Anda di halaman 1dari 84

USULAN PENELITIAN

PENGECUALIAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN


SEBAGAI PIHAK YANG DAPAT MEMOHONKAN PAILIT

Oleh:
MEGUMI JUCHI AYU UTAMI
NIM. B011171532

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
USULAN PENELITIAN

PENGECUALIAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN


SEBAGAI PIHAK YANG DAPAT MEMOHONKAN PAILIT

Oleh:
MEGUMI JUCHI AYU UTAMI
NIM. B011171532

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

i
HALAMAN JUDUL

PENGECUALIAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN


SEBAGAI PIHAK YANG DAPAT MEMOHONKAN PAILIT

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pada
Program Studi Sarjana Ilmu Hukum

Disusun dan diajukan oleh


MEGUMI JUCHI AYU UTAMI
NIM. B011171532

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENGECUALIAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN


SEBAGAI PIHAK YANG DAPAT MEMOHONKAN PAILIT

Diajukan dan disusun oleh:

MEGUMI JUCHI AYU UTAMI


NIM. B011171532

Untuk Tahap SEMINAR USULAN PENELITIAN


Pada Tanggal ………………………..

Menyetejui:
Komisi Pembimbing

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.Hum., M.Si. Achmad Fachri Faqi,S.H., LL.M
NIP. 196006211986012001 NIP. 198708242022043001

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i


HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................ 13
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 13
D. Kegunaan Penelitian .................................................... 13
E. Keaslian Penelitian ....................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 17
A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan ............................. 17
1. Pengertian Kepailitan ............................................... 17
2. Prinsip-prinsip Kepailitan .......................................... 21
3. Akibat Hukum Kepailitan .......................................... 28
B. Hukum Acara Kepailitan ............................................... 35
1. Syarat dan Tata Cara Permohonan Pailit ................. 35
2. Proses Persidangan dalam Hukum Acara Kepailitan 36
3. Upaya Hukum dalam Hukum Acara Kepailitan ........ 40
4. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit ............... 42
C. Tinjauan Umum Hukum Jaminan ................................. 45
1. Penegertian Jaminan ............................................... 45
2. Asas-Asas Hukum Jaminan ..................................... 48
3. Jenis-Jenis Jaminan ................................................. 49
D. Tata Cara Eksekusi Kreditor Pemegang Hak
Jaminan Dalam Hukum Kepailitan................................ 52
1. Eksekusi Objek Jaminan Fidusia.............................. 55
2. Eksekusi Objek Gadai .............................................. 59

iv
3. Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan ........................ 59
4. Eksekusi Jaminan Hipotek ....................................... 62
5. Eksekusi Jaminan Resi Gudang .............................. 64
BAB III METODE PENELITIAN....................................................... 71
A. Tipe Penelitian .............................................................. 71
B. Pendekatan Penelitian.................................................. 71
C. Bahan Hukum ............................................................... 72
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 73
E. Analisis Bahan Hukum ................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 75

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman membawa persoalan sosial ke tingkat

yang lebih signifikan, bukan hanya persoalan hukum yang menjadi

persoalan kompleks untuk dihadapi tetapi persoalan ekonomi berubah

menjadi persoalan yang susah untuk diselesaikan. Konflik masalah

ekonomi membuat seseorang dituntut untuk kreatif dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, sehingga saat ini banyak bermunculan pelaku-

pelaku baru di dunia bisnis, baik dalam bentuk perorangan (natural

person) ataupun dalam bentuk badan hukum (legal entitiy).1

Dalam praktik bisnis banyak terjadinya perikatan, pada umumnya

karena suatu perjanjian, adapun perikatan yang terjadi karena undang-

undang baik yang sesuai dengan hukum maupun karena perbuatan

melawan hukum. Perikatan menyebabkan kewajiban utang piutang

antara kreditor dan debitor, adakalanya tidak dapat diselesaikan dengan

musyawarah sehingga menimbulkan sengketa. Salah satu kewajiban

debitor adalah membayar utang. Jika kewajiban untuk mengembalikan

utang berjalan sesuai dengan yang diharapkan dalam perjanjian, tentu

tidak menimbulkan masalah. Masalah akan timbul jika debitor mengalami

kesulitan dalam melunasi utangnya, pada akhirnya debitor berhenti

1 Sudikno Mertokusumo, 2001, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Yogyakarta:

Sinar Grafika, hlm. 23.

1
membayar utangnya, baik karena tidak mampu membayar atau karena

tidak mau membayar atau wanprestasi.2

Berkaitan dengan tiga bentuk wanprestasi, terdapat dua alur

penyelesaian sengketa dapat dilakukan yaitu dengan cara litigasi dan

non litigasi. Sengketa bisnis secara khusus cenderung memilih lembaga

penyelesaian sengketa non litigasi. Kepesatan yang terjadi dalam

kegiatan ekonomi dan bisnis saat ini menimbulkan implikasi terhadap

lembaga pengadilan. Pengadilan yang secara jelas memiliki kewajiban

untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa

dan menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan, dipandang sebagai

tempat menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.3

Timbulnya wanprestasi yang dilakukan oleh debitor terhadap kreditor

saat tidak melunasi utangnya menimbulkan hak bagi kreditor untuk

mengajukan gugatan ke pengadilan agar debitor dapat dijatuhi hukuman

sebagaimana mestinya. Selain gugatan wanprestasi, kreditor juga dapat

mengajukan permohonan kepailitan terhadap debitor di Pengadilan

Niaga, namun dengan syarat bahwa debitor tersebut setidaknya memiliki

minimal 2 (dua) utang dari 2 (dua) kreditor yang salah satunya jatuh

tempo dan dapat ditagih.

Kepailitan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan

sengketa utang piutang. Lembaga ini bukan untuk penyelesaian utang

2 Man S. Sastrawidjaja, 2010, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, hlm. 1.


3 Erman Suparman, 2012, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Jakarta: PT.

Fikahati Aneska, hlm. 2.

2
seorang kreditor melainkan untuk kepentingan sejumlah kreditor.

Dengan dijatuhkannya putusan pailit, maka kreditor-kreditor lainya dapat

beramai-ramai mengajukan tagihan utangnya.4

Pailit dan kepailitan berawal dari ketidakmampuan membayar

namun dalam praktiknya sering menjadi ketidakmauan debitor untuk

membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu tempo dan dapat

ditagih. Jika debitor berada dalam kondisi demikian, maka debitor,

kreditor ataupun pihak lain yang ditentukan di dalam peraturan

perundang-undangan dapat mengajukan permohonan pailit ke

pengadilan.5

Penggunaan istilah pailit dalarn bahasa Belanda, Perancis, Latin

maupun Inggris berbeda-beda. Bahasa Perancis menggunakan istilah

faillite yang artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan

pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar

hutangnya dalam bahasa Perancis disebut le faille. Istilah pailit dalam

bahasa Belanda adalah failliet, dalam bahasa Inggris digunakan istilah

failure, sedangkan dalam bahasa latin digunakan istilah fallire.6

Mekanisme pengajuan permohonan pailit pada Pengadilan Niaga

diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

4 Gatot Supramono, 2014, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana Prenadamedia


Group, hlm. 12.
5 Ridwan Khairandy, 2013, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta: FH

UII Press, hlm. 457


6 Royke A. Taroreh, 2014, “Hak Kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi Benda

Jaminan Debitor Pailit”, Jurnal Taroreh R.A, Vol. II, Nomor 2, Januari-Maret, Fakultas
Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, hlm. 107.

3
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu Pertama,

permohonan pernyataan pailit diajukan berdasarkan Pasal 6 ayat (1)

UUK-PKPU yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit

diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga, dan dapat diajukan oleh

kreditor maupun debitor itu sendiri atau lembaga yang memiliki

kewenangan. Kemudian, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UUK-PKPU

mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh

kreditor atau debitor itu sendiri harus diajukan oleh seorang Advokat.

Adapun ketentuan terbaru yang berkaitan dengan permohonan pailit

dimuat dalam Pasal 8B dan Pasal 35C Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan

(selanjutnya disebut UUP2SK), yang mengubah ketentuan Pasal 2 ayat

(3), (4), dan (5) dan Pasal 223 UUK-PKPU yang pada pokoknya

mengatur terkait permohonan pailit yang diajukan oleh Otoritas Jasa

Keuangan dan Bank Indonesia, bahwa:7

Pasal 8B

“Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya pihak yang


berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap
debitor yang merupakan Bank, perusahaan efek, bursa efek,
penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan,
lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana
perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian
harga efek, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, dana
pensiun, lembaga penjamin, lembaga pembiayaan, lembaga
keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang

7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan

Sektor Keuangan, Pasal 8B dan Pasal 35C.

4
memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran
efek, penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis
teknologi informasi atau LJK lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh
otoritas jasa keuangan sepanjang pembubaran dan/atau
kepailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang lainnya.”

Pasal 35C

“Bank Indonesia merupakan satu-satunya pihak yang berwenang


mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang dari debitor yang
merupakan penyedia jasa pembayaran dan penyelenggara
infrastruktur sistem pembayaran, penyelenggara jasa pengolahan
uang rupiah, perusahaan pialang pasar uang, penyedia sarana
perdagangan, sarana kliring untuk transaksi derivatif suku bunga dan
nilai tukar ouer-tle-counter, atau lembaga lainnya yang diberikan izin
dan/atau penetapan oleh Bank Indonesia sepanjang pembubaran
dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.”

Kedua, setelah permohonan terdaftar maka selanjutnya dilakukan

sidang pemeriksaan berdasarkan Pasal 6 ayat (6) UUK-PKPU yang

mengatur bahwa sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan

pailit yang paling lambat diselenggarakan 20 (dua puluh) hari setelah

tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

Ketiga, setelah sidang pemeriksaan dilakukan, maka berdasarkan

Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU mengatur bahwa permohonan pernyataan

pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah

dipenuhi sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang

mengatur bahwa:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak


membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

5
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Keempat, dilaksanakan pembacaan putusan pailit berdasarkan

Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU mengatur bahwa putusan permohonan

pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari

setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Namun

tentunya dengan syarat permohonan pailit tersebut terkbukti memenuhi

syarat kepailitan sehingga dapat dikabulkan.

Selain itu, dalam hukum kepailitan diatur bahwa kreditor yang

memiliki jaminan kebendaan dalam hukum kepailitan diklasifikasikan

sebagai kreditor separatis atau kreditor pemegang hak jaminan

sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU

yang mengatur bahwa:

“Yang dimaksud dengan “Kreditor” dalam ayat ini adalah baik


kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen,
mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa
kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.”

Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan

kebendaan yang dapat bertindak sendiri. Dalam artian bahwa golongan

kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya

hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada

kepailitan debitor.8 Disebut separatis karena posisinya yang “separate”

atau terpisah, yakni terdapat pemisahan (dan karena itu menjadi

8 Royke A. Taroreh, Op.Cit., hlm. 108.

6
istimewa) dari kreditor lainnya dalam hak-hak tertentu dan posisinya

dalam hubungan hukum dengan debitor. Kreditor golongan ini dapat

menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak

terjadi kepailitan. Dari hasil penjualan tersebut, mereka (kreditor

separatis) mengambil sebesar piutangnya, sedangkan jika ada sisanya

disetorkan ke kas kurator sebagai boedel pailit. Sebaliknya bila hasil

penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditor tersebut untuk

tagihan yang belum terbayar dapat memasukkan kekurangannya

sebagai kreditor bersaing (konkuren).9

Setelah adanya putusan pernyataan pailit kreditor pemegang hak

jaminan atau kreditor separatis dapat mengeksekusi dan mengambil

sendiri hasil penjualan hak jaminan sebagaiamana diatur dalam Pasal 55

ayat (1) UUK-PKPU yang mengatur bahwa:

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”

Selain seperti disebutkan dalam pasal di atas, kreditor separatis

tunduk pula pada ketentuan penangguhan eksekusi untuk masa tertentu,

yakni selama maksimum 90 (sembilan puluh) hari sehingga tidak dapat

mengeksekusi langsung objek jaminan sebagaimana disebut pula dalam

Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU yang mengatur bahwa:

9 Imran Nating, 2005, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 48.

7
“Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang
berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,
ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan
puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”

Bahkan apabila telah diperoleh kesempatan bagi kreditor separatis

untuk melaksanakan hak eksekusinya terhadap objek jaminan, dalam

hukum kepailitan dibatasi pula jangka waktu pelaksanaan eksekusi

tersebut paling lambat 2 (dua bulan) sebagaimana diatur dalam Pasal 59

ayat (1) UUK-PKPU juga mengatur bahwa:

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57,


dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah
dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 178 ayat (1). “

Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa secara tidak langsung

dalam hukum kepailitan terdapat dua pengaturan, dimana pada satu sisi

kreditor separatis dapat mengeksekusi objek jaminan seolah tidak terjadi

kepailitan tetapi pada sisi lain terdapat pula pembatasan hak bagi

kreditor separatis terkait jangka waktu eksekusi objek jaminan. Hal

demikian berpotensi membuat kreditor separatis tidak mampu

memaksimalkan eksekusi objek jaminan dengan waktu yang singkat,

berbeda halnya dalam ranah hukum jaminan yang berlaku tidak ada

batasan terkait jangka waktu eksekusi sehingga kreditor dapat

memaksimalkan proses eksekusi.

Selain itu, dalam praktik sangat sulit dan bahkan hampir tidak

mungkin bisa dilakukan penjualan benda yang menjadi agunan dalam

8
jangka waktu 2 (dua) bulan. Misalnya sebuah bank yang menerima

sebuah pabrik tekstil atau sebuah hotel berbintang sebagai jaminan

berdasarkan pembenanan Hak Tanggungan, amat sulit untuk melakukan

penjualan benda jaminan tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) bulan.

Proses penjualan mulai dari persiapan transaksi kemudian pelaksanaan

jual beli sampai kepada penyelesaian pembayaran pabrik tekstil atau

hotel berbintang tersebut dapat memakan waktu lebih dari dua bulan,

bahkan bisa sampai 1 tahun atau 2 tahun.10

UUK-PKPU memberikan kesempatan bagi kreditor separatis untuk

melaksanakan eksekusi atas objek jaminan kebendaan dalam masa

tertentu, yakni:11

a. Sebelum jatuhnya putusan pailit (kecuali dilakukan sita jaminan);

b. Setelah berakhirnya masa stay (penangguhan eksekusi) sampai

dengan insolvensi; atau

c. Selama dua bulan sejak insolvensi.

Selanjutnya pengaturan lain yang terkait kewenangan kreditor

pemegang hak jaminan dipertegas dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya

disebut UU Fidusia) yang menyatakan bahwa:

“Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi


terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat
dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial

10 Titie Syahnaz Natalia, 2018, Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Kreditor Pemegang
Hak Tanggungan dalam Eksekusi Hak Tanggungan, Jurnal Manajemen dan Bisnis
Sriwijaya, Volume 16 Nomor 3, Fakultas Ekonom Universitas Baturaja, Ogan Komering
Ulu, hlm. 161
11 Royke A. Taroreh. Op.Cit., hlm 108

9
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima
Fidusia.”

Begitu pula dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT)

yang menyatakan bahwa:

“Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan titel eksekutorial


yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual
melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang
pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya.”

Adanya irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa" dalam sertifikat hak tanggungan maupun sertifikat jaminan

fidusia, tersebut menunjukkan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan dan

Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan hukum dan titel/dasar

eksekutorial yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) dan kekuatannya

mengikat para pihak berdasarkan pada Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT

dan Pasal 15 (1) dan (2) pada UU Fidusia.12

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, UUK-PKPU tidak memisahkan

benda-benda yang dibebani hak jaminan sebagai benda-benda yang

bukan merupakan harta pailit. Sikap UUK-PKPU yang tidak

menempatkan harta debitor yang telah dibebani dengan hak jaminan di

luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendi-sendi hukum

12 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 14 ayat

(2) dan (3) UUHT dan Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Pasal 15 (1) dan (2).

10
hak jaminan. Hal itu telah membuat tidak ada artinya penciptaan

Lembaga hak jaminan di dalam hukum perdata dan membuat kaburnya

konsep dan tujuan hak jaminan itu.13

Padahal semestinya kreditor separatis atau kreditor pemegang hak

jaminan sangat terjamin posisinya dengan adanya asas hukum jaminan

“droit de preference” yakni berarti hak didahulukan dalam pembayaran

piutangnya14, namun dengan adanya ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUK-

PKPU yang menetapkan penangguhan eksekusi jaminan kebendaan,

nampak bahwa kreditor separatis yang haknya terjamin dalam ranah

hukum jaminan tapi justru menjadi tidak terjamin atau tidak pasti dalam

ranah hukum kepailitan.15

Dalam praktik perkreditan perbankan misalnya, barang-barang

persediaan dan barang-barang bergerak milik debitor yang memperoleh

kredit dari bank hampir selalu dibebani dengan hak jaminan fidusia. Hak

jaminan fidusia memberikan secara hukum hak kepemilikan kepada

kreditor atas barang-barang yang dibebani dengan hak jaminan fidusia

itu, tetapi penguasaan atas barang-barang itu ada pada debitor. Dengan

demikian, bagi benda-benda yang dibebani dengan hak jaminan berupa

fidusia, kurator tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penjualan

atas benda-benda tersebut. Bukankah benda-benda yang dibebani

13 Sutan Remy Sjahdeini, 2018, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, hlm. 306-307.
14 P.N.H. Simanjuntak, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group, hlm. 183.


15 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit. hlm 307

11
dengan hak jaminan fidusia itu secara hukum dalam rangka pelunasan

utang adalah milik kreditor dan bukan milik debitor.16

Oleh karena itu dari beberapa penjelasan di atas, sudah jelas bahwa

pengaturan kewenangan eksekusi kreditor pemegang hak jaminan,

berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan dan Sertifikat Jaminan Fidusia,

telah memberikan kewenangan yang cukup membantu kepada kreditor

pemegang hak jaminan untuk dapat memperoleh haknya kembali

dengan mengeksekusi langsung apabila debitor cidera janji atau tidak

dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban atas utangnya.

Permasalahan justru muncul sebab dalam hukum kepailitan kreditor

separatis yang sejak awal telah mempunyai jaminan yang apabila debitor

wanprestasi oleh karenanya kreditor separatis dapat mengeksekusi

objek jaminannya tanpa melalui lelang kepailitan. Sedangkan hak

ekseusi tersebut menjadi tertunda karena beberapa ketentuan UUK-

PKPU sebagaimana diuraikan di atas, sehingga cenderung dapat

mereduksi atau mengurangi hak kreditor separatis yang diperolehnya

dari hukum jaminan yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas. Oleh

karena itu, menurut penulis posisi kreditor separatis dalam hukum

kepailitan patut diterapkan analisis hukum secara komprehensif, maka

penulis bermaksud melakukan penelitian hukum dengan judul

“PENGECUALIAN KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN SEBAGAI

PIHAK YANG DAPAT MEMOHONKAN PAILIT”.

16 Ibid. hal 308.

12
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apakah pengaturan terkait pemohon pailit dalam hukum kepailitan

telah memenuhi hak dari kreditur pemegang hak jaminan?

2. Apakah kreditor pemegang hak jaminan sebagai pihak yang dapat

mengajukan permohonan pailit dapat dikecualikan sebagai

pemohon pailit?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis pengaturan pemohon pailit dalam hukum

kepailitan berkaitan dengan hak kreditur pemegang hak jaminan.

2. Untuk menganalisis pengecualian kreditor pemegang hak jaminan

sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat dan kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoretik, sebagai bahan kajian dan pengembangan ilmu

hukum mengenai pengecualian kreditor pemegang hak jaminan

sebagai pihak yang dapat mengajukam permohonan pailit

2. Manfaat praktik, untuk sebagai masukan kepada kreditor yang

memiliki masalah yang serupa agar dapat perlindungan hukum, dan

sebagai informasi dan masukan pada peneliti lainnya yang berkaitan

dengan judul di atas.

13
E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, judul ini belum pernah

dilakukan, namun terdapat beberapa judul yang terkait skripsi ini, antara

lain:

1. Skripsi dengan judul “Kepastian Hukum dalam Perlindungan

Pemegang Fidusia yang Berkaitan Dengan Pailitnya Pemberi

Fidusia” yang ditulis oleh Anin Arrumdita pada tahun 2018 pada

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Adapun isu hukum dari skripsi

tersebut yaitu mengenai terkait bagaimana kepastian hukum bagi

kreditur preferen pada kredit dengan jaminan fidusia dalam hal

debitur dinyatakan pailit serta upaya apa saja yang dilakukan oleh

kreditur apabila debitur dinyatakan pailit berdasarkan UUK-PKPU.

Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian normatif.

Adapun hasil penelitiannya merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UUJF

dapat disimpulkan bahwa hak didahulukan dari penerima fidusia tidak

hapus karena adanya kepailitan dan objek jaminan tidak masuk

dalam boedel pailit, serta dengan mengembangkan makna dari Pasal

55 ayat (1) UUK-PKPU memberi wewenang kepada kreditur jaminan

kebendaan untuk melaksanakan hak eksekutorialnya sendiri

berdasarkan titel eksekutorial. Pengecualian kreditor pemegang hak

jaminan yang juga termasuk kreditur pemegang fidusia untuk

14
melakukan permohonan pernyataan pailit kepada debitor di

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri.

2. Skripsi dengan judul “Hak Kreditor Separatis Dalam Proses Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” yang disusun oleh

Agung Syaputra, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, tahun

2022. Adapun penelitian ini berfokus pada isu hukum mengenai

pengaturan hak eksekutorial kreditor separatis dalam proses

kepailitan berdasarkan asas kepastian hukum, dan untuk

menganalisis dan merekonstruksi pengaturan hak mengajukan

permohonan PKPU oleh kreditor berdasarkan asas-asas umum yang

berlaku dalam UUK-PKPU. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian normatif. Adapun hasil penelitian ini yaitu, (1) Pengaturan

hak eksekutorial kreditor separatis dalam proses kepailitan telah

sesuai dengan tujuan pembentukan UUK-PKPU, namun tidak

memenuhi asas kepastian hukum dan; (2) Hak kreditor separatis

untuk mengajukan permohonan PKPU ditinjau dari asas-asas umum

yang berlaku dalam UUK-PKPU tidak sejalan dengan asas

keseimbangan dalam konteks itikad baik, sejalan dengan asas

kelangsungan usaha. PKPU seyogyanya diajukan murni hak dari

debitor. Terbitnya putusan MK Nomor 23/PUU-XIX/2021, hanya

menyelesaikan sebagian masalah, dan memunculkan permasalahan

baru, terhadap adanya hak bagi kreditor untuk mengajukan

permohonan PKPU. Berbeda halnya dengan penelitian tersebut di

15
atas yang berfokus pada hak eksekutorial kreditor separatis dan

permohonan PKPU yang seharusnya hanya dapat dilakukan oleh

debitur ditinjau dari asas kelangsungan usaha, sedangkan penelitian

penulis berfokus pada pengecualian kreditor pemegang hak jaminan

atau kreditor separatis dalam mengajukan permohonan pailit kepada

debitor.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis memiliki perbedaan

yang cukup signifikan dengan penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut

dari segi objek penelitian, dan pokok permasalahan yang dikaji. Atas

dasar tersebut, keaslian penelitian dari penelitian penulis dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan

1. Pengertian Kepailitan

Black’s Law Dictionary mendefinisikan bankrupt sebagai “the state

or condition of a person (individual, partnership, corporation,

municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”.

