Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PENUNDAAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN TUN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


HTUN dan HATUN

Dosen Pengampu:

Moh.Ali, S.HI, M.H

Disusun Oleh:

Wanda Nabilah Brillianty (C02218043)

Ibra Novika Agusti (C72218067)

Ivana Yeni Trisnawati (C72218072)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan Rahmat dan Ridho-Nya
penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Penundaan Pelaksanaan Keputusan
TUN” sebagai tugas Mata Kuliah HTUN dan HATUN Semester lima. Shalawat dan salam
penulis kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi yang telah memperjuangkan
agama Islam. Bersama dengan ini, penulis ingin berterimakasih kepada Bapak Moh.Ali, S.HI,
M.H selaku dosen mata kuliah HTUN dan HATUN . Semoga makalah ini dapat menambah
wawasan kita semua dan dapat memenuhi kriteria tugas yang bapak berikan serta dapat
menjadi nilai tambah untuk penulis. Tak ada yang sempurna, begitu pula dengan penulisan
makalah ini. Oleh sebab itu penulis menerima kritik positif dari pembaca sebagai perbaikan
bagi penulis dimasa yang akan datang. Ucapan terima kasih kepada para pembaca dan penulis
berharap semoga makalah ini bermamfaat bagi para pembaca.

Surabaya, 5 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1

BAB 2. PEMBAHASAN
A. Keputusan Tata Usaha Negara yang Dapat Dimohonkan Penundaanya .. 2
B. Pihak yang Dapat Mengajukan Penundaan ............................................... 5
C. Pengajuan Permohonan Penundaan .......................................................... 6
D. Dasar Pertimbangan Pemberian Penundaan.............................................. 7
E. Putusan Terhadap Permohonan Penundaan ............................................ 10

BAB 3. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut ketentuan Undang-undang No. 5 tahun 1986, tindakan hukum yang
dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu keputusan
(beschikking), harus merupakan tindakan hukum dalam lapangan hukum tata usaha
negara (hukum publik). Tindakan hukum yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha
negara yang dituangkan dalam suatu keputusan tata usaha negara (beschikking) dapat
diuji keabsahannya melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).
Salah satu kewenangan PTUN adalah kewenangan untuk mengeluarkan suatu
putusan (penetapan) sementara atau putusan sela atas keputusan pemerintah atau
keputusan TUN yang sedang disengketakan. Begitu gugatan masuk dan didaftarkan di
Kepaniteraan PTUN, pada saat itu juga PTUN dapat menghentikan keputusan pemerintah
tersebut untuk tidak dilaksanakan, selama pemeriksaan proses perkara berlangsung.
Putusan yang demikian disebut putusan penundaan, yang diatur di dalam Pasal 67
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Undang-undang memberikan peluang kepada
penggugat untuk mengajukan permohonan kepada hakim, agar selama proses
pemeriksaan berlangsung dapat dilakukan penundaan (schorsing) terhadap KTUN yang
disengketakan. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini mengenai
penundaan pelaksanaa putusan TUN.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dimohonkan penundaanya?
2. Siapa saja pihak yang dapat mengajukan penundaan?
3. Bagaimana pengajuan permohonan penundaan?
4. Apa dasar pertimbangan pemberian penundaan?
5. Apa putusan terhadap permohonan penundaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dimohonkan
penundaanya.
2. Untuk mengetahui pihak yang dapat mengajukan penundaan.
3. Untuk mengetahui pengajuan permohonan penundaan.

