Anda di halaman 1dari 69

PROPOSAL

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI A DE CHARGE DALAM


TINDAK PIDANA JAMINAN FIDUSIA
(PUTUSAN NO.132/Pid.Sus/2020/PN.Pre)

Di susun oleh :

THAMAR YOGA PRANATA

B011171316

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Dengan ini menerangkan bahwa proposal dari :

Nama : Thamar Yoga Pranata

Nomor Induk Mahasiswa : B011171316

Program Studi : Ilmu Hukum

Departemen : Hukum Pidana

Judul : KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI A DE


CHARGE DALAM TINDAK PIDANA JAMINAN
FIDUSIA(PUTUSANNo.132/Pid.Sus/2020/PN.Pr
e)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian proposal di

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Makassar, 16 Februari 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr. H. M. Said Karim, S.H.,M.H.,M.Si.,CLA Dr. Hijrah Adhiyanti Mirzana, S.H.,M.H.


NIP : 196207111987031001 NIP : 197903262008122002

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL.......................................................................................................................1
PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................5
C. Tujuan Penelitian...........................................................................................................5
D. Manfaat Penelitian........................................................................................................5
E. Keaslian Penelitian........................................................................................................6
F. Metode Penelitian..........................................................................................................8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI A
DE CHARGE PADA TINDAK PIDANA JAMINAN FIDUSIA.........................13
A. TINDAK PIDANA JAMINAN FIDUSIA......................................................................13
1. Pengartian Tindak Pidana.......................................................................................13
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana................................................................................17
3. Jenis-jenis Tindak Pidana.......................................................................................21
4. Pengartian Jaminan Fidusia...................................................................................29
5. Dasar Hukum Tindak Pidana Fidusia....................................................................30
B. HUKUM PEMBUKTIAN..............................................................................................36
1. Pengertian Hukum Pembuktian.............................................................................36
2. Teori Pembuktian.....................................................................................................37
3. Alat Bukti Dalam Hukum Pidana............................................................................42
C. KEDUDUKAN PEMBKUTIAN KETERANGAN SAKSI...........................................50
1. Kedudukan alat bukti saksi A de charge dalam KUHAP....................................50
2. Syarat Sah Keterangan Saksi................................................................................52
BAB III........................................................................................................................55

iii
TINJAUAN PUSTAKA PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PENJATUHAN
SANKSI PIDANA DALAM PUTUSAN NO.132/PID.SUS/2020/PN.PRE.......55
A. PUTUSAN PENGADILAN......................................................................................55
1. Pengertian Putusan..............................................................................................55
2. Macam-Macam Putusan......................................................................................56
B. PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM.......................................................................57
1. Yuridis....................................................................................................................58
2. Non-Yuridis............................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................63

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum pidana di Indonesia terbagi dalam hukum pidana materil

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan hukum pidana formil.

Hukum pidana formil di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(selanjutnya akan disebut KUHAP pada penulisan skripsi ini) kecuali diatur

lain pada peraturan yang lebih khusus. KUHAP mengatur tata cara proses

pidana baik dari penyelidikan dan penyidikan di kepolisian hingga

penuntutan oleh Jaksa penuntut umum dan pemeriksaan di persidangan

oleh hakim. KUHAP menjadi dasar bagi seorang penegak hukum di

Indonesia untuk melakukan tata cara proses pidana bagi seseorang yang

dianggap telah melanggar peraturan yang berlaku. Dalam penyelesaian

sebuah perkara dalam persidangan hal yang paling penting untuk

membuat terangnya sebuah perkara agar kemudian dapat diungkap fakta

hukum yakni pembuktian, yang kemudian di jadikan landasan untuk

memperkuat pertimbangan hakim dalam membuat produk hukumnnya.

Indonesia yang dikenal sering menggunakan teori hukum pembuktian

negatief yang di dalamnya menjadikan minimal dua alat bukti yang sah,

yang kemudian dijadikan sebagai acuan atau rujukan untuk memperkuat

1
keyakinan hakim, secara tidak langsung membuat alat bukti begitu penting

dalam pembuktian.

Terangnya sebuah perkara yang di tangani, dapat diperoleh

melalui beberapa hal, salah satunya adalah penyajian alat bukti yang sah

sebagaimana yang dijelaskan dalam KUHP pasal 184, alat bukti terdiri

dari: 1) Keterangan Saksi; 2) Keterangan Ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; dan

5) Keterangan Terdakwa. Jika dilihat dari ragam alat bukti yang ada di

dalam KUHP secara hierarki, Keterangan saksi merupakan alat bukti yang

utama dalam pembuktian penyelesaian perkara pidana. Keterangan saksi

merupakan keterangan yang disampaikan oleh seseorang dalam

persidangan yang telah di sumpah akan sesuatu yang ia lihat atau alami

sendiri guna untuk membuat terangnya suatu perkara. Dalam pengajuan

seorang saksi pula terdapat beberapa jenis berdasarkan peruntukannya,

ada yang diperuntukkan agar meringankan terdakwa (A Charge), ada juga

yang diperuntukkan untuk meringankan terdakwa (A de Charge) dalam

perolehan sanksi yang akan diterima. Seorang saksi yang memberatkan

diajukan oleh jaksa sedangkan seorang yang meringankan di ajukan oleh

seorang terdakwa, hal tersebut tentunya untuk memberikan pertimbangan

yang seimbang antara kedua belah pihak dalam persidangan dan juga

berguna untuk memutus perkara agar mencapai keadilan yang seadi-

adilnya bagi pihak yang berpekara.

2
Masyarakat Indonesia dalam penyelesaian masalah di depan

persidangan dianggap telah mengatahui hukum sebagaimana asas

Prsemptio Iueris De Iuere dari hal tersebut telah di akomodir lebih jelas

lagi dalam KUHAP pasal 54 perihal hak terdakwa haruslah memperoleh

bantuan hukum agar kiranya dapat memahami prosesi persidangan yang

baik dan benar dalam mengatasi permasalahannya. Namun berbeda

halnya dalam suatu kasus pada tahun 2019 dalam wilayah hukum

Pengadilan Negeri (PN) Pare-Pare, yakni seorang tukang batu yang

bernama Caesar Bin Muhammad Ali Alias Ishak yang membeli sebuah

mobil Suzuki Mega Carry PU 1.5 dari delaer PT.Suzuki Finance Indonesia

dengan cara kredit (cicil) sebanyak 48 (empat puluh delapan) kali namun

pada angsuran ke-10 debitur tidak lagi melakukan pembayaran sesuai

dengan angsuran yang desepakati, melainkan malah mengalihkan barang

tersebut dengan cara menjual di media social Facebook dengan catatan

dalam postingan ”lanjut cicilan” Selanjutnya seorang pembeli yang

bernama Yusuf setuju akan hal tersebut namun nyatanya Yusuf tidak

melanjutkan cicilan sebagaimana yang diinginkan oleh Ishak, dapat

diketahui bersama bahwa hal yang dilakukan oleh Debitur bukanlah hal

yang dapat dibenarkan menurut hukum, lantaran tentunya penjualan

barang tersebut masih dalam kuasa perusahaan (kreditur) dan Ishak yang

belum melaporkan tindakan tersebut kepada pihak perusahaan sehingga

pada saat saudara Yusuf dan mobil tersebut tidak ada untuk ditarik yang

3
dibebani tanggung jawab yakni Ishak karena dalam beberapa berkas pada

saat mobil tersebut akan dikeluarkan dari dealer masih beratasnamakan

Ishak. Hal tersebut tentunya sangatlah memprihatinkan lantaran pada saat

persidangan Ishak tidak didampingi kuasa hukum melainkan hanya

menghadirkan Saksi yang meringankan atau A De Charge yaitu bernama

Muhammad Ali (Ayah Kandung) beliu yang pada saat memberikan

keterangan yang kesannya mendukung jaksa dalam dakwaanya, lantaran

dalam putusan tersebut saksi tersebut memberikan keterangan yang

hampir sama dengan saksi yang diajukan oleh saksi yang di ajukan jaksa (

A Charge) di dalam konsideran putusan bagian yang menerangkan

keadaan yang meringankan, hanya dituliskaan bahwa terdakwa mengakui

perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.

Penting dalam prosesi persidangan keberadaan seorang saksi

sebagai alat bukti yang dapat memberikan kekuatan dalam meyakinkan

hakim dalam memutus perkara dalam hal ini, pengajuan seorang saksi

yang dimana kemudian dapat menguntungkan terdakwa yakni saksi A De

Charge seakan membelok dari posisinya sebagai saksi yang meringankan

terdakwa mengingat juga bahwa posisinya sangat penting di karenakan

pada saat persidangan terdakwa tidak di damping penasihat hukum. Oleh

karena itu, penulis tertarik membahas lebih dalam lagi akan hal tersebut

yang coba di tuangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut :

4
B. Rumusan Masalah

Sebagaimana latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka sebagai berikut:

1. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi a de charge pada

tindak pidana jaminan fidusia ?

2. Apakah pembuktian oleh saksi A de Charge dipertimbangkan dalam

putusan perkara No.132/Pid.Sus/2020/Pn.Pre ?

C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah yang di atas, maka tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi

a de charge pada tindak pidana jaminan fidusia.

2. Untuk mengetahui bagaima pertimbangan hukum seorang hakim

dalam menjatuhkan sanksi pidana.

D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penulisan penelitian ini, diharapkan mampu

memberikan manfaat bagi para pembaca sebagagai berikut:

1. Secara Teoritis, Penulis berharap dapat memberikan bacaan dan

menuliskan secara baik yang disajikan bagi para pembaca agar bisa

5
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kesaksian yang

meringankan (A De Charge) dalam proses peradilan pidana.

2. Secara Praktis, Penulis berharap agar penelitian ini dijadikan sebagai

rujukan oleh para insan yuris dalam ber-acara, baik orang yang

berperkara maupun para penegak hukum, sehingga salah satu alat

bukti yakni saksi yang meringankan (A De Charge) secara faktual

dapat meringankan terdakwa.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang disajikan penulis, berdasarkan penulusuran yang

dilakukan penulis memang telah ada beberapa yang mengangkat

peneletian yang hampir sama, judul yang disajikan penullis yakni “Tinjauan

Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Saksi A De Charge dalam Tindak

Pidana Jaminan Fidusia Putusan Nomor 132/Pid.Sus/2020/Pn.Pre”

diantaranya sebagai berikut;

a. Penelitian lain yang berjudul “Fungsi dan Kedudukan Saksi A

De Charge dalam Peradilan Pidana” pada tahun 2015 namun

dalam penelitian yang disajikan oleh Risti Siti Aningsi dari

Universitas Muhammdiyah Surakarta yang dalam fokus

penelitiannya hanya membahas perihal fungsi dan kedudukan

saksi yang meringankan terdakwa (A De Charge) dalam

peneletiannya. Bahasan yang diuraikan sesuai dengan judul

6
yang diajukan tersebut fungsi dan hak-hak yang dibahas secara

terbatas dalam penelitiannya secara normatif saja Yakni Satu,

Bagaimana fungsi saksi A de Charge dalam Peradilan Pidana.