The term includes a person against whom an voluntary petition has

been filed, or who has been adjudged a bankrupt.17 Dapat diartikan

bahwa pailit yaitu suatu kondisi atau keadaan seseorang

(perseorangan, persekutuan, korporasi, suatu badan tertentu) yang

tidak mampu membayar utangnya sebagaimana adanya, atau

menjadi kewajibannya”. Hal ini mencakup orang yang mengajukan

permohonan sendiri, maupun oleh pihak ketiga dan/atau yang telah

diputus bangkrut oleh Pengadilan.

Berdasarkan pengertian yang diberikan dalam Black’s Law

Dictionary tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian pailit

dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari

seseorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo,

ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata

17 Bryan A. Garner, 1999, Black Law’s Dictionary, St. Paul: West Group, hlm. 141.

17
untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor

sendiri maupun permintaan pihak ketiga.18

Menurut istilah, pailit bukanlah sesuatu hal yang baru untuk dunia

pelaku usaha, hanya saja yang sering menjadi masalah bahwa

kepailitan dimaknai secara umum dan tidak tepat yakni bubarnya atau

dilikuidasinya suatu badan usaha oleh kalangan umum. Bambang

Kesowo mengemukakan bahwa ada berbagai pihak salah memahami

bahwa kepailitan sama artinya dengan likuidasi dan pembubaran.

Bahkan sebagian dari masyarakat umum beranggapan kepailitan

sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal yang merupakan suatu

cacat hukum.19

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial

untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang

debitor, di mana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan

lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.

Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban

yang telah jatuh tempo tersebut disadari debitor, maka langkah untuk

mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya

(voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang

memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap

debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut

18 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999, Seri Hukum Bisnis, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, hlm. 11.


19 Hadi Shubhan, 2009, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan)

Cet. II, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, hlm. 2.

18
memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).20

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu

untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang

dari para kreditor. Keadaan demikian pada dasarnya disebabkan oleh

kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang

mengalami kemunduran.21

Agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai

pengertian kepailitan, ada baiknya peneliti mengemukakan beberapa

kutipan pengertian kepailitan yang diberikan oleh para ahli, antara lain

sebagai berikut :22

a. Memorie Van Toelichting :

”Kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas

seluruh harta kekayaan si berutang guna kepentingannya

bersama para yang mengutangkan”.

b. Fred B.G. Tumbuan :

”Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan

debitor untuk kepentingan semua kreditornya”.

c. Kartono :

20 Herry Anto Simanjuntak, 2020, Prinsip Prinsip Dalam Hukum Kepailitan Dalam
Penyelesaian Utang Debitur Kepada Kreditur, Jurnal Justiqa, Volume 02 Nomor 02,
Fakultas Hukum Universitas Quality, Medan, hlm 17.
21 Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm 1.
22 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2002, Kepailitan, PT.Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hlm.16.

19
”Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh

kekayaan si debitor (orang yang berutang) untuk kepentingan

semua kreditor-kreditornya (orang yang berpiutang) besama-

sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit mempunyai

piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor

miliki pada saat itu.

d. HM.N Purwosujipto :

”Kepailitan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

peristiwa pailit, pailit itu sendiri adalah keadaan berhenti

membayar utang-utangnyadan dalam kepailitan ini terkandung

sifat adanya penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitor

untuk kepentingan semua kreditor yang bersangkutan, yang

dijalankan dengan pengawasan pemerintah.

Peter J.M Declercq menekankan bahwa kepailitan lebih ditujukan

kepada debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada para

kreditornya. Tidak membayarnya debitor tersebut tidak perlu

diklasifikasikan bahwa apakah ia benar-benar tidak mampu

melakukan pembayaran utangnya tersebut ataukah karena tidak mau

membayar kendatipun ia memiliki kemampuan untuk membayar.23

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU dikutip bahwa:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor


Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

23 Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm 4.

20
UUK-PKPU tidak membedakan kepailtan orang perseorangan

dengan kepailitan badan hukum. Hukum Kepailitan Indonesia

sebagaimana dieleborasi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004, mengatur keduanya, baik kepailitan orang perseorangan

maupun kepailitan badan hukum. Apabila dalam UUK-PKPU tidak

cukup diatur mengenai kepailitan orang perseorangan maupun

kepailitan badan hukum, maka digunakanlah peraturan perundang-

undangan yang lain sebagai dasar hukum.24

2. Prinsip-prinsip Kepailitan

a. Prinsip Paritas Creditorium

Prinsip paritas creditorium yang berarti bahwa semua kreditor

konkuren mempunyai hak yang sama atas pembayaran dan

bahwa hasil kekayaan debitor akan dibagikan secara proporsional

menurut besarnya piutang para kreditor konkuren.25 Prinsip

paritas creditorium menentukan bahwa kreditor mempunyai hak

yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor

tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor

menjadi sasaran kreditor.

Tetapi prinsip ini tidak dapat diterapkan secara utuh karena

hal ini akan menimbulkan ketidakadilan bagi para kreditor. Letak

24 Syamsudin Sinaga, 2012, Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: Tatanusa, hlm. 34-
35.
25 Arya Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti, 2004, Kepailitan di Negeri

Pailit, cet. 2, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, hlm. 81.

21
ketidakadilan tersebut adalah para kreditor berkedudukan sama

antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip ini tidak

membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor

dengan piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan, atau

bukan pemegang jaminan. Oleh karenanya, ketidakadilan prinsip

paritas creditorium harus digandengkan dengan prinsip pari passu

pro rata parte.

Terdapat pengecualian dari prinsip paritas creditorium yaitu

pada kalimat dalam Pasal 1132 BW yang mengatur bahwa:

“kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi


semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar- kecilnya piutang masing-
masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”

b. Prinsip Pari Passu Prorata Parte

Prinsip pari passu yaitu membagi secara proporsional harta

kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren atau unsecured

creditors berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-

masing. Di dalam hukum Indonesia prinsip pari passu dijamin oleh

Pasal 1132 BW. Pasal 1132 BW yang menentukan pembagian

secara teratur terhadap seluruh harta pailit kepada para

kreditornya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu pro

rata parte. Dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa besar

piutang yang harus ditagih oleh seorang kreditor dari debitor yang

22
bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi

kreditor dari debitor yang bersangkutan.26

Kartini Muljadi berpendapat, apabila dikaitkan dengan prinsip

pari passu pro rata parte, maka keadilan yang dimaksud dalam

proses kepailitan adalah harta kekayaan harus dibagi secara :27

1) Pari passu, yaitu harta kekayaan debitor harus dibagikan

secara bersama-sama di antara para kreditornya;

2) Prorata artinya sesuai dengan besaran imbang masing-

masing piutang kreditor terhadap utang debitor secara

keseluruhan.

c. Prinsip Structured Creditors

Prinsip Structured Creditors adalah prinsip yang

mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam

debitor sesuai dengan kelasnya masing masing. Dalam Kepailitan

kreditor diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :28

1) Kreditor Separatis

2) Kreditor Preferen

3) Kreditor Konkuren

Pembagian Kreditor menjadi 3 (tiga) klasifikasi tersebut di

atas berbeda dengan pembagian kreditor pada hukum perdata

26 Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, hlm. 15.
27 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Seri Hukum Bisnis Pedoman

Menangani Perkara Kepailitan, ed.1, cet. 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 107-108.
28 Herry Anto Simanjuntak, Op.Cit., hlm. 24.

23
umum. Dalam Hukum Perdata Umum pembedaan kreditor hanya

dibedakan dari kreditor preferen dengan kreditor konkuren.

Kreditor preferen dalam hukum perdata umum dapat mencakup

kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan dan kreditor

menurut Undang-Undang harus didahulukan pembayaran

piutangnya.

Akan tetapi di dalam kepailitan yang dimaksud dengan

kreditor preferen hanya kreditor yang menurut Undang-Undang

harus didahulukan pembayaran piutangnya seperti pemegang

hak privilege, pemegang hak retensi dan lain sebagainya,

sedangkan kreditor yang memiliki jaminan kebendaan dalam

hukum kepailitan diklasifikasikan dengan sebutan kreditor

separatis.

Ketiga prinsip tersebut diatas sangat penting baik dari segi

Hukum Perikatan, Hukum Jaminan maupun Hukum Kepailitan.

Tidak adanya prinsip ini maka pranata kepailitan menjadi tidak

bermakna karena filosofi kepailitan adalah sebagai pranata untuk

melakukan likuidasi terhadap aset debitor yang memiliki banyak

debitor di mana tanpa adanya kepailitan maka para debitor akan

saling berebut baik secara sah maupun secara tidak sah sehingga

menimbulkan ketidakadilan baik terhadap debitor itu sendiri

maupun terhadap kreditor khususnya yang masuk belakangan

24
sehingga tidak mendapatkan bagian dari harta debitor untuk

pembayaran utang utang debitor.29

d. Prinsip Utang

Dalam proses acara kepailitan konsep utang tersebut sangat

menentukan, karena tanpa adanya prinsip tersebut maka tidak

mungkin sebuah perkara kepailitan dapat diperiksa. Tanpa

adanya utang tersebut maka esensi kepailitan menjadi tidak ada

karena kepailitan adalah merupakan pranata hukum untuk

melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang-utangnya

terhadap kreditor. Dengan demikian, utang merupakan raison

d'etre dari suatu kepailitan. Utang sebagai dasar utama untuk

mempailitkan subjek hukum sangat penting sekali untuk dikaji

lebih lanjut prinsip yang mendasari norma utang tersebut.30

Fred B.G. Tumbuan menyatakan bahwa dalam hal seseorang

karena perbuatannya atau tidak melakukan sesuatu

mengakibatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar ganti

rugi, memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu, maka

pada saat itu juga ia mempunyai utang, mempunyai kewajiban

melakukan prestasi. Jadi, utang sama dengan prestasi.31

29 Ibid. hlm. 24
30 Hadi Shubhan, Op.Cit., hlm. 31.
31 Fred BG Tumbuan, 2005, Mencermati Makna Debitor, Kreditor dan Utang Berkaitan

dengan Kepailitan, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, hlm. 7.

25
e. Prinsip Debt Collection

Prinsip debt collection merupakan prinsip yang menekankan

bahwa utang debitor harus dibayar dengan harta yang dimilik oleh

debitor sehingga dapat menghindari itikad tidak baik dari debitor

dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap

segenap harta bendanya yang dijadikan sebagai jaminan umum

bagi kreditor lainnya. Salah satu cara untuk melakukan

pengembalian utang-utangnya debitor dengan cara melikuidasi

aset-aset debitor. Maksud dari prinsip debt collection adalah

ketentuan-ketentuan untuk melakukan pemberesan harta debitor

dengan jalan melikuidasi aset debitor tersebut.32

f. Prinsip Debt Pooling

Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur

bagaimana harta kekayaan pailit si debitor dibagi diantara para

kreditornya. Dalam melakukan pembagian aset tersebut, kurator

akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari

passu prorata parte serta pembagian berdasarkan jenis masing-

masing kreditor (structured creditors principle).33 Dalam

perkembangannya Prinsip debt pooling ini lebih luas konsepnya

dari sekedar melakukan distribusi aset pailit terhadap para

kreditornya secara pari passu prorata parte maupun secara

32 Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 38.


33 Ibid., hlm. 41.

26
structured creditor (pembagian berdasarkan klasifikasi debitor).