1
4. Untuk mengetahui dasar pertimbangan pemberian penundaan.
5. Untuk mengetahui putusan terhadap permohonan penundaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keputusan Tata Usaha Negara yang Dapat Dimohonkan Penundaanya


Salah satu asas dari Hukum Tata Negara yang menandasi hukum Acara Tata
Usaha Negara menurut Philipus M. Hadjon adalah asas praduga rechtmatig, artinya
bahwa setiap tindakan penguasa harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap keputusan Tata Usaha Negara selalu
dianggap sah sampai ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
yang menerangkan bahwa keputusan Tata Usaha Negara itu dinyatakan batal atau tidak
sah.
Pasal 67 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara kemudian mempertegas asas Praduga Rechmatiq/Praesumptio Iustae
Causa, bahwa selama belum diputus oleh pengadilan, keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara, harus dianggap sah menurut
hukum. Asas tersebut juga sebagai perlindungan bagi Pejabat Tata Usaha Negara dalam
mengeluarkan kebijakan agar tidak ada hambatan dalam pelaksanaan tugas, sehingga
kelancaran tugas tidak terganggu.1
Sebagai akibat dari adanya asas praduga rechtmatig, maka stiap keputusan Tata
Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara secara
langsung dapat dilaksanakan, meskipun menurut pendapat orang atau badan hukum
perdata yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya putusan Tata Usaha Negara
tersebut, pada keputusan Tata Usaha Negara terdapat cacat yuridis.
Namun undang-undang memberikan peluang kepada penggugat untuk
mengajukan permohonan kepada hakim, agar selama proses pemeriksaan berlangsung
dapat dilakukan penundaan (schorsing) terhadap KTUN yang disengketakan.2 Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang berbunyi:

1
Miftah Sa’ad Caniago, “Penundaan Pelaksanaan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (Schorsing) yang
Berpotensi Merusak Lingkungan” Jurnal Media Syari’ah, Vol. 21, No. 2, 2019, hal. 165
2
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1997), hal. 241

3
1. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang digugat.
2. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan,
sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam
gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
4. Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2):
a. Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b. Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan
mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Tafsir gramatikal terhadap korelasi pasal 67 ayat (1) dan (2) menimbulkan kesan
seolah-olah terdapat kontradiksi antara kedua ayat (1) dan (2). Jika pasal 67 ayat (1)
melarang penundaan pelaksanaan KTUN, ternyata pasal 67 ayat (2) justru membuka
peluang untuk dilakukannya penundaan pelaksanaan KTUN. Namun, dengan
menggunakan tafsir sistematik dapat dianalisis bahwa hubungan antara kedua ayat dari
pasal tersebut merupakan hubungan antara prisip umum (general principle, algemene
beginsel) dengan prinsip khusus (special principle, bijzondere beginsel). Dalam keadaan
khusus sebagaimana diatur dalam pasal 67 ayat (4), dapat diterapkan prinsip khusus yang
terdapat dalam pasal 67 ayat (2) yang mengecualikan prinsip umumnya (pasal 67 ayat 1)
yang mengandung prinsip praduga keabsahan, dalam rangka memberikan perlindungan
terhadap kepentingan penggugat.3
Contoh dari keadaan yang sangat mendesak yang disebutkan dalam Pasal 67 ayat
(2) dan ayat (4) huruf a Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu jika ada
seorang yang memiliki bangunan yang didirikan tidak memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dari Bupati/Walikota setempat, sehingga Bupati/Walikota
memerintahkan bangunan tersebut untuk dirobohkan melalui surat perintah bongkar,
maka orang tersebut bisa menggugat Bupati/Walikota tersebut untuk menguji surat
perintah bongkar tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dari segi

