Anda di halaman 1dari 147

APLIKASI KONSEP MAṢLAḤAH AL-BŪṬĪ ATAS FATWA

LEMBAGA-LEMBAGA FATWA DUNIA TENTANG


AKAD PERNIKAHAN ONLINE

TESIS
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
Salah Satu Syarat untuk Memperolah Gelar Magister

Oleh:
Bagus Haziratul Qodsiyah
NIM : 21191200000052

Pembimbing:
Dr. Asmawi, M.Ag
NIP : 197210101997031008

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Permasalahan .................................................................................... 10
1. Identifikasi Masalah ..................................................................... 10
2. Perumusan Masalah ..................................................................... 11
3. Pembatasan Masalah .................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 12
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 12
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 12
F. Metode Penelitian ............................................................................. 16
1. Jenis Penelitian ............................................................................ 16
2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 18
3. Teknik Analisis Data ................................................................... 18
4. Teknik Penulisan ......................................................................... 19
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 19
BAB II MUHAMMAD SA’ĪD RAMAḌĀN AL-BŪṬĪ DAN GAGASAN
PEMIKIRAN MAṢLAḤAH ................................................................................ 21
A. Biografi Muhammad Sa’īd Ramaḍān Al-Būṭī .................................. 21
1. Masa Kelahiran dan Pertumbuhannya.......................................... 21
2. Pendidikan Al-Būṭī ...................................................................... 24
3. Hasil Karya Al-Būṭī ..................................................................... 27
B. Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī ................................................................ 30
1. Definisi Maṣlaḥah Al-Būṭī .......................................................... 30
2. Dalil Keḥujjahan Maṣlaḥah dari Sudut Pandang Al-Būṭī ............ 32
3. Pembagian Maṣlaḥah Al-Būṭī ...................................................... 38
4. Konsep Maṣlaḥah Al-Būtī ........................................................... 41
BAB III TINJAUAN HUKUM AKAD PERNIKAHAN ONLINE DAN
FATWA ATAS KEABSAHAN AKAD PERNIKAHAN ONLINE YANG
DITERBITKAN OLEH LEMBAGA FATWA DUNIA ................................... 53

ii
A. Tinjauan Hukum Islam atas Akad Pernikahan Online....................... 53
1. Pengertian Akad Pernikahan Online ............................................ 53
2. Bentuk – Bentuk Akad Pernikahan Online .................................. 55
3. Analisis Hukum Akad Pernikahan Online ................................... 59
B. Biografi Lembaga Fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār Al-Iftā Al-
‘Irāqiyah Dan Al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī ............................................... 63
1. Pengertian Fatwa dan Lembaga Fatwa ......................................... 63
2. Biografi Tiga Lembaga Fatwa Dunia; .......................................... 65
C. Fatwa Akad Pernikahan Online dari tiga lembaga Fatwa Dunia ....... 69
BAB IV APLIKASI KONSEP MAṢLAḤAH AL-BŪṬĪ TERHADAP FATWA
AKAD PENIKAHAN ONLINE YANG DITERBITKAN OLEH LEMBAGA
FATWA DUNIA.................................................................................................. 93
A. Argumentasi Fatwa Pernikahan Online Menurut Lebaga Fatwa Dunia
.......................................................................................................... 93
1. Argumentasi Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah .......................................... 93
2. Argumentasi Ḍār Al-Iftā al-‘Irāqiyah .......................................... 96
3. Argumentasi al-Majlis al-Islamī al-Sūrī ...................................... 98
B. Analisis Argumentasi Tiga Lembaga Fatwa ................................... 100
C. Aplikasi Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī terhadap Fatwa Akad Penikahan
Online yang Diterbitkan oleh Lembaga Fatwa Dunia ............................. 104
1. Berada dalam cakupan dan ruang lingkup maqāṣid sharī’at (tujuan
diterapkannya hukum islam) ........................................................... 106
2. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Qurˋān .... 114
3. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Sunnah ... 116
4. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan Qiyās .......... 120
5. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan maṣlaḥah yang
lebih besar dan utama...................................................................... 122
BAB V ................................................................................................................ 132
PENUTUP.......................................................................................................... 132
A. Kesimpulan ..................................................................................... 132
B. Saran ............................................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 135

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan atas pernikahan adalah sebuah fiṭrah dari manusia yang


tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, dimana seseorang menginginkan dari
pernikahan tersebut bukan untuk hanya melampiaskan nafsunya saja
melainkan juga untuk mendapatkan pendamping hidup serta meneruskan
keturunannya1. Pada dasarnya hukum menikah itu adalah Mubāḥ (boleh),
namun hukum tersebut dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
kesiapan yang akan menikah tersebut; (i) hukumnya wajib: apabila kebutuhan
orang tersebut terhadap pernikahan telah mencapai puncaknya, dimana orang
tersebut berada dalam kondisi ketakutan akan membujang selamanya; (ii)
hukumnya sunnah, bagi yang memiliki kemampuan untuk menafkahi dan ada
roghbah (kemauan) untuk menikah; (iii) hukumnya bisa menjadi makruh
apabila seseorang menikah tanpa ada keinginan sedikitpun untuk menikah dan
dalam keadaan tidak memiliki cukup harta untuk menafkahi istrinya; (iv)
hukumnya bisa menjadi haram apabila seseorang menikah dalam keadaan
orang tersebut meyakini tidak mampu untuk memberi nafkah istrinya 2.

Kebutuhan terhadap pernikahan yang berada pada diri setiap manusia


bukanlah hal yang bisa dipaksakan dan dibuat-buat, dan juga bukanlah hal
yang bisa dihilangkan begitu saja ataupun ditunda, bahkan tidak sedikit dari
orang yang menunda atau terpaksa untuk menunda pernikahan terjerumus
pada lubang kemaksiatan, baik itu perzinahan ataupun kemaksiatan yang
semisalnya. Maka dari pada itu, agama Islam mendorong agar menyegerakan
menikah dan bahkan memberikan peringatan kepada siapa saja yang merasa
membutuhkan untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk menafkahi
istrinya kelak.

1
Ibrāhīm Ibn Muhammad al-Bājūrī, Hāsyiah ʻala Sharh Ibn Qāsim al-Ghazzi, jilid 2 (
Libanon: Nūr al-Ṣabāh, 2015), cet. 1, h. 561
2
Ahmad Salāmah al-Qolyūbī dan Ahmad al-Burlusī ʻUmairah, Hāsyiatā al-Qolyūbī wa
Ahmad ʻUmairah jilid 3, ( Beirut: Dār el-Fikr, 1995), h. 207-208
Saat ini, dengan berkembangnya teknologi hampir semua transaksi
mayoritas manusia di dunia menggunakan internet, terlebih pada masa-masa
pandemi ini. Abdullah Abdul Karim Abdullah dalam risetnya menyebutkan
bahwa saat ini perhari terdapat 3,2 milyar pengguna internet di dunia, 207
milyar korespondensi, 9 milyar pengguna youtube, 2,3 milyar pengunjung
website, 153 juta gambar yang di unduh ke Instagram dan masih banyak yang
lainnya3.

Semenjak pandemi COVID-19 ini melanda dunia, banyak dari negara-


negara di belahan dunia mengeluarkan kebijakan dan keputusan untuk
menerapkan sistem lockdown bagi penduduknya, bahkan hingga saat ini,
beberapa negara kembali menerapkan peraturan lockdown dengan lebih ketat
dari sebelumnya, yang pada sebelumnya disinyalir bahwa pandemi ini
berakhir sudah mereda, contohnya: di negara Inggris, perdana menteri Boris
Johnson menghadapi seruan untuk memerlakukan lockdown nasional ketiga di
tengah penyebaran varian baru, virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-194.

Dampak negatif dari vaksin social ini sudah sangatlah jelas dimata
dunia, karena dengan memutuskan untuk menerapkan aturan lockdown atau
pembatasan sosial (social distancing) artinya memberhentikan mobilitas
kehidupan manusia dari seluruh aspek, apalagi jika kita melihat dari sudut
pandang bahwasanya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
berkembang kecuali dengan melakukan interaksi dengan manusia lainnya5.
Namun disislain, dunia sadar akan pentingnya hal ini dilakukan, karena
selama vaksin dari pihak medis belum tersebar menyeluruh ke setiap manusia
dibelahan dunia, tidak ada lagi cara yang paling efektif untuk mencegah
dampak yang lebih besar dari pandemi COVID-19 ini, kecuali dengan
menerapkan aturan lockdown dan sosial distancing.

3
Abdullah Abdul Karim Abdullah, “Atsar al-Taghayyurāt al-liktinu – Qānūniyyah fī Ibrām
al-‘Aqd” dalam Jurnal Kulliyah Qānun al-Kuwaitiyyah al-‘Alamiyyah vol. 23 No. 3
September 2018, h. 5
4
Ade Nashihudin al Ansori, “Daftar Negara yang Kembali Lockdown dan Pengetatan
Aturan COVID-19”, Artikel ini diakses pada hari Selasa 23 Maret 2021 melalui
https://www.liputan6.com/health/read/4450203/daftar-negara-yang-kembali-lockdown-dan-
pengetatan-aturan-covid-19
5
Jialin Li, “Humans as social beings - From ‘People first’ to “People-centered",” Scientific
and Social Research 2, no. 2 (2020): h. 43–46.

2
Sebagai contoh dampak negatif dari vaksin ini terhadap sektor sosial,
seperti yang telah terjadi negara Indonesia, dimana aparat pemerintah
memutuskan untuk mengeluarkan surat edaran kementrian agama Republik
Indonesia nomor: P-004/DJ.III/Hk.00.7/04/2020 atas keputusan anjuran untuk
menunda perkawinan, hal ini awalnya adalah salah satu usaha kongkrit dan
usaha positif dari pemerintah dalam menerapkan pembatasan sosial (social
distancing) di masyarakat untuk mereda menyebarnya pandemi COVID-19 di
Indonesia, namun pada akhirnya anjuran ini memiliki dampak negatif yang
lumayan tinggi, yang mana menyebabkan dari beberapa masyarakat harus
memilih menunda dan membatalkan prosesi pernikahan yang sudah jauh-jauh
hari dipersiapkan dan direncanakan oleh mereka. Terbukti dari data yang ada
di kantor wilayah kementerian agama Aceh Barat mencatat, pada bulan Maret
ada 127 pasutri, namun ditemukan pada bulan April dalam jangka waktu yang
relatif singkat, jumlah pasutri tersebut berkurang drastis menjadi 73 pasutri,
dan terus berukarang, hingga pada bulan Mei hanya ditemukan 5 pasutri yang
terkumpul dari 12 Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah Aceh Barat 6.
Memang tidak sedikit yang melanggar peraturan dan anjuran tersebut,
sebagian mereka yang akan mengadakan prosesi pernikahan memaksakan diri
untuk melakukannya secara rahasia (sirrī) dan pernikahaannya tidak tercatat
secara resmi di KUA, yang secara tidak langsung pernikahan mereka tidak
diakui oleh pemerintah walaupun secara agama hukum pernikahan sirrī sah7.

Dalam kondisi pandemi COVID-19 ini, telah banyak aktifitas


masyarakat yang tertunda, dan tidak terkecuali ranah pernikahan, jika dilihat
dengan seksama pernikahan pada masa pandemi COVID-19 ini, merupakan
salah satu problema yang dilematis, dimana ada dua kemaslahatan yang saling
bertentangan; yang pertama, kondisi waktu dan tempat pada saat ini yang
secara tidak langsung memerintahkan masyarakat untuk membatasi aktifitas
sosial demi terciptanyan kemaslahatan umum, yakni memutus rantai Covid-
19; dan yang kedua, kemaslahatan atas pernikahan bagi beberapa orang
merupakan hal yang tidak terbantahkan, yang mana pernikahan ini pastinya

6
Antara, Saat Pandemi Covid-19, “Jumlah Pasangan yang Menikah Turun Drastis”, artikel
di akses pada 27 okotober 2020 melalui https://www.jawapos.com/jpg-
today/16/06/2020/saat-pandemi-covid-19-jumlah-pasangan-yang-menikah-turun-drastis/
7
Hari Widiyanto, “Konsep Pernikahan Dalam Islam: Studi Fenomenologis Penundaan
pernikahan Di Masa Pandemi”, dalam Islam Nusantara, Vol. 04, No. 01, Januari-Juni
2020, h. 108

3
mengundang aktifitas sosial masyarakat, paling tidak ketika akad nikah
berlangsung.

Polemik pernikahan yang dilakukan pada masa pandemi ini menjadi


sebuah kasus hangat dibelahan dunia, dimana beberapa orang yang
memaksakan diri dan nekat untuk menggelar akad pernikahan dan resepsi
yang mengundang banyak orang tanpa memperhatikan protokol kesehatan,
seperti yang terjadi di Indonesia tepatnya di wilayah bekasi, dimana salah satu
warga kabupaten Bekasi, perumahan Mutiara Bekasi Jaya, desa
Sindangmulya, kecamatan Cibarusah, pada hari Minggu 10 Juli 2020, nekat
untuk melakukan resepsi pernikahan, dan dipertengahan acara terpaksa
dibubarkan oleh polisis setempat 8. Begitu juga yang dialami oleh kepala
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kabupaten Limapuluh kota,
Sumatera Barat, pada hari Sabtu 21 November 2020 pernikahan anaknya
terpaksa harus dibubarkan oleh aparat polisi karena berpotensi mengundang
kerumunan banyak orang9.

Dilain tempat, beberapa warga berusaha untuk tetap melaksanakan akad


pernikahan walau jarak memisahkan mereka, yaitu dengan melaksanakan akad
dan resepsi pernikahaan via online, seperti yang dilakukan oleh kedua
pasangan Max Walden dan Shaffira Gayatri, yang mana sang istri
berkebangsaan Indonesia dan tinggal di Surabaya sedangkan suami
berkebangsaan Australia tinggal di Sydney, dikarenakan mereka telah
merencanakan untuk menikah jauh-juah hari, pasangan pasutri ini
memutuskan untuk menikah sesuai dengan tanggal yang sudah direncanakan
yakni 20 Juni 2020, meskipun konsepnya harus berubah yaitu dengan
melaksanakan akad nikahnya melalui via zoom10.

8
Chandra Iswinarno, Nekat Gelar Pesta Pernikahan di Masa Pandemi, Berujung
Dibubarkan Polisi, Artikel di akses pada hari Jum’at 18 Desember 2020 dari
https://jabar.suara.com/read/2020/07/16/135619/nekat-gelar-pesta-pernikahan-di-masa-
pandemi-berujung-dibubarkan-polisi
9
Michael Hangga Wismabrata, Pesta Pernikahan Anaknya Dibubarkan Polisi, Ini
Komentar Kepala BPBD Limapuluh Kota di akses pada hari Jum’at 18 Desember 2020
dari https://regional.kompas.com/read/2020/11/22/14530041/pesta-pernikahan-anaknya-
dibubarkan-polisi-ini-komentar-kepala-bpbd?page=all
10
Hellena Saoisa, Terpisah Ribuan Kilometer Karena Pandemi Corona, Pasangan
Indonesia Australia Tetap Menikah Lewat Zoom diakses pada hari Jum’at, 18 Desember

4
Pernikahan via telekonferensi / online seperti yang dilakukan oleh
kedua pasutri ini merupakan sebuah praktek akad pernikahan yang masih tabu
untuk kalangan masyarakat Indonesia, dimana wali dan calon mempelai saat
mengucapkan ijāb dan qobūl tidak perlu berada dalam satu tempat, melainkan
via telekomunikasi jaringan internet.

Ketabuan pernikahan via telekonferensi / online ini berasal dari


perdebatan tentang keabsahan pernikahan tersebut yang mana akar
permasalahan dari perbedaan antara pihak yang pro dan kontra terletak dari
pemahaman yang berbeda tentang makna ittihād al-majlis ketika akad
berlangsung. Pihak yang kontra yang di wakili oleh madhhab syāfiʻi dalam hal
ini, memilih berpendapat untuk tidak mengesahkan akad semacam ini, hal ini
dikarenakan pendapat mereka tentang makna ittihād al-majlis itu mesti berada
dalam satu tempat, jasad dan akadnya, hal ini dikarenakan akad pernikahan
berbeda dengan akad mu’āmalah jual beli dan lain sebagainya, akad
pernikahan memiliki makna yang lebih sakral dibandingkan dengan akad
lainnya. Berbeda dengan pihak yang pro yang diwakili oleh madhhab hanafī,
memilih untuk mengesahkan pernikahan semacam ini, mereka lebih
cenderung memaknai ittihād al-majlis ialah ijāb dan qabūl harus dilakukan
dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah, dan bukan
didalam dua jarak waktu secara terpisah, tanpa harus disyaratkan bersatunya
dalam satu tempat/majlis. Dengan demikian, menurut madhhab hanafī adanya
persyaratan ittihād al-majlis, adalah menyangkut keharusan kesinambungan
waktu antara ijāb dan qabūl, bukan menyangkut keharusan kesatuan tempat 11.
Pihak kontra lebih memilih untuk hati-hati (iḥtiyāt) dan menjadikan akad
pernikahan sebagai bagian dari ibadah (‘ubūdiyah) yang sifatnya tidak dapat
dirubah oleh manusia (tauqifiyyah). Adapun pihak yang pro lebih melihat
kepada maṣlaḥah dan menjadikan akad pernikahan sebagai bagian
mu’āmalah, yang menerima pembaharuan secara sharā’ demi kemaslahatan
interaksi sesama masyarakat.

Hukum dan legalitas sharā’ atas pernikahan semacam ini bukanlah


sesuatu yang terlalu baru, beberapa tahun sebelumnya, lembaga-lembaga

2020 dari https://www.abc.net.au/indonesian/2020-07-01/pasangan-indonesia-dan-


australia-menggelar-akad-nikah-lewat-zoom/12407008
11
Wardah Nuroniyah, “Analisis Akad Nikah Via Teleconference Menurut Fiqih Mazhab
Dan Hukum Positif Indonesia”, dalam Mahkamah, Jurnal Kajian Hukum Islam. Vol. 2,
No.1, Juni 2017. h. 131-153

5
fatwa di belahan dunia telah memperbincangkang dan membahas jenis
pernikahan semacam ini. Diantara lembaga-lembaga fatwa tersebut, ada tiga
lembaga fatwa yang masyhur dan dapat dibilang layak pantas untuk menjadi
rujukan lembaga-lembaga fatwa lainnya, yaitu : Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah di
Mesir, Ḍār al-Iftā al-‘Irāqiyah di Iraq dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī di
Suriah.

Berbicara tentang Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah, berarti berbicara tetang


lembaga fatwa internasional, lembaga fatwa ini didirikan secara independen
pada tahun 1313 H/1895 M dan merupakan lembaga fatwa tertua di dunia
yang eksistensinya masih ada hingga saat ini, ribuan bahkan jutaan fatwa yang
telah diterbitkan dalam menjawab persoalan-persoalan baru yang terjadi di
kehidupan masyarakat Mesir khususnya, dan dunia pada umumnya12. Ḍār al-
Iftā al-Miṣriyah telah menjadi lembaga fatwa terdepan dari lembaga-lembaga
fatwa Islam yang berbicara tentang persoalan agama Islam di Mesir. Lembaga
fatwa ini juga memiliki peran penting dalam mendukung penelitian
yurisprudensi di antara para ulama yang bekerja di dalamnya yang berada di
semua negara di belahan dunia Islam, di mana ia juga memperkuat peran
historis dan peradabannya dengan menghubungkan muslim kontemporer
dengan uṣul (dasar hukum agama Islam) itu sendiri, memperlihatkan shi’ār
Islam dan menghilangkan kebingungan tentang problem agama dan duniawi
mereka, mengungkapkan aturan-aturan Islam dalam semua hal yang terjadi di
kehidupan modern13.

Lembaga fatwa kedua adalah Ḍār al-Iftā al-’Irāqiyah, didirikan pada


tahun 932 H/1517 M , lembaga fatwa yang satu ini berbeda dengan lembaga
fatwa sebelumnya, lembaga fatwa ini berada langsung dibawah naungan
pemerintahan iraq, yang bukan hanya menjaga kestabilan hukum islam dan
UU yang berlaku di iraq, juga sebagai lembaga diplomasi sentral untuk
menyatukan masyarakat Iraq dan pemerintah. Tujuan utama dari lembaga

12
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Muqodiimah Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” (Mesir, T.pn:
1980) Jilid 1, h.1.
13
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Biografi Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” Artikel ini diakses pada hari
Selasa 30 Agustus 2021 melalui https://www.dar-alifta.org/AR/aboutdar.aspx?ID=101

6
fatwa ini adalah menjadikan segala hukum yang keluar sebagai peraturan
pemerintah iraq sesuai dengan shari’at islāmiyyah14.

Adapun al-Majlis al-Islamī al-Sūrī merupakan lembaga fatwa yang


berdiri baru-baru ini, jika dibandingkan dengan dua lembaga fatwa
sebelumnya, lembaga fatwa ini adalah lembaga yang paling muda berdiri,
namun walaupun seperti itu, lembaga fatwa ini layak untuk menjadi rujukan
lembaga fatwa lainnya dikarenakan SDM yang berada di dalamnya
merupakan para ahli dan pakar ulama dunia di bidangnya masing-masing.
Lembaga fatwa ini berdiri ditengah masa genting negeri Suriah, yaitu
ditengah-tengah berlangsungnya pemberontakan bangsa Suriah terhadap
pemerintahan yaitu pada tahun 2014. Lembaga fatwa ini terdiri dari 40
asosiasi dan badan sharī’ah yang mencakup para ulama, badan hukum dan
asosiasi ilmiah Suriah15.

Ketiga lembaga fatwa ini meskipun semuanya berkiprah dalam


menghasilkan hukum dan fatwa demi menjawab kekosongan masalah dari
hukum islam, namun memiliki latar belakang yang berbeda, baik itu disorot
dari sisi geografisnya ataupun keadaan masyarakatnya. Dengan demikian,
walaupun permasalahannya sama, formulasi hukumnya sama, dan hasil
fatwanya pun sama, namun argumen dari ketiga lembaga ini memiliki
perbedaannya masing- masing. Hal ini terjadi dikarenakan fatwa bersifat
insidental, yang mana fatwa merupakan sebuah pemberitahuan hukum Allah
atas jawaban dari pertanyaan masyarakat tertentu atas problem yang baru
muncul16.

Lembaga-lembaga fatwa ini memandang bahwa hukum penikahan online


dapat dibenarkan secara ṣhara’ dengan ketentuan dan syarat- syarat yang
berlaku. Hal ini karena ketiga lembaga melihat adanya sisi maṣlaḥah dari
pernikahan tersebut untuk sebagian orang atau kelompok. Namun, hukum atas
pernikahan ini tidak dapat di universalkan kepada setiap orang atas dasar
maṣlaḥah karena tidak semua orang berada dalam kondisi yang sama.

14
Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah, “Biografi Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah” diakses pada hari Selasa 23
Maret 2021 melalui https://www.h-iftaa.com/
15
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Biografi Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, diakses pada hari
Selasa 23 Maret 2021 melalui https://sy-sic.com/?page_id=2330
16
Ibrāhīm al-Laqqōnī, Manār Uṣūl al-Fatwā wa Qawā’id al-Iftā’ bi al-Aqwā (T.tp. Tpn.:
2002), h. 231-235.

7
Adapun maṣlaḥah dalam Islam, walaupun tidak ada dalil secara
langsung namun, pada hakikatnya ia memiliki kedudukan yang begitu penting
sebagai landasan hukum islam yang ada dan yang belum ada, seringkali
kemaslahatan menjadi titik akhir para ulama untuk menangani permasalahan
hukum semasa dan setempat dengan mereka17. Maṣlaḥah yang menjadi
landasan hukum sharīʻah adalah maṣlaḥah yang memenuhi kriteria sharīʻah,
karena apabila sebuah maṣlaḥah bertentangan dengan sharīʻah maka pada
hakikatnya maṣlaḥah tersebut adalah mafsadah. Hal ini telah di jelaskan dan
dijabarkan oleh bapak ahli sharīʻah sejak dulu, misalnya al-Shāṭibī, beliau
berkata bahwa hukum Allah Taʻālā terbina bersandarkan maṣlaḥah
sharʻiyyah dan bukan bersandarkan pada hasrat keinginan manusia, yang
artinya manusia tidak mampu menemukan maṣlaḥah kecuali melalui
perantaraan sharaʻ18. Ketidakmampuan manusia dalam menemukan maṣlaḥah
ini dikarenakan manusia memiliki hasrat dan pemikirannya yang berbeda-
beda, sehingga akan timbulnya penilaian yang berbeda atas maṣlaḥah dalam
satu kasus yang sama, sehingga satu kasus terkadang dinilai memiliki
maṣlaḥah menurut sebagian orang, dan mafsadah menurut sebagian orang
lainnya. Oleh sebab itu, shara’ datang untuk menjadi barometer dan tolak
ukur maṣlaḥah dan mafsadah bagi setiap perkara tersebut.

Menimbang begitu banyaknya perbedaan argumen maṣlaḥah


dikalangan para ulama fiqh sebagai salah satu landasan penemuan hukum
sharīʻah, para tokoh ulama klasik/salaf seperti al-Juwainī, al-Ghazālī, al-Ṭūfī,
al-Izz ‘Abd al-Salām, al-Shāṭibī, telah meletakkan perhatian yang begitu besar
terhadap kajian ini19. Namun, walaupun begitu banyak kajian yang telah
dilakukan, maṣlaḥah ini masih menjadi sebuah perdebatan, kapan, dimana,
dan bagaimana sebuah maṣlaḥah menjadi landasan hukum islam, khususnya
setelah era/zaman ulama-ulama klasik/salaf berakhir. maka dari itu, beranjak
dari pentingnya konsep maṣlaḥah dalam memecahkan masalah-masalah fiqh
kontemporer di era modern, beberapa ulama kontemporer/khalaf unjuk bicara

17
Akbar Sarif, dkk., “Konsep Maslahah Dalam Kompilasi Hukum Islam (Khi): Satu
Tinjauan Syarak Ke Atas Larangan Pernikahan Antara Agama Malasyian”, dalam Journal
of Syariah and Law, Vol. 6 Desember 2017, h. 139
18
Al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī uṣūl al- Sharī’ah (Bairut: Dār al-Kutub al-ʻilmiyah 2003), h.
3
19
Abbas Arfan, “Maslahah Dan Batasan-Batasannya Menurut Al-Bûthî de jure”, dalam
Jurnal Syari’ah dan Hukum, Vol. 5 No.1, Juni 2013, h. 88

8
dalam hal ini, seperti Abd al-Wahhab Khalaf, Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī, ’Alā Al-
Fāsi, dan Jāsser ‘Auda20.

Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī (setelahnya disebut: al-Būṭī) merupakan sosok


cendikiwian muslim yang yang terkenal dalam bidang ini, dimana beliau
terkenal di kalangan akademik bukan hanya sebagai ulama, melainkan juga
sebagai pemikir Islam yang kritis. banyak pemikiran dan teori-teori yang
beliau buat dan menjadi referensi para pemikir Islam dan non Islam
setelahnya, seperti konsep maṣlaḥah yang beliau tawarkan dalam karyanya
berupa disertasi dengan judul “Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Sharī’at al-
Islāmiyah”.

Al-Būṭī seorang ulama timur tengah yang terkenal dengan ilmunya yang
luas, terlebih dalam bidang uṣūl fiqh. Dalam karya disertasinya beliau lebih
membatasi makna maṣlaḥah sebagai landasan hukum islamdan bukan filsafat
hukum. Beliau membagi maṣlaḥah ini menjadi dua bagian; (i) maṣlaḥah
muktabarah; (ii) maṣlaḥah ghair muktabarah, beliau juga lebih
mempertahankan pendapat para ulama klasiknya dan condong terhadap
kesakralan hasil ijtihad para mujtahid, begitu juga dengan ijmaʻ dan qiyas.
Dalam pendahuluan disertasinya, beliau menjelaskan bahwa memang betul
Islam ini relevan dan bisa dipakai kapanpun dan dimanapun, namum tidak ada
yang menyebutkan bahwa Islam ini relevan dan bisa dipakai, berubah dan
berkembang sesuai dengan akal pikiran setiap orang yang tidak luput dari
hawa dan nafsu21, kemudian al-Būṭī Sebelumnya meyebutkan bahwa shāra’
sangat betul menjaga maṣlaḥah bagi setiap hamba-hamba-Nya dalam setiap
hukum-hukum-Nya, namun menurut beliau maṣlaḥah yang di maksud
bukanlah yang dianut dan difahami oleh pemikiran-pemikiran madhhab yang
menyimpang dari mayoritas madhhab ulama, dan bukan juga maṣlaḥah
sebagian kelompok atau segala hal yang sesuai dengan akal dan keingingan
siapapun, maṣlaḥah dalam sharīʻah islāmiyah semuanya itu teratur dan
dibatasi secara tepat tidak semeraut, sifatnya jelas dan tidak menimbulkan
keraguan sedikitpun, maṣlaḥah yang muncul dan tumbuh dari sebuah akar dan
asal yang kokoh, terpatri di dalam setiap hati sanubari seorang mukmin, yaitu

20
Mohamad anang firdaus, “Maqashid Al-Syari’ah Kajian Mashlahah Pendidikan dalam
Konteks UN Sustainable Development Goals”, dalam, JRTIE : Journal of Research and
Thought of Islamic Education Vol. 1, No. 1, 2018
21
Saʻīd Ramāḍan al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo:
Mu’assasah al-Risālah), h. 14

9
sebuah iman atas penghambaan kepada sang pencipta yakni Allāh Ta’ālā,
karena Maṣlaḥah yang pasti adalah yang ditetapkan oleh shāra’ sang pencipta
Yang Maha Mengetahui hal yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya 22.

Berdasarakan latar belakang diatas, peneliti merasa perlu kiranya untuk


melakukan penelitian lebih lanjut atas penerapan konsep maṣlaḥah al-Būṭī
terhadap fatwa-fatwa pernikahan online yang diterbitkan oleh lembaga-
lembaga fatwa tersebut.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

a. Urgensi perkawinan di masa pandemi COVID-19 menjadi polemik di


masyarakat.

b. Dampak negatif terhadap sektor sosial dari penanggulangan COVID-19


dengan cara penerapan aturan lockdown dan menjaga jarak (physical
distancing)

c. Salah satu contoh penerapan aturan pembatasan sosial (physical


distancing); adanya anjuran pemerintah Republik Indonesia untuk
menunda perkawinan pada surat edaran kementrian agama Republik
Indonesia nomor: P-004/DJ.III/Hk.00.7/04/2020 menyebabkan
meningkatnya kasus pernikahan tertunda dan gagal di masa pandemi
COVID-19

d. Alternatif akad pernikahan via online / telekonferensi pada masa


pandemi COVID-19 menimbulkan respon pro dan kontra di kalangan
masyarakat

e. Dua maṣlaḥah yang bertentangan antara menjaga fitnah dan kegaduhan


masyarakat dan membatasi aktifitas sosial demi memutus rantai virus
Covid-19.

22
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ . .. h. 14-15

10
f. Perdebatan argumen tentang maṣlaḥah sebagai dasar landasan hukum
diterapkannya akad pernikahan via online / telekonferensi diantara
ulama.

g. Tiga lembaga dunia (Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā al-‘Irāqiyah


dan al-Majlīs al-Islamī al-Sūrī) telah menerbitkan fatwa tentang
keabsahan akad pernikahan online.

h. Gagasan maṣlaḥah al-Būṭī yang menjadi sorotan para akademisi di


dunia.

i. Aplikasi maṣlaḥah al-Būṭī terhadapa fatwa akad pernikahan online yang


diterbitkan lembaga fatwa dunia

2. Perumusan Masalah

Rumusan pokok masalah ini ialah “bagaimana aplikasi konsep


maṣlaḥah al-Būtī terhadap fatwa-fatwa pernikahan online yang
diterbitkan lembaga-lembaga fatwa dunia?”, dan dari pokok masalah ini
menghasilkan 3 cabang pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana pemikiran al-Būṭī tentang maṣlaḥah ?

2. Bagaimana argumentasi lembaga-lembaga fatwa dunia yang


menerbitkan fatwa tentang pernikahan online ?

3. Bagaimana analisis fatwa akad pernikahan online tersebut ditinjau


dari perspektif maṣlaḥah al-Būṭī ?

3. Pembatasan Masalah

Berbicara tentang pembatasan masalah, ada 3 aspek yang melingkupi


penelitian ini: pertama, tema tentang akad pernikahan yang dilaksanakan
secara online, yaitu calon mempelai pria dan wali dari calon mempelai
wanita tidak berada dalam satu majlis ketika akan melakukan akad
pernikahan, melainkan berada didua tempat yang berbeda tanpa ada
satupun dari keduanya (calon mempelai pria dan wali dari calon mempelai
wanita) yang mewakilkan pada pihak ketika untuk melakukan akad
tersebut; kedua, fatwa yang di analisis, terdiri dari tiga lembaga fatwa; i).

11
fatwa Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah no: 9069, terbit pada bulan mei tahun 1997;
ii). fatwa Ḍār al-Iftā al-’Irāqiyah no: 1343, terbuat pada bulan juli tahun
2019; dan yang terakhir fatwa al-Majlis al-Islamī al-Sūrī no: 9917, terbit
pada bulan april tahun 2011; ketiga, konsep maṣlaḥah menurut al-Būṭī
yang dituangkan dalam kitabnya “Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-
Islāmiyah”.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui dan


mneganalisis aplikasi konsep maṣlaḥah al-Būtī terhadap fatwa-fatwa
pernikahan online yang diterbitkan lembaga-lembaga fatwa dunia. Secara
lebih rinci tujuan penelitian ini dapat di uraikan sebagai berikut;

1. Menjelaskan konsep maṣlaḥah al-Būṭī.

2. Menjelaskan argumentasi fatwa akad penikahan online yang diterbitkan


lembaga-lembaga fatwa dunia.

