Anda di halaman 1dari 19

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Makalah Praktek Peradilan H. Hasan Basri, S.Ag.,S.H.,M.H

CARA MEMBUAT GUGATAN, CONTOH GUGATAN, DAN


PEMBATALAN KASUS PTUN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Jepri Karnandes (11627104328)

Lili Vivian (12020723078)

Michel Oktafemla (12020723346)


Mohd. Iqbal Saputra (12020713625)

Muhammad Agil Ramadhani (12020714128)

PIH-F/SEMESTER 6

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

TAHUN AJARAN 2023


KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum wr.wb.
Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta‟ala atas rahmat dan

karunia-Nya yang tiada terkira. Semoga kita insan yang dhoif ini bisa selalu

istiqomah terhadap apa yang telah digariskan-Nya. Semoga kita selalu dalam ridha-

Nya. Shalawat beriring salam setulus hati kepada baginda Nabi Muhammad dan ahlul

baitnya (Shallallâhu „alaihi wa âlihi wa sallam), sang reformis agung peradaban dunia

yang menjadi inspiring leader dan inspiring human bagi umat di seluruh belahan

dunia. Semoga syafa‟atnya kelak menaungi kita di hari perhitungan kelak. Penulis

dapat sampai pada tahap ini dan dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “CARA

MEMBUAT GUGATAN, CONTOH GUGATAN, DAN PEMBATALAN KASUS

PTUN”. Penulis menyadari Makalah ini masih belum sempurna karena keterbatasan

penulis, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi

makalah yang lebih baik dan dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Pekanbaru, April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Cara Membuat Gugatan ..................................................................................... 3


1. Alasan Mengajukan Gugatan ............................................................................ 3
2. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan ........................................................... 4
3. Syarat-syarat Gugatan ........................................................................................ 5
4. Isi Gugatan.......................................................................................................... 7
5. Permohonan Beracara dengan Cuma-cuma...................................................... 8
B. Contoh Surat Gugatan ........................................................................................ 9
C. Pembatalan Kasus PTUN ................................................................................ 11
1. Pembatalan Serta Akibat Hukum Keputusan Dan/Atau Tindakan Yang Batal
Dan Tidak Sah.......................................................................................................... 11
2. Kriteria Batal Atau Tidak Sahnya Suatu Keputusan...................................... 12
BAB II PENUTUP......................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 14
B. Saran ................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan mengenai sengketa tata usaha negara
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dan
ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara selaku kawal depan
Mahkamah Agung (voorpost) di daerah mempunyai tugas pokok dan fungsi
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan semua sengketa tata usaha
negara di wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia
yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.
9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha
Negara diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan
kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan 2 macam cara
penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya
masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam PTUN, seseorang dapat
mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah
merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang
berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu
seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak

1
2

dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU
PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap
sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah
hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif.
Adapun hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara
mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan
Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha
Negara. Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh
kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan TUN
bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.
Namun belakangan ini banyak khalayak umum ketika menghadapi
masalah mengenai pelanggaran yang berkaitan dengan tata usaha Negara masih
banyakn yang belum mengetahui bagaimana proses dan prosedur pengajuan
gugatan ke pengadilan tata usaha Negara.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait pembahasan makalah ini yaitu :
1. Bagaimana cara membuat gugatan PTUN?
2. Bagaimana contoh surat gugatan PTUN?
3. Bagaimana pembatalan kasus PTUN serta kriteria batal atau tidak sahnya
keputusan?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini diantaranya :
1. Untuk mengetahui cara membuat gugatan PTUN?
2. Untuk mengetahui contoh surat gugatan PTUN?
3. Untuk mengetahui tentang pembatalan kasus PTUN serta kriteria batal
atau tidak sahnya keputusan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara Membuat Gugatan
1. Alasan Mengajukan Gugatan
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau
pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.
Sedangkan yang dapat mengajukan gugatan adalah Orang atau Badan Hukum
Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi. (Pasal 51
ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004)
Obyek Gugatan adalah KTUN Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU No. 9 Tahun 2009).
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 51 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 adalah: 1). Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; 2). keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Hal ini apabila keputusan tersebut:
a. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan
yang bersifat prosedural/formal
b. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundangundangan
yang bersifat material/substansial.
c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang.