Prinsip ini mencakup pula pengaturan dalam sistem kepailitan

terutama yang berkaitan dengan bagaimana kekayaan pailit si

debitor dibagikan diantara para kreditornya.34

Prinsip debt pooling juga merupakan artikulasi dari

kekhususan sifat-sifat yang melekat pada proses kepailitan, baik

itu berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai penagih

yang tidak lazim (oneigelijke incassoprocedures), pengadilan

yang khusus menangani kepailitan dengan kompetensi absolut

yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam

kepailitan, terdapatnya hakim komisaris dan kurator, serta hukum

acara yang spesifik kendatipun merupakan varian dari hukum

acara perdata biasa.35

g. Prinsip Debt Forgiveness

Prinsip debt forgiveness mengandung arti bahwa kepailitan

adalah tidak identik hanya sebagai pranata penistaan terhadap

debitor saja atau hanya sebagai sarana tekanan (pressie middle).

Akan tetapi bisa bermakna sebaliknya, yakni merupakan pranata

hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk

memperingankan bebas yang harus ditanggung oleh debitor

karena sebagai akibat kesulitan keuangan sehingga tidak mampu

34 Ibid., hlm. 42.


35 Ibid., hlm. 43.

27
melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sesuai dengan

perjanjian semula dan bahkan sampai pada pengampunan atas

utang-utangnya sehingga utangnya tersebut akan terhapus sama

sekali. Implementasi dari prinsip debt forgiveness ini dalam norma

hukum kepailitan adalah diberikan moratorium terhadap debitor

atau yang dikenal dengan nama penundaan kewajiban

pembayaran utang untuk jangka waktu yang ditentukan,

dikecualikannya beberapa aset debitor dalam budel pailit

diberikan status fresh staring sehingga memungkinkan debitor

bisa melakukan usaha baru tanpa dibebani utang-utang lama.36

3. Akibat Hukum Kepailitan

Putusan kepailitan membawa akibat bagi si pailit atau debitor

sendiri maupun harta kekayaannya, sejak dibacakan putusan

kepailitan oleh pengadilan niaga, debitor kehilangan hak pengurusan

dan penguasaan atas boedel. Ia menjadi pemilik dari boedel itu, tetapi

ia tidak boleh lagi mengurus dan menguasainya. Pengurusan dan

penguasaan itu beralih kepada hakim pengawas dan kurator yang

ditunjuk dari pengadilan niaga, sementara dalam hal kreditor dan

debitor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada

pengadilan maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak sebagai

kurator.37

36 Ibid., hlm. 43
37 Mohammad Chaidir Ali, Op.Cit, hlm 102 .

28
a. Akibat Kepailitan Pada Umumnya

Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut:

1) Akibat Kepailitan Terhadap Harta Kekayaan Debitor Pailit

Kepailitan mengkibatkan seluruh kekayaan debitor serta

segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitn berada dalam

sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan,

kecuali : 38

a) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan

oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya,

perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan

untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang

dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan

makanan untuk 30 hari bagi debitor dan keluarganya,

yang terdapat di tempat itu;

b) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya

sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa,

sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang

tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas;

atau

c) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi

suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-

undang.

38 Jono, 2008, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 107.

29
2) Akibat Kepailitan terhadap Pasangan (Suami/Istri) Debitor

Pailit

Akibat pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat

dalam suatu perkawinan yang sah dan adanya persatuan

harta, kepailitannya juga dapat memberikan akibat hukum

terhadap pasangan (suami/istri). Dalam hal suami atau istri

yang dinyatakan pailit, istri atau suaminya berhak mengambil

kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang

merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Jika

benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri

dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum

tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak

mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut.

Pasal 23 UUK-PKPU menentukan bahwa apabila seorang

dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juga istri

atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta.

Ketentuan pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat

terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam

persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta istri atau suami

yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga

30
terkena sita kepilitan dan otomatis masuk dalam boedel

pailit.39

3) Akibat Kepailitan terhadap Seluruh Perikatan yang Dibuat

Debitor Pailit

Semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan

pailit, tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali

perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UUK-

PKPU).40 Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang

menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap

kurator. Dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan

oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan

tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap

debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat

hukum terhadap harta pailit.41

4) Akibat Kepailitan Terhadap Seluruh Perbuatan Hukum Debitor

Yang Dilakukan Sebelum Putusan Pernyataan Pailit

Diucapkan

Dalam Pasal 41 ayat (1) UUK-PKPU dinyatakan secara

tegas bahwa untuk kepantingan harta pailit, segala perbuatan

hukum debitor yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan

39 Sunarmi, 2009, Hukum Kepailitan, Medan: USU Press, hlm. 106.


40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 25.
41 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 26.

31
kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan

pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan

kepada pengadilan.42 Kemudian dalam Pasal 42 UUK-PKPU,

kepailitan berikan batasan yang jelas mengenai perbuatan

hukum debitor tersebut.

b. Akibat Kepailitan Secara Khusus

1) Akibat Kepailitan terhadap Perjanjian Timbal Balik

Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan menentukan

bahwa dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit

diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau

baru sebagaian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian

dengan debitor dapat meminta kepada kurator untuk

memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan

perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh

kurator dan pihak tersebut pihak tersebut.

2) Akibat Kepailitan terhadap Hak Jaminan dan Hak Istimewa

Akibat hukum kepailitan terhadap kreditor pemegang hak

tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan debitor adalah

pelaksanaan hak preferensi dari kreditor pemegang hak

tanggungan ini berbeda dengan pelaksanaan hak preferensi

kreditor pemegang hak tanggungan ketika tidak dalam

42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 41 ayat (1).

32
kepailitan, yaitu adanya ketentuan mengenai masa tangguh

(stay) selama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit

untuk mengeksekusi benda jaminan hak tanggungan yang

dipegangnya. Sehingga terjadi ketidak-konsistenan dalam

ketentuan UUK-PKPU yang di satu sisi menyatakan kreditor

pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi hak

tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, namun pada

sisi lainnya terdapat adanya ketentuan penangguhan

eksekusi hak tanggungan.

Pada saat ini, sistem hukum jaminan kebendaan

Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara lain:43

a) Hipotek

Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d 1232 Bab XXI BW,

yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut

yang berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di

Syahbandar dan pesawat terbang.

b) Gadai

Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d Pasal 1160 Bab XX BW,

yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak.

43 Zaeni Asyhadie & Rahma Kusumawati, 2018, Hukum Jaminan di Indonesia,

Rajawali, Jakarta, hlm. 17.

33
c) Hak Tanggungan

Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4

tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, yang

merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu

berikut kebendaan yang melekat di atas tanah.

d) Fidusia

Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminanya

berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan

gadai, hipotek, dan hak tanggungan.

3) Akibat Kepailitan terhadap Gugatan (Tuntutan Hukum)

a) Dalam Hal Debitor Pailit sebagai Penggugat.

Selama dalam proses kepailitan berlangsung, debitor

(pailit) yang mengajukan gugatan/tuntutan hukum terhadap

tergugat, maka atas permohonan tergugat, perkara harus

ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada

tergugat memanggil kurator untuk mengambil alih perkara

dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim.

b) Dalam Hal Debitor (Pailit) sebagai Tergugat

Dalam Pasal 29 UUK-PKPU mengatur bahwa Suatu

gugatan (tuntutan hukum) di pengadilan yang diajukan

terhadap debitor (sebagai tergugat) sejauh bertujuan untuk

34
memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan

perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan

diucapkannya putusan pernyataan pailit. 44

B. Hukum Acara Kepailitan

1. Syarat dan Tata Cara Permohonan Pailit

Syarat-syarat berdasarkan Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU mengatur

bahwa :45

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak


membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU ini, dapat dijabarkan

bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor,

hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Debitor harus paling sedikit memiliki dua kreditor, atau harus

memiliki lebih dari satu kreditor.

b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah

satu kreditornya.

c. Utang yang tidak dibayarkan itu harus telah jatuh waktu dan telah

dapat ditagih.

44 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 29.


45 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1).

35
2. Proses Persidangan dalam Hukum Acara Kepailitan

Proses pertama dalam permohonan, pemeriksanaan dan putusan

pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan

Pasal 11 UUK-PKPU. Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut: 46

b. Tahapan Pendaftaran dan Permohonan Pernyataan Pailit

c. Tahap Pemanggilan Para Pihak

d. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit

e. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit.

Secara spesifik dan konkret lebih lanjut diatur berdasarkan

Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang

Pemberlakukan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, diuraikan terkait tahapan

pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga, sebagai

berikut:47

1. Persidangan Pertama

Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka

untuk umum dan memeriksa kehadiran dan identitas para pihak yaitu

debitor, kreditor dan/atau masing-masing kuasanya, serta kurator

yang ditunjuk dalam permohonan, lalu tiap-tiap identitas para pihak

46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 6 s/d Pasal 11.
47 Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang
Pemberlakukan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, hlm. 18-21.

36
diverifikasi. Hakim ketua kemudian membahas permohonan kepada

debitor dan kreditor dan mengarahkan untuk menyiapkan bukti-bukti

masing-masing.

2. Persidangan Lanjutan

Setelah semua identitas terverifikasi dan permohonan serta

bukti-bukti sudah siap untuk dipersidangkan. Ketua Majelis Hakim

membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum serta

mengumumkan agenda persidangan. Kemudian termohon

mengajukan tanggapan atas permohonan pemohon dengan

melampirkan bukti-bukti atas dalil dari kedua pihak.

Adapun bila pemohon dapat pula menghadirkan kreditor-

kreditor lainnya untuk memperkuat dalil permohonan syarat PKPU

ataupun Pailit. Selanjutnya dengan pembuktian yang sederhana

dalam pemeriksaan di persidangan, maka hakim akan memutus

perkara baik secara langsung maupun dengan menunda untuk

membacakan putusan PKPU ataupun Pailit.

3. Putusan

Hakim selanjutnya akan memutus dengan pertimbangan

hukum mengabulkan permohonan pernyataan pailit yakni, terdapat

fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana berupa ada 2

(dua) atau lebih Kreditor; tidak membayar lunas utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih; dan adanya utang dapat dibuktikan oleh

Pemohon.

37
Kemudian, Hakim sekaligus dalam putusannya mengangkat

kurator/pengurus dan menunjuk hakim pengawas yang akan

menangani perkara PKPU atau Pailit. Pengucapan putusan dalam

persidangan terbuka untuk umum dan Salinan putusan wajib

disampaikan oleh Juru Sita paling lambat 3 (tiga) hari kalender setelah

putusan diucapkan kepada pihak pemohon, termohon,

kurator/pengurus, dan Hakim Pengawas.

Setelah adanya putusan pernyataan pailit kepada debitor oleh

Pengadilan Niaga maka dilakukan pencocokan piutang. Berdasarkan

Pasal 178 UUK-PKPU, jika dalam rapat pencocokan piutang tidak

ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima,

atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta pailit masuk dalam

keadaan insolvensi (tidak mampu membayar utang-utang debitor).

Tindakan selanjutnya terhadap harta debitor pailit yang telah

dinyatakan dalam keadaan insolvensi melakukan likuidasi yaitu

menjual harta tersebut yang dilakukan oleh kurator kemudian

dibagikan secara pari passu pro rata kepada para kreditor untuk

pembayaran piutangnya. Tindakan kurator inilah yang dinamakan

dengan tindakan pemberesan.48

48 Serlika Aprita, 2018, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, Malang: Setara Press, hlm. 30-31.

38
Pertanggung jawaban kurator setelah pemberesan harus

dilaporkan kepada hakim pengawas. Dalam kaitan tanggung jawab itu

dijelaskan dalam Pasal 202 ayat (3) UUK-PKPU menyatakan bahwa

Kurator wajib mempertanggungjawabkan mengenai pengurusan dan

pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim pengawas paling

lama 30 hari setelah berakhirnya kepailitan.49

Semua penetapan mengenai pengurusan dan/atau pemberesan

harta pailit ditetapkan oleh pengadilan dalam tingkat terakhir

berdasarkan dalam Pasal 91 UUK-PKPU. Penetapan yang dimaksud

dalam ketentuan pasal ini adalah penetapan administratif, misalnya

penetapan harta pailit, pengangkatan kurator, penetapan pembagian

dan lainnya. Penetapan Pengadilan Niaga yang menyangkut

pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit tidak dapat

dimintakan kasasi atau peninjauan kembali.

