TESIS
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
Salah Satu Syarat untuk Memperolah Gelar Magister
Oleh:
Bagus Haziratul Qodsiyah
NIM : 21191200000052
Pembimbing:
Dr. Asmawi, M.Ag
NIP : 197210101997031008
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................................... 10
1. Identifikasi Masalah ..................................................................... 10
2. Perumusan Masalah ..................................................................... 11
3. Pembatasan Masalah .................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 12
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 12
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 12
F. Metode Penelitian ............................................................................. 16
1. Jenis Penelitian ............................................................................ 16
2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 18
3. Teknik Analisis Data ................................................................... 18
4. Teknik Penulisan ......................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 19
BAB II MUHAMMAD SA’ĪD RAMAḌĀN AL-BŪṬĪ DAN GAGASAN
PEMIKIRAN MAṢLAḤAH ................................................................................ 21
A. Biografi Muhammad Sa’īd Ramaḍān Al-Būṭī .................................. 21
1. Masa Kelahiran dan Pertumbuhannya.......................................... 21
2. Pendidikan Al-Būṭī ...................................................................... 24
3. Hasil Karya Al-Būṭī ..................................................................... 27
B. Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī ................................................................ 30
1. Definisi Maṣlaḥah Al-Būṭī .......................................................... 30
2. Dalil Keḥujjahan Maṣlaḥah dari Sudut Pandang Al-Būṭī ............ 32
3. Pembagian Maṣlaḥah Al-Būṭī ...................................................... 38
4. Konsep Maṣlaḥah Al-Būtī ........................................................... 41
BAB III TINJAUAN HUKUM AKAD PERNIKAHAN ONLINE DAN
FATWA ATAS KEABSAHAN AKAD PERNIKAHAN ONLINE YANG
DITERBITKAN OLEH LEMBAGA FATWA DUNIA ................................... 53
ii
A. Tinjauan Hukum Islam atas Akad Pernikahan Online....................... 53
1. Pengertian Akad Pernikahan Online ............................................ 53
2. Bentuk – Bentuk Akad Pernikahan Online .................................. 55
3. Analisis Hukum Akad Pernikahan Online ................................... 59
B. Biografi Lembaga Fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār Al-Iftā Al-
‘Irāqiyah Dan Al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī ............................................... 63
1. Pengertian Fatwa dan Lembaga Fatwa ......................................... 63
2. Biografi Tiga Lembaga Fatwa Dunia; .......................................... 65
C. Fatwa Akad Pernikahan Online dari tiga lembaga Fatwa Dunia ....... 69
BAB IV APLIKASI KONSEP MAṢLAḤAH AL-BŪṬĪ TERHADAP FATWA
AKAD PENIKAHAN ONLINE YANG DITERBITKAN OLEH LEMBAGA
FATWA DUNIA.................................................................................................. 93
A. Argumentasi Fatwa Pernikahan Online Menurut Lebaga Fatwa Dunia
.......................................................................................................... 93
1. Argumentasi Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah .......................................... 93
2. Argumentasi Ḍār Al-Iftā al-‘Irāqiyah .......................................... 96
3. Argumentasi al-Majlis al-Islamī al-Sūrī ...................................... 98
B. Analisis Argumentasi Tiga Lembaga Fatwa ................................... 100
C. Aplikasi Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī terhadap Fatwa Akad Penikahan
Online yang Diterbitkan oleh Lembaga Fatwa Dunia ............................. 104
1. Berada dalam cakupan dan ruang lingkup maqāṣid sharī’at (tujuan
diterapkannya hukum islam) ........................................................... 106
2. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Qurˋān .... 114
3. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Sunnah ... 116
4. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan Qiyās .......... 120
5. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan maṣlaḥah yang
lebih besar dan utama...................................................................... 122
BAB V ................................................................................................................ 132
PENUTUP.......................................................................................................... 132
A. Kesimpulan ..................................................................................... 132
B. Saran ............................................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 135
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Ibrāhīm Ibn Muhammad al-Bājūrī, Hāsyiah ʻala Sharh Ibn Qāsim al-Ghazzi, jilid 2 (
Libanon: Nūr al-Ṣabāh, 2015), cet. 1, h. 561
2
Ahmad Salāmah al-Qolyūbī dan Ahmad al-Burlusī ʻUmairah, Hāsyiatā al-Qolyūbī wa
Ahmad ʻUmairah jilid 3, ( Beirut: Dār el-Fikr, 1995), h. 207-208
Saat ini, dengan berkembangnya teknologi hampir semua transaksi
mayoritas manusia di dunia menggunakan internet, terlebih pada masa-masa
pandemi ini. Abdullah Abdul Karim Abdullah dalam risetnya menyebutkan
bahwa saat ini perhari terdapat 3,2 milyar pengguna internet di dunia, 207
milyar korespondensi, 9 milyar pengguna youtube, 2,3 milyar pengunjung
website, 153 juta gambar yang di unduh ke Instagram dan masih banyak yang
lainnya3.
Dampak negatif dari vaksin social ini sudah sangatlah jelas dimata
dunia, karena dengan memutuskan untuk menerapkan aturan lockdown atau
pembatasan sosial (social distancing) artinya memberhentikan mobilitas
kehidupan manusia dari seluruh aspek, apalagi jika kita melihat dari sudut
pandang bahwasanya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
berkembang kecuali dengan melakukan interaksi dengan manusia lainnya5.
Namun disislain, dunia sadar akan pentingnya hal ini dilakukan, karena
selama vaksin dari pihak medis belum tersebar menyeluruh ke setiap manusia
dibelahan dunia, tidak ada lagi cara yang paling efektif untuk mencegah
dampak yang lebih besar dari pandemi COVID-19 ini, kecuali dengan
menerapkan aturan lockdown dan sosial distancing.
3
Abdullah Abdul Karim Abdullah, “Atsar al-Taghayyurāt al-liktinu – Qānūniyyah fī Ibrām
al-‘Aqd” dalam Jurnal Kulliyah Qānun al-Kuwaitiyyah al-‘Alamiyyah vol. 23 No. 3
September 2018, h. 5
4
Ade Nashihudin al Ansori, “Daftar Negara yang Kembali Lockdown dan Pengetatan
Aturan COVID-19”, Artikel ini diakses pada hari Selasa 23 Maret 2021 melalui
https://www.liputan6.com/health/read/4450203/daftar-negara-yang-kembali-lockdown-dan-
pengetatan-aturan-covid-19
5
Jialin Li, “Humans as social beings - From ‘People first’ to “People-centered",” Scientific
and Social Research 2, no. 2 (2020): h. 43–46.
2
Sebagai contoh dampak negatif dari vaksin ini terhadap sektor sosial,
seperti yang telah terjadi negara Indonesia, dimana aparat pemerintah
memutuskan untuk mengeluarkan surat edaran kementrian agama Republik
Indonesia nomor: P-004/DJ.III/Hk.00.7/04/2020 atas keputusan anjuran untuk
menunda perkawinan, hal ini awalnya adalah salah satu usaha kongkrit dan
usaha positif dari pemerintah dalam menerapkan pembatasan sosial (social
distancing) di masyarakat untuk mereda menyebarnya pandemi COVID-19 di
Indonesia, namun pada akhirnya anjuran ini memiliki dampak negatif yang
lumayan tinggi, yang mana menyebabkan dari beberapa masyarakat harus
memilih menunda dan membatalkan prosesi pernikahan yang sudah jauh-jauh
hari dipersiapkan dan direncanakan oleh mereka. Terbukti dari data yang ada
di kantor wilayah kementerian agama Aceh Barat mencatat, pada bulan Maret
ada 127 pasutri, namun ditemukan pada bulan April dalam jangka waktu yang
relatif singkat, jumlah pasutri tersebut berkurang drastis menjadi 73 pasutri,
dan terus berukarang, hingga pada bulan Mei hanya ditemukan 5 pasutri yang
terkumpul dari 12 Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah Aceh Barat 6.
Memang tidak sedikit yang melanggar peraturan dan anjuran tersebut,
sebagian mereka yang akan mengadakan prosesi pernikahan memaksakan diri
untuk melakukannya secara rahasia (sirrī) dan pernikahaannya tidak tercatat
secara resmi di KUA, yang secara tidak langsung pernikahan mereka tidak
diakui oleh pemerintah walaupun secara agama hukum pernikahan sirrī sah7.
6
Antara, Saat Pandemi Covid-19, “Jumlah Pasangan yang Menikah Turun Drastis”, artikel
di akses pada 27 okotober 2020 melalui https://www.jawapos.com/jpg-
today/16/06/2020/saat-pandemi-covid-19-jumlah-pasangan-yang-menikah-turun-drastis/
7
Hari Widiyanto, “Konsep Pernikahan Dalam Islam: Studi Fenomenologis Penundaan
pernikahan Di Masa Pandemi”, dalam Islam Nusantara, Vol. 04, No. 01, Januari-Juni
2020, h. 108
3
mengundang aktifitas sosial masyarakat, paling tidak ketika akad nikah
berlangsung.
8
Chandra Iswinarno, Nekat Gelar Pesta Pernikahan di Masa Pandemi, Berujung
Dibubarkan Polisi, Artikel di akses pada hari Jum’at 18 Desember 2020 dari
https://jabar.suara.com/read/2020/07/16/135619/nekat-gelar-pesta-pernikahan-di-masa-
pandemi-berujung-dibubarkan-polisi
9
Michael Hangga Wismabrata, Pesta Pernikahan Anaknya Dibubarkan Polisi, Ini
Komentar Kepala BPBD Limapuluh Kota di akses pada hari Jum’at 18 Desember 2020
dari https://regional.kompas.com/read/2020/11/22/14530041/pesta-pernikahan-anaknya-
dibubarkan-polisi-ini-komentar-kepala-bpbd?page=all
10
Hellena Saoisa, Terpisah Ribuan Kilometer Karena Pandemi Corona, Pasangan
Indonesia Australia Tetap Menikah Lewat Zoom diakses pada hari Jum’at, 18 Desember
4
Pernikahan via telekonferensi / online seperti yang dilakukan oleh
kedua pasutri ini merupakan sebuah praktek akad pernikahan yang masih tabu
untuk kalangan masyarakat Indonesia, dimana wali dan calon mempelai saat
mengucapkan ijāb dan qobūl tidak perlu berada dalam satu tempat, melainkan
via telekomunikasi jaringan internet.
5
fatwa di belahan dunia telah memperbincangkang dan membahas jenis
pernikahan semacam ini. Diantara lembaga-lembaga fatwa tersebut, ada tiga
lembaga fatwa yang masyhur dan dapat dibilang layak pantas untuk menjadi
rujukan lembaga-lembaga fatwa lainnya, yaitu : Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah di
Mesir, Ḍār al-Iftā al-‘Irāqiyah di Iraq dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī di
Suriah.
12
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Muqodiimah Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” (Mesir, T.pn:
1980) Jilid 1, h.1.
13
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Biografi Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” Artikel ini diakses pada hari
Selasa 30 Agustus 2021 melalui https://www.dar-alifta.org/AR/aboutdar.aspx?ID=101
6
fatwa ini adalah menjadikan segala hukum yang keluar sebagai peraturan
pemerintah iraq sesuai dengan shari’at islāmiyyah14.
14
Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah, “Biografi Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah” diakses pada hari Selasa 23
Maret 2021 melalui https://www.h-iftaa.com/
15
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Biografi Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, diakses pada hari
Selasa 23 Maret 2021 melalui https://sy-sic.com/?page_id=2330
16
Ibrāhīm al-Laqqōnī, Manār Uṣūl al-Fatwā wa Qawā’id al-Iftā’ bi al-Aqwā (T.tp. Tpn.:
2002), h. 231-235.
7
Adapun maṣlaḥah dalam Islam, walaupun tidak ada dalil secara
langsung namun, pada hakikatnya ia memiliki kedudukan yang begitu penting
sebagai landasan hukum islam yang ada dan yang belum ada, seringkali
kemaslahatan menjadi titik akhir para ulama untuk menangani permasalahan
hukum semasa dan setempat dengan mereka17. Maṣlaḥah yang menjadi
landasan hukum sharīʻah adalah maṣlaḥah yang memenuhi kriteria sharīʻah,
karena apabila sebuah maṣlaḥah bertentangan dengan sharīʻah maka pada
hakikatnya maṣlaḥah tersebut adalah mafsadah. Hal ini telah di jelaskan dan
dijabarkan oleh bapak ahli sharīʻah sejak dulu, misalnya al-Shāṭibī, beliau
berkata bahwa hukum Allah Taʻālā terbina bersandarkan maṣlaḥah
sharʻiyyah dan bukan bersandarkan pada hasrat keinginan manusia, yang
artinya manusia tidak mampu menemukan maṣlaḥah kecuali melalui
perantaraan sharaʻ18. Ketidakmampuan manusia dalam menemukan maṣlaḥah
ini dikarenakan manusia memiliki hasrat dan pemikirannya yang berbeda-
beda, sehingga akan timbulnya penilaian yang berbeda atas maṣlaḥah dalam
satu kasus yang sama, sehingga satu kasus terkadang dinilai memiliki
maṣlaḥah menurut sebagian orang, dan mafsadah menurut sebagian orang
lainnya. Oleh sebab itu, shara’ datang untuk menjadi barometer dan tolak
ukur maṣlaḥah dan mafsadah bagi setiap perkara tersebut.
17
Akbar Sarif, dkk., “Konsep Maslahah Dalam Kompilasi Hukum Islam (Khi): Satu
Tinjauan Syarak Ke Atas Larangan Pernikahan Antara Agama Malasyian”, dalam Journal
of Syariah and Law, Vol. 6 Desember 2017, h. 139
18
Al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī uṣūl al- Sharī’ah (Bairut: Dār al-Kutub al-ʻilmiyah 2003), h.
3
19
Abbas Arfan, “Maslahah Dan Batasan-Batasannya Menurut Al-Bûthî de jure”, dalam
Jurnal Syari’ah dan Hukum, Vol. 5 No.1, Juni 2013, h. 88
8
dalam hal ini, seperti Abd al-Wahhab Khalaf, Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī, ’Alā Al-
Fāsi, dan Jāsser ‘Auda20.
Al-Būṭī seorang ulama timur tengah yang terkenal dengan ilmunya yang
luas, terlebih dalam bidang uṣūl fiqh. Dalam karya disertasinya beliau lebih
membatasi makna maṣlaḥah sebagai landasan hukum islamdan bukan filsafat
hukum. Beliau membagi maṣlaḥah ini menjadi dua bagian; (i) maṣlaḥah
muktabarah; (ii) maṣlaḥah ghair muktabarah, beliau juga lebih
mempertahankan pendapat para ulama klasiknya dan condong terhadap
kesakralan hasil ijtihad para mujtahid, begitu juga dengan ijmaʻ dan qiyas.
Dalam pendahuluan disertasinya, beliau menjelaskan bahwa memang betul
Islam ini relevan dan bisa dipakai kapanpun dan dimanapun, namum tidak ada
yang menyebutkan bahwa Islam ini relevan dan bisa dipakai, berubah dan
berkembang sesuai dengan akal pikiran setiap orang yang tidak luput dari
hawa dan nafsu21, kemudian al-Būṭī Sebelumnya meyebutkan bahwa shāra’
sangat betul menjaga maṣlaḥah bagi setiap hamba-hamba-Nya dalam setiap
hukum-hukum-Nya, namun menurut beliau maṣlaḥah yang di maksud
bukanlah yang dianut dan difahami oleh pemikiran-pemikiran madhhab yang
menyimpang dari mayoritas madhhab ulama, dan bukan juga maṣlaḥah
sebagian kelompok atau segala hal yang sesuai dengan akal dan keingingan
siapapun, maṣlaḥah dalam sharīʻah islāmiyah semuanya itu teratur dan
dibatasi secara tepat tidak semeraut, sifatnya jelas dan tidak menimbulkan
keraguan sedikitpun, maṣlaḥah yang muncul dan tumbuh dari sebuah akar dan
asal yang kokoh, terpatri di dalam setiap hati sanubari seorang mukmin, yaitu
20
Mohamad anang firdaus, “Maqashid Al-Syari’ah Kajian Mashlahah Pendidikan dalam
Konteks UN Sustainable Development Goals”, dalam, JRTIE : Journal of Research and
Thought of Islamic Education Vol. 1, No. 1, 2018
21
Saʻīd Ramāḍan al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo:
Mu’assasah al-Risālah), h. 14
9
sebuah iman atas penghambaan kepada sang pencipta yakni Allāh Ta’ālā,
karena Maṣlaḥah yang pasti adalah yang ditetapkan oleh shāra’ sang pencipta
Yang Maha Mengetahui hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya 22.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
22
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ . .. h. 14-15
10
f. Perdebatan argumen tentang maṣlaḥah sebagai dasar landasan hukum
diterapkannya akad pernikahan via online / telekonferensi diantara
ulama.
2. Perumusan Masalah
3. Pembatasan Masalah
11
fatwa Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah no: 9069, terbit pada bulan mei tahun 1997;
ii). fatwa Ḍār al-Iftā al-’Irāqiyah no: 1343, terbuat pada bulan juli tahun
2019; dan yang terakhir fatwa al-Majlis al-Islamī al-Sūrī no: 9917, terbit
pada bulan april tahun 2011; ketiga, konsep maṣlaḥah menurut al-Būṭī
yang dituangkan dalam kitabnya “Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-
Islāmiyah”.
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
12
Setelah peneliti melakukan kajian pustaka atas penelitian-penelitian
terdahulu, peneliti belum mendapatkan tulisan dengan topik tentang aplikasi
maṣlaḥah al-Būṭī terhadap fatwa hukum pernikahan online yang diterbitkan
oleh lembaga fatwa dunia. Namun walaupun demikian, peneliti mendapati
beberapa penelitian lain dengan objek yang hampir mirip namun berbeda dari
subtansinya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Alwi al-
Maliki dan Asep Saepudin Jahar pada tahun 2020. Hasil penelitiannya
menunjukan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
menghukumi keabsahan akad nikah melalui via telekonferensi, hal ini
disebabkan oleh berbedanya cara pandang pemahaman teks al-Qur’an dan
hadits tentang pernikahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peneliti mencoba untuk menjelaskan dinamika hukum akad via telekonferensi
ini dengan mengkaji tatacara praktiknya, dan pandangan para ulama terhadap
rukun-rukun dan syarat sah akad nikah, khususnya pada poin ittiḥād al-majlis.