3. Menganalisis fatwa akad pernikahan online ditinjau dari perspektif


maṣlaḥah al-Būṭī

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki nilai signifikan dalam pengembangan


teori-teori kontemporer uṣūl fiqh, khususnya di bidang maṣāliḥ al-mursalah,
guna menjawab problem-problem fiqh kontemporer. Adapun manfaatnya
secara langsung dari penelitian ini yaitu ditujukan kepada pelajar, pengajar
ataupun praktisi praktisi uṣūl fiqh dan fiqh, penelitian ini diharapkan dapat
membawa motivasi baru dan gambaran baru tengtang konsep maṣlaḥah yang
diformulakan pada kasus-kasus fiqh kontemporer yang belum ada pemecahan
masalahnya. Dengan adanya penelitian ini setidaknya para pengajar ataupun
praktisi lebih mengahargai dan memberikan perhatian yang lebih terhadap
kedua ilmu ini, yang mana sangat diperlukan untuk mengisi kekosongan
hukum dalam isu-isu fiqh kontemporer.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

12
Setelah peneliti melakukan kajian pustaka atas penelitian-penelitian
terdahulu, peneliti belum mendapatkan tulisan dengan topik tentang aplikasi
maṣlaḥah al-Būṭī terhadap fatwa hukum pernikahan online yang diterbitkan
oleh lembaga fatwa dunia. Namun walaupun demikian, peneliti mendapati
beberapa penelitian lain dengan objek yang hampir mirip namun berbeda dari
subtansinya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Alwi al-
Maliki dan Asep Saepudin Jahar pada tahun 2020. Hasil penelitiannya
menunjukan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
menghukumi keabsahan akad nikah melalui via telekonferensi, hal ini
disebabkan oleh berbedanya cara pandang pemahaman teks al-Qur’an dan
hadits tentang pernikahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peneliti mencoba untuk menjelaskan dinamika hukum akad via telekonferensi
ini dengan mengkaji tatacara praktiknya, dan pandangan para ulama terhadap
rukun-rukun dan syarat sah akad nikah, khususnya pada poin ittiḥād al-majlis.
23

Begitupun pada tahun yang sama, yakni tahun 2020 penelitian yang
hampir serupa yang dilakukan oleh saudara M. Misbahul Amin, hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa hal yang melatarbelakangi perbedaan
pendapat dari keabsahan pernikahan dengan media video call terletak pada
cara menafsirkan ittiḥād al-majlis, yang mana bukan sebuah tujuan (maqṣad),
melainkan sebuah wasīlah untuk maqṣad tersebut yang tujuannya adalah
untuk menghilangkan unsur penipuan dalam akad atau ghurūr.24

Pada tahun 2018, penelitian yang memiliki tema serupa diteliti oleh
Muhajir, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pernikahan via telepon
tidak sah, karena bertentangan dengan ketentuan hukum sharīʻah yang mana
akad pernikahan ini masih memberikan jejak keraguan karena
dimungkinkannya ada unsur penipuan dan semisalnya. 25

23
Muhammad Alwi dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Teleconference di Indonesia” dalam Indo Islamika, Volume 10, No 2, 2020, h. 136-151
24
M. Misbahul Amin, ”Studi Analisis Akad Nikah Menggunakan Video Call Perspektif
Maqashid al-Syari’ah dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan” dalam
Usratuna, Vol. 3, No 2, Juni 2020. h. 88-108
25
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/1989
Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadha Vol. 5, No 1, Juli 2018, h. 9-19

13
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Mohammad Aniq Yasrony pada
tahun 2017. Penelitiannya ini menunjukan bahwa pernikahan via
telekonferensi yang pada praktiknya bukan hanya menampilkan suara namun
menampilkan video gambar juga hukumnya adalah sah menurut hukum islam,
hal ini terbukti setelah dianalisa dan dilihat dari 3 poin maṣlaḥah al-mursalah
yang berada pada akad nikah melalui telekonferensi; pertama, melihat
maṣlaḥah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan, yakni kemajuan
tekhnologi yang merupakan karunia Allah Ta’ālā; kedua, melihat sifat yang
sesuai dengan tujuan shara’, dalam hal ini yaitu meniadakan unsur
penipuan/ghurūr ketika akad berlangsung, dengan adanya media rekaman
suara dan gambar secara langsung dapat membantu menghilangkan unsur
penipuan/ghurūr selama akad berlangsung yang dapat mewakili makna ittiḥād
al-majlis pada akad pernikahan biasanya; ketiga, melihat proses penetapan
hukum terhadap suatu maṣlaḥah yang ditunjukan oleh dalil khusus, yaitu
dalam hal penetapan keabsahan suatu kasus oleh salah satu bagian tujuan
shara’. 26

Penelitian selanjutnya, yaitu yang diteliti oleh Wardah Nuroniyah pada


tahun 2017. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perbedaan diantara para
ulama madhhab fiqh tentang keabsahan akad pernikahan via telekonferensi ini
terletak pada 3 poin utama; pertama, saksi; kedua, majlis akad; ketiga, ījāb
dan qabūl. Wardah menambahkan bahwa dalam praktik akad nikah dengan
telekonferensi ini agar menjadi sah diharuskan ada ketentuan khusus pada
saksi, yang mana pada umumnya cukup dengan dua saksi pada akad
pernikahan secara langsung, namun pada akad pernikahan dengan
telekonferensi harus ditambah dengan dua saksi yang lainnya, jumlah total
empat saksi; dua saksi berada di tempat wali, dan dua saksi lagi berada di
tempat calon mempelai, dan syarat khusus lainnya juga di tambahkan oleh
wardah, yakni kedua orang yang akan bertransaksi tidak berada dalam satu
daerah, hal ini disyaratkan agar tidak ada asumsi yang buruk dan negatif dari
kalangan masyarakat setempat kepada yang bersangkutan. penelitian ini fokus
pada analisis dalil-dalil ulama madhāhib al-arbaʻah terhadap syarat-syarat

26
Muhammad Aniq Yasrony, “Akad Nikah Via teleconference perspektif Maslahah al-
Mursalah” dalam al-Hukama, h. 199-223

14
dan rukun-rukun pernikahan yang diterapkan pada kasus fiqh kontemporer
yakni akad nikah via telekonferensi. 27

Perbincangan tentang pernikahan online atau via telekonferensi


bukannya hangat di lingkungan akademisi Indonesia, namun juga menjadi
penelitian yang hangat di timur tengah, seperti penelitian yang telah dilakukan
oleh Hamzah Abdunnashir pada tahun 2014. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa akad pernikahan via telekonferensi ini dapat dilaksanakan dan sah
hukumnya hanya pada saat darurat saja, dimana salah satu dari kedua orang
yang akan melaksanakan akad baik itu wali ataupun calon mempelai pria, atau
bahkan keduanya tidak dapat melakukan perjalanan dan bertemu di satu
majlis. akad pernikahan via telekonferensi yang hanya menggunakan
korespondensi seperti via email ataupun faks, di analogikan dengan akad
pernikahan dengan menggunakan tulisan surat-menyurat yang disahkan oleh
kalangan madzhab hanafi, adapun akad yang menggunakan video call
dianalogikan seperti akad pernikahan secara langsung, hal ini dikarenakan
kedua orang yang akan transaksi baik wali ataupun calon mempelai pria dapat
mendengarkan suara dan bertatap muka melalui jaringan, begitupun dalam hal
persaksian, maka dari itu jika akad yang melalui korespondensi saja
dibenarkan dan disahkan oleh kalangan madhhab hanafī maka sudah
seharusnya akad menggunakan video call juga disahkan. penelitian ini fokus
pada analisi pendapat apara ulama salaf dan khalaf berserta dengan dalil-
dalilnya di badningkan dengan UU al-Jazā’ir dalam kasuh fiqh kontemporer,
yakni akad pernikahan via telekonferensi.28

Pada tahun yang sama, Muhammad Khalaf Muhammad Bani Salamah


meniliti tema yang serupa. Hasil penelitian menunjukan beberapa hal
diantaranya: seluruh ulama fiqh sepakat begitupun UU pemerintah Yordan
dalam menghukumi tidak sahnya akad pernikahan secara tullisan bagi dua
orang dua orang yang sama-sama hadir apabila tidak ada udhur / alasan yang
dibenarkan seperti bisu dan semisalnya. adapun akad pernikahan secara tulisan
via internet yang artinya kedua orang yang melakukan transaksi akad tersebut
tidak hadir di satu majlis yang sama, dalam hal ini terdapat dua pendapat

27
Wardah Nuroniyah, “Analisis Akad Nikah Via Teleconference Menurut Fiqih Mazhab
Dan Hukum Positif Indonesia”, h.131-153
28
Ḥamzah Abd al-Nāṣir, ‘Aqd al-Zawāj ʻAbr Wasā’il al-Ittiṣāl al-Hadīthiyah (al-Jazā’ir:
al-Bahth al-‘ilmī fī kulliyat al-Aḥwāl al-Shakhṣiyah Qism al-Ḥuqūq 2013-2014)

15
antara para ulama fiqh; golongan pertama mengatakan tidak sah, karena
mereka mengqiyaskan tulisan dengan kata kināyah, sedangkan akad
pernikahan tidak sah dengan kata kināyah. Golongan kedua yang didalamnya
UU pemerintah yordan mengatakan hal ini sah karena adanya udhur tidak
bisanya bertemu. penelitian ini dikhususkan untuk menganalisis perbandingan
hukum islam secara perdata dan madhahib al-arba’ah yang terfokus pada satu
kasus, yakni hukum keabsahan akad pernikahan dengan tulisan via Internet,
baik itu dengan chatting ataupun email.29

Terakhir, penelitian pada tahun 2012 yang telah dilakukan oleh Habib
Shulton Asnawi. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa status
pernikahan melalui telepon merupakan pernikahan yang sah, baik itu dimata
agama ataupun pemerintah; menurut agama mengacu kepada madhhab hanafī
yang menafsirkan ittiḥād al-majlis sebagai syarat untuk berkesinambungnya
ījāb dan qobul saja, yang artinya bahwa ittiḥād al-majlis yang disyaratkan
dalam akad nikah adalah sebagai perantara untuk terjadinya kesinambungan
terus menerus antara ījāb yang diucapkan wali dan qobūl yang di ucapkan
calon mempelai tanpa diharuskannya berada di dalam satu tempat. Adapun
menurut pemerintah mengacu kepada hasil pengadilan agama jakarta selatan
yang melegalkan pernikahan melalui telepon, waluapun pada kenyataannya
UU yang berkenaan dengan pernikahan tidak mencatat dan menyebutkan akan
pernikahan semacam ini. di akhir penelitian ini, Asnawi menyebutkan hal-hal
yang harus dilakukan pemerintahan demi mengisi kekosongan hukum yang
telah terjadi ditengah masyarakat dengan dua cara; pertama penemuan hukum
(rechtsvinding) oleh hakim, dan kedua apabila suatu peraturan perundang-
undangan isinya tidak jelas, maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan
sehingga dapat memberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai
dengan maksud hukum.30

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

29
Muhammad Khalaf, “Mashrūʻiyah ʻUqūd al-Zawāj bi al-Kitābah ʻAbr al-Internet” dalam
al-Jāmi’ah al-Islāmiyah kulliyah al-Dirāsāt al-Islāmiyah, Vol. 23 No. 2, 2014.
30
Habib Shulton Asnawi, “Pernikahan Melalui telepon dan Reformasi Hukum islam di
Indonesia” dalam al-Mazahib Vol. 1 No 1 2012, h. 1-15

16
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kajian kepustakaan murni
pustaka (library research), menitikberatkan pada pustaka yang berkaitan
dengan pembahasan uṣūl fiqh dan filsafat uṣūl fiqh serta salah satu kasus
fiqh kontemporer, yaitu fatwa akad pernikahan online. Adapun sumber
primer dalam penelitian ini akan terfokus pada salah satu kitab uṣūl fiqh
karya al-Būṭī yang berjudul “Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Sharī’at al-
Islāmiyah” dan fatwa tentang keabsahan akad nikah online yang
diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa dunia, yaitu Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah,
Ḍār al-Iftā al-‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī. Sedangkan buku-
buku uṣūl fiqh lainnya, baik itu yang klasik ataupun modern akan di
jadikan sebagai perbandingan dalam penelitian ini. samping itu buku-buku
fiqh klasik dan kontemporer yang berkaitan dengan maṣlaḥah dari
pernikahan dan pembatasan sosial di masa pandemi akan dijadikan sebagai
data sumber primer. Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku fiqh
mengenai hukum pernikahan Islam dan pembatasan sosial pada masa
pandemi diberbagai negara-egara muslim lainnya, yang ada kaitannya
dengan pokok pembahasan, baik itu secara langsung ataupun tidak.

Penelitian ini menggunakan penelitian analisis kualitatif (al-bahth


al-kaify)31 yaitu berusaha untuk menjabarkan dan menganalisa secara
lengkap dan detail konsep dari maṣlaḥah al-Būṭī dan diaplikasikan
terhadap fatwa keabsahan akad nikah via online. baik dari aspek filsafat
dan metodologinya ataupun batasan-batasan yang menjadi tolak ukur
maṣlaḥah tersebut sebagai maṣlaḥah muktabarah dalam hukum islam.
Setelah analisis tersebut barulah menuju kepada tahap kedua, yaitu aplikasi
konsep tersebut terhadap fatwa pernikahan online yang diterbitkan oleh
lembaga-lembaga fatwa dunia. Penelitian ini akan mencoba menggali lebih
dalam argumentasi yang signifikan dari maṣlaḥah yang mejadi landasan
tiga lembaga fatwa yang menerbitkan fatwa pernikahan online, dan
menganalisisnya dengan konsep maṣlaḥah menurut sisi pandang al-Būtī
dalam kitabnya“Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Sharī’at al-Islāmiyah”, baik itu
maṣlaḥah atau madharrat yang akan dimunculkan dari pernikahan
semacam ini.

31
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and research design: Choosing Among Five
Traditions, (Thousand Oaks, London & New Delhi : Sage Publication, 1998), h.37

17
Lebih spesifik lagi, kajian hukum islam ini termasuk kategori studi
filsafat hukum islam, baik itu uṣūl fiqh sebagai filsafat hukum maupun atau
uṣūl fiqh sebagai teori hukum 32; yang pertama (uṣūl fiqh sebagai filsafat
hukum) digunakan untuk membahas dasar-dasar hukum islam dalam
penelitian ini, yaitu maqāṣid al-sharīʻah atau maṣlaḥah perspektif al-Būṭī
dan akan diformulasikan pada fatwa akad pernikahan online, dan yang
kedua (uṣūl fiqh sebagai teori hukum) digunakan untuk membahas secara
mendalam tentang qaʻidah uṣūliyah, dan qawā’id fiqhiyyah dalam
memahami konsep maṣlaḥah sharʻiyyah secara mendalam.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan menggunakan


metode dokumentasi33. Metode ini digunakan untuk mencari data-data
kepustakaan berupa qawāʻid uṣūliyah, dalil-dalil sharīʻah al-Būṭī dalam
memahami konsep maṣlaḥah sharʻiyyah, yang kemudian konsep ini di
aplikasikan pada fatwa pernikahan online yang diterbitkan oleh tiga
lembaga fatwa dunia, yaitu Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā al-
‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī. Adapun metode yang digunakan
untuk menganalisis data yang terkumpul, yaitu metode induksi, yang mana
data parsial dari berbagai sumber mengenai muatan pemikiran maṣlaḥah
dalam pernikahan dan pembatasan sosial di masa pandemi dalam buku-
buku fiqh klasik dan kontemporer dikumpulkan, diklasifikasikan, dan
digeneralisir untuk mendapatkan hasil kesimpulan yang berupa landasan
filosofi dan bangunan metodologi yang ada kemudian dikembangkan
supaya dapat memberikan kontribusi secara maksimal bagi pembaharuan
hukum perkawinan di Indonesia.

3. Teknik Analisis Data

Dalam proses analisis data, digunakan metode analisis isi secara


kualitatif. Metode analisis isi digunakan untuk melihat konsep maṣlaḥah
yang menurut al-Būṭī tawarkan didalam kitabnya“Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī
al-Sharī’at al-Islāmiyah”. Kemudian konsep maṣlaḥah al-Būtī tersebut
32
M. Atho Mudzhar, “Tantangan Studi Hukum Islam di Indonesia Dewasa Ini” dalam
Indo-Islamika, Vol. 2, No. 1, 2012. h. 95
33
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-
interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. Ke-1, h. 272

18
akan di aplikasikan secara kualitatif terhadap fatwa akad pernikahan online
yang diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa dunia. Hal ini dilakukan untuk
menganalisis seberapa dalam dan jauh relevansi konsep maṣlaḥah al-Būṭī
tersebut terhadap fatwa akad pernikahan online.

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam tesis ini mengacu kepada buku “Pedoman


Penulisan Tesis dan Disertasi Program Magister dan Doktoral” yang
diterbitkan oleh sekolah pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah – Jakarta 2018.

G. Sistematika Penulisan

Untuk sistematika pembahasan, peneliti membaginya kedalam lima bab


dengan rincian setiap bab sebagai berikut :

Bab pertama sebagai pendahuluan yang meliputi didalamnya latar


belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, tujuan dan
signifikansi dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metode
penelitian dan sistematika penelitian.

Bab dua berisikan pembahasan tentang kerangka umum yang terdiri


dari dua sub bab, pertama tentang biografi al-Būṭī, berisiskan tentang riwayat
hidup dan latar belakang pendidikan beliau, kemudian diakhiri dengan
pembahasanan kontirbusi beliau di dunia pendidikan melalui karya-karya
tulisnya; kedua, konsep maṣlaḥah al-Būṭī, menjelaskan tentang maṣlaḥah
dimulai dari pengertiannya, sejarah perkembangannya dan kehujjahannya
sebagai dasar landasan hukum islam, di lanjutkan dengan penjabaran konsep
maṣlaḥah al-Būṭī dalam kitabnya “Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-
Islāmiyah”.

Bab tiga menjelaskan tentang tinjauan hukum akad pernikahan online


dan fatwa atas keabsahan akad pernikahan online yang diterbitkan oleh
lembaga fatwa dunia; Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā Al-‘Irāqiyah dan
al-Majlis al-Islamī al-Sūrī. Bab ini terdiri dari 3 sub bab; yang pertama
mendeskripsikan tentang definisi akad pernikahan online, bentuk-bentuk kasus
yang terjadi, dan analisis terhadapat pendapat ulama atas keabsahan akad

19
pernikahan online. Pada sub bab kedua, peneliti akan mendeskripsipakn
tentang biografi lembaga fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā Al-
‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī. Terakhir, pada sub bab ketiga, akan
berisikan tentang tinjauan fatwa keabsahan akad pernikahan online,
didalamnya akan dipaparkan teks sempurna atas fatwa masing-masing
lembaga yang sekaligus sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dan
di akhir pembahasan akan diuraikan hasil analisis fatwa dari ketiga Lembaga
fatwa dunia tersebut..

Bab empat yang merupakan bab inti menjelaskan tentang aplikasi


konsep maṣlaḥah al-Būṭī terhadap fatwa akad penikahan online yang
diterbitkan oleh lembaga fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā Al-
‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī. Pada bab ini peneliti berusaha untuk
menganalisa argumentasi pertimbangan fatwa tiga lembaga lembaga fatwa
tersebut, kemudian menganalisa konsep maṣlaḥah al-Būṭī terhadap fatwa akad
penikahan online yang diterbitkan lembaga-lembaga fatwa tersebut, dan
terakhir mengaplikasikan konsep maṣlaḥah al-Būṭī terhadap fatwa akad
penikahan online yang diterbitkan lembaga fatwa yang telah disebutkan .

Bab lima merupakan bab penutup yang mencakup kesimpulan dari hasil
penelitian, saran bagi para peneliti selanjutnya yang tertarik dengan tema
sejenis pada penelitian ini secara mendalam lagi.

20
BAB II

MUHAMMAD SA’ĪD RAMAḌĀN AL-BŪṬĪ DAN GAGASAN PEMIKIRAN


MAṢLAḤAH

A. Biografi Muhammad Sa’īd Ramaḍān Al-Būṭī

1. Masa Kelahiran dan Pertumbuhannya

Muhammad Sa’īd Ramaḍān Al-Būṭī (selanjutnya disebut: al-


Būṭī) bernama lengkap Muhammad Saʻīd ibn Ramaḍān ibn ‘Umar ibn
Murād, lahir pada tahun 1929 M di sebuah perkampungan terpencil di
Turki bernama Jilkā. Jilkā itu sendiri merupakan kampung sederhana
yang terletak di sebuah pulau bernama Semenanjung Buṭān, berada di
perbatasan antara Turki dan Iraq. Kata “al-Būṭī” yang menjadi panggilan
akrabnya diambil dari tempat kelahiran beliau yakni Buṭān1.

Al-Būṭī lahir ketika suasana umat Islam di Turki baru saja


kehilangan tampuk pemerintahan Khilafah Uthmaniyyah dan diganti oleh
rezim Mustafa Kamal Ataturk yang mengamalkan dasar sekularisme
dalam pemerintahannya2. Umat Islam di Turki ketika itu mengalami
kesengsaraan sikap tidak mengambil peduli dan kehilangan jati diri
budaya dan semangat keilmuan, ayahnya merupakan seorang tokoh
ulama Kurdi yang terkenal di Turki dan Damaskus, beliau lahir pada
tahun 1888 M, terkenal di masyarakat dengan nama Shaikh Mullā
Ramaḍān3. Al-Būṭī merupakan anak kedua dan satu-satunya anak laki-
laki di keluarganya, sebelumnya beliau memilki tiga saudara kandung,
semuanya wanita, yaitu; Zainab, Ruqoyyah dan Naʻīmah, namun dari
ketiga saudari tersebutnya tidak ada yang memiliki usia lama hingga
mereka semuanya wafat 4. Pada masa kecilnya beliau diberi nama
panggilan “Fuḍail”, nama ini diberikan oleh ayahnya hanya untuk
mengambil berkah dari nama seorang ulama sufi yakni Fuḍail bin ‘iyāḍ 5.
Sebelumnya, yakni tepatnya beberapa hari dari kelahiran al-Būṭī, beliau

1
Hishām ʻAlyawan dan Fadī al-Ghausyī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād wa al-Islām
al-Siyāsī, (Beirūt: Markaz al-Haḏārah Litanmiyah al-Fikr al-Islāmī). 2012, h. 15. Lihat
juga: Muẖammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, Hādhā Wālidī al-Qissah al-Kāmilah liẖayāh al-
Shaikh Mullā Ramaḍān al-Būṯī min Wilādatih ilā Wafātih, (Lebanon: Dār al-Fikr, t.t.). h.
23.
2
Andi Muhammad Aiman Andi Abd Rahman dan Muhamad Razak Idris, “Ramadhan
Al-Buti, Riwayat Hidup Dan Beberapa Aspek Sumbangan Pemikirannya”, dalam At-
Tahkim, Vol. 8, No. 23, Juli 2018, h.2
3
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.
4
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.
5
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 23-55.

21
dibawa oleh ayahnya ke salah satu guru ayahnya yang bernama Saʻīd
yang terkenal dengan julukan Shaīkh Sayyidān untuk kemudian di tahnīk
(mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan
digosokkan ke langit-langit). Pada saat itulah, tepatnya sebelum
berpulangnya mereka, gurunya “Shaikh Saʻīd” memerintahkan ayahnya
“Shaikh Mullā” untuk merubah dan mengganti nama anaknya menjadi
Muhammad Sa’īd, dan semenjak saat itulah al-Būṭī berubah namanya
dari Fuḍail menjadi Muhammad Sa’īd6.

Pada tahun 1933 M. ketika al-Būṭī beranjak usia empat tahun,


keluarganya melakukan perpindahan tempat tinggal menuju Damaskus-
Suriah, dimana pada awal permulaan hijrah tersebutlah saudari-
saudarinya meninggal dunia, hingga kemudian pada tahun 1942 ibunya
tercinta juga meninggal dunia. Tidak lama selang beberapa tahun ketika
usia al-Būṭī sudah memasuki usia 13 tahun, ayahnya menikah untuk
kedua kalinya dengan seorang wanita kebangsaan Suriah, dan melahirkan
dua anak perempuan yang bernama; Zainab, dan Khadījah 7.

Ketika al-Būṭī berusia 18 tahun, ayahnya “Shaikh Mullā


Ramaḍān” memerintahkan al-Būṭī untuk menikah dan mempersunting
seorang wanita yang merupakan saudara perempuan istri keduanya. Pada
awalnya al-Būṭī agak menolak untuk menikah di usia muda, namun
setelah mendapatkan penjelasan dari sang ayah, akhirnya beliaupun
menta’ati keinginan ayahnya. Ayahnya dikarunia umur yang begitu
panjang, sehingga walaupun al-Būṭī telah memiliki keluarganya sendiri,
mereka masih berada dalam satu rumah dengan ayahnya sendiri “Shaikh
Mullā Ramaḍan” sebagai kepala rumah tangga dan pemegang keputusan
dan kebijakan keluarga tersebut, hingga pada hari Selasa 15 Mei 1990 M
yang bertepatan pada tanggal 20 Syawwāl 1410 H ayahnya wafat pada
usia cukup panjang, yaitu 102 tahun.

Al-Būṭī dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak yang terdiri dari
enam anak laki-laki dan satu anak perempuan. Setelah wafat ayahnya,
yang menjadi kepala keluarga dan memberikan kebijakan dan keputusan
dalam keluarganya adalah beliau, hingga pada hari kamis 21 Maret 2013
bertepatan dengan tanggal 9 Jumādil Awwal 1434 H al-Būṭī harus
mengalami tragedi bom bunuh diri dari salah seorang yang tidak dikenal
yang menyusup ditengah-tengah jamā’ah kajian rutin malam Jum’at
beliau yang berlokasi di masjid jāmi’ al-Īmān - Damaskus. Tragedi bom
bunuh diri ini menyebabkan kematian al-Būṭī dan beberapa jamā’ahnya.

6
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.
7
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, ... h. 55.

22
Beliau wafat pada usia 84 tahun dan dimakamkan di dekat masjid Jāmi’
al-Umawī, bersampingan dengan makam Ṣalāhuddīn al-Ayūbī. 8

Al-Būṭī merupakan intelektual dan cendikiawan muslim yang


multitalenta, bukan hanya diakui sebagai ahli pakar sharī’ah melainkan
beliau juga ahli dalam bahasa dan sastra, khususnya sastra arab.
Disamping itu al-Būṭī juga dikenal sebagai tokoh sunnī yang
multidisipliner. Nama al-Būṭī seringkali disebut-sebut di sepenanjung
kota Damaskus sebagai tokoh yang dihormati oleh para cendikiawan
muslim, tokoh ulama dan penduduk kota Damaskus. Beliau merupakan
salah satu sosok ulama fenomenal yang hampir jarang di temui di seluruh
dunia. Al-Būṭī merupakan ulama yang produktif dalam hal karya tulisnya,
telah banyak dari karya-karyanya yang memiliki peran sumbangsih dalam
mencerahkan pemikiran dan jiwa masyarakat muslim saat ini. Nasehat
dan pesan yang beliau sampaikan begitu lugas dan universal hingga dapat
diterima oleh mayoritas kaum muslim di dunia. 9

Sosok seperti al-Būṭī di dunia akademika tidaklah mudah untuk


ditemukan, dimana beliau berhasil dan mampu untuk menggabungkan
kepemimpinan spiritual (spiritual leadership) dan aspek kesarjanaan
Islam (Islamic scholarship) menjadi sebuah kekuatan yang unik baginya.
Sebagai seorang akademisi, otoritas keilmuannya tidak diragukan,
disamping itu pula, sebagai seorang pemimpin spiritual, keteladanannya
menjadi panutan kaum muslim saat ini, yang mana beliau mencerminkan
sejatinya sifat dari Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila
diperhatikan dari sisi akademisi, beliau berusaha menjadikan Islam
sebagai kekuatan nilai-nilai sosial praktis yang dapat menjawab krisis
spiritual masyarakat modern saat ini, dan dengan menggabungkan kedua
aspek tersebut yakni (Islam dalam sudut pandang akademisi dan
spiritual), beliau mencoba merespon dan menjawab tantangan kehidupan
Islam saat ini.10

Kemampuannya tersebut, mampu merangkul masa dan jamā’ah


yang begitu banyak dan tidak terhitung dari berbagai golongan, baik itu
pengikutnya di kota Damaskus ataupun dari belahan dunia lainnya.
Kajian-kajian beliau yang berupa pengajian di masjid-masjid kota
Damaskus kerap tidak pernah kosong dari jamā’ah, bahkan bisa mencapai
ribuan yang hadir dan ikut serta didalamnya. 11

8
Tim Akademi Intelektual Muda, Imam Mohamed Said Ramadan al-Bouti dalam
Kenangan, (Sabah: Publishing House, 2015), h. 20
9
Al-Būṭī, Al-Hubb fī Al-Qur’an wa Daur al-Hubb fī Hayāh al-Insān, (Damaskus:
Dār al-Fikr, 2009), h. 195.
10
Al-Būṭī, Al-Hubb, h.204.
11
Al-Būṭī, Al-Hubb, h.204.

23
Kepiawaiannya dalam bidang keilmuan Islam, mengantarkannya
menjadi tokoh yang disegani dan dihormati dikalangan ulama dunia,
hingga dengan kemampuannya tersebut dapat megantarkannya ke ke
sebuah kedudukan yang tinggi, yakni sebagai anggota The Royal Society
of The Islamic Civilization Researches-Amman Jordania, dan sebgai
anggota The High Council of Oxford Academy-England. Beliau juga
pernah dilantik menjadi presiden kesatuan ulama Suriah, yang kemudian
setelah sepeninggalnya beliau, jabatan tersebut digantikan oleh anaknya
Muhammad Taūfīq. Diambil dari kesaksian anaknya juga bahwasannya
al-Būṭī pernah menerima anugerah tokoh dunia Islam (Islamic
Personality of The Year Dubai International Holy Qur‟an Award) dari
yayasan dari raja Muẖammad ibn Rāsyīd di Dubai pada tahun 2004,
anugerah atas buku terbaiknya: Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyyah dari
kerajaan Mesir, dan anugerah tokoh tahunan dari kerajaan Jordan dan
negara Suriah pada tahun 200712.

2. Pendidikan Al-Būṭī

Sejak kecil al-Būṭī mendapatkan pendidikan yang mencukupi,


pada tahun 1935 M, saat usianya beranjak enam tahun, Shaikh Mullā
yang merupakan ayahnya membawanya ke seorang wanita guru ngaji
yang ṣalehah. Disanalah al-Būṭī mengawali pendidikannya dengan belajar
baca al-Qurˋān, beliau mengkhatamkan al-Qurˋān dibawah asuhan
wanita tersebut tidak lebih dari enam bulan, yang mana pada saat itu al-
Būṭī masih berusia sangat muda, yakni enam tahun. Seusainya menimba
ilmu dari wanita tersebut, al-Būṭī melanjutkan pendidikannya dengan
belajar ilmu agama, bahasa arab, matematika, dan ilmu-ilmu lainnya di
sekolah yang terletak di daerah al-Qarmānī, berdekatan dengan pasar
Sarujah, yang mana tempat sekolahnya ini jaraknya lumayan berjauhan
dengan tempat tinggalnya13. Berlanjut pada tahun 1942 M, beliau lebih
memperluas ilmu agamanya dengan belajar ilmu sharī’ah kepada seorang
alim ulama di Damaskus, yaitu Shaikh Hasan Habannakah al-Maidānī14.

Al-Būṭī mendapatkan perhatian yang begitu besar dari ayahnya,


bahkan beliau menjelaskan bahwasannya, beliau banyak belajar dan
terpengaruhi oleh sosok ayahnya yang merupakan ulama Sufi dan faqīh
(ahli pakar fiqh) dalam madhhab syāfiˋi di zamannya. Mullā Ramaḍān
selain menjadi seorang ayah bagi al-Būṭī, beliau juga menjadi seorang
guru pertama yang mengajarkan asas dan dasar-daasar pengetahuan ilmu
agama baginya, seperti ilmu tauhid, sejarah nabi Muhammad shallahu
‘alaihi wa sallam serta ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu dan ṣaraf).
Dinatar pendidikan ayahnya seperti yang dituturkan oleh al-Būṭī sendiri

12
Tim Akademi Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h. 24
13
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, h. 56-57
14
Al-Būṯī, Hādhā Wālidī, h. 59

24
bahwasannya ayahnya setiap hari menjelaskan lima hingga enam bait
nadhom alfiyah karya Ibn Mālik al-Andalūsī, sehingga tidak lebih dari
satu tahun, dirinya telah menghafal bait nadhom Alfiyah seluruhnya.15

Pendidikan sang ayah bagi Shaikh al-Būṭī tidak sebatas hanya


pendidikan ilmu pengetahuan, melainkan juga pendidikan spiritualnya.
Mullā Ramaḍān yang merupakan ayahnya selaku kepala rumah tangga,
selalu menuntun keluarganya untuk beretika dan beradab atas karunia
rizki yang Allah berikan kepada mereka. Seperti pada setiap kali akan
makan, mereka tidak terkecuali al-Būṭī selalu diajarkan dan diingatkan
oleh ayahnya untuk selalu beradab dan sopan dalam menikmati rizki yang
Allah Ta’ālā telah berikan kepada mereka. Sulūk dan pendidikan spiritual
yang diberikan sang ayah kepada anak-anak dan keluarganya lebih
terlihat jelas ketika dilihat dari rutinitas keluarganya, dimana keluarga
tersebut memiliki amalan pada setiap hari senin dan kamis untuk
melantunkan dhikr “lā ilāha illa allāh” sebanyak 100 kali, dan kalimat
“Allah” 100 kali. Hingga Muhammad Taufik yang merupakan anak dari
al-Būṭī juga tidak luput dari pendidikan spiritual Mullā Ramaḍān. Sosok
sufi yang berada didalam wujud Mullā Ramaḍān sangat menginspirasi al-
Būṭī, hal ini terlihat dari kesaksian Muhammad Taufik yang melihat
ayahnya mengikuti jejak langkah Mullā Ramaḍān seperti rutinitas qiyām
al-lail untuk menunaikan shalat tahajjud dan shalat-shalat sunnah lainnya.
Beliau juga sering terlihat membaca al-qur’ān sebelum shalat subuh, dan
tidak sedikit selalu menyucurkan air matanya ditengah-tengah bacaannya
terhadap al-Qur’ān.16

Saat al-Būṭī berada dimasa pendidikan menengah di ma’had al-


Taujīh al-Islāmī - Damaskus, beliau banyak mendapatkan ilmu dari
gurunya al-‘ālim al-‘allāmah Hasan Habannakah al-Maidāni. Bahkan,
bisa dikatakan beliau adalah guru kedua setelah ayahnya yang paling
memberikan pengaruh dan ilmu dalam pembentukan karakter al-Būṭī
semasa hidupnya. Pada tahun 1953 M, al-Būṭī sudah menyelesaikan
pendidikannya di ma’had tersebut, hingga pada saat datang masanya
untuk mengikuti wajib pendidikan militer, beliau memutuskan
meneruskan pendidikannya ke luar negeri, yaitu ke Universitas al-Azhar
Kairo di Mesir, yang pada akhirnya terlepas dari program wajib militer
yang diselenggarakan pemerintahan Suriah.17

Pada saat menimba ilmu di universitas al-Azhar Kairo – Mesir,


beliau tidak menyia-nyiakan waktunya, sehingga dalam tempo waktu
yang singkat, beliau telah menyelesaikan studinya di universitas tersebut.
Dalam tempo dua tahun saja, al-Būṭī telah berhasil meraih gelar S1 dan

15
Al-Būṭī, Hādhā Wālidī, h. 57
16
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.21
17
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.22

25
S2 dengan predikat cum laude. Gelar sarjana S1 beliau dapatkan pada
tahun 1955, dan gelar S2-nya beliau dapatkan pada tahun berikutnya dari
fakultas bahasa arab universitas al-Azhar Kairo – Mesir. Selang beberapa
tahun kemudian, Sepulangnya dari masa studi di universitas al-Azhar
Kairo tepatnya pada tahun 1960 M, beliau mendapatkan tawaran untuk
menjadi dosen dan mengajar di fakultas sharī’ah universitas Damaskus.

Jabatannya sebagai dosen ternyata tidak mengakhiri semangatnya


dalam meraih pendidikan yang lebih tinggi, berkat kecerdasan beliau dan
luasnya wawasan beliau, akhirnya beliau mendapatkan beasiswa dari
universitas Damaskus untuk melanjutkan studinya ke jenjang S3, hingga
pada tahun 1965 M, beliau meraih gelar S3-nya dari universitas al-Azhar
Kairo – Mesir, dan dikaruniai gelar doktor dalam bidang epistemologi
hukum islam dengan predikat mumtāz (cum laude / sangat memuaskan).
Pada saat itu, disertasinya yang berjudul Ḍawābiṭ al- Maslahah fī al-
Sharīʻah al-Islāmiyyah, mendapatkan penghargaan dan rekomendasi dari
universitas al-Azhar Kairo sebagai karya tulis yang layak dipublikasikan.
Kemudian pada tahun yang sama juga, beliau diangkat menjadi dekan
fakultas sharī’ah di universitas Damaskus.