Selanjutnya dalam Pasal 92 UUK-PKPU ditentukan bahwa semua

penetapan mengenai pengurusan dan pemberesan harta pailit yang

juga ditetapkan oleh hakim dapat dilaksanakan terlebih dahulu,

kecuali undang-undang menentukan lain. 50

49 Serlika Aprita, Op. Cit., hlm. 31.


50 Serlika Aprita, Op. Cit., hlm. 32.

39
3. Upaya Hukum dalam Hukum Acara Kepailitan

a. Kasasi

Kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan

dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir

(Pasal 29 dan 30 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985,

sebagaimana telah diubah menjadi Undang – Undang Nomor 5

Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung selanjutnya disebut dengan

UU MA).

Dalam meninjau alasan-alasan hukum yang dipergunakan

dalam permohonan kasasi dipakai dasar sebagai dasar Pasal 30

UU MA, karena :51

1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku

3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang wajib oleh peraturan

perundang-undangan yang merugikan dan lalai dengan batalnya

suatu keputusan yang bersangkutan.

Permohonan kasasi tersebut dapat diajukan setelah tanggal

putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan dengan jangka waktu

8 hari dan didaftarkan ke panitera pengadilan niaga yang

memutuskan pailit.52

51 Sudikno Mertokusumo, 2010, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya, hlm 330.


52 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 11.

40
Permohonan kasasi sebagaimana tersebut sebelumnya, dapat

diajukan oleh kreditor lain yang bukan merupakan pihak di tingkat

pertama karena merasa tidak puas dan dapat pula diajukan oleh

debitor dan kreditor yang termasuk pada pihak tingkat pertama.53

b. Peninjauan Kembali

Tentang Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana diatur dalam

Bab IV Pasal 295 sampai Pasal 298 jo. Pasal 14 UUK-PKPU bahwa

terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit dari

Pengadilan Niaga yang telah inkracht dapat diajukan Peninjauan

Kembali kepada MA kecuali ditentukan dalam undang-undang ini

(Pasal 14 jo. Pasal 295 UUK-PKPU). Permohonan Peninjauan

Kembali dapat dilakukan apabila:54

1) Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan

sudah ada, tetapi belum ditemukan, atau

2) Dalam putusan Hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan

yang nyata.

Pengajuan permohonan Peninjauan Kembali berdasarkan

alasan angka 1 diatas, sejak tanggal putusan yang dimohonkan

53 Rahayu Hartini, 2017, Hukum Kepailitan, Malang: Universitas Muhammadiyah

Malang, hlm 214.


54 Ibid., 216.

41
peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum yang tetap

terhitung dalam waktu paling lambat 180 hari.55

Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan

alasan sebagaimana dimaksud angka 2 tersebut diatas, dilakukan

dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal

putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh

ketentuan hukum yang tetap. 56

Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada panitera

Pengadilan Niaga. Kemudian Panitera akan mendaftarkan sesuai

tanggal permohonan peninjauan kembali diajukan, dan diberikan

bukti tertulis yang ditanda tangani oleh Panitera apabila telah

mendaftar yang sesuai dengan tanggal pendaftaran.57

4. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Dalam UUK-PKPU mengenai pengurusan dan pemberesan harta

pailit diatur tersendiri yaitu dapat dilakukan oleh Hakim Pengawas,

Kurator, dan Balai Harta Peninggalan (BHP).

a. Hakim Pengawas

Tugas hakim pengawas ini adalah mengawasi pengurusan dan

pemberesan harta pailit seperti yang diatur dalam lampiran pasal

Pasal 65 UUK-PKPU. Sebelum memutuskan sesuatu yang ada

55 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 296 ayat (1).
56 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 296 ayat (2).


57 Rahayu Hartini, Op. Cit., hlm. 217.

42
sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit,

Pengadilan Niaga wajib mendengar nasehat terlebih dahulu dari

Hakim Pengawas.

Hakim Pengawas tersebut ditunjuk oleh Majelis Hakim

Pemeriksa atau Majelis Hakim Pemutus Perkara. Pada prinsipnya,

Hakim Pengawas adalah wakil pengadilan yang mengawasi

pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh

Kurator. Penunjukan Hakim Pengawas dilakukan bersamaan

dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit.58

b. Kurator

Pemberesan harta pailit dilakukan oleh Kurator dengan melalui

pengawasan dari Hakim Pengawas. Pengertian Kurator terdapat

dalam Pasal 1 angka 5 UUK-PKPU, mengatur bahwa: 59

“Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang


perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-
Undang ini.”

Dalam menjalankan tugasnya, berdasarkan Pasal 69 ayat (2)

UUK-PKPU, maka kurator harus: 60

1) Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau

menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor

58 Lilik Mulyadi, 2013, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU) Teori Dan Praktik, Bandung: Alumni, hlm. 132-133.
59 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1 angka 5.


60 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 69 ayat (2).

43
atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan diluar

kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian

dipersyaratkan.

2) Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, semata-mata

dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit.

c. Balai Harta Peninggalan (BPH)

Balai Harta Peninggalan adalah instansi pemerintah yang

berada dibawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang

melakukan pelayanan jasa hukum di bidang kepailitan dan PKPU

serta bidang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Apabila BHP menangani perkara kepailitan disebut

kurator, sedangkan apabila mngurusi harta debitor bersama-sama

dengan debitor PKPU disebut pengurus. Pengurus tidak

berwenang menjual harta debitor PKPU, sedangkan kurator

mempunyai otoritas untuk menjual aset debitor pailit.61

Dalam hal pemberesan dan pengurusan harta pailit tersebut,

kurator bekerja setelah adanya putusan pernyataan pailit dari

hakim, putusan pailit tersebut terhitung sejak pukul 00.00 waktu

setempat. Maka terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit

tersebut diucapkan, debitor pailit demi hukum tidak mempunyai

61 Syamsudin M.Sinaga, Op.Cit, hlm 16.

44
kewenangan lagi untuk menguasai dan mengurus harta

kekayaan.62

C. Tinjauan Umum Hukum Jaminan

1. Pengertian Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari kata zekerheid atau

cautie dalam bahasa Belanda, yaitu kemampuan debitor untuk

memenuhi atau melunasi utangnya kepada kreditor yang dilakukan

dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai

tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima oleh debitor

terhadap kreditornya.63 Zekerheid atau cautie mencakup secara

umum cara-cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, di

samping tanggung jawab umum debitor terhadap barang-

barangnya.64

Istilah jaminan juga lazim disebut dengan agunan. Pengertian

jaminan berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang

Pokok-pokok Perbankan diberi istilah “agunan” atau “tanggungan”,

sedangkan jaminan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan diberi arti lain, yaitu keyakinan atas itikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi

62 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 24 ayat (1) dan (2).
63 Rachmadi Usman, 2016, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.

66.
64 Salim H.S, 2019, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, hlm. 21.

45
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan

diperjanjikan. Jaminan atau agunan adalah menjamin dipenuhinya

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan hukum.65

Adapun pengertian jaminan menurut para sarjana hukum sebagai

berikut:

1) Hartono Hadisoeprapto mengemukakan bahwa jaminan adalah

sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan

keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat

dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.66

2) M. Bahsan mendefinisikan jaminan adalah segala sesuatu yang

diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu

utang piutang dalam masyarakat.67

3) Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai

suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan/atau

pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya

dalam suatu perikatan.68

Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didahului

dengan perjanjian pokoknya. Biasanya perjanjian pokoknya adalah

perjanjian kredit, utang piutang, atau pinjam meminjam uang. Dalam

65 Ibid.
66 Salim H.S, 2019, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hlm. 22.
67 Ibid.
68 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm. 69.

46
perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara debitor dan kreditor

bahwa pinjamannya tersebut dibebani pula dengan suatu jaminan,

yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan jaminan. Oleh karena itu,

perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir, tambahan, atau

ikutan.69

Perjanjian accessoir merupakan perjanjian yang bersifat

tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.70 Sifat accessoir

dari hak jaminan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum tertentu,

seperti:71

a) Ada dan hapusnya perjanjian jaminan itu tergantung dan

ditentukan oleh perjanjian pendahuluannya;

b) Bila perjanjian pendahuluannya batal, maka batal pula perjanjian

jaminan sebagai perjanjian tambahan;

c) Bila perjanjian pendahuluannya beralih atau dialihkan, maka

beralih pula perjanjian jaminannya;

d) Bila perjanjian pendahuluannya beralih karena cessie dan

subrogatie, maka perjanjian jaminan ikut beralih tanpa

penyerahan khusus;

e) Bila perjanjian jaminan berakhir atau hapus, perjanjian

pendahuluannya tidak dengan sendirinya berakhir atau hapus.

69 Ibid, hlm. 86.


70 Salim H.S., Op.Cit, hlm. 30.
71 Rachmadi Usman, Loc.Cit.

47
Pada prinsipnya tidak semua benda dapat dijadikan objek jaminan

pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan non-bank, namun

benda yang dapat dijadikan objek jaminan adalah benda-benda yang

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:72

a) Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak

yang memerlukannya;

b) Tidak melemahkan potensi (kekuatan si pencari kredit untuk

melakukan atau meneruskan usahanya; dan

c) Memberikan kepastian kepada kreditor, dalam arti barang

jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat

mudah diuangkan untuk melunasi utang si penerima kredit

(debitor).

2. Asas-Asas Hukum Jaminan

Macam-macam asas yang ada pada hukum jaminan ialah antara

lain:73

a. Asas Publiciteet, yakni asas yang mengartikan segala hak,

termasuk hak tanggungan, hipotek serta hak fidusia wajib untuk

didaftarkan. Tujuan dari adanya pendaftaran ini adalah agar pihak

ketiga dapat mengetaui jika benda yang dijaminkan itu masih

diberikan pembebanan jaminan;

72 Salim H.S., Op.Cit, hlm. 27.


73 Salim HS, 2017, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Cetakan ke – 10.
Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, hlm. 9.

48
b. Asas Specialiteet, yakni asas yang berarti jika hak fidusia, hak

tanggungan, serta hipotik hanyalah bisa diberikan beban atas

benda- benda yang telah di daftarkan atas nama seseorang;

c. Asas tidak dapat dibagi-bagi, merupakan asas yang berarti bahwa

dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya

hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun

telah dilakukan pembayaran sebagian;

d. Asas inbezitsteliing, yakni asas bahwa yaitu barang yang

digunakan sebagai jaminan (gadai) harus ada pada penerima

gadai;

e. Asas Horizontal, yakni asas yang menyatakan bahwa bangunan

dan tanah bukanlah satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat pada

penggunaan hak pakai, baik tanah Negara.

3. Jenis-Jenis Jaminan

Hukum perdata melakukan penggolongan atas jaminan

berdasarkan sifat atau bentuknya, dalam hal menurut pada sifatnya

jaminan di bedakan jadi sebagai berikut :

a. Jaminan Umum

Jaminan umum dibahas pada Pasal 1131 BW yang

menyatakan jika “segala barang-barang bergerak dan tak bergerak

milik debitor baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi

jaminan untuk perikatan-perikatan debitor”, dari aturan itu maka

dapat diartikan jika setiap perjanjian yang telah disusun dan pada

49
selanjutnya melahirkan suatu hutang atau suatu prestasi maka

pembayarannya akan dijamin dengan semua harta benda milik

debitor, baik harta yang sudah ada ataupun harta yang baru akan

ada di kemudian hari.74

Dalam jaminan umum memposisikan kreditor yang

mempunyai piutang dan di jamin menggunakan jaminan umum

bakal memperoleh pembayaran lunas secara adil bersama dengan

para kreditor lain yang sederajat.75

Yang termasuk jaminan perorangan adalah :

1) Penanggung (borgtocht) adalah orang lain yang dapat ditagih;

2) Jaminan perusahaan (corporate guarantee);

3) Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung

renteng;

4) Garansi bank (bank guarantee).

b. Jaminan Khusus

Dalam jaminan khusus kreditor mempunyai hak khusus, yang

bisa dikarenakan oleh Undang-Undang ataupun dikarenakan

pihak- pihak yang dengan sengaja membuat perjanjian atasnya.