23
Begitupun pada tahun yang sama, yakni tahun 2020 penelitian yang
hampir serupa yang dilakukan oleh saudara M. Misbahul Amin, hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa hal yang melatarbelakangi perbedaan
pendapat dari keabsahan pernikahan dengan media video call terletak pada
cara menafsirkan ittiḥād al-majlis, yang mana bukan sebuah tujuan (maqṣad),
melainkan sebuah wasīlah untuk maqṣad tersebut yang tujuannya adalah
untuk menghilangkan unsur penipuan dalam akad atau ghurūr.24
Pada tahun 2018, penelitian yang memiliki tema serupa diteliti oleh
Muhajir, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pernikahan via telepon
tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum sharīʻah yang mana
akad pernikahan ini masih memberikan jejak keraguan karena
dimungkinkannya ada unsur penipuan dan semisalnya. 25
23
Muhammad Alwi dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Teleconference di Indonesia” dalam Indo Islamika, Volume 10, No 2, 2020, h. 136-151
24
M. Misbahul Amin, ”Studi Analisis Akad Nikah Menggunakan Video Call Perspektif
Maqashid al-Syari’ah dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” dalam
Usratuna, Vol. 3, No 2, Juni 2020. h. 88-108
25
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/1989
Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadha Vol. 5, No 1, Juli 2018, h. 9-19
13
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Mohammad Aniq Yasrony pada
tahun 2017. Penelitiannya ini menunjukan bahwa pernikahan via
telekonferensi yang pada praktiknya bukan hanya menampilkan suara namun
menampilkan video gambar juga hukumnya adalah sah menurut hukum islam,
hal ini terbukti setelah dianalisa dan dilihat dari 3 poin maṣlaḥah al-mursalah
yang berada pada akad nikah melalui telekonferensi; pertama, melihat
maṣlaḥah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan, yakni kemajuan
tekhnologi yang merupakan karunia Allah Ta’ālā; kedua, melihat sifat yang
sesuai dengan tujuan shara’, dalam hal ini yaitu meniadakan unsur
penipuan/ghurūr ketika akad berlangsung, dengan adanya media rekaman
suara dan gambar secara langsung dapat membantu menghilangkan unsur
penipuan/ghurūr selama akad berlangsung yang dapat mewakili makna ittiḥād
al-majlis pada akad pernikahan biasanya; ketiga, melihat proses penetapan
hukum terhadap suatu maṣlaḥah yang ditunjukan oleh dalil khusus, yaitu
dalam hal penetapan keabsahan suatu kasus oleh salah satu bagian tujuan
shara’. 26
26
Muhammad Aniq Yasrony, “Akad Nikah Via teleconference perspektif Maslahah al-
Mursalah” dalam al-Hukama, h. 199-223
14
dan rukun-rukun pernikahan yang diterapkan pada kasus fiqh kontemporer
yakni akad nikah via telekonferensi. 27
27
Wardah Nuroniyah, “Analisis Akad Nikah Via Teleconference Menurut Fiqih Mazhab
Dan Hukum Positif Indonesia”, h.131-153
28
Ḥamzah Abd al-Nāṣir, ‘Aqd al-Zawāj ʻAbr Wasā’il al-Ittiṣāl al-Hadīthiyah (al-Jazā’ir:
al-Bahth al-‘ilmī fī kulliyat al-Aḥwāl al-Shakhṣiyah Qism al-Ḥuqūq 2013-2014)
15
antara para ulama fiqh; golongan pertama mengatakan tidak sah, karena
mereka mengqiyaskan tulisan dengan kata kināyah, sedangkan akad
pernikahan tidak sah dengan kata kināyah. Golongan kedua yang didalamnya
UU pemerintah yordan mengatakan hal ini sah karena adanya udhur tidak
bisanya bertemu. penelitian ini dikhususkan untuk menganalisis perbandingan
hukum islam secara perdata dan madhahib al-arba’ah yang terfokus pada satu
kasus, yakni hukum keabsahan akad pernikahan dengan tulisan via Internet,
baik itu dengan chatting ataupun email.29
Terakhir, penelitian pada tahun 2012 yang telah dilakukan oleh Habib
Shulton Asnawi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa status
pernikahan melalui telepon merupakan pernikahan yang sah, baik itu dimata
agama ataupun pemerintah; menurut agama mengacu kepada madhhab hanafī
yang menafsirkan ittiḥād al-majlis sebagai syarat untuk berkesinambungnya
ījāb dan qobul saja, yang artinya bahwa ittiḥād al-majlis yang disyaratkan
dalam akad nikah adalah sebagai perantara untuk terjadinya kesinambungan
terus menerus antara ījāb yang diucapkan wali dan qobūl yang di ucapkan
calon mempelai tanpa diharuskannya berada di dalam satu tempat. Adapun
menurut pemerintah mengacu kepada hasil pengadilan agama jakarta selatan
yang melegalkan pernikahan melalui telepon, waluapun pada kenyataannya
UU yang berkenaan dengan pernikahan tidak mencatat dan menyebutkan akan
pernikahan semacam ini. di akhir penelitian ini, Asnawi menyebutkan hal-hal
yang harus dilakukan pemerintahan demi mengisi kekosongan hukum yang
telah terjadi ditengah masyarakat dengan dua cara; pertama penemuan hukum
(rechtsvinding) oleh hakim, dan kedua apabila suatu peraturan perundang-
undangan isinya tidak jelas, maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan
sehingga dapat memberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai
dengan maksud hukum.30
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
29
Muhammad Khalaf, “Mashrūʻiyah ʻUqūd al-Zawāj bi al-Kitābah ʻAbr al-Internet” dalam
al-Jāmi’ah al-Islāmiyah kulliyah al-Dirāsāt al-Islāmiyah, Vol. 23 No. 2, 2014.
30
Habib Shulton Asnawi, “Pernikahan Melalui telepon dan Reformasi Hukum islam di
Indonesia” dalam al-Mazahib Vol. 1 No 1 2012, h. 1-15
16
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kajian kepustakaan murni
pustaka (library research), menitikberatkan pada pustaka yang berkaitan
dengan pembahasan uṣūl fiqh dan filsafat uṣūl fiqh serta salah satu kasus
fiqh kontemporer, yaitu fatwa akad pernikahan online. Adapun sumber
primer dalam penelitian ini akan terfokus pada salah satu kitab uṣūl fiqh
karya al-Būṭī yang berjudul “Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Sharī’at al-
Islāmiyah” dan fatwa tentang keabsahan akad nikah online yang
diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa dunia, yaitu Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah,
Ḍār al-Iftā al-‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī. Sedangkan buku-
buku uṣūl fiqh lainnya, baik itu yang klasik ataupun modern akan di
jadikan sebagai perbandingan dalam penelitian ini. samping itu buku-buku
fiqh klasik dan kontemporer yang berkaitan dengan maṣlaḥah dari
pernikahan dan pembatasan sosial di masa pandemi akan dijadikan sebagai
data sumber primer. Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku fiqh
mengenai hukum pernikahan Islam dan pembatasan sosial pada masa
pandemi diberbagai negara-egara muslim lainnya, yang ada kaitannya
dengan pokok pembahasan, baik itu secara langsung ataupun tidak.
31
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and research design: Choosing Among Five
Traditions, (Thousand Oaks, London & New Delhi : Sage Publication, 1998), h.37
17
Lebih spesifik lagi, kajian hukum islam ini termasuk kategori studi
filsafat hukum islam, baik itu uṣūl fiqh sebagai filsafat hukum maupun atau
uṣūl fiqh sebagai teori hukum 32; yang pertama (uṣūl fiqh sebagai filsafat
hukum) digunakan untuk membahas dasar-dasar hukum islam dalam
penelitian ini, yaitu maqāṣid al-sharīʻah atau maṣlaḥah perspektif al-Būṭī
dan akan diformulasikan pada fatwa akad pernikahan online, dan yang
kedua (uṣūl fiqh sebagai teori hukum) digunakan untuk membahas secara
mendalam tentang qaʻidah uṣūliyah, dan qawā’id fiqhiyyah dalam
memahami konsep maṣlaḥah sharʻiyyah secara mendalam.
18
akan di aplikasikan secara kualitatif terhadap fatwa akad pernikahan online
yang diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa dunia. Hal ini dilakukan untuk
menganalisis seberapa dalam dan jauh relevansi konsep maṣlaḥah al-Būṭī
tersebut terhadap fatwa akad pernikahan online.
4. Teknik Penulisan
G. Sistematika Penulisan
19
pernikahan online. Pada sub bab kedua, peneliti akan mendeskripsipakn
tentang biografi lembaga fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā Al-
‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī. Terakhir, pada sub bab ketiga, akan
berisikan tentang tinjauan fatwa keabsahan akad pernikahan online,
didalamnya akan dipaparkan teks sempurna atas fatwa masing-masing
lembaga yang sekaligus sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dan
di akhir pembahasan akan diuraikan hasil analisis fatwa dari ketiga Lembaga
fatwa dunia tersebut..
Bab lima merupakan bab penutup yang mencakup kesimpulan dari hasil
penelitian, saran bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema
sejenis pada penelitian ini secara mendalam lagi.
20
BAB II
1
Hishām ʻAlyawan dan Fadī al-Ghausyī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād wa al-Islām
al-Siyāsī, (Beirūt: Markaz al-Haḏārah Litanmiyah al-Fikr al-Islāmī). 2012, h. 15. Lihat
juga: Muẖammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, Hādhā Wālidī al-Qissah al-Kāmilah liẖayāh al-
Shaikh Mullā Ramaḍān al-Būṯī min Wilādatih ilā Wafātih, (Lebanon: Dār al-Fikr, t.t.). h.
23.
2
Andi Muhammad Aiman Andi Abd Rahman dan Muhamad Razak Idris, “Ramadhan
Al-Buti, Riwayat Hidup Dan Beberapa Aspek Sumbangan Pemikirannya”, dalam At-
Tahkim, Vol. 8, No. 23, Juli 2018, h.2
3
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.
4
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.
5
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 23-55.
21
dibawa oleh ayahnya ke salah satu guru ayahnya yang bernama Saʻīd
yang terkenal dengan julukan Shaīkh Sayyidān untuk kemudian di tahnīk
(mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan
digosokkan ke langit-langit). Pada saat itulah, tepatnya sebelum
berpulangnya mereka, gurunya “Shaikh Saʻīd” memerintahkan ayahnya
“Shaikh Mullā” untuk merubah dan mengganti nama anaknya menjadi
Muhammad Sa’īd, dan semenjak saat itulah al-Būṭī berubah namanya
dari Fuḍail menjadi Muhammad Sa’īd6.
Al-Būṭī dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak yang terdiri dari
enam anak laki-laki dan satu anak perempuan. Setelah wafat ayahnya,
yang menjadi kepala keluarga dan memberikan kebijakan dan keputusan
dalam keluarganya adalah beliau, hingga pada hari kamis 21 Maret 2013
bertepatan dengan tanggal 9 Jumādil Awwal 1434 H al-Būṭī harus
mengalami tragedi bom bunuh diri dari salah seorang yang tidak dikenal
yang menyusup ditengah-tengah jamā’ah kajian rutin malam Jum’at
beliau yang berlokasi di masjid jāmi’ al-Īmān - Damaskus. Tragedi bom
bunuh diri ini menyebabkan kematian al-Būṭī dan beberapa jamā’ahnya.
6
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.
7
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.
22
Beliau wafat pada usia 84 tahun dan dimakamkan di dekat masjid Jāmi’
al-Umawī, bersampingan dengan makam Ṣalāhuddīn al-Ayūbī. 8
8
Tim Akademi Intelektual Muda, Imam Mohamed Said Ramadan al-Bouti dalam
Kenangan, (Sabah: Publishing House, 2015), h. 20
9
Al-Būṭī, Al-Hubb fī Al-Qur’an wa Daur al-Hubb fī Hayāh al-Insān, (Damaskus:
Dār al-Fikr, 2009), h. 195.
10
Al-Būṭī, Al-Hubb, h.204.
11
Al-Būṭī, Al-Hubb, h.204.
23
Kepiawaiannya dalam bidang keilmuan Islam, mengantarkannya
menjadi tokoh yang disegani dan dihormati dikalangan ulama dunia,
hingga dengan kemampuannya tersebut dapat megantarkannya ke ke
sebuah kedudukan yang tinggi, yakni sebagai anggota The Royal Society
of The Islamic Civilization Researches-Amman Jordania, dan sebgai
anggota The High Council of Oxford Academy-England. Beliau juga
pernah dilantik menjadi presiden kesatuan ulama Suriah, yang kemudian
setelah sepeninggalnya beliau, jabatan tersebut digantikan oleh anaknya
Muhammad Taūfīq. Diambil dari kesaksian anaknya juga bahwasannya
al-Būṭī pernah menerima anugerah tokoh dunia Islam (Islamic
Personality of The Year Dubai International Holy Qur‟an Award) dari
yayasan dari raja Muẖammad ibn Rāsyīd di Dubai pada tahun 2004,
anugerah atas buku terbaiknya: Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyyah dari
kerajaan Mesir, dan anugerah tokoh tahunan dari kerajaan Jordan dan
negara Suriah pada tahun 200712.
2. Pendidikan Al-Būṭī
12
Tim Akademi Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h. 24
13
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, h. 56-57
14
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, h. 59
24
bahwasannya ayahnya setiap hari menjelaskan lima hingga enam bait
nadhom alfiyah karya Ibn Mālik al-Andalūsī, sehingga tidak lebih dari
satu tahun, dirinya telah menghafal bait nadhom Alfiyah seluruhnya.15
15
Al-Būṭī, Hādhā Wālidī, h. 57
16
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.21
17
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.22
25
S2 dengan predikat cum laude. Gelar sarjana S1 beliau dapatkan pada
tahun 1955, dan gelar S2-nya beliau dapatkan pada tahun berikutnya dari
fakultas bahasa arab universitas al-Azhar Kairo – Mesir. Selang beberapa
tahun kemudian, Sepulangnya dari masa studi di universitas al-Azhar
Kairo tepatnya pada tahun 1960 M, beliau mendapatkan tawaran untuk
menjadi dosen dan mengajar di fakultas sharī’ah universitas Damaskus.
Tidak hanya itu, beliau juga banyak terinsipirasi oleh sosok dan
pemikiran salah satu ulama abad sebelasan, yakni Abu Hāmid
Muhammad bin Muhammd bin Muhammad al-Ghazālī al-Thūsī, yang
dikenal sebagai pembaharu Islam abad tersebut, sehingga tidak sedikit
para ulama Shām – Damaskus menjuluki al-Būṭī sebagai al-Ghazālī abad
ini. Gelar ini walaupun bukanlah gelar akademik yang formal, namun
tidak mudah untuk didapatkan oleh setiap orang, hal ini karena
menimbang begitu luas ilmu al-Ghazālī dan begitu besarnya pengorbanan
dan jasa yang beliau berikan demi mempertahankan dan menegakkan
agama Islam saat itu sehingga dikenal sebagai “Hujjah al-Islām al-
18
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.23
26
Ghazālī”. Barangkali, sebab utama diberikannya gelar tersebut kepada
al-Būṭī yang diberikan ulama Sham-Damaskus selain daripada luasnya
ilmu pengetahuan beliau dibidang agama, juga dikarenakan al-Būṭī telah
banyak berkontribusi dalam mempertahankan Islam yang beraqidahkan
ahlussunnah wa al-jamā’ah di dunia Islam dengan tantangan yang sesuai
dengan zaman kontemporer saat ini. 19
19
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.24
20
Hishām ʻAlyawan dan Fadī al-Ghaushī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād ... h. 241 -
246
27
“Al-Hubb fî Al-Qur’ān” salah satu karya yang paling akhir
beliau tulis. dalam buku tersebut, al-Būṭī mengajak kita untuk
menggali dan merenungi al-Qurˋān dalam menemukan asrār (rahasia)
untuk mendapatkan cinta Allah Ta’ālā. Bukanlah hal yang mudah untuk
mengajak para pembacanya dan membuat mereka yakin dan percaya akan
hal tersebut, namun al-Būṭī meyakinkan setiap orang yang membacanya
bahwa cinta Tuhan dapat digapai dengan kekuatan nalar dan hati
sekaligus, melalui karyanya, para pembaca akan melihat sosok al-Būṭī
sebagai ulama sufi yang begitu kental dan dalam. 21
21
Al-Ghaushī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād, h. 263
22
Al-Būṭī, Al-Hubb, h. 206-207
23
Al-Ghaushī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād, h. 240-266
28
d. Al-Islām wa al-Gharb
f. Al-Dīn wa al-Falsafah
j. Mamū Zaīn
29
B. Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī
24
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 23
25
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Maʻārif, t.t.), Jilid 27, h. 2479.
26
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h.127.
27
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maslaḥah, h. 23
30
mana menurutnya, inilah cara yang paling tepat dalam mengantarkan
seseorang kepada maṣlaḥah yang benar28.
28
Aḥmad al-Raisūnī dan Muḥammad Jamāl Bārūt, Al-Ijtihād: al-Nas, al-Wāqiʻ,
al- Maslaḥah (Beirūt: Dār al-Fikr al-Muʻāsir, 2000), h. 33-37
29
Saʻīd Ramāḍan al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo:
Mu’assasah al-Risālah), h. 308
30
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 315
31
Al-Būṭī, Ḍawābi, h.6
31
al-Islāmiyah” terlihat jelas bahwasannya beliau mencoba untuk
mengungkapkan teori maṣlaḥah yang hakiki dan memberikan
pemahaman konsep maṣlaḥah yang sesuai dengan ajaran Rasulallah
shallallahu ‘alaihi wasallam, yang kemudian dikembangkan oleh para
shahabat dan generasi setelahnya.
