang terbit dalam
pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat
disengketakan di PTUN. Hal ini membuka tirai eksklusivistas dalam TNI yang
sejatinya dalam negara demokrasi, tidak semestinya terdapat unsur-unsur yang
tidak dapat tersentuh oleh hukum.

Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU PTUN, makna menimbulkan akibat


hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa,
Hakim PTUN dalam mengonstruksi kerugian hukum berdasarkan adanya fakta
kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan
kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila
KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau
badan hukum perdata. Namun dengan adanya klausul “berpotensi menimbulkan
akibat hukum” menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing
orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di PTUN yang
kerugiannya belum nyata sekalipun telah dapat digugat di PTUN.6

6
Ptun-samarinda.go.id, diakses 25 Desember 2014
BAB III

PENUTUP

C. KESIMPULAN

Penggabungan antara hukum materiil dan hukum formil ini merupakan


karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan Tata Usaha Negara dengan
peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang hukum acara
di Peradilan Tata Usaha Negara ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang
merupakan ciri atau karakteristik hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara
sebagai pembeda dengan peradilan lainnya,
Berdasarkan rumusan penjelasan pasal 48 tersebut maka upaya
administratif merupakan sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat
(orang perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata Usaha
Negara (Beschikking) yang merugikannya melalui Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara dilingkungan pemerintah itu sendiri sebelum diajukan ke badan
peradilan.
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha
Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok
sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa.
Keputusan TUN bersifat konkret, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Selanjutnya dalam UU AP, konsepsi
KTUN ini diatur lebih detail dan menyeluruh, sehingga menimbulkan konstruksi
baru tentang elemen-elemen yang terkandung dalam KTUN yang akan menjadi
obyek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Saran
Demikian makalah kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, dan dapat memberikan pengetahuan, jika pembaca ada menyadari
kekurangan dari makalah kami maka dari itu kritik serta saran kami perlukan
dari pembaca, terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Acara Tata Usaha Negara Indonesia, Surabaya : Kencana, 2010, Hukum Negara,
Jakarta:PT. Pramedya Pustaka, 1999.
Ali Abdullah M, Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasca-Amandemen, Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
Ptun-samarinda.go.id, diakses 25 Desember 2014.
Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktek Beracara di Peradilan
Tata Usa Ravi Bramasta Putra,Karekteristik Beracara di Pengadilan Tata
Usaha Negara, Padang:Universitas Eka Sakti,2020.
Titik Triuwulan T. dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan
Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia, (Surabaya : Kencana,
2010),

Anda mungkin juga menyukai