Jika melihat sepak terjang kehidupan al-Būṭī dari aspek


pendidikan, dapat disimpulkan beliau sangat tidak kekurangan, bahkan
bisa dikatakan pendidikan yang telah dijalani beliau baik itu yang bersifat
sains ataupun spiritual sangat sempurna atau mendekati sempurna. Dalam
bidang kebahasaan saja, semenjak usia 18 - 23 tahun beliau terlihat telah
banyak mendalami tulisan dan karya para ulama dan tokoh-tokoh sastra
sebelumnya, seperti Mustafā Sādiq al-Rāfi’ī, ‘Ali al-Ṭanṭāwī, Ahmad
Hasan al-Ziyād, Ibrāhīm dan Abdul Qōdir al-Mazānī. Menurut beliau,
karya tulis semisal yang mereka buat, bukan hanya meningkatkan
kualitas penguasaan gramatikal bahasa arab saja, melainkan mampu
menjadikan pembacanya sebagai yang mahir dalam bahasa arab dan
mempunyai kredibilitas dalam mendalami dan menjiwai sastra yang sulit
dan kuat.18

Tidak hanya itu, beliau juga banyak terinsipirasi oleh sosok dan
pemikiran salah satu ulama abad sebelasan, yakni Abu Hāmid
Muhammad bin Muhammd bin Muhammad al-Ghazālī al-Thūsī, yang
dikenal sebagai pembaharu Islam abad tersebut, sehingga tidak sedikit
para ulama Shām – Damaskus menjuluki al-Būṭī sebagai al-Ghazālī abad
ini. Gelar ini walaupun bukanlah gelar akademik yang formal, namun
tidak mudah untuk didapatkan oleh setiap orang, hal ini karena
menimbang begitu luas ilmu al-Ghazālī dan begitu besarnya pengorbanan
dan jasa yang beliau berikan demi mempertahankan dan menegakkan
agama Islam saat itu sehingga dikenal sebagai “Hujjah al-Islām al-

18
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.23

26
Ghazālī”. Barangkali, sebab utama diberikannya gelar tersebut kepada
al-Būṭī yang diberikan ulama Sham-Damaskus selain daripada luasnya
ilmu pengetahuan beliau dibidang agama, juga dikarenakan al-Būṭī telah
banyak berkontribusi dalam mempertahankan Islam yang beraqidahkan
ahlussunnah wa al-jamā’ah di dunia Islam dengan tantangan yang sesuai
dengan zaman kontemporer saat ini. 19

3. Hasil Karya Al-Būṭī

Al-Būṭī merupakan salah satu tokoh akademisi yang sangat


produktif dalam hal karya tulis, beliau bukan hanya terkenal sebagai dā’i
ilā Allah dalam menjalankan dakwah diberbagai mancanegara, dan bukan
hanya terkenal sebagai sufi di zaman kontemporer ini, namun beliau juga
terkenal sebagai ulama yang penuh dengan segudang karya-karya
tulisnya. Bahkan hingga saat ini, pemikiran al-Būṭī yang dituangkan
dalam karya-karyanya menjadi sebuah kontribusi terbesar dalam
mengembangkan ideologi kamum muslim khususnya, dan ummat
manusia umumnya. Karya-karya tulisnya tidak sedikit menjadi bahan
referensi para akademisi, menjadi bahan rujukan para ulama, bahkan
menjadi bahan kajian rutin mayoritas ulama sunnī di dunia.

Al-Būṭī salah satu ulama kontemporer yang telah banyak


memberikan sumbangsih melalui tulisan-tulisannya kepada umat manusia
baik muslim ataupun non-muslim, baik itu yang berupa terjemahn,
filsafat, sastra arab, fiqh, uṣūl fiqh, tauhid dan lain sebagainya. Karya
tulisnya mencapai lebih dari tujuh puluh judul buku, meliputi bidang
filsafat, sastra, sosiologi, sharīʻah, usūl al-fiqh, masalah-masalah kultural
dan lain-lain. Beliau juga dikenal sebagai salah cendikiawan muslim
yang mempertahankan ideologi ahlussunnah wa al-jamāʻah, yang
mana karena prinsipnya yang begitu kuat dalam mepertahankannya
inilah, beliau seringkali mendapatkan tantangan keras dari beberapa
aliran/sekte Islam lainnya. Salah satu karyanya yang mengundang
tantangan keras adalah dua kitabnya yang berjudul “al-Salafiyyah
Marḥalah Zamāniyyah Mubārakah lā Madhhab Islāmiyyah dan
Allāmadhhabiyyah: Akhṭar Bidʻah Tuhaddid al- Sharāʻah al-Islāmiyah”,
dua kitab ini memberikan kritik keras kepada salah satu sekte/aliran Islam
lainnya, maka tidak heran ketika dua kitab ini dicetak dan disebarkan
hampir seluruh kaum muslim di dunia melirik terhadap dua kitab ini yang
menyebabkan nama beliau naik daun dan terkenal di mancanegara,
bahkan pada tahun 1970-an beliaupun sempat terlibat diskusi dengan
Nāsiruddīn Albānī yang merupakan seorang tokoh Salafi Wahabi.20

19
Intelektual Muda, Imam Mohamed ... h.24
20
Hishām ʻAlyawan dan Fadī al-Ghaushī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād ... h. 241 -
246

27
“Al-Hubb fî Al-Qur’ān” salah satu karya yang paling akhir
beliau tulis. dalam buku tersebut, al-Būṭī mengajak kita untuk
menggali dan merenungi al-Qurˋān dalam menemukan asrār (rahasia)
untuk mendapatkan cinta Allah Ta’ālā. Bukanlah hal yang mudah untuk
mengajak para pembacanya dan membuat mereka yakin dan percaya akan
hal tersebut, namun al-Būṭī meyakinkan setiap orang yang membacanya
bahwa cinta Tuhan dapat digapai dengan kekuatan nalar dan hati
sekaligus, melalui karyanya, para pembaca akan melihat sosok al-Būṭī
sebagai ulama sufi yang begitu kental dan dalam. 21

Beberapa pandangan al-Būṭī Seringkali beliau sendiri tuangkan


dalam karya-karya tulisnya, seperti pandangan tentang hukum pidana
dalam Islam, semisal rajam, qiṣāṣ, potong tangan dan lainnya. Beliau
dalam hal ini berpandangan bahwasannya jenis hukum pidana dalam
Islam masih sangat relevan untuk digunakan pada sepanjang masa.
Pemikiran dan pandangan ini beliau abadikan menjadi sebuah karya tulis
ilmiyah dengan judul “al-Uqūbāh al-Islāmiyah wa Uqdah al-Tanāquḍ
Bainahā wa Baina Mā Yusammā bi Ṭabīʻah al-‘Aṣri”. Dalam
karyanya ini, beliau juga mencoba untuk menjawab penilaian orang-
orang yang mengatakan bahwa hukum pidana Islam adalah hukum yang
kejam dan bengis.

Al-Būṭī mendapatkan tempat khusus dalam hati kaum muslim


dunia, terlebih bagi kalangan kaum muslim di timur tengah, bagi mereka
Al-Būṭī merupakan ulama yang memiliki kharismatik dan keilmuan
agama yang luas. Tidak diragukan lagi, jabatannya sebagai muftī yang
memiliki pengaruh di timur tengah bukanlah jabatan formal biasa,
namun jabatan yang diakui oleh mayoritas kaum muslim timur tengah.
Sebagai seorang muftī, beliau mampu memperlihatkan wajah Islam yang
sejati kepada dunia sebagai agama yang fleksibel dan toleran, namun
tetap tegas dalam memihak kebenaran.22

Adapun karya-karya al-Būṭī yang lainnya dan telah menjadi buku


dan disebarkan adalah :23

a. Ḍawābiṭ al-Maslaẖah fī al-Sharīʻah al-Islāmiyah

b. Al-Mar’ah baina Ṭughyān al-Nizām al-Gharbī wa Laṭāif al-Tashrī’


al-Rabbānī

c. Hurriyah al-Insān fī Zill ‘Ubūdiyatih Lillāh

21
Al-Ghaushī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād, h. 263
22
Al-Būṭī, Al-Hubb, h. 206-207
23
Al-Ghaushī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād, h. 240-266

28
d. Al-Islām wa al-Gharb

e. Al-Insān wa ʻAdālatullah fī al-Arḍ

f. Al-Dīn wa al-Falsafah

g. Al-Aqīdah al-Islāmiyyah wa al-Fikr al-Muʻāsir

h. Manhaj al-Haḍārah al-Insāniyah fī al-Qur’ān

i. Naqḍ al-Auhām al-Māddiyyah al-Jadaliyyah

j. Mamū Zaīn

Dari latar belakang dan kehidupan al-Būṭī ini, dapat disimpulkan


bahwa beliau adalah seorang ilmuwan, cendikiawan, dā’ī sekaligus sufi
yang memiliki manhaj ahlussunnah wa al-jamā’ah yang berbawasan
luas, terlahir dari keluarga yang berpendidikan dan berpegang tegung
dengan ajaran agama Islam. Sejak kecil, mendapatkan amunisi
pendidikan secara akademisi dan spiritual yang mencukupi, hingga
beranjak dewasa beliau menjadi tokoh ulama dan intelektual yang
menjadi panutan dunia. Al-Būṭī bukan hanya diakui sebagai ‘ālim ulama
dalam bidang syarīʻah dan bahasa, melainkan dikenal juga sebagai ulama
sunni yang produktif dan multidisipliner. Karya-karya tulisnya yang
mencapai 70 buah menjadi saksi bisu akan kehandalan dan
keintelektualan al-Būṭī. Karya-karyanya yang beliau tulis meliputi
berbagai jenis bidang keilmuan, diantarannya filsafat, sastra, sosiologi,
sharīʻah, usūl al-fiqh, masalah-masalah kultural dan lain-lain. Hal ini
dibuktikan juga dengan tersebarnya karya-karya beliau dikalangan
akademisi dunia, dimana karya tulisnya banyak di induk, dikutip dan
dijadikan referensi oleh kalangan intelektual mancanegara. Penghargaan
demi penghargaan beliau dapatkan bukan hanya semata-mata formalitas
saja melainkan sebagai bukti kongkrit atas kecerdasan dan
Kepiawaiannya dalam bidang keilmuan Islam. Beliau dikenal sebagai
salah satu ulama yang mampu menggabungkan kepemimpinan spiritual
(spiritual leadership) dan aspek kesarjanaan Islam (Islamic scholarship)
menjadi kekuatan yang unik yang jarang ditemukan dalam satu sosok
seorang ˋalim ulama. Sebagai seorang akademisi, otoritas keilmuannya
tidak diragukan. Sementara itu, sebagai seorang pemimpin spiritual,
keteladanannya menjadi panutan. Bukanlah hal yang mustahil jika Al-
Būṭī hingga saat ini menjadi seorang tokoh yang kharismatik dan
disegani oleh banyak kaum muslim di belahan dunia, baik itu dari
kalangan penguasa, ulama, maupun masyarakat biasa.

29
B. Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī

1. Definisi Maṣlaḥah Al-Būṭī

Kata maṣlaḥah menurut al-Būṭī seperti kata manfaat dari segi


bentuk ataupun makna, kata ini memiliki arti “‫( ”الصالح‬al-salāh) yaitu
kebaikan, seperti halnya makna dari kata manfaat 24. Kata maṣlaḥah ini
juga merupakan kata tunggal dari kata maṣālih sebagai mana yang tela
disebutkan oleh Ibn Manẓūr dalam kitabnya Lisān al-‘Arab25. Jika dilihat
dari sudut pandang ilmu ṣarf (morfologi), kata maṣlaḥah memiliki bentuk
dan makna yang sama dengna kata manfaʻah, yang mana kata maṣlaḥah
dan manfaʻah ini kedua-duanya adalah bentuk masdar mīmī dari fi’il
tsulasi mujarrod yang berpola “‫ ”مفعلة‬maf’alah, kemudian menjadi kata
serapan Indonesia dan ditulis menjadi kata maslahat dan manfaat 26.
Secara bahasa, menurut al-Būṭī segala hal yang memiliki arti memperoleh
baik itu dengan cara menariknya, seperti meraih faidah, kenikmatan, dan
kelezatan; ataupun dengan cara menolaknya dan mencegahnya, seperti
menjauh dari kerusakan dan rasa sakit, maka semua hal tersebut pantas
untuk dinamakan sebuah maṣlaḥah.

Adapun secara istilah ulama sharī’ah islāmiyyah, al-Būṭī


menyimpulkannya kedalam 2 definisi, yaitu; pertama, bermakna manfaat
yang dimaksud oleh Allah Ta’ālā untuk hamba-hambanya, seperti
menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya, sesuai
dengan urutan tertentu diantara semuanya; kedua, bermakna manfaat
yang merupakan sebuah kenikmatan ataupun perantara menuju
kenikmatan tersebut, dan pencegahan rasa sakit atau perantara untuk
mencegah rasa sakit tersebut27.

Beragam sudut pandang yang berbeda terhadap kata maṣlaḥah


dapat menghasilkan kontradiksi antara maṣlaḥah yang satu dengan yang
lainnya. Adakalanya sebuah maṣlaḥah yang diyakini dan dianggap benar
oleh satu pihak, namun dalam rute pencapaiannya justru menghancurkan
dan menyingkirkan kemaslahatan pihak lainnya, atau sebaliknya, dimana
kemaslahatan yang diyakini dan dianggap benar olehnya
menjerumuskannya dalam kemadaratan. Dalam kondisi ini, al-Raisūnī
berpendapat bahwa semua pihak baik itu kelompok ataupun individual
harus meletakkan ragam pendapat tersebut pada porsinya masing-masing,
kemudian dianalisa dari segala sudut pandang yang telah disebutkan.
Barulah tercipta hasil maṣlaḥah mana yang harus didahulukan, yang

24
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 23
25
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Maʻārif, t.t.), Jilid 27, h. 2479.
26
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h.127.
27
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maslaḥah, h. 23

30
mana menurutnya, inilah cara yang paling tepat dalam mengantarkan
seseorang kepada maṣlaḥah yang benar28.

Adapun menurut al-Būṭī, penggunaan maṣlaḥah dalam metode


istinbāṭ hukum islam bukanlah sesuatu yang baru, justru sebaliknya,
maṣlaḥah sudah sejak zaman ṣahabat Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian dilanjutkan oleh generasi tābiʻīn hingga masa sekarang
dipandang dan memiliki tempat yang penting dan urgent dalam
menetapkan hukum islam, misalnya pada zaman ṣahābat, Abu Bakar al-
Ṣiddīq mengkodifikasi al-Qur’ān setelah wafatnya nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini beliau lakukan karena banyaknya
para penghafal al-Qurˋān wafat di medan perang, sehingga perlu adanya
pengkodifikasian demi kemaslahatan penjagaan al-Qurˋān sebagai kitab
suci umat Islam, yang mana hal ini dilakukan oleh beliau tiada lain
mengaju kepada unsur maṣlaḥah di dalamnya29. Contoh lainnya dari
aplikasi maṣlaḥah dalam pengambilan sebuah hukum dilakukan pada
masa tābi’īn, yaitu dimana pada masa itu Umar bin Abdul ‘Azīz
memerintahkan untuk mengumpulkan ḥadīts, serta meletakkan urutan
perawinya, pada masa ini juga dikenal dalam sejarah sebagai masa ilmu
al-jarḥ wa al-taʻdīl, kedua hal ini juga dilakukan dan disepakati atas
dasar maslaḥah30

Semakin modern zaman ini, semakin banyak juga problem-


problem kontemporer yang harus dipecahkan dan ditemukan hukum
islam di dalamnya, hingga konsep maṣlaḥah seringkali menjadi metode
solusi dalam pemecahan masalah kontemporer tersebut. Namun, sangat
disayangkan hal ini menjadi titik tolak balik kesalahfahaman makna dari
maṣlaḥah, banyak orang yang kemudian dianggap memanfaatkan
maṣlaḥah ini dan dijadikan sebagai dalil untuk berpaling dari al-
sharīʻat al-islāmiyyah (hukum islam). Hal ini bertambah buruk dengan
munculnya ideologi kebarat-baratan yang dikenal sebagai kaum
moderenisasi yang lebih mengunggulkan sistem peradaban barat, yang
menurut mereka lebih mutakhir dan lebih mampu merespon kebutuhan-
kebutuhan manusia zaman sekarang, dibandingkan dengan sistem
peradaban Islam yang lebih terkesan jadul dan tidak dapat mengikuti
perkembangan zaman.31 Di tengah-tengah suasana akademik Islam yang
kacau inilah al-Būṭī muncul, tepatnya pada tahun 1965 M beliau
berusaha untuk membatasi kembali cara penggunaan konsep maslaḥah.
Dalam disertasinya yang berjudul “Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Sharī’at

28
Aḥmad al-Raisūnī dan Muḥammad Jamāl Bārūt, Al-Ijtihād: al-Nas, al-Wāqiʻ,
al- Maslaḥah (Beirūt: Dār al-Fikr al-Muʻāsir, 2000), h. 33-37
29
Saʻīd Ramāḍan al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo:
Mu’assasah al-Risālah), h. 308
30
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 315
31
Al-Būṭī, Ḍawābi, h.6

31
al-Islāmiyah” terlihat jelas bahwasannya beliau mencoba untuk
mengungkapkan teori maṣlaḥah yang hakiki dan memberikan
pemahaman konsep maṣlaḥah yang sesuai dengan ajaran Rasulallah
shallallahu ‘alaihi wasallam, yang kemudian dikembangkan oleh para
shahabat dan generasi setelahnya.

Al-Būṭī walaupun termasuk kedalam ulama kontemporer di bidang


ini, namun memiliki gagasan yang berbeda dibandingkan dengan ulama-
ulama kontemporer lainnya, semisal ’Alal Al-Fāsi, dan Jāsser ‘Auda.
Konsep maṣlaḥah al-Būṭī lebih condong kepada konsep ulama-ulama
klasik yang mempertahankan aspek ʻUbūdiyyah ketimbang maṣlaḥah itu
sendiri. Hal ini terlihat ketika al-Būṭī memahami slogan “al-Islām yaṣluh
li kulli zaman wa makān” bukan memiliki arti bahwa Islam ini relevan
dan bisa dipakai sesuai dengan perubahan dan perkembangan akal pikiran
setiap orang sebagaimana pemahaman sebagian ulama
kontemporerlainnya, melainkan bahwasannya Islam memiliki peraturan
yang mutakāmil, yang mana dapat diterapkan disetiap zaman dan
waktu32. Lain halnya dengan semisal Jāsser ‘Auda yang lebih
mengedepankan maṣlaḥah sebagai tujuan dan maqāṣid yang memerlukan
rekontruksi ulang pada setiap zamannya, konsep maṣlaḥah yang dia sebut
dengan maqāṣid al-sharīʻah yang bersifat perlindungan dan pelestarian,
menuju pada teori maqāṣid al-sharīʻah yang bersifat pada pembangunan
dan hak33.

Al-Būṭī dalam disertasinya mendefinisikan maṣlaḥah sebagai


manfaat yang dikehendaki dan dituju oleh Allah Ta’ālā dan bukan
sebagai manfaat yang dikehendaki setiap orang yang cenderung berbeda-
beda. Hal ini dikarenakan hanya Allah Ta’ālā sebagai pencipta yang lebih
tahu akan kepentingan mahkluk-Nya, baik itu maṣlaḥah yang berwujud
sebagai penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, ataupun harta
mereka yang disesuaikan dengan urutan tertentu yang terdapat dalam
kategori penjagaan tersebut.34

2. Dalil Keḥujjahan Maṣlaḥah dari Sudut Pandang Al-Būṭī

Menurut al-Būṭī, sejauh ini tidak ada dalil ṣarīḥ (tersurat) yang
menunjukan Secara langsung terhadap keḥujjahan atau yang menjadi
landasan atas maṣlaḥah dijadikannya sebagai salah satu sumber hukum
islam. Namun, apabila dilihat dari mafhum dalil-dalil yang tersurat yang
menjelaskan tentang perhatian dan kepedulian ditetapkannya sebuah

32
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, hal. 14
33
Teguh Anshori, “Menuju Fiqih Progresif (Fiqih Modern Berdasarkan Maqashid Al
Syariah Perspektif Jaser Auda)” dalam e-Journal al-syakhsiyyah: Journal of Law 7 Family
studies, vol. 2 No.1 Juni 2020, hal. 175
34
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h.27

32
hukum islam, semuanya mengarah kepada sebuah satu tujuan yang
besar, yakni maṣlaḥah untu umat manusia. Hal ini terlepas dari anggapan
sekelompok orang yang menjadikan maṣlaḥah sebagai poros utama dan
unsur terpenting berputarnya penerapan sharī’at islāmiyyah secara
mutlak, yang meyakini bawa dimana ada maṣlaḥah, maka disitulah ada
sharī’at islāmiyyah, begitupun sebaliknya35, tanpa memandang bahwa
penerapan sharī’at islāmiyyah sendiri bertujuan untuk mencapai sebuah
kemaslahatan, baik itu terlihat oleh kasat mata manusia ataupun tidak.
Menurut al-Būṭī, ideologi kelompok ini secara tidak sadar, menjadikan
maṣlaḥah lebih utama dan didahulukan dari sharī’at islāmiyyah, dan
menjadikan dunia sebagai satu-satunya barometer maṣlaḥah tersebut.

Namun pada hakikatnya, seperti yang telah dijelaskan al-Būṭī,


bahwasannya tujuan agama Islam dalam menshari’atkan sebuah hukum
tiada lain adalah untuk maṣlaḥah umat manusia, baik itu terlihat oleh
kasat mata ataupun tidak, sebagaimana yang telah dicantumkan dalam al-
Qur’ān yang berbunyi :

ِ ِ
َ ‫اك إِاَّل َر ْْحَةً للْ َعالَم‬
‫ي‬ َ َ‫َوَما أ َْر َسلْن‬
“Tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai Rahmat
bagi alam semesta” (Q.s Al-Anbiyā [21]: 107).

Dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwasannya diutusnya nabi


Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mana sebagai penetap dan
penyebar sharī’at islāmiyyah di muka bumi ini adalah sebagai bentuk
rahmat untuk seluruh alam semesta ini36. Maka dari itu, dapat
disimpulkan bahwa penetapan sharī’at islāmiyyah tidak akan pernah
terlepas dari yang namanya maṣlaḥah yang sesuai dengan sifat rahmat
(kasih sayang) Allah Ta’ālā.

Berikut adalah beberapa ayat al-Qurˋān lainnya yang menurut al-


Būṭī disinyalir menjadi landasan keḥujjahan maṣlaḥah secara tersirat
sebagai salah satu landasan hukum islam 37:

1. Q.S al-Nahl [16]: 90

35
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h.74
36
“tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai Rahmat bagi alam
semesta” (Q.s al-Anbiyā ;107).
37
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 75-76

33
‫ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرََب َويَْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء‬ ِ ‫اْلحس‬ ِ ِ ِ
َ ْ ْ ‫اَّللَ ََيْ ُم ُر ِبلْ َع ْدل َو‬ ‫إِ ان ا‬
‫َوالْ ُمْن َك ِر َوالْبَ ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم لَ َعلا ُك ْم تَ َذ اك ُرو َن‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan


berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-Naḥl [16]: 90)

Al-Būṭī menjelaskan bahwa kandungan ayat ini memiliki dua


hal: pertama, perintah melakukan keadilan dan kebaikan; dan yang
kedua, larangan untuk melakukan perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Perintah dan larangan ini merupakan cerminan asas
dari wujud realisasi hukum Allah Ta’ālā untuk menciptakan sebuah
kemaslahatan bagi para hamba-Nya. Mafhūm dari ayat ini
menjelaskan bahwa maṣlaḥah dan mafsadah menjadi sebuah hal
yang tidak terlepas dengan dishari’atkannya hukum islam di muka
bumi ini, jika tidak, maka perintah Allah Ta’ālā untuk melakukan
kebaikan ataupun larangan-Nya untuk melakukan kemunkaran atau
kekejian akan menjadi sia-sia dan tidak ada artinya. Maka daripada
itu, dapat disimpulkan bahwa maṣlaḥah memiliki peran penting
dalam penetapan sebuah sharī’at atau hukum islam bagi manusia38.

2. Q.S Al-Baqarah ayat [2]: 185

...‫اَّللُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوََّل يُِري ُد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر‬


‫يُِري ُد ا‬...
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu...”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:
185).

Pada ayat ini, al-Būṭī menjelaskan bahwasannya Allah


Ta’ālā selalu menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya, dan tidak
pernah mengendaki sebuah kesukaran atau kesulitan. Dari hal ini,
dapat dipahami bahwa sharī’at islāmiyyah selalu selaras dan sejalur
dengan kemaslahatan manusia yaitu dalam hal ini, kemudahan yang
membuahkan kemaslahatan dari semua aspek kehidupan manusia.
Karena jika tidak selaras atau bertolak belakang, bahkan malah
menciptakan sebuah kesukaran yang berupa mafsadah maka akan
bertentangan dengan kehendak Allah Ta’ālā yang tidak mengendaki

38
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 75-78

34
kecuali kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, dan hal itu mustahil
untuk terjadi39.

3. Q.S Al- Anfāl [8]: 24

ۡۖ
... ‫ول إِذَا َد َعا ُك ۡم لِ َما ُ ُۡييِي ُك ۡم‬ ُ َ ُ
ۡ ‫ٓأَيَي ها ٱلا ِذين ءامنوا‬
ِ ‫ٱستَ ِجيبواْ ِاَّللِ ولِل ارس‬ ْ َُ َ َ َ ُّ َ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan
Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada suatu yang memberi kehidupan kepada
kamu...,” (Q.S Al- Anfāl [8]: 24)

Dalam ayat ini, Al-Būṭī menjelaskan bahwasannya Allah


Ta’ālā telah menjadikan sebab kehidupan yang sempurna bagi
mereka adalah suatu perkara yang diserukan oleh Allah dan Rasul-
Nya, hal ini terlihat dari firman Allah Ta’ālā “‫”لِ َما ح ُۡييِي حك ۡم‬, dan
kehidupan sempurna ini tidak akan terealisasi kecuali dengan
sempurnanya kebahagian mereka dari dua sisi kehidupan , yakni
kehidupan dunia dan akhirat. Dari ayat ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa maṣlaḥah yang sempurna bagi manusia yaitu dengan
mengikuti Islam dan ta’at kepada peraturannya40.

4. Q.S. Al-Baqarah ayat [2]: 204 dan 205

ۡ ۡ ۡ ِۡ
‫ك قَ ۡولُهُۥ ِِف ٱۡلَيَ ٓوةِ ٱلدُّن يَا َويُش ِه ُد ا‬
‫ٱَّللَ َعلَ ٓى َما ِِف‬ َ ُ‫ااس َمن يُعجب‬ ِ ‫َوِم َن ٱلن‬
ۡ ِ ۡ ۡ ِ
‫ض لِيُف ِس َد‬ ‫) َوإِ َذا تَ َوا َّٓل َس َع ٓى ِف ٱۡلَر‬٢٠٤( ‫ص ِام‬ ِ‫قَ ۡلبِ ِهۦ وهو أَلَ ُّد ۡٱۡل‬
ۡ ِ
َ
ۡ َُ َ
)٢٠٥( ‫ب ٱل َف َس َاد‬ َۚ ۡ ‫فِيها وي ۡهلِك ٱۡل ۡرث وٱلن‬
ُّ ‫ٱَّللُ ََّل ُُي‬
‫اس َل َو ا‬ َ َ َ َ َُ َ
“Dan di antara manusia, ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras (204) Dan apabila ia berpaling
(dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan
padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak,
dan Allah tidak menyukai kebinasaan (205)”.(Q.S. Al-
Baqarah [2]: 204 dan 205)

39
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 76
40
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 77

35
Dalam ayat ini, al-Būṭī menjelaskan bahwasannya Allah
Ta’ālā menyebutkan bahwa ada sekelompok manusia yang
mengaku-ngaku bahwasanya mereka telah berpegang teguh kepada
petunjuk Islam dan pelajaran-pelajarannya, namun pada hakikatnya
mereka telah berbohong dan merusak di muka bumi ini dengan
merusak tanaman dan binatang ternak yang merupakan pokok
terpenting dari kemaslahatan untuk melangsungkan kehidupan
manusia. Allah Ta’ālā telah menjadikan barometer kebohongan dan
kejujuran adalah dengan mengacu terhadap pelajaran-pelajaran
Islam selama menjaga kemaslahatan manusia dan kemaslahatan
apapun yang dapat penopang kehidupan mereka. Maka daripada itu,
sudah dapat dipastikan bahwa maṣlaḥah memiliki peran penting
dalam menentukan baik buruknya suatu perkara dalam shari’at
Islam41.

Ayat- ayat al-Qurˋān diatas secara keseluruhan memberikan dalil


secara mafhūm (tidak langsung) bahwasannya sharī’at islāmiyyah selalu
sejalan dengan maṣlaḥah manusia secara universal, yang mana membawa
pemegang dan pelaksana hukum-hukum tersebut menuju kebahagian
dunia dan akhirat.

Adapun hadits-hadits yang menurut al-Būṭī menjadi dalil mendasar


terhadap keḥujjahan maṣlaḥah diantaranya42 :

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah raḍiyallah anhu43

‫ضلُ َها‬ ِْ ( :‫صلاى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلام‬


ْ ِ‫اْلميَا ُن ب‬ ِ‫ول ا‬
َ ْ‫ أَف‬،ً‫ض ٌع َو َسْب عُو َن ُش ْعبَة‬ َ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ق‬
)...‫ضعُ َها إِ َماطَةُ ْاۡلَذَى َع ِن الطا ِر ِيق‬ ‫ََّل إِلَهَ إِاَّل ا‬
َ ‫ َوأ َْو‬،ُ‫اَّلل‬
“Rasūlallah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman
itu memiliki lebih dari tujuh puluh bagian, yang tertinggi
yaitu beriman tiada tuhan selain Allah ( membaca dua
kalimat shahadat) dan yang paling rendah adalah
menghilangkan sesuatu yang dapat membahayakan di
jalanan”. (H.R. Imam al-Nasā’ī)).

Dalam hadits ini, Rasūlallah shallahu ‘alaihi wa sallam sebagai


utusan dari Allah Ta’ālā menjelaskan bahwa esensi dari iman
kepada Allah Ta’ālā itu adalah gabungan antara kedua ujung yang

41
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 76-77
42
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 78-79
43
Aḥmad bin Syuʻaib al-Nasāˋī, Sunan al-Nasāˋī (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyyah,
1971), No. 5005, Jilid 4, h. 80

36
begitu luas, ujung pertama di awali dengan tauhid dan diakhiri
dengan ujung terakhir yang menunjukkan kepada contoh terkecil
bentuk khidmah dan implementasi dari perhatian Islam terhadap
kemaslahatan umum, yakni “menghilangkan sesuatu yang dapat
membahayakan di jalanan”. Hal ini menunjukkan bahwa sharī’at
islāmiyyah selalu mengedepankan sebuah maṣlaḥah bagi seluruh
umat hingga didalam hal yang terkecilpun, dan dari hadits ini pula
dapat di pahami bahwa semua bentuk maṣlaḥah yang berbeda-beda
baik itu dari jenisnya ataupun kegunaannya tercakup didalam
mafhūm hadits tersebut. Karena jika hal terkecil saja dari bentuk
implementasi sebuah maṣlaḥah Allah Ta’ālā menjadikannya sebagai
esensi daripada iman, apalagi bentuk maṣlaḥah yang lainnya yang
lebih besar dari yang disebutkan didalam hadits tersebut 44.

2. Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubādah bin Ṣāmiṭ raḍiyallah anhu45

ِ َ‫ضرر وَّل‬ ِ ِ َ ‫أَ ان رس‬


‫ضَر َار‬ َ َ‫وسلا َم ق‬
َ َ َ َ َ‫ضى أَ ْن َّل‬ َ ‫صلاى هللا َع ْليه‬
َ ‫ول هللا‬ َُ
“Bahwasanya Rasulallah shalllahu ‘alaihi wa sallam telah
memberi ketetapan untuk dilarangnya melakukan sesuatu
yang membahayakan (baik terhadap diri sendiri atau orang
lain) dan saling membahayakan (antara satu dengan yang
lain)”. (H.R. Ibn Mājah).

Ḍharar adalah upaya seseorang untuk membahayakan dirinya


atau orang lain, sedangkan ḍhirār adalah upaya dua orang atau lebih
untuk saling membahayakan satu sama lain46. Baik itu ḍharar
ataupun ḍhirār, keduanya sangat dilarang oleh Rasūlullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kedua hal ini jika terjadi maka
akan menciptakan mafsadah bagi seluruh umat manusia, dan dengan
kata lain tidak ada lagi hukum dalam sharī’at islāmiyyah kecuali
semuanya merupakan maṣlaḥah bagi pemeluknya baik itu di dunia
dan akhirat.

44
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 78
45
Muhammad ibn yazīd al-Qazwīnī Abu Abdillah ibn Mājah, Sunan ibn Mājah, (t.tp:
Dār al-Jīl, 1998), Nomor Hadīts 2340, Jilid 4, h. 27
46
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 79

37
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ūd raḍiyallah
‘anhumā

‫ب‬
ُّ ‫َح‬ ِ ُ ‫ (ا ْۡللْق ُكلُّهم عِي‬:‫ول هللاِ صلاى هللا علَي ِه وسلام‬
َ ‫ فَأ‬،‫ال هللا‬َ ُْ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ق‬
)‫اۡلَلْ ِق إِ ََّل هللاِ أَنْ َفعُ ُه ْم لِعِيَالِِه‬
ْ
“Rasūlullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: Semua
makhluk adalah hamba-hamba Allah, dan mahkluk yang paling
dicintai oleh Allah adalah mereka yang paling bermanfaat bagi
hamba-hamba-Nya”. (H.R. al-Ṭabarānī).

Hadits ini lebih jelas dari sebelumnya, menerangkan bahwa


sharī’at islāmiyyah selalu menjaga maṣlaḥah bagi setiap
pemeluknya, dan itu terlihat ketika Allah Ta’ālā melalui sabda
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits
ini bahwa poros utama seorang hamba-Nya menjadi lebih dekat
dengan-Nya adalah dengan memprioritaskan khidmah dan
memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya yang lainnya, dan hal
tersebut dengan menjaga kemaslahatan mereka dan memenuhi
kebahagiana mereka yang hakiki.

Dalil-dalil yang telah disebutkan baik itu berupa ayat al-Qurˋān


ataupun hadits-hadits nabawi, seluruhnya membuktikan dengan jelas
bahwasanya Islam dan sharī’atnya tidak pernah terlepas dari sebuah
maṣlaḥah, bahkan kepedulian dan perhatian Islam dalam membangun
sebuah hukum bagi pemeluknya itu selalu berasaskan maṣlaḥah bagi
pemeluknya secara global dan menyeluruh hingga kepada hal-hal yang
terkecilpun47.

3. Pembagian Maṣlaḥah Al-Būṭī

Dalam mengkaji konsep maṣlaḥah ini, secara global para pakar fiqh
terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, merupakan kalangan
tekstualistis yang hanya terfokus kepada sebuah teks, dalam hal ini
mereka melihat maṣlaḥah hanya dengan apa yang tertera dan tertuliskan
dalam teks. Dalam kelompok ini tidak ada yang namanya mafhūm teks,
atau makna yang tersirat didalam teks tersebut, maka daripada itu mereka
tidak pernah mau memperlebar dan memperluas pikiran mereka dalam
menelusuri sebuah maslahat di luar daripada yang tertulis dalam teks,

47
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 84

38
oleh karena itu maṣlaḥah bagi mereka terbatas dan ruang lingkupnya
hanya apa yang tampak dari teks tersebut48.