Menurut al-Būṭī, sejauh ini tidak ada dalil ṣarīḥ (tersurat) yang
menunjukan Secara langsung terhadap keḥujjahan atau yang menjadi
landasan atas maṣlaḥah dijadikannya sebagai salah satu sumber hukum
islam. Namun, apabila dilihat dari mafhum dalil-dalil yang tersurat yang
menjelaskan tentang perhatian dan kepedulian ditetapkannya sebuah
32
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, hal. 14
33
Teguh Anshori, “Menuju Fiqih Progresif (Fiqih Modern Berdasarkan Maqashid Al
Syariah Perspektif Jaser Auda)” dalam e-Journal al-syakhsiyyah: Journal of Law 7 Family
studies, vol. 2 No.1 Juni 2020, hal. 175
34
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h.27
32
hukum islam, semuanya mengarah kepada sebuah satu tujuan yang
besar, yakni maṣlaḥah untu umat manusia. Hal ini terlepas dari anggapan
sekelompok orang yang menjadikan maṣlaḥah sebagai poros utama dan
unsur terpenting berputarnya penerapan sharī’at islāmiyyah secara
mutlak, yang meyakini bawa dimana ada maṣlaḥah, maka disitulah ada
sharī’at islāmiyyah, begitupun sebaliknya35, tanpa memandang bahwa
penerapan sharī’at islāmiyyah sendiri bertujuan untuk mencapai sebuah
kemaslahatan, baik itu terlihat oleh kasat mata manusia ataupun tidak.
Menurut al-Būṭī, ideologi kelompok ini secara tidak sadar, menjadikan
maṣlaḥah lebih utama dan didahulukan dari sharī’at islāmiyyah, dan
menjadikan dunia sebagai satu-satunya barometer maṣlaḥah tersebut.
ِ ِ
َ اك إِاَّل َر ْْحَةً للْ َعالَم
ي َ ََوَما أ َْر َسلْن
“Tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai Rahmat
bagi alam semesta” (Q.s Al-Anbiyā [21]: 107).
35
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h.74
36
“tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai Rahmat bagi alam
semesta” (Q.s al-Anbiyā ;107).
37
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 75-76
33
ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرََب َويَْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء ِ اْلحس ِ ِ ِ
َ ْ ْ اَّللَ ََيْ ُم ُر ِبلْ َع ْدل َو إِ ان ا
َوالْ ُمْن َك ِر َوالْبَ ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم لَ َعلا ُك ْم تَ َذ اك ُرو َن
38
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 75-78
34
kecuali kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, dan hal itu mustahil
untuk terjadi39.
ۡۖ
... ول إِذَا َد َعا ُك ۡم لِ َما ُ ُۡييِي ُك ۡم ُ َ ُ
ۡ ٓأَيَي ها ٱلا ِذين ءامنوا
ِ ٱستَ ِجيبواْ ِاَّللِ ولِل ارس ْ َُ َ َ َ ُّ َ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan
Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada suatu yang memberi kehidupan kepada
kamu...,” (Q.S Al- Anfāl [8]: 24)
ۡ ۡ ۡ ِۡ
ك قَ ۡولُهُۥ ِِف ٱۡلَيَ ٓوةِ ٱلدُّن يَا َويُش ِه ُد ا
ٱَّللَ َعلَ ٓى َما ِِف َ ُااس َمن يُعجب ِ َوِم َن ٱلن
ۡ ِ ۡ ۡ ِ
ض لِيُف ِس َد ) َوإِ َذا تَ َوا َّٓل َس َع ٓى ِف ٱۡلَر٢٠٤( ص ِام ِقَ ۡلبِ ِهۦ وهو أَلَ ُّد ۡٱۡل
ۡ ِ
َ
ۡ َُ َ
)٢٠٥( ب ٱل َف َس َاد َۚ ۡ فِيها وي ۡهلِك ٱۡل ۡرث وٱلن
ُّ ٱَّللُ ََّل ُُي
اس َل َو ا َ َ َ َ َُ َ
“Dan di antara manusia, ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras (204) Dan apabila ia berpaling
(dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan
padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,
dan Allah tidak menyukai kebinasaan (205)”.(Q.S. Al-
Baqarah [2]: 204 dan 205)
39
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 76
40
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 77
35
Dalam ayat ini, al-Būṭī menjelaskan bahwasannya Allah
Ta’ālā menyebutkan bahwa ada sekelompok manusia yang
mengaku-ngaku bahwasanya mereka telah berpegang teguh kepada
petunjuk Islam dan pelajaran-pelajarannya, namun pada hakikatnya
mereka telah berbohong dan merusak di muka bumi ini dengan
merusak tanaman dan binatang ternak yang merupakan pokok
terpenting dari kemaslahatan untuk melangsungkan kehidupan
manusia. Allah Ta’ālā telah menjadikan barometer kebohongan dan
kejujuran adalah dengan mengacu terhadap pelajaran-pelajaran
Islam selama menjaga kemaslahatan manusia dan kemaslahatan
apapun yang dapat penopang kehidupan mereka. Maka daripada itu,
sudah dapat dipastikan bahwa maṣlaḥah memiliki peran penting
dalam menentukan baik buruknya suatu perkara dalam shari’at
Islam41.
41
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 76-77
42
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 78-79
43
Aḥmad bin Syuʻaib al-Nasāˋī, Sunan al-Nasāˋī (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyyah,
1971), No. 5005, Jilid 4, h. 80
36
begitu luas, ujung pertama di awali dengan tauhid dan diakhiri
dengan ujung terakhir yang menunjukkan kepada contoh terkecil
bentuk khidmah dan implementasi dari perhatian Islam terhadap
kemaslahatan umum, yakni “menghilangkan sesuatu yang dapat
membahayakan di jalanan”. Hal ini menunjukkan bahwa sharī’at
islāmiyyah selalu mengedepankan sebuah maṣlaḥah bagi seluruh
umat hingga didalam hal yang terkecilpun, dan dari hadits ini pula
dapat di pahami bahwa semua bentuk maṣlaḥah yang berbeda-beda
baik itu dari jenisnya ataupun kegunaannya tercakup didalam
mafhūm hadits tersebut. Karena jika hal terkecil saja dari bentuk
implementasi sebuah maṣlaḥah Allah Ta’ālā menjadikannya sebagai
esensi daripada iman, apalagi bentuk maṣlaḥah yang lainnya yang
lebih besar dari yang disebutkan didalam hadits tersebut 44.
44
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 78
45
Muhammad ibn yazīd al-Qazwīnī Abu Abdillah ibn Mājah, Sunan ibn Mājah, (t.tp:
Dār al-Jīl, 1998), Nomor Hadīts 2340, Jilid 4, h. 27
46
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 79
37
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ūd raḍiyallah
‘anhumā
ب
ُّ َح ِ ُ (ا ْۡللْق ُكلُّهم عِي:ول هللاِ صلاى هللا علَي ِه وسلام
َ فَأ،ال هللاَ ُْ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ ال َر ُس َ َق
)اۡلَلْ ِق إِ ََّل هللاِ أَنْ َفعُ ُه ْم لِعِيَالِِه
ْ
“Rasūlullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: Semua
makhluk adalah hamba-hamba Allah, dan mahkluk yang paling
dicintai oleh Allah adalah mereka yang paling bermanfaat bagi
hamba-hamba-Nya”. (H.R. al-Ṭabarānī).
Dalam mengkaji konsep maṣlaḥah ini, secara global para pakar fiqh
terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, merupakan kalangan
tekstualistis yang hanya terfokus kepada sebuah teks, dalam hal ini
mereka melihat maṣlaḥah hanya dengan apa yang tertera dan tertuliskan
dalam teks. Dalam kelompok ini tidak ada yang namanya mafhūm teks,
atau makna yang tersirat didalam teks tersebut, maka daripada itu mereka
tidak pernah mau memperlebar dan memperluas pikiran mereka dalam
menelusuri sebuah maslahat di luar daripada yang tertulis dalam teks,
47
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 84
38
oleh karena itu maṣlaḥah bagi mereka terbatas dan ruang lingkupnya
hanya apa yang tampak dari teks tersebut48.
48
Jamāl al-Bannā, Naḥwa Fiqh Jadīd, (Kairo: Dār al-Fikr al-Islāmī, 1997), h. 63
49
Abū Isḥāq al-Shāṭibī, al-Iʻtiṣām, (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyyah, t.th.), h. 354.
50
Jaml al-Bannā, Naḥwa Fiqh, h. 64
39
islāmiyyah itu terbagi menjadi tiga jenis maṣlaḥah, yaitu : (i) maṣlaḥah
al-mu’tabarah, yaitu maṣlaḥah yang diakui secara tegas keberadaannya
oleh sharī’at, yang mana telah ditetapkan berdasarkan naṣṣ baik itu
berupa al-Qurˋān, al-hadits, ijmā’ dan ataupun qiyās; (ii) maṣlaḥah al-
mulghāh, yaitu maṣlaḥah yang tidak diakui oleh sharī’at, bahkan ditolak
dan dianggap bātil oleh agama. Adapun penamaannya sebagai maṣlaḥah
dikarenakan secara akal sepintas jenis ini dianggap sebagai maṣlaḥah,
namun kenyataannya terbalik, hal ini diakarenakan adanya naṣṣ/teks yang
menentang atau bertolak belakang dengan maṣlaḥah jenis ini; dan (iii)
maṣlaḥah al-mursalah, yaitu sebuah jenis maṣlaḥah yang mana agama
tidak pernah memandangnya sebagai maṣlaḥah dan tidak pula sebaliknya.
Dalam arti lain, sharī’at islāmiyyah tidak pernah membuat hukum
berdasarkan maṣlaḥah tersebut, dan disisi lain tidak ada juga dalil
naṣṣ/teks yang bertentangan dengannya, seperti pemberlakuan sanksi
denda dengan tujuan dan maksud meredam pelaku kejahatan dan
membuatnya jera demi terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian dalam
bermasyarakat.51
51
Abdul Wahhāb Khalāf, ʻIlm Usūl Fiqh wa Khulasah al-Tasyrīʻ al-Islāmī,
(Kairo: Dār al-Fikr al-ʻArabī, 1996), h. 80.
52
Abū Hāmid Muḥammad al-Ghazālī, al-Mustasfā, h. 417
40
maṣlaḥah ḥājiyyāh adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan
beban dan memudahkan urusan seseorang tersebut, misalnya,
diterapkannya hukum tentang hak dan wewenang bagi wali mujbir untuk
menikahkan anak gadisnya yang masih perawan dan kecil demi
kemaṣlahatan kafāˋah bagi sang anak dan keluarga, begitu juga seperti
dalam hal pemberian mahar. 53 (iii) maṣlaḥah taḥsīniyyah atau tersier
yaitu maṣlaḥah tingkat lapis ketiga yang dibutuhkan manusia, sebagai
pelengkap kenyamanan dan ketentraman kehidupan mereka. Sebenarnya,
tidak terwujudnya maṣlaḥah tingkat ini tidak akan berpengaruh terhadap
kehidupan manusia kecuali berkurangnya keharmonisan dalam
kehidupan. Tujuan dari maṣlaḥah tingkat ini adalah mengantarkna
manusia kepada tingkat puncak etika dan akhlak yang mulia, seperti
anjuran ṭahārah (bersuci) sebelum sholat, perintah menutup aurat, tata
krama dalam makan dan minum, dan kafaˋah (sepadan) dan etika
hubungan suami istri merupakan beberapa contoh dari jenis maṣlaḥah
ini.54
53
Wahbah al-Zuḥailī, Usūl al-Fiqh al-Islāmī, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986), cet. ke-
1, h. 1022-1023
54
Al-Zuḥailī, Usūl al-Fiqh, h.1023
55
Hukum yang harus disandarkan terlebih dahulu kepada sumber-sumber sharīʻat
lainnya seperti Al-Qur’an, al-hadīts, ijmāʻ dan qiyās. Lihat Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 160
41
holistik ini tidak dapat terwujud tanpa dibangun dengan partikel-partikel
bagiannya, maka perlulah adanya perhatian dan tinjauan terhadap hakikat
dari pada maṣlaḥah yang sebenarnya, sehingga makna holistik yakni
maṣlaḥah ini, memiliki sebuah dalil shar’ī atau setidaknya tidak ada dalil
shar’ī yang bertentangan dengannya sehingga terwujud makna maṣlaḥah
yang benar di hadapan mata sharī’at islāmiyyah. Karena jika tidak, maka
statement bahwasanya hukum-hukum islam selalu berjalan sesuai dengan
maṣlaḥah tidak dapat dibenarkan, dan maṣlaḥah yang seperti itu otomatis
bukanlah yang dimaksud dalam shari’at islāmiyyah.56
56
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maslaḥah, h. 115-116
57
contoh naskh; tahapan dishari’atkanya hukum (tadarruj fî al-tashrī’) dan turunnya
hukum yang mengikuti kejadian-kejadian merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa
perubahan hukum mengikuti perubahan maṣlaḥah. Lihat Muḥammad Muṣṭafā Syalabī,
Taʻlīl al-Aḥkām, (Beirūt: Dār al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1981), h. 307
58
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 45-61
42
akan mendapatkan kenikmatan bagi dirinya, sehingga terikat dengan
sebuah kecenderungan atau yang lainnya; (iii) maṣlaḥah agama sebagai
asas dan paling diprioritaskan dari maṣlaḥah-maṣlaḥah lainnya. Maka
daripada itu, dalam sharī’at islāmiyyah, wajib hukumnya untuk
mengorbankan maṣlaḥah-maṣlaḥah lainnya yang bertentangan dengan
maṣlaḥah agama demi mewujudkan dan mempertahankannya. Ideologi
ini sangat bertolak belakang dengan ideologi para filosofi Eropa yang
menjadikan agama hanya sebagai alat untuk mewujudkan maṣlaḥah yang
berdasarkan hawa nafsunya, yang mana pada hakikatnya, sharī’at
islāmiyyah tidak pernah memiliki maṣlaḥah khusus kecuali demi
kemaslahatan manusia, karena pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwasannya tujuan agama Islam (maqāṣid sharī’at) dalam
membuat sebuah hukum tidaklah bukan kecuali untuk mewujudkan
kemaṣlaḥatan manusia.59
59
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 27
60
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 61-68
43
hakikat dari maṣlaḥah bagi manusia di dalam problem-problem yang
bersifat partikular. 61
Dalam hal ini, al-Būṭī memberikan lima batasan atau syarat umum
bagi sebuah maṣlaḥah hingga dapat dikategorikan sebauh maṣlaḥah yang
hakiki dan mu’tabarah dalam asas penerapan hukum islam, dan jika salah
satu saja batasan ini dilewati atau tidak terpenuhi, maka dugaan sebauh
perkara adalah maṣlaḥah tidak dianggap benar.
61
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 48
62
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 118
63
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 119
44
sebagaimana mereka telah menjadi hamba Allah Ta’ālā sejak
diciptakan dan tanpa ada pilihan.
عن عمر بن اۡلطاب رضي هللا عنه على املنرب قال مسعت رسول هللا
صلاى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلا َم يقول (إمنا اۡلعمال ِبلنيات وإمنا لكل امرىء ما
َ
)...نوى
“Dari Umar bin al-Khttāb Raḍiyallahu ‘anhū, beliau telah
mendengar Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya,
dan setiap orang memiliki apa yang mereka niatkan...” (H.R
Bukhāri).
64
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 124
65
Muhammad bin Ismā’īl al Bukhārī, al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min
umūr Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jilid 1 (T.tp : Dār Ṭouq al-Najāh : 1422H)
cet. 1, h. 6
45
Maka dalam hukum islam niat yang baik dan buruk keduanya
disorot dan memiliki hukum dalam menjadikan sebuah maṣlaḥah itu
mu’tabarah atau tidak. Salah satu contoh tersebut, sebuah pernikahan
dan segala hal yang berkenaan dengannya yang diatur sedemikian
rupa oleh sharī’at islāmiyyah pada dasarnya adalah sebauh maṣlaḥah
shar’iyyah yang muktabarah demi menjaga keturunan manusia,
namun perbuatan ini jika diniatkan dengan maksud yang buruk,
seperti menikah dengan niat untuk menyiksa sang istri kelak, maka
maṣlaḥah dalam pernikahan tersebut yang tadinya muktabarah
menjadi sebuah mafsadah bagi pelakunya, karena walaupun sang
pelaku perbuatan tersebut mendapatkan kepuasan dari menyiksa sang
istri, namun pada hakikatnya adalah sebuah mafsadah karena kelak di
akhirat orang tersebut akan mendapatkan balasannya yang setimpal
atas apa yang telah dia lakukan.
66
Secara umum dalālah Al-Qur´an (kandungan makna Al-Qur’an) dari tinjauan
sebagai dalil bagi sebuah hukum terbagi menjadi dua jenis dalālah, yang pertama qatʻī dan
yang kedua dzannī. qaṭʻī al-dalālah ialah naṣṣ yang menunjukkan pada sebuah hukum
dengan jelas dan tidak mengandung makna lain yang dimungkinkan untuk menta’wīlnya
(dipalingkan dari makna asalnya yang dekat, kemudian ditafsirkan dengan makna yang
jauh) dan tidak ada celah untuk memahaminya selain makna asal yang dekat tersebut.
