Anda di halaman 1dari 14

UPAYA HUKUM BIASA

DOSEN PENGAMPU :
FAISAL RIZA, S.H., M.H.

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 2 :


1. ADEL LIA SEPTIANA (2206200029)
2. TRI YOGI (2206200013)
3. HAFIDH MANIK (2206200038)
4. HAFIZ ALIF OEMAR (22062000)
5. IKHSANIL AMAMI (2206200031)
6. SYAHRUL (2206200655)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA


FAKULTAS HUKUM
2022/2023
MEDAN
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah tentang yang berjudul "UPAYA
HUKUM BIASA’’
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum
internasional semester tiga dari bapak dosen FAISAL RIZA, S.H., M.H. Selain itu, penyusunan
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan pembaca tentang tugas-tugas
pemerintahan Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon izin atas kesalahan dan ketidak sempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharapkan kritik, tambahan dan saran
dari pembaca jika menemukan kesalahan dalam makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih
kepada, bapak dosen FAISAL RIZA, S.H., M.H. selaku dosen HUKUM ACARA PIDANA.
Berkat tugas ini, kami dapat menambah wawasan terkait topik yang diberikan.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon izin atas kesalahan dan ke tidak sempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharapkan kritik, tambahan dan saran dari
pembaca jika menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Medan, 01 November 2023

Penulis
Kelompok 2

i
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan masalah........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3
A. upaya hukum biasa pemeriksaan tingkat banding ………………………………… 3

B. tujuan pengajuan upaya hukum biasa dalam perkara pidana……………………… 6

1. Upaya hukum banding………………………………………………………… 6


2. Kasasi …………………………………………………………………………. 7

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………. 8


1.Kesimpul ………………………………………………………………………… 8
2.Saran…………………………………………………………………………….. 8
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 9

ii
BAB I
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang dalam hal
tertentu untuk melawan putusan hakim bagi para pihak, baik itu seseorang atau pun badan
hukum yang merasa tidak puas serta dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.
Dalam pelaksanaanya upaya hukum dapat dibedakan antara upaya hukum biasa terdiri
dari banding dan kasasi. Dan upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi dan peninjauan
kembali.
Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum mempunyai tugas sebagai salah
satu penentu keputusan perkara. Putusan yang dihasilkan oleh hakim di pengadilan
idealnya tidak menimbulkan masalah-masalah baru di lingkungan masyarakat. Artinya
kualitas putusan hakim berpengaruh penting pada lingkungan masyarakat dan
berpengaruh pada kewibawaan dan kredibilitas lembaga pengadilan itu sendiri. Hakim
dalam mengambil keputusan hanya terikat pada peristiwa atau fakta-fakta yang relevan
dan kaidah-kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis.1
Sebagai penegak hukum dan keadilan di masyarakat, hakim dituntut mempunyai
kejelasan dan kekuatan moral yang tinggi. Hakim sebagai salah satu aparat yang
menyelenggarakan peradilan, harus konsisten menjaga moral yang baik. Hanya dengan
moral yang baik tersebut, maka setiap putusan perkara di peradilan lebih mendekatkan
pada keadilan dan kepastian hukum, serta kemanfaatan dengan memahami kenyataan-
kenyataan yang terjadi.2
Namun yang terjadi saat ini, seiring dengan perkembangan peradaban, dimana
masyarakat luas mulai sedikit demi sedikit mampu mengerti akan hak an kewajibannya,
memahami makna keadilan, serta mampu menempatkan dirinya pada fungsi kontrol
terhadap pelaksanaan peran hakim dalam proses peradilan. Setiap penyimpangan,
kesalahan prosedur, serta hal-hal yang dirasakan tidak adil atau tidak memuaskan dalam
proses peradilan akan diikuti dengan reaksi-reaksi sosial dengan berbagai bentuk, dari
yang reaksi halus sampai reaksi yang keras.3

1
Fence M. Wantu, Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan kemanfaatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2011, hlm. 10
2
Fence M. Wantu, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Reviva Cendekia , Yogyakarta, 2011, hlm. 92
3
Fence M. Wantu, Op. cit, 2011 ,hlm. 12