3
4

d. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan


keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang itu.
Salah satu perubahan penting dalam PTUN setelah lahirnya UU PTUN
2004 adalah menyangkut hukum acara, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Ayat 2
huruf b, yaitu dengan memasukkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB) sebagai alasan bagi penggugat untuk memasukkan gugatannya di PTUN,
apabila hak- haknya dirugikan oleh adanya Keputusan TUN. Sedangkan UU
PTUN 1986 sebelumnya tidak secara eksplisit mengatur mengenai AUPB ini.
Dengan dimasukkannya AUPB ke dalam UU PTUN 2004, terlihat adanya
keseriusan pembentuk UU dalam menempatkan PTUN sebagai alat kontrol
tindakan pemerintah dari tindakan atau perbuatan sewenang-wenang, atau
penyalahgunaan kekuasaan, atau tindakan lainnya yang merugikan hak-hak warga
negara.1

2. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan


Ketentuan Pasal 55 UU No. 5 tahun 1986 berbunyi sebagai bahwa gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh hari) terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Menurut Setiadi (1994, 108) bahwa tenggang waktu mengajukan
gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU PTUN tersebut dihitung
secara variasi yakni sebagai berikut:
1) Sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu
memuat nama penggugat;
2) Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam peraturan
perundangundangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi
negara untuk memberikan keputusan namun yang bersangkutan tidak
berbuat apa-apa;
3) Setelah lewat 4 (empat) bulan, apabila peraturan perundang-undangan
tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk

1
Dian Aries Mujiburohman, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,(Yogyakarta:STPN
Press, 2022), Hal 45-46
5

memberikan keputusan dan ternyata yang bersangkutan tidak berbuat


apa-apa;
4) Sejak hari pengumuman apabila Keputusan Tata Usaha Negara itu harus
diumumkan.
Sedangkan menurut Indroharto memberikan pendapat yang sifatnya
menambah bahwa tenggang waktu untuk mengajukan gugatan untuk semua
macam keputusan adalah 90 hari. Hal yang membedakannya adalah pemahaman
90 hari tersebut saat mulai dihitungnya waktu 90 hari.
Berdasarkan SEMA Mahkamah Agung, SEMA No 2 tahun 1992 yang
menyebutkan sebagai berikut:
a. Perhitungan tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55
terhenti/ditunda (geschorst) pada waktu gugatan didaftarkan ke
Kepaniteraan PTUN yang berwenang.
b. Sehubungan dengan Pasal 62 ayat (6)83 dan Pasal 63 ayat (4)84 maka
c. gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa waktu sebagaimana
dimaksud pada butir 1.
d. Bagi mereka yang tidak dituju oleh KTUN, tetapi yang merasa
kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 dihitung secara kasuistik sejak saat ia merasa
kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya keputusan
tersebut.
Menurut Zairin Harahap (2001, 96) terhadap Keputusan TUN
biasa/positif, apabila melampaui tenggang waktu 90 hari berakibat gugatan
menjadi daluwarsa. Terhadap Keputusan TUN negatif/fiktif, apabila belum dalam
tenggang waktu mengajukan gugatan berakibat gugatan menjadi prematur. 2

3. Syarat-syarat Gugatan
Dalam menyusun suatu surat gugatan yang nantinya diajukan ke PTUN
harus benar-benar dibuat hati-hati dan teliti. Sebab apabila surat gugatan ini
terdapat kekeliruan dan kesalahan dapat menyebabkan surat gugatan itu ditolak