Contohnya, Q.S al-Baqarah [2]: 275, ayat ini memiliki makna qaṭʻī al-dalālah dalam
menjelaskan hukum jual beli dan ribā. Sedangkan dzanni al-dalālah adalah naṣṣ yang
menunjukkan pada sebuah hukum dengan makna yang tampak didalam naṣṣ tersebut,
namun masih memiliki makna lain yang kedudukannya jauh dan tersembunyi, namun
masih dimungkinkan untuk menta’wilnya kedalam makna jauh tersebut. Contohnya, ayat
yang menjelaskan ‘iddah bagi wanita yang ditalak ialah tiga kali qurū’. Kata qurū’ dalam
ayat tersebut dapat bermakna suci dan juga dapat bermakna haid. Lihat Abdul Wahhāb
Khalāf, ‘Ilm Uṣūl Al-Fiqh, (Cairo: Maktabah al-Daʻwah al-Islāmiyyah Syabāb al-Azhar,
t.t.), h. 34.
46
yang dapat disimpulkan bahwa pertentangan sebenarnya adalah antara
dua dalil shar’ī, yakni antara dalil ẓāhir dari al-qur’ān dan Qiyās.67
67
contohnya Q.S. Al-Baqarah [2]: 188‚ “Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang baṭil…”. Ayat ini, secara
dzāhir mengandung larangan untuk mengambil harta bukan miliknya, termasuk seluruh
jenis harta tanpa terkecuali. Pemahaman makna ẓāhir ini bertentangan dengan hukum
diperbolehkannya seseorang mengambil harta orang lain dalam keadaan darurat
berdasarkan qiyas, yakni di analogikan dengan hukum diperbolehkannya memakan bangkai
bagi orang yang dalam keadaan darurat juga. Lihat: al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 139.
68
Sanad adalah pemberitaan tentang silsilah sebuah isi hadits. Lihat al-Suyūṭī, tadrīb
al-Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 1 (T.tp: ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 27
69
Sunnah al-Mutawātir adalah sunnah yang dinukil dan disampaikan oleh sejumlah
perawi yang tidak mungkin dengan jumlah mereka untuk melakukan sebuah kebohongan
serentak. Sedangkan sunnah āḥād yaitu kebalikan dari mutawatir Lihat al-Suyūṭī, tadrīb al-
Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 2 (T.tp: Ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 627
70
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 162
47
sebuah kesamaan dari salah satu sudut pandang, yaitu sama-sama
menjaga maṣlaḥah, hanya saja dalam makna qiyās ditambahkan
menjaga‘illah yang mu’tabarah menurut sharī’at islāmiyyah. Dapat
disimpulkan bahwa setiap qiyās adalah bermakna menjaga maṣlaḥah
dan tidak setiap hal yang bermakna menjaga maṣlaḥah adalah qiyās,
karena menjaga maṣlaḥah maknanya lebih umum dari pada qiyās,
yang mana makna umum ini disebut juga sebagai maṣlaḥah al-
mursalah, yaitu sebuah maṣlaḥah yang dipandang oleh seorang
mujtahid tanpa adanya dalil yang memperkuat keberadaannya yang
dapat diqiyāskan kepada dalil tersebut, dan disisi lain tidak ada pula
naṣṣ baik itu al-Qurˋān ataupun al-sunnah yang bertentangan dengan
maṣlaḥah tersebut, seperti pengumpulan al-Qurˋān yang dilakukan
oleh Abu Bakar al-Ṣiddīq raḍiyallahu ‘anhū, ijtihad beliau tanpa
didasari sebuah dalil ataupun kasus lain yang sudah ada dan tetap
hukum dan dalil sehingga dapat diqiyaskan kepadanya, begitu juga
sebaliknya tidak ada naṣṣ al-Qurˋān dan al-Sunnah yang bertentangan
dengan ijitihadnya, hanya saja ijtihad beliau masih didalam lingkup
ḥifd al-dīn (menjaga agama) yang termasuk kedalam salah satu
maqāṣid sharī’ah. 71
1) Al-aṣl, yaitu kasus yang telah memiliki hukum yang jelas dari
naṣṣ, baik Al-Qurˋān atau al-Sunnah;
4) ‘Illah (alasan) dari hukum, yaitu suatu kesesuaian sifat yang ada
dalam al-aṣl dan al-farʻ yang menjadi pertimbangan oleh syarʻī.
71
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 216-217
48
yang lama. Adapun syarat-syarat dari ‘illah ini adalah sebagai
berikut:72
4) ‘Illah tersebut harus merupakan sebuah sifat yang jelas dan tegas
tidak berubah -ubah, sehingga hikmah (yang terkandung di
dalam‘illah ) yang menjadi tujuan syarʻî dapat terwujud.
72
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 219
49
sifat ini selain cocok dan dipandai sesuai dengan hukum menurut
mujtahid, juga secara terang-terangan hukum tersebut datang sesuai
dan selaras dengan sifat dengan disertai tetapnya dalil naṣṣ atau ijmā
atas ke-‘illahan sifat tersebut untuk hukum tersebut. Pada tingkat
inilah sifat tersebut layak dan pantas dinamakan sebagai ‘illah yang
mempengaruhi sebuah hukum.
73
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 232
74
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 248
50
1) Ditinjau berdasarkan nilai dan substansi bentuk maṣlaḥah
tersebut.
75
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 252
76
Al-Būṭī, Ḏawābiṭ, h. 252.
51
mana persentasi antara kemungkinan terjadi atau tidaknya
dianalisis berdasarkan kemungkinan terjadinya yaitu dengan
mempertimbangkan akibat dan resiko yang ditimbulkannya.
Pertimbangan ini, berubungan erat dengan apakah suatu
perbuatan yang pada awalnya dipandang maṣlaḥah itu berakibat
sama pada maṣlaḥah pihak lainnya. Apabila akibat yang
ditimbulkan adalah maṣlaḥah, maka ia juga dinilai sebagai
maṣlaḥah, begitu juga sebaliknya, apabila akibat yang
ditimbulkan adalah mafsadah, maka ia juga dinilai sebagai
mafsadah. Kemudian al-Būṭī membagi kembali maṣlaḥah ini
kedalam tiga kategori: Pertama, maṣlaḥah atau mafsadah yang
ditimbulkan itu berasal dari sebuah perbuatan yang memiliki
potensi pasti, seperti membuat sumur di depan pintu rumah.
Kedua, maṣlaḥah atau mafsadah yang ditimbulkan itu berasal
dari perbuatan yang masih bersifat dugaan, namun kuat, seperti
menjual anggur kepada pabrik minuman keras. Ketiga,
maṣlaḥah atau mafsadah yang ditimbulkan itu berasal dari
keragu-raguan atau khayalan, seperti menjual anggur kepada
orang yang tidak diketahui tujuannya, apakah untuk diolah
menjadi minuman keras atau hanya dimakan saja. Pada saat
terjadi benturan dan bentrokan antara jenis maṣlaḥah ini, maka
al-Būṭī berpendapat bahwa tidak dibenarkan melakukan tarjīḥ
(pengunggulan) berdasarkan perbuatan yang berasal dari
keragu-raguan atau imajinasi. Tarjīh hanya boleh dilakukan
untuk perbuatan yang memiliki potensi pasti atau berasal dari
dugaan yang kuat (ẓann).77
77
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 253-254.
52
BAB III
" أعقده عقدا: عقدت اۡليط واۡلبل: فمن قولك،" وأما عقد النكاح
(ii) pernikahan, diambil dari kata bahasa arab, yaitu “( ”النكاحan-nikāh),
secara bahasa bermakna “( ”الضم واجلمعmengumpulkan dan menyatukan),
kemudian digunakan dalam makna lain seperti yang dijelaskan oleh
Murtaḍā al-Zabīdī dalam kitabnya Tāj al-Arūs Min Jawāhir al-Qāmūs,
berkata:
1
Ahmad ibn Fāris Al-Qazwīny, Hilyat al- Ulamā (United Distribution Company -
Beirut), Cet. 1, 166
53
lafaẓ al-nikāh (dengan mengkasrahkan huruf nun), pada penggunaan
aslinya dalam pembicaraan orang arab dipakai unutk arti bersetubuh,
dan menurut pendapat lain lafadz tersebut berarti akad pernikahan
tersebut, yaitu bermakna menikahkan, karena lafaz tersebut (al-
nikāh) menjadi sebab untuk persetubuhan yang diperbolehkan2.
2
Muhammad ibn Muhammad Murtaḍā al-Zabīdī, Tāj al-Arūs Min Jawāhir al-Qāmūs
(Dar al- Hidāyah), Jilid 6, 195
3
Muhammad ibn Muhammad al-Khatīb al-Shirbīnī, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat
Ma’ānī alfāz al-Minhāj (Dār al-Kutub al-‘ilmiyah, 1994), cet. 1, Jilid 4, 200.
4
Anz-Pojok Bahasa, Padanan istilah online dan offline?, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Budaya, Artikel ini diakses pada hari
Jum’at 19 Maret 2021 melalui
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/search/node/Online
54
pernikahan dengan tujuan sebab dibolehkannya persetubuhan menurut
shara’ dengan lafaz “inkāh”, atau “tazwīj” atau dengan terjemahannya
yang sepadan yang dilakukan dan dilaksanakan melalui jaringan internet,
yakni kedua belah pihak – dalam hal ini adalah calon mempelai pria dan
wali dari calon mempelai wanita – melakukan akad (ījāb dan qabūl)
pernikahannya ditempat terpisah dan hanya dihubungkan dengan jaringan
internet baik itu disertai tatap muka melalui video ataupun tidak.
Tata cara atau bentuk akad pernikahan itu sendiri pada zaman
Rasullallah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun salaf al-ṣālih
dilaksanakan hanya dalam ruang lingkup yang terbatas, yaitu dengan tatap
muka secara langsung, atau jika kedua belah pihak tidak dapat berada
disatu tempat yang sama dan pada waktu yang sama maka dilakukan
dengan cara korespondensi, atau wakālah5. Setelah beberapa abad berlalu,
hingga pada abad ke-20, saat teknologi menjadi sebuah kebutuhan global
masyarakat, saat itulah akad/ transaksi antar masyarkat, tidak terkecuali
akad pernikahan. Akad Pernikahan via Online yang merupakan hasil dari
5
Syamsiah Nur, “Pemikiran Fikih Satria Effendi Tentang Teknologi Informasi Dalam
Perwalian Akad Pernikahan” (Disertasi S3 Program Studi Hukum Keluarga, Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2020), h. 150-151
55
pengaruh teknologi yang begitu pesat ini adalah salah satu kasus
kontemporer yang disebut dengan nawāzil, yaitu sebuah masalah yang
sebelumnya belum pernah terjadi, tidak di zaman Rasulallah dan Ṣahābat
ataupun pada zaman dibukukannya ilmu Fiqh6.
6
Ḥamzah Abd al-Nāṣir, ‘Aqd al-Zawāj ʻAbr Wasā’il al-Ittiṣāl al-Hadīthiyah (al-
Jazā’ir: al-Bahth al-‘ilmī fī kulliyat al-Aḥwāl al-Shakhṣiyah Qism al-Ḥuqūq 2013-2014),
h.2
7
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadhā, Vol. 5 no. 1 Juli
2018, h. 10
8
Muhammad Aniq Yasrony, “Akad Nikah Via teleconference perspektif Maslahah al-
Mursalah”, dalam al-Hukama, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 07,
No. 01 Juni 2017. h. 208-209
56
televisi atau semisalnya sekaligus mendengar satu sama lain melalui
sistem pengeras suara.
2) Maret 2007, Akad pernikahan jarak jauh yang sama dan dilakukan
dengan media yang sama, yakni video teleconference telah dilakukan
oleh pasangan Sirojuddin Arif dan Halimatus Sa'diyah, hanya saja
yang menjadi perbedaan adalah kedua pasangan ini telah berada di
tempat yang sama, yaitu di Oxford- Inggris, demi mengesahkan
hubungan, calon mempelai pria terpaksa melakukan akad pernikahan
jarak jauh yang digelar di Oxford University, dengan wali dari calon
mempelai Wanita yang berada di Cirebon-Indonesia10.
9
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon”, h. 11
10
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon”, h. 11
11
Wardah Nuroniyah, “Analisis Akad Nikah Via Teleconference Menurut Fiqih
Mazhab Dan Hukum Positif Indonesia”, dalam Mahkamah, Jurnal Kajian Hukum Islam.
Vol. 2, No.1, Juni 2017. h. 147
57
terjadi antara mempelai pria dan wali dari mempelai wanita, yang
dilangsungkan secara langsung dan disaksikan oleh mempelai Wanita
melalui video call, sehingga secara legalisasi hukum Islam dapat
dikatakan sah, karena sejatinya akad pernikahan ini bukanlah akad
pernikahan online yang terpisah oleh jarak12.
5) 25 Maret 2020, akad pernikahan via video call dilakukan juga oleh
pasangan Kardiman bin Haeruddin dan Febrianti Bin Hasanuddin,
akad pernikahan via video call ini terpaksa dilakukan oleh Kardiman
bin Haeruddin asal Bajoe-Sulawesi Selatan, dilangsungkan dalam
keadaan calon pengantin pria berada dalam masa karantina kesehatan
dalam rangka antisipasi penyebaran virus covid-19 saat menuju
kediaman calon pengantin wanita, yaitu di Kolaka-Sulawesi
Tenggara13;
6) 3 April 2020, Akad Pernikahan via video call dilakukan oleh calon
pengantin pria di daerah Medan -Sumatra Utara dan pasangannya di
daerah Muko – Bengkulu. Akad pernikahan jarak jauh ini berlangsung
dengan cara wakālah, dimana Feru Eriyandi yang menjadi mempelai
pria mewakilkan seseorang bernama Zulman yang berada di tempat
mempelai wanita untuk menjadi pengganti/ wakil dalam prosesi akad
pernikahannya, sedangkan Feru Eriyandi melihatnya melalui video
call yang disiarkan live streaming14.
7) 4 Juli 2020, Akad pernikahan via video call kali ini dilangsungkan
oleh kedua pasangan WNI yang berada di jarak yang berjauhan,
mempelai pria yang Bernama Dayah ini saat dilaksanakannya akad
pernikahan berada di Malasyia dan mempelai wanita dan walinya
berada di Nusa Tenggara Barat (NTB), akad ini dilangsungkan dengan
12
Muhammad Alwi dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Teleconference di Indonesia” dalam Indo Islamika, Volume 10, No 2, 2020, h. 139
13
Ahmad Akbar Fuad, Viral Sepasang Pengantin Menikah via Video Call gara-gara
Virus Corona”, artikel diakses pada 21 November 2021 dari
https://www.liputan6.com/regional/read/4211432/viral-sepasang-pengantin-menikah-via-
video-call-gara-gara-virus-corona
14
Wahibatul Maghfuroh, “Akad Nikah Online Dengan Menggunakan Via Live
Streaming Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah (JAS), Vol.
3 No. 1 Tahun 2021, h. 97
58
media video call yang dibimbing oleh seorang pemuka agama
daerahnya15.
15
Reza Gunadha, “Viral Pernikahan Online Malasyia – Lombok, Akad Nikah Lewat
Video Call”, artikel di akses pada 21 November 2021 melalui
https://www.suara.com/news/2020/07/06/161518/viral-pernikahan-online-malaysia-
lombok-akad-nikah-lewat-video-call?page=all
16
Mahardika Putera Emas, “Problematika Akad Nikah Via Daring dan
Penyelenggaraan Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19” dalam Batulis civil law
review, vol. 1 no. 1, November 2020, h. 69-70
17
Muhammad Alwi dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Teleconference di Indonesia”, h. 139
59
juga dapat ditempuh dengan menela’ah makna yang berada dibalik naṣ
tersebut18.
Salah satu rukun nikah yang sulit untuk terealisasikaan dalam akad
pernikahan online ini adalah kesaksian kedua saksi, yang mana hal ini
disebabkan oleh tidak adanya tempat yang menyatukan mempelai pria dan
wali mempelai istri dalam proses akad pernikahan berlangsung, sehingga
sulit untuk kedua saksi memastikan kebenaran kesaksiannya, jikapun
terealisasi, tidak dapat dipastikan seratus persen kebenarannya seperti
halnya persaksian pada akad pernikahan yang dilakukan secara face to
face21.
18
Muhammad Iqbal, “Urgensi Kaidah-Kaidah Fikih Terhadap Reaktualisasi Hukum
Islam Kontemporer” dalam Jurnal EduTech Vol. 4 No. , September 2018, hal. 24-25
19
Ashar, “Akad Nikah Via Internet” dalam Mazahib Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 11
No. 1 Juni 2013, hal. 27
20
Miftah Farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum” dalam Jurisprudentie Vol.
5 No. 1 Juni 2018, hal. 178-181
21
Syamsiah Nur, “Pemikiran Fikih Satria Effendi …, h. 151-154
60
disaksikan secara kasat mata dan transparan atas akad pernikahan
tersebut22.
22
Irma Novayani, “Pernikahan Melalui Video Conference” dalam Jurnal At-Tadbir :
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 1, no. 1, Januari 21, 201, h. 36
23
Irma Novayani, “Pernikahan Melalui Video Conference”, h. 36-37
24
Muhammad ibn Umar al-Nawawī, Murāh Labīd li kashf ma’nā al-Qur’ān al-Majīd
(Beirut, Dār al-kutub al-ilmiyyah, 1417 H), cet ke-1, Jilid 1, h. 190
25
HR. Abu Dāūd, Sunan Abu Dāūd, no 1905, Jilid 3, hal. 285
61
Oleh karena itu, kelompok ini lebih memandang akad pernikahan
tidak seperti akad/transaksi mu’amalah yang lainnya, seperti jual beli
ataupun gadai, mereka lebih memandang bahwasanya sifat tabbudiyyahnya
lebih besar dibandingkan sifat mu’amalahnya, sehingga dalam tata cara
dan prakteknya harus sama persis dan sesuai dengan yang diajarkan oleh
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu akad secara langsung
berada dalam satu tempat.
26
Miftah Farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum”, h. 179.