Selanjutnya dalam hal jaminan didasarkan pada bentuknya di bagi

jadi 2 (dua) jenis :

74 D.Y Witanto, 2015, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan

Konsumen, Bandung: Mandar Maju, hlm. 58.


75 Ibid.

50
a. Jaminan Perorangan

Jaminan perorangan menurut Veithzal Rivai, bahwa jaminan

perorangan itu merupakan suatu perjanjian penanggungan utang

dimana pihak ketiga mengikatkan diri untuk memenuhi kewajiban

nasabah dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya

kepada bank/wanprestasi.76

Menurut H. Salim HS bahwa Jaminan perorangan adalah

jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan

tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu,

terhadap harta kekayaan debitor pada umumnya.77

b. Jaminan Kebendaan

Barang-barang yang dijaminkan itu milik debitor dan selama

menjadi jaminan utang tidak dapat dialihkan atau dipindah

tangankan baik debitor maupun kreditor. Apabila debitor

wanprestasi atas utangnya, objek jaminan tidak dapat dimiliki oleh

kreditor, karena lembaga jaminan bukan bertujuan untuk

memindahkan hak milik atas suatu barang.78

Menurut Soedewi didalam buku Gatot Supramono “Perjanjian

Utang Piutang” bahwa Jaminan kebendaan adalah jaminan yang

berupa hak mutlak atas sesuatu benda yang mempunyai hubungan

76 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, 2006, Credit Management Handbook :
Teori, Konsep, Prosedur, Dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, Dan Nasabah,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 439.
77 Salim HS, Op.Cit., hlm 24
78 Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, hlm. 59.

51
langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap

siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.79

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan unsur-unsur yang

tercantum pada jaminan materiil, yaitu :

1) Hak mutlak suatu benda;

2) Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu;

3) Dapat dipertahankan;

4) Selalu mengikuti bendanya; dan

5) Dapat dialihkan kepada pihak lain.

Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan :

2) Gadai (pand), yang diatur didalam Bab 20 Buku II KUH Perdata;

3) Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata;

4) Credietverband,yang diatur dalam Stb.1908 No.542

sebagaimana telah diubah dengan Stb. 1937 No. 190;

5) Hak Tanggungan, sebagaimana diatur didalam UU No. 4 Tahun

1996;

6) Jaminan Fidusia, sebagaimana diatur dalam UU No. 42 Tahun

1999.

D. Tata Cara Eksekusi Kreditor Pemegang Hak Jaminan Dalam Hukum

Kepailitan

79 Ibid

52
Kreditor separatis dalam hukum kepailitan adalah kreditor pemegang

jaminan kebendaan seperti pemegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotek dan jaminan kebendaan lainnya. Dikatakan

“separatis” yang berkonotasi “pemisahan” oleh karena kedudukan

kreditor tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti

kreditor separatis dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil

penjualan, yang terpisah dengan harta pailit umumnya.80

Pengakuan atas hak kreditor separatis dalam prosedur kepailitan

tersebut antara lain nampak dalam bunyi ketentuan Pasal 55, Pasal 56,

dan Pasal 59 UUK-PKPU.

Di dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU mengatur bahwa:

“...setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat

mengeksekusi haknya seolah olah tidak terjadi kepailitan.”

Dalam menjalankan haknya, kreditor separatis harus

memperhatikan ketentuan Pasal 56 UUK-PKPU yang mengatur sebagai

berikut:

“(1) Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55


ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang
berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,
ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang
tunai dan hak Kreditor untuk mempejumpakan utang.

80 Munir Fuady, 2017, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Cetakan Ke VI, Bandung:

Citra Aditya Bakti, hlm. 99.

53
(3) Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa
benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual
harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam
penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha
Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi
kepentingan Kreditor atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).”
Ketentuan lain yang membatasi hak kreditor separatis dalam

melakukan eksekusi objek jaminan terdapat dalam Pasal 59 UUK-PKPU

yang mengatur bahwa:

“(1) Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57,


dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah
dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 178 ayat (1).
(2) Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang
menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi
hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan
agunan tersebut.
(3) Setiap waktu Kurator dapat membebaskan benda yang menjadi
agunan dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar
benda agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan benda
agunan tersebut kepada Kreditor yang bersangkutan.”

Melalui ketentuan di atas nampak bahwa UUK-PKPU memberikan

kesempatan bagi kreditor separatis untuk melaksanakan eksekusi atas

objek jaminan kebendaan dalam masa:81

a. Sebelum jatuhnya putusan pailit (kecuali dilakukan sita jaminan);

b. Setelah berakhirnya stay (penangguhan eksekusi) sampai dengan

insolvensi; atau

81 Ibid.

54
c. Selama dua bulan sejak insolvensi.

Jika debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka akan berlaku

Pasal 56, Pasal 59 dan Pasal 60 UUK-PKPU. Menurut Pasal 60 UUK-

PKPU, kreditor pemegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan

atas kebendaan lainnya yang melaksanakan haknya mengeksekusi

benda-benda yang menjadi agunan dan kurator mengenai hasil

penjualan benda-benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa

penjualan yang telah di kurangi jumlah utang, bunga dan biaya, kepada

kurator. Atas tuntutan kurator atau kreditor yang diistimewakan,

pemegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan

lainnya wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut.82

1. Eksekusi Objek Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia sendiri merupakan salah satu bentuk jaminan

yang diatur di luar BW. Eksistensi lembaga jaminan fidusia di

Indonesia sejatinya telah mulai di Indonesia sejak adanya putusan

HGH (Hooggerechtshof) atas kasus Bataafsche Petroleum

Maatchappij (BPM) pada tahun 1932. Semenjak adanya putusan

tersebut, praktek lembaga jaminan fidusia di Indonesia ditempa dan

dipelihara oleh berbagai yurisprudensi hingga akhirnya

diundangkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42

Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.83

82 Abdul Kadir Muhammad, 2014, Hukum Harta Kekayaan, Bandung: Citra Aditya

Bakti, hlm. 85.


83 Moch. Isnaeni, 2017, Noktah Ambigu Norma Lembaga Jaminan Fidusia, Surabaya:

Revka Petra Media, hlm. 76.

55
Hak jaminan fidusia tergolong sebagai hak kebendaan, maka di

dalamnya terkandung pula ciri-cirinya hak kebendaan. Salah satu ciri

hak kebendaan adalah adanya kemudahan dalam sistem eksekusi

agunan. Bilamana debitor cidera janji maka kreditor memiliki

kewenangan untuk melaksanakan eksekusi agunan secara mudah,

cepat, dan sederhana, antara lain dengan menggunakan lembaga

hukum parate executie.84

Ciri kemudahan dalam melakukan eksekusi atas objek jaminan

fidusia ini ini nampak melalui ketentuan Pasal 15 UU Jaminan Fidusia

yang mengatur bahwa:

“(1) Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA".
(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
(3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak
untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaannya sendiri.”

Di dalam penjelasan Pasal 15 (1) UU Jaminan Fidusia disebutkan

bahwa “yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah

langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat

final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan

tersebut.” Lebih lanjut, penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan

84 Moch. Isnaeni, 2017, Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan, Cet. III, Yogyakarta:

Laksbang Pressindo, hlm. 125-126.

56
Fidusia juga menegaskan ciri adanya lembaga parate executie pada

eksekusi jaminan fidusia. Parate executie hakikatnya merupakan

eksekusi yang tidak memerlukan perantaraan pengadilan, tidak

memerlukan kerjasama dengan juru sita pengadilan serta tidak

memerlukan penyitaan dari pihak pengadilan, melainkan kreditor

berwenang melakukan penjualan objek jaminan atas kekuasaannya

sendiri (eigenmachtig verkoop).

Pada tanggal 15 Februari 2019 telah diajukan permohonan

Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

atas ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia.

Atas permohonan tersebut, pada tanggal 6 Januari 2020, Mahkamah

Konstitusi kemudian membacakan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang amar putusannya antara lain adalah

sebagai berikut:

“2. “...Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42


Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang
frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak
ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitor
keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi
jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum
dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus
dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan

57
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang
frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara
sepihak oleh kreditor melainkan atas dasar kesepakatan antara
kreditor dengan debitor atau atas dasar upaya hukum yang
menentukan telah terjadinya cidera janji;...”

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-

XVII/2019, parate executie atas objek jaminan fidusia hanya dapat

dilaksanakan oleh kreditor bilamana terpenuhi dua syarat berikut:

a. Pemberi fidusia (debitor) mengakui bahwa dirinya telah cidera

janji; dan

b. Pemberi fidusia (debitor) secara sukarela menyerahkan benda

yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditor untuk

dilakukan penjualan sendiri.

Pengaturan mengenai eksekusi objek jaminan fidusia yang diatur

di dalam UU Jaminan Fidusia sejatinya tidak dapat dilepaskan dari hak

eksekusi kreditor pemegang hak jaminan dalam UU Kepailitan.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, di dalam UU Kepailitan

terdapat batasan waktu bagi kreditor pemegang hak jaminan untuk

dapat melakukan eksekusi atas obejk jaminan fidusia. Setelah

insolvensi, kreditor pemegang hak jaminan hanya diberikan waktu

selama 2 (dua) bulan untuk melakukan eksekusi atas objek jaminan

kebendaan. Eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

18/PUU-XVII/2019, yang mensyaratkan bahwa bilamana debitor tidak

mengakui bahwa telah cidera janji dan tidak sukarela menyerahkan

58
objek jaminan fidusia maka kreditor wajib mengajukan permohonan

eksekusi ke ketua Pengadilan Negeri sesuai ketentuan Pasal 196 HIR

atau Pasal 208 RBg, sejatinya semakin memberatkan bagi kreditor

separatis pemegang hak jaminan fidusia untuk dapat memenuhi batas

waktu eksekusi 2 (dua) bulan sejak insolvensi. Padahal, lewat dari

batas waktu tersebut maka kewenangan untuk melakukan eksekusi

atas objek jaminan kebendaan akan diambil alih kurator.

2. Eksekusi Objek Gadai

Istilah dan pengaturan parate eksekusi dalam gadai terdapat di

dalam BW pada Pasal 1155 yang mengatur bahwa:85

“ Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika
debitor atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah
lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan
peringatan untuk pemenuhan kreditor berhak untuk menjual
barang gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan
setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan
tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat
dilunasi dengan hasil penjualan itu.”

3. Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan

Hak-hak kreditor pemegang hak tanggungan berupa parate

eksekusi dan eksekusi berdasarkan kekuatan eksekutorial sertifikat

Hak Tanggungan telah dibatasi oleh UUK-PKPU. UUK-PKPU hanya

mengutamakan pembayaran (pelunasan) piutang kreditor pemegang

hak tanggungan saja. Dengan demikian timbul pertentangan antara

norma hukum dalam UUHT dengan norma hukum yang ada dalam

85 Pasal 1155 Burgerlijk Wetboek (BW)

59
UUK yang dalam ilmu hukum disebut benturan norma hukum (norm

conflict).

Berdasarkan Pasal 6 UUHT bahwa kreditor pemegang hak

tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak

tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, dari

hasil pelelangan tersebut kreditor mengambil untuk pelunasan

piutangnya, atau yang biasa disebut dengan parate eksekusi.