1
Salah satu dari berbagai reaksi tersebut adalah melakukan upaya hukum dipengadilan
yang termasuk dalam upaya hukum biasa yakni banding. Kata banding artinya imbangan,
persamaan atau tara; sebanding artinya seimbang atau setara. Pengertian banding dalam arti
luas berarti semua pernyataan keberatan tentang sesuatu putusan dalam suatu perkara supaya
putusan tadi diselidiki, ditinjau kembali dan diperbaiki. Jadi permintaan banding itu adalah
suatu cara menentang putusan pengadilan negeri atau juga putusan administratif, sehingga
sesuatu perkara dapat diperiksa kembali tentang kenyataan fakta-faktanya maupun hukum. 44

A. RUMUSAN MASALAH
1.bagaimana upaya hukum biasa pemeriksaan tingkat banding?
2. apakah yang menjadi tujuan pengajuan upaya hukum biasa dalam perkara pidana?

B. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui bagaimana upaya hukum biasa pemeriksaan tingkat banding?
2. Untuk mengetahui tujuan pengajuan upaya hukum biasa dalam perkara pidana?

4
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, P.T ALUMNI, Bandung, 2010, hlm. 179

2
3
BAB II
PEMBAHASAN

A. upaya hukum biasa pemeriksaan tingkat banding


Kalau Pasal 233 ayat (1) KUHAP ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal 67
KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama
(pengadilan negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau
yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa kekecualian.
Sebelum kekecualian tersebut dibicarakan, perlu diperhatikan kata yang dipakai
oleh KUHAP di Pasal 233 yaitu "terdakwa". Menurut pendapat penulis, semestinya di
situ dipakai kata "terpidana". Karena perkara yang dibanding itu merupakan putusan yang
dengan sendirinya merupakan penjatuhan pidana kepada terdakwa. Tidaklah logis kalau
terdakwa yang dibebaskan atau leas dari segala tuntutan hukum, mengajukan banding. la
akan senang hati menerima putusan tersebut.5
Pengajuan banding oleh terpidana karena ia dijatuhi pidana atau tindakan tata tertib.
Dengan sendirinya terdakwa yang telah dijatuhi pidana beru-bah namanya menjadi
terpidana. Kekecualian untuk mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP tersebut
ialah sebagai berikut.
1. Putusan bebas (istilah asing: vrijspraak).
2. Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum
(sic).
3. Putusan pengadilan dalam acara cepat (dahulu dipakai istilah perkara
rol).
Yang tersebut pada butir 1 dan 3 tidak menimbulkan masalah karena menurut
peraturan lama pun (Undang-Undang Nomor 1 (drt) Tahun 195 1) dan UUKK perkara
yang diputus bebas (vrijspraak) tidak boleh dibanding, begitu pula dengan putusan
perkara rol.
1. Yang menimbulkan masalah ialah yang tersebut pada butir 2, karena ada keterangan
tambahan bahwa putusan leas dari segala tuntutan hukum yang tidak boleh dibanding
ialah yang masalah kurang tepatnya penerapan hukum. Jadi, kekeliruan hakim dalam
menerapkan hukum dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum justru tidak boleh
dibanding. Ini terasa aneh. Keanehan ini rupanya diperhatikan pula oleh Pemerintah,
yaitu dalam pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman,
hal ini telah dipermasalahkan.

5
J.M. van Bemmelen, op. cit., hlm. 405

3
Dalam peraturan lama tersebut di muka, putusan lepas dari segala tuntutan hukum
bole dibanding tampa kecuali. Menurut pendapat penulis, hal in perlu diperjelas dalam
peraturan pelaksanaan KUHAP.
Masalah ini perlu pula dihubungkan dengan ketentuan tentang pengajuan kasasi
yang akan diuraikan di belakang. Dalam Pasal 244 KUHAP dikatakan bahwa terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Kalau dikaitkan kata-kata yang penulis kursif di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa putusan pengadilan negeri dapat langsung dimintakan kasasi dalam
hal lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum, karena dikatakan kecuali terhadap putusan bebas.
Inilah suatu kelainan karena tidak diperkenankan banding tetapi dapat dimintakan
kasasi. Dengan sendirinya kalau demikian halya, maka berbeda dengan peraturan lama di
mana ditegaskan bahwa kasasi hanya dapat diminta jika telah dimintakan banding.
Ketentuan semacam itu tercantum pula dalam Pasal 21 ayat (1) UUKK yang
berbunyi sebagai berikut. Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, dapat dimintakan
banding ke pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-
undang menentukan lain.
Jalur yang disediakan oleh UUKK di ataslah (kecuali apabila undang-undang
menentukan lain) yang dipakai ole pembuat KUHAP sehingga banding terhadap putusan
leas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum tidak diper-bolehkan. Dengan larangan banding bagi putusan yang lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum ole
hakim, maka permintaan banding dari pihak penuntut umum hampir tertutup, kecuali jika
terdakwa dipidana misalnya pidananya kurang tepat atau terlalu ringan. Sebaliknya, bagi
terpidana terbuka kemungkinan luas untuk mengajukan banding, Sebenarya tujuan
banding itu ada dua, yaitu:
1. menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya;
2. untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu.