2
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2007)
6

atau tidak diterima. Menyangkut bagaimana isi dari suatu surat gugatan yang
diajukan ke PTUN, maka Pasal 56 UU No. 5 tahun 1986 mengatur ketentuan
tersebut.
Pasal 56 UU PTUN menyebutkan syarat-syarat gugatan adalah sebagai
berikut:
1) Gugatan harus memuat: “a) nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan
pekerjaan penggugat atau kuasanya; b) nama, jabatan, dan tempat
kedudukan tergugat; c) dasar gugatan dan hal yang diminta untuk
diputuskan oleh pengadilan”.
2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa
penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah.
3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan oleh penggugat.
Praktek yang biasanya terjadi, tidak semua yang mau mengajukan gugatan
ke PTUN dilakukan sendiri. Hal ini disebabkan dengan berbagai alasan atau
pertimbangan, misalnya yang mengajukan gugatan merasa tidak mampu
mengajukan sendiri gugatan tersebut. Alasan lain, yang mau mengajukan gugatan
tidak memiliki waktu yang cukup untuk bertindak sendiri dalam mengajukan
gugatan itu.
Kebanyakan yang mengajukan gugatan ke PTUN menggunakan jasa
advokat. Pemakaian jasa advokat sebagaimana diatur dalam perundang-undangan
harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus atau substitusi. Tanpa adanya surat
kuasa tersebut, maka advokat yang bertindak mewakili penggugat dianggap tidak
sah.
Menyangkut ketentuan advokat yang mewakili pihak klien tersebut, dalam
Pasal 57 UU PTUN baik UU No. 5 tahun 1986 maupun UU No. 9 tahun 2004,
serta UU No. 51 tahun 2009, ditentukan syaratsyarat advokat tersebut yakni
sebagai berikut:
a. Mempunyai surat kuasa khusus;
b. Ditunjuk secara lisan di persidangan oleh para pihak;
7

c. Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi


persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan
RI di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah resmi.
Dalam sengketa di PTUN para pihak dapat didampingi atau diwakili oleh
seorang atau beberapa orang kuasa hukum. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan
dengan membuat surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di
persidangan. Untuk surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus
memenuhi persyaratan yang berlaku di negara yang bersangkutan dan diketahui
oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian harus
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi (Pasal 57).
Walaupun para pihak yang diwakili oleh kuasanya masingmasing, apabila
dipandang perlu hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang
bersangkutan datang menghadap (Pasal 58).

4. Isi Gugatan
Isi dari Gugatan diatur dalam 56 UU PTUN sebagai berikut:
1) Identitas para pihak (Persona standi in judicio), berisi identitas lengkap
penggugat antara lain nama lengkap, alamat, tempat dan tanggal lahir,
umur, jenis kelamin, dan kapasitas penggugat.
2) Duduk Perkara/Posita disebut juga dengan Fundamentum Petendi, yaitu
bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang
menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu
tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu alasan-alasan atau dalil
sehingga ia bisa mengajukan tuntutan seperti itu. Karenanya,
fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk
persoalan suatu kasus. Posita/ Fundamentum Petendi yang yang dianggap
lengkap memenuhi syarat, memenuhi dua unsur yaitu dasar hukum
(rechtelijke grond) dan dasar fakta (feitelijke grond).
3) Petitum, berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat kepada
hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat juga biasanya
8

menambahkan dengan tuntutan subsider atau pengganti seperti menuntut


membayar denda atau menuntut agar putusan hakim dapat dieksekusi
walaupun akan ada perlawanan di kemudian hari. Supaya gugatan sah,
dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum
gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang
jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja
yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan
dibebankan kepada tergugat. 3

5. Permohonan Beracara dengan Cuma-cuma


Pada dasarnya setiap mengajukan gugatan di pengadilan, penggugat harus
terlebih dahulu membayar uang muka biaya perkara, tetapi dalam hal tertentu
penggugat dapat mengajukan permohonan beracara dengan cuma-cuma, dalam
hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur dalam Pasal 60 dan 62 UU PTUN.
Permohonan beracara dengan cuma-cuma itu akan diperiksa oleh ketua
pengadilan dalam rapat permusyawaratan, apabila dipandang perlu sebelum
mengeluarkan penetapan dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan itu,
ketua pengadilan dapat memanggil atau meminta pihak-pihak tertentu untuk
memberikan keterangan tentang kevalidan data permohonan beracara dengan
cuma-cuma yang diajukan oleh penggugat.
Apabila permohonan dikabulkan, maka beracara dengan cuma-cuma ini
juga termasuk ditingkat banding dan kasasi, jadi berbeda dengan hukum acara
perdata, hanya berlaku di tingkat pertama, apabila ingin beracara dengan cuma-
cuma di tingkat banding, maka penggugat harus mengajukan permohonan
kembali. Penetapan ketua pengadilan terhadap permohonan beracara dengan
cuma-cuma itu dalam hukum acara PTUN tidak tersedia sarana hukum banding
maupun kasasi. Dengan demikian, apabila permohonan itu ditolak, maka
penggugat mau tidak mau harus beracara dengan dikenakan biaya. 4

3
Dwi Putri Cahyawati, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Depok:Gramata Publishing,
2011)
4
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta:Rajawali Press,2015), Hal
126-128
9

B. Contoh Surat Gugatan

Contoh Surat Gugatan


Manado, (Tanggal/Bulan/Tahun)

Kepada
Yth. Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara Manado
di-.
Jalan Pomorouw No. 66 Kota
Manado

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini saya :


Nama : …………………………………………….
Kewarganegaraan : ……………………………………………
Tempat tinggal :......................................................................
Pekerjaan :......................................................................