Kedua, Apa kewajiban serta hak-hak saksi A De Charge dalam

peradilan pidana. Dapat dilihat jelas bahwa bahasan yang

diuraikan tersebut hanyalah sedikit dari apa yang akan menjadi

pembahasan lebih lanjut oleh penelitian penulis kali ini. Disisi

lain, penulis pada penelitian ini bahasanya agak lebih luas akan

kekuatan kesaksian yang meringankan (A De Charge) dalam

tindak pidana jaminan fidusia yang telah dibatasi sesuai dengan

rumusan masalah di atas yang dilihat dari segala aspek normatif

yang ada guna mendukung penelitian penulis kali ini. Apalagi

putusan kasus yang di temukan penulis, Perihal jaminan fidusia

yang tidak hanya sering terjadi sehingga dapat lebih menyentuh

lebih dalam para pembaca untuk dijadikan rujukan dalam

mengatasi kasus yang serupa. Berbeda yang dituliskan oleh

saudari Risti bahasannya tidak melihat kasus yang ada namun

bahasannya agak lebih umum tanpa adanya perbandingan

yurisprudensi akan kasus yang menggunakan saksi (A De

Charge).

b. Judul peneletian yang lain yang diangkat oleh seorang

mahasiswa bernama Mohammad Rizal dengan Judul “Analisis

7
Hukum Pidana Tentang Penarikan Objek Fidusia di Tinjau

dari Pasal 368” pada tahun 2018 di dalam penelitiannya

rumusan masalah yang pertama disajikan oleh saudara Rizal,

mempertanyakan prihal teknis penarikan objek benda bergerak

sedangkan rumusan masalah yang kedua mengangkan

permasalah prihal factor penyebab tidak diperlihatkannya akta

jaminan fidusia pada saat akan di ambilnya objek fidusia dari

tangan kreditur. Hal ini tentu sangat berbeda dari apa yang akan

disajikan oleh penulis kali ini, melihat yang disajikan oleh

saudara Rizal keduanya rumusan masalahnya membahas prihal

teknis pengambilan benda objek fidusia di tangan kreditur,

sedangkan penulis kali ini lebih mengacu pada kekuatan

pembukatian seorang saksi yang meringankan dalam kasus

fidusia yang menjadikan terbilang agak luas ketimbang

penelitian saudara rizal disisi lain bahasan pasal 368 atau pasal

pemerasan yang dibahas hanya dalam ruang lingkup

pengambilan benda jaminan fidusia hal tersebut bisa dikatakan

agak sedikit jauh dari fidusia yang disajikan oleh penulis yang

bahasannya bisa dikatakan agak lebih meluas.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

8
Penelitian kali ini merupakan penelitian Normatif (Legal

Research), atau dalam bahasa belandanya Normatif Juridisch

Onderzoek. Penelitian ini merupakan studi dokumen yang

bersumberkan dari peraturan perundang-undangan,

keputusan/ketetapan pengadilan, kontrak/ perjanjian/akad, teori hukum

dan pendapat para sarjana.1 Jenis penelitian ini juga sering dikatakan

sebagai penelitian hukum dogmatic yang sering digunakan untuk

penelitian kepustakan karena metode ini ditujukan untuk penilitian yang

menkaji akan peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum yang ada.

2. Pendekatan Penelitian

Penulis dalam penelitian ini, menggunkan pendekatan penelitian

yang di dasarkan pada undang-undang yang berlaku yang biasa

disebut (Statue Approach). Serta pendakatan lain yang digunakan

yakni pendekatan kasus atau (Case Aprroach) sehingga penulisan

penelitian ini diharapkan mampu tersusun secara sistematis dengan

menggunakan bahan hukum seperti yang akan diuraikan dengan

menggunakan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan

kasus yang menjadi objek penelitian penulis kali ini.

3. Jenis dan Bahan Hukum

1
Muhaimin, 2020, Metode Penilitian Hukum, Mataram University Press, Nusa Tenggara
Barat, Hlm. 45

9
a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yang coba di dijadikan sebagai acuan

penulis yakni seperti yang di utarakan oleh Professor Peter Mahmud

Marzuki bahwa Indonesia yang manganut system hukum civil law

system, Bahan-bahan hukum yang utama di jadikan acuan

bukannlah yurisprudensi melainkan perundang-undangan

seharusnya merupakan peraturan memiliki otoritas tertinggi yang

telah disepakati antara rakyat dan pemerintah, sehingga memiliki

kekuatan yang mengikat bagi penyelengggara bernegara2. Sehingga

yang menjadi acuan bahan dalam penelitian kali ini yakni :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum

Pidana (KUHP).

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

d. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,

b. Bahan Hukum Sekunder

Selanjutnya bahan sekunder yang diharapkan mampu

memberikan petunjuk ataupun rujukan penulis dalam penyusunan

makalah ini yakni bahan hukum yang berupa jurnal hukum, putusan
2
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia
Group, Jakarta, Hlm 182.

10
pengadilan, komentar- komentar atas putusan pengadilan, artikel

media online, serta karya tulis ilmiah yang dapat menunjang dalam

pangkajian kasus terkait.3

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier lebih lanjut yang digunakan dalam hal ini

yakni ensklopedia, indeks komulatif dan kamus-kamus hukum yang

terkai sehingga diharapkan mampu memberikan penjelasan yang

lebih baik dalam penyusunan penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis dalam

penelitian ini tidak lain dan tidak bukan hanya bersumberkan dari

beberapa literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal hukum dan

buku-buku hukum pidana yang mendukung yang biasa dikenal dengan

istilah Lierature research (teknik studi literatur). Dalam memperoleh

putusan terkait kasus yang diteliti bersumberkan dari website Direktori

Putusan Mahkamah Agung yakni Putususan Nomor

132/Pid.Sus/2020/Pn.Pre.

5. Analisis Bahan Hukum

3
Ibid. Hlm 196

11
Penelitian hukum normatif, yang disajikan penulis tentunya tak jauh

dari bahan hukum yang telah diuraikan diatas yakni primer, sekunder dan

tersier, sehingga dalam penyusunan dapatlah diuraikan dengan tersusun

secara logis dan sistematis dengan penulisan yang bersifat deduktif

sehingga dapat memperoleh substansi yang akan diuraikan lebih dalam.

Selanjutnya dalam melakukan pengolahan bahan hukum tentunya tak

terlepas dari penafsiran hukum yang ada, agar dapat menghasilkan

kesimpulan yang objektif dalam penelitian tersebut.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN
KETERANGAN SAKSI A DE CHARGE PADA TINDAK PIDANA
JAMINAN FIDUSIA

A. TINDAK PIDANA JAMINAN FIDUSIA

1. Pengartian Tindak Pidana

Seperti yang ketahui bersama, bahwa hukum pidana di

Indonesia telah mengalami banyak sekalii perubahan atau “tambal

sulam” dari tahun ke tahun demi pemenuhan keadilan atas perkara

yang di sidangkan. Dewasa ini, banyak perubahan yang terjadi di dalam

masyarakat pula, akibat dari pembaharuan hukum kita, seperti halnya

berkontrak dengan pihak lain sangat bebas awalnya sementara

sekarang adanya pengaturan akan hal-hal terntentu dalam UU seperti

hubungan kerja dan kewajiban jaminan social. Maka dari itu, Hukum

pada dewaasa ini telah memaksakan peranan hukum untuk

mempengaruhi hubungan masyarakat itu, “Social Engineering”.

Sebelum kita melangkah kepada Tindak pidana itu, baiknya terlebih

dahulu dikemukakan kembali apa itu hukum pidana.4

Hukum Pidana menurut Wirdjono Prodjikoro mengatakan

“Hukum Pidana adalah peraturan hukum yang memuat akan sanksi

4
Subekti Sudarsono, 2017, Hukum Pidana Dasar- Dasar Hukum Pidana dan RUU
KUHP, Mummadiyah University Press, Surakarta, Hlm 19.

13
pidana” kata pidana yang dimaksudkan berarti hal yang dipidanakan

oleh instansi yang berkuasa memberikan atau menjatuhkan kepada

seorang sebagai hal yang tidak mengenakkan dan atau juga tidak

sehari-hari diberikan.

Hukum Pidana sendiri diartikan lebih spesifik oleh Muljatno

sebagai berikut . Hukum Pidana yakni keseluruhan dari hukum yang

berlaku di suatu negara yang mengadakan aturan-aturan dan dasar-

dasar untuk, Pertama Menuntukan perbuatan-perbuatan mana yang

tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan desertai ancaman atau

sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang telah melanggar

laarangan tersebut, inilah yang dimaksud criminal act atau tindak

pidana. Kedua bahwa Hukum Pidana menentukan kapan dan dalam

hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu

dapat dikenakan atau dijatuhi sanksi sebagai mana yang telah

diancamkan hal ini biasanya dimaksudkan criminal responsibility.

Pertama dan Kedua tadi merupakan substansive criminal law atau

disebut sebagai hukum pidana materil. Ketiga Hukum Pidana

menentukan dengan cara bagaimana dengan penganaan padana itu

dapat dilaksanakan apabila ada yang telah melanggar larangan tersebut

sehingga bagian ini dikatan sebagai hukum pidana Formil.

14
Jan Remmelink berpendapat bahwa Hukum pidana itu

merupakan keseluruhan ketentuan yang menetapkan syarat-syarat apa

saja yang ditentukan oleh negara, bila negara berkehendak untuk

memnunculkan hukum mengenai pidana, serta aturan-aturan yang

merumuskan pidana macam apa saja yang diperkenangkan. Hukum

pidana inilah yang biasanya disebut “ius Poenale” atau hukum postif

yang berlaku disuatu negara. Sedangakan dalam pembuatan aturan

tersebut akan syarat-syarat perbuatan yang dilarang atau penghukuman

warga negara atas kesalahannya disebutkan sebagai “Ius Poenale”

atau hak negara dalam memberikan hukuman melalui alat2 negaranya.