Kelompok kedua adalah mereka yang sama sekali tidak melihat


ruang bagi maṣlaḥah dalam penerapan hukum islam kecuali ada dalil
yang mengkhusukan hal tersebut, satu-satunya yang mereka pandang
dalam penerapan hukum islam adalah sebuah naṣṣ (al-Qurˋān dan al-
hadits), dengan analogi, mereka dapat memastikan keberadaan maṣlaḥah
di kedalaman teks, karena mereka berkeyakinan bahwa naṣṣ/teks yang
telah Allah turunkan pasti membawa sebuah maṣlaḥah, baik itu tampak
ataupun tidak, walaupun pada akhirnya maṣlaḥah tersebut bagi mereka
adalah hanya sebatas maṣlaḥah yang berteks, dan adapun maṣlaḥah yang
tidak berteks tidak diperhitungkan. Alasan dari kejumudan mereka adalah
agar tertutupnya pintu maṣlaḥah yang berasaskan hawa nafsu, dan dapat
dibedakannya antara maṣlaḥah yang berdasarkan hawa nafsu dan
maṣlaḥah yang benar-benar hakiki49.

Kedua kelompok ini hampir sama, hanya saja yang membedakan


adalah dari sudut pandang dua kelompok ini terhadap konsep maṣlaḥah,
kelompok pertama masih memandang maṣlaḥah sebagai tolak ukur dari
alasan diterapkannya sharī’at islāmiyyah, hanya saja ruang lingkupnya
terbatas, yaitu hanya pada yang tampak dalam teks/naṣṣ saja, tidak lebih.
Adapun kelompok kedua, lebih memilih untuk mengedepankan naṣṣ/teks
dari pada maṣlaḥah, hal ini untuk menutup kemungkinan terburuk, yaitu
menjadikan maṣlaḥah sebagai dalih penerapan setiap hukum. Hal ini
mereka lakukan agar memfilter dengan ketat mana maṣlaḥah yang hakiki,
dan maṣlaḥah yang berdasarkan hawa nafsu.

Kelompok ketiga lebih berpikiran luas dan tidak terpaku pada


teks/naṣṣ, mereka menjadikan maṣlaḥah apapun bentuknya menjadi
sebuah tolak ukur dan asas diterapkannya sebuah hukum. Mereka
beranggapan bahwa maṣlaḥah dengan segala bentuk macamnya
merupakan maṣlaḥah yang dimaksud oleh sharī’at islāmiyyah, yaitu
pertama menjaga agama, kedua menjaga jiwa, ketiga menjaga akal,
keempat menjaga keturunan, dan kelima menjaga harta. Maslaḥah ini
tidak berteks dan biasa dikenal dalam ilmu uṣūl fiqh dengan maslaḥah
mursalah. maṣlaḥah ini tidak memiliki teks/nash khusus, maṣlaḥah ini
diambil dari mafhūm yang dikenal dalam ilmu uṣūl fiqh sebagai maṣlaḥah
al-mursalah.50

Al-Būṭī menjelaskan bahwasannya maṣlaḥah jika dipandang secara


teori uṣūl fiqh dari i’tibār (rekognisi) agama Islam dan sharī’at

48
Jamāl al-Bannā, Naḥwa Fiqh Jadīd, (Kairo: Dār al-Fikr al-Islāmī, 1997), h. 63
49
Abū Isḥāq al-Shāṭibī, al-Iʻtiṣām, (Beirūt: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyyah, t.th.), h. 354.
50
Jaml al-Bannā, Naḥwa Fiqh, h. 64

39
islāmiyyah itu terbagi menjadi tiga jenis maṣlaḥah, yaitu : (i) maṣlaḥah
al-mu’tabarah, yaitu maṣlaḥah yang diakui secara tegas keberadaannya
oleh sharī’at, yang mana telah ditetapkan berdasarkan naṣṣ baik itu
berupa al-Qurˋān, al-hadits, ijmā’ dan ataupun qiyās; (ii) maṣlaḥah al-
mulghāh, yaitu maṣlaḥah yang tidak diakui oleh sharī’at, bahkan ditolak
dan dianggap bātil oleh agama. Adapun penamaannya sebagai maṣlaḥah
dikarenakan secara akal sepintas jenis ini dianggap sebagai maṣlaḥah,
namun kenyataannya terbalik, hal ini diakarenakan adanya naṣṣ/teks yang
menentang atau bertolak belakang dengan maṣlaḥah jenis ini; dan (iii)
maṣlaḥah al-mursalah, yaitu sebuah jenis maṣlaḥah yang mana agama
tidak pernah memandangnya sebagai maṣlaḥah dan tidak pula sebaliknya.
Dalam arti lain, sharī’at islāmiyyah tidak pernah membuat hukum
berdasarkan maṣlaḥah tersebut, dan disisi lain tidak ada juga dalil
naṣṣ/teks yang bertentangan dengannya, seperti pemberlakuan sanksi
denda dengan tujuan dan maksud meredam pelaku kejahatan dan
membuatnya jera demi terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian dalam
bermasyarakat.51

Selanjutnya, dari sudut pandang hirarki atau tingkat kebutuhan dan


pengaruhnya terhadap penetapan sebuah hukum al-Būṭī membagi
maṣlaḥah menjadi tiga tingkatan maṣlaḥah, yaitu: (i) maṣlaḥah
dharūriyyāh atau primer, yaitu maṣlaḥah tingkat pertama yang menjadi
penopang eksistensi kehidupan manusia, direalisasikan melalui lima
prinsip dan tujuan diterapkannya hukum islam (maqāṣid al-shari’at),
yaitu: hifẓ ad-dīn (menjaga agama), maṣlaḥah dharuriyyāh dari pilar ini
yaitu dengan menjaga iman dan melaksanakan rukun Islam; hifẓ al-nafs
(menjaga jiwa), dengan terwujudnya pembolehan makanan, minuman
dan tempat tinggal pokok yang menopang kehidupannya; hifẓ al-‘aql
(menjaga akal), yaitu terwujud adalah mendapatkan pangan dan asupan
yang dapat menjaganya agar tetap hidup dan berakal sehat hifẓ al-nasl
(menjaga keturunan), dengan terwujudnya hal-hal yang menjadi
penopang dan penyambung rantai silsilah keturunan seseorang agar tidak
terputus, seperti pernikahan; dan yang terakhir hifẓ al-māl (menjaga
harta), maṣlaḥah dharuriyyāh dari pilar ini yaitu dengan adanya izin
untuk melakukan pokok atau asas transaksi-transaksi mu’āmalah antar
manusia, yang mana apabila maṣlaḥah ḍarūriyyah dari kelima pilar ini
tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan kerusakan fatal bagi dirinya
ataupun agamanya52; (ii) maṣlaḥah ḥājiyyāh atau sekunder, yaitu
maṣlaḥah tingkatan lapis kedua dalam menopang eksistensi kehidupan
manusia. Tidak tercapainya maṣlaḥah tingkat ini tidak akan
menyebabkan kerusakan fatal ataupun kebinasaan, hanya saja akan
merasa kesulitan dalam hidupnya. Adapun tujuan utama dari turwujudnya

51
Abdul Wahhāb Khalāf, ʻIlm Usūl Fiqh wa Khulasah al-Tasyrīʻ al-Islāmī,
(Kairo: Dār al-Fikr al-ʻArabī, 1996), h. 80.
52
Abū Hāmid Muḥammad al-Ghazālī, al-Mustasfā, h. 417

40
maṣlaḥah ḥājiyyāh adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan
beban dan memudahkan urusan seseorang tersebut, misalnya,
diterapkannya hukum tentang hak dan wewenang bagi wali mujbir untuk
menikahkan anak gadisnya yang masih perawan dan kecil demi
kemaṣlahatan kafāˋah bagi sang anak dan keluarga, begitu juga seperti
dalam hal pemberian mahar. 53 (iii) maṣlaḥah taḥsīniyyah atau tersier
yaitu maṣlaḥah tingkat lapis ketiga yang dibutuhkan manusia, sebagai
pelengkap kenyamanan dan ketentraman kehidupan mereka. Sebenarnya,
tidak terwujudnya maṣlaḥah tingkat ini tidak akan berpengaruh terhadap
kehidupan manusia kecuali berkurangnya keharmonisan dalam
kehidupan. Tujuan dari maṣlaḥah tingkat ini adalah mengantarkna
manusia kepada tingkat puncak etika dan akhlak yang mulia, seperti
anjuran ṭahārah (bersuci) sebelum sholat, perintah menutup aurat, tata
krama dalam makan dan minum, dan kafaˋah (sepadan) dan etika
hubungan suami istri merupakan beberapa contoh dari jenis maṣlaḥah
ini.54

4. Konsep Maṣlaḥah Al-Būtī

Maṣlaḥah menurut al-Būṭī bukanlah dalil dan dasar hukum islam


secara independen seperti halnya dalil-dalil hukum islam lainnya, yakni
al-Qurˋān, al-hadīts, ijmā’ dan qiyās yang pada prinsipalnya adalah
sebagai dalil dan dasar hukum islam secara rinci di dalam perkara-
perkara juz’iyyāt atau furū’yyah55. Menurutnya maṣlaḥah merupakan
sebuah makna holistik (‫ )كلي‬dari intisari yang terkandung didalam seluruh
kumpulan hukum-hukum islam yang diperoleh dari dalil-dalil sharī’at
islāmiyyah yang independen (al-Qurˋān, al-hadīts, ijmā’ dan qiyās), yang
mana setelah dilakukan observasi dan penelitian atas hukum-hukum
tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat benang merah diantara
hukum-hukum tersebut, dan teradapat sebuah poros yang tidak pernah
berhenti berputar hukum-hukum tersebut kecuali mengelilinginya, yaitu
tujuan utama dari sharī’at islāmiyyah dalam penerapan hukum islam di
muka bumi ini, yakni menjaga dan mewujudkan maṣlaḥah bagi seluruh
manusia secara hakiki di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, maka dapat ditarik pemahaman bahwa


memujudkan maṣlaḥah bagi setiap manusia adalah makna holistik, dan
bagian-bagian dari makna holistik ini adalah hukum-hukum islam yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci dan independen. Ketika makna

53
Wahbah al-Zuḥailī, Usūl al-Fiqh al-Islāmī, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986), cet. ke-
1, h. 1022-1023
54
Al-Zuḥailī, Usūl al-Fiqh, h.1023
55
Hukum yang harus disandarkan terlebih dahulu kepada sumber-sumber sharīʻat
lainnya seperti Al-Qur’an, al-hadīts, ijmāʻ dan qiyās. Lihat Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 160

41
holistik ini tidak dapat terwujud tanpa dibangun dengan partikel-partikel
bagiannya, maka perlulah adanya perhatian dan tinjauan terhadap hakikat
dari pada maṣlaḥah yang sebenarnya, sehingga makna holistik yakni
maṣlaḥah ini, memiliki sebuah dalil shar’ī atau setidaknya tidak ada dalil
shar’ī yang bertentangan dengannya sehingga terwujud makna maṣlaḥah
yang benar di hadapan mata sharī’at islāmiyyah. Karena jika tidak, maka
statement bahwasanya hukum-hukum islam selalu berjalan sesuai dengan
maṣlaḥah tidak dapat dibenarkan, dan maṣlaḥah yang seperti itu otomatis
bukanlah yang dimaksud dalam shari’at islāmiyyah.56

Memang betul, perubahan hukum ada karena perubahan maṣlaḥah


dalam masyarakat. 57 Namun, kaidah ini tidak berlaku secara mutlak,
karena tidak setiap yang dianggap oleh manusia itu maṣlaḥah dapat
menjadi dasar dan asas untuk merubah suatu hukum, apalagi apabila
hukum yang dirubah tersebut berkenaan dan berhubungan dengan agama
langsung seperti ibadah.

Cara pandang agama Islam terhadap maṣlaḥah berbeda dengan


cara pandang para filosof Eropa ataupun filosof hukum positif. Al-Būṭī
menyimpulkan kedudukan khusus maṣlaḥah sebagai poros perputaran
hukum islam terangkum dalam tiga poin esklusif, yaitu: 58 (i) barometer
waktu untuk sebuah maṣlaḥah sehingga benar-benar dikatakan sebuah
maṣlaḥah yang hakiki tidak terbatas dalam ruang waktu di dunia saja,
melainkan gabungan antara kehidupan dunia dan akhirat, dan hal tersebut
dengan memandang maṣlaḥah sebagai sebuah manfaat atau jalan menuju
manfaat, dengan kata lain, walaupun maṣlaḥah tersebut berbuah
dikemudian hari bahkan walaupun tidak dapat dinikmati oleh pelakunya
kecuali dikehidupan akhirat, maka hal tersebut masih tetap dikategorikan
sebagai sebuah maṣlaḥah, dan setiap perkara yang diduga dengan dugaan
yang kuat bahwasannya perkara tersebut akan menghasilkan sebuah
manfaat di kemudian hari dihukumi sebagai maṣlaḥah juga; (ii) nilai
sebuah maṣlaḥah bagi sharī’at islāmiyyah tidak hanya terbatas pada
setiap perkara yang bersifat materi saja, melainkan mencakup non materi
juga. dan hal ini kembali kepada fitrahnya setiap manusia sebelum
terkontaminasi oleh faktor-faktor eksternal apapun, baik itu berupa
pendidikan ataupun masyarakat sekitarnya, dan fitrah seorang manusia
yang masih murni mendorongnya untuk mendapatkan sebuah kekuatan
yang besar di alam semesta ini untuk mereka pegang teguh sebagai
kepercayaan (iman), ibadah dan tunduk kepadanya, tanpa membayangkan

56
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maslaḥah, h. 115-116
57
contoh naskh; tahapan dishari’atkanya hukum (tadarruj fî al-tashrī’) dan turunnya
hukum yang mengikuti kejadian-kejadian merupakan dalil yang jelas menunjukkan bahwa
perubahan hukum mengikuti perubahan maṣlaḥah. Lihat Muḥammad Muṣṭafā Syalabī,
Taʻlīl al-Aḥkām, (Beirūt: Dār al-Nahḍah al-‘Arabiyyah, 1981), h. 307
58
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 45-61

42
akan mendapatkan kenikmatan bagi dirinya, sehingga terikat dengan
sebuah kecenderungan atau yang lainnya; (iii) maṣlaḥah agama sebagai
asas dan paling diprioritaskan dari maṣlaḥah-maṣlaḥah lainnya. Maka
daripada itu, dalam sharī’at islāmiyyah, wajib hukumnya untuk
mengorbankan maṣlaḥah-maṣlaḥah lainnya yang bertentangan dengan
maṣlaḥah agama demi mewujudkan dan mempertahankannya. Ideologi
ini sangat bertolak belakang dengan ideologi para filosofi Eropa yang
menjadikan agama hanya sebagai alat untuk mewujudkan maṣlaḥah yang
berdasarkan hawa nafsunya, yang mana pada hakikatnya, sharī’at
islāmiyyah tidak pernah memiliki maṣlaḥah khusus kecuali demi
kemaslahatan manusia, karena pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwasannya tujuan agama Islam (maqāṣid sharī’at) dalam
membuat sebuah hukum tidaklah bukan kecuali untuk mewujudkan
kemaṣlaḥatan manusia.59

Menurut al-Būṭī agar terwujudnya maṣlaḥah agama yang hakiki


yang wajib dan harus diprioritaskan dari maṣlaḥah-maṣlaḥah lainnya,
maka maṣlaḥah agama ini harus memenuhi 3 kriteria berikut ini: (i)
maṣlaḥah harus selalu berada dalam substansi agama yang dibangun dari
dalam naṣṣ dan hukum ijmāʻ yang ṣarīh (jelas); (ii) Kemaṣlahatan dan
kemafsadatan dalam sebuah prilaku harus dipandang sebagai pengaruh
dan buah bagi sharī’at islāmiyyah (hukum islam) sehingga memunculkan
hukum-hukum seperti pengharaman, pembolehan atau kewajiban; (iii)
Pemahaman dan pendalaman makna maṣlaḥah tidak dapat dibenarkan
bagi para pakar filosof atau hukum positif yang hanya mengukurnya
dengan akal dan pikiran mereka masing-masing, melainkan harus
dilakukan analisis perbandingan dengan naṣṣ-naṣṣ shariʻat juga, agar
tidak terjadi sebuah pertentangan dalam hukum yang saling bertolak
belakang. Hal ini dikarenakan maṣlaḥah merupakan bagian dari agama,
bahkan keberadaanya itu bergantung kepada agama. 60

Al-Būṭī menjelaskan bahwa maṣlaḥah yang sebenarnya bukanlah


maṣlaḥah yang hanya berdasarkan akal pikiran saja, karena bisa jadi yang
menurut mereka akal pikiran, namun pada hakikatnya adalah hawa nafsu
belaka, oleh karena itu harus adanya sebuah hal yang netral dan tidak
ambigu, sebauh perkara yang tidak berpihak kepada sebuah kelompok
atau personal, maka daripada itu Islam menjadikan hal tersebut adalah
dalil-dalil shar’ī yang mu’tabarah, dan apabila memang tidak ada dalil
yang mendukung dan menguatkan maṣlaḥah tersebut maka minimal tidak
ada dalil-dalil yang bertolak belakang dengan maṣlaḥah tersebut sehingga
dapat dipastikan kebenaran maṣlaḥah tersebut. Al-Būṭī menjelaskan
bahwa akal saja secara independen tidak akan mampu untuk memandang

59
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 27
60
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 61-68

43
hakikat dari maṣlaḥah bagi manusia di dalam problem-problem yang
bersifat partikular. 61

Dalam hal ini, al-Būṭī memberikan lima batasan atau syarat umum
bagi sebuah maṣlaḥah hingga dapat dikategorikan sebauh maṣlaḥah yang
hakiki dan mu’tabarah dalam asas penerapan hukum islam, dan jika salah
satu saja batasan ini dilewati atau tidak terpenuhi, maka dugaan sebauh
perkara adalah maṣlaḥah tidak dianggap benar.

Adapun kelima batasan tersebut adalah sebagai berikut : 62

1. Berada dalam cakupan dan ruang lingkup maqāṣid sharī’at (tujuan


diterapkannya hukum islam)

Maqāṣid sharī’at (tujuan diterapkannya hukum islam) berputar


pada lima hal; yang pertama hifẓ ad-dīn (menjaga agama); kedua hifẓ
al-nafs (menjaga jiwa); ketiga hifẓ al-‘aql (menjaga akal), keempat
hifẓ al-nasl (menjaga keturunan); dan yang kelima hifẓ al-māl
(menjaga harta). 63 Segala sesuatu yang mengacu kepada penjagaan
kelima hal ini maka disebut dengan maṣlaḥah, dan sebaliknya segala
sesuatu yang mengacu kepada penghancuran kelima hal ini maka
dinamakan mafsadah. Adapun cara penjagaan kelima tersebut
terkandung dalam tiga tingkatan penjagaan sesuai dengan kadar dan
ukuran kepentingan kelima hal diatas. ketiga tingkatan tersebut seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, yang pertama maṣlaḥah
dharuriyyāh (primer); kedua maṣlaḥah ḥājiyyāh (sekunder); dan yang
ketiga maṣlaḥah taḥsīniyyah (tersier). Kadar besar dan prioritas
penjagaan dan pemeliharaan maqāṣid sharī’ah yang lima ini mengacu
kepada tiga tingakatan maṣlaḥah tersebut, yang mana apabila salah
satu dari kelima maqāṣid sharī’ah menempati tingkat maṣlaḥah
dharuriyyāh (primer) maka penjagaan dan pemeliharaannya harus
diprioritaskan daripada yang lainnya yang berada di tingkatan
maṣlaḥah ḥājiyyāh (sekunder) dan maṣlaḥah taḥsīniyyah (tersier)
Begitu juga, ketika salah satu dari kelima maqāṣid sharī’ah ini
menempati tingkat maṣlaḥah ḥājiyyāh (sekunder) maka penjagaan dan
pemeliharaannya harus diprioritaskan dari pada yang lainnya yang
berada di tingkatan maṣlaḥah taḥsīniyyah (tersier).

Maqāṣid sharī’at tidaklah bukan kecuali hanya sebuah cara


untuk mencapai satu tujuan utama yang mencakup segala macam
tujuan dan maksud, yakni jalan bagi setiap manusia yang mukallaf
untuk menjadi hamba Allah Ta’ālā atas dasar keinginannya sendiri,

61
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 48
62
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 118
63
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 119

44
sebagaimana mereka telah menjadi hamba Allah Ta’ālā sejak
diciptakan dan tanpa ada pilihan.

Menurut al-Būṭī Apabila makna dari maṣlaḥah yang hakiki dan


muktabarah dengan cabang-cabangnya yang merujuk kepada maqāṣid
sharī’ah yang lima diatas, sudah dapat difahami dengan jelas, maka
dengan mudah dapat pula difahami hal-hal yang luar dan tidak
termasuk kedalam maṣlaḥah hakiki tersebut.

Dalam hal ini beliau membaginya kedalam dua bagian:64 (i)


segala perbuatan yang substansinya bertentangan dan bertolak
belakang dengan maqāṣid sharī’ah seperti melakukan zina,
membunuh dan mabuk-mabukan. Semua perbuatan ini memiliki sisi
kemaslahatan yang berupa kenikmatan bagi pelakunya, hanya saja
pada hakikatnya termasuk dalam kategori mafsadah, karena semua
perbuatan tersebut bertentangan dengan maqāṣid sharī’ah yang
menjadi poros utama bagi maṣlaḥah shar’iyah secara menyeluruh; (i)
segala perbuatan yang substansi yang memang tidak bertentangan
dengan maqāṣid sharī’ah, namun berubah menjadi sebuah jalan untuk
menghancurkan dan merusak daripada maqāṣid sharī’ah disebabkan
ole niat dan maksud yang buruk. Bahkan setiap maṣlaḥah shar’iyyah
dapat berubah menjadi sebuah mafsadah hanya karena niat yang
buruk.

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa


sallam yang diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab raḍiyallahu
‘anhū :65

‫عن عمر بن اۡلطاب رضي هللا عنه على املنرب قال مسعت رسول هللا‬
‫صلاى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلا َم يقول (إمنا اۡلعمال ِبلنيات وإمنا لكل امرىء ما‬
َ
)...‫نوى‬
“Dari Umar bin al-Khttāb Raḍiyallahu ‘anhū, beliau telah
mendengar Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya,
dan setiap orang memiliki apa yang mereka niatkan...” (H.R
Bukhāri).

64
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 124
65
Muhammad bin Ismā’īl al Bukhārī, al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar min
umūr Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jilid 1 (T.tp : Dār Ṭouq al-Najāh : 1422H)
cet. 1, h. 6

45
Maka dalam hukum islam niat yang baik dan buruk keduanya
disorot dan memiliki hukum dalam menjadikan sebuah maṣlaḥah itu
mu’tabarah atau tidak. Salah satu contoh tersebut, sebuah pernikahan
dan segala hal yang berkenaan dengannya yang diatur sedemikian
rupa oleh sharī’at islāmiyyah pada dasarnya adalah sebauh maṣlaḥah
shar’iyyah yang muktabarah demi menjaga keturunan manusia,
namun perbuatan ini jika diniatkan dengan maksud yang buruk,
seperti menikah dengan niat untuk menyiksa sang istri kelak, maka
maṣlaḥah dalam pernikahan tersebut yang tadinya muktabarah
menjadi sebuah mafsadah bagi pelakunya, karena walaupun sang
pelaku perbuatan tersebut mendapatkan kepuasan dari menyiksa sang
istri, namun pada hakikatnya adalah sebuah mafsadah karena kelak di
akhirat orang tersebut akan mendapatkan balasannya yang setimpal
atas apa yang telah dia lakukan.

2. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Qurˋān

Batasan atau syarat yang kedua adalah maṣlaḥah tersebut tidak


boleh bertolak belakang dengan apa yang telah disebutkan di dalam
al-Qurˋān. Menurut al-Būṭī sebuah maṣlaḥah dapat dikatakan
bertentangan dengan al-Qurˋān apabila termasuk kedalam salah satu
dari dua jenis maṣlaḥah berikut ini: (i) maṣlaḥah mauhūmah, sebuah
maṣlaḥah yang tidak memiliki dasar dalil apapun, dan substansinya
bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Qurˋān baik itu berupa
naṣṣ qaṭ’ī atau dzannī66; (ii) maṣlaḥah yang disandarkan pada dalil
dengan proses analogi atau qiyās. pada hakikatnya tidak ada
pertentangan antara maṣlaḥah dan al-Qurˋān tersebut, atau bisa
dikatakan pertentangannya hanya bersifat parsial (‫ )جزئي‬seperti halnya
pertentang yang terjadi antara khās dan ‘āmm, muṭlaq dan muqayyad,

66
Secara umum dalālah Al-Qur´an (kandungan makna Al-Qur’an) dari tinjauan
sebagai dalil bagi sebuah hukum terbagi menjadi dua jenis dalālah, yang pertama qatʻī dan
yang kedua dzannī. qaṭʻī al-dalālah ialah naṣṣ yang menunjukkan pada sebuah hukum
dengan jelas dan tidak mengandung makna lain yang dimungkinkan untuk menta’wīlnya
(dipalingkan dari makna asalnya yang dekat, kemudian ditafsirkan dengan makna yang
jauh) dan tidak ada celah untuk memahaminya selain makna asal yang dekat tersebut.
Contohnya, Q.S al-Baqarah [2]: 275, ayat ini memiliki makna qaṭʻī al-dalālah dalam
menjelaskan hukum jual beli dan ribā. Sedangkan dzanni al-dalālah adalah naṣṣ yang
menunjukkan pada sebuah hukum dengan makna yang tampak didalam naṣṣ tersebut,
namun masih memiliki makna lain yang kedudukannya jauh dan tersembunyi, namun
masih dimungkinkan untuk menta’wilnya kedalam makna jauh tersebut. Contohnya, ayat
yang menjelaskan ‘iddah bagi wanita yang ditalak ialah tiga kali qurū’. Kata qurū’ dalam
ayat tersebut dapat bermakna suci dan juga dapat bermakna haid. Lihat Abdul Wahhāb
Khalāf, ‘Ilm Uṣūl Al-Fiqh, (Cairo: Maktabah al-Daʻwah al-Islāmiyyah Syabāb al-Azhar,
t.t.), h. 34.

46
yang dapat disimpulkan bahwa pertentangan sebenarnya adalah antara
dua dalil shar’ī, yakni antara dalil ẓāhir dari al-qur’ān dan Qiyās.67

3. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Sunnah

Al-sunnah dalam pembahasan ini adalah setiap hal baik itu


ucapan, perbuatan ataupun taqrīr (keputusan) yang disandarkan
dengan sanad68 yang bersambung kepada Rasulallah shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik itu diriwayatkan secara mutawātir atau āḥād69.

Makna dari tidak bertentangan dengan sunnah qaulī sudah


tanpak jelas, adapun maksud dari ungkapan tidak bertentangan dan
bertolak belakang dengan sunnah fi’lī (perbuatan) adalah tidak
bertentangan dengan tiga hukum di atas yaitu mubāh, sunnah dan
wajib yang dikandung oleh makna sunnah fi’lī (perbuatan) secara
bersamaan, begitupun makna pertentangan antara maṣlaḥah dan
sunnah taqrīrī (keputusan), yaitu tidak adanya pertentangan maṣlaḥah
dengan jenis dari sunnah taqrīrī (keputusan) tersebut yang mana
penentuan keduanya bertentangan atau tidaknya kembali kepada
ijtihād dan tarjīh masing-masing mujtahid, yang artinya selama tidak
mengandung unsur keberatan maka sunnah taqrīrī pun menunjukkan
arti mubāh, sunnah dan wajib dalam waktu yang bersamaan, sampai
adanya dalil yang mentarjīh salah satu dari tiga hukum tersebut.70

4. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan Qiyās

Qiyās adalah salah satu metode istinbāṭ hukum dengan upaya


pemeliharaan maṣlaḥah pada farʻi (kasus baru yang sedang dicari
hukumnya) yang didasarkan pada persamaan ‘illah yang terkandung
dalam aṣl (kasus yang sudah ada ketetapan hukumnya, baik dari naṣṣ
al-Qurˋān atau al-sunnah). maka antara makna menjaga maṣlaḥah
secara mutlak dan qiyās sebagai metode istinbāṭ hukum memiliki

67
contohnya Q.S. Al-Baqarah [2]: 188‚ “Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang baṭil…”. Ayat ini, secara
dzāhir mengandung larangan untuk mengambil harta bukan miliknya, termasuk seluruh
jenis harta tanpa terkecuali. Pemahaman makna ẓāhir ini bertentangan dengan hukum
diperbolehkannya seseorang mengambil harta orang lain dalam keadaan darurat
berdasarkan qiyas, yakni di analogikan dengan hukum diperbolehkannya memakan bangkai
bagi orang yang dalam keadaan darurat juga. Lihat: al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 139.
68
Sanad adalah pemberitaan tentang silsilah sebuah isi hadits. Lihat al-Suyūṭī, tadrīb
al-Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 1 (T.tp: ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 27
69
Sunnah al-Mutawātir adalah sunnah yang dinukil dan disampaikan oleh sejumlah
perawi yang tidak mungkin dengan jumlah mereka untuk melakukan sebuah kebohongan
serentak. Sedangkan sunnah āḥād yaitu kebalikan dari mutawatir Lihat al-Suyūṭī, tadrīb al-
Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 2 (T.tp: Ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 627
70
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 162

47
sebuah kesamaan dari salah satu sudut pandang, yaitu sama-sama
menjaga maṣlaḥah, hanya saja dalam makna qiyās ditambahkan
menjaga‘illah yang mu’tabarah menurut sharī’at islāmiyyah. Dapat
disimpulkan bahwa setiap qiyās adalah bermakna menjaga maṣlaḥah
dan tidak setiap hal yang bermakna menjaga maṣlaḥah adalah qiyās,
karena menjaga maṣlaḥah maknanya lebih umum dari pada qiyās,
yang mana makna umum ini disebut juga sebagai maṣlaḥah al-
mursalah, yaitu sebuah maṣlaḥah yang dipandang oleh seorang
mujtahid tanpa adanya dalil yang memperkuat keberadaannya yang
dapat diqiyāskan kepada dalil tersebut, dan disisi lain tidak ada pula
naṣṣ baik itu al-Qurˋān ataupun al-sunnah yang bertentangan dengan
maṣlaḥah tersebut, seperti pengumpulan al-Qurˋān yang dilakukan
oleh Abu Bakar al-Ṣiddīq raḍiyallahu ‘anhū, ijtihad beliau tanpa
didasari sebuah dalil ataupun kasus lain yang sudah ada dan tetap
hukum dan dalil sehingga dapat diqiyaskan kepadanya, begitu juga
sebaliknya tidak ada naṣṣ al-Qurˋān dan al-Sunnah yang bertentangan
dengan ijitihadnya, hanya saja ijtihad beliau masih didalam lingkup
ḥifd al-dīn (menjaga agama) yang termasuk kedalam salah satu
maqāṣid sharī’ah. 71

Penjelasan tentang qiyās tidak terlepas dari penjelasan rukun-


rukunnya yang empat, yaitu :

1) Al-aṣl, yaitu kasus yang telah memiliki hukum yang jelas dari
naṣṣ, baik Al-Qurˋān atau al-Sunnah;

2) Al-farʻ, yaitu kasus yang belum memiliki kejelasan hukum dalam


Al-Qurˋān maupun al-Sunnah;

3) Hukum dari al-aṣl yang telah ditetapkan berdasarkan dalil dari


naṣṣ, baik Al-Qurˋān atau al-Sunnah;

4) ‘Illah (alasan) dari hukum, yaitu suatu kesesuaian sifat yang ada
dalam al-aṣl dan al-farʻ yang menjadi pertimbangan oleh syarʻī.

Dalam pembahasan qiyās, yang menjadi perhatian begitu besar


dikalangan ulama dari rukun-rukun qiyās lainnya adalah ‘illāh. Hal ini
dikarenakan proses qiyās yang dilakukan oleh seorang mūjtahid
semuanya berputar dalam pencarian sebuah ‘illah. ‘Illah adalah
penghubung antara kedua kasus yang berbeda, sehingga dapat
menjadikan sebab penyamaan hukum dalam kasus baru dengan kasus

71
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 216-217

48
yang lama. Adapun syarat-syarat dari ‘illah ini adalah sebagai
berikut:72

1) ‘Illah yang berada di dalam aṣl harus diakui oleh sharʻī;

2) ‘Illah yang berada di dalam aṣl harus ada di dalam farʻi.

3) pengakuan ‘illah tersebut tidak menyebabkan batalnya hukum aṣl


atau sebagian hukum aṣl;

4) ‘Illah tersebut harus merupakan sebuah sifat yang jelas dan tegas
tidak berubah -ubah, sehingga hikmah (yang terkandung di
dalam‘illah ) yang menjadi tujuan syarʻî dapat terwujud.

Al-Būṭī menyebutkan setidaknya ada empat tingkatan bagi sifat


dalam sudut pandang seorang mujtahid untuk mencari ‘illah dari
sebuah hukum: (i) al-waṣf al-munāsib al-mulghā sifat ini terbersit
dalam pikiran mujtahid sebagai ‘illah yang sesuai dengan hukum yang
dikajinya. namun, praduga itu dihilangkan dengan adanya bentrokan
sifat tersebut dengan hukum shar’ī yang sudah tetap adanya, sehingga,
pada akhirnya sifat ini dihukumi gugur dan tidak layak atau tidak sah
dijadikan sebuah ‘illah; (ii) al-waṣf al-munāsib al-mursal, atau yang
sering disebut dengan maṣlaḥah mursalah adalah sifat yang cenderung
dianggap cocok dan sesuai untuk dijadikan ‘illah bagi mujtahid dan
juga tidak ada hukum shar’ī yang berbenturan dengan sifat ini.
Namun, disisi lain tidak ada dalil shar’ī yang menguatkan
keberadaannya sebagai sebuah ‘illah. Adapun hukum dari sifat tingkat
ini disesuaikan dengan kondisi sifat tersebut, jika sama sekali tidak
ada keterkaitan antara sifat dengan hukum, maka dihukumi seperti
sifat pada tigkatan pertama yaitu dianggap gugur dan tidak sah sebagia
‘illah; dan jika masih ada keterkaitan hukum tersebut -baik itu antara
jenisnya atau macamnya-, maka sifat ini dapat dijadikan sebagai
sebuah dasar untuk menganalisa sebuah hukum bagi seorang
mujtahid; (iii) al-waṣf al-munāsib al-gharīb wa al-mulā´im sifat ini
selain dipandang memiliki kecocokan untuk dijadikan ‘illah juga tidak
ada hukum shar’ī yang bertentangan dengan sifat ini, dan bahkan
sebaliknya sifat ini dibarengi dengan adanya sebuah hukum dengan
naṣṣ atau ijmā’ yang sejalur dan sesuai dengan sifat tersebut,
walaupun tidak secara langsung dan ṣarīh (jelas). jika sifat ini
mendapatkan pengakuan yang ṣarīh dari sharī’at islāmiyyah bahwa
dialah yang mempengaruhi hukum tersebut, maka disebut sebagai al-
munāsib al-gharīb , dan jika dibarengi dengan keselarasan dan
hubungan yang kuat antara sifat dan hukumnya maka disebut dengan
al-waṣf al-munāsib al-mulā´im; (iv) al-waṣf al-munāsib al-mu’atsir

72
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 219

49
sifat ini selain cocok dan dipandai sesuai dengan hukum menurut
mujtahid, juga secara terang-terangan hukum tersebut datang sesuai
dan selaras dengan sifat dengan disertai tetapnya dalil naṣṣ atau ijmā
atas ke-‘illahan sifat tersebut untuk hukum tersebut. Pada tingkat
inilah sifat tersebut layak dan pantas dinamakan sebagai ‘illah yang
mempengaruhi sebuah hukum.