3
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya,
2005), hal. 77

4
Kewenagan, Prosedur maupun Substansi penerbitannya, sehingga untuk menghindari
dibongkarnya milik orang tersebut, maka Pengadilan dapat menunda pelaksanaan
pembongkaran tersebut sampai adanya Putusan Pengadilan.4
Pasal 67 ayat 2, dengan demikian memberi hak kepada penggugat untuk “dalam
keadaan tertentu” (pasal 67 ayat 4 sub a) diperkenankan menyimpang asas praduga
rechtmatig yang terdapat pada pasal 67 ayat 1. Kriteria penundaan pelaksanaan KTUN di
dalam undang-undang hanya disebutkan harus terdapat keadaan yang sangat mendesak
yang mengakibatkan kepentingan penggugat merasa dirugikan jika KTUN yang digugat
itu tetap dilaksanakan (pasal 67 ayat 4 sub a). Pengertian istilah “keadaan yang sangat
mendesak” di dalam pasal 67 tersebut dijelaskan yaitu jika kerugian yang akan diderita
penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding manfaat bagi kepentingan yang akan
dilindungi oleh pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Oleh karena itu,
untuk menilai adanya “keadaan yang sangat mendesak” harus dilihat secara kasuistis
berdasarkan fakta konkrit yang terjadi dan kemungkinan kerugian yang akan timbul harus
dinilai secara obyektif.5
Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan dapat dikabulkan apabila terdapat
suatu keadaan mendesak yang apabila keputusan tersebut dilaksanakan akan
mengakibatkan suatu kerugian yang tidak dapat dikembalikan seperti keadaan semula
contohnya: perintah pembongkaran suatu bangunan sedangkan tidak dapat dikabulkan
apabila kepentingan umum mengharuskan dilaksanakan keputusan tersebut. Dalam hal ini
terdapat dua kepentingan yang saling berhadapan yaitu kepentingan pribadi yang
mendesak dan kepentingan umum dalam rangka pembangunan, mana yang terberat
diantara kedua kepentingan tadi itulah yang menentukan apakah permohonan akan
dikabulkan atau tidak.6 Tidak ada ketentuan yang memuat rinci akan istilah kepentingan
pribadi yang mendesak dan kepentingan umum dalam rangka pembangunan. Semua
sangat tergantung pada hakim yang akan mempertimbangkannya.
B. Pihak yang Dapat Mengajukan Penundaan
Ketentuan Undang-Undang hanya memberikan kesempatan kepada penggugat
saja untuk mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang

4
Miftah Sa’ad Caniago, “Penundaan Pelaksanaan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (Schorsing) yang
Berpotensi Merusak Lingkungan” Jurnal Media Syari’ah, Vol. 21, No. 2, 2019, hal. 166
5
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya,
2005), hal. 78-79
6
Lintong O. Siahaan, Wewenang PTUN Menunda Berlakunya Keputusan Pemerintah, (Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI, 2006), hal. 13

5
digugat. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan,
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanannya.7
Penundaan harus diajukan oleh Penggugat, bukan atas prakarsa Hakim.8 Sedangkan bagi
pihak ketiga tidak terbuka kesempatan untuk mengajukan permohonan penundaan
tersebut, kecuali kalau pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai intervenient.
Intervenient adalah pihak ketiga yang tadinya berdiri di luar acara sengketa ini, kemudian
diizinkan masuk ke dalam acara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya
sendiri9, dimana ia bertindak sebagai Penggugat.
C. Pengajuan Permohonan Penundaan
Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menjelaskan bahwa
“Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam
gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya”. Dengan adanya kata
“dapat” dalam Pasal 67 ayat (3), maka dapat ditafsirkan bahwa permohonan penundaan
pelaksanaan putusan itu dapat diajukan secara:10
1. Di dalam atau bersama-sama surat gugat. Apabila diajukan bersama-sama dalam
surat gugatan, maka yang akan memutuskan tentang permohonan itu adalah Ketua
Pengadilan TUN dalam suatu penetapan yang diambilnya dalam rapat
permusyawaratan. Karena diajukan bersama-sama dengan surat gugatan, apabila
gugatannya penggugat harus dianggap dismissed, maka sekaligus putusan dismissal
itu mengandung pula penolakan terhadap permohonan penundaan yang diaju-kan.
2. Selama sengketa itu diperiksa, baik dengan acara biasa maupun acara cepat.
Permohonan penundaan dapat diajukan selama proses pemeriksaan sengketa berjalan,
baik pemeriksaannya itu dilakukan dengan acara biasa maupun dengan acara cepat.
Melalui cara yang ke dua ini, berarti terbuka kemungkinan untuk mengajukan
permohonan penundaan dalam surat yang terpisah dengan surat gugatan.