Van Hamel mengumukakan bahwa Hukum Pidana merupkan

keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara oleh negara

dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang

apa saja yang bertentangan dengan hukum “Onrecht” dan mengenakan

suatu nestapa “penderitaan” kepada pelanggar larangan tersebut.

Pengartian oleh Jen Remmelink dan Van Hamel merupakan

definisi yang mengarah kepada hukum pidana sebaga ius poenale.

Sedangkan disisi lain keberadaan ius puniendi haruslah berdasarkan

ius poenale. Ius Puniendi merupakan hak negara atau perlengkapan

alat-alat negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap

perbuatan tertentu.

15
Penjelasan diatas merupakan pengenalan akan hukum pidana

itu sendiri yang penulis harapkan dapat mempermudah dalam

memahami tindak pidana,5 Menurut Moeljatno tindak pidana

mendifinisikan sebagai “perbuatan pidana dimana perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan itu disertai dengan

ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar aturan tersebut” Roeslan Saleh memiliki perisitilahan yang

berbeda dari lazimnya tindak pidana dengan pahamannya yakni dia

menyebutnya dengan perbuatan pidana dan isitlahnya delik. Namun

menurut Sudarto akan hal tersebut istilah tindak pidana telah menjadi

umum dikarenakan banyaknya Undang-Undang yang menggunakan

isitilah tindak pidana, disisi lain secara sosiologi kata tindak pidana telah

diterima oleh masyrakt luas atau “socialgich gelding”. Berbeda pula dari

tokoh Van Hamel yang lebih menggunakan istilah “strafbaar feeit” atau

tindakan pidana atau berupa kelakuan seseorang yang dirumuskan

dalam Undang-undang “wet” yang bersifat melawan hukum yang patut

di pidana “strfwaardig” atas kesalahannya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau wetbook van

strafrech netherland indie asli berbahasa belanda masih menggunakan

isitilah strafbaar Feit dan delict. Istilah tersebut kemudian mengalami

5
Ibid. Hlm 92-93.

16
peruahan demi pemahaman masyarkat Indonesia itu sendiri menjadi

perbuatan pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan perbuatan

yang dapat dihukum, perbuatan yang diancam dengan hukuman dan

perbuatan yang dapat dikenakan hukum. Sedangkan negara yang

menganut Anglo Saxon atau yang menggunakan bahasa inggris

menggunakan istilah criminal act dan offence dimana perbuatan yang

dilarang itu dilakukan dengan disertai kesengajaan ataupun kealpan

yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang

dilakukannya.6

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada dasarnya unsur pidana dibedakan menjadi unsur objektif

dan subjekti, Dimana unsur subejktif adalah unsur-unsur yang melekat

pada diri pelaku atau yang berhungan dengan si pelaku sedangkan unsur

objektif adalah unsur-unsur yang melekat dengan keadaan dimana

peristiwa pidana itu dilakukan.7 Menurut S.R Sianturi unsur-unsur tindak

pidana yang pertama haruslah ada subjek hukum, kedua adanya unsur

kesalahan, kedaua unsur tadi masuk dalam rangkaian unsur subjektif.

ketiga perbuatan yang bersifat melawan hukum, keempat tindakan yang

dilarang atau diharuskan undang-undang yang diancam pidana, kelima

6
P.A.F Lamintang, 2013, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra aditya
Bakti, Bandung, hlm.193.
7
S.R Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Cet.3.Stria Grafika, Jakarta, Hlm.208.

17
dilakukan dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu. Sedangkan

ketiga sampai dengan unsur kelima masuk dalam unsur objektif.8

Tindak pidana menekankan dua aliran di dalam penjabarannnya

yakni berdasarkan aliran Monistis dan aliran Dualistis. Dimana aliran

monisitis memandang tindak pidana hanyalah mencakup perbuatan,

akibat serta pertanggung jawaban pidana atau kesalahan pelaku

kejahatan. Dalam aliran ini perbuatan pidana yang telah dilakukan telah

dapat dikenakan pemidanaan dan penjatuhan pidana.

Salah satu tokoh yang menganut aliran monistis yakni D.Simons

dimana tindak pidana yang telah dilakukan sengaja atau tidak dengan

sengaja oleh seseorang yang dapat mempertanggungjawabkan atas

tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum. Unsur- unsur yang di petakan

berdasarkan aliran monistis sebagai berikut;

a. Haruslah ada perbuatan manusia

b. Diancam dengan Pidana

c. Melawan Hukum

d. Dilakukan dengan Kesalahan

e. Dilakukan oleh orang yang mampu mempertanggungjawabkan

perbuatannya
8
Sudaryono Subekti, Op.cit, hlm 94-96.

18
Unsur-unsur yang dipetakan simons lebih diperinci lagi dengan

meliputi unsur subjektif dan objektif. Unsur objektif yang dimaksud dalam

tindak pidana yakni perbuatan orang, dengan akibat yang terlihat dari

perbuatan itu, selanjutnya perbuatan tersebut ada keadaan tertentu yang

menertainya sebagaimana pasal 181 KUHP. Sementara unsur subjektif

meliputi ada orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya

dan adanya kesengajaan atau kealpaan “Dolus dan Culpaí”

Bukan hanya Simons yang melakukan pemetaan dalam unsur

tindak pidana melainkan salah satu tokoh dari Belanda juga yakni

Hazewinkel-Suringa menurutnya tindak pidana itu meerupakan perbuatan

yang pada suatu saat tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus

ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana yang

bersifat memaksa yang terdapat didalamnya. Selanjutnya Hazewinkel

memetakan unsur tindak pidana dimana Unsur Subjektif sebagai berikut;

a. Unsur kelakuan sesorang;

b. Unsur akibat yang dilarang yang dirumuskan secara materil; dan

c. Unsur psikis;

Sedangkan Unsur Objektif;

a. Unsur objektif yang menyertai keadaan tindak pidana seperti

dimuka umum

19
b. Unsur syarat tambahan yang dapat dipidananya perbuatan

sebagaimana pada pasal 164 dan 165 disyaratkan apabila tindak

pidana terjadi

c. Unsur Terakhir yakni melawan hukum.

Pakar hukum yang lain yang menganut aliran dualistis yakni

Moeljatno menekankan bahwa unsur tindak pidana atau perbuatan

pidana memiliki pemetaan yang lebih sederhana dari unsur sebagai

berikut;

a. Adanya perbuatan yang menimbulkan akibat

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

c. Keadaan yang memberatkan terdakwa

d. Unsur melawan hukum Objektif

e. Unsur melawan hukum subjektif

Namun pada ulasan yang yang dibuat oleh Sudarto, unsur

tindak pidana menurut Moeljatno lebih disederhanakan lagi, dimana yang

pertama haruslah ada perbuatan, kedua harus memenuhi rumusan

undang-undang (syarat formal) dan ketiga harus bersifat melawan hukum

(syarat Materil). Dalam penjatuhan pidana seorang dapat dikenakan

pidana apabila telah melakukan tindak pidana dan mempunyai keslahan.

20
Apabila tidak terpenuhi salah satu diantaranya seseorang itu tidak dapat

dijatuhi pidana sekalipun telah terbukti melakukan tindak pidana.

Aliran tindak pidana Dualistis lebih sering digunakan dalam

system hukum negara Anglo Saxon. Namun, berdasarkan hukum pidana

yang sering sekarang, perbuatan yang berpegang pada asas legalitas

dan dsisi lain berdasarkan tidak ada pidana tanpa kesalahan.

Kecendrungan pola tersebut yang memisahkan kedua itu, dapat membuat

tindak pidana di masa kini menjadi pendirian dualistis.9

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

1. Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran

Kejahatan atau Rech Delicten yang merupkan tindak pidana

adalah perbuatan yang dinilai sangat tercela karena kualitasnya

memang dianggap lebih berat, terlepas dari di aturnya dalam

perundang-undangan atau tidak merupakan sebuah kejahatan yang

dianggap sangat tercela lebih lanjut di klasidikasi dalam Buku II KUHP.

Sedangkan, Pelanggaran atau Wet Delicten merupakan tindak

pidana yang merupakan perbuatan yang tercela yang karena telah

diatur dalam sebuah perundang-undangan dianggap sebagai perbuatan

yang tercela. Lebih lanjut bahwa keduanya dapat dibedakan menjadi ;

9
Ibid, hlm 107-113.

21
a) Pada tindak pidana kejahatan diancam dengan pidana penjara

sedangkan pelanggaran tidak;

b) Dalam tindak pidana kejahatan unsur kealpaan atau kesengajaan

sangat perlu diperhatikan oleh seorang penegak hukum agar

penentuan yang dikenakan lebih akurat atas perbuatan jahat yang

dilakukan seseorang. Sedangkan Pelanggaran, Sebuah tindak

pidana yang tidak perlu memperhatikan kesengajaan atau

kealpaan;

c) Tindak pidana kejahatan yang walaupun dalam sebuah

percobaannya sudah dapat seeorang itu diancam dengan sanksi

pidana sebagaimana pada Pasal 54 KUHP. Sedangkan pada

pelanggaran percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat

diancam pidana bilamana masih tahap percobaan, Seseorang itu

baru diancam pidana bilamana telah selesai melakukan

pelanggaran atau perbuatan yang dilarang undang-undang;

d) Perbedaan dapat dilihat melalui daluarsa eksekusi pidana

kejahatan yang memiliki 2 tahun untuk selanjutnya dieksekusi

sedangkan pelanggaran lebih singkat yakni 1 tahun masa

eksekusinya;

2. Tindak Pidana Formil dan Materil

22
Tindak Pidana Formil adalah tindak pidana yang lebih

meneekankan pada perbuatan yang dilarang bukan menanti adanya

akibat yang ditimbulkan. Dapat dikatakan sebuah tindakan pidana

sempurna dilakukan apabila benar-benar telah selesai dalam

melakukannya tidak peduli berapa jumlah kerugian yang bisa

ditimbulkan seperti contohnya pada pasal pencurian dan

penghinaan.

Selanjutnya, Pada tindak pidana materil sebuah akibat yang

ditimbulkan lebih diperhatikan, atau baru dianggap telah selesai atau

sempurna bilamana ada akibat yang telah ditimbulkan dari

perbuatan seseorang itu. Bila sebuah tindakan dari seseorang itu

tidak menimbulkan akibat maka perbuatan tersebut belum dianggap

dalam rangkaian tindak pidana materil. Contoh seperti halnya pada

pasal pembunuhan 338 KUHP dimana haruslah ada akibat dari

perbuatan seseorang yang dimana hilanngya nyawa atau matinya

korban atas perbuatan yang dilakukan seseorang itu.