Setelah pemaparan empat tingkatan sifat dalam pandangan


mujtahid, barulah dapat terbayang dan tergambarkan dengan mudah
bagiamana benturan antara maṣlaḥah dan qiyās dapat terjadi, yaitu
dengan mengilustrasikan benturan dua sifat yang berbeda tingkatan
dalam satu hukum yang paling layak sebagai ‘illah hukum tersebut,
contohnya: meminum minuman keras, barangkali sebagian manusia
menganggap ada sebauh sifat yang cocok untuk menjadikan hukum
halal untuk meminumnya, yaitu dengan menyebutkan bahwa ada sifat
kenikmatan bagi peminumnya. Akan tetapi, selain sifat tersebut, ada
sifat lain, yakni sifat memabukkan yang mana sifat tersebut adalah
‘illah daripada meminum arak (perasan anggur yang telah
difermentasikan), kedua sifat ini saling berbenturan, dan apabila
dilihat kesesuaian tingkatan kedua sifat tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa sifat memabukan yang berada dalam minuman
keras tersebut lebih tinggi tingkatannya dari sifat kenikmatan yang
dihasilkan dari meminumnya. Dengan demikian, hukum minum keras
adalah haram disamakan dengan hukum meminum arak (perasan
anggur yang telah difermentasikan).73

5. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan maṣlaḥah yang


lebih besar dan utama

Sebagaimana yang telah dipaparkan, sharī’at islāmiyyah pada


hakikatnya dibangun atas dasar maṣlaḥah bagi manusia. Namun, jika
terjadi benturan antara maṣlaḥah yang satu dengan yang lainnya maka
harus diprioritaskan yang paling utama dan paling penting diantara
semuanya. Dengan kata lain, ketika beberapa bentuk maṣlaḥah
tersebut berada dalam kondisi yang dilematis, maka mau tidak mau
harus ada salah satu bentuk maṣlaḥah yang dikorbankan demi
mewujudkan yang paling diprioritaskan.74

Dalam hal ini, al-Būṭī mengklasifikasikan tingakatan


maṣlaḥah sesuai dengan tingkat prioritasnya menjadi tiga jenis
maṣlaḥah :

73
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 232
74
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 248

50
1) Ditinjau berdasarkan nilai dan substansi bentuk maṣlaḥah
tersebut.

Maṣlaḥah yang diakui oleh shara’ memiliki tingkatan


yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kepentingannya
yang mengacu kepada lima tujuan sharī’at atau yang sering
disebut dengan maqāṣid al-sharīʻah. tidak jauh berbeda dengan
yang lainnya, al-Būṭī juga mengklasifikasikan maṣlaḥah sesuai
dengan tingkat kepentingannya secara substansi, yang mana
dengan kata lain, maṣlaḥah yang di dalamnya terkandung nilai
perlindungan terhadap agama harus diutamakan daripada
maṣlaḥah yang bernilai perlindungan jiwa, dan seterusnya.
Kemudian wasīlah (cara) untuk meraih maqāṣid al-sharīʻah
tersebut yaitu dengan melihat tingkat urgensitasnya. Hal ini
dapoat dikategorikan menjadi tiga tingkatan: maṣlaḥah
ḍarūriyyah (primer), maṣlaḥah ḥājiyyāh (sekunder) dan
maṣlaḥah taḥsīniyyah (tersier). Oleh karena itu, kepentingan
yang bersifat ḍarūriyyah harus lebih dikedepankan daripada
kepentingan yang bersifat ḥājiyyāh, dan seterusnya.75

2) Ditinjau berdasarkan kadar dan ukuran maṣlaḥah dan ruang


lingkupnya.

Apabila terjadi sebuah bentrokan antara dua maṣlaḥah


atau lebih, dan semuanya masih dalam satu ruang lingkup dan
tingkatan (misalnya masih sama-sama ḍarūriyyah), maka
menurut al-Būṭī harus ditinjau dari nilai yang terkandung dalam
maqāṣid al-sharīʻah. Namun apabila benturan tersebut juga
mengandung nilai yang sama, misalnya sama-sama untuk
melindungi agama, maka harus ditinjau berdasarkan kadar
maṣlaḥah yang terkandung di dalamnya. Singkatnya, al-Būṭī
melihat seberapa besar keuntungan yang dihasilkan dalam
kepentingan masyarakat umum dengan kepentingan
individual.76

3) Ditinjau berdasarkan persentasi keberhasilannya atau tidak.

Maksud dari poin ketiga ini yaitu dipandang dari sisi


lebih kuat mana antara keberhasilan dari maṣlaḥah tersebut atau
tidaknya, jika masih saja belum menemukan titik temu, dalam
artian sulit untuk dibedakan, maka cara selanjutnya yaitu
dengan meninjau berdasarkan kemungkinan terjadi, lebih besar

75
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 252
76
Al-Būṭī, Ḏawābiṭ, h. 252.

51
mana persentasi antara kemungkinan terjadi atau tidaknya
dianalisis berdasarkan kemungkinan terjadinya yaitu dengan
mempertimbangkan akibat dan resiko yang ditimbulkannya.
Pertimbangan ini, berubungan erat dengan apakah suatu
perbuatan yang pada awalnya dipandang maṣlaḥah itu berakibat
sama pada maṣlaḥah pihak lainnya. Apabila akibat yang
ditimbulkan adalah maṣlaḥah, maka ia juga dinilai sebagai
maṣlaḥah, begitu juga sebaliknya, apabila akibat yang
ditimbulkan adalah mafsadah, maka ia juga dinilai sebagai
mafsadah. Kemudian al-Būṭī membagi kembali maṣlaḥah ini
kedalam tiga kategori: Pertama, maṣlaḥah atau mafsadah yang
ditimbulkan itu berasal dari sebuah perbuatan yang memiliki
potensi pasti, seperti membuat sumur di depan pintu rumah.
Kedua, maṣlaḥah atau mafsadah yang ditimbulkan itu berasal
dari perbuatan yang masih bersifat dugaan, namun kuat, seperti
menjual anggur kepada pabrik minuman keras. Ketiga,
maṣlaḥah atau mafsadah yang ditimbulkan itu berasal dari
keragu-raguan atau khayalan, seperti menjual anggur kepada
orang yang tidak diketahui tujuannya, apakah untuk diolah
menjadi minuman keras atau hanya dimakan saja. Pada saat
terjadi benturan dan bentrokan antara jenis maṣlaḥah ini, maka
al-Būṭī berpendapat bahwa tidak dibenarkan melakukan tarjīḥ
(pengunggulan) berdasarkan perbuatan yang berasal dari
keragu-raguan atau imajinasi. Tarjīh hanya boleh dilakukan
untuk perbuatan yang memiliki potensi pasti atau berasal dari
dugaan yang kuat (ẓann).77

Dapat ditarik kesimpulan, bahwasannya konsep maṣlaḥah yang ditawarkan


oleh al-Būṭī lebih condong kepada konsep maṣlaḥah yang dipaparkan oleh para
ulama klasik. Hal ini terlihat dari definisi yang paparkan oleh beliau yang
mengartikah maṣlaḥah sebagai sebuah manfaat yang menjadi tujuan al-Shāri’
(Allah Ta’ālā) untuk diberikan kepada hamba-hamba-Nya, demi melindungi
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka, serta pelaksanaannya sesuai
dengan urutan di atas. Al-Būṭī juga memberikan sebuah komentar bahwa sebuah
maṣlaḥah tidak bisa serta-merta dikatakan sebagai maṣlaḥah hakiki yang denganya
sebagai landasan berubah atau tetapnya suatu hukum islam terkecuali apabila
memenuhi lima kriteria, yaitu: pertama, maṣlaḥah itu masuk dalam maqāṣid al-
sharī’at. kedua, tidak bertentangan dengan al-Qurˋān. Ketiga, tidak bertentangan
dengan al-sunnah. Keempat, tidak bertentangan dengan qiyās. Kelima, tidak
menyalahi maṣlaḥah yang setingkat dan maṣlaḥah yang lebih tinggi. Apabila
sebuah maṣlaḥah tidak memenuhi keseluruhan dari kriteria tersebut maka tidak
bisa diakomodir menjadi landasan hukum islam.

77
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 253-254.

52
BAB III

TINJAUAN HUKUM AKAD PERNIKAHAN ONLINE DAN FATWA ATAS


KEABSAHAN AKAD PERNIKAHAN ONLINE YANG DITERBITKAN
OLEH LEMBAGA FATWA DUNIA

A. Tinjauan Hukum Islam atas Akad Pernikahan Online

1. Pengertian Akad Pernikahan Online

Ditinjau secara bahasa, kata “akad pernikahan online” terdiri dari


tiga variabel; akad, pernikahan dan online. Maka dari itu, sebuah keharusan
sebelum meneliti arti dari kesatuan kalimat tersebut, peneliti membahas
tentang arti bahasa dari ketika kata ini; (i) akad, yaitu berasal dari kata
bahasa arab yang memiliki rumpun kata “‫ عقدا‬- ‫‘( ”عقد – يعقد‬aqada – ya’qidu
– aqdan) artinya mengikat, dan istilah “akad pernikahan” diambil dari kata
ini, dalam hal ini Ahmad ibn Fāris Al-Qazwīny dalam kitabnya Hilyat al-
Ulamā berkata:

" ‫ أعقده عقدا‬:‫ عقدت اۡليط واۡلبل‬:‫ فمن قولك‬،‫" وأما عقد النكاح‬

Adapun kata akad pernikahan, itu diambil dari ucapanmu; ‘aqadtu


al-khait wa al-habl: saya mengikatnya (benang dan tali) 1;

(ii) pernikahan, diambil dari kata bahasa arab, yaitu “‫( ”النكاح‬an-nikāh),
secara bahasa bermakna “‫( ”الضم واجلمع‬mengumpulkan dan menyatukan),
kemudian digunakan dalam makna lain seperti yang dijelaskan oleh
Murtaḍā al-Zabīdī dalam kitabnya Tāj al-Arūs Min Jawāhir al-Qāmūs,
berkata:

:‫ (و) قيل‬،‫ ِف اۡلصل‬، )‫ (الوطء‬:‫ ِف كالم العرب‬،‫ ِبلكسر‬، )‫(النكاح‬


.‫ ۡلنه سبب للوطء املباح‬،‫ وهو التزويج‬، )‫هو (العقد له‬

1
Ahmad ibn Fāris Al-Qazwīny, Hilyat al- Ulamā (United Distribution Company -
Beirut), Cet. 1, 166

53
lafaẓ al-nikāh (dengan mengkasrahkan huruf nun), pada penggunaan
aslinya dalam pembicaraan orang arab dipakai unutk arti bersetubuh,
dan menurut pendapat lain lafadz tersebut berarti akad pernikahan
tersebut, yaitu bermakna menikahkan, karena lafaz tersebut (al-
nikāh) menjadi sebab untuk persetubuhan yang diperbolehkan2.

Adapun secara istilah shar’ī pernikahan adalah:

‫عقد يتضمن إِبحة وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو ترمجته‬

sebuah akad yang mengandung pembolehan persetubuhan dengan


lafadz “inkāh”, atau “tazwīj” atau dengan terjemahannya yang
sepadan3.

Dapat disimpulkan bahwa menyandarkan kata “akad” kepada kata


“pernikahan” merupakan sandaran kata umum ke kata yang lebih khusus,
yang mana kata “akad” bermakna umum yang bisa di pakai diseluruh
transaksi, baik itu jual beli, gadai, sewa dan ataupun pernikahan, dan kata
“pernikahan” sebagaimana yang telah di definiskan para ulama Fiqh
merupakan sebuah akad yang khusus digunakan untuk melegalkan atau
membolehkan sebuah persutubuhan dengan lafaz yang khusus; (iii) online,
berasal dari bahasa Inggris yang artinya dalam jaringan. Badan
pengembangan bahasa dan pembinaan bahasa yang berada dibawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Budaya (KEMENDIKBUD)
menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia, istilah “online” dipadankan
menjadi “dalam jaringan” yang disingkat “daring”, yaitu perangkat
elektronik yang terhubung ke jaringan internet, kebalikannya dari kata
“offline” yang dipadankan menjadi luar jaringan (luring) yaitu tidak
terhubungnya perangkat elektronik ke jaringan internet 4.

Dari penjelasan definisi tiga kata tersebut, dapat ditarik kesimpulan,


bahwa yang dimaksud dari kalimat “akad pernikahan online” adalah akad

2
Muhammad ibn Muhammad Murtaḍā al-Zabīdī, Tāj al-Arūs Min Jawāhir al-Qāmūs
(Dar al- Hidāyah), Jilid 6, 195
3
Muhammad ibn Muhammad al-Khatīb al-Shirbīnī, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat
Ma’ānī alfāz al-Minhāj (Dār al-Kutub al-‘ilmiyah, 1994), cet. 1, Jilid 4, 200.
4
Anz-Pojok Bahasa, Padanan istilah online dan offline?, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Budaya, Artikel ini diakses pada hari
Jum’at 19 Maret 2021 melalui
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/search/node/Online

54
pernikahan dengan tujuan sebab dibolehkannya persetubuhan menurut
shara’ dengan lafaz “inkāh”, atau “tazwīj” atau dengan terjemahannya
yang sepadan yang dilakukan dan dilaksanakan melalui jaringan internet,
yakni kedua belah pihak – dalam hal ini adalah calon mempelai pria dan
wali dari calon mempelai wanita – melakukan akad (ījāb dan qabūl)
pernikahannya ditempat terpisah dan hanya dihubungkan dengan jaringan
internet baik itu disertai tatap muka melalui video ataupun tidak.

2. Bentuk – Bentuk Akad Pernikahan Online

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) menjadikan


setiap orang berada di zaman yang serba praktis dan mudah, jarak sudah
tidak menjadi sebuah kendala, apalagi di abad milenial ini, masyarakat
dapat berkomunikasi dan bertransaksi dengan menggunakan jaringan
internet. Komunikasi dan transaksi yang setiap orang lakukan dengan
menggunakan internet juga sering kali disebut dengan transaksi secara
online (dalam jaringan), baik itu dengan atau tanpa tatap muka.

Semakin canggihnya jaringan internet ini telah memudahkan


transaksi online dalam berbagai urusan baik urusan yang berupa formal
ataupun non formal, baik itu berupa urusan agama, budaya ataupun agama.
Media online itu sendiri merupakan bukti nyata dari perkembangan
teknologi, yang mana hingga saat ini mayoritas manusia dari semua
penjuru dunia menjadikannya alat komunikasi yang tidak bisa dipisahkan
dari kehidupannya, dimana dengan hal ini jarak bukanlah menjadi sebuat
masalah besar lagi dalam berhubungan berkomunikasi dan bertransaksi,
tidak terkecuali pernikahan.

Tata cara atau bentuk akad pernikahan itu sendiri pada zaman
Rasullallah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun salaf al-ṣālih
dilaksanakan hanya dalam ruang lingkup yang terbatas, yaitu dengan tatap
muka secara langsung, atau jika kedua belah pihak tidak dapat berada
disatu tempat yang sama dan pada waktu yang sama maka dilakukan
dengan cara korespondensi, atau wakālah5. Setelah beberapa abad berlalu,
hingga pada abad ke-20, saat teknologi menjadi sebuah kebutuhan global
masyarakat, saat itulah akad/ transaksi antar masyarkat, tidak terkecuali
akad pernikahan. Akad Pernikahan via Online yang merupakan hasil dari

5
Syamsiah Nur, “Pemikiran Fikih Satria Effendi Tentang Teknologi Informasi Dalam
Perwalian Akad Pernikahan” (Disertasi S3 Program Studi Hukum Keluarga, Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2020), h. 150-151

55
pengaruh teknologi yang begitu pesat ini adalah salah satu kasus
kontemporer yang disebut dengan nawāzil, yaitu sebuah masalah yang
sebelumnya belum pernah terjadi, tidak di zaman Rasulallah dan Ṣahābat
ataupun pada zaman dibukukannya ilmu Fiqh6.

Sebelumnya, pada tahun 1989 M. muncul akad pernikahan via


telekonferensi, yaitu akad pernikahan yang dilaksanakan melalui jaringan
telepon hubung, akad ini sempat menjadi tranding topic di kalangan
masyarakat Indonesia, bahkan kasus ini sempat dijadikan sebuah objek
penelitian khusus di bidang hukum pernikahan indonesia, seperti yang
dilakukan oleh Muhajir salah satu dosen syarī’ah di IAIN Langsa 7. Akad
pernikahan ini menjadi awal kemunculan varian baru dari tata cara akad
pernikahan di Indonesia hingga pada akhirnya sampai pada titik akad
pernikahan via online yang lebih mutakhir dari sebelumnya, yang mana
bukan hanya audio yang terhubung melainkan video visual pun dapat
terhubung dalam waktu yang sama (real time).

Adapun bentuk-bentuk pernikahan online yang terjadi tidak terlepas


dari tiga jenis media online yang mereka gunakan. Ketiga jenis media
online ini adalah8:

1. Audio conference adalah pertukaran informasi yang hanya melalui


suara dengan medium panggilan telepon yang menghubungkan tiga
atau lebih saluran telepon dalam waktu bersamaan; diantara kasus
yang terjadi

2. Web Conference, digunakan sebagai pelengkap dari conference call,


di mana presentasi atau dokumen dapat dibagi dan disebarluaskan
melalui internet;

3. video conference, saat menggunakan teknologi video konferensi,


peserta dapat saling melihat visual masing-masing melalui layar

6
Ḥamzah Abd al-Nāṣir, ‘Aqd al-Zawāj ʻAbr Wasā’il al-Ittiṣāl al-Hadīthiyah (al-
Jazā’ir: al-Bahth al-‘ilmī fī kulliyat al-Aḥwāl al-Shakhṣiyah Qism al-Ḥuqūq 2013-2014),
h.2
7
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadhā, Vol. 5 no. 1 Juli
2018, h. 10
8
Muhammad Aniq Yasrony, “Akad Nikah Via teleconference perspektif Maslahah al-
Mursalah”, dalam al-Hukama, The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 07,
No. 01 Juni 2017. h. 208-209

56
televisi atau semisalnya sekaligus mendengar satu sama lain melalui
sistem pengeras suara.

Dekat-dekat ini, dengan perkembangan teknologi yang semakin


mutakhir, dari ketiga jenis media online ini, yang seringkali terjadi dan
digunakan oleh masyarakat, tidak terkecuali penduduk Indonesia baik itu
dilakukan antara WNI dan WNI, ataupun WNI dan WNA. Berikut adalah
beberapa kasus akad pernikahan jarak jauh via online;

1) 4 Desember 2006, akad pernikahan jarak jauh melalui layanan video


teleconference, dilakukan oleh kedua pasangan, yakni Syarif
Aburahman Achmad yang merupakan mempelai pria berada di
Pittsburgh – Amerika, dan Dewi Tarumawati di Bandung- Indonesia.
Pada saat itu, Syarif sebagai calon mempelai pria melakukan akad
pernikahan dengan wali mempelai wanitanya yang berada di bandung
dengan menggunakan video teleconference dengan jaringan Indosat9;

2) Maret 2007, Akad pernikahan jarak jauh yang sama dan dilakukan
dengan media yang sama, yakni video teleconference telah dilakukan
oleh pasangan Sirojuddin Arif dan Halimatus Sa'diyah, hanya saja
yang menjadi perbedaan adalah kedua pasangan ini telah berada di
tempat yang sama, yaitu di Oxford- Inggris, demi mengesahkan
hubungan, calon mempelai pria terpaksa melakukan akad pernikahan
jarak jauh yang digelar di Oxford University, dengan wali dari calon
mempelai Wanita yang berada di Cirebon-Indonesia10.

3) Tahun 2009, akad pernikahan via teleconference, dilakukan oleh


kedua pasangan WNI yang sama-sama sedang merantau jauh di luar
Indonesia. Wafa Suhaimi yang merupakan mempelai Wanita beserta
walinya yang berada di Jeddah – Saudi Arabia, dan mempelai pria
yang Bernama Ahmad Jamil Rajab berada di Virginia – Amerika11.

4) Tahun 2018, akad pernikahan via video conference terulang beberapa


kali, seperti yang terjadi oleh pasangan polri. Akad pernikahan ini

9
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon”, h. 11
10
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon”, h. 11
11
Wardah Nuroniyah, “Analisis Akad Nikah Via Teleconference Menurut Fiqih
Mazhab Dan Hukum Positif Indonesia”, dalam Mahkamah, Jurnal Kajian Hukum Islam.
Vol. 2, No.1, Juni 2017. h. 147

57
terjadi antara mempelai pria dan wali dari mempelai wanita, yang
dilangsungkan secara langsung dan disaksikan oleh mempelai Wanita
melalui video call, sehingga secara legalisasi hukum Islam dapat
dikatakan sah, karena sejatinya akad pernikahan ini bukanlah akad
pernikahan online yang terpisah oleh jarak12.

5) 25 Maret 2020, akad pernikahan via video call dilakukan juga oleh
pasangan Kardiman bin Haeruddin dan Febrianti Bin Hasanuddin,
akad pernikahan via video call ini terpaksa dilakukan oleh Kardiman
bin Haeruddin asal Bajoe-Sulawesi Selatan, dilangsungkan dalam
keadaan calon pengantin pria berada dalam masa karantina kesehatan
dalam rangka antisipasi penyebaran virus covid-19 saat menuju
kediaman calon pengantin wanita, yaitu di Kolaka-Sulawesi
Tenggara13;

6) 3 April 2020, Akad Pernikahan via video call dilakukan oleh calon
pengantin pria di daerah Medan -Sumatra Utara dan pasangannya di
daerah Muko – Bengkulu. Akad pernikahan jarak jauh ini berlangsung
dengan cara wakālah, dimana Feru Eriyandi yang menjadi mempelai
pria mewakilkan seseorang bernama Zulman yang berada di tempat
mempelai wanita untuk menjadi pengganti/ wakil dalam prosesi akad
pernikahannya, sedangkan Feru Eriyandi melihatnya melalui video
call yang disiarkan live streaming14.

7) 4 Juli 2020, Akad pernikahan via video call kali ini dilangsungkan
oleh kedua pasangan WNI yang berada di jarak yang berjauhan,
mempelai pria yang Bernama Dayah ini saat dilaksanakannya akad
pernikahan berada di Malasyia dan mempelai wanita dan walinya
berada di Nusa Tenggara Barat (NTB), akad ini dilangsungkan dengan

12
Muhammad Alwi dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Teleconference di Indonesia” dalam Indo Islamika, Volume 10, No 2, 2020, h. 139
13
Ahmad Akbar Fuad, Viral Sepasang Pengantin Menikah via Video Call gara-gara
Virus Corona”, artikel diakses pada 21 November 2021 dari
https://www.liputan6.com/regional/read/4211432/viral-sepasang-pengantin-menikah-via-
video-call-gara-gara-virus-corona
14
Wahibatul Maghfuroh, “Akad Nikah Online Dengan Menggunakan Via Live
Streaming Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah (JAS), Vol.
3 No. 1 Tahun 2021, h. 97

58
media video call yang dibimbing oleh seorang pemuka agama
daerahnya15.

Dari kasus-kasus yang terjadi, akad pernikahan via online ini


ternyata dilakukan bukan karena kesengajaan, namun karena keadaaan
yang tidak mendukung untuk melakukan akad pernikahan secara face- to
face. Kebanyakan pasangan yang melakukan akad pernikahan semacam ini
disebabkan oleh jarak kedua pasangan yang jauh, dan atau tidak
dimungkinkannya untuk melakukan akad pernikahan secara biasanya yaitu
langsung, seperti yang terjadi dalam kondisi pandemi covid-19 ini16.

Selanjutnya, berdasarkan kasus-kasus yang terjadi menurut Alwi


Maliki dan Asep Saepudin Jahar bahwasanya akad pernikahan via online
ini memiliki model dan bentuk yang berbeda-beda, adakalnya kedua
mempelai dan wali berada ditempat yang berbeda, adakalanya kedua
mempelai berada dalam satu tempat namun tidak dengan wali, dan yang
terakhir adakalanya kedua mempelai berbeda tempat tetapi mempelai lelaki
dan wali berada dalam satu tempat17.

3. Analisis Hukum Akad Pernikahan Online

Akad pernikahan online merupakah salah satu kasus fiqh


kontemporer yang membuat fuqahā zaman ini harus melakukan beberapa
reaktualisasi dan penelaahan lebih lanjut atas naṣ al-Qurˋān dan al-Sunnah.
Hukum atas pernikahan ini tidak dapat ditemukan secara tersurat dalam
naṣ-naṣ kajian fiqh klasik, namun bukan artinya tidak dapat diketahui sama
sekali, karena para fuqahā klasik sejak ‘aṣr tadwīn ilm fiqh (zaman
pembukuan ilmu fiqh) telah meletakan metode berupa ilmu uṣul fiqh dan
qa’idah uṣuliyyah ataupun fiqhiyyahnya, sebagai metode istinbāṭ hukum
yang tersirat dalam naṣ-naṣ yang ada, sehingga istidāl bukan hanya terpaku
pada naṣ-naṣ yang tersurat seperti al-Qurˋān dan al-Sunnah, melainkan

15
Reza Gunadha, “Viral Pernikahan Online Malasyia – Lombok, Akad Nikah Lewat
Video Call”, artikel di akses pada 21 November 2021 melalui
https://www.suara.com/news/2020/07/06/161518/viral-pernikahan-online-malaysia-
lombok-akad-nikah-lewat-video-call?page=all
16
Mahardika Putera Emas, “Problematika Akad Nikah Via Daring dan
Penyelenggaraan Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19” dalam Batulis civil law
review, vol. 1 no. 1, November 2020, h. 69-70
17
Muhammad Alwi dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Teleconference di Indonesia”, h. 139

59
juga dapat ditempuh dengan menela’ah makna yang berada dibalik naṣ
tersebut18.

Kasus Akad pernikahan online ini cukup mengundang kericuhan dan


dan perselisihan dikalangan ulama kontemporer, sehingga mereka
berselisih faham dalam memberikan hukum atas akad pernikahan online
yang merupakan persoalan ijtihadī ini. Perselisihan diantara ulama dari
sejak kemunculan kasus akad pernikahan online hinga saat ini atas
hukumnya memunculkan dua kelompok ulama yang bertentangan satu
sama lain, satu kelompokm diantaranya mengatakan sah dan satu yang
lainnya mengatakan tidak sah19.

Akad pernikahan online dengan segala bentuknya memiliki


permasalahannya masing-masing, namun yang lebih mengakar dari semua
permasalahan tersebut adalah unsur manipulasi yang ditimbulkan dari tidak
adanya makna ittihad al-majlis (berada dalam satu tempat antara mempelai
pria dan wali saat akad dilangsungkan)20, yang menyebabkan beberapa
rukun akad pernikahan tersebut tidak dapat terealisasikan seperti biasanya.

Salah satu rukun nikah yang sulit untuk terealisasikaan dalam akad
pernikahan online ini adalah kesaksian kedua saksi, yang mana hal ini
disebabkan oleh tidak adanya tempat yang menyatukan mempelai pria dan
wali mempelai istri dalam proses akad pernikahan berlangsung, sehingga
sulit untuk kedua saksi memastikan kebenaran kesaksiannya, jikapun
terealisasi, tidak dapat dipastikan seratus persen kebenarannya seperti
halnya persaksian pada akad pernikahan yang dilakukan secara face to
face21.

Paparan sebelumnya menjelaskan bahwasanya para ulama


kontemporer berselisih atas hukum keabsahan akad pernikahan online ini
bukanlah dari sisi makna ittihād al-majlis itu saja, melainkan jika diteliti
lebih dalam, yang menjadi inti perdebatan ini adalah pembuktian kesaksian
akad tersebut, karena salah satu fungsi dari ittihād al-majlis yan
disyaratkan dalam ījāb dan qobūl ini tiada lain adalah untuk dapat

18
Muhammad Iqbal, “Urgensi Kaidah-Kaidah Fikih Terhadap Reaktualisasi Hukum
Islam Kontemporer” dalam Jurnal EduTech Vol. 4 No. , September 2018, hal. 24-25
19
Ashar, “Akad Nikah Via Internet” dalam Mazahib Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 11
No. 1 Juni 2013, hal. 27
20
Miftah Farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum” dalam Jurisprudentie Vol.
5 No. 1 Juni 2018, hal. 178-181
21
Syamsiah Nur, “Pemikiran Fikih Satria Effendi …, h. 151-154

60
disaksikan secara kasat mata dan transparan atas akad pernikahan
tersebut22.

Pendapat ulama yang kontra atau lebih condong untuk tidak


mengesahkan akad pernikahan online ini berargumen selain ‘illatnya
adalah banyaknya celah manipulasi dan unsur penipuan didalam prosesnya,
juga karena melihat pernikahan ini bukanlah sekedar hanya akad/transaksi
mu’amalah saja, melainkan lebih condong kepada unsur
ta’abbudiyyahnya , hal ini dikuatkan oleh firman Allah Ta’ālā berikut:
23

‫ض ُك ْم اِ َّٓل بَ ْعض اواَ َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِمْي ثَاقًا َغلِْيظًا‬


ُ ‫ف ََتْ ُخ ُذ ْونَه َوقَ ْد اَفْضٓى بَ ْع‬
َ ‫َوَكْي‬
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu
telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan)
dari kamu. ” (Q.S. Al-Nisā [4]: 21).

Nawawi al-Bantanī dalam tafsirnya yang berjudul Murāḥ Labīd


menafsirkan kata “‫ ” ِم ْي ثَاقا غَلِْيظا‬atau yang artinya perjanjian yang kuat itu
adalah sebuah pernikahan, yang mana pernikahan ini bukanlah hanya
sebuah transaksi seperti halnya mu’amalah saja, melainkan juga ada unsur
perjanjian yang allah buat terhadap setiap insan yang melakukan akad
pernikahan24. Maka dari pada itu, untuk memperkuat makna perjanjian suci
tersebut Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda25:

‫"اتقوا هللا ِف النساء فإنكم أخذمتوهن أبمانة هللا واستحللتم فروجهن‬


"‫بكلمة هللا‬

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Sesungguhnya


kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah dan
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.”

22
Irma Novayani, “Pernikahan Melalui Video Conference” dalam Jurnal At-Tadbir :
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 1, no. 1, Januari 21, 201, h. 36
23
Irma Novayani, “Pernikahan Melalui Video Conference”, h. 36-37
24
Muhammad ibn Umar al-Nawawī, Murāh Labīd li kashf ma’nā al-Qur’ān al-Majīd
(Beirut, Dār al-kutub al-ilmiyyah, 1417 H), cet ke-1, Jilid 1, h. 190
25
HR. Abu Dāūd, Sunan Abu Dāūd, no 1905, Jilid 3, hal. 285

61
Oleh karena itu, kelompok ini lebih memandang akad pernikahan
tidak seperti akad/transaksi mu’amalah yang lainnya, seperti jual beli
ataupun gadai, mereka lebih memandang bahwasanya sifat tabbudiyyahnya
lebih besar dibandingkan sifat mu’amalahnya, sehingga dalam tata cara
dan prakteknya harus sama persis dan sesuai dengan yang diajarkan oleh
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu akad secara langsung
berada dalam satu tempat.

Adapun pendapat ulama yang pro atau lebih condong mengesahkan


akad pernikahan online ini, melihat bahwasanya dengan perkembangan
teknologi yang semakin pesat ini, unsur manipulasi dan penipuan yang
disebutkan oleh kelompok kontra dapat dibendung dan dihilangkan, yang
mana hal ini dapat terealisasi dengan peralatan dan fasilitas yang memadai,
apalagi untuk saat ini, bukanlah hal sulit untuk bertatap muka dan berbicara
secara realtime seperti halnya akad penikahan biasanya26. Semua alat dan
fasilitas modern seperti internet dan aplikasi didalamnya dapat menjadi
penguat terlaksananya akad pernikahan via online tanpa harus mengurangi
substansinya sebuah akad pernikahan.

Kedua, mengenai esensi dan bentuk pernikahan, kelompok yang pro


akan keabsahan akad pernikahan semacam ini, berbeda dengan kelompok
sebelumnya, mereka dibandingkan melihat bahwasannya pernikahan
adalah sebuah persoalaan ibadah (tabbudī) lebih memandang sisi lain yang
merupakan sebuah transaksi mu’amalah, atau dapat dikatakan sifat
mu’amalah yang berada dalam akad pernikahan lebih kuat daripada sifat
‘ubudiyyahnya, sehingga dalam tata cara akad pernikahan disamaratakan
dengan tata cara akad / transaksi mu’amalah lainnya seperti jual beli dan
gadai, yang mana hal ini akan menjadi lebih fleksibel dan tidak bersifat
fundamentalis27.

26
Miftah Farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum”, h. 179.
27
M. Misbahul Amin, “Studi Analisis Akad Nikah Menggunakan Video Call
Perspektif Maqoshid Al-Syariah Dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan” dalam Usratunā, Vol. 3 No. 2 Juni 2020, hal. 99-96

62
B. Biografi Lembaga Fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah, Ḍār Al-Iftā Al-‘Irāqiyah
Dan Al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī

1. Pengertian Fatwa dan Lembaga Fatwa

Kata “fatwa” dalam bahasa indonesia merupakan serapan kata


yang diambil dari bahasa arab yaitu “‫ ”الفتوى‬berasal dari rumpun kata “ – ‫ف‬
‫و‬- ‫”ت‬, adapun definisinya secara bahasa Ahmad ibn Muhammad al-
Fayyūmī dalam kitab al-Misbāh al-Munīr berkata:

‫"الفتوى ِبلواو بفتح الفاء وِبلياء فتضم وهي اسم من أفىت الْعامل إذا‬
"‫بي اۡلكم واستفتيته سألته أن يفيت‬

Kata al-Fatwa itu jika dengan huruf “wāˋu” diakhir maka dengan
huruf “al-Fāˋū” yang berharakat Fathah, dan jika dengan huruf
“al-Yāˋu di akhir maka ” huruf “al-Fāˋū” yang berharakat
Ḍommah (dibaca: al-Futyā), al-Fatwa Adalah kata benda dari asal
kata “aftā al-‘ālimu” jika orang berilmu itu menjelasakan sebuah
hukum, dan “istaftaituhū”artinya aku memintanya untuk berfatwa
atau menjelaskan sebuah hukum28.

Kata ini dapat bermakna penjelasan, seperti perkataan dalam


bahasa Arab “‫ ”أَفْتَاه ِِف األَمر‬yang artinya “dia telah menjelaskannya dalam
perkara tersebut”, dapat juga bermakna menjawab atas sebuah
pertanyaan yang dilontarkan seseorang. Allah Ta’ālā berfirman dalam
Q.S al-Nisā ayat [4]: 176

َۚ ۡ ۡ ۡ ۡ
...‫ٱَّللُ يُفتِي ُك ۡم ِِف ٱل َك ٓلَلَ ِة‬
‫ك قُ ِل ا‬
َ َ‫يَستَ فتُون‬

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:


"Allah memberi fatwa (jawaban pertanyaan) kepadamu tentang
kalalah”.(Q.S al-Nisā ayat [4]: 176)

28
Ahmad ibn Muhammad al-Fayyūmī, al-Misbāh al-Munīr Fī Gharīb Sharh al-Kabīr
(Beirut; al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.), Jilid 2, h. 462.