4
Oleh karena itu, banding sering disebut juga revisi. Pemeriksaan banding
sebenarnya merupakan suatu penilaian baru (udicium novum). Jadi, dapat diajukan saksi-
saksi baru, ahli-ahli, dan surat-surat baru." Menurut pendapat penulis, KUHAP tidak
melarang hal demikian, khususnya kalau kita baca Pasal 238 ayat (4) KUHAP yang
berbunyi sebagai berikut.
"Jika dipandang perlu, pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau
saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan
kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya".
Begitu pula Pasal 24j) ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut.
"Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata
ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang
lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan
pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukan-nya
sendiri" Sekarang perlu diuraikan pula tentang acara permintaan banding.
Ada sepuluh buah pasal vang mengatur tentang acara banding dalam
KUHAP, yaitu Pasal 233 sampai Pasal 243.
Yang berhak mengajukan banding ialah terdakwa atau yang dikua-sakan Khasus
untuk itu atau penuntut umum. Waktu untuk mengajukan banding ialah tujuh hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir
(Pasal 233 ayat (I) dan (2) KUHAP).
Jika waktu tujuh hari telah lewat tapa diajukan banding oleh yang bersangkutan,
maka yang bersangkutan dianggap telah menerima putusan (Pasal 234 ayat (1) KUHAP).
Dalam hal ini panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu seta melekatkan akta
tersebut pada berkas perkara (Pasal 234 ayat (2) KUHAP).
Dalam hal permintaan banding oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang
ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada
pemohon yang bersangkutan (Pasal 233 ayat (3) KUHAP).
Dalam hal adanya suatu banding terhadap putusan bebas yang dipandang sebagai
bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) maka pengadilan terlebih dahulu harus
memeriksa dasar putusan bukan pada namanya, yaitu apa benar tidak terbukti adanya
suatu unsur delik yang didakwakan. 6

6
Ibid, menunjuk putusan Hoge Raad 28 Mei 1930. NJ. 1930. 1234. W. 12161.

5
Van Bemmelen member rumusan yang lain tentang kapan terjadi bebas tidak
murni (niet zuivere vrijspraak) itu, yaitu bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) jika
hakim menjalankan putusan bebas yang didasarkan atas kenyataan bahwa yang tersebut
dalam surat dakwaan lebih banyak daripada yang ada dan lebih banyak daripada yang
perlu dimuat di dalamnya.7
Bandingkan dengan uraian tentang surat dakwaan di muka terutama tentang
putusan bebas atas nama Abu Kiswo, yang dipandang hakim dakwaan primair tidak
terbukti dan dibebaskan.
Dalam dakwaan primair itu, jaksa menyusun dakwaan yang lebih banyak daripada
unsur delik, Bagaimana pendapat Mahkamah Agung Indonesia, dapat dibaca dalam
beberapa yurisprudensi, antara lain disebut Soedirjo, yaitu putusan MA. tanggal 28
September 1979 Nomor K/Kr/1979, yang antara lain pertimbangannya.