3. Tindak Pidana Kesengajaan dan Kealpaan.

Tindak Pidana Kesengajaan atau Dolus merupakan sebuah

peristiwa pidana dimana pelaku telah memiliki maksud dalam batin

jiwanya menginginkan sebuah akibat yang ditimbulkan dari

23
perbuatannya, seperti halnya pada pasal 340 KUHP, dimana dengan

sengaja berencana yang merupakan persiapan batinia dengan

maksud untuk menghilangkan nyawa yang merupakan akibat yang

telah diketahui oleh pelaku.

Sedangkan Tindak Pidana Kealpaan ata Culpa merupakan

tindak pidana yang tidak menginginkan atau bermaksud atau tidak

memiliki keinginan dalam batinianya agar akibat itu muncul atas

perbuatannya. Seperti pada pasal 359 KUHP dengan kealpaan atau

kelalaiannya memnibulkan hilangnya nyawa seseorang atau pada

pasal 360 KUHP dimana pada pasal tersebut dilihat karena

kalaliannya menyebabkan seseorang itu luka berat.

4. Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana biasa

Tindak Pidana aduan merupakan tindak pidana yang baru

dijalankan oleh para penegak hukum bilamana adanya aduan yang

mendahului sebuah perbuatan dari pihak korban tindak pidana itu.

Dalam tindak pidana aduan sebuah proses hukum dapat dihentikan

bilamana seseorang yang mengadukan tindak pidana itu mencabut

atau telah menempuh jalan damai oleh pihak yang pelaku tindak

pidana. Tindak pidana aduan juga dapat terbagi menjadi tindak

pidana aduan Absolut dimana proses hukum baru benar-benar

24
berjalan bilamana pengadu merupakan korban atas tindak pidana itu

sendiri atau dikatakan korban yang mengalami dalam hidupnya

menjadi proaktif dalam mengadukan atau melaporkan tindak pidana

itu, sedangkan tindak pidana aduan Relatif merupakan pengaduan

yang dilakukan oleh orang-orang terdekat sehingga perbuatan

pidana itu memasuki proses hukum atas laporang yang diberitakan

oleh orang-orang terdekat korban.

Sedangkan Tindak Pidana Biasa atau bukan aduan merupakan

sebuah tindak pidana yang walaupun tidak diadukan atau dilaporkan

kepada pihak penegak hukum dapat menjalani prosesi hukum itu

sendiri, Biasanya tindak pidana ini tidak dapat lagi dihentikan proses

hukumnya bilamana telah berjalannya proses hukum itu berbanding

terbalik dengan tindak pidana aduan tadi.

Pembagian kedua delik aduan dan delik biasa merupakan

pembagian yang dimaksudkan agar kemudian sebuah kepentingan

terlindungi yang bilamana sebuah tindak pidana itu tersebar dimuka

umum dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi korban

tindak pidana.

5. Tindak Pidana Commision, Ommisionn dan Commision per

Omision Ommissa

25
Tindak Pidana Commision merupakan tindak pidana yang

dilakukan secara aktif dilakukan dan perbuatan tersebut dilarang oleh

Undang-undang, atau dalam sebuah perbuatan yang dengan

aktifitasnya terjadinya sebuah tindak pidana itu jelas sempurna telah

selesai dilakukan. Contoh pada ada tindak pidana pencurian,

penipuan, dan penganiayaan. Pelaku bersifat aktif melakukan

perbuatan itu sendiri.

Tindak Pidana Ommision merupakan tindak pidana yang

pelakunya bersifat pasif atau tidak melakukan sesuatu namun

karennya dianggap sebagai sebuah tindak pidana. Contoh pada pasal

522 KUHP yang diperintahkan oleh pihak pengadilan untuk menjadi

seorang saksi dalam sebuah persidangan namun karena tidak

diindahkannya perintah itu dapat diancam dengan pidana. Contoh lain

yakni pada pasal 531 KUHP dimana adanya seseorang dalam bahaya

namun karena dia yang berada dilokasi tersebut hanya diam dan

mengamati orang tersebut sehingga menimbulkan akibat membuat

orang yang diam tersebut menjadi pelaku tindak pidana.

Selanjutnya yakni Tindak pidana Commision per Omision

Commisa dimanan perbruata tersebut merupakan pelaku secara aktif

atau Commsion tetapi dilakukan dengan cara tidak melakukan sesuatu

yang menjadi keharusanynya atau kewajibannya. Contoh pada

26
penalantaran seorang anak kandung dengan tidak memberikannya

penghidupan yang benar atau membiarkannya kelaparan kehausan

yang menjadi kewajibannya sebagai seorang orang tua.

6. Tindak Pidana yang berlangsung terus menerus dan tidak terus

menerus.

Tindak pidana yang berlangsung terus menerus merupakan

tindakan yang dilakukan oleh seorang pelaku kejahatan membuat

kejahatan yang dilakukan dengan jangka waktu yang panjang atau

dilakukan dengan membuat nestapa itu terasa berkepanjangan oleh

korban. Contoh pada tindak pidana ini yakni dengan menyekap

seseorang di ruang gelap dengan waktu yang lama atau merampas

kemerdekaan seseorang sebagaiamana pada pasal 333 KUHP atau

juga sebagaimana dalam Hukum Pidana internasional seperti

penjajahan dan sebagainya.

Sementara tindak pidana yang tidak terus menerus merupakan

tindakan yang tidak membuat kehjahatan itu berlangsung lama oleh

pelaku kejahatan itu. Tindak pidana ini sangat sering didapati oleh

penegak hukum.

7. Tindak Pidana Berganda dan Tunggal

27
Tindak pidana tunggal yakni tindak pidana yang pelakunya

hanya melakukannya hanya sekali dan dianggap telah selesai hanya

dilakukan sekali saja, Contohnya Pembunuhan. Sedangkan Berganda

merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dimana

perbuatan pidana itu dilakukan hingga berkali-kali contohnya pada

tindak pidana pendahan dimana barang yang malawan hukum itu

dilakukan pembelian oleh orang yang satu dengan orang yang lain

sehingga tindakan melawan hukum dalam hal ini pencurian barang itu

berkali-kali pindah pelaku sebagaimana pada pasal 481 KUHP.

8. Tindak Pidana Sederhana dan Disertai Pemberatnya

Tindak Pidana sederhana yakni sebuah tindak pidana atau

perbuatan pidana yang dilakukan karena perbuatan itu diatur didalam

undang-undang ancaman pidananya ringan dapat dikatakan

sederhana, Contohnya di dalam pencurian dengan alasan untuk

menghidupi anaknya yang sedang kelaparan atau penganiayaan yang

dilakukan karena membela diri. Sedangkan pada tindak pidana disertai

pemberat biasanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku yang

merencanakan dengan sengaja tidak dapat ditolerir lagi karena akibat

yang ditimbulkan. Contohnya pada penganiayaan yang menyebabkan

luka berat atau matinya seseorang itu sebagai korban.

28
9. Tindak Pidana ekonomi dan tindak pidana politik

Kedua jenis tindak pidana ini lebih mengarahkan perhatiannya

pada substansi atau inti dari perbuatan pidana itu. Dimana Tindak

pidana ekono I merupakan tindak pidana yang mesuk dalam rangkaian

kajian perkonomian yang dapat menimbukan kerugian baik besar

maupun kecil, Sedangkan tindak pidana politik merupakan tindak

pidana yang dilakukan oleh elit politik atau tindak pidana yang

dilakukan dengan orang yang dituju menyangkut urusan politik,

Contohnya yakni makar sebuah perbuatan pidana yang mengancam

system pemerintahan suatu negara.10

4. Pengartian Jaminan Fidusia

Fidusia meruapakan sebuah kata yang berasal dari bahasa

Romawi yaitu kata “Fides” yang bermakna kepercayaan atau “Belive”.

Melihat dari arti kata tersebut seorang yang memiliki hubungan hukum

yang berdasarkan hanya kepercayaan. 11Sedangkan didalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal

1 angka 1 mengatakan “Fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan

suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda

10
Yurizal, 2021, Aspek Pidana Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Media Nusa
Creative Cet-16, Malang, hlm 8
11
Ibid.hlm 102.

29
yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan

pemilik benda tersebut. Sedangkan Jaminan Fidusia berdasarkan pasal

1 angka 2 merupakan “Hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana yang dimaksud Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996

Hak tanggungan yang tetap berada dalam pemberi fidusia sebagai

agunan untuk pelunasan tertentu”.12

5. Dasar Hukum Tindak Pidana Fidusia

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebuah sanksi

dijatuhkan apabila telah jelas melakukan perbuatan yang menyalahi

sebuah norma sehingga seseorang dapat mempertanggung jawabkan

perbuatannya di depan persidangan, inilah yang disebut Crime

Responsibility. Namun dewasa ini tentunya sebuah perbuatan yang

dilarang atau perbuatan yang diancam sebuah sanksi pidana haruslah

tak terlepas dari Asas Legalitas yang dicetuskan oleh Fuerbach pertama

kali dimana sebuah perbuatan tidak dapat diancam sanksi apabila tidak

ditentukan terlebih dahulu didalam sebuah peraturan perundang-

undangan.

12
Ibid. hlm 40.

30
Fuerbach mengatakan sebuah perbuatan itu bukan saja hanya

dituliskan sebagai bentuk aturan yang dilaran, namun haruslah

diberikan sebuah ancaman sanksi yaitu pidana. Kurang lebih begitulah

yang dikatakan dalam teorinya “Von Psychologischen zwang” . Negara

kita yang pada waktu itu, memusatkan perhatian pada pembangunan

ekonomi nasional dimana diharapkan dari berbagai sector yakni

perdagangan, perhubungan, pengembangan usaha, pembangunan

perkotaan dan pemukiman dapat tersentuh pembangungan ekonomik

yang merata menjadi piorias utama. Lalu lintas ekonomik yang cepat

antar pengusaha baik kecil maupun besar melakukan kredit untuk

meningkatkan masing-masing usahanya tentulah tidak dapat terlepas

dari perkreditan yang sangat vital dalam pembangunan perekonomian

nasional karena nyantanya memang sangat bermanfaat bagi mereka,

apalagi yang usahanya masih kecil. Dalam perjalanan perkreditan di

Indonesia terutama pada pengusaha kecil atau penerima kredit lainnya

tak jarang melakukan pelanggaran-pelanggaran baik ia tidak mampu

membayar atau memang sengaja tidak ingin membyarkan hutangnnya

karena dianggap hanyalah sebagai perjanjian biasa yang tidak terikat

undang-undang.