Berdasarkan surat kuasa khusus Nomor…tanggal…memberikan kuasa kepada :


Nama : …………….
Kewarganegaraan : ……………..
Pekerjaan : Advokat, berkantor di ……… selanjutnya
disebut sebagai PENGGUGAT ;

Dengan ini Penggugat mengajukan gugatan terhadap ……… ,


berkedudukan di……………. , untuk selanjutnya disebut sebagai
TERGUGAT ;

I. Objek Sengketa :
Surat ……………, No……………………, Tanggal……………..
(pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN).

II. Tenggang Waktu Gugatan : …………….


- Bahwa Objek Sengketa diterbitkan Tergugat tanggal……
- Bahwa Objek Sengketa tersebut diterima /diketahui Penggugat
pada tanggal …….
- Bahwa gugatan a quo diajukan pada tanggal ……
- Bahwa oleh karenanya Gugatan a quo diajukan masih dalam
tenggang waktu sesuai dengan pasal 55 UU Peradilan TUN...
(pasal 55 UU Peradilan TUN).

III. Kepentingan Penggugat Yang Dirugikan :


Penggugat merasa dirugikan karena Penggugat adalah
pemilik/menguasai sesuai dengan alat bukti………./pihak yang dituju
10

Surat Objek Sengketa …………………dst. (pasal 53 UU Peradilan


TUN)

IV. Posita/Alasan Gugatan :


(Uraikan kronologi dan alasan gugatan,
misal : - Keputusan Obiek Gugatan diterbitkan Tergugat melanggar UU,
PP, Perda dll.
- Dan/atau Melanggar Asas-asas umum pemerintahan yang baik.)

V. Permohonan Penundaan :
- Bahwa Objek sengketa ternyata akan dilaksanakan pada
tanggal…., sehingga terdapat keadaan mendesak .
- Bahwa apabila Surat Objek Sengketa dilaksanakan maka
Penggugat akan sangat dirugikan/terdapat keadaan yang sulit
untuk dikembalikan/dipulihkan seperti keadaan semula.
- Bahwa fakta fakta diatas telah memenuhi ketentuan pasal 67
UU Peradilan TUN.
- Bahwa oleh karenanya Penggugat mohon agar diterbitkan
Penetapan yang berisi perintah kepada Tergugat agar menunda
Pelaksanaan Objek Sengketa, sampai perkara a quo
berkekuatan hukum tetap.
(pasal 67 UU Peradilan TUN).

VI. Petitum/Tuntutan :
A. Dalam Penundaan.
- Mengabulkan Permohonan Penundaan yang diajukan Penggugat.

B. Dalam Pokok Perkara/Sengketa.


1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya ;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat …….. No…….
tertanggal……………….
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat……. No………
4. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara ;