27
M. Misbahul Amin, “Studi Analisis Akad Nikah Menggunakan Video Call
Perspektif Maqoshid Al-Syariah Dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan” dalam Usratunā, Vol. 3 No. 2 Juni 2020, hal. 99-96
62
B. Biografi Lembaga Fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār Al-Iftā Al-‘Irāqiyah
Dan Al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī
"الفتوى ِبلواو بفتح الفاء وِبلياء فتضم وهي اسم من أفىت الْعامل إذا
"بي اۡلكم واستفتيته سألته أن يفيت
Kata al-Fatwa itu jika dengan huruf “wāˋu” diakhir maka dengan
huruf “al-Fāˋū” yang berharakat Fathah, dan jika dengan huruf
“al-Yāˋu di akhir maka ” huruf “al-Fāˋū” yang berharakat
Ḍommah (dibaca: al-Futyā), al-Fatwa Adalah kata benda dari asal
kata “aftā al-‘ālimu” jika orang berilmu itu menjelasakan sebuah
hukum, dan “istaftaituhū”artinya aku memintanya untuk berfatwa
atau menjelaskan sebuah hukum28.
َۚ ۡ ۡ ۡ ۡ
...ٱَّللُ يُفتِي ُك ۡم ِِف ٱل َك ٓلَلَ ِة
ك قُ ِل ا
َ َيَستَ فتُون
28
Ahmad ibn Muhammad al-Fayyūmī, al-Misbāh al-Munīr Fī Gharīb Sharh al-Kabīr
(Beirut; al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), Jilid 2, h. 462.
63
Dan dalam potongan sebuah hadits dikatakan “ ”أَن قَ ْوما تَ َفاتَوا إِليهartinya
“bahwa sekelompok orang meminta hukum dan menganggakatnya
kepadanya untuk dimintai penjelasan didalamnya”, menurut Ibn Manẓūr
al-Anṣārī bahwasannya kata fatwa ini berasal dari kata "al-fatā" ()الفىت
yang berarti seorang pemuda, seakan-akan fatwa tersebut menguatkan
perkara yang dipersoalan dengan penjelasannya, sehingga menjadikannya
pemuda yang gagah dan kuat29.
بيان حكم هللا تعاَّل مبقتضى اۡلدلة الشرعية على جهة العموم والشمول
29
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Maʻārif, t.t.), Jilid 15, h. 148.
30
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Muqodiimah Fatāwā … Jilid 1, h.2
31
Sa’dī Abu Hubaib, al-Qāmūs al-Fiqhī Lughatan wa Istilāḥan, (Damaskus: Dār al-
Fikr, 1988), cet. 2, h. 281
32
Sa’dī Abu Hubaib, al-Qāmūs … h. 281
64
Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwasannya para
ulama sepakat bahwa fatwa merupakan penjelasan atas sebuah hukum
sharā’ yang sedang menjadi problem secara mutlak. Namun, menurut
madhhab malikī, mendefinisikan fatwa sebagai penjelasan sebuah hukum
saja masih terlalu umum, yakni tidak ada penjabaran apakah hal tersebut
bersifat wajib untuk diikuti atau tidak, maka daripada itu, mereka dalam
mendefinisikan fatwa tersebut lebih spesifik lagi, hal ini terlihat dalam
definisi mereka ketika memasukan kata “ ”على غري وجه االلزامyang bermakna
“tidak bersifat harus atau wajib”, yang maksudnya bahwa ketika fatwa
diterbitkan dalam menjawab sebuah hukum yang sedang dipersoalkan,
maka hukum yang keluar dari fatwa tersebut memiliki kekuatan untuk
wajib diikuti semua orang, hal inilah yang membedakan antara hukum
yang keluar dari muftī (orang yang memberi fatwa bukan dalam
persidangan) dan hukum yang keluar dari seorang hakim (Qāḍī).
33
Dār al-Iftā Al-Miṣriyyah, “Profil Darul Iftā al-Miṣriyyah’”, https://www.dar-
alifta.org/AR/Aboutdar.aspx?sec=
65
Iftā Al-Miṣriyah menjadi satu. Penggabungan ini berlangsung hingga
pada tahun 2007 hingga pada akhirnya Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah
kembali memisahkan diri dan menjadi institusi yang independen
yang memiliki posisi penting di negara mesir sama seperti
kedudukan universitas al-Azhar bagi negara mesir itu sendiri.
Lembaga Fatwa yang satu ini berbeda dengan ḍār al-iftā al-
miṣriyah, dimana ḍār al-iftā al-‘iraqiyah berada langsung dibawah
34
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di
Mesir , ia hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan pada tahun 1899, ia
diangkat secara resmi menjadi Mufti Mesir. Ditahun yang sama, ia juga diangkat menjadi
anggota majlis syura, lihat : Nurlaelah Abbas, “Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme
Dalam Islam”, Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 1, Juni 2014, h. 53 - 54
35
Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah, “Profil Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah”, https://www.h-
iftaa.com/2013/10/والج-السنة-اهل-افتاء-هيئة-عن-بسيطة-نبذه/
66
naungan pemerintahan Iraq, yang bukan hanya menjaga kestabilan
hukum Islam, melainkan harus melihat sisi hukum sebagai UU yang
berlaku di Iraq. Adapun tujuan utama dari lembaga fatwa ini adalah
menjadikan segala hukum yang keluar sebagai peraturan pemerintah
Iraq sesuai dengan shrī’at islāmiyyah. Dalam aspek diplomatik, ḍār
al-iftā al-‘iraqiyah berperan sebagai lembaga yang membuka jalur
pemahaman dan dialog dengan semua spektrum hukum dan politik,
termasuk kepentingan umum Islam dan umat Islam.
36
Gerakan salafī adalah pewaris dakwah teologi puritan dari gerakan Wahabi yang
muncul pada abad ke delapan belas di Jazirah Arab. Sebagai gerakan dakwah pewaris
tradisi wahhabiyah, gerakan dakwah salafi dikenal sebagai sebuah gerakan dakwah dengan
ideology teologi puritan radikal. Lihat : Ahmad Bunyan Wahib, “Dakwah Salafi: Dari
Puritan Sampai Anti Politik” dalam Jurnal Media Syariah, Vol. XIII No. 2 Juli – Desember
2011, h. 147
37
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Profil Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, https://sy-
sic.com/?page_id=2330
67
lembaga negara yang khusus mengatur bidang ini, dan juga
disebabkan kemerosotan lembaga-lembaga negara Suriah di di
beberapa wilayah bebas pajak.
Di sisi lain, pada tahun 2011 para ulama dan asosiasi Suriah
yang dipaksa untuk diasingkan keluar negara oleh pemerintahan
Suriah, berinisiatif untuk menciptakan entitas komprehensif terpadu,
hingga pada akhirnya tepatnya pertengahan bulan April 2014, empat
puluh asosiasi dan badan sharīah yang mencakup para ulama, badan
hukum dan asosiasi ilmiah Suriah berkumpul dalam satu majlis
untuk mengumumkan pembentukan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī
dengan kabinet didalamnya terdiri dari para ulama Suriah yang
berkompeten di bidang sharīah, badan hukum, dan asosiasi ilmiah
Suriah.
68
C. Fatwa Akad Pernikahan Online dari tiga lembaga Fatwa Dunia
38
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” (Mesir, T.pn: 1997)
Jilid 9, h.500.
69
أما الكالم ىف املسرة "التليفون " فالتحقق فيه من صوت الزوج فيه عسر،
ْلمكان التقليد واحملاكاة لألصوات ،وإذا مسعته الزوجة فالشاهدان رمبا َّل
يسمعانه ،اللهم إَّل إذا كانت الزوجة والشاهدان يسمعون من مساعة واحدة
ِبآلَّلت اۡلديثة ،ومع ذلك ففيه عسر ىف التأكد .وميكن أن يقال :إنه
ب تطور آَّلت اَّلتصال الىت تنقل هبا الصورة مع الصوت قد ُيصل التأكد
من شخصية الطرفي وكالمهما ِبْلجياب والقبول ،وجترى هذه الرؤية عن
بعد جمرى اۡلضور ىف اجمللس الواحد الذى اشرتطه الفقهاء .وهنا يكون
العقد صحيحا" .راجع كتاب :أحكام اۡلسرة ىف اْلسالم ،للدكتور حممد
مصطفى شلىب".
وجاء ىف كتاب اۡلحوال الشخصية للدكتور الشيخ عبد الرْحن اتج "ص
:"٢٤أن أحد املتعاقدين إذا كان غري حاضر مع اآلخر ىف جملس واحد
فإنه ميكن أن يتعاقد بوساطة رسول أو كتاب ،وتقوم عبارة الرسول وما
سطر ىف الكتاب مقام تلفظ العاقد اۡلاضر ،والشهادة الالزمة لصحة العقد
يلزم توافرها ىف جملس القبول الذى يصدر من املرسل إليه أو املبعوث إليه
الكتاب .وَّل يلزم أن يُش ِهد صاحب الكتاب على كتابه ،بل يكفى أن
يشهد الشهود ىف جملس القبول على هذا القبول ،وعلى ما جاء ىف الكتاب
بعد قراءته عليهم أو إخبارهم مبا فيه ،فإن ذلك يقوم مقام حضور صاحب
الكتاب وتلفظه ىف اجمللس .وجيب التنبيه على التثبت من أن الكتاب هو
كتاب فالن وذلك بشهادة من قرأوه أو علموا مبا فيه ،فإنه قد ينكر ،وهنا
70
وتنص َّلئحة احملاكم الشرعية على أنه َّل تسمع عند،َّل يثبت الزواج
.اْلنكار دعوى الزوجية إَّل إذا كانت اثبتة بوثيقة رمسية
Mei 1997
Jawaban :
71
qobūl dengan alat tersebut, dan berlangsungnya penglihatan proses akad
dari kejauhan ini dianggap hadir dalam satu majlis (tempat) yang mana
disyaratkan oleh para ulama fiqh. pada keadaan seperti inilah akad
tersebut dianggap sah. (lihat buku : ahkām al-usrah fī al-īslām karya Dr.
Muhammad Mustafā Shiblī).
39
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah”, https://www.h-
iftaa.com/2019/07
72
فتوى رقم) ( 1343
السائل حممد أبو صفا يسأل _ السالم عليكم ورْحة هللا وبركاته مساحة
املفيت سؤآيل لسماحتك ..حكم عقد الزواج بواسطة التقنيات املعاصرة
وسائل اَّلتصال املسموعة واملرئية أو مايسمى الزواج اَّللكرتوين ..وحنن
نثق بعلمكم وِبرك هللا فيك .أبنكم حممد أبو صفا احملمدي
أجاب على السؤآل مساحة مفيت مجهورية العراق الشيخ الدكتور مهدي بن
اْحد الصميدعي ( سدده هللا تعاَّل ) اۡلمد هلل رب العاملي وبه نستعي
والصالة والسالم على امام املتقي نبينا حممد اۡلمي واله وصحبه أمجعي
وبعد :هللا يبارك بيك السائل الكرمي _ اْلجياب والقبول ركن من أركان
النكاح َّ ،ل يصح بدونه ،واْلجياب هو اللفظ الصادر من الويل أو وكيله .
والقبول :هو اللفظ الصادر من الزوج أو وكيله .
كما تشرتط الشهادة لصحة النكاح … ..وبناء على ذلك ؛ فقد اختلف
أهل العلم ِف إجراء عقد النكاح ِبلوسائل اۡلديثة كاهلاتف واْلنرتنت أو
73
مامسيته الزواج اَّللكرتوين ،فمنهم من منع ذلك لعدم وجود الشهادة ،مع
التسليم أبن وجود شخصي على اهلاتف ِف نفس الوقت له حكم اجمللس
الواحد ،وهذا ما اعتمده جممع الفقه اْلسالمي … .ومنهم من منع ذلك
احتياطا للنكاح ؛ ۡلنه ميكن أن يُقلد الصوت وُيصل اۡلداع ،وهذا ما
أفتت به اللجنة الدائمة لإلفتاء.
ومنهم من جوز ذلك إذا أُمن التالعب ،وهذا ما أفىت به الشيخ عبد العزيز
بن عبد هللا بن عبد الرْحن رْحه هللا.
وهبذا يعلم أن اْلشكال ليس ِف مسألة احتاد اجمللس ،فإن اَّلتصال اهلاتفي
أو اْلنرتنيت من الطرفي ِف نفس الوقت َيخذ حكم اجمللس الواحد.
والشهادة على هذا العقد ممكنة ،بسماع صوت املتكلم عرب اهلاتف أو
اْلنرتنت ،بل ِف ظل التقدم العلمي اليوم ميكن مشاهدة الويل ومساع صوته
أثناء اْلجياب ،كما ميكن مشاهدة الزوج أيضا.
وهلذا ؛ فالقول الظاهر ِف هذه املسألة :أنه جيوز عقد النكاح عن طريق
وحتقق من شخص الزوج والويل ،
اهلاتف واْلنرتنت إذا أُمن التالعب ُ ،
اْلجياب والقبول .وهذا ما أفىت به الشيخ عبد العزيز بن
َ ومسع الشاهدان
عبد هللا بن عبد الرْحن رْحه هللا ،كما سبق ،وهو مقتضى فتوى اللجنة
الدائمة لإلفتاء _ اليت منعت النكاح هنا ۡلجل اَّلحتياط وخوف اۡلداع.
74
الزوج
ومن أراد السالمة ،فيمكنه إجراء النكاح عن طريق التوكيل ،فيوكل ُ
أو الويل من يعقد له أمام شاهدين … .وهذا نص ما أشران إليه من كالم
أهل العلم:
السؤال :إذا توفرت أركان النكاح وشروطه إَّل أن الويل والزوج كل
منهما ِف بلد ،فهل جيوز العقد تليفونيا أو َّل؟
" نظرا إَّل ما كثر ِف هذه اۡلايم من التغرير واۡلداع ،واملهارة ِف تقليد
بعض الناس بعضا ِف الكالم وإحكام حماكاة غريهم ِف اۡلصوات حىت
إن أحدهم يقوى على أن ميثل مجاعة من الذكور واْلانث صغارا
وكبارا ،وُياكيهم ِف أصواهتم وِف لغاهتم املختلفة حماكاة تلقي ِف
نفس السامع أن املتكلمي أشخاص ،وما هو إَّل شخص واحد ،
ونظرا إَّل عناية الشريعة اْلسالمية حبفظ الفروج واۡلعراض ،
واَّلحتياط لذلك أكثر من اَّلحتياط لغريها من عقود املعامالت –
رأت اللجنة أنه ينبغي أَّل يعتمد ِف عقود النكاح ِف اْلجياب والقبول
والتوكيل على احملاداثت التليفونية ؛ حتقيقا ملقاصد الشريعة ،ومزيد
75
عناية ِف حفظ الفروج واۡلعراض حىت َّل يعبث أهل اۡلهواء ومن
حتدثهم أنفسهم ِبلغش واۡلداع .وِبهلل التوفيق” انتهى من “فتاوى
اللجنة الدائمة "(18/90 .
)3فتوى الشيخ عبد العزيز بن عبد هللا بن عبد الرْحن رْحه هللا:
السؤال :أريد أن أعقد على فتاة وأبوها ِف بلد آخر وَّل أستطيع اآلن
أن أسافر إليه لنجتمع مجيعا ْلجراء العقد وذلك لظروف مالية أو
غريها وأان ِف بالد الغربة فهل جيوز أن أتصل أببيها ويقول يل :
زوجتك ابنيت فالنة .وأقول :قبلت ،والفتاة راضية ،وهناك شاهدان
مسلمان يسمعان كالمي وكالمه مبكرب الصوت عرب اهلاتف ؟ وهل
يعترب هذا عقد نكاح شرعي ؟
اجلواب :توجه املوقع هبذا السؤال إَّل الشيخ عبد العزيز بن عبد هللا
رْحه هللا فأجاب أبن ما ذُكر إذا كان صحيحا ( ومل يكن فيه تالعب
) فإنه ُيصل به املقصود من شروط عقد النكاح الشرعي ويصح
العقد .
76
disebut dengan pernikahan via online, dan kami percaya kepada ilmu
Anda, semoga Allah memberkahi Anda, - anakmu, Muhammad Abu Ṣafā
al-Muhammadī-.
Yang terhormat muftī besar republik Irak, Shaikh Dr. Mahdī bin
Ahmad Al-Sumaida'ī -semoga Allah memberkatinya dan memberinya
kedamaian- menjawab :
40
Kasshāf al-Qinā’ Sharh kitab al-Iqnā’ karya Shaikh Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs al-
Bahūtī al-Hambali, salah satu ulama pakar fiqh madhhab hambalī pada zamannya, lahir
pada tahun 1000 H/1591 M dan wafat pada tahun 105i H/1641 M. lihat Khoiruddīn ibn
Mahmūd ibn Muhammad ibn ‘Alī ibn Fāris al-Ziruklī al-Dimashqī, al-‘Alām, jilid 7 (T.tp :
Dār Ilmī li al-Malāyīn, 2002), cet. ke-5, h. 307
77
semacam ini dengan dalih ihtiyāt (hati-hati), hal ini karena adanya
kemungkinan untuk meniru dan menjiplak suara sehingga terjadi sebuah
unsur penipuan, dan keputusan ini adalah yang difatwakan oleh lajnah
Dāimah li al-Iftā. Sebagian kelompok lainnya membolehkan pernikahan
semacam ini dengan syarat apabila aman dan terjaga dari unsur
manipulasi, pendapat ini seperti yang telah difatwakan oleh shaikh Abdul
‘Azīz ibn Abdullah ibn Abdurrohman rahimahullāh.
Oleh karena itu, secara ẓāhir (tampak) fatwa dari problem ini yaitu :
diperbolehkannya akad pernikahan via telepon ataupun internet (online)
jika dapat dipastikan terjaga dari unsur main-main, dapat dipastikan dari
wujud mempelai pria dan walinya, dan dua saksi akad tersebut dapat
mendengarkan ījāb dan qobūl. pendapat ini yang telah difatwakan oleh
shaikh Abdul ‘Azīz ibn Abdullah ibn Abdurrohman rahimahullāh seperti
sebelumnya, dan pendapat ini adalah hukum yang tersirat dari Lajnah
Dāimah li al-Iftā – yang mana lembaga ini melarangnya atas dasar ihtiyāt
(hati-hati) dan ditakutkannya ada unsur penipuan.