Perjalanan Hukum di Indonesia tentulah tak terlepas dari Hukum

Belanda dimana pada saat itu awal yang menjadi dasar adanya

31
perikatan pertama kali diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) 1847 atau

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yakni pada pasal 1233 tentang

perikatan, Namun pada saat itu orang Indonesia masih sangat sulit

memahami hal tersebut bukan saja hanya karena bahasan yang

berbeda namun orang Indonesia pada zaman tersebut masih sangat

kental dengan hukum adat mereka sendiri, yang tanpa ia sadari telah

melakukan perikatan sebelum adanya aturan dari belanda, contohnya

dalam mengelola lahan pertanaian yang bukan ia miliki sendiri namun

hasilnya nanti akan dibagi antara penggarap dan pemilik lahan.

Sehingga pemerintah zaman colonial Belanda pada saat itu

mengeluarkan Lembaran Negara atau “StaatsBlaad” Nomor 57 Tahun

1886 yang mempertegas peraturan bagi hasil panen atau pada saat itu

disebut “Oogsverband” peraturan tersebut mengatur tentang

peminjaman uang yang akan dibayarkan dengan hasil panen nantinya

baik pertanian maupun perkebunan.

Fidusia pada saat itu ada dua yakni Cum Crediture dan Cum

Amico, yang sering digunakan pada saat itu adalah Cum Crediture

Contracta yang dimana janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur

sebagai jaminan atas utangnya. Hal tersebut tentunya sangat lemah

melihat yang menjadi jaminan hanyalah kepercayaan sehingga lahirlah

sebuah kebendaan menjadi objek jaminan agar kiranya prestasi yang

32
diharapkan tidak gampangnya untuk diingkari. Objek jaminan tersebut

pun menjadi problem dalam masyarakat lagi yang tidak jelas prihal

benda apa saja yang dapat menjadi objek jaminan fidusia sehingga

Hooge Raad berpendapat bahwa benda yang dapat difidusiakan adalah

benda bergerak. Tapi dalam praktiknya masih banyak yang

menggunakan benda tidak bergerak sebagai jamninan melihat undang-

undang nomor 5 tahun 1960 tentang Hukum Agraria masih

menggunakan frase tanah dan bukan tanah dalam penulisannya. Pada

perjanalannya fidusia yang memiliki banyak problematika yang terjadi

baik di kalangan pengusaha kecil pengaturan tentangnya mulai agak

rentan karena tak jarang benda yang menjadi jaminan bukan lagi benda

bergerak melainkan sudah mulai masuk dalam ranah benda tidak

bergerak seperti tanah dan rumah, tak jarang banyak yang membuat

penjaminan tanpa adanya pendaftaran melainkan hanya melalui lisan

sehingga posisi debitor pun menjadi terancam dalam hal

akuntabilitasnya, disisi lain hal tersebut di nilai sangat jauh dari tujuan

hukum yakni kepastian dan keadilan.

Perkembangan hubungan ekonomi dengan menggunakan

jaminan kebendaaan tidak bergerak secara tidak langsung menjadikan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Pemukiman serta Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang

33
satuan rumah susun sebagai acuan. Pemerintah pun pada akhirnya

membuatkan pengaturan khusus yang mewadahi perikatan jaminan

demi pengawalan aktifitas ekonomi yakni dengan adanya Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.13

Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia yang sekarang, ketentuan pidana di atur dalam bab VI (enam)

yang terdiri dari pasal yakni pasal 35 dan pasal 36 yakni sebagai

berikut:

a. Pasal 35, Setiap Orang yang dengan sengaja memalsukan,

mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun

memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal

tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan

perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 1 (satu) tahun penjara dan paling lama 5 (lima)

tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000 (sepuluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) .

b. Pasal 36, Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan,

atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia

sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan

tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerimana

13
Alfitra, Op.cit, hlm. 23

34
Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)

tahun dan paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.

Pasal 35 ketentuan pidana diatas kemudian lebih lanjut dapat

dipetakan menjadi beberapa unsur sebagai berikut:

1. Sengaja Memalsukan

2. Mengubah

3. Menghilangkan dengan cara apapun

4. Diketahui oleh salah satu pihak

5. Tidak melahirkan Jaminan Fidusia

Berdasarkan pasal 36 ketentuan pidana di atas, dapat kemudian di tarik

unsur-unsur pebuatan yang dapat menimbulkan sanksi pidana yang jika

diuraikan sebagai berikut:

1. Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan atau

menyewakan

2. Benda objek Fidusia

3. Tanpa Persetujuan tertulis

4. Penerima Fidusia

Mengalihkan yang dimaksudkan termasuk didalamnya menjual

atau menyewakan dalam rangka kegiatan usaha begitulah kurang lebih

35
dijelaskan pada pasal 21, Juga pada pasal 19 berisikan aturan teknis

pengalihan ha katas piutang terhadap kreditor baru, Sehingga setiap

peralihan yang dilakukan tanpa persetujuan dari peneriman fidusia baik

yang dilakukan dengan akta otentik atau akta dibawah tangan, dapat

diancam pidana sebagaimana yang dimaksud pasal 36. Menggadaikan

atau Menyewakan yang dimaksudkan bahwa kebendaan yang menjadi

objek jaminan fidusia yang berstatus penyerahan untuk pinjam pakai,

yang ada dalam kekuasaannya namun dipindahkan untuk memperoleh

keuntungan pribadi atas benda jaminan tersebut dilarang oleh pasal ini.

B. HUKUM PEMBUKTIAN

1. Pengertian Hukum Pembuktian

Hukum Pembuktian dalam rancangan penemuan fakta yakni

seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni

segala proses yang berkaitan tentang dengan penggunaan alat-alat bukti

yang sah dan dilakukan dengan tindakan-tindakan dengan prosedur

khusus guna mengathui fakta-fakta yuridis dipersidangan, system yang

dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang dianut dalam

mengajukan bukti tersebut serta kewanangan hakim untuk menerima,

menolak atau menilai suatu pembuktian.14

14
Alfitra, 2012, Hukum Pembuktian dalam Berbicara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia, Cet.3 Raih Asa Sukses, Jakarta, hlm.14

36
2. Teori Pembuktian

1. Positief Wettelijk Bewijsh Theorie

Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara positif

(Positief Wettelijk Bewijsh Theorie) dimana Teori Pembuktian ini yang

didasarkan kepada alat-alat bukti yang disebut Undang-Undang

Menurut Simmons, system atau teori ini berusaha menyingkirkan

pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat

menurut peraturan pembuktian yang keras. Sehingga tidak menutup

akan perkembangan pemikiran manusia dalam menganalisa

kebenaran menemukan kelemahan akan teori ini yakni,

Mengesampingkan keyakinan hakim sehingga hakim tidak dapat

bergerak secara bebas tentang kebenaran perkara yang dihadapi

untuk memutus dengan tenang akan kasus tersebut. Namun tentunya

sebuah teori tidak hanya ditemukan kelemahan didalammnya

melainkan ada pula kelebihan yakni alat bukti yang ditentukan dan

mengikat hakim maka hakim haruslah tunduk pada undang-undang

yang mengatur dalam masalah pembuktian.15 Teori ini mulai ditinggal

oleh dunia akan hal tersebut karena dinilai terlalu rigit atau kaku

sehingga hakim dikatakan hanya sebagai corong Undang-Undang,

Disisi lain, Manusia yang dihakimi tidak boleh terlepas dari

15
Didik Hendro Purwoleksono, 2015, Hukum Acara Pidana, Airlangga University
Press, Surabaya, hlm.130

37
pertimbangan bahwa manusia tersebut melakukan sebuah kejahatan

atas alas an tertentu sehingga dapat dikatakana bahwa keberadaan

toeri bantahan secara tajam oleh banyak aliran sosio-legal

sebagaimana yang diutarakan simons tadi.

Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formil,

oleh karena itu pembuktian ini lebih sering digunakan dalam

pembuktian akan perkara perdata. Hakim akan berusaha membuktikan

keslahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh hati nuraninya sehingga

putusan yang dihasilkan benar-benar objektif yakni cara-cara dan alat

bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Pada dasarnya, Bilamana

terdakwa telah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang

sah maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus di

pidana.16

2. Convection Intime atau Keyakinan Hakim

Teori ini lebih mengacu kepada keyakninan hakim atau hati nurani,

sehingga pemidanaan dimungkinkan tidak harus didasarkan pada alat-alat

bukti undang-undang dalam memutus terhadap perkara yang dihadapi.

Teori yang di sering digunakan di negera perancis ini, tentunya ada

kelemahan pula yakni, Terlalu memberikan kebebasan terhadap hakim

16
Alfitra, 2012, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana Perdata dan Korupsi di
Indonesia, Raih Asa Cet.3, Jakarta, hlm, 18

38
sehingga sulit diawasi sehingga terdakwa juga sulit dalam melakukan

pembelaan. Namun dalam teori ini tersimpan kelebihan pula di dalamnya

sehingga beberapa negara selain perancis memkai teori ini dimana, di

tangan hakim yang jujur, bermoral dan berdedikasi tinggi, akan diharapkan

dapat memberikan putusan yang adil bagi terdakwa maupun dirasakan

oleh masyarakat17. Teori ini sangat sederhana dikarenakan tidak

dibutuhkannya (Tidak Terikat) peraturan tentang pembuktian (bloot

gemodelijke,conviction intime) karena hanya mengedepankan apa yang

menjadi keyakinan hakim seorang (Subjektif) atau perasaan hakim saja

prihal bersalah atau tidaknya perbuatan terdakwa .18

3. Conviction In Raisone atau Keyakinan Hakim dengan Alasan.

Teori ini masih kuat berpegang kepada keyakinan seorang hakim

dalam memutus suatu perkara namun, keyakinan seorang hakim tidak

seperti sebelumnya bebas atas kehendaknya sendiri Conviction Intim

melainkan pada teori ini factor keyakinan seorang hakim menjadi terbatas

oleh sebuah alasan Resonable .19 Namun teori ini dapat dikatakan teori

bebas dikarenakan hakim bebas memilih alasan-alasan yang

17
Opcit. Hlm 130.
18
Andi Sofyan dan Amir Ilyas, 2013, HUKUM ACARA PIDANA Suatu Penganta,
Mahakarya Rangkang, Sleman Yogyakarta, hlm. 246
19
Kadi Sukarna, 2016, Alat Bukti Petunjuk menurut KUHAP dalam Perspektif Teori
Keadilan, Unnes Pess, Semarang, hlm.57

39
dikemukakan dalam mumutus suatu perkara. Sehingga alasan yang

biasanya dikemukakan oleh hakim ada dua, yakni :

a. Pembuktian Hakim berdasarkan alasan-alasan yang benar-benar

logis berdasarkan ilmu pengetahuan hakim sendiri yang menjadi

kesimpulan conclusion dalam memutus perkara.

b. Pembuktian Hakim berdasarkan undang-undang secara negative

(Negatief wettelike bewijstheorie) atau mendasarkan alasannya

dengan menggunakan tolak ukur pada aturan-aturan pembuktian

undang-undang baik secara procedural maupun secara materil20.