Penjelasan Pasal 6 UUHT memberikan ketentuan, bahwa parate

eksekusi tersebut didasarkan pada yang diperjanjikan dalam suatu

Akta Pemberian Hak Tanggungan.86

Penetapan ketentuan bahwa hak eksekusi kreditor pemegang

Hak Tanggungan harus ditangguhkan untuk jangka waktu selama 90

hari sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUK -

PKPU merupakan ketentuan yang dapat merugikan kreditor

pemegang Hak Tanggungan yang mempunyai kedudukan sebagai

kreditor preferen atau yang diutamakan (asas droit de preference).

Peluang kerugian yang mungkin terjadi adalah kreditor pemegang

Hak Tanggungan akan kerugian yang mungkin terjadi adalah kreditor

pemegang Hak Tanggungan mendapatkan calon pembeli yang

bersedia membeli benda yang menjadi jaminan tersebut dengan

harga mahal, akan tetapi kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak

dapat melaksanakan hak eksekusinya karena adanya masa

86 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 6

60
penangguhan tersebut dan kesempatan tersebut belum tentu bisa

diperolehnya pada saat masa penangguhan berakhir.

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2) UUK-PKPU

telah mengabaikan berlakunya hak separatis dari kreditor pemegang

hak Tanggungan, serta kreditor sebagai pemegang hak Tanggungan

telah kehilangan kedudukan sebagai kreditor preferen, disamping itu

juga ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) adalah tidak realistis. Di

dalam praktik sangat sulit dan bahkan hampir tidak mungkin bisa

dilakukan penjualan benda yang menjadi agunan dalam jangka waktu

2 bulan. Misalnya sebuah bank yang menerima sebuah pabrik tekstil

atau sebuah hotel berbintang sebagai agunan berdasarkan

pembenanan Hak Tanggungan, amat sulit untuk melakukan penjualan

benda angunan tersebut dalam jangka waktu 2 bulan. Proses

penjualan mulai dari persiapan transaksi kemudian pelaksanaan jual

beli sampai kepada penyelesaian pembayaran pabrik tekstil atau hotel

berbintang tersebut dapat memakan waktu lebih dari dua bulan,

bahkan bisa sampai 1 tahun atau 2 tahun.

Jika benda yang dijadikan jaminan berupa rumah atau gedung

yang tidak ditempati, maka masa penangguhan tersebut dapat

menurunkan nilai atau harga jualnya karena ada kemungkinan rumah

atau gedung yang tidak ditempati tersebut selama masa

penangguhan mengalami kerusakan yang mengakibatkan

menurunnya nilai atau harga jualnya. Lebih jauh lagi karena adanya

61
masa penanggungan, parate eksekusi yang diberikan oleh UUHT

sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 6 menjadi tidak berguna lagi.

Karena tujuan untuk memberikan kemudahan dan kepastian bagi

kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan hak eksekusi

atas Hak Tanggungan menjadi tidak terwujud.

4. Eksekusi Jaminan Hipotek

Pada awal mulanya, Hipotek digunakan sebagai lembaga

jaminan atas tanah, namun dengan diundangkannya UUHT maka

terjadi perubahan, perubahan tersebut adalah obyek Hipotek tidak

lagi berupa tanah, karena lembaga jaminan untuk tanah diambil

alih oleh Hak Tanggungan. Batasan mengenai obyek Hipotek kini

dijabarkan dalam Pasal 29 UUHT, bahwa Hipotek dan

Credietverband sepanjang menyangkut benda tanah dan segala

sesuatu yang melekat dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Keberadaan Hipotek tetap eksis dengan obyeknya yaitu benda tidak

bergerak yang tidak menyangkut benda tanah atau terkait dengan

tanah, contoh pesawat terbang, helikopter, dan kapal laut.87

Hak dan kewajiban untuk menjual kapal yang dibebani dengan

hipotik (Pasal 1178 ayat (2) BW). Dalam hal debitor wanprestasi

(macet), maka kreditor selaku pemegang hipotik atas kapal berhak

untuk melakukan penjualan secara lelang di muka umum atas kapal-

87 Muhammad Rizky Syahrur Rizal, 2018, Pelaksanaan Eksekusi Atas Objek Jaminan

Hipotek Kapal Laut Yang Sedang Dalam Kegiatan Pelayaran, Jurnal Perspektif, Volume
23 Nomor 2, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 78

62
kapal yang sudah dibebani dengan hipotik. Hasil penjualan kapal

tersebut digunakan sebagai pelunasan kewajiban debitor kepada

kreditor.

Kewajiban debitor untuk memperoleh persetujuan tertulis dari

kreditor, dalam hal kapal tersebut akan disewakan kepada pihak lain

(Pasal 1185 BW) Dalam hal kapal tersebut disewa oleh pihak lain,

maka kreditor berhak untuk meminta agar pihak penyewa mengetahui

bahwa kondisi kapal tersebut sedang dibebani hipotik, dan yang

bertindak selaku pemegang hipotik adalah kreditor bersangkutan.

Oleh karena itu, biasanya pihak penyewa juga harus menandatangani

surat pernyataan yang menyatakan bersedia setiap saat

mengosongkan dengan sukarela dan selanjutnya menyerahkan kapal

tersebut dalam keadaan baik kepada kreditor, pada saat debitor

melakukan wanprestasi.

Pembeli kapal yang dijual melalui lelang berhak meminta agar

hipotik yang terdaftar pada kapal tersebut dihapuskan atau diroya

(Pasal 1210 BW). Pada waktu pembelian kapal dilakukan, maka hasil

penjualan kapal tersebut biasanya sudah dapat digunakan untuk

melunasi utang debitor kepada kreditor. Jika demikian, harus

dilakukan proses roya sebagaimana halnya dengan proses roya

kepada Hak Tanggungan.

Debitor atau pemberi hipotik diwajibkan mengasuransikan kapal

yang dibebani dengan hipotik. Dalam hal terjadi suatu keadaan kapal

63
tersebut musnah ataupun rusak sehingga klaim atas asuransi tersebut

keluar, maka pembayarannya merupakan hak kreditor. Klaim asuransi

tersebut yang nantinya akan digunakan untuk melunasi utang debitor

Selanjutnya adalah proses Parate Eksekusi atau dapat disebut

penjualan lelang oleh kreditor berdasarkan kuasa sendiri

(eigenmachtige verkoopI). Dalam Hipotek hal ini didasarkan Pasal

1178 ayat (2) BW. Syarat-syarat untuk melakukan Parate Eksekusi

adalah dalam kuasa tersebut harus dituangkan sebagai klausul

dalam akta Hipotek yang berisi pernyataan, bahwa debitor

memberikan hak atau kuasanya kepada kreditor untuk menjual

sendiri objek barang Hipotek, apabila debitor cedera janji, selanjutnya

pelaksanaan penjualan tanpa adanya campur tangan dari

Pengadilan Negeri, tetapi tata cara penjualan harus tetap tunduk pada

Pasal 1211 BW, yaitu penjualan harus dilakukan di muka umum, dan

Kreditor meminta bantuan Kantor Lelang untuk melakukan

penjualan.88

5. Eksekusi Jaminan Resi Gudang

Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang

disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang yang diubah

88 Yahya Harahap, 2017, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,

Edisi 2, Cetakan ke - 8, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 236.

64
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi

Gudang atau selanjutnya disebut UU Sistem Resi Gudang. Selain itu,

dalam Pasal 4 ayat (2) UU Sistem Resi Gudang menyebutkan bahwa

resi gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan

utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya.

Namun secara spesifik terdapat perbadaan dengan lembaga jaminan

lainnya yang dapat dibebankan jaminan lebih dari satu kali, pada resi

gudang sebagai lembaga jaminan hanya dapat dibebankan satu

jaminan utang saja.89

Adapun metode pelaksanaan eksekusi resi gudang sebagai

jaminan tidak sama dengan jaminan lainnya seperti fidusia ataupun

hak tanggungan. Penjualan barang jaminan resi gudang sama halnya

dengan menjual hasil hutan seperti kayu, karet dan sejenisnya, tidak

harus dilakukan secara lelang. Cara penjualan barang jaminan resi

gudang sbergantung pada kondisi yang berupa jenis ataupun sifat dari

barang jaminan. Jika barang yang hendak dijual atau dieksekusi

merupakan barang yang masih dapat disimpan dalam jangka waktu

lama, penjualan dapat dilakukan secara lelang. Akan tetapi, jika sifat

barang menuntut harus segera dijual karena dikhawatirkan nilainya

akan menyusut seiring dengan menururnnya kualitas fisik barang

89 Elyta Ras Ginting, 2019, Hukum Kepailitan Buku Ketiga (Pengurusan dan

Pemberesan Harta Pailit), Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 337.

65
(mengingat barang-barang tersebut merupakan hasil produk

pertanian maupun perkebunan), maka penjualan dilakukan secara

langsung tanpa prosedur lelang.90

Dalam praktiknya, eksekusi terhadap objek jaminan resi gudang

juga tidak serta merta mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 27/PMK/06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

maupun oleh Peraturan Dirjen Kekayaan Negara No.2/KN/2017

tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang. Pengaturan teknis

pelaksanaan eksekusi terhadap objek jaminan resi gudang mengacu

pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Jaminan

Resi Gudang. Pada pasal 21 ayat (1) PP Nomor 36 Tahun 2007

menyebutkan bahwa:

“Penerima hak jaminan resi gudang berhak menjual sendiri objek

jaminan resi gudang tanpa memerlukan fiat eksekusi dari ketua

pengadilan negeri.”91

Berkenaan dengan hukum kepailitan, khususnya dalam

pengaturan masa stay yang terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) UUK-

PKPU yang menyebutkan bahwa:

“Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55

ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada

dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk

90 Ibid., hlm. 340.


91Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Jaminan Resi Gudang, Pasal
21 ayat (1).

66
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal

putusan pernyataan pailit diucapkan.”

Ketentuan tersebut dapat dikesampingkan berlakunya dan tidak

berlaku mutlak bagi kreditor separatis penerima jaminan resi gudang.

Bila mengacu pada pasal 57 ayat (2) UUK-PKPU yang menyatakan

bahwa:

“Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat

mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat

penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut.”

Dalam hal ini, pihak kreditor dapat mengajukan permohonan

keapda kurator agar durasi masa stay dapat ditangguhkan atau

dimohonkan untuk diperpendek jangka waktunya dengan

mengemukakan alasannya. Adapun alasan spesifik terhadap jaminan

resi gudang yakni kembali berkaitan pada sifat dan jenis komoditas

yang dapat menyebabkan fluktuasi harga dan mempengaruhi nilai

penjualan sehingga dapat pula secara langsung berdampak pada

proses pembayaran utang-utang debitor pailit kepada kreditornya.

Sejalan dengan itu maka meskipun dalam Pasal 21 ayat (1) PP

Nomor 36 Tahun 2007 tentang Jaminan Resi Gudang memposisikan

penerima jaminan resi gudang sebagai kreditor separatis yang dapat

menjual sendiri barang jaminan tanpa fiat eksekusi dari ketua

pengadilan. Namun dalam hal debitor pailit, hak menjual sendiri

(parate executie) tersebut tunduk pada ketentuan UU Kepailitan dan

67
PKPU, yaitu pelaksanaan hak parate eksekusi penerima jaminan resi

gudang harus dimohonkan terlebih dahulu kepada kurator jika

penjualan dilaksanakan sebelum harta pailit ditetapkan telah

insolven.92

Eksekusi objek jaminan resi gudang dalam hal adanya kepailitan

debitor yaitu pemberi hak jaminan, maka penerima hak jaminan yang

merupakan kreditor dapat mengupayakan eksekusi secara lelang atau

penjualan secara umum. Eksekusi lelang hanya dapat dilaksanakan

setelah kreditor mengajukan permohonan lelang objek jaminan

kepada kurator secara tertulis. Jika kepada kreditor pemegang hak

jaminan resi gudang atau disebut juga dan termasuk sebagai kreditor

separatis sudah diberikan penangguhan masa stay oleh Hakim

Pengawas yang mana dalam pengaturannya selama 90 (sembilan

puluh) hari, maka penjualan objek jaminan resi gudang sudah dapat

mulai dilaksanakan.93

Kreditor pemegang jaminan wajib memberitahukan secara tertulis

kepada kurator terkait rencana penjualan barang atau objek jaminan

dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan

lelang dan melakukan pemberitahuan melalui SRG (Sistem Resi

Gudang)-online yang memuat deskripsi barang, harga, serta waktu

dan tempat penjualan.