63
Dan dalam potongan sebuah hadits dikatakan “‫ ”أَن قَ ْوما تَ َفاتَوا إِليه‬artinya
“bahwa sekelompok orang meminta hukum dan menganggakatnya
kepadanya untuk dimintai penjelasan didalamnya”, menurut Ibn Manẓūr
al-Anṣārī bahwasannya kata fatwa ini berasal dari kata "al-fatā" (‫)الفىت‬
yang berarti seorang pemuda, seakan-akan fatwa tersebut menguatkan
perkara yang dipersoalan dengan penjelasannya, sehingga menjadikannya
pemuda yang gagah dan kuat29.

Adapun secara istilah ilmu fiqh, fatwa ataupun iftā (memberikan


fatwa) sebagaimana yang tertera dalam kitab dan referensi ilmu fiqh dan
uṣūl fiqh adalah:

‫بيان حكم هللا تعاَّل مبقتضى اۡلدلة الشرعية على جهة العموم والشمول‬

penjelasan Hukum Allah ta’ālā sesuai dengan dalil-dalil sharā’


yang berdasarkan hasil tinjauan menyeluruh30.

Dr. Sa’dī Abu Hubaib dalam kitabnya al-Qamūs al-Fiqhī menjelaskan


bahwa fatwa adalah :

‫ أو القانونية‬،‫اجلواب عما يشكل من املسائل الشرعية‬

Jawaban atas perkara yang menjadi problem dari masalah-masalah


hukum Islam ataupun perdata31.

Kemudian beliau juga mengutip perbedaan para ulama tentang


definisi fatwa itu tersebut, beliau mengutip definisi madhhab hanafī dan
malikī. Menurut madhhab hanafī fatwa adalah sebuah penjelasan hukum
sebuah permasalahan, sedangkan menurut madhhab malikī fatwa adalah
sebuah pemberitahuan tentang hukum sharā’ atau hukum islam yang
tidak bersifat harus atau wajib 32.

29
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Maʻārif, t.t.), Jilid 15, h. 148.
30
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Muqodiimah Fatāwā … Jilid 1, h.2
31
Sa’dī Abu Hubaib, al-Qāmūs al-Fiqhī Lughatan wa Istilāḥan, (Damaskus: Dār al-
Fikr, 1988), cet. 2, h. 281
32
Sa’dī Abu Hubaib, al-Qāmūs … h. 281

64
Beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwasannya para
ulama sepakat bahwa fatwa merupakan penjelasan atas sebuah hukum
sharā’ yang sedang menjadi problem secara mutlak. Namun, menurut
madhhab malikī, mendefinisikan fatwa sebagai penjelasan sebuah hukum
saja masih terlalu umum, yakni tidak ada penjabaran apakah hal tersebut
bersifat wajib untuk diikuti atau tidak, maka daripada itu, mereka dalam
mendefinisikan fatwa tersebut lebih spesifik lagi, hal ini terlihat dalam
definisi mereka ketika memasukan kata “‫ ”على غري وجه االلزام‬yang bermakna
“tidak bersifat harus atau wajib”, yang maksudnya bahwa ketika fatwa
diterbitkan dalam menjawab sebuah hukum yang sedang dipersoalkan,
maka hukum yang keluar dari fatwa tersebut memiliki kekuatan untuk
wajib diikuti semua orang, hal inilah yang membedakan antara hukum
yang keluar dari muftī (orang yang memberi fatwa bukan dalam
persidangan) dan hukum yang keluar dari seorang hakim (Qāḍī).

2. Biografi Tiga Lembaga Fatwa Dunia;

a) Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah33

Dalam hal fatwa negara mesir memiliki peraturan yang lebih


luas dan terbuka dibandingkan dengan negara-negara islam lainnya,
sebagaimana yang telah tertera sdalam undang-undangnya bahwa
setiap daerah dan wilayah diberikan seorang muftī yang independen
satu dengan yang lainnya, begitu juga pada setiap kementerian
kehakiman ataupun kementerian perwakafan, pemerintah mesir
dalam hal ini mengangkat muftī yang independen di masing-masing
kementerian tersebut yang diberikan hak kekuasaan penuh atas
tugasnya sebagai muftī, dan diatas muftī-muftī tersebut pemerintah
mesir juga mengangkat pembesar dan petinggi para muftī dari
kalangan madhhab hanafī ataupun muftī Ḍiyār Al-Miṣriyah (negara
Mesir) yang membawahi seluruh muftī tersebut. Adapun Ḍār Al-Iftā
Al-Miṣriyah yang merupakan lembaga Fatwa tertua di Mesir sudah
sejak dahulu tepatnya 700 tahun silam telah berdiri dan tumbuh
secara independen dari al-Azhar.

Hingga datanglah Muhammad Abduh34 yang pada masanya,


beliau berhasil menggabungkan kementerian kehakiman dan Ḍār Al-

33
Dār al-Iftā Al-Miṣriyyah, “Profil Darul Iftā al-Miṣriyyah’”, https://www.dar-
alifta.org/AR/Aboutdar.aspx?sec=

65
Iftā Al-Miṣriyah menjadi satu. Penggabungan ini berlangsung hingga
pada tahun 2007 hingga pada akhirnya Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah
kembali memisahkan diri dan menjadi institusi yang independen
yang memiliki posisi penting di negara mesir sama seperti
kedudukan universitas al-Azhar bagi negara mesir itu sendiri.

Dār al-Iftā al-Miṣriyyah merupakan salah satu lembaga fatwa


keagamaan resmi di mesir yang tertua yang pernah ada di dunia,
didirikan bukan hanya dalam lingkup nasional namun juga
mencakup internasional untuk mewakili islam dunia dan pusat
penelitian hukum Islam. Lembaga ini mulai berdiri pada tahun 1897/
1313 H. Berdasarkan peraturan perundang-undangan nomor 12
tahun 1914 M. yang disusul kemudian struktur pengadilan syariah
pada tahun 1931 M. menetapkan bahwa muftī mesir tidak lagi
menjadi bagian dari anggota mahkamah agung. seorang muftī harus
ditunjuk oleh kepala negara berdasarkan peraturan yang berlaku.

b) Ḍār Al-Iftā Al-‘Irāqiyah35

Ḍār Al-Iftā Al-‘Irāqiyah merupakan lembaga fatwa resmi


negara Iraq, berdiri sejak tahun 932 H. / 1517 M. Ḍār Al-Iftā Al-
‘Irāqiyah sempat berhenti dan tidak diketahui eksistensinya, hingga
pada tanggal 09 Mei tahun 2013 lembaga fatwa ini dihidupkan
kembali, dan dibangun resmi sebagai lembaga fatwa nasional negara
iraq dibawah pimpinan ketua fatwa Mahdi Ahmad Ṣāleh al-
Ṣumaida’ī. Saat ini ḍār al-iftā al-‘irāqiyah menjadi lembaga yang
memiliki kedudukan penting dinegara, hal ini bukan hanya karena
lembaga ini bergerak dibidang penerbitan fatwa, namun juga sebagai
penengah dalam mempersatukan penduduk dalam kesatuan negara
republiki iraq sebagai tempat tanah air mereka.

Lembaga Fatwa yang satu ini berbeda dengan ḍār al-iftā al-
miṣriyah, dimana ḍār al-iftā al-‘iraqiyah berada langsung dibawah

34
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di
Mesir , ia hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan pada tahun 1899, ia
diangkat secara resmi menjadi Mufti Mesir. Ditahun yang sama, ia juga diangkat menjadi
anggota majlis syura, lihat : Nurlaelah Abbas, “Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme
Dalam Islam”, Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 1, Juni 2014, h. 53 - 54
35
Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah, “Profil Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah”, https://www.h-
iftaa.com/2013/10/‫والج‬-‫السنة‬-‫اهل‬-‫افتاء‬-‫هيئة‬-‫عن‬-‫بسيطة‬-‫نبذه‬/

66
naungan pemerintahan Iraq, yang bukan hanya menjaga kestabilan
hukum Islam, melainkan harus melihat sisi hukum sebagai UU yang
berlaku di Iraq. Adapun tujuan utama dari lembaga fatwa ini adalah
menjadikan segala hukum yang keluar sebagai peraturan pemerintah
Iraq sesuai dengan shrī’at islāmiyyah. Dalam aspek diplomatik, ḍār
al-iftā al-‘iraqiyah berperan sebagai lembaga yang membuka jalur
pemahaman dan dialog dengan semua spektrum hukum dan politik,
termasuk kepentingan umum Islam dan umat Islam.

Ḍār Al-Iftā al-‘Iraqiyah dibawah pimpinan Mahdi Ahmad


Ṣāleh al-Ṣumaida’ī memiliki manhaj Ahli Sunnah Wa Al-Jamā’ah
yang berpahaman Salafī36 yang mengedapankan gerakan kembali
keopada al-Qurˋān dan al-Sunnah. Secara publikasi dan
eksistensinya di dunia maya, Ḍār Al-Iftā al-‘Iraqiyah tidak hanya
terbatas eksis pada website resminya seperti kebanyakan lembaga
fatwa dunia lainnya, lembaga ini aktif dalam berbagai media sosial
seperti, facebook, twitter, dan bahkan whatsapp. Lembaga fatwa satu
ini lebih mudah diakses dan dihubungi oleh berbagai mancanegara,
hal ini dikarenakan keterbukaan lembaga kepada setiap orang yang
hendak masuk kedalam group whatsapp resminya dengan
menyimpan nomor whatsapp diberbagai media sosialnya.

c) Al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī37

Al-Majlis al-Islamī al-Sūrī yang diterjemahkan menjadi


dewan islam suriah ini bertempat di negara republik Suriah,
didirikan pada pertengahan bulan April 2014. Lembaga ini dianggap
sebagai lembaga fatwa di suriah pertama kali yang eksistensinya
dapat di akses oleh dunia, yang sebelumnya belum pernah ada. Awal
mula berdirinya lembaga fatwa ini beriringan dengan adanya
revolusi Suriah dari dalam kabinet pemerintahan, sehingga pada saat
itu dibentuklah badan asosiasi sharīah (hukum islam) dengan tujuan
mengisi kekosongan bidang fatwa yang sebelumnya tidak ada

36
Gerakan salafī adalah pewaris dakwah teologi puritan dari gerakan Wahabi yang
muncul pada abad ke delapan belas di Jazirah Arab. Sebagai gerakan dakwah pewaris
tradisi wahhabiyah, gerakan dakwah salafi dikenal sebagai sebuah gerakan dakwah dengan
ideology teologi puritan radikal. Lihat : Ahmad Bunyan Wahib, “Dakwah Salafi: Dari
Puritan Sampai Anti Politik” dalam Jurnal Media Syariah, Vol. XIII No. 2 Juli – Desember
2011, h. 147
37
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Profil Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, https://sy-
sic.com/?page_id=2330

67
lembaga negara yang khusus mengatur bidang ini, dan juga
disebabkan kemerosotan lembaga-lembaga negara Suriah di di
beberapa wilayah bebas pajak.

Di sisi lain, pada tahun 2011 para ulama dan asosiasi Suriah
yang dipaksa untuk diasingkan keluar negara oleh pemerintahan
Suriah, berinisiatif untuk menciptakan entitas komprehensif terpadu,
hingga pada akhirnya tepatnya pertengahan bulan April 2014, empat
puluh asosiasi dan badan sharīah yang mencakup para ulama, badan
hukum dan asosiasi ilmiah Suriah berkumpul dalam satu majlis
untuk mengumumkan pembentukan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī
dengan kabinet didalamnya terdiri dari para ulama Suriah yang
berkompeten di bidang sharīah, badan hukum, dan asosiasi ilmiah
Suriah.

Tujuan dibentuknya al-Majlis al-Islamī al-Sūrī adalah


sebagai wadah dan badan hukum islam untuk menjadi keputusan
bersama yang mengekspresikan keputusan bersama sebagai simbol
madhhab ideologi Islam moderat di Suriah. Selain itu, dengan
adanya al-Majlis al-Islamī al-Sūrī dapat menjadi petunjuk dan
solusi shar’iyyah bagi penduduk Suriah untuk permasalahan-
permasalahan yang terjadi diantara mereka. Fatwa-fatwa yang
diterbitkan oleh lembaga ini diharapkan dapat menjawab semua
problem kontemporer yang terjadi diantara umat Islam Suriah,
sehingga eksistensi sharī’at islāmiyyah di Suriah dapat lebih kokoh
dan terlihat.

Al-Majlis al-Islamī al-Sūrī yang dibentuk dengan tujuan


sebagai lembaga fatwa penduduk umat Islam Suriah merupakan
lembaga fatwa termuda dari dua lembaga fatwa sebelumnya, namun
walaupun seperti itu, lembaga fatwa ini layak dan pantas untuk
menjadi rujukan lembaga-lembaga fatwa lainnya yang berada di
dunia, hal ini dikarenakan sumber daya manusia yang berada di
dalam lembaga ini merupakan para ahli dan pakar ulama dunia di
bidangnya masing-masing.

68
C. Fatwa Akad Pernikahan Online dari tiga lembaga Fatwa Dunia

a) Fatwa Ḍār Al-Iftā Al-Miṣriyah

Fatwa tentang Akad pernikahan online yang diterbitkan oleh Ḍār


al-Iftā al-Miṣriyah no: 9069, terbit pada bulan mei tahun 1997 oleh muftī
‘Āṭiyyah Ṣaqr berawal dari pertanyaan tentang keabsahan akad
pernikahan via telepon kemudian mengarah kepada akad pernikahan via
alat komunikasi yang memungkinkan untuk melihat satu sama lain antara
wali dan mempelai pria seperti (online/ video call), berikut teks dari
pertanyaan dan jawaban Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah yang diwakili oleh muftī
‘Aṭiyyah Ṣaqr38:

‫عقد الزواج ِبملسرة‬


.‫ عطية صقر‬: ‫املفيت‬
1997 ‫مايو‬
‫ القرآن والسنة‬: ‫املبادئ‬
: ‫السؤال‬
‫هل يصح عقد الزواج عن طريق التليفون بي الزوجي والشهود؟‬
: ‫اجلواب‬

،‫َّل بد لصحة عقد الزواج من وجود الشاهدين مع الزوجي جملس العقد‬


‫ وقد ُيصل التأكد إذا‬،‫وذلك للتأكد من شخصية الزوجي ومساع الصيغة‬
‫أرسل الزوج كتاِب إَّل الزوجة أبنه تزوجها وقبلت هى وشهد على قبوهلا‬
‫ فالكتاب املوقع عليه منه يقوم مقام النطق ِبلصيغة كما قال‬،‫شاهدان‬
.‫بعض العلماء‬

38
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” (Mesir, T.pn: 1997)
Jilid 9, h.500.

69
‫أما الكالم ىف املسرة "التليفون " فالتحقق فيه من صوت الزوج فيه عسر‪،‬‬
‫ْلمكان التقليد واحملاكاة لألصوات‪ ،‬وإذا مسعته الزوجة فالشاهدان رمبا َّل‬
‫يسمعانه‪ ،‬اللهم إَّل إذا كانت الزوجة والشاهدان يسمعون من مساعة واحدة‬
‫ِبآلَّلت اۡلديثة‪ ،‬ومع ذلك ففيه عسر ىف التأكد‪ .‬وميكن أن يقال‪ :‬إنه‬
‫ب تطور آَّلت اَّلتصال الىت تنقل هبا الصورة مع الصوت قد ُيصل التأكد‬
‫من شخصية الطرفي وكالمهما ِبْلجياب والقبول‪ ،‬وجترى هذه الرؤية عن‬
‫بعد جمرى اۡلضور ىف اجمللس الواحد الذى اشرتطه الفقهاء‪ .‬وهنا يكون‬
‫العقد صحيحا‪" .‬راجع كتاب‪ :‬أحكام اۡلسرة ىف اْلسالم‪ ،‬للدكتور حممد‬
‫مصطفى شلىب‪".‬‬

‫وجاء ىف كتاب اۡلحوال الشخصية للدكتور الشيخ عبد الرْحن اتج "ص‬
‫‪ :"٢٤‬أن أحد املتعاقدين إذا كان غري حاضر مع اآلخر ىف جملس واحد‬
‫فإنه ميكن أن يتعاقد بوساطة رسول أو كتاب‪ ،‬وتقوم عبارة الرسول وما‬
‫سطر ىف الكتاب مقام تلفظ العاقد اۡلاضر‪ ،‬والشهادة الالزمة لصحة العقد‬
‫يلزم توافرها ىف جملس القبول الذى يصدر من املرسل إليه أو املبعوث إليه‬
‫الكتاب‪ .‬وَّل يلزم أن يُش ِهد صاحب الكتاب على كتابه‪ ،‬بل يكفى أن‬
‫يشهد الشهود ىف جملس القبول على هذا القبول‪ ،‬وعلى ما جاء ىف الكتاب‬
‫بعد قراءته عليهم أو إخبارهم مبا فيه‪ ،‬فإن ذلك يقوم مقام حضور صاحب‬
‫الكتاب وتلفظه ىف اجمللس‪ .‬وجيب التنبيه على التثبت من أن الكتاب هو‬
‫كتاب فالن وذلك بشهادة من قرأوه أو علموا مبا فيه‪ ،‬فإنه قد ينكر‪ ،‬وهنا‬

‫‪70‬‬
‫ وتنص َّلئحة احملاكم الشرعية على أنه َّل تسمع عند‬،‫َّل يثبت الزواج‬
.‫اْلنكار دعوى الزوجية إَّل إذا كانت اثبتة بوثيقة رمسية‬

Akad pernikahan via Telepon

Muftī : ‘Aṭiyyah Ṣaqr

Mei 1997

Landasan : Al-Qurˋān dan Al-Sunnah

Pertanyaan : Apakah sah akad pernikahan via telepon antara


kedua mempelai dan para saksi ?

Jawaban :

Sudah menjadi sebuah keharusan agar sahnya sebuah akad


pernikahan dari dua saksi beserta dengan dua mempelai adanya majlis
(tempat) akad, dan hal tersebut untuk memastikan wujud dari dua
mempelai dan terdengarnya ṣīghat (ijāb dan qobūl). Kadangkala
verifikasi tersebut (memastikan) dapat terwujud apabila mempelai pria
mengirim sebuah tulisan kepada mempelai wanita bahwasannya dia ingin
mempersunting mempelai wanita lalu sang mempelai wanita tersebut
menerimanya yang disertai dengan penyaksian dari dua saksi, maka
tulisan yang telah ditandatangani diatasnya oleh mempelai pria bisa
menggantikan kedudukan ucapan ṣīghat, sebagaimana yang telah
diutarakan oleh sebagian ulama.

Adapun pembicaraan melalui misarrah (telepon), maka untuk


memastikan bahwa itu benar-benar suara mempelai pria agak sedikit
sulit, karena adanya kemungkinan untuk menjiplak dan meniru suara
tersebut, dan apabila mempelai wanita mendengarnya barangkali dua
saksi tersebut tidak dapat mendengarnya, kecuali jika semuanya dapat
mendengarnya dengan satu frekuensi melalui alat komunikasi yang
mutaakhir, dan walaupun seperti itu, verifikasi hal tersebut masih
terkesan sulit. Mungkin jika saja dengan perkembangan alat komunikasi
kedepannya, yang dapat memindahkan suara dan gambar sekaligus,
verifikasi dari kedua belah pihak dapat terjadi dan dilakukan ijāb dan

71
qobūl dengan alat tersebut, dan berlangsungnya penglihatan proses akad
dari kejauhan ini dianggap hadir dalam satu majlis (tempat) yang mana
disyaratkan oleh para ulama fiqh. pada keadaan seperti inilah akad
tersebut dianggap sah. (lihat buku : ahkām al-usrah fī al-īslām karya Dr.
Muhammad Mustafā Shiblī).

Disebutkan dalam buku al-Ahwāl al-Shakhṣiyyah karya Shaikh


Abdurrahmān Tāj halaman 24: bahwasannya salah satu yang melakukan
akad pernikahan apabila tidak dapat hadir dengan yang lainnya dalam
satu majlis (tempat) maka dapat melakukan akad dengan perantara
seorang utusan atau sebuah surat, dan sosok utusan dan tulisan yang
berada dalam surat tersebut dapat meggantikan talaffudz (ucapan)
pelaksana akad yang hadir, dan penyaksian yang menjadi syarat dalam
keabsahan akad tersebut harus terlaksana dan terpenuhi di majlis (tempat)
ṣīghat qobūl yang menjadi tempat tujuan diutusnya utusan dan atau
dikirimnya surat tersebut, pemilik tulisan tidak perlu memberikan
kesaksian tentang tulisannya/suratnya, melainkan cukup bagi para saksi
dalam majlis qobūl untuk bersaksi tentang penerimaan akan ījāb melalui
tulisan ini, lalu berdasarkan yang tertulis dari surat tersebut setelah
dibacakan kepada mereka atau dikabarkan kepada mereka atas isi surat
tersebut, maka dengan hal tersebut dapat menggantikan kehadiran dan
talaffudz (ucapan) dari pemilik surat tersebut, kemudian memperhatikan
atas kepastian dari surat tersebut bahwasanya memang betul milik dari
orang yang dimaksud hukumnya adalah wajib, disertai dengan
penyaksian orang yang membacanya atau yang mengetauhi isi suratnya,
karena bisa jadi orang tersebut mengingkarinya, dan jika hal itu terjadi,
maka pernikahan tersebut tidak dapat dianggap sah, dan peraturan
peradilan shariah mengatur bahwa pengingkarandan gugatan atas
pernikahan tidak disidangkan kecuali dibuktikan dengan akta resmi.

b) Fatwa Ḍār Al-Iftā Al-‘Irāqiyah

Adapun teks lengkap fatwa akad pernikahan online yang diterbitkan


oleh Ḍār al-Iftā al-’Irāqiyah no: 1343 yang diwakili ole muftī negara Iraq
yaitu Dr. Mahdī ibn Ahmad al-Ṣamaida’ī pada tanggal 28 juli 2019
sebagai berikut39:

39
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah”, https://www.h-
iftaa.com/2019/07

72
‫فتوى رقم) ‪( 1343‬‬

‫السائل حممد أبو صفا يسأل _ السالم عليكم ورْحة هللا وبركاته مساحة‬
‫املفيت سؤآيل لسماحتك ‪..‬حكم عقد الزواج بواسطة التقنيات املعاصرة‬
‫وسائل اَّلتصال املسموعة واملرئية أو مايسمى الزواج اَّللكرتوين ‪ ..‬وحنن‬
‫نثق بعلمكم وِبرك هللا فيك ‪.‬أبنكم حممد أبو صفا احملمدي‬

‫أجاب على السؤآل مساحة مفيت مجهورية العراق الشيخ الدكتور مهدي بن‬
‫اْحد الصميدعي ( سدده هللا تعاَّل ) اۡلمد هلل رب العاملي وبه نستعي‬
‫والصالة والسالم على امام املتقي نبينا حممد اۡلمي واله وصحبه أمجعي‬
‫وبعد ‪ :‬هللا يبارك بيك السائل الكرمي _ اْلجياب والقبول ركن من أركان‬
‫النكاح ‪َّ ،‬ل يصح بدونه ‪ ،‬واْلجياب هو اللفظ الصادر من الويل أو وكيله ‪.‬‬
‫والقبول ‪ :‬هو اللفظ الصادر من الزوج أو وكيله ‪.‬‬

‫ويشرتط أن يكون اْلجياب والقبول ِف جملس واحد ‪ ،‬قال ِف “كشاف‬


‫القناع” (‪“ : )٤1/٥‬وإن تراخى القبول عن اْلجياب صح ما داما ِف‬
‫اجمللس ومل يتشاغال مبا يقطعه عرفا ولو طال الفصل ؛ وإن تفرقا قبل القبول‬
‫بعد اْلجياب بطل اْلجياب وكذا إن تشاغال مبا يقطعه عرفا ؛ ۡلن ذلك‬
‫إعراض عنه أشبه ما لو رده ” انتهى بتصرف‪.‬‬

‫كما تشرتط الشهادة لصحة النكاح …‪ ..‬وبناء على ذلك ؛ فقد اختلف‬
‫أهل العلم ِف إجراء عقد النكاح ِبلوسائل اۡلديثة كاهلاتف واْلنرتنت أو‬

‫‪73‬‬
‫مامسيته الزواج اَّللكرتوين ‪ ،‬فمنهم من منع ذلك لعدم وجود الشهادة ‪ ،‬مع‬
‫التسليم أبن وجود شخصي على اهلاتف ِف نفس الوقت له حكم اجمللس‬
‫الواحد ‪ ،‬وهذا ما اعتمده جممع الفقه اْلسالمي …‪ .‬ومنهم من منع ذلك‬
‫احتياطا للنكاح ؛ ۡلنه ميكن أن يُقلد الصوت وُيصل اۡلداع ‪ ،‬وهذا ما‬
‫أفتت به اللجنة الدائمة لإلفتاء‪.‬‬

‫ومنهم من جوز ذلك إذا أُمن التالعب ‪ ،‬وهذا ما أفىت به الشيخ عبد العزيز‬
‫بن عبد هللا بن عبد الرْحن رْحه هللا‪.‬‬

‫وهبذا يعلم أن اْلشكال ليس ِف مسألة احتاد اجمللس ‪ ،‬فإن اَّلتصال اهلاتفي‬
‫أو اْلنرتنيت من الطرفي ِف نفس الوقت َيخذ حكم اجمللس الواحد‪.‬‬
‫والشهادة على هذا العقد ممكنة ‪ ،‬بسماع صوت املتكلم عرب اهلاتف أو‬
‫اْلنرتنت ‪ ،‬بل ِف ظل التقدم العلمي اليوم ميكن مشاهدة الويل ومساع صوته‬
‫أثناء اْلجياب ‪ ،‬كما ميكن مشاهدة الزوج أيضا‪.‬‬

‫وهلذا ؛ فالقول الظاهر ِف هذه املسألة ‪ :‬أنه جيوز عقد النكاح عن طريق‬
‫وحتقق من شخص الزوج والويل ‪،‬‬
‫اهلاتف واْلنرتنت إذا أُمن التالعب ‪ُ ،‬‬
‫اْلجياب والقبول ‪ .‬وهذا ما أفىت به الشيخ عبد العزيز بن‬
‫َ‬ ‫ومسع الشاهدان‬
‫عبد هللا بن عبد الرْحن رْحه هللا ‪ ،‬كما سبق ‪ ،‬وهو مقتضى فتوى اللجنة‬
‫الدائمة لإلفتاء _ اليت منعت النكاح هنا ۡلجل اَّلحتياط وخوف اۡلداع‪.‬‬

‫‪74‬‬
‫الزوج‬
‫ومن أراد السالمة ‪ ،‬فيمكنه إجراء النكاح عن طريق التوكيل ‪ ،‬فيوكل ُ‬
‫أو الويل من يعقد له أمام شاهدين …‪ .‬وهذا نص ما أشران إليه من كالم‬
‫أهل العلم‪:‬‬

‫‪ )1‬قرار جممع الفقه اْلسالمي ‪ :‬قرار رقم ‪ )6/٢( ٥٢ :‬بشأن حكم‬


‫إجراء العقود آبَّلت اَّلتصال اۡلديثة ‪ ،‬بعد ما قرر اجملمع جواز إجراء‬
‫العقود آبَّلت اَّلتصال اۡلديثة قال ‪ :‬إن القواعد السابقة َّل تشمل‬
‫النكاح َّلشرتاط اْلشهاد فيه” انتهى‬

‫‪ )٢‬فتوى اللجنة الدائمة لإلفتاء‪:‬‬

‫السؤال ‪ :‬إذا توفرت أركان النكاح وشروطه إَّل أن الويل والزوج كل‬
‫منهما ِف بلد‪ ،‬فهل جيوز العقد تليفونيا أو َّل؟‬

‫" نظرا إَّل ما كثر ِف هذه اۡلايم من التغرير واۡلداع ‪ ،‬واملهارة ِف تقليد‬
‫بعض الناس بعضا ِف الكالم وإحكام حماكاة غريهم ِف اۡلصوات حىت‬
‫إن أحدهم يقوى على أن ميثل مجاعة من الذكور واْلانث صغارا‬
‫وكبارا ‪ ،‬وُياكيهم ِف أصواهتم وِف لغاهتم املختلفة حماكاة تلقي ِف‬
‫نفس السامع أن املتكلمي أشخاص ‪ ،‬وما هو إَّل شخص واحد ‪،‬‬
‫ونظرا إَّل عناية الشريعة اْلسالمية حبفظ الفروج واۡلعراض ‪،‬‬
‫واَّلحتياط لذلك أكثر من اَّلحتياط لغريها من عقود املعامالت –‬
‫رأت اللجنة أنه ينبغي أَّل يعتمد ِف عقود النكاح ِف اْلجياب والقبول‬
‫والتوكيل على احملاداثت التليفونية ؛ حتقيقا ملقاصد الشريعة ‪ ،‬ومزيد‬

‫‪75‬‬
‫عناية ِف حفظ الفروج واۡلعراض حىت َّل يعبث أهل اۡلهواء ومن‬
‫حتدثهم أنفسهم ِبلغش واۡلداع ‪ .‬وِبهلل التوفيق” انتهى من “فتاوى‬
‫اللجنة الدائمة "‪(18/90 .‬‬

‫‪ )3‬فتوى الشيخ عبد العزيز بن عبد هللا بن عبد الرْحن رْحه هللا‪:‬‬
‫السؤال ‪ :‬أريد أن أعقد على فتاة وأبوها ِف بلد آخر وَّل أستطيع اآلن‬
‫أن أسافر إليه لنجتمع مجيعا ْلجراء العقد وذلك لظروف مالية أو‬
‫غريها وأان ِف بالد الغربة فهل جيوز أن أتصل أببيها ويقول يل ‪:‬‬
‫زوجتك ابنيت فالنة ‪ .‬وأقول ‪ :‬قبلت ‪ ،‬والفتاة راضية ‪ ،‬وهناك شاهدان‬
‫مسلمان يسمعان كالمي وكالمه مبكرب الصوت عرب اهلاتف ؟ وهل‬
‫يعترب هذا عقد نكاح شرعي ؟‬

‫اجلواب‪ :‬توجه املوقع هبذا السؤال إَّل الشيخ عبد العزيز بن عبد هللا‬
‫رْحه هللا فأجاب أبن ما ذُكر إذا كان صحيحا ( ومل يكن فيه تالعب‬
‫) فإنه ُيصل به املقصود من شروط عقد النكاح الشرعي ويصح‬
‫العقد ‪.‬‬

‫الفتوى‬ ‫قسم‬ ‫‪/‬‬ ‫والبحوث‬ ‫للدراسات‬ ‫العلمي‬ ‫املكتب‬


‫اۡلحد ‪ ٢٥‬ذي القعدة ‪ 1٤٤٠‬هجرية ‪ ٢8‬متوز ‪.٢٠19‬‬

‫‪No. Fatwa : 1343‬‬

‫‪Pemilik pertanyaan bernama Muhammad Abu Ṣafā, dia bertanya :‬‬


‫‪Assalāmu’alaikum Warahmatullāhi Wabarakātuh, yang terhormat wahai‬‬
‫‪Muftī, pertanyaaanku kepadamu, yaitu tentang hukum akad pernikahan‬‬
‫‪via teknologi kontemporer, sarana komunikasi audio visual, atau yang‬‬

‫‪76‬‬
disebut dengan pernikahan via online, dan kami percaya kepada ilmu
Anda, semoga Allah memberkahi Anda, - anakmu, Muhammad Abu Ṣafā
al-Muhammadī-.

Yang terhormat muftī besar republik Irak, Shaikh Dr. Mahdī bin
Ahmad Al-Sumaida'ī -semoga Allah memberkatinya dan memberinya
kedamaian- menjawab :

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, hanya kepada-Nya


kami meminta pertolongan, Shalawat serta salam tercurah limpahkan
kepada pemimpin para kaum saleh, Nabi kita Muhammad al-Amīn, dan
kepada keluarganya dan semua sahabatnya : Semoga Allah memberkahi
pemilik pertanyaan ini, Ījāb dan qobūl adalah salah satu rukun
pernikahan, tanpanya pernikahan tidak akan dikatakan sah. ījāb adalah
sebuah lafaẓ yang keluar dari seorang wali atau wakilnya. Adapun qobūl
adalah sebuah lafaẓ yang keluar dari mempelai pria atau wakilnya, dan
disyaratkan ījāb dan qobūl berada dalam satu majlis (satu tempat),
disebutkan dalam kitab Kasshāf al-Qinā’ (5/41)40: “dan apabila qobūl
terlambat diucapkan dari ījāb masih masih dapat dikatakan sah selama
keduanya dalam satu majlis (satu tempat) dan tidak sibuk dengan hal-hal
yang dapat menyebabkan terputusnya akad tersebut secara adat,
walaupun jarak pemisahnya lama; dan apabila keduanya berpisah
sebelum qobūl terucap dan setelah ījāb terucap, maka ījābnya batal
(tidak sah), begitu pula jika keduanya sibuk dengan hal-hal yang dapat
menyebabkan terputusnya akad tersebut secara adat; karena hal tersebut
lebih menyerupai berpaling daripada menyawabnya”. Seperti halnya
saksi juga disyaratkan dalam keabsahan pernikahan. Berdasarkan hal
tersebut; para ulama berbeda pendapat dalam pelaksanaan akad
pernikahan melalui teknologi mutakhir seperti telepon, internet atau yang
dinamakan sebagai pernikahan via Internet (online). Sebagian kelompok
melarang pernikahan semacam ini dikarenakan tidak adanya persaksian,
dengan mengakui bahwa keberadaan dua orang yang melakukan akad
tersebut melalui telepon dalam satu waktu dianggap berada dalam satu
majlis (satu tempat), inilah yang dipegang dan disepakati oleh Majma’
Fiqh al-Islāmī. Sebagian kelompok lainnya melarang pernikahan

40
Kasshāf al-Qinā’ Sharh kitab al-Iqnā’ karya Shaikh Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs al-
Bahūtī al-Hambali, salah satu ulama pakar fiqh madhhab hambalī pada zamannya, lahir
pada tahun 1000 H/1591 M dan wafat pada tahun 105i H/1641 M. lihat Khoiruddīn ibn
Mahmūd ibn Muhammad ibn ‘Alī ibn Fāris al-Ziruklī al-Dimashqī, al-‘Alām, jilid 7 (T.tp :
Dār Ilmī li al-Malāyīn, 2002), cet. ke-5, h. 307

77
semacam ini dengan dalih ihtiyāt (hati-hati), hal ini karena adanya
kemungkinan untuk meniru dan menjiplak suara sehingga terjadi sebuah
unsur penipuan, dan keputusan ini adalah yang difatwakan oleh lajnah
Dāimah li al-Iftā. Sebagian kelompok lainnya membolehkan pernikahan
semacam ini dengan syarat apabila aman dan terjaga dari unsur
manipulasi, pendapat ini seperti yang telah difatwakan oleh shaikh Abdul
‘Azīz ibn Abdullah ibn Abdurrohman rahimahullāh.