Dan barang siapa yang ingi mencari aman, maka orang tersebut
dimungkinkan untuk melaksanakan pernikahannya dengan cara
mewakilkan; mempelai pria atau wali dapat mewakilkan seseorang untuk
melaksanakan akad tersebut untuknya dihadapan dua orang saksi, berikut
adalah naṣ dari para ulama dari apa yang tekah kami isyaratkan
sebelumnya:
78
pernikahan dikarenakan adanya syarat penyaksian didalam akad
tersebut”.
79
keadaan wanita tersebut juga riḍa akan hal tersebut, dan ditempat wali
terdapat dua saksi yang mendengarkan ucapan saya dengan
menggunakan pengeras suara melalui telepon?, apakah akad seperti ini
diakui sebagai akad pernikahan yang shar’ī ?
٢1 :رقم الفتوى
41
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442
80
وبعد :فإن الزواج ِمن سنن املرسلي وشريعة رب العاملي ،وقد عنيت به
الشريعة عناية ِبلغة ،واهتمت إبنشائه على أسس سليمة تضمن استمراره
وحتقق أهدافه ،كما احتاط الشرع املطهر جبملة من اۡلحكام اليت تضمن
صحة هذا العقد ،وسالمته من العيوب واۡلخطاء ،ومن ذلك:
–توفر ركن الزواج ِمن ا ِْلجياب الصادر ِمن ويل املرأة ،وال َقبول الصادر من
الزوج ،وهذا الركن يتضمن الدَّللة على رضا طرِف الزواج ،وتوافُقهما.
-1إذن ويل الزوجة وموافقته؛ ۡلديث عائشة رضي هللا عنها قالت :قال
نكحت بغري إذن وليها
ْ رسول هللا صلى هللا عليه وسلم( :أميُّا امرأة
ِبطل ،فإ ْن دخل هبا فلها
فنكاحها ٌ
ُ ِبطل،
فنكاحها ٌ
ُ ِبطل،
فنكاحها ٌ
ُ
يل له)
ويل َمن َّل و ا
املهر مبا أصاب منها ،فإن تشاجروا فالسلطا ُن ُّ
ُ
أخرجه أْحد وأبو داود والرتمذي وابن ماجه ،وصححه اۡلاكم ووافقه
الذهيب.
شاه َد ْي عدل لعقد الزواج ،وذلك ۡلديث عائشة رضي هللا -٢حضور ِ
عنها قالت :قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلمَّ( :ل نكاح إَِّل بويل
ِ
وشاه َد ْي عدل) أخرجه ابن حبان والدارقطين.
81
ومما شهده العصر اۡلايل ثورة اَّلتصاَّلت والتقنيات اليت أصبح هلا أكرب
اۡلثر ِف حياة الناس ،حىت إهنا دخلت ِف أنواع التعامالت بيعاً وشراءً؛ فما
مدى مشروعية اَّلعتماد على هذه الوسائل ِف عقد الزواج؟
اۡلصل ِف عقد الزواج أن يكون بطريق مباشر حبضور طرِف عقدُ أوَّلً:
الزواج (الزوج وويل املرأة) ،مع الشهود ،وميكن عقد هذا الزواج ِف بلد
الويل شخصاً ِف بلد
الزوج أو الزوجة ،وإذا شق ذلك فيمكن أن يوك َل ُّ
الزوج فيعقد له مع حضور الشهود ،أو يوكل الزوج شخصاً ِف بلد الويل
ف يعقد له مع حضور الشهود ،وقد قرر أهل العلم جواز التوكيل ِف عقد
النكاح.
وميكن القول :إن عقد الزواج ِبلوسائل اۡلديثة؛ إما أن يقع ِبلكتابة
واملراسلة كالرسائل النصية والربيد اْللكرتوين ،وإما أن يكون ِبملراسلة
الصوتية ،وإما أن يكون ِبَّلتصال الصويت عرب اهلاتف أو برامج املكاملات
82
الصوتية ،وإما أن يكون ِبملكاملات املرئية اليت جتمع الصوت والصورة
(فيديو):
- 1فأما عقد الزواج ِبملكاتبة واملراسلة فال جيوز عند مجهور أهل العلم؛
َّلشرتاط التلفظ ِبْلجياب والقبول ،قال النووي ِف «روضة الطالبي»( :إذا
يصح ِف الغائب،
كتب ِبلنكاح إَّل غائب أو حاضر :مل يص اح .وقيلُّ :
وليس بشيء) ،وقال الدردير ِف «الشرح الصغري»( :وَّل تكفي اْلشارة وَّل
الكتابة إَّل لضرورةِ خرس).
- ٢وأما عقد الزواج ِبلرسائل الصوتية فهو َّل خيتلف عن املراسلة الكتابية؛
من حيث عدم احتاد اجمللس ،ووجود الفاصل بي اْلجياب والقبول ،وعدم
حضور الشهود لإلجياب والقبول ،فال جيوز عقد النكاح هبذه الطريقة ،قال
ابن قدامة ِف «املغين» ( :حكم اجمللس حكم حالة العقد ،فان تفرقا قبل
القبول :بطل اْلجياب؛ فإنه َّل يوجد معناه؛ فإن اْلعراض قد ُوجد من
جهته ِبلتفرق ،فال يكون قبوَّلً ،كذلك إذا تشاغال عنه ميا يقطعه؛ ۡلنه
ض عن العقد أيضاً ِبَّلشتغال عن قبوله) ،وقال النووي ِف «روضة ُمع ِر ٌ
الطالبي» ( :يشرتط املواَّلة بي اْلجياب والقبول على الفور؛ وَّل يضر
الفصل اليسري ،ويضر الطويل).
-3وأ ما إجراء عقد الزواج ِبَّلتصال اهلاتفي والربامج الصوتية فقد أجازه
مجع من أهل العلم املعاصرين بشرط توفر مجيع اْلجراءات اليت تضمن
ٌ
صحة العقد ،من وجود الويل والشاهدين ،والتأكد من شخصية الزوجي
83
ِبملعرفة أو السماع ،ومساع الشهود لطرِف العقد ِف جملس واحد َّل يكون
كل طرف كالم الطرف اآلخر ِف الوقت
فيه فصل أو انقطاع ،حبيث يسمع ُّ
نفسه ،فيكون اْلجياب من الويل أو وكيله ،ويليه ال َقبول من الزوج أو وكيله
على الفور ،مع اۡلمن من التدليس والغلط ،فلو اقتصر مساع الشهود على
اْلجياب الصادر من الويل فقط ،أو على القبول من الزوج مل يصح العقد.
ويرى اجمللس اۡلخذ هبذا القول بضوابطه املذكورة عند تعذر إجراء العقد
ِبلطرق املعتادة ،وتعذر التوكيل بعقد الزواج؛ مراعاة ۡلحوال السوريي،
ودفعاً للمشقة عنه.
- ٤وأما إجراء عقد النكاح ِبملكاملات املرئية فهو أوَّل ِبجلواز من
املكاملات الصوتية؛ ْلمكان مشاهدة طرِف العقد حال إبرام العقد والتلفظ
ِبْلجياب والقبول ،وَّلنتفاء اۡلداع واۡلطأ غالباً ،فيجوز إبرام عقود النكاح
هبذه الطريقة مع مراعاة الضوابط السابقة املذكورة ِف الفقرة السابقة.
ونؤكد على أمهية أخذ مجيع اَّلحتياطات الالزمة للتأكد من صحة هذا
الزواج ونفي الغش أو الغرر عنه ،ومنع اۡلالف حوله ِف املستقبل من:
التأكد من مساع مجيع اۡلطراف ملا جيرى ِف العقد ،وخاصة الشهود،
والتأكد من فهمهم لكل ما يقال ،إبعادة التلفظ به ،واحتفاظ كل طرف
مبا ميكن من إثبات هذا العقد سواء تسجيل صويت أو مرئي ،أو عقد
كتايب ،وحنو ذلك لتكون وسيلة إثبات عند اۡلاجة.
84
اثلثاً :إذا مل ُيصل العلم بتوفر اۡلركان والشروط ،أو وقع الشك فيه ،أو مل
يُتحقق من وجود أطراف الزواج ومساع بعضهم لبعض ،أو عدم القدرة على
مستمرا ،أو وجود ما يثري الريبة ،أو إمكانية
ً عقد جملس الزواج متصالً
حصول اۡلطأ أو وجود غرر أو تالعب ولو من أحد اۡلطراف :فيتعي
العدول عن إجراء العقد هبذه الوسائل ،واملصري إَّل التوكيل ِبلزواج.
رابعاً :يوصي اجمللس ِبۡلرص على توثيق عقود الزواج رمسياً ِف دوائر الدولة
اليت أُبرم فيها ،فقد تبي من خالل الوقائع املتعلقة ِبلسوريي ِف السنوات
املاضية أن عقد القران غري املوثق رمسياً تسبب مبشاكل كثرية ،وضياع
للحقوق ،واختالط لألمورَّ ،ل سيما ِف حاَّلت الفراق أو وجود شكاوى
أو خالف بي الزوجي ،وكثرياً ما يتعذر مجع الشهود أو إثبات العقد
بسبب ما مير به السوريون من عدم اَّلستقرار ،وقلة التقوى عند البعض،
مما ُيتم اَّلهتمام بتوثيق العقود ،واملسارعة إَّل ذلك ،حفظاً للحقوق،
ومنعاً للمفاسد ،وهللا تعاَّل أعلم ،واۡلمد هلل رب العاملي.
85
الشيخ حممد مجيل مصطفى.1٤ الشيخ عبد الرْحن بكور.٥
No Fatwa : 21
Jawaban : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat serta
salam tercurahlimpahkan kepada baginda kami, Muhammad Rasulallah,
dan kepada keluarganya, serta seluruh sahabatnya.
86
pernikahan ini, dan terhindar dari aib ataupun kesalahan, diantara hukum-
hukum tersebut :
Di antara hal-hal yang telah disaksikan oleh era saat ini adalah revolusi
komunikasi dan teknologi yang memiliki dampak terbesar pada kehidupan
masyarakat, hingga masuk kesemua aspek dan jenis mu’āmalah (transaksi)
jual beli; lantas bagaimana hukumnya secara shara’ atas akad pernikahan
yang dilaksanakan melalui alat komunikasi saat ini ?
87
wanita dapat mewakilkan seseorang untuk melakukakan akad tersebut di
tempat mempelai pria disertai dengan saksi, atau sebaliknya, mempelai pria
mewakilkan seseorang untuk melakukan akad tersebut untuknya di tempat
mempelai Wanita disertai dengan saksi. Para ulama fiqh telah memutuskan
bahwa proses akad dengan mewakilkan kepada seseorang untuknya
hukumnya adalah sah.
88
tidak adanya hukum ittiḥad al-majlis (satu tempat), adanya
penghalang antara ījāb dan qobūl, dan tidak adanya kehadiran saksi
untuk ījāb dan qobūl, maka daripada itu akad pernikahan dengan
cara seperti ini tidak diperbolehkan, ibn Qudāmah 42 dalam kitab “al-
Mughnī” berkata: (hukum majlis adalah hukum keadaan akad
tersebut, apabila kedua belah pihak berpisah sebelum qobūl terucap;
maka ījābpun batal (dianggap tidak sah); karena pada saat itu makna
yang berada dalam ījāb hilang; karena keengganan atas akad
tersebut terwujud dari bubarnya kedua belah pihak, maka tidak ada
ījāb, begitu juga apabila kedua belah pihak sibuk dengan hal yang
dapat memutus proses akad tersebut, karena orang tersebut juga
dinamakan enggan dengan akad tersebut, karena sibuk dengan hal
selain qobūl), an-Nawāwi43 dalam kitab “Rauḍah al-Ṭālibīn”
berkata: (disyaratkan keberlangsungan yang terus menerus degan
segera antara ījāb dan qobūl, dan adanya jeda yang ringan tidak
akan merusak akad, dan sebaliknya, jeda yang lama akan merusak
akad tersebut).
42
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah, Abu
Muhammad al-Maqdisī, al-Dimashqī, Lahir pada tahun 541 H dan wafat pada tahun 620 H,
Seorang Ulama dan faqīh dan Imam diantara ulama-ulama madhhab hambalī di zamannya,
salah satu kitab terkenalnya adalah al-Mughnī, lihat: Shamsuddin Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dhahabī, Siar A’lām al-Nubalā (Mesir – Dār al-
Hadīts, 2006), jilid 16, h. 149.
43
Nama lengkapnya adalah Yahya ibn Sharaf ibn Mirā ibn Hasan ibn Husen ibn
Hizām ibn Muhammad ibn Jum’ah al-Nawawī, lahir pada tahun 630 H dan wafat pada
tahun 676 H, salah satu imam besar dari pada ulama-ulama madhhab shāfi’ī, bahkan
seorang muhaqqid dan mujtahid murajjih, diberi gelar sebagai salah satu shaikhān setelah
imam al-Rāfi’ī, diantara karya-karyanya dalam ilmu fiqh yaitu, minhāj al-Tālibīn, Raudah
al-Ṭālibīn, al-Majmū’ sharh Muhadhdhab, al-Tahqiq dst. lihat: ‘Alī ibn Ibrāhīm ibn Dāud
‘Alā al-Dīn al-‘Aṭṭār, Tuhfah al-Ṭālibīn fī Tarjamah al-Imam Muhyiddīn (Yordania – al-
Dār al-Atsariyyah, 2007), cet. Ke 1, h. 39-50
89
maka terealisasinya ījāb dari wali atau wakilnya, dan setelahnya
qobūl dari mempelai pria atau wakilnya segera, disertai dengan tidak
adanya unsur penipuan ataupun kesalahan, maka seandainya para
saksi hanya mendengar ījāb dari wali saja, atau qobūl dari mempelai
pria saja, akad tersebut tidak dapat dikatakan sah.
90
akad tersebut dalam satu majlis secara terus menerus tanpa terputus,
adanya hal yang menimbulkan keraguan, adanya kemungkinan terjadinya
kesalahan, atau adanya penipuan atau manipulasi walaupun hanya dari
salah satu pihak: maka sudah dapat dipastikan akad tersebut berpindah,
dari yang awalnya menggunakan alat komunikasi kepada akad pernikahan
dengan cara mewakilkan.
Fatwa ini ditandatangani oleh anggota dewan yang merupakan para ulama :
91
10. Shaikh ‘Imāduddīn Khītī
92
BAB IV
Setiap dari kelompok baik itu yang pro dengan akad pernikahan ini
ataupun kontra, masing-masing dari mereka memiliki argumentasi yang kuat,
bahkan tiga lembaga fatwa dunia (Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā al-
‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī) , yang pada dasarnya condong untuk
memberikan fatwa sah atas pernikahan ini, dalam hal dalil dan
argumentasinya memiliki perbedaan satu sama lain.
93
bersamaan, yang mana pada awalnya fatwa ini ditujukan kepada
pertanyaan akan akad yang dilangsungkan via telekonferensi, yakni
telepon yang hanya dapat terhubung secara audio saja, tanpa disertai
dengan visual1.
1
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” (Mesir: T.pn, 1997)
Jilid 9, h.500.
2
Muhammad Muṣtafā Shalbī, Ahkām al-Usrah fi al-Islām Ḍirāsat Muqārnah Baina
Fiqh al-Madhāhib al-Sunniyyah Wa al-Madhhab al-Ja’farī Wa al-Qonūn (Beirut - al-Dār
al-Jāmi’iyyah, 1983 M), cet. Ke-4, Jilid 5 h. 111
94
pihak yang melakukan transaksi akad pernikahan yang terdiri dari ījāb
dan qobūl bisa terwujud, dan jika hal ini terwujud, maka dapat dikatakan
bahwa akad semacam ini hukumnya sah.
3
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, Fatāwā Dār, h.500.
4
Muhammad Ṣhidqī ibn Ahmad Abu Al-Hārits al-Ghazzī, Mausū’ah al-Qawā’id al-
Fiqhiyyah (Beirut – al-Muassasah al-Risālah 2003), cet ke 1, Jilid 1 h. 316
95
Ṣaqr -, beliau dalam fatwanya seringkali merujuk kepada buku Ahkām al-
Usrah fī al-Islām karya Muhammad Mustafā Shablī, yang mana buku ini
merupakan buku perbandingan antara al-Madhāhib al-Sunniyyah, al-
Madhhab al-Ja’farī dan al-Qōnūn.
5
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” diakses dari pada hari minggu 17
Oktober 2021 melalui https://www.h-iftaa.com/2019/07
96
secara adat; karena hal tersebut lebih menyerupai berpaling daripada
menyawabnya” 6.
6
Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs al-Bahūtī, Kashshāf al-Qinā’ sharh ‘an matn al-Iqnā’
(Beirut : ālam a-Kutub, 1983), cet ke-1, jilid 5, h.41
7
Qiyās adalah mengikutkan hukum hal yang sudah diketahui (fara’) kepada perkara
yang sudah diketahui (aṣl) karena sama-sama memiliki ‘illat yang sama. Lihat : Hasan ibn
Muhammad ibn Mahmūd al-‘Aṭṭār, hāsyiat al-‘aṭṭar al jam’ul jawāmi’ (t.tp – Dār al-Kutub
al’ilmiyyah, t.t), Jilid 2, h. 239.
8
Miftah farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum Islam” dalam jurnal
Jurisprudentie, vol.5 no.1, juni 2018, h. 180-181
97
kepada beberapa lembaga fatwa yang latar belakangnya bermadhhab
hambalī seperti Majma’ Fiqh al-Islāmī dan Lajnah Dāimah li al-Iftā,
begitu juga Al-Sumaida'ī dalam fatwanya ini merujuk pada kitab Kasshāf
al-Qinā’ Sharh kitab al-Iqnā’ karya Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs al-Bahūtī
al-Hambali, salah satu kitab pegangan madhhab hambali saat ini, begitu
juga beliau yang menguatkan perspepsi penulis bahwasannya latar
bekang fatwa ini adalah madhhab hambali adalaha kutipan yang di tulis
dalam fatwa ini yang bersumber dari argumen Abdul ‘Azīz ibn Abdullah
ibn Abdurrahman, yang merupakan salah satu tokoh Hambalī atau salaf
saat ini.