Teori ini, biasanya digunakan dalam pelbagai perkara ringan yang di

jumpai oleh para penegak hukum yang ada di Indonesia seperti perkara

lalu lintas atau persidangan yang tidak membutuhkan seorang jaksa

melainkan polisi yang diberikan kuasa untuk menghadirkan terdakwa

dalam persidangan.21

4. Negatief Wettelijke Bewijstherie atau Pembuktian Undang-Undang

secara Negatif.

Pada segi historisnya teori ini merupakan gabungan dari theory

pembuktian secara positif (Positief Wettelijke Bewisj Theory) dan teory

keyakinan hakim melulu ( Conviction Intime ). Maka dari itu, Adanya

20
Andi Sodyan dan Amir Ilyas, Op.cit, hlm.248
21
Kadi Sukarna, Op.cit, hlm.58

40
procedural dan tata pembuktian sesuai dengan rangkaian alat bukti yang

dibatasi22. Lebih lanjut dalam teori ini dijatuhkannya putusan bersalah atau

tidaknya seorang terdakwa lebih mengacu kepada alat bukti yang

ditentukan dalam undang-undang, setelah itu keyakinan seorang hakim di

bangun berdasarkan alat bukti itu23. Sebagaimana pasal 183 KUHAP

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidan bagi seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan dengan itu ia

memperoleh kayikanan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa yang terdakwalah yang bersalah melakukannya“24.

Dalam theory ini, secara bahasa Wettelijke artinya berdasarkan

undang-undang, Sedangkan Negatief yang berarti bahwa cukupnya dua

alat bukti dalam sebuah persidangan sesuai dengan undang-undang,

hakim tidak dapat menjatuhkan pidana sebelum memperoleh keyakinan

tentang kesalahan terdakwa25. Menurut Wirdjono Prodjodikoro, teori ini

sepatutnya dipertahankan bahwasannya haruslah ada kayakinan seorang

hakim atas kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana, bukanlah

dengan secara terpaksa karena hakim tidak yakin atas kesalahan

22
Riadi Asrai Ahmad, 2019, Hukum Acara Pidana, P.T Raja Grafindo Prasada,
Depok, hlm. 86
23
Ali Imron dan Muhammad Iqbal, 2019, Hukum Pembuktian, UNPAM Press,
Pamulang Tanggerang Selatan, hlm.5
24
Soenarto Soeridibroto, 2006, KUHP dan KUHAP, P.T Raja Grafindo Prasada,
Jakarta, hlm. 435
25
Ali Imron dan Muhammad Iqbal, Op.cit, hlm. 6

41
terdakwa serta haruslah ada patokan berupa aturan hakim yang mengikat

dalam meyusun keyakninnya di sebuah persidangannya.26

3. Alat Bukti Dalam Hukum Pidana

Secara Terminologi ”Bukti” merupakan sesuatu akan sebuah hal

( peristiwa ) atau untuk memperilihatkan kebenaran akan hal tersebut 27.

Alat bukti merupakan segala sesuatu yang yang berhubungan dengan

suatu perbuatan, dimana dengan alat bukti tersebut dijadikan sebagai

konstruksi dasar dalam membangun kepercayaan seorang hakim dengan

demikian perkara yang dihadapi lebih terang atas perbuatan terdakwa

apakah ia benar melakukan tindak pidana28. Alat Bukti tentu sangat

penting keberadaanya dalam sebuah persidangan melihat fungsi dari alat

bukti itu sendiri dimana yang pertama, bagi seorang jaksa pentut umum

dimana keberadaan alat bukti dimana bersalahnya seorang terdakwa

haruslah koheren dengan surat atau catatan dakwaan guna memperkuat

keyakinan hakim. Kedua, bagi seorang terdakwa atau penasihat

hukumnya dapat digunakan untuk mengajukan alat bukti yang mendukung

keringanan sanksi atau kebebasan dari tuntutan pidana melalui keyakinan

hakim pula. Ketiga, dijadikan acuan atau sebuah dasar untuk membuat

kokoh keyakinan hakim dalam memberikan putusan atas perkara dalam

26
Ahmad Riadi Asrai, Op.cit, hlm.87
27
Ibid.
28
Ali Imron dan Muhammad Iqbal, Op.cit, hlm.22

42
persidangan.29 Lebih lanjut alat bukti dalam hukum pidana diantaranya

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan

terdakwa dalam pasal 184 KUHAP, sebagaimana yang coba diurakan

dibawah ini ;

1. Keterangan Saksi

Pengartian Saksi sendiri termuat di dalam KUHAP pada pasal 1 angka

26 yakni “ Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri “ lebih lanjut

pasal 1 angka 27 KUHAP mengatakan “ Keterangan saksi ialah salah satu

dari alat bukti yang berupa keterangan seorang saksi prihal suatu

peristiwa pidana baik yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dengan

meyebutkan alasan-alasan dari pengatahuannya itu”.30

Lebih lanjut dibuat dalam bentuk-bentuk saksi sebagai berikut :

a. Saksi A Charge

Saksi ini juga dapat disebut sebagai saksi yang memberatkan

dalam sebuah persidangan, saksi tersebut diajukan oleh jaksa penuntu

Umum untuk memberikan kesaksian dalam sebuah persidangan lebih

29
Didik Hendro Purwoleksono, 2015, Hukum Acara Pidana, Airlangga University
Press, Surabaya, hlm.113
30
Ali Imron dan Muhammad Iqbal, Op.cit, hlm.23

43
lanjut pasala 160 KUHAP ayat 1 huruf c yakni “ dalam hal ada saksi

yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan

perkara atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau

penuntut umum selama berlangsunya sidang atau sebelum

dijatuhkannya putusan, dan kemudian hal tersebut mewajibkan

seorang hakim dalam mendengarkan kesaksian tersebut.

b. Saksi A De Charge

Saksi ini diajukan oleh penuntut umum terdakwa atau penasihat

hukum guna untuk meringankan sanksi yang akan di jatuhkan kepada

terdakwa dalam sebuah persidangan dan merupakan kebalikan dari

saksi A Charge (yang memberatkan) yang wajib didengarkan oleh

seorang hakim berdasarakan pasal 160 KUHAP ayat 1 huruf C.

c. Saksi Mahkota (Kroongetuige)

Saksi mahkota atau dalam bahasa latin kroongetuige merupakan

seorang yang dapat diambil keterangannya dalam sebuah persidangan

yang mendapat perlakuan istemewa dimana ia tidak debebankan

pidana padanya walaupun merupakan ia salah satu bagian sebuah

peristiwa pidana namun ia dimaafkan atas kesalahannya akan alasan

tertentu. Namun dalam penggunaan saksi mahkota dalam sebuah

persidangan sangatlah dihindarkan mengingat besarnya peluang

44
terjadinya pemberian kesaksian lisan yang jauh dari fakta hukum yang

ada, disisi lain juga dapatnya membuat saksi tersebut diancam dengan

Pasal 224 KUHP.

d. Saksi Relatif Enbevoegd

Seorang yang diambil sebuah keterangan dengan maksud untuk

menerangkan peristiwa hukum yang telah terjadi namun dengan

ketidak kesempurnaannya ia sebagai subjek hukum atau tidak

nisbi/relative ia tidak dijadikan saksi namun dapat didengarkan lisannya

dalam persidangan seperti orang yang belum cakap atau belum

berumur 15 tahun atau seorang yang mengalami kegilaan.31

e. Saksi De Auditu

Testimonium De Audito sering digunakan oleh negara yang

menganut system hukum Common Law dimana seorang

menyampaikan sebuah keterangan yang didengarnya dari pihak lain

atau pihak ketiga, secara umum keterangan yang disampaikan oleh

orang ini ditolak sebagai alat bukti, Namun dengan alasan atau sebab

tertentu hakim dapat menjadikannya alat bukti persangkaan

(Vermoeden) tentunya dengan pertimbangan obejktif dan rasional oleh

31
Alfitra . Op.Cit, hlm.39

45
hakim. Kesaksian yang disampaikan pada persidangan oleh jenis saksi

ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti langsung.32

d. Saksi Penyidik Verbalisan

Saksi ini merupakan seorang penyidik yang dipanggil dalam sebuah

persidangan atas dicabutnya keterangan seorang terdakwa pada

sebuah pemeriksaan atau dalam pembuatan berita acara pemeriksaan

(BAP) untuk di jadikan saksi oleh hakim guna membuat terangnya

peristiwa pidana.

e. Saksi Bersuara

Saksi tidak hanya dalam bentuk penyampaian lisan secara

langsung didepan seorang hakim melainkan dapat pula berupa surat,

resume dari seorang ahli dan surat segel dari instansi pemerintah.

f. Saksi Diam

Saksi ini hampir sama dengan saksi bersuara namun sifatnya tidak

disampaikan oleh orang lain untuk kepentingan sidang melainkan

sebuah petunjuk tertentu yang ditemukan oleh para penegak hukum

32
Sovia Hasnah, Hukum Online, Testimiun De Audit, Diakses Pada 4 November
2021.

46
berupa kebendaan seperti sidik jari, sampel darah, sperma atau pisau

yang digunakan dalam peristiwa pidana33.

2. Keterangan Ahli

Keterangan ahli sebagaimana dalam KUHAP pasal 1 angka 28 iala “

keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus akan

hal yang diperlukan agar membuat perkara terang di dalam sebuah

persidangan “ Lebih lanjut dalam pasal 186 KUHAP yang menjelaskan

akan produk keterangan ahli yakni “ segala sesuatu yang disampaikan

atau nyatakan dalam sebuah persidangan” . Dipanggilnya seorang ahli

untuk memberikan keterangan tentunya diperuntukan agar perkara yang

dihadapi lebih mudah untuk ditemukan titik terangnya dalam mengikat

kebenaran yang belum terungkap melalui pernyataanya. Seorang ahli pula

tidak harus mengalami peristiwa akan tindak pidana yang sedang

disidangkan melainkan dengan ilmu pengetahuan khusus ( pengalaman,

atau keterampilan dan sebaginya ) yang dimiliki seorang ahli dapat

membuat terang sebuah peristiwa pidana yang terjadi sehingga dengan

mudah terungkapnya asal muasal tindakan yang dilakukan oleh

terdakwa34.