7
Badriyah Khaleed, Mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2016), hal.
37
8
Eri Yulikhsan, Keputusan Diskresi dalam Dinamika Pemerintahan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), hal. 86
9
M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi Norma-Norma Baru dalam Hukum Kasus, (Jakarta:
Kencana, 2015), hal. 260.
10
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), hal. 209-211

6
Agar permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN dapat efektif, maka
metode penyusunan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN itu perlu
memperhatikan hal-hal berikut:11
1. Memuat motivasi-motivasi dan dalil-dalil penggugat yang substansinya
menggambarkan bahwa:
a. Keputusan yang digugat tersebut nyata-nyata dapat menimbulkan kerugian bagi
penggugat sehingga tidak dapat dipertahankan keberlakuannya.
b. Keputusan yang digugat bersifat melawan hukum, karena memenuhi rumusan
ketentuan Pasal 53 ayat (2).
c. Urgensi dilakukannya penundaan pelaksanaan keputusan TUN.
2. Pengajuan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN dilakukan jauh
sebelum rencana pelaksanaan putusan.
3. Petitum pokok dari gugatannya sebaiknya berbunyi:
a. Memerintah kepada tergugat untuk menunda pelaksanaan keputusan TUN yang
disengketakan itu selama sengketa tersebut sedang berjalan sampai ada putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
b. Menyatakan keputusan yang disengketakan tersebut melawan hukum dan batal
karenanya.
c. Memerintah kepada tergugat untuk menerbitkan keputusan baru yang seadil-
adilnya.
d. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara (dan seterusnya).
D. Dasar Pertimbangan Pemberian Penundaan
Menurut SF Marbun, apakah kemungkinan penundaan dapat dilakukan atau tidak
sepenuhnya diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan hakim, dengan tetap
berpedoman pada hukum dan mempertimbangkan segala aspeknya. Hakim harus
mempertimbangkan apakah manfaat yang akan dilindungi dengan dilaksanakannya
keputusan TUN itu, seimbang bila dibandingkan dengan kerugian yang akan diderita oleh
penggugat bilamana keputusan TUN itu segera dilaksanakan? Kecuali itu apakah ada
sangkut paut pelaksanaan keputusan TUN itu dengan kepentingan umum dalam rangka
pembangunan?12

11
W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya,
2005), hal. 78
12
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1997), hal. 241-242.

7
Ukuran yang dipakai pada waktu mengadakan penilaian untuk mengabulkan atau
menolak suatu permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang diajukan oleh
penggugat kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim yang bersangkutan sebenarnya
masih sangat bersifat umum, karena undang-undang tidak memberikan ukuran-ukuran
yang terperinci. Undang-undang hanya memberikan batasan-batasan, misalnya saja,
ukuran untuk menolak suatu per-mohonan penundaan seperti yang disebutkan dalam
Pasal 67 ayat (4) sub b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menjelaskan bahwa
permohonan penundaan pelaksanaan tidak dapat dikabulkan apabila adanya kepentingan
umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan yang
disengketakan.13
Menurut Indroharto, karena penilaian yang dilakukan Ketua Pengadilan atau
Majelis Hakim yang bersangkutan dalam kaitannya dengan masalah penundaan
pelaksanaan keputusan TUN bukan mengenai penilaian terhadap gugatan po-koknya
(pokok perkaranya), maka dasar-dasar penilaian atau ukuran yang diatur dalam Pasal 53
ayat (2) tidak dapat diberlakukan dalam menentukan penilaian permohonan penundaan
pelaksanaan keputusan TUN ini.14