9
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, diakses pada hari
Minggu 12 Februari 2021 melalui http://sy-sic.com/?p=7442
98
dan syarat pernikahan tersebut akan menjadi lebih sulit dikarenakan
adanya jarak yang memisahkan kedua belah pihak yang akan melakukan
akad pernikahan, sehingga verifikasi akan ījāb ataupun qobūl yang
dilakukan oleh para saksi tidak semudah akad pernikahan biasa.
10
Mafhūm aulawy adalah salah satu jenis dari mafhūm muāfaqah, atau yang disebut
dengan fahwa al-khiṭāb, lahn al-khitāb, ataupun al-qiyās al-jaly, ialah sebuah masalah yang
tidak ditertulis hukumnya secara teks (naṣ), namun lebih pantas untuk diberikan hukum
yang sama dengan masalah yang memiliki hukum secara teks (naṣ), maka daripada itu
diberi hukum yang sama dengan yang sudah ada hukunya secara teks contohnya: firman
Allah ta’ālā “janganlah engkau berkata “ah” terhadap kedua orang tuamu”, ayat ini
mengandung larangan dan hukum haram mengatakan kata “ah” terhadap kedua orang tua,
namun perlakuan yang melebihi hal tersebut, seperti memukul, mencela dan hal lainnya
yang lebih buruk, juga dihukumi sama haramnya dengan penyebutan kata “ah” walaupun
hal ini tidak disebutkan dalam ayat tersebut. lihat: Muhammad ibn Husen ibn Hasan al-
Jīzāny, Ma’ālim Uṣūl Al-Fiqh ‘Inda Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jamā’ah (t.tp - Dār Ibn al-
Jauzy,1427 H), cet ke-5, h. 450.
99
hanya suara, namun para saksipun dapat melihat kedua belah pihak yang
sedang melaksanakan akad pernikahan tersebut.
100
yang melakukan akad, atau para saksi hanya mendengar suara salah satu dari
kedua pihak yang melakukan akad, maka akad tersebut tidak sah 11.
Dapat disimpulkan dari naṣ tiga lembaga fatwa tersebut bahwa ketiga
lembaga fatwa tersebut memiliki keputusan yang sama akan pernikahan
online, yaitu, walaupun pada dasarnya memiliki keputusan yang sama akan
hukum tentang akad pernikahan via online – yaitu sama-sama memberikan
fatwa sah terhadap akad tersebut - , namun setiap dari mereka memiliki
argumentasi yang agak sedikit berbeda-beda, yang mana hal ini disebabkan
dari latarbelakang pertanyaan masing-masing penanya yang berbeda beda.
Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah memberikan fatwa sah atas akad pernikahan via
online dengan argumen qā’idah al-fiqhiyyah “apabila māni’(penghalang)
hilang, maka hukum asal (yang dihalangi oleh māni’) kembali”. Hal ini
karena dilatarbelakangi oleh fatwa sebelumnya, yaitu fatwa tentang tidak
sahnya akad pernikahan via telekonferensi dengan alasan mudahnya unsur
manipulasi dan kesalahan dalam menverifikasi akad tersebut, lalu ketika
kesalahan dalam verifikasi atau manipulasi dapat ditanggulangi dalam akad
pernikahan via online dengan bantuan video visual dan audio secara
bersamaan, maka māni’ tersebut (kemungkinan kesalahan dalam verifikasi
atau manipulasi) hilang, sehingga akad pernikahan ini dapat dikatakan sah
oleh hukum Islam.
sic.com/?p=7442
ِ اض ِه عَ ِن الَْقب
،ول ِ وهو ما أَ ْشعر إبِِ ْعر،ضُّر الطا ِويل
ُ َ َوي،ُص ُل الْيَ ِسري ِ ط الْ َقب
ُ َ فَ َال ي،ول عَلَى الْ َف ْوِر
ْ ضُّر الْ َف ِ ِ ال ا12
ُ َ ََ َ َ ُ َ ُ ُ ُ يح ا ْش َرتا ُ صح
ِ ِ
.اسا َنَ وف ِِف طَ ِري َق َِيت الْعَراق َو ُخ َر
ُ فَ َه َذا ُه َو ال َْم ْع ُر
Yang benar : disyaratkan keberlangsungan yang terus menerus degan segera antara
ījāb dan qobūl, dan adanya jeda yang ringan tidak akan merusak akad, dan sebaliknya,
jeda yang lama akan merusak akad tersebut, dan hal tersebut adalah segala yang
memiliki unsur penolakan, dan pendapat ini adalah pendapat yang sudah diketahui
(ma’rūf)dikalangan 2 ṭariqah, yakni ulama fiqh irāq dan khurasān”, lihat : Yahyā ibn
101
‘Irāqiyah yakni Dr. Mahdī bin Ahmad al-Sumaida'ī mengikuti pendapat
madhhab hambali yang tidak mensyaratkan muālāh (berkesinambungan),
sehingga akad pernikahan jarak jauh melalui alat komunikasi baik itu
telekonferensi atau video conference (online) dianggap masih dalam satu
majlis, oleh karena itu al-Sumaida'ī tidak membedakan hukum antara akad
yang dilangsungkan via telekonferensi atau video conference (online), kedua
akad ini dihukumi sah karena makna ittihād al-majlis dapat tercapai.
Oleh karena itu, pada akhir fatwa ini, selain lembaga fatwa ini
menghimbau agar benar-benar mengambil seluruh langkah jaga-jaga dan
kehati-hatian, juga menyebutkan jika saja diakad ini terjadi sebuah keragu-
raguan atau kecurigaan adanya manipulasi maka secara spontan akad ini
dianggap tidak sah, dan diulang dengan cara mewakilkan seseorang untuk
melakukan akad secara langsung tatap muka dengan salah satu kedua belah
pihak, baik itu mempelai pria ataupun wali dari mempelai wanita. Kehati-
hatian ini dilakukan demi menjaga sisi kesakralan akad pernikahan sebagai
ibadah yang disebutkan dalam al-Qurˋān sebagai janji dan ikatan yang sangat
kuat (mītsāqan ghalīẓā) dan bukan hanya sebagai transaksi mu’āmalah
biasanya13.
102
Tabel 1.
No Perbandingan
Ḍār Al-Iftā Ḍār al-Iftā al-Majlis al-
al-Miṣriyah al-‘Irāqiyah Islamī al-Sūrī
al-Madhāhib
al-Madhāhib
al-Arba’ah
al-Arba’ah
Latar Belakang (Hanafī, Madhhab
1 (Hanafī,
Madhhab Mālikī, Hambalī
Mālikī, Shāfi’ī
Shāfi’ī dan
dan Hambalī)
Hambalī)
Qiyas (Mafūm
2 Dalil shar’ī Qiyas Qiyas
Aulawy)
Syarat
5 berkesinambungan Wajib Tidak Wajib
dalam akad
Hukum fatwa
6 Boleh Boleh Boleh
pernikahan online
103
C. Aplikasi Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī terhadap Fatwa Akad Penikahan
Online yang Diterbitkan oleh Lembaga Fatwa Dunia
Terlepas dari pro dan kontra akan keabsahan akad pernikahan online
ini, terdapat hal yang sangat mengakar dari problem kontemporer ini, yaitu
keberadaan maṣlaḥah mu’tabarah dari terealisasinya akad pernikahan online
ini, karena tujuan umum dan yang mendasar dari penshari’atan hukum Islam
itu tiada lain adalah untuk mewujudkan atau menjaga maṣlaḥah manusia itu
sendiri yang meliputi maṣlaḥah agama, jiwa, akal, nasab, dan harta, tidak
terkecuali di era globalisasi seperti ini 15. Maka daripada itu, kaidah umum
daripada diterapkanyanya sharī’at Islam adalah mendatangkan maṣlaḥah dan
menolak mafsadah.
14
Helmi Basri, Epistemologi Fiqih Nawazil Metode Penyelesaian Problematika
Kontemporer, (T,tp.: Guepedia The First On-Publisher in Indonesia, 2020), h. 10-16
15
Muhammad Machsun, “Urgensi Maqasid Syariah Dalam Merespon Perubahan Di
Era Revolusi Industri 4.0” dalam jurnal Contemplate: Jurnal Ilmiah Studi Islam Vol. 1 No.
01 Januari-Juni 2020, h. 62
104
Dalam mengkaji permasalahan akad pernikahan online yang
merupakan salah satu dari permasalah fiqh nawāzil (kontemporer), melalui
sudut padang maqāṣid al-sharī’ah / maṣlaḥah bukanlah perkara yang mudah
dipecahkan, karena maṣlaḥah adalah sebuah cabang ilmu dari rumpun ilmu
uṣul fiqh, yang mana tidak terhenti dalam maqāṣid al-sharī’ah / maṣlaḥah
melainkan diperlukan juga pembatasan-pembatasan ilmu uṣul fiqh -khususnya
qiyas- dalam menela’ahnya, sehingga terwujudlah maṣlaḥah mu’tabarah yang
dikehendaki oleh shāri’16.
16
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo: Mu’assasah al-
Risālah), h. 115-118
17
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 6
105
1. Berada dalam cakupan dan ruang lingkup maqāṣid sharī’at (tujuan
diterapkannya hukum islam)
seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa kata “ ِم ْي ثَاقا
18
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 119
106
antar manusia dan sang pencipta yakni terdapat unsur ibadah (ta’abbudī)
didalamnya.
19
Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmūd Hāfidh al-Dīn al-Nasafī Abu al-Barakāt,
Madārik al-Tanzīl wa Haqāiq al-Ta’wīl (Beirut: Dār Kalim, 1998) cet. 1, jilid 1, h. 334
20
Berikut adalah ayat-ayat didalam al-Qur’an yang terdapat kata “”ميثاق: Q.S. al-
Baqarah [2]: 83, Q.S. al ‘Imrān [3] :81,187, Q.S. al-Nisā [4]: 12, 90, 92, 154, Q.S. al-
Māidah [5]: 12, 70, Q.S. al-A’rāf [7]: 169, Q.S. al-Anfāl [8]: 72 Q.S. al-Ahzāb [33]: 7
21
Muhammad, ibn Muhammad Abū Hāmid al-Ghazāli, al-Wasīṭ fī al-Madhhab,
(Cairo: Dār al-Salām, 1417 H), Jilid 3, h. 10
107
mu’āmalah pada umumnya dan perzinahan 22. Maka daripada itu, jikalau
lafadh dan mas kawin (mahr) dalam akad pernikahan saja terdapat unsur
ibadah yang begitu kental yang mana menjadi pembeda antaranya dengan
transaksi mu’amalah pada umumnya, maka menurut penulis tidak jauh
juga apabila katakana bahwasannya tatacaranya dan praktek dari akad
pernikahan itu sendiri pun terdapat unsur ibadah yang tidak dapat dirubah
oleh manusia dengan sekehndaknya hanya karena dalih bahwasannya
zaman telah berubah, dan tekhnologi telah berkembang.
22
Abdul Malik ibn Abdullah, ibn Yūsuf ibn Muhammad al-Juwaini Abu al-Ma’āli al-
Imam al-Haramain, Nihāyat al-Maṭlab fī Dirāyat al-Madhhab (T.tp: Dār al-Minhāj, 2007)
cet. 1, Jilid 13, h. 100
23
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442
108
maka akad tersebut dikatakan tidak sah, karena jika tetap dikatakan sah,
maka yang pada awalnya ingin mendatangkan maṣlaḥah di sudut pandang
hifẓ al-nafs (menjaga jiwa), bisa menjadi terbalik yang mendatangkan
mafsadah.
Ketiga, dari sudut pandang hifẓ al-‘aql (menjaga akal) fatwa akad
pernikahan online bisa mejadi sebuah jembatan untuk menjaga akal
seseorang. Hal ini dapat di ilustrasikan kepada seseorang yang sangat
membutuhkan melakukan pernikahan namun tidak dapat dilakukan karena
jarak yang memisahkan mempelai pria dan wali mempelai wanita, yang
mana apabila dibiarkan menunda pernikahan besar kemungkinan orang
tersebut jatuh dalam perbuatan yang buruk, entah itu perzinahan ataupun
meminum minuma keras demi menutupi kebutuhan biologisnya. Maka
daripada itu, ulama banyak yang menganggap dengan pernikahan akal
seseorang akan lebih sehat dan berpikir positif yang terhindar dari penyakit
gila, seperti yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Haramain dalam
kitabnya Nihāyat al-Maṭlab fī Dirāyat al-Madhhab, beliau berkata24:
Tidak diragukan lagi, saat tiga lembaga fatwa ini membolehkan akad
pernikahan online ini karena milhat situasi dan kondisi yang bertanya,
dimana saat fatwa tersebut terbit dan dipaparkan kepada pihak yang
bersangkutan telah dikaji dan dibuat batasan-batasannya, seperti yang
dilakukan oleh muftī Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah yang pada permulaan
fatwanya, beliau jelas-jelas menolak atas akad pernikahan via
telekonferensi yang hanya dapat disaksikan suaranya saja, dan ketika
beliau membuat pertimbangakn jika saja akad tersebut bukan hanya audio
yang dapat disaksikan, melainkan secara visual dan real time juga, maka
24
Al-Juwaini, Nihāyat al-Maṭlab, h. 43
109
pada saat itu akad tersebut dapat dikatakan sah secara hukum Islam,
dengan syarat terbebas dari dugaan manipulasi25.
25
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, Fatāwā Dār al Iftā’, h.500
26
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadhā, Vol. 5 no. 1 Juli
2018, h. 11
110
pada itu Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong hal tersebut
dengan bersabda27:
27
Sulaiman ibn al-Ash’ats ibn Ishaq Abu Dāūd, Sunan Abi Dāūd (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabī, Tp. Th), no: 2052 h. 175
28
Saʻīd Ramāḍan al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo:
Mu’assasah al-Risālah), h. 121
111
pasal 45 (pidana), atau yang lainnya.29. Dengan demikian, keraguan dan
ketakutan dari sebagian pihak akan akad pernikahan online yang mana
rentan akan manipulasi -khususnya pihak perempuan- akan teratasi dengn
payung hukum tersebut.
29
Miftah Farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum” dalam Jurisprudentie Vol.
5 No. 1 Juni 2018, hal. 180
30
Muhazir, “Aqad Nikah Pespektif Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam” dalam Al-
Qadhâ Vol. 6, No. 2, Juli 2018, h. 32
112
tidak dapat dipertanggung jawabkan ataupun di angkat ke pengadilan.
Maka dari pada itu, sesuai dengan qāidah fiqhiyyah yang berbunyi31:
31
Ibrāhīm Ibn Mūsá Ibn Muhammad al-Lumakhī, Al-Shāṭibī, Al-Muwāfaqāt Fī Uṣūl
al- Sharī’ah (Bairut: Dār al-Kutub al-ʻilmiyah 2003), Jilid 6, h. 446
32
Holilul Rohman, “Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Syariah,” dalam
Jurnal Of Islamic Studies and Humanities, UIN Sunan Ampel, Vol. 1, No. 1, (2016), h. 79-
82
113
pendapat ulama yang membolehkan dari segi hukum islam, namun dari sisi
maṣlaḥah kedepannya juga menjadi sebuah pertimbangan yang sangat
serius, sehingga menjaga celah apapun dari mafsadah yang timbul
dikemudian hari lebih dikedepankan daripada merauk maṣlaḥah yang
sifatnya sementara. Hal ini sesuai dengan salah satu qā’idah fiqhiyyah dari
qawā’id al-khamsah yang berbunyi 33:
الضرر يزال
33
Abdurrahmān ibn Abi Bakr, al-Suyūṭī, al-Ashbāh wa al-Nadzā’ir, (Tp.tp: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1990, h. 83
34
Abdul Kholik, “Konsep Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Quraish Shihab” dalam
INKLUSIF Vol 2. No. 4 Des 2017, h. 18
114
اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل ِ ِ
ً آايته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو
ِِ وِمن
َ ْ َ
)٢1( ك َآل َايت لَِق ْوم يَتَ َف اك ُرو َن ِ
َ بَْي نَ ُك ْم َم َوادةً َوَر ْْحَةً إِ ان ِِف ذَل
35
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 136.
36
Abdul Wahid, “Kafâ`ah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan
Yordania (Perspektif Teori Maslaẖah dan Kaidah Perubahan Hukum al-Bûṯy)” (Tesis S2
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021),
h. 139-141
115
sebagai mafsadah yang mana tidak dianjurkan bahkan dilarang agama,
seperti jenis pernikahan misyār37.
37
Busyro, “Menyoal Hukum Nikah Misyār Dalam Potensinya Mewujudkan Maqāṣid
Al-Asliyyah Dan Al-Tabi’iyyah Dalam Perkawinan Umat Islam” dalam Al-Manāhij jurnal
kajian hukum Islam, vol. XI no. 2, Desember 2017
38
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadhā, Vol. 5 no. 1 Juli
2018, h. 11
116
(keputusan) yang disandarkan dengan sanad39 yang mana sanad tersebut
tersambung kepada Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik itu
diriwayatkan secara mutawātir atau āḥād40.