Dengan ini, dapat diketahui, bahwa akar permasalahannya bukanlah


terletak pada ittihād al-majlis (berada dalam satu tempat), karena
komunikasi melalui telepon maupun internet dari kedua belah pihak
dalam satu waktu mengambil hukum satu majlis (tempat), dan
penyaksian atas akad ini mungkin terealisasikan, dengan mendengarkan
suara pembicara via telepon ataupun internet, bahkan sejalannya
perkembangan teknologi saat ini, saksi memungkinkan untuk melihat
wali dan mendengarkan suaranya disaat ijāb berlangsung, begitu juga
penyaksian terhadap mempelai pria.

Oleh karena itu, secara ẓāhir (tampak) fatwa dari problem ini yaitu :
diperbolehkannya akad pernikahan via telepon ataupun internet (online)
jika dapat dipastikan terjaga dari unsur main-main, dapat dipastikan dari
wujud mempelai pria dan walinya, dan dua saksi akad tersebut dapat
mendengarkan ījāb dan qobūl. pendapat ini yang telah difatwakan oleh
shaikh Abdul ‘Azīz ibn Abdullah ibn Abdurrohman rahimahullāh seperti
sebelumnya, dan pendapat ini adalah hukum yang tersirat dari Lajnah
Dāimah li al-Iftā – yang mana lembaga ini melarangnya atas dasar ihtiyāt
(hati-hati) dan ditakutkannya ada unsur penipuan.

Dan barang siapa yang ingi mencari aman, maka orang tersebut
dimungkinkan untuk melaksanakan pernikahannya dengan cara
mewakilkan; mempelai pria atau wali dapat mewakilkan seseorang untuk
melaksanakan akad tersebut untuknya dihadapan dua orang saksi, berikut
adalah naṣ dari para ulama dari apa yang tekah kami isyaratkan
sebelumnya:

a. Keputusan Majma’ Fiqh al-Islāmī : keputusan no; 52 (2/6) tentang


hukum pelaksanaan akad/transaksi melalui alat komunikasi modern,
setelah Majma’ Fiqh al-Islāmī menetapkan bolehnya pelaksanaan
akad/transaksi melalui alat komunikasi modern, lembaga menetapkan
: “sesungguhnya kaidah-kaidah sebelumnya tidak mencakup

78
pernikahan dikarenakan adanya syarat penyaksian didalam akad
tersebut”.

b. Fatwa Lajnah Dāimah li al-Iftā:

Pertanyaan: apabila semua syarat dan rukun pernikahan terpenuhi,


hanya saja wali dan mempelai pria berada di negara masing-masing,
maka apakah diperbolehkan melaksanakan akad pernikahan melalui
telepon ?

“mengingat banyaknya penipuan di zaman ini, dan pandainya orang-


orang meniru suara yang lainnya, dan menirukan orang lain dalam
suaranya, hingga salah seorang dari mereka mampu mewakili
sekelompok laki-laki dan perempuan, tua dan muda, dapat meniru
mereka dalam suara dan bahasa mereka yang berbeda-beda, sehingga
tiruan yang diterima oleh pendengar yang sama beranggapan bahwa
pembicara adalah beberapa orang, yang mana tiada lain dia hanya satu
orang, dan mengingat kepada perhatian yang begitu besar sharī’at al-
islāmiyyah terhadap penjagaan alat kemaluan serta kehormatan, dan
ihtiyāt (hati-hati) akan hal tersebut lebih diprioritaskan daripada
ihtiyāt (hati-hati) terhadap akad/transaksi muāmalah lainnya – Lajnah
Dāimah li al-Iftā memandang bahwa sebaiknya akad pernikahan
dalam ījāb dan qobūl tidak bersandarkan terhadap alat komunikasi
telekonferensi; demi mewujudkan maqāṣid al-sharī’at, dan perhatian
tambahan terhadap penjagaan alat kemaluan serta kehormatan,
sehingga tidak mengundang para penafsu dan dujana yang selalu
melakukan penipuan. Semoga Allah memberikan taufīq. Fatwa
Lajnah Dāimah li al-Iftā (90/18)”

c. Fatwa Shaikh Abdul ‘Azīz ibn Abdullah ibn Abdurrahman


rahimahullah:

Pertanyaan: saya ingin melaksanakan akad pernikahan dengan seorang


wanita, yang mana ayahnya berada di negara lain dan saya sekarang
tidak bisa melakukan perjalanan menuju tempatnya agar kami dapat
berkumpul semuanya melaksanakan akad pernikahan tersebut, dan hal
ini dikarenakan faktor biaya ataupun yang lainnya, sedangkan saya
berada di negara asing, maka apakah diperbolehkan untuk saya
menelpon ayahya dan berkata kepada saya : saya nikahkan engaku
dengan anakku fulānah, lalu saya menjawab: saya terima, dalam

79
keadaan wanita tersebut juga riḍa akan hal tersebut, dan ditempat wali
terdapat dua saksi yang mendengarkan ucapan saya dengan
menggunakan pengeras suara melalui telepon?, apakah akad seperti ini
diakui sebagai akad pernikahan yang shar’ī ?

Jawaban: situs tersebut mengarahkan pertanyaan ini kepada Shaikh


Abdul ‘Azīz ibn Abdullah rahimahullah, lalu beliaupun menjawab
bahwa jika apa yang disebutkan itu benar (dan tidak ada manipulasi di
dalamnya), maka hal tersebut telah mencapai apa yang dimaksudkan
dari pada syarat-syarat akad pernikahan yang shar’ī, dan akad tersebut
dapat dikatakan sah. Kantor Kajian ilmiah dan Penelitian /
Departemen Fatwa.

Ahad, 25 Ẓulqo'dah 1440 H / 28 Juli 2019.

c) Fatwa al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī nomor 21, 12 Pebruari 2018 M

Berikut adalah teks lengkap fatwa akad pernikahan online yang


diterbitkan oleh Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī no: 21 pada tanggal 12
Februari 201841:

٢1 :‫رقم الفتوى‬

‫فرباير‬/‫ شباط‬1٢‫ه املوافق‬1٤٤٠ ‫ مجادى الثاين‬٠7 ‫ الثالاثء‬:‫اتريخ الفتوى‬


‫م‬٢٠18

‫ ما حكم إجراء عقد الزواج بوسائل اَّلتصال اۡلديثة؟ وهل هو‬:‫السؤال‬


‫أوَّل أو التوكيل ِف عقد التزويج؟‬

‫ والصالة والسالم على سيدان حممد رسول‬،‫ اۡلمد هلل رب العاملي‬:‫اجلواب‬


.‫هللا وعلى آله وصحبه أمجعي‬

41
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442

80
‫وبعد‪ :‬فإن الزواج ِمن سنن املرسلي وشريعة رب العاملي‪ ،‬وقد عنيت به‬
‫الشريعة عناية ِبلغة‪ ،‬واهتمت إبنشائه على أسس سليمة تضمن استمراره‬
‫وحتقق أهدافه‪ ،‬كما احتاط الشرع املطهر جبملة من اۡلحكام اليت تضمن‬
‫صحة هذا العقد‪ ،‬وسالمته من العيوب واۡلخطاء‪ ،‬ومن ذلك‪:‬‬

‫–توفر ركن الزواج ِمن ا ِْلجياب الصادر ِمن ويل املرأة‪ ،‬وال َقبول الصادر من‬
‫الزوج‪ ،‬وهذا الركن يتضمن الدَّللة على رضا طرِف الزواج‪ ،‬وتوافُقهما‪.‬‬

‫–حتقق شروط صحة الزواج واليت من أمهها‪:‬‬

‫‪ -1‬إذن ويل الزوجة وموافقته؛ ۡلديث عائشة رضي هللا عنها قالت‪ :‬قال‬
‫نكحت بغري إذن وليها‬
‫ْ‬ ‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‪( :‬أميُّا امرأة‬
‫ِبطل‪ ،‬فإ ْن دخل هبا فلها‬
‫فنكاحها ٌ‬
‫ُ‬ ‫ِبطل‪،‬‬
‫فنكاحها ٌ‬
‫ُ‬ ‫ِبطل‪،‬‬
‫فنكاحها ٌ‬
‫ُ‬
‫يل له)‬
‫ويل َمن َّل و ا‬
‫املهر مبا أصاب منها‪ ،‬فإن تشاجروا فالسلطا ُن ُّ‬
‫ُ‬
‫أخرجه أْحد وأبو داود والرتمذي وابن ماجه‪ ،‬وصححه اۡلاكم ووافقه‬
‫الذهيب‪.‬‬

‫شاه َد ْي عدل لعقد الزواج‪ ،‬وذلك ۡلديث عائشة رضي هللا‬ ‫‪ -٢‬حضور ِ‬

‫عنها قالت‪ :‬قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‪َّ( :‬ل نكاح إَِّل بويل‬
‫ِ‬
‫وشاه َد ْي عدل) أخرجه ابن حبان والدارقطين‪.‬‬

‫‪81‬‬
‫ومما شهده العصر اۡلايل ثورة اَّلتصاَّلت والتقنيات اليت أصبح هلا أكرب‬
‫اۡلثر ِف حياة الناس‪ ،‬حىت إهنا دخلت ِف أنواع التعامالت بيعاً وشراءً؛ فما‬
‫مدى مشروعية اَّلعتماد على هذه الوسائل ِف عقد الزواج؟‬

‫حكم هذه املسألة فيما يلي‪:‬‬

‫اۡلصل ِف عقد الزواج أن يكون بطريق مباشر حبضور طرِف عقد‬‫ُ‬ ‫أوَّلً‪:‬‬
‫الزواج (الزوج وويل املرأة)‪ ،‬مع الشهود‪ ،‬وميكن عقد هذا الزواج ِف بلد‬
‫الويل شخصاً ِف بلد‬
‫الزوج أو الزوجة‪ ،‬وإذا شق ذلك فيمكن أن يوك َل ُّ‬
‫الزوج فيعقد له مع حضور الشهود‪ ،‬أو يوكل الزوج شخصاً ِف بلد الويل‬
‫ف يعقد له مع حضور الشهود‪ ،‬وقد قرر أهل العلم جواز التوكيل ِف عقد‬
‫النكاح‪.‬‬

‫اثنياً‪ :‬اختلف الفقهاء املعاصرون ِف حكم عقد الزواج عرب وسائل‬


‫اَّلتصاَّلت بي مانع وجميز وحمتاط لألمر‪ ،‬بناء على عدة اعتبارات مؤثرة ِف‬
‫اۡلكم؛ أمهها‪ :‬حكم عقد الزواج كتابةً‪ ،‬وحتقق احتاد جملس العقد جبلسة‬
‫التواصل اَّلجتماعي‪ ،‬والتوثق من توافر الشروط واۡلركان‪ ،‬وعدم حصول‬
‫اۡلديعة واۡلطأ ِف هذه العقود؛ ْلمكان التالعب صواتً وصورةً وغري ذلك‪.‬‬

‫وميكن القول‪ :‬إن عقد الزواج ِبلوسائل اۡلديثة؛ إما أن يقع ِبلكتابة‬
‫واملراسلة كالرسائل النصية والربيد اْللكرتوين‪ ،‬وإما أن يكون ِبملراسلة‬
‫الصوتية‪ ،‬وإما أن يكون ِبَّلتصال الصويت عرب اهلاتف أو برامج املكاملات‬

‫‪82‬‬
‫الصوتية‪ ،‬وإما أن يكون ِبملكاملات املرئية اليت جتمع الصوت والصورة‬
‫(فيديو)‪:‬‬

‫‪ - 1‬فأما عقد الزواج ِبملكاتبة واملراسلة فال جيوز عند مجهور أهل العلم؛‬
‫َّلشرتاط التلفظ ِبْلجياب والقبول‪ ،‬قال النووي ِف «روضة الطالبي»‪( :‬إذا‬
‫يصح ِف الغائب‪،‬‬
‫كتب ِبلنكاح إَّل غائب أو حاضر‪ :‬مل يص اح‪ .‬وقيل‪ُّ :‬‬
‫وليس بشيء)‪ ،‬وقال الدردير ِف «الشرح الصغري»‪( :‬وَّل تكفي اْلشارة وَّل‬
‫الكتابة إَّل لضرورةِ خرس)‪.‬‬

‫‪- ٢‬وأما عقد الزواج ِبلرسائل الصوتية فهو َّل خيتلف عن املراسلة الكتابية؛‬
‫من حيث عدم احتاد اجمللس‪ ،‬ووجود الفاصل بي اْلجياب والقبول‪ ،‬وعدم‬
‫حضور الشهود لإلجياب والقبول‪ ،‬فال جيوز عقد النكاح هبذه الطريقة‪ ،‬قال‬
‫ابن قدامة ِف «املغين» ‪( :‬حكم اجمللس حكم حالة العقد‪ ،‬فان تفرقا قبل‬
‫القبول‪ :‬بطل اْلجياب؛ فإنه َّل يوجد معناه؛ فإن اْلعراض قد ُوجد من‬
‫جهته ِبلتفرق‪ ،‬فال يكون قبوَّلً‪ ،‬كذلك إذا تشاغال عنه ميا يقطعه؛ ۡلنه‬
‫ض عن العقد أيضاً ِبَّلشتغال عن قبوله)‪ ،‬وقال النووي ِف «روضة‬ ‫ُمع ِر ٌ‬
‫الطالبي» ‪( :‬يشرتط املواَّلة بي اْلجياب والقبول على الفور؛ وَّل يضر‬
‫الفصل اليسري‪ ،‬ويضر الطويل)‪.‬‬

‫‪-3‬وأ ما إجراء عقد الزواج ِبَّلتصال اهلاتفي والربامج الصوتية فقد أجازه‬
‫مجع من أهل العلم املعاصرين بشرط توفر مجيع اْلجراءات اليت تضمن‬
‫ٌ‬
‫صحة العقد‪ ،‬من وجود الويل والشاهدين‪ ،‬والتأكد من شخصية الزوجي‬

‫‪83‬‬
‫ِبملعرفة أو السماع‪ ،‬ومساع الشهود لطرِف العقد ِف جملس واحد َّل يكون‬
‫كل طرف كالم الطرف اآلخر ِف الوقت‬
‫فيه فصل أو انقطاع‪ ،‬حبيث يسمع ُّ‬
‫نفسه‪ ،‬فيكون اْلجياب من الويل أو وكيله‪ ،‬ويليه ال َقبول من الزوج أو وكيله‬
‫على الفور‪ ،‬مع اۡلمن من التدليس والغلط‪ ،‬فلو اقتصر مساع الشهود على‬
‫اْلجياب الصادر من الويل فقط‪ ،‬أو على القبول من الزوج مل يصح العقد‪.‬‬

‫ويرى اجمللس اۡلخذ هبذا القول بضوابطه املذكورة عند تعذر إجراء العقد‬
‫ِبلطرق املعتادة‪ ،‬وتعذر التوكيل بعقد الزواج؛ مراعاة ۡلحوال السوريي‪،‬‬
‫ودفعاً للمشقة عنه‪.‬‬

‫‪- ٤‬وأما إجراء عقد النكاح ِبملكاملات املرئية فهو أوَّل ِبجلواز من‬
‫املكاملات الصوتية؛ ْلمكان مشاهدة طرِف العقد حال إبرام العقد والتلفظ‬
‫ِبْلجياب والقبول‪ ،‬وَّلنتفاء اۡلداع واۡلطأ غالباً‪ ،‬فيجوز إبرام عقود النكاح‬
‫هبذه الطريقة مع مراعاة الضوابط السابقة املذكورة ِف الفقرة السابقة‪.‬‬

‫ونؤكد على أمهية أخذ مجيع اَّلحتياطات الالزمة للتأكد من صحة هذا‬
‫الزواج ونفي الغش أو الغرر عنه‪ ،‬ومنع اۡلالف حوله ِف املستقبل من‪:‬‬
‫التأكد من مساع مجيع اۡلطراف ملا جيرى ِف العقد‪ ،‬وخاصة الشهود‪،‬‬
‫والتأكد من فهمهم لكل ما يقال‪ ،‬إبعادة التلفظ به‪ ،‬واحتفاظ كل طرف‬
‫مبا ميكن من إثبات هذا العقد سواء تسجيل صويت أو مرئي‪ ،‬أو عقد‬
‫كتايب‪ ،‬وحنو ذلك لتكون وسيلة إثبات عند اۡلاجة‪.‬‬

‫‪84‬‬
‫اثلثاً‪ :‬إذا مل ُيصل العلم بتوفر اۡلركان والشروط‪ ،‬أو وقع الشك فيه‪ ،‬أو مل‬
‫يُتحقق من وجود أطراف الزواج ومساع بعضهم لبعض‪ ،‬أو عدم القدرة على‬
‫مستمرا‪ ،‬أو وجود ما يثري الريبة‪ ،‬أو إمكانية‬
‫ً‬ ‫عقد جملس الزواج متصالً‬
‫حصول اۡلطأ أو وجود غرر أو تالعب ولو من أحد اۡلطراف‪ :‬فيتعي‬
‫العدول عن إجراء العقد هبذه الوسائل‪ ،‬واملصري إَّل التوكيل ِبلزواج‪.‬‬

‫رابعاً‪ :‬يوصي اجمللس ِبۡلرص على توثيق عقود الزواج رمسياً ِف دوائر الدولة‬
‫اليت أُبرم فيها‪ ،‬فقد تبي من خالل الوقائع املتعلقة ِبلسوريي ِف السنوات‬
‫املاضية أن عقد القران غري املوثق رمسياً تسبب مبشاكل كثرية‪ ،‬وضياع‬
‫للحقوق‪ ،‬واختالط لألمور‪َّ ،‬ل سيما ِف حاَّلت الفراق أو وجود شكاوى‬
‫أو خالف بي الزوجي‪ ،‬وكثرياً ما يتعذر مجع الشهود أو إثبات العقد‬
‫بسبب ما مير به السوريون من عدم اَّلستقرار‪ ،‬وقلة التقوى عند البعض‪،‬‬
‫مما ُيتم اَّلهتمام بتوثيق العقود‪ ،‬واملسارعة إَّل ذلك‪ ،‬حفظاً للحقوق‪،‬‬
‫ومنعاً للمفاسد‪ ،‬وهللا تعاَّل أعلم‪ ،‬واۡلمد هلل رب العاملي‪.‬‬

‫وقد وقع على الفتوى من أعضاء اجمللس السادة العلماء‬

‫‪ .1٠‬الشيخ عماد الدين خييت‬ ‫‪ .1‬الشيخ أْحد ْحادين اۡلْحد‬

‫‪ .11‬الشيخ عمار العيسى‬ ‫‪ .٢‬الشيخ أْحد حوى‬

‫‪ .1٢‬الشيخ فايز الصالح‬ ‫‪ .3‬الشيخ أسامة الرفاعي‬

‫‪ .13‬الشيخ جمد مكي‬ ‫‪ .٤‬الشيخ أمين هاروش‬

‫‪85‬‬
‫ الشيخ حممد مجيل مصطفى‬.1٤ ‫ الشيخ عبد الرْحن بكور‬.٥

‫ الشيخ حممد الزحيلي‬.1٥ ‫ الشيخ عبد العزيز اۡلطيب‬.6

‫ الشيخ حممد زكراي املسعود‬.16 ‫ الشيخ عبد العليم عبد هللا‬.7

‫ الشيخ حممد معاذ اۡلن‬.17 ‫ الشيخ عبد اجمليد البيانوين‬.8

‫ الشيخ موسى اْلبراهيم‬.18 ‫ الشيخ علي انيف الشحود‬.9

‫ الشيخ موفق العمر‬.19

No Fatwa : 21

Tanggal Fatwa : Selasa, 07 Jumadal al-Tsānī 1440 H / 12 Pebruari 2018 M.

Pertanyaan : Apa hukumnya melaksanakan akad pernikahan melalui alat


komunikasi modern ? apakah itu lebih utama dibandingkan dengan
mewakilkan seseorang dalam akad pernikahan ?

Jawaban : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat serta
salam tercurahlimpahkan kepada baginda kami, Muhammad Rasulallah,
dan kepada keluarganya, serta seluruh sahabatnya.

Sesungguhnya pernikahan itu adalah Sebagian daripada sunnah Rasulallah


dan merupakan sharī’at (hukum) Tuhan semesta alam, sharī’at (hukum
islam) telah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap pernikahan,
dan juga telah memperhatikannya dengan membangun pernikahan dengan
pondasi yang kokoh yang yang menjamin kelangsungannya dan
pencapaian tujuannya, sebagaimana juga sharī’ah yang murni ini
mencakup sejumlah hukum-hukum yang menjamin keabsahan akad

86
pernikahan ini, dan terhindar dari aib ataupun kesalahan, diantara hukum-
hukum tersebut :

- Terpenuhinya rukun pernikahan yang berupa ījāb yang muncul dari


wali mempelai Wanita, dan qobūl yang muncul dari mempelai pria,
yang mana rukun ini mencakup dilālah (petunjuk/isyarat) atas
keriḍaan dan kesepakatan dari kedua belah pihak.

- Terwujudnya syarat-syarat pernikahan, dan diantara syarat-syarat


terpentingnya adalah sebagai berikut:

1. Izin dan persetujuan wali mempelai wanita, berdasarkan hadits


yang diriwayatkan oleh siti ‘Aishah raḍiyallah anhā, beliau
berkata: Rasulallah shallallah ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“siapa saja wanita yang dinikahi tanpa izin walinya, maka
penikahannya batal (tidak sah), jika terlanjur sudah disetubuhi,
maka berhak bagi wanita tersebut mahar seukuran apa yang
telah dikenai Wanita tersebut, jika mereka berselisih, maka
pemimpin menjadi wali atas siapapun yang tidak memiliki wali ”,
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dāud, al-Tirmiẓi dan ibn Mājah,
di ṣahihkan oleh hakim, begitu juga al-ẓahabī.

2. Hadirnya dua orang saksi yang adil untuk sebuah akad


pernikahan, dan hal ini berdasarkan hadits dari siti ‘Āishah
radhiyallahu anhā, beliau berkata: Rasulallah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: (tidak dikatakan sah sebuah pernikahan
kecuali dengan adanya seorang wali dan dua orang saksi yang
adil) diriwayatkan oleh ibn Hibbān dan al-Dāruquṭnī.

Di antara hal-hal yang telah disaksikan oleh era saat ini adalah revolusi
komunikasi dan teknologi yang memiliki dampak terbesar pada kehidupan
masyarakat, hingga masuk kesemua aspek dan jenis mu’āmalah (transaksi)
jual beli; lantas bagaimana hukumnya secara shara’ atas akad pernikahan
yang dilaksanakan melalui alat komunikasi saat ini ?

Hukum permasalahan ini sebagai berikut:

Pertama: Pada dasarnya, akad pernikahan dilaksanakan secara langsung


dengan kehadiran kedua belah pihak (mempelai pria dan wali mempelai
wanita) disertai dengan saksi, dan dapat dilakukan di tempat mempelai pria
ataupun mempelai wanita, apabila hal tersebut sulit, maka wali mempelai

87
wanita dapat mewakilkan seseorang untuk melakukakan akad tersebut di
tempat mempelai pria disertai dengan saksi, atau sebaliknya, mempelai pria
mewakilkan seseorang untuk melakukan akad tersebut untuknya di tempat
mempelai Wanita disertai dengan saksi. Para ulama fiqh telah memutuskan
bahwa proses akad dengan mewakilkan kepada seseorang untuknya
hukumnya adalah sah.

Kedua: Ulama kontemporer berbeda pendapat akan hukum dari keabsahan


akad pernikahan via telekonferensi (alat komunikasi modern) antara pro,
kontra dan mengambil jalan ihtiyāṭ (hati-hati), yang mana semuanya
berdasarkan sejumlah pertimbangan yang mempengaruhi hukum tersebut;
diantara yang paling pentingnya adalah: hukum akad pernikahan melalui
korespondensi, verifikasi dan kepastian adanya ittiḥād al-majlis pada akad
yang dilakukan via media sosial, memastikan terpenuhinya syarat dan
rukun-rukunnya, dan dipastikan tidak terjadinya penipuan dan kesalahan
pada akad tersebut; hal ini karena dimungkinkannya ada manipulasi baik
itu dari audio visual ataupun yang lainnya.

Dapat dikatakan: bahwasanya akad pernikahan melalui alat komunikasi


modern dilakukan dengan beberapa cara; dilakukan melalui korespondensi
seperti teks surat yang dikirim melalui e-mail, dilakukan dengan mengirim
pesan suara, dilakukan via telekonferensi baik itu telepon ataupun
perangkat lunak panggilan suara lainnya, atau dapat juga dilakukan via
panggilan video yang menggabungkan audio dan visual (video):

1. Adapun akad pernikahan secara tertulis dan korespondensi via e-


mail, mayoritas kalangan ulama tidak membolehkannya (tidak sah);
hal ini dikarenakan adanya syarat mengucapkan ījāb dan qobūl, an-
Nawawi dalam kitab “Rauḍah al-Ṭālibīn” berkata: apabila seseorang
menulis (surat) akad nikah kepada seseorang yang tidak ada
ditempat atau kepada yang hadir ditempat: maka hukumnya tidak
sah. Dikatakan (menurut pendapat lemah): bahwa hal ini dikatakan
sah apabila ditujukan kepada orang yang tidak hadir, namun
pendapat ini tidak kuat), al-Dardīr dalam kitab “al-Sharh al-Ṣarīh”
berkata: (isyarat dan tulisan tidak sah dalam akad pernikahan kecuali
pada kondisi darurat -bisu-).

2. Adapun akad pernikahan yang dilakukan melalui korespondensi


audio (suara) maka hukumnya tidak berbeda dengan hukum akad
pernikahan melalui tulisan dan korespondensi; dari sisi sama-sama

88
tidak adanya hukum ittiḥad al-majlis (satu tempat), adanya
penghalang antara ījāb dan qobūl, dan tidak adanya kehadiran saksi
untuk ījāb dan qobūl, maka daripada itu akad pernikahan dengan
cara seperti ini tidak diperbolehkan, ibn Qudāmah 42 dalam kitab “al-
Mughnī” berkata: (hukum majlis adalah hukum keadaan akad
tersebut, apabila kedua belah pihak berpisah sebelum qobūl terucap;
maka ījābpun batal (dianggap tidak sah); karena pada saat itu makna
yang berada dalam ījāb hilang; karena keengganan atas akad
tersebut terwujud dari bubarnya kedua belah pihak, maka tidak ada
ījāb, begitu juga apabila kedua belah pihak sibuk dengan hal yang
dapat memutus proses akad tersebut, karena orang tersebut juga
dinamakan enggan dengan akad tersebut, karena sibuk dengan hal
selain qobūl), an-Nawāwi43 dalam kitab “Rauḍah al-Ṭālibīn”
berkata: (disyaratkan keberlangsungan yang terus menerus degan
segera antara ījāb dan qobūl, dan adanya jeda yang ringan tidak
akan merusak akad, dan sebaliknya, jeda yang lama akan merusak
akad tersebut).

3. Adapun proses pelaksanaan akad via telekonferensi atau perangkat


lunak panggilan suara lainnya, sebagian kalangan ulama
kontemporer membolehkan akad semacam ini dengan syarat
terpenuhinya seluruh hal yang menjadi keberlangsungan dan
keabsahan akad tersebut, dari keberadaan wali, dua orang saksi,
konfirmasi wujud dari dua mempelai dengan info ataupun
pendengaran, didengarnya oleh saksi-saksi dari kedua belah pihak
yang melakukan transaksi didalam satu majlis tanpa adanya pemisah
ataupun terputus, yang mana setiap orang dari kedua belah pihak
dapat mendengar pembicaraan pihak lainnya di waktu yang sama,

42
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudamah, Abu
Muhammad al-Maqdisī, al-Dimashqī, Lahir pada tahun 541 H dan wafat pada tahun 620 H,
Seorang Ulama dan faqīh dan Imam diantara ulama-ulama madhhab hambalī di zamannya,
salah satu kitab terkenalnya adalah al-Mughnī, lihat: Shamsuddin Abu Abdillah
Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman al-Dhahabī, Siar A’lām al-Nubalā (Mesir – Dār al-
Hadīts, 2006), jilid 16, h. 149.
43
Nama lengkapnya adalah Yahya ibn Sharaf ibn Mirā ibn Hasan ibn Husen ibn
Hizām ibn Muhammad ibn Jum’ah al-Nawawī, lahir pada tahun 630 H dan wafat pada
tahun 676 H, salah satu imam besar dari pada ulama-ulama madhhab shāfi’ī, bahkan
seorang muhaqqid dan mujtahid murajjih, diberi gelar sebagai salah satu shaikhān setelah
imam al-Rāfi’ī, diantara karya-karyanya dalam ilmu fiqh yaitu, minhāj al-Tālibīn, Raudah
al-Ṭālibīn, al-Majmū’ sharh Muhadhdhab, al-Tahqiq dst. lihat: ‘Alī ibn Ibrāhīm ibn Dāud
‘Alā al-Dīn al-‘Aṭṭār, Tuhfah al-Ṭālibīn fī Tarjamah al-Imam Muhyiddīn (Yordania – al-
Dār al-Atsariyyah, 2007), cet. Ke 1, h. 39-50

89
maka terealisasinya ījāb dari wali atau wakilnya, dan setelahnya
qobūl dari mempelai pria atau wakilnya segera, disertai dengan tidak
adanya unsur penipuan ataupun kesalahan, maka seandainya para
saksi hanya mendengar ījāb dari wali saja, atau qobūl dari mempelai
pria saja, akad tersebut tidak dapat dikatakan sah.

Lembaga Al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī memilih pendapat ini dengan


batasan-batasan yang telah disebutkan ketika adanya uẓur / tidak
dimungkinkannya melakukan akad tersebut dengan cara yang biasa
dan adanya uẓur untuk mewakilkan akad pernikahan tersebut. Hal
ini dilakukan demi menjaga dan memperhatikan kondisi penduduk
suriah, dan demi meringankan kesulitan dari akad pernikahan
tersebut.

4. Adapun pelaksanaan akad pernikahan via video call maka lebih


utama dikatakan sah daripada dengan menggunakan telekonferensi,
karena dimungkinkan setiap kedua belah pihak untuk menyaksikan
dan melihat keberlangsungan akad ketika pengucapan ījāb dan
qobūl, dan karena pada umumnya dengan cara ini unsur penipuan
dan kesalahan itu tidak ada, maka oleh karena itu, boleh hukumnya
melakukan akad dengan car aini yang disertai dengan menjaga
Batasan-batasan yang telah disebutkan sebelumnya pada poin diatas.

Kami menekankan pentingnya mengambil semua tindakan


pencegahan yang diperlukan untuk memastikan keabsahan
pernikahan ini untuk meniadakan kecurangan atau penipuan
didalamnya, dan untuk mencegah perselisihan tentang hal itu di
masa depan. Diantara poin yang harus ditekankan dan dipastikan:
didengarnya akad tersebut oleh seluruh pihak ketika berlangsung,
khususnya para saksi, dipahaminya isi akad tersebut oleh kedua
belah pihak, dengan mengulang pengucapan akad tersebut, dan
masing-masing dari kedua belah pihak merekam segala hal yang
mungkin dapat menguatkan akad tersebut, baik itu rekaman suara
atau video, ataupun secara tertulis, dan hal yang semisalnya untuk
menjadi perantara dan alat pembuktian ketika saat dibutuhkan.

Ketiga: jika tidak dapat diketahui terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya,


terjadi keraguan didalamnya, tidak dapat terkonfirmasi wujud dari pihak-
pihak yang berpentingan dalam pernikahan dan tidak dapat dipastikan
didengarnya akad tersebut dari sebagian pihak, tidak dapat dilakukannya

90
akad tersebut dalam satu majlis secara terus menerus tanpa terputus,
adanya hal yang menimbulkan keraguan, adanya kemungkinan terjadinya
kesalahan, atau adanya penipuan atau manipulasi walaupun hanya dari
salah satu pihak: maka sudah dapat dipastikan akad tersebut berpindah,
dari yang awalnya menggunakan alat komunikasi kepada akad pernikahan
dengan cara mewakilkan.

Keempat: Lembaga Al-Majlis Al-Islamī Al-Sūrī merekomendasikan agar


memastikan bahwa akad pernikahan semacam ini didokumentasikan secara
resmi di departemen negara tempat akad pernikahan tersebut dilakukan,
karena dari beberapa fakta-fakta yang terkait dengan penduduk Suriah
dalam beberapa tahun terakhir, bahwasanya akad pernikahan yang tidak
berdokumen resmi telah menyebabkan banyak masalah, kehilangan hak,
dan kebingungan masalah, terutama dalam kasus perceraian, keluhan atau
perselisihan di antara pasangan, dan seringkali tidak mungkin untuk
mengumpulkan saksi atau membuktikan akad pernikahan tersebut
dikarenakan ketidakstabilan yang dialami warga Suriah, dan kurangnya
ketaqwaan di antara Sebagian dari mereka, yang memerlukan perhatian
untuk mendokumentasikan akad-akad tersebut tanda ditunda-tunda, untuk
menjaga hak dan mencegah kerusakan. wallāhu a’lam, alhamdulillah
robbil‘ālamīn.

Fatwa ini ditandatangani oleh anggota dewan yang merupakan para ulama :

1. Shaikh Ahmad Hammādīn al-Ahmad

2. Shaikh Ahmad Hawa

3. Shaikh Usāmah al-Rifā’ī

4. Shaikh Aiman Hārūsh

5. Shaikh Abdurrahmān Bākūr

6. Shaikh Abdul ‘Azīz al-Khaṭīb

7. Shaikh Abdul ‘Alīm Abdullah

8. Shaikh Abdul Majīd al-Bayānūnī

9. Shaikh ‘Alī Nāyif al-Shahūd

91
10. Shaikh ‘Imāduddīn Khītī

11. Shaikh ‘Amār al-‘Īsā

12. Shaikh Fāiz al-Ṣalāh

13. Shaikh Majd Makkī

14. Shaikh Muhammad Jamīl Muṣtafā

15. Shaikh Muhammad al-Zuhailī

16. Shaikh Muhammad Zakariya al-Mas’ūd

17. Shaikh Muhammad Mu’āẓ al-Khin

18. Shaikh Mūsā al-Ibrāhīm

19. Shaikh Muaffaq al-‘Ūmr

92
BAB IV

APLIKASI KONSEP MAṢLAḤAH AL-BŪṬĪ TERHADAP FATWA


AKAD PENIKAHAN ONLINE YANG DITERBITKAN OLEH
LEMBAGA FATWA DUNIA

A. Argumentasi Fatwa Pernikahan Online Menurut Lebaga Fatwa Dunia

Akad pernikahan online ini sudah cukup lumayan lama menjadi


perdebatan para ulama, keabsahannya menjadi sebuah pemicu perpecahan
para ulama menjadi dua golongan, yakni golongan pro dan kontra. Terlepas
dari alasan masyarakat yang melakukan akad pernikahan ini, pernikahan
semacam ini memang terbilang agak tabu untuk masyarakat Indonesia, yang
masyoritas kaum muslimnya adalah bermadhhab syāfi’ī. Hal ini dikarenakan
kaum muslim indonesia memandang bahwasanya akad pernikahan merupakan
ibadah atau ritual yang sakral dan sangan sensitif, sehingga apabila keluar dari
kebiasaan adat yang ada, maka secara spontan akan menjadi perbincangan
dikalangan masyarakat muslim Indonesia.

Setiap dari kelompok baik itu yang pro dengan akad pernikahan ini
ataupun kontra, masing-masing dari mereka memiliki argumentasi yang kuat,
bahkan tiga lembaga fatwa dunia (Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā al-
‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī) , yang pada dasarnya condong untuk
memberikan fatwa sah atas pernikahan ini, dalam hal dalil dan
argumentasinya memiliki perbedaan satu sama lain.