Hormat Kami,
Penggugat/ Kuasa Hukum
Penggugat,

…………………………….....
11

C. Pembatalan Kasus PTUN


1. Pembatalan Serta Akibat Hukum Keputusan Dan/Atau Tindakan
Yang Batal Dan Tidak Sah
Setiap Keputusan dan/atau Tindakan selalu dianggap sah (rechmatig),
sampai dengan adanya pembatalan, hal ini dikenal dengan prinsip praduga
rechtmatig atau presumptio iustae causa. Berdasarkan prinsip tersebut maka setiap
Keputusan dan/atau Tindakan tidak dapat dinyatakan cacat kecuali berdasarkan
pengujian terhadap keabsahan Keputusan dan/atau Tindakan tersebut. Pengujian
keabsahan suatu Keputusan dan/atau Tindakan tersebut dapat dilakukan melalui
upaya administratif maupun upaya hukum, yang apabila keputusan tersebut
terbukti melanggar syarat sah Keputusan dan/atau Tindakan, maka dapat berakibat
pada batal atau tidak sah.
Agar dapat memahami ketentuan-ketentuan tersebut maka terkait frasa
“dapat dibatalkan” harus dijelaskan bahwa kata “dapat dibatalkan” pada pasal 66
Ayat (1) Undang-undang Administrasi Pemerintahan harus dimaknai dalam arti
luas sebagaimana penjelasan Pasal 19 Undang-undang Administrasi Pemerintahan
yaitu pembatalan Keputusan dan/atau Tindakan melalui pengujian oleh Atasan
Pejabat atau badan peradilan, sehingga konsekuensinya Keputusan dan/atau
Tindakan dapat dinyatakan batal atau tidak sah. Sedangkan kata “dapat
dibatalkan” pada Pasal 71 harus dimaknai dalam arti sempit yaitu Keputusan
dan/atau Tindakan dinyatakan batal, tidak termasuk yang dinyatakan tidak sah.
Hal ini juga sebagaimana kita lihat dalam frasa Pasal 56 ayat (2) yang menyatakan
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52 ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan Keputusan yang batal atau dapat
dibatalkan.
Adapun definisi tidak sah dapat dilihat pada Pasal 19 Ayat (1) yang
menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “tidak sah” adalah Keputusan
dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada
atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum Keputusan dan/atau Tindakan
12

ditetapkan dan/atau dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan


dianggap tidak pernah ada.
Jika dilihat ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa makna “tidak
sah” suatu KTUN sebenarnya sama dengan konsep nietig dalam teori Hukum
Administrasi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Sedangkan makna
“batal” suatu KTUN sebenarnya sama dengan konsep vernietiegbaar dalam teori
Hukum Administrasi sebagaimana yang juga telah dipaparkan sebelumnya.

2. Kriteria Batal Atau Tidak Sahnya Suatu Keputusan


Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebelum perubahan, sebenarnya telah memasukkan kriteria alasan untuk KTUN
yang dapat dinyatakan batal atau tidak sah sebagaimana terdapat dalam pasal 53
ayat (2) yang pada intinya memberikan kriteria:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; (di dalam penjelasan pasal
dijelaskan bahwa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku ini mencakup yang bersifat prosedural, substansial maupun
dikarenakan dikeluarkan oleh Pejabat yang tidak berwenang);
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut; (detournement de pouvoir);
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau
tidak mengeluarkan keputusan, setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak
sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
(willekeur).
Setelah pasal tersebut diubah melalui UU No. 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas UU No. 5 Tahun 186 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka
alasan pengajuan gugatan diperluas namun dengan redaksi kalimat yang lebih
singkat yaitu pada intinya adalah bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan maupun AUPB. Terdapat kelemahan sejak dulu dalam UU Peratun ini
13

yaitu tidak memberikan perbedaan kriteria keputusan dapat dinyatakan batal


dengan suatu keputusan dapat dinyatakan tidak sah serta perbedaan antara
keputusan batal dengan tidak sah. Namun demikian, terdapat doktrin dan
kebiasaan di Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa apabila pelanggaran peraturan
perundang-undangan atau AUPB berada pada aspek wewenangnya, maka
dinyatakan tidak sah, sedangkan apabila pelanggarannya bersifat prosedural dan
substansial maka keputusan dinyatakan batal.
Untuk mempermudah mengelompokkan seluruh kriteria pembatalan
tersebut, maka perlu dikelompokkan, mana kriteria yang menentukan batal atau
tidaknya suatu Keputusan dan/atau Tindakan dan mana alat uji kriteria tersebut.
Kriteria batal atau tidak sahnya suatu Keputusan dan/atau Tindakan cukup dilihat
pada 3 kriteria yaitu prosedur, wewenang dan substansi saja. Sedangkan yang
lainnya dapat dijadikan sebagai alat uji dari 3 kriteria tersebut yaitu berupa:
Peraturan perundang-undangan; AUPB (termasuk larangan detournement de
pouvoir dan willekeur); Putusan pengadilan; Tidak mengandung cacat yuridis
(salah kira (dwaling), paksaan (dwang) dan tipuan (bedrog)).Dengan kriteria
semacam itu, maka pejabat administrasi maupun hakim Peratun tidak akan dibuat
bingung dengan kriteria pembatalan suatu Keputusan dan/atau Tindakan yang
terlalu luas dan tumpang tindih. Keputusan dan/atau Tindakan dinyatakan tidak
sah apabila salah dari segi wewenang dan batal apabila salah dari segi prosedur
dan/atau substansi. Jadi Keputusan dan/atau Tindakan dinyatakan tidak sah
apabila dari segi wewenang, keputusan tersebut mengandung kesalahan
berdasarkan batu uji peraturan perundang-undangan, AUPB, dan/atau putusan
pengadilan. Sedangkan keputusan dinyatakan batal apabila keputusan tersebut
mengandung kesalahan. 5