Untuk dapat mengabulkan suatu pemohonan penundaan pelaksanaan KTUN


hakim akan berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam pasal 67 ayat 4 yang
menentukan bahwa permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
a menentukan bahwa: “Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat
mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang
digugat itu tetap dilaksanakan. Pada waktu mengadakan penilaian untuk mengabulkan
permohonan penundaan yang bersangkuta, Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim yang
bersangkutan sebenarnya memerlukan adanya suatu ukuran yang dapat digunakannya
sebagai dasar penetapannya.
Ukuran atau faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengabulkan
permohonan penundaan pelaksanaan KTUN yang di gugat itu antara lain adalah harus
dilakukan pertimbangan-pertimbangan mengenai kepentingan-kepentingan yang
tersangkut; sempurna tidaknya permohonan yang bersangkutan; sikap penggugat dalam
menentukan fakta-fakta; kepentingan penggugat yang sangat mendesak; dan penilaian

13
Endra Wijaya, Erlin Kristine, “Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara” Jurnal JUDICIAL,
Volume III, Nomor 1, September 2007, hal. 30
14
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), hal. 211

8
sementara mengenai pokok perkara.15 Perlu diingat bahwa Undang-Undang kita tidak
membuka kemungkinan untuk dikabulkannya permohonan dalam bentuk tindakan
sementara maupun uang paksa di samping penundaan pelaksnaan dari keputusan yang
digugat. Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan ketentuan
pasal 109 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Penetapan penundaan semacam itu
menunda dengan seketika bekerjanya KTUN yang ditunda pelaksanaanya.
Ukuran atau faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk mengabulkan atau
menolak permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN adalah:
1. Harus dilakukan pertimbangan-pertimbangan mengenai kepentingan-kepentingan
yang tersangkut. Pertimbangan itu meli-puti pertimbangan terhadap:16
a. Kepentingan umum;
b. Kepentingan penggugat;
c. Kepentingan pihak ke tiga yang berkaitan;
d. Perbandingan bobot kepentingan penggugat dan kepentingan umum untuk mana
keputusan itu dikeluarkan;
e. Urgensi sebagai akibat ke-mungkinan timbulnya kerugian.
2. Sempurna atau tidaknya permohonan yang bersangkutan. Hal ini berkaitan dengan
kejelasan gugatan dan kelengkapan alasan permohonan.
3. Sikap penggugat dalam menentukan fakta-fakta. Dalam hal ini, permohonan harus
mencerminkan kesungguhan dan keseriusan penggugat dalam membantu pengadilan
dalam menemukan fakta-fakta sehubungan dengan sengketa yang timbul.
4. Kepentingan penggugat yang mendesak. Penundaan pelaksanaan keputusan TUN
yang digugat itu hanya dapat dikabulkan jika memang ternyata terbukti adanya
keadaan yang sangat mendesak bagi penggugat. Keadaan mendesak itu dapat terjadi
apabila ada perubahan-perubahan, baik faktual maupun secara ekonomi, yang sulit
atau tidak mungkin dikembalikan lagi ke keadaan semula pada diri penggugat apabila
keputusan TUN tadi tetap dilaksanakan.
5. Penilaian sementara mengenai pokok perkara.

15
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal.
26
16
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), hal. 211-213