39
Sanad adalah pemberitaan tentang silsilah sebuah isi hadits. Lihat al-Suyūṭī, tadrīb
al-Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 1 (T.tp: ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 27
40
Sunnah al- Mutawātir adalah sunnah yang dinukil dan disampaikan oleh sejumlah
perawi yang tidak mungkin dengan jumlah mereka untuk melakukan sebuah kebohongan
serentak. Sedangkan sunnah āḥād yaitu kebalikan dari mutawatir Lihat al-Suyūṭī, tadrīb al-
Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 2 (T.tp: Ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 627
41
H.R. Al-Baihāqī, al-Sunan al-Kubrā, No: 13720, Jilid 7, h. 203
117
“Dari al-Hasan, bahwasannya Rasulallah shallallāhu ‘alaihī wa
sallam bersabda: tidak ada sebuah pernikahan (yang sah menurut
shara’) kecuali dengan keberadaan seorang wali dan dua orang saksi
yang adil, dan jika ada sebuah pernikahan tanpa hal tersebut, maka
pernikahan tersebut tidak sah”(H.R. Ibn Ḥibbān).42
42
H.R. Ibn Ḥibbān, al-Ihsān fī Taqrīb ṣahīḥ ibn ḥībbān, No: 4075, Jilid 9, h. 386
43
H.R. Al-Dār al-Quṭnī, al-Sunan al-Dār al-Quṭnī , No: 3529, Jilid 4, h. 321
44
H.R. Tirmdhi, Sunan al-Tirmidhi , No: 1103, Jilid 3, h. 403
45
Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī Wa Adillatuh (Damaskus: Dār al-Fikr, 1984),
Jilid 7, h. 70
118
mengatakan bahwasannya yang membedakan antara pernikahan dan
perzinahan adalah al-shuhūd (kesaksian)46.
46
Ahmad ibn al-Husain Abū Bakr al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār al-
Kutub Ilmiyyah, 2003), Jilid 7, h. 202.
47
Mahardika Putera Emas, “Problematika Akad Nikah Via Daring dan
Penyelenggaraan Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19” dalam Batulis civil law
review, vol. 1 no. 1, November 2020, h. 74
48
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442
119
hemat penulis fatwa seperti ini tidak dapat dipakai dan diterbitkan di
masyarakat umum, karena dikhawatirkan akan digunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab, dan menimbang bahwa unsur manipulasi yang
berada dalam akad pernikahan online tidak akan sepenuhnya hilang
sehingga kesaksisannya tidak dapat dikatakan seratus persen benar, maka
daripada itu mngambil jalan ihtiyāṭ (kehati-hatian) dalam persoalan
pernikahan itu lebih dikedepankan daripada melihat maṣlaḥahnya.
120
Gambar 1:
Pemeliharanan maṣlaḥah
Qiyās Maṣlahah
mursalah
50
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, Fatāwā Dār al Iftā’, h.500,lihat juga: Al-Majlis al-Islāmī
al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-sic.com/?p=7442
121
Wahbah zuhailī menjelaskan dalam bukunya al-Fiqh al-Islāmī Wa
Adillatuh bahwasannya yang dimaksud majlis akad pernikahan dalam akad
dengan menggunakan tulisan adalah majlis saat pembacaan tulisan tersebut
dihadapan para saksi, atau saat mendengar tulisan yang dibawakan oleh
pengantar surat dihadapan saksi, jika hal tersebut terealisasi maka pada saat
itulah disebut sebagai dengan ittihād al majlis51. Maka dari pada itu, akad
pernikahan yang dilangsungkan via online menurut Ḍār al-Iftā al-’Irāqiyah
tidak perlu adanya berkesinambungan antara ijāb dan qobūl52, karena
ittihād majlis yang dimaksud dalam pernikahan online diqiyaskan dengan
ittihād al majlis yang berada dalam akad pernikahan menggunakan tulisan
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
51
Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī, h. 50
52
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah”, https://www.h-
iftaa.com/2019/07
122
maqāṣid al-sharī’ah adalah dengan menganalisa tingkat urgensitasnya
perkara tersebut.
53
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 128
54
Muhammad ibn al-Khaṭīb al-Shirbīnī, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat Ma’ānī
Alfādh al-Minhāj, (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1997) cet. 1, Jilid 3, h.170
55
Muhammad ibn Yazīd al-Qazwīnī Abu Abdillah ibn Mājah, Sunan ibn Mājah, (t.tp:
Dār al-Jīl, 1998), Nomor Hadīts 1846, Jilid 3, h. 300
123
“Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan
sunnahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena
sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang
lainnya”(H.R. Ibn Mājah).
56
Muhammad ibn al-Khaṭīb al-Shirbīnī, Mughnī al-Muhtāj ilā ma’rifat ma’ānī alfādh
al-minhāj, (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1997) cet. 1, Jilid 3, h.168-170, lihat juga: Muṣṭafā ibn
Ahmad ibn ‘Abd Nabī, Abu Hamzah al-Shāfi’ī, Mu’nis al-Jalīs bi Sharh al-Yāqūt al-
Nafīs,(tp.tp: Dār Tsamarāt al-‘Ulūm, 2020) cet. 2, Jilid 2, h. 138-139
124
Selanjutnya, menurut penulis dari hasil penelitiannya, menghasilkan
bahwa yang melatarbelakangi terbitnya fatwa keabsahan pernikahan online
dari tiga lembaga ini adalah terdapatnya sebuah mashaqqah pada beberapa
orang dalam melaksanakan akad pernikahan secara tatap muka langsung,
sehingga terpaksa untuk melakukannya secara online. Maṣlaḥah yang
mungkin didapatkan dari akad pernikahan online ini, tidaklah bukan
kecuali untuk memudahkan seseorang melakukan akad pernikahan, tanpa
harus terhalang oleh jarak yang memisahkan kedua pihak yang akan
melakukan akad pernikahan tersebut. Apalagi pada saat pandemi seperti
ini, kasus-kasus akad pernikahan online yang sebelumnya menjadi hal yang
tabu dan jarang terjadi, namun pada masa-masa pandemic COVID-19 akad
pernikahan ini mulai sering terjadi, hal ini dikarenakan adanya peraturan
dan anjuran pemerintahan untuk tidak melakukan kerumunan yang begitu
banyak, anjuran penundaan pernikahan57, dan peraturan lainnya yang
menjadikan pertemuan tatap muka menjadi semakin sulit, membuat
sebagian kelompok terpaksa melakukan akad pernikahan via online ini.
57
Hari Widiyanto, “Konsep Pernikahan Dalam Islam: Studi Fenomenologis
Penundaanpernikahan Di Masa Pandemi”, dalam Islam Nusantara, Vol. 04, No. 01,
Januari-Juni 2020, h. 108
58
Wahibatul Maghfuroh, “Akad Nikah Online Dengan Menggunakan Via Live
Streaming Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah (JAS), Vol.
3 No. 1 Tahun 2021, h. 96-97
125
kondisi pelaku atau pihak yang akan melakukannya sesuai dengan tingkat
kebutuhannya terhadap pernikahan itu sendiri, seperti yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, maṣlaḥah ini bisa menjadi tingkat ḍarūriyyāh,
hājiyyah ataupun tahsīniyyah menyesuaikan dengan situasi dan kondisinya.
59
Muhammad Musṭafā al-Zuhailī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Taṭbīqātuhā Fī al-
Madhāhib al- ‘Arba’ah, (Damaskus; Dār al-Fikr, 2006)
126
berkaitan seperti yang telah disebutkan oleh al-Būṭī, karena secara tidak
langsung ketika maṣlaḥah ḍarūriyyāh dalam pernikahan terpenuhi yang
merupakan daripada hifẓ nafs dan nasl, maka maṣlaḥah ḍaruriyyah dalam
hifẓ al-dīn pun terwujud, begitupun sebaliknya.
60
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, diakses pada hari
Minggu 12 Februari 2021 melalui http://sy-sic.com/?p=7442
127
Pandangan penulis ini sesuai dengan qā’idah fiqhiyyah yang
berbunyi61:
الضرر يزال
61
Abdurrahmān ibn Abū Bakr al-Suyūṭī, al-Ashbāh wa al-Nadzā’ir, (Tp.tp: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1990, h. 87
62
Al-Suyūṭī, al-Ashbāh, h. 83
128
Tabel 2
Tingkatan
Kebutuhan maṣlaḥah
Hukum Akad
manusia berdasarkan Qā’idah
pernikahan
terhadap urgensi Fiqhiyyah
online
pernikahan kebutuhan
manusia
Wājib dan sah
dengan syarat
tidak dapat
melakukan akad
الضرورة
Tidak dapat di pernikahan secara
tunda lagi, jika tatap muka تقدر بقدرها
ditunda akan langsung atau
Ḍarūriyyah
terjerumus dalam wakālah, dan
perzinahan dan tidak adanya
maksiat lainnya keraguan
sedikitpun akan
adanya unsur
manipulasi saat
akad dilaksanakan
hingga berakhir.
Memiliki Tidak sah, karena
raghbah (hasrat) berbenturan
untuk menikah, dengan maṣlaḥah درء املفاسد
dan mampu ḍaruriyyah yang
untuk menafkahi lebih utama, yaitu
أوىل من
Hājiyyah
lahir dan batin, menjaga hak dan جلب
dan jika ditunda keturunan yang
tidak akan dimungkinkan املصال
menyebabkan hilang karena
terjerumus dalam status pernikahan
129
perzinahan dan yang belum resmi
maksiat lainnya dan tidak ada
payung hukum
yang menaunginya
secara khusus
Tidak sah, dan
bahkan bisa
menjadi haram,
Tidak memiliki
raghbah (hasrat) Tahsīniyyah
karena tidak ada
الضرر يزال
maṣlaḥah
untuk menikah.
mu’tabarah yang
dituju dalam akad
tersebut.
63
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442
130
Berdasarkan uraian di atas, maka Keberadaan fatwa akad pernikahan
online yang diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa ini telah bertentangan
dengan maṣlaḥah yang lebih utama, sehingga tidak bisa dikategorikan
sebagai maṣlaḥah yang haqīqī perspektif al-Būṭī.
131
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
132
qawā’id al fiqhiyyah yang berbunyi: “املمنوع ”إذا زال املانع عاد (apabila
133
menyebabkan terjerumus dalam perzinahan dan maksiat lainnya, maka
akad pernikahan via online dalam keadaan ini tidak sah, karena
berbenturan dengan maṣlaḥah ḍaruriyyah yang lebih utama, yaitu
menjaga hak dan keturunan yang mana dimungkinkan hilang karena
status pernikahan yang belum resmi dan tidak ada payung hukum yang
menaunginya secara khusus. Selanjutnya, terakhir apabila kebutuhan
terhadap sebuah pernikahan berada pada tingkat tahsīniyyah, yakni tidak
tidak memiliki raghbah (hasrat) untuk menikah, maka akad pernikahan
via online tidak dapat dikatakan sah, dan bahkan hukum
melaksanakannya bisa mnejadi haram hal ini dikarenakan tidak ada
maṣlaḥah mu’tabarah yang dituju dalam akad tersebut.
B. Saran
1. Saran teoritis
2. Saran Praktis
134
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abu Dāūd, Sulaiman ibn al-Ash’ats ibn Ishaq, Sunan Abi Dāūd (Beirut: Dar
al-Kitab al-‘Arabī, Tp. Th)
Abu Hamzah al-Shāfi’ī, Muṣṭafā ibn Ahmad ibn ‘Abd Nabī, Mu’nis al-Jalīs bi
Sharh al-Yāqūt al-Nafīs,(tp.tp: Dār Tsamarāt al-‘Ulūm, 2020)
Al-‘Aṭṭār , ‘Alī ibn Ibrāhīm ibn Dāud ‘Alā al-Dīn, Tuhfah al-Ṭālibīn fī
Tarjamah al-Imam Muhyiddīn (Yordania – al-Dār al-Atsariyyah, 2007)
al-Bahūtī, Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs Kashshāf al-Qinā’ sharh ‘an matn al-
Iqnā’ (Beirut : ālam a-Kutub, 1983)
Al-Baihaqī, Ahmad ibn al-Husain Abū Bakr, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār
al-Kutub Ilmiyyah, 2003)
Al-Bājūrī, Ibrāhīm Ibn Muhammad, Hāshiah ʻala Sharh Ibn Qāsim al-Ghazzi,
Jilid 2 ( Libanon: Nūr al-Ṣabāh, 2015) cet. 1
135
Al-Būṭī, Saʻid Ramāḍan, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Īslāmiyyah
(Cairo: Mu’assasah al-Risālah)
Al-Dār al-Quṭnī, Ali Ibn ‘Umar Abu al-Hasan al-Baghdādī, Sunan al-Dār al-
Quṭnī, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1966)
Al-Jīzāny, Muhammad ibn Husen ibn Hasan, Ma’ālim Uṣūl Al-Fiqh ‘Inda Ahl
Al-Sunnah Wa Al-Jamā’ah (t.tp - Dār Ibn al-Jauzy,1427 H)
Al-Juwaini Abu al-Ma’āli, Abdul Malik ibn Abdullah, ibn Yūsuf ibn
Muhammad, Nihāyat al-Maṭlab fī Dirāyat al-Madhhab (T.tp: Dār al-
Minhāj, 2007) cet. 1
Al-Nasāˋī, Aḥmad bin Syuʻaib, Sunan al-Nasāˋī (Beirūt: Dār al-Kutub al-
ʻIlmiyyah, 1971), No. 5005, Jilid 4
Al-Nasafī Abu al-Barakāt, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmūd Hāfiẓ al-Dīn,
Madārik al-Tanzīl wa Haqāiq al-Ta’wīl (Beirut: Dār Kalim, 1998)
Al-Nawawī, Muhammad ibn Umar Murāh Labīd li kashf ma’nā al-Qur’ān al-
Majīd (Beirut, Dār al-kutub al-ilmiyyah, 1417 H)
136
Al-Qazwīny, Ahmad ibn Fāris, Hilyat al- Ulamā (United Distribution
Company - Beirut)
Al-Shaukānī, Muḥammad ibn ‘Alī, Irshād al-Fuḥūl ilā Taḥqīq al-Haq min
ˋIlm al- Uṣūl (Beirūt: Dār al-Kutub al-ˋIlmiyyah, 1999), Jilid 2
Al-Zabīdī, Muhammad ibn Muhammad Murtaḍā Tāj al-Arūs Min Jawāhir al-
Qāmūs (Dar al- Hidāyah)
Al-Ziruklī, Khoiruddīn ibn Mahmūd ibn Muhammad ibn ‘Alī ibn Fāris al-
Dimashqī, al-‘Alām, jilid 7 (T.tp : Dār Ilmī li al-Malāyīn, 2002)
137
Al-Zuhailī, Muhammad Musṭafā, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Taṭbīqātuhā Fī
al-Madhāhib al- ‘Arba’ah, (Damaskus; Dār al-Fikr, 2006)
Ibn Mājah, Muhammad ibn Yazīd al-Qazwīnī Abu Abdillah, Sunan ibn
Mājah, (t.tp: Dār al-Jīl, 1998)
Ibn Manẓūr, Muḥammad ibn Mukrom, lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Maʻārif,
t.t.), Jilid 27
Jamal al-Bannā, Ahmad al-Dīn, Naḥwa Fiqh Jadīd, (Kairo: Dār al-Fikr al-
Islāmī, 1997)
138
Khalāf, Abdul Wahhāb, ʻIlm Usūl Fiqh wa Khulasah al-Tasyrīʻ al-
Islāmī, (Kairo: Dār al-Fikr al-ʻArabī, 1996)
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004)
139
Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,
2020)
C. Jurnal Ilmiah
Aiman, Andi Muhammad, & dkk, “Ramadhan Al-Buti, Riwayat Hidup Dan
Beberapa Aspek Sumbangan Pemikirannya”, dalam At-Tahkim, Vol. 8,
No. 23, Juli 2018
Alwi, Muhammad dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Telekonferensi di Indonesia”, dalam Indo Islamika, Volume 10, No 2,
Thn 2020.
140
Arfan, Abbas, “Maṣlaḥah dan Batasan-Batasannya Menurut Al-Būṭī de jure”,
dalam Jurnal Syarīʻah dan Hukum, Vol. 5 No.1, Juni 2013.
Ashar, “Akad Nikah Via Internet” dalam Mazahib Jurnal Pemikiran Islam,
Vol. 11 No. 1 Juni 2013
Az Zafi, Anny Nailatur rohmah dan Ashif “Jejak Eksistensi Mazhab Syafi`i di
Indonesia” dalam Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Vol. 8 No. 1, Juli 2020
Farid, Miftah, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum Islam” dalam jurnal
Jurisprudentie, vol.5 no.1, juni 2018
141
Machsun, Muhammad, “Urgensi Maqasid Syariah Dalam Merespon
Perubahan Di Era Revolusi Industri 4.0” dalam jurnal Contemplate:
Jurnal Ilmiah Studi Islam Vol. 1 No. 01 Januari-Juni 2020
Muhazir, “Aqad Nikah Pespektif Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam” dalam
Al-Qadhâ Vol. 6, No. 2, Juli 2018
Sarif, Akbar & dkk., “Konsep Maṣlaḥah Dalam Kompilasi Hukum islam
(Khi): Satu Tinjauan Syarak Ke Atas Larangan Pernikahan Antara
Agama Malasyian”, dalam Journal of Syariah and Law, Vol. 6
Desember 2017.
142
D. Majalah dan Surat Kabar
Fuad, Ahmad Akbar Viral Sepasang Pengantin Menikah via Video Call gara-
gara Virus Corona”, artikel diakses pada 21 November 2021 dari
https://www.liputan6.com/regional/read/4211432/viral-sepasang-
pengantin-menikah-via-video-call-gara-gara-virus-corona
Hengki, Ferdiansyah, Jasser Auda: Imam al-Ghazali Masa Kini, diakses pada
Jum’at 19 Februari 2021 dari
http://www.muslimedianews.com/2016/08/jasser-auda-imam-al-
ghazali-masa-kini.html ,
143
Saoisa, Hellena “Terpisah Ribuan Kilometer Karena Pandemi Corona,
Pasangan Indonesia Australia Tetap Menikah Lewat Zoom”, diakses
pada hari Jum’at, 18 Desember 2020 dari
https://www.abc.net.au/indonesian/2020-07-01/pasangan-indonesia-
dan-australia-menggelar-akad-nikah-lewat-zoom/12407008
144