92 Ibid., hlm. 341


93 Ibid., hlm. 343.

68
Kemudian, kreditor mengajukan permohonan menjual secara

lelang kepada Kantor Lelang, kreditor wajib melaporkan telah

terlaksananya penjualan secara lelang dan wajib mengembalikan

kepada kurator sisa hasil penjualan yang lebih dari dan telah menutupi

pelunasan kreditor.94

Apabila hasil penjualan objek jaminan resi gudang tidak

mencukupi, kreditor berhak mengajukan kekurangan pembayara

tersebut keapda kurator dan kreditor pemegang hak jaminan resi

gudang akan berkedudukan sebagai kreditor konkuren untuk

kekurangan pembayaran utang tersebut berdasarkan Pasal 24 ayat

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Jaminan

Resi Gudang yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal hasil lelang umum atau penjualan langsung


setelah dikurangi biaya penjualan dan biaya pengelolaan tidak
mencukupi untuk pelunasan utang, pemberi Hak Jaminan
tetap bertanggungjawab atas sisa utang yang belum dibayar.”

Selain penjualan di muka umum atau lelang terhadap objek

jaminan, dapat pula dilakukan dengan penjualan dibawah tangan atau

penjualan secara langsung. Berbeda dengan penjualan di bawah

tangan atau penjualan langsung atas objek jaminan fidusia atau hak

tanggungan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi

dan penerima hak jaminan, penjualan langsung objek jaminan resi

94 Ibid., hlm. 342

69
gudang tidak disyaratkan secara mutlak harus berdasarkan

kesepakatan.95

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 2007 tentang Jaminan Resi Gudang menyatakan

bahwa:

“(1) Sebelum melakukan penjualan langsung sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b penerima Hak Jaminan
harus memberitahukan kepada pemberi Hak Jaminan, Pengelola
Gudang dan Pusat Registrasi paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
pelaksanaan penjualan langsung”
“(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) palaing
sedikit harus memuat:
a. Deskripsi barang meliputi jenis, tingkat mutu, jumlah, dan
jika ada kelas barang;
b. Harga yang ditawarkan; dan
c. Waktu dan tempat penjualan langsung.”

Dalam artian bahwa penjualan langsung objek jaminan resi

gudang mensyaratkan adanya notofikasi atai pemberitahuan

penjualan secara langsung kepada pemberi hak jaminan resi gudang

dan/atau kurator dalam hal adanya kepailitan. Selain itu, diperlukan

pula dalam pemberitahuan atau notfikasi dimaksud untuk

memasukkan deskripsi barang, harga, serta waktu dan tempat

penjualan langsung.

95 Ibid., hlm. 344.

70
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian normatif.

Penelitian normatif dilakukan dengan tujuan menemukan kebenaran

koherensi. Menurut teori koherensi, kebenaran adalah hukum ialah

konsistensi antara peernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah

diakui kebenarannya.96 Dalam hal ini, pernyataan tersebut adalah “norm”

yang mendasari lahirnya suatu ketentuan hukum. Oleh karena itu,

kebenaran koherensi dalam penelitian normatif diperoleh dari

kesesuaian antara aturan hukum dengan norma hukum dan kesesuaian

suatu norma hukum dengan prinsip hukum, serta kesesuaian tindakan

seseorang atau subjek hukum dengan norma atau prinsip hukum.97

Penelitian ini juga disebut sebagai “library research” yaitu penelitian yang

memprioritaskan menggunakan data sekunder atau bahan pustaka.98

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan

(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan cara

96 Yogi Prasetyo, 2020, Legal Truth (Menakar Kebenaran Hukum), Jurnal Legal
Standing, Volume 1 Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Ponorogo,
hlm. 9.
97 Peter Mahmud Marzuki, 2017, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana

Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 47.


98 Irwansyah & Ahsan Yunus, 2020, Penelitian Hukum Pilihan Metode & Praktik

Penulisan Artikel, Yogyakarta: Mirra Buana Media, hlm. 5.

71
menelaah ketentuan hukum yang terkait dan relevan dengan isu hukum

yang diteliti.99 Selain itu, dengan pendekatan konseptual (conceptual

approach) peneliti akan mempelajari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin konseptual dalam ilmu hukum dasar bagi peneliti dalam

membangun suatu argumentasi hukum untuk memecahkan isu yang

dihadapi.100

C. Bahan Hukum

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah-risalah dalam pembuatan undang-

undang dan putusan hakim. Adapun bahan hukum primer yang

diperlukan adalah:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia

4. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

5. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku

99 Ibid., hlm. 113.


100 Ibid., hlm. 133.

72
Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah bahan hukum sekunder. Adapun bahan-bahan sekunder

berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku teks tentang hukum,

jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan.

c) Bahan non hukum

Bahan non hukum merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti

kamus, ensiklopedia, dan bebagai referensi ilmiah non hukum lainnya

yang memiliki relevansi dengan penelitian yang diteliti.101

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini

dilakukan melalui teknik studi literatur (literature research), yang

ditujukan untuk memperoleh bahan-bahan dan informasi-informasi

sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian, yang

bersumber dari buku-buku, media pemberitaan, jurnal, serta sumber-

sumber informasi lainnya seperti data yang terdokumentasikan melalui

situs-situs internet yang relevan.

101Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2015, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan
Singkat”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 170.

73
Teknik ini digunakan dalam rangka memperoleh informasi ilmiah

mengenai tinjauan pustaka, pembahasan teori, dan konsep yang relevan

dalam penelitian ini yang terkait dengan pengaturan kreditor pemegang

hak jaminan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit

usaha mikro dan kecil, terutama pengaturan yang tertuang dalam UU

Nomor 37 Tahun 2004 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

E. Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan analisis deduktif terhadap bahan hukum

yang diperoleh dengan cara melakukan kajian atau telaah terkait

pengaturan kreditor pemegang hak jaminan sebagai pihak yang dapat

mengajukan pailit pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang

kemudian diinterpretasikan untuk menganalisis pengecualian kreditor

pemegang hak jaminan selaku pemohon pailit dengan mengacu pada

prinsip-prinsip hukum perdata. Setelah itu, kemudian disajikan dengan

cara menguraikan, menjelaskan, dan menetapkan hasil analisis

berdasarkan isu hukum yang diangkat dengan memberikan preskripsi.

74
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Kadir Muhammad. 2014. Hukum Harta Kekayaan. Citra Aditya Bakti.
Bandung.

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri hukum Bisnis. Raja Grafndo
Persada. Jakarta.

----------------------------------------------. 2002. Kepailitan. PT. Raja Grafindo


Persada. Jakarta

Arya Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nurbayanti. 2004. Kepailitan
di Negeri Pailit. Cet. 2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia. Jakarta.

Bryan A. Garner. 1999. Black Law’s Dictionary. St. Paul. West Group.

D.Y Witanto. 2015. Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan


Konsumen. Mandar Maju. Bandung.

Elyta Ras Ginting. 2019. Hukum Kepailitan Buku Ketiga (Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit). Sinar Grafika. Jakarta.

Erman Suparman. 2012. Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan. PT.


Fikahati Aneska. Jakarta.

Fred BG Tumbuan. 2005. Mencermati Makna Debitor, Kreditor dan Utang


Berkaitan dengan Kepailitan. Pusat Pengkajian Hukum. Jakarta.

Gatot Supramono. 2014. Perjanjian Utang Piutang. Kencana


Prenadamedia Group. Banjarmasin.

Hadi Shubhan. 2009. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di


Peradilan) Cet. II. Penerbit Kencana Prenadamedia Group.
Jakarta.

Imran Nating. 2005. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam


Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

Irwansyah & Ahsan Yunus. 2020. Penelitian Hukum Pilihan Metode &
Praktik Penulisan Artikel. Mirra Buana Media. Yogyakarta.

Jono. 2008. Hukum Kepailitan. Sinar Grafika. Jakarta.

75
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Seri Hukum Bisnis Pedoman
Menangani Perkara Kepailitan. ed.1, cet. 2. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.

Lilik Mulyadi. 2013. Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang (PKPU) Teori Dan Praktik. Alumni. Bandung.

Man S. Sastrawidjaja. 2010. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. PT. Alumni. Bandung.

Moch. Isnaeni. 2017. Noktah Ambigu Norma Lembaga Jaminan Fidusia.


Revka Petra Media. Surabaya.

Moch. Isnaeni. 2017. Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan. Cet. III.


Laksbang Pressindo. Yogyakarta.

Munir Fuady. 2017. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik. Cetakan Ke VI.
Citra Aditya Bakti. Bandung.

Peter Mahmud Marzuki. 2017. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Kencana.


Jakarta.

Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. PT.


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Universitas Muhammadiyah


Malang. Malang.

Ridwan Khairandy. 2013. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia. FH UII


Press. Yogyakarta.

Salim HS. 2017. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Raja


Grafindo Perkasa. Cetakan ke-10. Jakarta.

Serlika Aprita. 2018. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang. Setara Press. Malang.

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2015, “Penelitian Hukum Normatif


Suatu Tujuan Singkat”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Sudikno Mertokusumo. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).


Sinar Grafika. Yogyakarta.

------------------------------. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia. Universitas


Atma Jaya. Yogyakarta.

76
Sunarmi. 2009. Hukum Kepailitan. USU Press. Medan.

Sutan Remy Sjahdeini. 2018. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitam,
Pranada Media. Jakarta.

Syamsudin Sinaga. 2012. Hukum Kepailitan Indonesia. Tatanusa. Jakarta.

Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal. 2006. Credit Management


Handbook : Teori, Konsep, Prosedur, Dan Aplikasi Panduan
Praktis Mahasiswa, Bankir, Dan Nasabah. PT RajaGrafindo
Persada. Jakarta.

Yahya Harahap. 2017. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang


Perdata. Edisi 2, Cetakan 8. Sinar Grafika. Jakarta.

JURNAL

Herry Anto Simanjuntak, 2020. Prinsip Prinsip Dalam Hukum Kepailitan


Dalam Penyelesaian Utang Debitor Kepada Kreditor. Jurnal
Justiqa. Vol. 02, No.02.

Muhammad Rizky Syahrur Rizal. 2018. Pelaksanaan Eksekusi Atas Objek


Jaminan Hipotek Kapal Laut Yang Sedang Dalam Kegiatan
Pelayaran. Jurnal Perspektif. Volume 23 Nomor 2 Tahun Edisi
Mei.

Royke A. Taroreh. 2014. Hak Kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi


Benda Jaminan Debitor Pailit. Jurnal Taroreh R.A. Vol. II, Nomor
2. Januari- Maret.

Titie Syahnaz Natalia. 2018. Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Kreditor


Pemegang Hak Tanggungan dalam Eksekusi Hak Tanggungan.
Jurnal Manajemen dan Bisnis Sriwijaya. Vol.16.

Yogi Prasetyo. 2020. Legal Truth (Menakar Kebenaran Hukum). Jurnal


Legal Standing. Vol. 1 Nomor 1. Agustus.

PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

77
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang


Jaminan Fidusia

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2007 tentang Jaminan Resi


Gudang

78

Anda mungkin juga menyukai