9
E. Putusan Terhadap Permohonan Penundaan
Isi dari penetapan mengenai permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN
dapat berupa:
1. Permohonan penggugat ditolak.
2. Permohonan penggugat dinyatakan tidak diterima.
3. Permohonan penggugat diterima untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Diktum
untuk hal seperti itu dapat berupa perintah kepada tergugat untuk menunda
pelaksanaan untuk seluruhnya atau sebagian dari keputusan TUN yang digugat.
Undang-undang tidak membuka kemungkinan untuk dikabulkannya permohonan
dalam bentuk tindakan sementara maupun uang paksa di samping penundaan pelaksanaan
dari keputusan yang digugat. Ketentuan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
mengenai syarat-syarat putusan pengadilan juga berlaku bagi penetapan terhadap
permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN. Akibat hukum dari penetapan
penundaan semacam itu ialah menunda dengan seketika bekerjanya keputusan TUN yang
digugat.
Menurut Soemaryono, apabila tergugat tetap melaksanakan atau mengeksekusi
keputusan TUN yang sudah ditunda pelaksanaannya oleh pengadilan, maka keputusan
TUN yang dikeluarkan oleh tergugat dapat dinyatakan cacat hukum dan seluruh kerugian
ditanggung oleh tergugat. Jika penggugat merasa dirugikan atas keputusan TUN yang
tetap dilaksanakan oleh tergugat, meskipun telah ada penetapan penundaan yang telah
dikeluarkan oleh pengadilan, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ganti rugi
secara perdata ke Pengadilan Negeri akibat kerugian yang diterima.
Masih menurut Soemaryono, upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan
penundaan, apabila pihak tergugat merasa bahwa keputusan TUN yang dia buat itu sudah
tepat, adalah dengan mengajukan keberatan. Dan alasan pengajuan keberatan dari
tergugat yaitu adanya unsur kepentingan umum (Pasal 67 ayat (4) sub b Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986). Pengajuan ke-beratan itu adalah dalam bentuk surat bantahan
yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan dengan melampirkan bukti-bukti.
Pada dasarnya, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memang tidak
diatur upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh tergugat terhadap penetapan
penundaan pelaksanaan keputusan TUN. Namun dalam hal ini, bentuk-bentuk
perlawanan telah berkembang di dalam praktik. Pihak pengadilan selalu memberikan
kesempatan secara terbuka kepada tergugat untuk membela hak-haknya apabila dia
merasa bahwa penetapan penundaan pelaksanaan keputusan TUN itu tidak tepat.
10
Penetapan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Ketua
Pengadilan, sesuai dengan sifatnya yang sementara, dapat dilawan oleh pihak tergugat,
segera setelah penetapan itu dikeluarkan dalam bentuk surat bantahan. Ketua Pengadilan
setelah menerima surat bantahan dapat memprosesnya dengan acara yang relatif singkat,
yaitu dengan 1 (satu) atau 2 (dua) kali pertemuan, kemudian dapat menolak atau
mengabulkan bantahan tersebut. Menolak berarti penetapan penundaan dipertahankan,
dan mengabulkan berarti penetapan penundaan dicabut. Apabila Majelis Hakim hendak
mengabulkan bantahan tergugat, maka pencabutan penetapan penundaan dilakukan
sebelum pokok perkara diputus.17
Di dalam praktiknya, ternyata juga tidak mudah untuk menjalankan isi penetapan
permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN. Ada beberapa kasus yang
menunjukkan bahwa pihak tergugat tidak mau patuh terhadap isi penetapan permohonan
penundaan pelak-sanaan keputusan TUN yang telah dikeluarkan oleh pengadilan.
Permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN dari penggugat dinyatakan diterima
oleh pengadilan, tetapi tetap saja eksekusi keputusan TUN dilaksanakan oleh tergugat.
Salah satu contoh kasus dari tidak mau tunduknya tergugat terhadap isi penetapan
permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN adalah pada kasus gugatan Aminah
Torik (penggugat) terhadap Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bogor (tergugat).18
Kasus ini terjadi sekitar bulan Januari 1995. Penggugat yang sudah hampir selesai
pengurusan izin bangunannya (IMB), diancam akan dibongkar dengan Surat Perintah
Bongkar (SPB) dari tergugat, dengan alasan tidak memiliki IMB. Atas ancaman
pembongkaran itu, penggugat mengajukan gugatan terhadap tergugat dan sekaligus
mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan SPB kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara Bandung.
Atas gugatan dan permohonan dari penggugat, kemudian Hakim di Pengadilan
Tata Usaha Negara Bandung, melalui Putusan Penundaan Nomor 03/PEN/PTUN-
BDG/1995 tanggal 18 Januari 1995, menunda berlakunya perintah pelaksanaan
pembongkaran terhadap rumah penggugat. Tetapi kemudian, ternyata tergugat tetap tidak
mau melaksanakan putusan penundaan. Bahkan tergugat dengan sengaja menyaksikan
dan memimpin sendiri pembongkaran rumah milik penggugat, dengan mengundang juga

17
Lintong O. Siahaan, Wewenang PTUN Menunda Berlakunya Keputusan Pemerintah, (Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI, 2006), hal. 233
18
Ibid, hal. 203-204