5
Hidayat Pratama Putra, Penilaian Terhadap Batal Atau Tidak Sahnya Suatu Keputusan Dan/Atau
Tindakan Administrasi Pemerintahan, Jurnal Hukum, Vol.3 No.1, (2020):35-50
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Gugatan merupakan permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau


pejabat TUN, diajukan secara tertulis, sebagai subyek yang dapat mengajukan
gugatan adalah Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu KTUN. Obyek gugatan adalah KTUN yang berisi penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Alasan-alasan untuk mengajukan gugatan adalah KTUN itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Hal-hal pokok dalam surat gugatan, yaitu: 1).
Identitas para pihak; 2). Posita (dalil); 3). Petitum. Gugatan dapat diajukan hanya
dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN. Dalam menyusun suatu surat
gugatan diatur dalam Pasal 56 UU PTUN, apabila dalam mengajukan gugatan
tidak dapat dihadiri sendiri, maka dapat dikuasakan.
Terdapat banyak kriteria yang diberikan di Undang-undang Administrasi
Pemerintahan sehingga Keputusan dan/atau Tindakan dapat dibatalkan, namun
demikian kriteria tersebut saling tumpang tindih satu sama lain. Hal ini
disebabkan oleh pengaturan mengenai penyalahgunaan wewenang sebagaimana
pasal 17-19 Undangundang Administrasi Pemerintahan yang terlalu luas, dan
punya akibat hukum yang bertentangan dengan kriteria pada pasal 70-71 Undang-
undang Administrasi Pemerintahan. Pembatalan suatu Keputusan dan/atau
Tindakan cukup dilihat dari 3 aspek saja yaitu wewenang, prosedur dan substansi
yang dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-undangan, AUPB, putusan
pengadilan, serta ada atau tidaknya cacat yuridis. Keputusan dan/atau Tindakan
Administrasi pemerintahan dinyatakan tidak sah apabila salah dari segi wewenang

14
15

dan dinyatakan batal apabila salah dari segi prosedur dan/atau substansi. Tidak
sah artinya tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan
dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada. Sedangkan
batal artinya tidak mengikat sejak saat dibatalkan atau tetap sah sampai adanya
pembatalan dan berakhir setelah ada pembatalan.
Untuk itu, Pejabat Pemerintahan dan Hakim diharapkan menggunakan
ketentuan Undang-undang Administrasi Pemerintahan sebagai dasar pembatalan
suatu Keputusan dan/atau Tindakan serta Pemerintah dan DPR diharapkan
mengkaji kembali mengenai banyaknya ketentuan Undang-undang Administrasi
Pemerintahan yang tidak jelas dan tumpang tindih, terutama ketentuan
menyangkut penyalahgunaan wewenang.

B. Saran

Demikianlah makalah ini dipaparkan, semoga para pembaca dapat


menambah ilmu pengetahuan dan mengerti dengan mata kuliah Praktek Peradilan
tentang Cara Membuat Gugatan, Contoh Gugatan, dan Pembatalan Kasus Ptun.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penulisan
makalah ini agar menjadi makalah yang benar dan baik.
16

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007.

Cahyawati, Dwi Putri. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Depok:
Gramata Publishing, 2011.

Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Rajawali
Press, 2015.

Mujiburohman, Dian Aries. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.


Yogyakarta: STPN Press, 2022.

Putra, Hidayat Pratama. "Penilaian Terhadap Batal Atau Tidak Sahnya Suatu
Keputusan Dan/Atau Tindakan Administrasi Pemerintahan." Jurnal
Hukum, 2020: 35-50.

Anda mungkin juga menyukai