B. tujuan pengajuan upaya hukum biasa dalam perkara pidana


Upaya hukum biasa diatur dalam KUHAP. Upaya hukum biasa yang terdiri atas :
a. Upaya Hukum Banding
b. Upaya Hukum Kasasi

Berikut ini penulis akan menguraikan upaya hukum biasa tersebut di atas, sebagai berikut

1. Upaya Hukum Banding


Pengertian yuridis terhadap banding ternyata tidak ditemukan dalam perundang-
undangan temasuk juga KUHAP tidak memberikan penjelasannya. P. Van Bemmelen,
menyatakan bahwa banding merupakan suatu pengujian atas ketepatan dari putusan
pengadilan tingkatperama, yang disangkal kebenarannya.8
Andi Hamzah, menyatakan bahwa banding adalah hak terdakwa atau penuntut
umum untuk menolak putusan pengadilan, dengan tujuan untuk meminta pemeriksaan
ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi serta untuk menguji ketepatan penerapan hukum
dan putusan pengadilan tingkat pertama.9
Dapat dikatakan bahwa banding adalah sarana bagi terpidana atau jaksa penuntut
umum untuk minta pada pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan pemeriksaan ulang
atas putusan pengadilan negeri karena dianggap putusan tersebut jauh dari keadilan atau
karena adanya kesalahan-kesalahan di dalam pengambilan keputusan.

7
J.M. van Bemmelen, ons Stratfrecht, 4. Formele Strafrecht. Groningen: Tjeenk Willink.
1977. hlm. 292.
8
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 248.
9
Loc-cit.

6
2. Kasasi
Pada dasamya upaya hukum kasasi diatur di dalam Bagian Kedua Pasal 244-258
KUHAP. Apabila ditinjau dari aspek historis yuridis, upaya hukum kasasi (feassate)
mula-mula merupakan lembaga hukum yang lahir, tumbuh, dan berkembang di Prancis
dan dipergunakan istilah cassation dari kata kerja casser yang berarti membatalkan atau
memecahkan.
Oleh karena itu, dengan titik tolak demikian upaya hukum kasasi adalah salah
satu tindakan Mahkamah Agung Rl sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan
pengadilan lain dan bukan merupakan peradilan tingkat ketiga.
Hal inl disebabkan perkara dalam tingkat kasasi tidak memeriksa kembali perkara
seperti dilakukan yudex facti, tetapi diperiksa mengenai apakah benar sesuatu peraturan
hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, apakah benar cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan menurut undang-undang, dan apakah
benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya (Pasal 253 ayat (1) huruf a, b, dan
c KUHAP).
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan
membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru
dalammenerapkan hukum.10 Oemar Seni Adji, mengemukakan tiga alasan untuk
melakukan kasasi, yaitu :11
1. Apabila terdapat kelalaian dalam acara (vorniverzuim).
2. Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya.
3. Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan
undang-undang.

10
Rusly Muhamad, Op-cit, hlm. 240.
11
Oemar Seni Adji, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,
1981, hlm. 20.

7
BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
1. Tujuan pengajuan upaya hukum biasa dalam perkara pidana adalah untuk upaya hukum
banding tujuannya untuk menguji kembali pemeriksaan yang telah dilakukan oleh pengadilan
negeri sehingga putusan yang nyata-nyata telah keliru dapat diperbaiki dan terhadap putusan
yang telah mencerminkan keadilan dan kebenaran tetap dipertahankan. Untuk kasasi tujuannya
untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

2. KASASI
Pemeriksaan tingkat kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga. Kewenangannya memeriksa dan
mengadili perkara tidak meliputi seluruh perkara, bersifat sangat terbatas, dan hanya meliputi
hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14 Tahun 1985, yaitu terbatas sepanjang
mengenai :
Memeriksa dan memutus tentang tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Pengadilan
tingkat bawah dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Memeriksa dan mengadili
kesalahan penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam
memeriksa dan memutus perkara. Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang syarat-syarat yang
wajib dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B.SARAN
Karena banding dan kasasi sebagai upaya hukum biasa merupakan hak dari setiap terdakwa
yang telah dijatuhi pidana yang juga diberikan kepada penuntut umum, maka seyogianya
terpidana juga penuntut umum menggunakan haknya agar terhadap putusan yang nyata-nyata
telah keliru dapat diperbaiki

8
8
DAFTAR PUSTAKA

Adji Seni Oemar, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1981.


Oemar Seni Adji, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,
1981, hlm. 20.
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 248.
Soedarjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Jakarta:
Akademi Pressindo,1985.

Anda mungkin juga menyukai