11
pejabat lain untuk menyaksikannya, seperti Dandim Kodya Bogor, Kapolres Bogor dan
Ketua DPRD Kodya Bogor.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa suatu gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya keputusan TUN yang digugat. Ketentuan ini mempertegas
prinsip dalam hukum administrasi bahwa suatu keputusan TUN atau tindakan hukum
administrasi itu selalu di duga sah menurut hukum dan karenanya selalu dapat
dilaksanakan dengan seketika. Namun undang-undang memberikan peluang kepada
penggugat untuk mengajukan permohonan kepada hakim, agar selama proses
pemeriksaan berlangsung dapat dilakukan penundaan (schorsing) terhadap KTUN yang
disengketakan selama pemeriksaan sengketa tersebut berjalan sampai adanya putusan
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 67
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan undang-undang hanya memberikan ksemptan kepada penggugat saja
untuk mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang
digugat.Sedangkan bagi pihak ketiga tidak terbuka kesempatan untuk mengajukan
permohonan penundaan tersebut, kecuali kalau pihak ketiga tersebut berkedudukan
sebagai intervenient untuk membela kepentingannya sendiri, dimana ia bertindak sebagai
Penggugat.
Permohonan penundaan pelaksanaan putusan menurut ayat (3) dapat diajukan
sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
Permohonan penundaan pelaksanaan putusan dapat diajukan di dalam atau bersama-sama
surat surat gugatan atau selama perkara itu diperiksa baik dengan acara biasa maupun
acara cepat.
Ukuran atau faktor untuk mengabulkan atau menolak permohonan penundaan
pelaksanaan keputusan TUN yang digugat adalah harus dilakukan pertimbangan-
pertimbangan menenai kepentingan-kepentingan yang tersangkut. Dalam hal ini hakim
tidak memeriksa pokok perkara dan ini sangat harus dihindari karena untuk itu diperlukan
pemeriksaan mendalam. Hakim/ketua pengadilan harus menimbang-nimbang
kepentingan-kepentingan yang tersangkut, yaitu kepentingan umum termasuk
kepentingan penggugat dan kepentingan pihak ketiga yang tersangkut. Dipihak pemohon
harus dinyata ada kerugian tertentu yang harus ditimbang.
Isi putusan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang digugat
dapat berupa permohonan penggugat dinyatakan tidak diterima, permohonan pengugat
13
ditolak, dan permohonan pengugat diterima untuk seluruh atau sebagian yang diikuti
dengan diktum “Perintah kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan dari keputusan
yang digugat”. Putusan hakim atau ketua pengadilan tersebut dituangkan dalam suatu
penetapan dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Putusan penundaan, menunda dengan seketika bekerjanya keputusan TUN yang ditunda
pelaksanaannya. Apabila telah diperoleh putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum
tetap, maka dengan sendirinya berakhir pula bekerjanya penetapan pelaksanaan keputusan
penundaan tersebut.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, R. (1991). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Rajawali.

Caniago, M. S. (2019). Penundaan Pelaksanaan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara


(Schorsing) yang Berpotensi Merusak Lingkungan. Jurnal Media Syari'ah.

Fauzan, M. (2015). Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi Norma-Norma Baru dalam Hukum


Kasus. Jakarta: Kencana.

Indroharto. (2005). Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Khaleed, B. (2016). Mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Pustaka


Yustisia.

Marbun, S. (1997). Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia.


Yogyakarta: Liberty.

Siahaan, L. O. (2006). Wewenang PTUN Menunda Berlakunya Keputusan Pemerintah.


Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.

Tjandra, W. R. (2005). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta:


Universitas Atma Jaya.

Wijaya, E., & Kristine, E. (2007). Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara.
Jurnal JUDICIAL.

Yulikhsan, E. (2016). Keputusan Diskresi dalam Dinamika Pemerintahan. Yogyakarta:


Deepublish.

15

Anda mungkin juga menyukai