33
Alfita, Op.cit, hlm.44
34
Andi Sofyan dan Amir Ilyas, Op.cit, hlm.259

47
Seorang ahli tidak hanya menyampaikan kesaksian secara langsung

melainkan dapat memberikan keterangannya melalui cara yakni ”Visum et

repertum” atau laporan sebagaimana dalam leteratur KUHAP pasal 179

dan 18035.

3. Alat Bukti Surat

Surat merupakan segala sesuatu yang memiliki tanda bacaan yang

menjelaskan maksud dari penulis baik dari segi pikiran atau pandangan isi

hati baik untuk dirinya sendiri maupun alat bukti dapat digunakan sebagai

alat bukti36. Sebagai mana yang diketahui bersama bentuk-bentuk surat

yakni surat biasa, surat autentik dan surat dibawah tangan.37

Dalam literature pada pasal 187 KUHAP Surat dejelaskan sebagai

pertama, Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat

dihadapan pejabat yang berwenang menegenai suatu kejadian yang ia

dengar/lihat/alami deserati alasan yang jelas mengenai keterangan

tersebut. Kedua, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan atau oleh pejabat yang berwenang menurut tata

laksana yang menjadi tanggung jawabnya. Ketiga, Surat dari keterangan

seorang ahli yang memuat keteranganya akan suatu hal yang dimintai

secara resmi kepadanya. Keempat, Surat lain yang berhubungan dengan


35
Kadi Sukarna, Op.cit, hlm.277
36
Riadi Asra Rahhmad, Op.cit, hlm.90
37
Kadi Sukarna, Op.cit, hlm.278

48
alat bukti lain. Surat oleh karenanya dikatakan sebagai alat bukti yang

sempurna dan mengikat untuk seorang hakim “Volledig en beslissende

bewijskracht”. Namun pada akhirnya keyakinan hakimlah yang menjadi

penentu akan kekuatan pembuktiannya.

4. Alat Bukti Petunjuk

Berdasarkan pasal 188 KUHAP petunjuk dijelaskan dalam beberapa

point yakni dalam angka 1 bahwa petunjuk merupakan perbuatan,

kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya baik antara satu

dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan

bahwa telah terjadi tindak pidana dan terang akan pelaku tindak pidana

itu. Angka 2, Sebuah petunjuk dapat ditemukan dari keterangan saksi,

surat maupun keterangan terdakwa. Lebih lanjut angka 3, penilai atas

sebuah kekuatan pembuktian dari sesuatu pentunjuk dalam setiap

keadaan terntu dilakukan oleh hakim yang arif nan bijkasana yang

dilakukan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati

nurani38. Alat bukti petunjuk oleh karenanya dikatakan memiliki sifat

pembuktian yang sama dengan alat bukti lainnya yang bersifat seorang

bebas menentukan hasil berdasarkan alat bukti tersebut. Disisi Lain,

berdasarkan adanya prinsip dasar hukum pembuktian haruslah

membutuhkan alat bukti lainnya agar memenuhi hal tersebut39.


38
Andi Sofyan dan Amir Ilyas, Op.cit, hlm.284
39
Kadi Sukarna, Op.cit, hlm.278

49
5. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa berdasarkan pasal 189 angka 1 KUHAP ialah

apa saja yang terdakwa nyatakan dalam sebuah persidangan

berdasarakan apa yang ia ketahua atau alami sendiri. Keterangan seorang

terdakwa, tidak hanya didengarkan di dalam sebuah sidang namun dapat

juga didengar diluar sidang. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak

cukup kuat dalam membuktikan kesalahany terdakwa maka dari itu

haruslah didukung oleh alat bukti lain, sebagaimana dalam pasal 183

KUHAP yang mengikat mengharuskan agar dua alat bukti yang sah. 40

C. KEDUDUKAN PEMBKUTIAN KETERANGAN SAKSI

1. Kedudukan alat bukti saksi A de charge dalam KUHAP

Sebagaimana yang diketahui bersama didalam KUHAP yakni pada

pasal 184 menyebutkan macam-macam alat bukti yakni keterangan saksi,

keterangan ahli, surat petunjuk dan keterangan terdakwa. Lebih lanjut

penjelasan menganai seorang saksi A De Charge dapat di temui pada

pasal 65 menyebutkan bahwa “Tersangka atau terdakwa dapat atau berhak

untuk mengajukan saksi atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna

memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya” Penjelasan

perihal saksi a de charge yakni seorang saksi yang dapat meringankan


40
Ibid

50
seorang terdakwa dari perkara yang dihadapinya begitulah kurang lebih

penjelasannya sebagaimana yang telah dijabarkan di bab sebelumnya.

Disisi lain pasal tersebut juga mengisyaratkana bahwa seorang saksi yang

memiliki keahlian khusus yang dapat menguntungkan darinya, secara tidak

langsung pasal tersebut menjelaskan bahwa seorang ahli dapat pula

menjadi seorang saksi a de charge dalam sebuah persidangan yang

ditegaskan melalui frase menguntukan dirinya di kalimat akhir pasal.

Keberadaan seorang saksi tentunya haruslaah dihadirkan oleh

tersangka melalui permintaan tardakwa itu sendiri, teknis menghadirkan

seorang saksi a de charge berada pada pasal 116 ayat (3) bahwa “Dalam

pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghedaki saksi yang dapat

menguntungkan baginya bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita

acara pemeriksaan” lebih lanjut penjelasan akan pasal tersebut bahwa

mengatakan pasal tersebut memberikan isyarat bagi seorang yang

mengalami permasalahan dapat mengajukan saksi a de charge pada saat

pemerikasaan di pihak kepolisian pada saat sebelum jadinya Berita Acara

Pemerikasaan untuk diajukan tersangka dalam persidangan nantinya, hal

tersebut dipertegas dalam frase kata tersangka serta frase BAP yang

disebutkan dalam pasal tersebut, Sedangkan seorang saksi A Charge atau

yang memberatkan diajukan oleh seorang jaksa penuntut umum di sebuah

persidangan sebagaimana pada pasal 160 ayat (1) KUHAP, di huruf a

51
pasal tersebut, saksi yang memberatkan ini “A Charge” ini menjelaskan

pemanggilan ke dalam ruang sidang dilakukan oleh hakim setelah

penjelasan oleh jpu, sedangkan dalam hurf b seorang saksi memberatkan

dapat berupa seorang yang menjadi korban pada saat terjadinya kejahatan,

Penjelasan prihal seorang saksi meringankan dan A de Charge untuk

menghadirkannya dipertegas pula dalam pasal ini bahwa sebelum

menghadirkannya terlebih dahulu haruslah tercantum di dalam surat

pelimpahan perkara, namun tidak menutup kemungkinan bahwa kedua

saksi ini dapat dihadirkan sebelum dijatuhkan sebuah putusan oleh hakim

yang mangatasi kasus tersebut.41

2. Syarat Sah Keterangan Saksi

Di dalam KUHAP pasal 1 angka 26 mengatakan bahwa setiap

orang yang melihat, mendengarkan atau mengalami sendiri sebuah

peristiwa pidana dapat menjadi seorang saksi dalam sebuah persidangan. 42

Didalam buku didik purwoleksono yang berjudul Hukum Acara Pidana

membagi tiga golongan syarat seseorang untuk menjadi seorang saksi

dalam sebuah persidangan yang di anggap memliki kekuatan dalam

membuat terangnya suatu peristiwa pidana atau tindak pidana, dimana

yang pertama yakni syarat objektif, subjektif dan syarat formal.

41
Ibid, hlm.28
42
Didik Hendro Purwoleksono, Op.cit, hlm.114-115

52
Syarat Objektif yang pertama bahwa tidak boleh ada hubungan

keluarga, kedua dapat mempertanggung jawabkan perbuatan dalam artian

sudah berumur 15 tahun atau sudah pernah menikah/kawin serta tidak gila

atau tidak sakit ingatan. Syarat Subjektif yang pertama tentulah orang

diambil menjadi seorang saksi sepatutnya merupakan orang yang melihat,

mendengarkan atau ia alami sendiri akan persitiwa pidana tersebut, kedua

yakni alasan menganai apa dan bagimana ia melihat,mendengarkan atau

alami peristiwa itu, Selanjutnya Formal yang pertama bahwa seorang yang

diambil menjadi seorang saksi bahwa keterangannya harus disampaikan di

dalam persidangan, kedua keterangan yang disampaikan oleh seorang

saksi telah melalui sumpah terlebih dahulu, dan yang ketiga tidak dikenai

asas Unus Testis Nullus Testis dengan pengecualian bahwa satu saksi

dapat menjadi saksi apabila didukung dengan alat bukti yang lain.

Seorang saksi bilamana telah disebutkan namanya untuk dipanggil

memiliki kewajiban hadir untuk memberikan keterangan, Bilamana

dikemudian hari telah dipanggilnya untuk menjadi seorang saksi namun

tidak hadir, ia kemudian dapat dikenakan sanksi sebagaimana dalam pasal

224 dan pasal 522 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Disisi lain juga

ada penggolongan yang tidak wajib menjadi saksi namun ada pengucualian

yang menjadikannya bisa didengarkan keterangannya sebagai saksi dalam

persidangan dimana yang pertama penuntut umum dan terdakwa setuju

53
untuk dihadirkan dalam persidangan, maka hal tersebut mengikat seorang

hakim untuk menghadirkan orang tersebut menjadi saksi dalam

persidangan, begitu pun sebaliknya apabila tidak setuju baik dari pihak

Penuntut Umum dan Terdakwa maka tidak mengikat seorang hakim untuk

mengadirkan orang tersebut sebagai saksi untuk memberikan keterangan

dalam persidangan.43

43
Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.129

54
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM


DALAM PENJATUHAN SANKSI PIDANA DALAM PUTUSAN
NO.132/PID.SUS/2020/PN.PRE
A. PUTUSAN PENGADILAN

1. Pengertian Putusan

Putusan merupakan sebuah hal yang melekat pada profesi

seorang hakim, dimana semua aspek pertimbangan akan sebuah fakta

hukum yang terungkap dalam sebuah persidangan, menjadi sebuah

kesatuan dalam sebuah produk hukum yang mengikat antara

seseorang atas perbuatannya.44 Menurut Dr.Mustafa Bola salah

seoang dosen dari fakultas hukum unhas mengatakan putusan

merupakan hasil dari sebuah pengadilan atau produk dari pengadilan

atas permasalahan yang di hadapi dalam persidangan. Di dalam

KUHAP pasal 1 butir 11 tentang definisi dari putusan yakni ”sebuah

pernyataan hakim yang diungkapkan dalam sidang pengadilan terbuka,

yang di dalamnya memuat pemidanaan, bebas atau lepas dari segela

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini”.45

44
Mustafa Bola, 2017, Paradigma Hukum Hakim, Hasanuddin University Press,
Makasaar, hlm.45
45
Lilik Mulyadi, Op.cit, hlm.131

55
2. Macam-Macam Putusan

Di dalam buku Lilik Mulyadi pengklasifisikasian jenis-jenis

putasan berdasarkan fungsinya secara garis besar ada dua yakni

sebagai berikut;

a. Putusan Akhir atau Eind Vonnis, yakni putusan yang

disampaikan oleh hakim yang telah melalui proses sidang

mulai dari pernyataan sidang dibuka untuk umum hingga

sidang dinyatakan ditutup, ditanda tangani hakim dan

panitera setelahnya putusan kemudian dibacakan.46 Putusan

ini dapat juga dikatakan sebagai putusan yang mengakhiri

atau menutup persidangan atas sebuah perkara.

b. Putusan yang bukan Akhir atau Tussen Vonnis, merupakan

putusan yang dapat berupa penetapan atau putusan sela.

Biasanya dalam proses persidangan, adanya eksepsi atas

dakwaan jaksa oleh kuasa hukum terdakwa, putusan ini

biasanya dilkeluarkan.47 Putusan ini juga, dibacakan sebelum

dibacakannya putusan akhir yang diharapkan untuk

mempertegas atau memperlancar jalannya sebuah

persidangan.48

46
Mustafa Bola, Op.cit, hlm.46
47
Lilik Mulyadi, Loc.cit.
48
Mustafa Bola, Loc.cit.

56
Dalam pembagiannya juga putusan memiliki beberapa bentuk yang di

kualifikasikan berdasarkan pasal 1 butir 11 KUHAP yakni sebagai berikut :

a. Putusan Bebas atau Vrijspraak, sebagaimana dalam

penjelasan dalam pasal 191 ayat 1 KUHAP putusan ini

dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil

pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan

yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Bebas yang

dimaksudkan disini bahwa seorang yang telah menjalani

penahanan terbebas dari penahanan.

b. Putusan Lepas, berdasarkan pasal 191 ayat 2 KUHAP yang

dimaksudkan putusan lepas yakni perbuatan yang dilakukan

oleh seorang terdakwa terbukti, namun bukan merupakan

tindak pidana, maka terdakwa dituntut terlepas dari segala

tuntutan hukum”

c. Putusan Pemidanaan, putusan yang berisikan penjatuhan

sanksi secara sah kepada terdakwa karena telah terbukti

melakukan tindak pidana.49

B. PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

49
Riadi Asra Rahmad, Op.cit, hlm.92

57
Pertimbangan Hakim atau dalam bahasa belanda disebut sebagai

Ratio Dicidendi merupakan sesuatu yang melatarbelakangi sebuah

putusan itu dijatuhkan terhadap sebuah perkara yang ditangani seorang

hakim dalam sebuah persidangan. Di dalam pertimbangan seorang hakim

tentulah ada beberapa hal yang mampu mempengaruhi dalam produk

hukumnya diantaranya faktor yuridis, non-yuridis, dan Secara garis besar

yang melatar belakangi sebuah pertimbangan seorang hakim diantaranya

sebagai berikut;

1. Yuridis

Pertimbangan Yuridis merupakan pertimbangan yang

bersumberkan dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan atau

didasarkan dari undang-undang yang memuat hal-hal tertentu dan

dijadikan sebagai rujukan dalam menjatuhkan putusan. Adapun

beberapa pertimbangan yuridis sebagai berikut;

a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Menurut J.C.T Simorangkir

“bahwa dakwa berarti tuduh”, dan begitu pula sebaliknya orang

yang terdakwaa berarti orang yang tertuduh yang dilakukan oleh

pejabat kejaksaan yang berwenang mengeluarkan tuduhan

tersebut lebih lanjut di jelaskan oleh A.Karim Nasution yang

mendefiniskan dakwaan sebagai “sebuah surat atau akte yang

memuat suatu perumusan dari suatu tindak pidana yang di

58
tuduhkan , yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat

pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim

dalam melakukan pemerikasaan, yang bilamana telah cukup

bukti tertuduh dapat dijatuhi hukuman”.50 Sebuah surat dakwaan

biasanya memuat rumusan tindak pidana, pelaku tindak pidana,

tempat terjadinya tindak pidana (Locus Delicti), kapan terjadinya

tindak pidana (Tempus Delicti), bagaimana tindak pidana itu

dilakukan, apa yang mendorong terdakwa melakukan tindak

pidana, ketentuan pidana yang mencocoki perbuatan

terdakwa.51

b. Keterangan Terdakwa, Merupakan sebuah ucapan yang berupa

pengakuan seorang yang diduga melakukan sebuah tindak

pidana. Biasanya dalam persidangan keterangan yang

disampaikan dapat berupa pengakuan, penolakan, atas

dakwaan yang disampaikan seorang jaksa penuntut umum dan

keterangan saksi baik sebagian atau keselurahan. Keterangan

terdakwa dalam praktiknya biasanya dijadikan sebagai alat bukti

di persidangan.52

c. Keterangan Saksi, berdasarkan pasal 1 angka 27 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana merupakan salah satu alat bukti dalam


50
Andi Sofyan dan Amir Ilyas, Op.cit, hlm.183
51
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, P.T Grafindo
Persada, Yogyakarta, hlm.124
52
Andi Sofyan dan Amir Ilyas, Op.cit, hlm.284

59
perkara pidana yang berupa ucapan atau tulisan mengenai

suatu peristiwa pidana yang ia dengar, alami, dan atau lihat

dengan menyebut alasannya itu.53

d. Barang Bukti, di dalam kuhap sendiri memang tidak dijelaskan

secara jelas dalam pasalnya namun dalam Herzien Inlandsch

Reglement (HIR) pasal 63 sampai 67 bahwa “barang-barang

yang dapat dipergunakan sebagai bukti” biasanya benda yang

merupakan objek peristiwa pidana, produk pristiwa pidana,

benda sebagai alat pelaksaan priatiwa pidana atau dapat

berupa benda yang terkait dalam peristiwa pidana.54

e. Pasal-pasal dalam peraturan Hukum Pidana dan Peraturan

perundang-undangan, Merupakan aturan yang dijadikan

sebagai rujukan untuk memformulasikan peraturan pidana yang

dihubungkan dengan peristiwa yang dilanggar oleh seseorang

yang kemudian menjadi rujukan dasar dalam menjatuhkan

sanksi pidana oleh seorang hakim dan jaksa yang berusaha

untuk membuktikan tindakan seorang terdakwa benar

memenuhi rumusan pasal. Dalam pasal 197 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana mengatur yakni “pasal dalam

peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

53
Andi Sofyan dan Amir Ilyas, Loc.cit, hlm.251
54
Ibid, hlm.285

60
pemidanaan atau tindakan dan pasal dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,

disertai keadaan yang memberatkan atau meringankan

terdakwa”.55

2. Non-Yuridis

Pertimbangan Non Yuridis merupakan pertimbangan sosiologis

yang bersumberkan dari hal-hal lain yang diluar perundang-undangan

maupun Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dipergunakan

sebagai salah satu landasan pertimbangan dalam putusan hakim.

Biasanya yang menjadi dasar pertimbangan non-yuridis ini yakni

sebagai berikut;56

a. Sumber hukum tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat.

b. Memperhatikan sifat baik dan buruk terdakwa serta hal-

hal lain yang dapat meringankan ataupun memberatkan

terdakwa.

c. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian,

kesalahan dan korban.

d. Faktor lingkungan dimana hukum masyarakat itu berlaku

atau diterapkan.
55
Rusli Muhammad, Op.cit, hlm.133-134
56
Ibid

61
e. Faktor Kebudayaan, hasil karya cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

62
Alfitra, 2012, Hukum Pembuktian dalam Berbicara Pidana Perdata dan

Korupsi di Indonesia, Cet.3 Raih Asa Sukses, Jakarta.

Ali Imron dan Muhammad Iqbal, 2019, Hukum Pembuktian, UNPAM Press,

Pamulang Tanggerang Selatan.

Andi Sofyan dan Amir Ilyas, 2013, HUKUM ACARA PIDANA Suatu

Pengantar, Mahakarya Rangkang, Sleman Yogyakarta.

Didik Hendro Purwoleksono, 2015, Hukum Acara Pidana, Airlangga University

Press, Surabaya.

Kadi Sukarna, 2016, Alat Bukti Petunjuk menurut KUHAP dalam Perspektif

Teori Keadilan, UNNES Press, Semarang.

Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana

Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhaimin, 2020, Metode Penilitian Hukum, Mataram University Press, Nusa

Tenggara Barat.

Mustafa Bola, 2017, Paradigma Hukum Hakim, Hasanuddin University Press,

Makasaar.

P.A.F Lamintang, 2013, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, P.T Citra

Aditya Bakti, Bandung.

63
Peter Mahmud Marzuki 2014, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia

Group, Jakarta.

Riadi Asrai Ahmad, 2019, Hukum Acara Pidana, PT Raja Grafindo Prasada.

Depok.

Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, P.T Grafindo

Persada, Yogyakarta.

S.R Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Cet.3 Stria Grafika, Jakarta.

Soenarto Soeridibroto, 2006, KUHP dan KUHAP, P.T Raja Grafindo Prasada,

Jakarta.

Subekti Sudarsono, 2017, Hukum Pidana Dasar- Dasar Hukum Pidana dan

RUU KUHP, Mummadiyah University Press, Surakarta.

Yurizal, 2021, Aspek Pidana Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, Media

Nusa Creative Cet.16, Malang.

Website :

Sovia Hasnah, Hukum Online, Testimiun De Audit, Diakses Pada 4 November

2021.

Undang- Undang :

64
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

(KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

65

Anda mungkin juga menyukai