Berikut adalah argumentasi masing-masing tiga lembaga fatwa dunia


atas keabsahan pernikahan online yang tersurat dalam fatwa-fatwanya :

1. Argumentasi Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah

Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah pada tahun 1997 dengan dibawah


naungan mufti ‘Aṭiyyah Ṣaqr telah membahas sedikit tentang akad
pernikahan yang dilangsungkan dengan jarak jauh dibantu oleh alat
komunikasi yang dapat memperlihatkan audio dan visual secara

93
bersamaan, yang mana pada awalnya fatwa ini ditujukan kepada
pertanyaan akan akad yang dilangsungkan via telekonferensi, yakni
telepon yang hanya dapat terhubung secara audio saja, tanpa disertai
dengan visual1.

Fatwa yang diterbitkan Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah pada tahun 1997


Masehi ini menjelaskan dengan ringkas bahwasanya akad pernikahan via
telepon tidak dapat dikatakan sah, hal ini dikarenakan sulitnya untuk
disaksikan dan didengar oleh kedua saksi secara langsung baik itu ṣīghat
ījāb ataupun qobūl, yang mana jika kedua saksi berada dilokasi wali
mempelai wanita, maka yang akan disaksikan atau didengar suaranya
oleh para saksi adalah suara dari wali mempelai wanita tersebut,
begitupun sebaliknya jika kedua saksi berada di lokasi mempelai pria,
maka suara yang disaksikan dan didengar secara langsung hanya suara
dari mempelai pria tersebut. Adapun suara yang muncul dan didengar
oleh kedua saksi melaui telepon tidak dapat dipastikan kebenarannya
seratus persen, sehingga makna dari syarat kesaksian para saksi akan
akad -yang terdiri dari ījāb dan qobūl- hilang dan tidak terealisasikan
karena dianggap kesaksian tersebut hanya untuk sebagian dari akad
tersebut dan belum sempurna2.

Kesulitan ini muncul karena adanya presepsi bahwa suara mudah


ditiru dan dimanipulasi oleh siapapun, sehingga untuk menverifikasi akan
kebenaran suara tersebut bahwa benar milik dari mempelai pria ataupun
wali mempelai istri yang melakukan akad tersebut kemungkinannya
sangat nihil.

‘Aṭiyyah Ṣaqr tidak terhenti hanya dalam memberikan fatwa


tentang akad pernikahan via telekonferensi, beliau melanjutkan dengan
memberikan perumpaan, bahwasanya seandainya dikemudian hari saat
teknologi semakin berkembang dan maju, yang mana ada alat komunikasi
yang dapat menghubungkan audio dan visual secara bersamaan dalam
satu waktu, maka pada saat itu verifikasi akan sosok dan suara dari kedua

1
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” (Mesir: T.pn, 1997)
Jilid 9, h.500.
2
Muhammad Muṣtafā Shalbī, Ahkām al-Usrah fi al-Islām Ḍirāsat Muqārnah Baina
Fiqh al-Madhāhib al-Sunniyyah Wa al-Madhhab al-Ja’farī Wa al-Qonūn (Beirut - al-Dār
al-Jāmi’iyyah, 1983 M), cet. Ke-4, Jilid 5 h. 111

94
pihak yang melakukan transaksi akad pernikahan yang terdiri dari ījāb
dan qobūl bisa terwujud, dan jika hal ini terwujud, maka dapat dikatakan
bahwa akad semacam ini hukumnya sah.

Beliau berargumen bahwa jika memang alasan tidak disahkannya


akad pernikahan via telepon adalah sulitnya saksi untuk menverifikasi
suara dan pemilik suara kedua belah pihak yang melakukan akad, maka
pada saat alasan atau māni’ tersebut hilang dengan kemajuan teknologi
seperti yang dapat dilakukan via jaringan internet (online) yang
menghubungkan audio dan visual dalam satu waktu, hukum akad tersebut
berubah menjadi sah3.

Apa yang diungkapkan ‘Aṭiyyah Ṣaqr sesuai dengan qa’idah


fiqhiyyah yang berbunyi :

‫إذا زال املانع عاد املمنوع‬

Apabila māni’(penghalang) hilang, maka hukum asal (yang


dihalangi oleh māni’) kembali4.

Akad pernikahan jarak jauh via alat komunikasi terhalang


keabsahannya karena sebuah māni’, yaitu tidak dapat atau sulitnya
persaksian dan verifikasi kedua saksi terhadap kedua pihak yang
melakukan akad pernikahan. Oleh karena itu, ketika kesaksian dapat
terwujud dengan teknologi saat ini yang menggunakan jaringan internet
sehingga memungkinkan kedua belah pihak terlihat dan terdengar
suaranya dalam satu waktu, maka pada saat itu pula māni’ terangkat atau
hilang, sehingga akad tersebut bisa dikatakan sah hukumnya secara
sharī’at Islam.

Adapun latar belakang madhhab dari fatwa ini adalah al-


Madhāhib al-Arba’ah (Hanafī, Maliki, Shāfi’ī dna Hambalī), hal ini
terlihat dari cara pengambilan muftī Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah -‘Aṭiyyah

3
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, Fatāwā Dār, h.500.
4
Muhammad Ṣhidqī ibn Ahmad Abu Al-Hārits al-Ghazzī, Mausū’ah al-Qawā’id al-
Fiqhiyyah (Beirut – al-Muassasah al-Risālah 2003), cet ke 1, Jilid 1 h. 316

95
Ṣaqr -, beliau dalam fatwanya seringkali merujuk kepada buku Ahkām al-
Usrah fī al-Islām karya Muhammad Mustafā Shablī, yang mana buku ini
merupakan buku perbandingan antara al-Madhāhib al-Sunniyyah, al-
Madhhab al-Ja’farī dan al-Qōnūn.

2. Argumentasi Ḍār Al-Iftā al-‘Irāqiyah

Ḍār al-Iftā al-‘Irāqiyah memandang bahwa akar permasalahan


dari pro dan kontra keabsahan pernikahan online atau yang semisalnya
yang menggunakan alat komunikasi modern bukan terletak dari syarat
ittihād al majlis (satu tempat) ketika ījāb dan qobūl, melainkan karena
sulitnya untuk dua orang saksi mendengarkan akad pernikahan yang
terdiri dari ketika ījāb dan qobūl, dan sulitnya memastikan sosok dari
mempelai pria ataupun wali mempelai wanita yang akan melakukan akad
pernikahan tersebut5. maka dari pada itu, menurut lembaga Ḍār al-Iftā al-
‘Irāqiyah hingga kelompok ulama yang kontra akan akad pernikahan
inipun sepakat bahwa komunikasi kedua belah pihak antara mempelai
pria dan wali dalam satu waktu untuk melaksanakan akad pernikahan
dikatakan berada dalam satu majlis.

Shaikh Dr. Mahdī bin Ahmad Al-Sumaida'ī yang merupakan


mufti besar republik Irak, berargumen bahwa berlangsungnya akad
pernikahan disyaratkan harus berada dalam satu majlis walau tidak
berlangsung secara berkesinambungan antara ījāb dan qobūl, hal ini
sesuai dengan madhhab hambali yang disebutkan oleh shaikh Manṣūr
ibn Yūnus ibn Idrīs al-Bahūtī dalam kitabnya kashshāf al-Qinā’ sharh
dari kitab matan al-Iqnā’ karya Sharafuddīn abī al-Najā Mūsā ibn Ahmad
ibn Sālim ibn ‘Īsā ibn Sālim al-Maqdisī al-Hajawī al-Dimashqī, beliau
berkata:“dan apabila qobūl terlambat diucapkan dari ījāb masih masih
dapat dikatakan sah selama keduanya dalam satu majlis (satu tempat)
dan tidak sibuk dengan hal-hal yang dapat menyebabkan terputusnya
akad tersebut secara adat, walaupun jarak pemisahnya lama; dan
apabila keduanya berpisah sebelum qobūl terucap dan setelah ījāb
terucap, maka ījābnya batal (tidak sah), begitu pula jika keduanya sibuk
dengan hal-hal yang dapat menyebabkan terputusnya akad tersebut

5
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Dār al Iftā’ al-Miṣriyah” diakses dari pada hari minggu 17
Oktober 2021 melalui https://www.h-iftaa.com/2019/07

96
secara adat; karena hal tersebut lebih menyerupai berpaling daripada
menyawabnya” 6.

Menurut Al-Sumaida'ī, akad yang dilaksanakan pada pernikahan


yang menggunakan alat komunikasi berupa jaringan internet (online) atau
via telekonferensi masih dikategorikan sebagai akad yang dilaksanakan
dalam satu majlis, hal ini beliau qiyaskan7/ analogikan dengan makna
ittihad al-majlis yang disebutkan oleh shaikh Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs
al-Bahūtī, yang mana beliau tidak mensyaratkan dalam ittihad al-majlis
adanya berkesinambungan atau terus menerus dalam ījāb dan qobūl,
sehingga dalam praktik akad pernikahan yang berupa ījāb dan qobūl yang
dilangsungkan via telekonferensi atau jaringan internet (online) dalam
satu waktu dinamakan akd pernikahan yang berlnagsung dalam satu
majlis, sehingga tidak menghilangkan makna ittihād al-majlis yang telah
disyaratkan oleh para fuqahā.

Makna ittihād al-majlis dalam akad pernikahan via telekonferensi


yang tidak disertai oleh video visual mungkin agak sulit untuk difahami,
sehingga wajar saja sebagian ulama masih ragu untuk menerima
keabsahan akad seperti ini, namun jika akad ini berlangsung melalui alat
komunikasi yang memperlihatkan suara dan gambar sekaligus seperti
yang dilangsungkan dengan video call melalui jaringan internet (online),
maka makna ittihad al-majlis akan lebih mudah diakui dan diterima,
karena bukan hanya suara melainkan video secara langsung dalam satu
waktu bersamaanpun dapat dilaksanakan dan dilihat oleh para saksi yang
berada dalam akad pernikahan tersebut8.

Adapun latar belakang madhhab dari fatwa ini adalah madhhab


Hambalī. hal ini terlihat dari cara pengambilan muftī Ḍār Al-Iftā al-
‘Irāqiyah -Al-Sumaida'ī-, beliau dalam fatwanya ini seringkali merujuk

6
Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs al-Bahūtī, Kashshāf al-Qinā’ sharh ‘an matn al-Iqnā’
(Beirut : ālam a-Kutub, 1983), cet ke-1, jilid 5, h.41
7
Qiyās adalah mengikutkan hukum hal yang sudah diketahui (fara’) kepada perkara
yang sudah diketahui (aṣl) karena sama-sama memiliki ‘illat yang sama. Lihat : Hasan ibn
Muhammad ibn Mahmūd al-‘Aṭṭār, hāsyiat al-‘aṭṭar al jam’ul jawāmi’ (t.tp – Dār al-Kutub
al’ilmiyyah, t.t), Jilid 2, h. 239.
8
Miftah farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum Islam” dalam jurnal
Jurisprudentie, vol.5 no.1, juni 2018, h. 180-181

97
kepada beberapa lembaga fatwa yang latar belakangnya bermadhhab
hambalī seperti Majma’ Fiqh al-Islāmī dan Lajnah Dāimah li al-Iftā,
begitu juga Al-Sumaida'ī dalam fatwanya ini merujuk pada kitab Kasshāf
al-Qinā’ Sharh kitab al-Iqnā’ karya Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs al-Bahūtī
al-Hambali, salah satu kitab pegangan madhhab hambali saat ini, begitu
juga beliau yang menguatkan perspepsi penulis bahwasannya latar
bekang fatwa ini adalah madhhab hambali adalaha kutipan yang di tulis
dalam fatwa ini yang bersumber dari argumen Abdul ‘Azīz ibn Abdullah
ibn Abdurrahman, yang merupakan salah satu tokoh Hambalī atau salaf
saat ini.

3. Argumentasi al-Majlis al-Islamī al-Sūrī

Adapun al-Majlis al-Islamī Al-Sūrī dalam fatwanya tentang


keabsahan akad pernikahan via alat komunikasi modern menegaskan
bahwa akad pernikahan pada dasarnya adalah salah satu jejak langkah
yang telah ditempuh oleh para Nabi dan Rasul yang merupakan sharī’at
Allah subhanahu wa ta’ālā dari sejak dulu hingga sekarang, yang mana
Islam sangat mencurahkan perhatiannya untuk menjaga dan mewujudkan
tujuan pernikahan ini. Maka daripada itu menegaskan terpenuhinya rukun
dan syarat daripada pernikahan ini, khususnya dalam resepsi akad (ījāb
dan qobūl) adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa di tawar-tawar9.

Diantara syarat terpenting demi mewujudkan pernikahan sah


adalah izin dari seorang wali mempelai wanita dan kehadiran para saksi
yang adil, yang mana apabila salah satu keduanya tida terwujud,
pernikahan tersebut dianggap tidak sah dalam pandangan hukum Islam.

Pernikahan jarak jauh yang dilangsungkan dengan bantuan alat


komunikasi baik itu berupa telepon ataupun jaringan internet yang dapat
memungkinkan menghubungkan audio dan video itu dilakukan karena
tidak dimungkinkannya untuk melakukan pernikahan secara biasa
(konvensional), maka dari pada itu dalam menjaga setiap daripada rukun

9
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, diakses pada hari
Minggu 12 Februari 2021 melalui http://sy-sic.com/?p=7442

98
dan syarat pernikahan tersebut akan menjadi lebih sulit dikarenakan
adanya jarak yang memisahkan kedua belah pihak yang akan melakukan
akad pernikahan, sehingga verifikasi akan ījāb ataupun qobūl yang
dilakukan oleh para saksi tidak semudah akad pernikahan biasa.

Menurut al-Majlis al-Islamī Al-Sūrī, sulitnya verifikasi inilah


yang menyebabkan para ulama kontemporer berselisih faham dalam
menetapkan hukum keabsahan akad pernikahan via telekonferensi.
Sebagian ulama yang memandang sah akad pernikahan semacam ini
mensyaratkan tidak adanya unsur manipulasi apapun ketika akad
berlangsung, dan tidak terputusnya jaringan ataupun suara, dimana kedua
belah pihak yang disertai kedua saksi dapat mendengar jelas dan faham
apa dalam waktu yang bersamaan, dan apabila kedua saksi tersebut hanya
mendengar dari pihak mempelai pria saja, atau sebaliknya yakni hanya
mendengra dari pihak wali mempelai pria saja, maka akad pernikahan
tersebut dianggap tidak sah.

Adapun Akad Pernikahan yang dilangsungkan melalui jaringan


internet (online) dengan cara video conference, al-Majlis al-Islamī Al-
Sūrī memandang sah akad semacam ini dengan argumen mafhūm
aulawy10, yang mana jika saja pernikahan via telekonferensi yang
dasarnya hanya dapat disaksikan adalah suara, oleh sebagian ulama
kontemporer dianggap sah hukumnya, maka akad pernikahan semacam
ini (melalui cara videoconference) harusnya lebih dianggap sah, karena
peluang untuk melakukan manipulasi akan lebih sedikit, dan verifikasi
yang dilakukan oleh para saksi pun akad lebih meyakinkan, karena bukan

10
Mafhūm aulawy adalah salah satu jenis dari mafhūm muāfaqah, atau yang disebut
dengan fahwa al-khiṭāb, lahn al-khitāb, ataupun al-qiyās al-jaly, ialah sebuah masalah yang
tidak ditertulis hukumnya secara teks (naṣ), namun lebih pantas untuk diberikan hukum
yang sama dengan masalah yang memiliki hukum secara teks (naṣ), maka daripada itu
diberi hukum yang sama dengan yang sudah ada hukunya secara teks contohnya: firman
Allah ta’ālā “janganlah engkau berkata “ah” terhadap kedua orang tuamu”, ayat ini
mengandung larangan dan hukum haram mengatakan kata “ah” terhadap kedua orang tua,
namun perlakuan yang melebihi hal tersebut, seperti memukul, mencela dan hal lainnya
yang lebih buruk, juga dihukumi sama haramnya dengan penyebutan kata “ah” walaupun
hal ini tidak disebutkan dalam ayat tersebut. lihat: Muhammad ibn Husen ibn Hasan al-
Jīzāny, Ma’ālim Uṣūl Al-Fiqh ‘Inda Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jamā’ah (t.tp - Dār Ibn al-
Jauzy,1427 H), cet ke-5, h. 450.

99
hanya suara, namun para saksipun dapat melihat kedua belah pihak yang
sedang melaksanakan akad pernikahan tersebut.

Adapun latar belakang madhhab dari fatwa ini adalah al-


Madhāhib al-Arba’ah (Hanafī, Maliki, Shāfi’ī dan Hambalī), hal ini
terlihat dari cara pengambilan referensi dan rujukan al-Majlis al-Islamī
al-Sūrī, dalam menjelaskan fatwa ini banyak merujuk kepada buku atau
kitab -kitab Madhāhib al-Arba’ah, seperti al-Mughnī karya ibn
Qudāmah salah seorang ulama dan faqīh dan Imam diantara ulama-ulama
madhhab hambalī di zamannya. Kemudian Lembaga ini juga beberapa
kali mengunip kita Rauḍah al-Ṭālibīn salah satu karya fenomenal dari
murajjih fiqh madhhab shāfi’ī yaitu Yahya ibn Sharaf ibn Mirā ibn Hasan
ibn Husen ibn Hizām ibn Muhammad ibn Jum’ah al-Nawawī yang
dikenal dengans sebutan al-Imam Al-Nawawi al-Dimashqī. Selanjutnya
dalam memfatwakan tentang hukum keabsahan akad pernikahan online,
lembaga al-Majlis al-Islamī al-Sūrī ini membangunnya berdasarkan
pendapat madhhab hanafī yang menyebutkan sahnya akad pernikahan
dengan menggunakan tulisan.

B. Analisis Argumentasi Tiga Lembaga Fatwa

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa ketiga lembaga fatwa ini


memberikan fatwa tentang keabsahan akad pernikahan online ini dalam
lingkup dan bentuk yang terbatas. Bentuk dari akad pernikahan online yang
disepakati keabsahannya oleh ketiga lembaga ini yaitu akad pernikahan online
yang menggunakan teknologi video conference, dimana pelaku atau pihak
yang akan melakukan akad tersebut dapat saling melihat visual masing-
masing melalui layar televisi atau semisalnya sekaligus mendengar satu sama
lain melalui sistem pengeras suara daalam wkatu yang bersamaan (real time).
Adapun akad pernikahan yang hanya menggunakan telekonfensi saja, yakni
kedua pihak beserta dengan para saksi hanya dapat mendengar suara satu
sama lain, maka hanya disahkan oleh lembaga fatwa al-Majlis al-Islamī al-
Sūrī, yang mana lembaga inipun mensyaratkan agar dapat dikatakan sah
menurut sharī’at Islam, para saksi harus mendengar akad (ījāb dan qabūl) dari
kedua belah pihak, apabila terjadi sebuah keraguan akan suara tersebut milik

100
yang melakukan akad, atau para saksi hanya mendengar suara salah satu dari
kedua pihak yang melakukan akad, maka akad tersebut tidak sah 11.

Dapat disimpulkan dari naṣ tiga lembaga fatwa tersebut bahwa ketiga
lembaga fatwa tersebut memiliki keputusan yang sama akan pernikahan
online, yaitu, walaupun pada dasarnya memiliki keputusan yang sama akan
hukum tentang akad pernikahan via online – yaitu sama-sama memberikan
fatwa sah terhadap akad tersebut - , namun setiap dari mereka memiliki
argumentasi yang agak sedikit berbeda-beda, yang mana hal ini disebabkan
dari latarbelakang pertanyaan masing-masing penanya yang berbeda beda.

Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah memberikan fatwa sah atas akad pernikahan via
online dengan argumen qā’idah al-fiqhiyyah “apabila māni’(penghalang)
hilang, maka hukum asal (yang dihalangi oleh māni’) kembali”. Hal ini
karena dilatarbelakangi oleh fatwa sebelumnya, yaitu fatwa tentang tidak
sahnya akad pernikahan via telekonferensi dengan alasan mudahnya unsur
manipulasi dan kesalahan dalam menverifikasi akad tersebut, lalu ketika
kesalahan dalam verifikasi atau manipulasi dapat ditanggulangi dalam akad
pernikahan via online dengan bantuan video visual dan audio secara
bersamaan, maka māni’ tersebut (kemungkinan kesalahan dalam verifikasi
atau manipulasi) hilang, sehingga akad pernikahan ini dapat dikatakan sah
oleh hukum Islam.

Argumentasi Ḍār al-Iftā al-‘Irāqiyah agak berbeda dengan argumentasi


Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah. Menurut lembaga fatwa ini, akad pernikahan via
online hukumnya sah dengan argumen bahwa makna ittihād al-majlis tidak
disyaratkan adanya muwālāh (berkesinambungan) berbeda dengan mayoritas
ulama yang mensyaratkan tersebut12, hal ini karena muftī Ḍār al-Iftā al-

Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-


11

sic.com/?p=7442
ِ ‫اض ِه عَ ِن الَْقب‬
،‫ول‬ ِ ‫ وهو ما أَ ْشعر إبِِ ْعر‬،‫ضُّر الطا ِويل‬
ُ َ‫ َوي‬،ُ‫ص ُل الْيَ ِسري‬ ِ ‫ط الْ َقب‬
ُ َ‫ فَ َال ي‬،‫ول عَلَى الْ َف ْوِر‬
ْ ‫ضُّر الْ َف‬ ِ ِ ‫ ال ا‬12
ُ َ ََ َ َ ُ َ ُ ُ ُ ‫يح ا ْش َرتا‬ ُ ‫صح‬
ِ ِ
.‫اسا َن‬َ ‫وف ِِف طَ ِري َق َِيت الْعَراق َو ُخ َر‬
ُ ‫فَ َه َذا ُه َو ال َْم ْع ُر‬
Yang benar : disyaratkan keberlangsungan yang terus menerus degan segera antara
ījāb dan qobūl, dan adanya jeda yang ringan tidak akan merusak akad, dan sebaliknya,
jeda yang lama akan merusak akad tersebut, dan hal tersebut adalah segala yang
memiliki unsur penolakan, dan pendapat ini adalah pendapat yang sudah diketahui
(ma’rūf)dikalangan 2 ṭariqah, yakni ulama fiqh irāq dan khurasān”, lihat : Yahyā ibn

101
‘Irāqiyah yakni Dr. Mahdī bin Ahmad al-Sumaida'ī mengikuti pendapat
madhhab hambali yang tidak mensyaratkan muālāh (berkesinambungan),
sehingga akad pernikahan jarak jauh melalui alat komunikasi baik itu
telekonferensi atau video conference (online) dianggap masih dalam satu
majlis, oleh karena itu al-Sumaida'ī tidak membedakan hukum antara akad
yang dilangsungkan via telekonferensi atau video conference (online), kedua
akad ini dihukumi sah karena makna ittihād al-majlis dapat tercapai.

Adapun al-Majlis al-Islamī al-Sūrī berargumen dalam fatwanya yang


memberikan hukum sah akad pernikahan via online dengan menerapkan dalil
mafhūm aulawy, yang mana hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan lembaga
fatwa ini terhadap pendapat sebagian ulama yang mensahkan hukum akad
pernikahan via telekonferensi. Maka daripada itu, berdasarkan pendapat
sebagian ulama ini lembaga al-Majlis al-Islamī al-Sūrī membangun fatwa sah
atas akad pernikahan via online, karena akad yang dilangsungkan via online
lebih aman dan dapat diverifikasi oleh para saksi kebenarannya dibandingkan
akad pernikahan via telekonferensi, sehingga dapat diketahui bahwa al-Majlis
al-Islamī al-Sūrī memberikan fatwa sah terhadap akad pernikahan via online
ini berlandaskan kepada pendapat sebagian ulama dan bukan mayoritas ulama.

Oleh karena itu, pada akhir fatwa ini, selain lembaga fatwa ini
menghimbau agar benar-benar mengambil seluruh langkah jaga-jaga dan
kehati-hatian, juga menyebutkan jika saja diakad ini terjadi sebuah keragu-
raguan atau kecurigaan adanya manipulasi maka secara spontan akad ini
dianggap tidak sah, dan diulang dengan cara mewakilkan seseorang untuk
melakukan akad secara langsung tatap muka dengan salah satu kedua belah
pihak, baik itu mempelai pria ataupun wali dari mempelai wanita. Kehati-
hatian ini dilakukan demi menjaga sisi kesakralan akad pernikahan sebagai
ibadah yang disebutkan dalam al-Qurˋān sebagai janji dan ikatan yang sangat
kuat (mītsāqan ghalīẓā) dan bukan hanya sebagai transaksi mu’āmalah
biasanya13.

Sharaf al-Nawawī Abu Zakariya, Rauḍah al-Ṭalibīn Wa ‘Umdah al-Muftīn (Beirut –


al-Maktab al-Islāmy, 1991), cet ke-3 Juz 7 h. 37
13
Irma Novayani, “Pernikahan Melalui Video Conference” dalam Jurnal At-Tadbir :
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 1, no. 1, Januari 21, 2018 : 20 – 40, h. 30

102
Tabel 1.

Tabel Perbandingan Argumentasi dan fatwa tiga lembaga Fatwa atas


hukum akad pernikahan online

Tiga Lembaga Fatwa Dunia

No Perbandingan
Ḍār Al-Iftā Ḍār al-Iftā al-Majlis al-
al-Miṣriyah al-‘Irāqiyah Islamī al-Sūrī

al-Madhāhib
al-Madhāhib
al-Arba’ah
al-Arba’ah
Latar Belakang (Hanafī, Madhhab
1 (Hanafī,
Madhhab Mālikī, Hambalī
Mālikī, Shāfi’ī
Shāfi’ī dan
dan Hambalī)
Hambalī)

Qiyas (Mafūm
2 Dalil shar’ī Qiyas Qiyas
Aulawy)

Qawā’id al- ‫إذا زال املانع عاد‬


3 Fiqhiyyah yang - -
relevan ‫املمنوع‬

4 Ittihād al-Majlis Wajib Wajib Wajib

Syarat
5 berkesinambungan Wajib Tidak Wajib
dalam akad

Hukum fatwa
6 Boleh Boleh Boleh
pernikahan online

103
C. Aplikasi Konsep Maṣlaḥah Al-Būṭī terhadap Fatwa Akad Penikahan
Online yang Diterbitkan oleh Lembaga Fatwa Dunia

Akad penikahan online merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat


dibantahkan, seiring berkembangnya perkembangan tekhnologi khusunya
dibidang informasi dan telekomuniasi yang begitu pesat, yang mana jarak
tidak lagi menjadi penghalang untuk bersua dan berkomunikasi antara oaring-
orang di belahan dunia ini. Tidak terkecuali pernikahan, hingga saat ini
pernikahan antara mempelai wanita dan pria dengan jarak yang berjauhan
bukanlah sebuah hal yang tabu lagi, dari mulai akad hingga resepsi dilakukang
dengan sebuat alat canggih yang menghubungkan keduanya baik itu secara
audio maupun visual, yakni dengan menggunakan jaringan internet.

Bila kita merujuk kepada tekstualitas yang berada dalam al-Qurˋān


dan al-Sunnah, maka kita tidak akan pernah menemukan kasus yang sama
persis dengan tata cara akad pernikahan yang terjadi melalui jarak jauh,
bahkan jika kita menela’ah literasi klasik yang telah ditulis oleh jutaan ulama,
kita tidak akan menemukan tatacara akad pernikahan via online ini, maka dari
pada itu, kasus semisal ini dinamakan sebagai nawāzil atau permasalahan-
permasalahan kontemporer yang diperlukan metode ijtihad dalam menentukan
hukum shara’ di dalamnya14.

Terlepas dari pro dan kontra akan keabsahan akad pernikahan online
ini, terdapat hal yang sangat mengakar dari problem kontemporer ini, yaitu
keberadaan maṣlaḥah mu’tabarah dari terealisasinya akad pernikahan online
ini, karena tujuan umum dan yang mendasar dari penshari’atan hukum Islam
itu tiada lain adalah untuk mewujudkan atau menjaga maṣlaḥah manusia itu
sendiri yang meliputi maṣlaḥah agama, jiwa, akal, nasab, dan harta, tidak
terkecuali di era globalisasi seperti ini 15. Maka daripada itu, kaidah umum
daripada diterapkanyanya sharī’at Islam adalah mendatangkan maṣlaḥah dan
menolak mafsadah.

14
Helmi Basri, Epistemologi Fiqih Nawazil Metode Penyelesaian Problematika
Kontemporer, (T,tp.: Guepedia The First On-Publisher in Indonesia, 2020), h. 10-16
15
Muhammad Machsun, “Urgensi Maqasid Syariah Dalam Merespon Perubahan Di
Era Revolusi Industri 4.0” dalam jurnal Contemplate: Jurnal Ilmiah Studi Islam Vol. 1 No.
01 Januari-Juni 2020, h. 62

104
Dalam mengkaji permasalahan akad pernikahan online yang
merupakan salah satu dari permasalah fiqh nawāzil (kontemporer), melalui
sudut padang maqāṣid al-sharī’ah / maṣlaḥah bukanlah perkara yang mudah
dipecahkan, karena maṣlaḥah adalah sebuah cabang ilmu dari rumpun ilmu
uṣul fiqh, yang mana tidak terhenti dalam maqāṣid al-sharī’ah / maṣlaḥah
melainkan diperlukan juga pembatasan-pembatasan ilmu uṣul fiqh -khususnya
qiyas- dalam menela’ahnya, sehingga terwujudlah maṣlaḥah mu’tabarah yang
dikehendaki oleh shāri’16.

Menurut al-Būṭī saat ini, konsep maṣlaḥah mejadi sebuah tombak


untuk menghancurkan Islam dari akar-akarnya, banyak sekali dari kelompok
orientalis ataupun yang terpengaruhi oleh orientalis mengungkapkan sebuah
hukum dengan dalih maṣlaḥah namun pada hakikatnya sangat jauh dari makna
maṣlaḥah yang dimaksud oleh sharī’at, ditambah lagi kaum milenial saat ini
lebih terpukau dengan sistem peradaban modern (barat) yang mana menurut
mereka lebih mampu merespon kebutuhan- kebutuhan zaman sekarang
daripada sistem peradaban yang dimiliki oleh Islam 17. Maka daripada itu, pada
tahun 1965 di tengah-tengah kehebohan makna maṣlaḥah yang sedang
menjadi trending topic, al-Būṭī berusaha mengkaji konsep maṣlaḥah dari
mulai memaparkan batasan-batasannya hingga cara penggunaannya hingga
menjadi sebuah maṣlaḥah mu’tabarah. Konsep maṣlaḥah al-Būṭī ini beliau
sebarkan dalam bentuk karya ilmiah tertulis dalam kitabnya Ḍawābiṭ al-
Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah.

Setidaknya, ada lima batasan dalam mengaplikasikan konsep


maṣlaḥah al-Būṭī terhadap akad pernikahan online, yang mana hal ini akan
mengungkap apakah fatwa keabsahan akad pernikahan online yang
dikeluarkan oleh tiga lembaga fatwa dunia - Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah, Ḍār al-
Iftā Al-‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī -adalah sebuah maṣlaḥah
haqīqī dan mu’tabarah dalam sharī’at ataukah sebuah maḍarat dan mafsadah.

16
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo: Mu’assasah al-
Risālah), h. 115-118
17
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 6

105
1. Berada dalam cakupan dan ruang lingkup maqāṣid sharī’at (tujuan
diterapkannya hukum islam)

Maqāṣid sharī’at (tujuan diterapkannya hukum islam) berputar


pada lima hal; yang pertama hifẓ al-dīn (menjaga agama); kedua hifẓ al-
nafs (menjaga jiwa); ketiga hifẓ al-‘aql (menjaga akal), keempat hifẓ al-
nasl (menjaga keturunan); dan yang kelima hifẓ al-māl (menjaga harta).18
Segala sesuatu yang mengacu kepada penjagaan kelima hal ini maka
disebut dengan maṣlaḥah, dan sebaliknya segala sesuatu yang mengacu
kepada penghancuran kelima hal ini maka dinamakan mafsadah.

Pertama, hifẓ al-dīn (menjaga agama), jika melihat dari sudut


pandang ini, kemuculan fatwa tentang keabsahan akad pernikahan online
dapat menyebabkan hilangnya unsur ta’abbudī dalam pernikahan yang
telah dijelaskan pada Bab 3, yang mana dalam pernikahan bukan hanya
transaksi biasa seperti halnya mua’amalah lainnya, melainkan juga
terdapat unsur ibadah yang begitu sakral dan tidak bisa diganggu gugat,
hal ini dapat dilihat dari firman Allah subḥānahū wa ta’ālā yang berbunyi
:

‫ض ُك ْم اِ َّٓل بَ ْعض اواَ َخ ْذ َن ِمْن ُك ْم ِمْي ثَاقًا غَلِْيظًا‬


ُ ‫ف ََتْ ُخ ُذ ْونَه َوقَ ْد اَفْضٓى بَ ْع‬
َ ‫َوَكْي‬

“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu


telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan
pernikahan) dari kamu. ” (Q.S. Al-Nisā [4]: 21).

seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa kata “ ‫ِم ْي ثَاقا‬

‫ ”غَلِْيظا‬yang berarti perjanjian dan ikatan yang kuat yang merupakan


perumpamaan dari akad pernikahan tidak di temukan pada transaksi
(akad) mu’āmalah yang lainnya, kata ini dikhususkan hanya pada akad
pernikahan tiada lain untuk membedakan dan menjelaskan bahwasannya
dalam akad pernikahan bukanhanya dipandang dari mu’āmalah interaksi
antar manusianya, namun juga dilihat dari sudut pandang mu’āmalah

18
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 119

106
antar manusia dan sang pencipta yakni terdapat unsur ibadah (ta’abbudī)
didalamnya.

Abdullah ibn Ahmad al-Nasafī dalam tafsirnya menjelaskan bahwa


kata “‫ ” ِميْ ثَاقا غَلِيْظا‬dalam al-Qurˋān surat al-Nisa ayat 21 memiliki arti
sebuah perjanjian yang Allah buat kepada hamba-hambanya untuk
menjaga kehormatan para wanita19, dari hal ini dapat kita ketahui, bahwa
perjanjian dan akad yang dilakukan dalam pernikahan bukanlah antara
pria dan wanita ataupun mempelai pria dan wali mempelai wanita,
melainkan antara seorang hamba dan Allah subḥānahū wa ta’ālā, dan
yang lebih menarik lagi, kata “‫( ”ميثاق‬janji atau ikatan) yang berjumlah 11
kata didalam al-Qurˋān 20, seluruhnya menunjukan sebuah janji yang
Allah subḥānahū wa ta’ālā tuntut dari hamba-hambanya, dimana dapat
disimpulkan dari hal ini, bahwa seluruh perkara yang dijelaskan oleh al-
Qurˋān dan didalamnya terdapat kata “‫”ميثاق‬, maka perkara tersebut
memiliki unsur ibadah yang prakteknya dan tatacaranya tidak bisa
dirubah sesuai dengan kehendak manusia, karena jika tidak, akan
menghilangkan unsur ibadah (ta’abbudī) didalamnya.

Maka daripada itu, mayoritas ulama madhhab shāfi’ī seperti al-


Imam al-Ghazālī meyebutkan bahwasanya lafadh akad pernikahan
memiliki unsur ibadah (ta’abbudī), yang berbeda dengan mu’āmalah
seperti jual beli dan lainnya21. Begitu juga menurut Imam al-Haramain
bahwasannya dalam pernikahan, mas kawin (mahr) pun yang merupakan
barang pengganti untuk dapat menjadikan mempelai wanita agar boleh di
setubuhi menurut shara’, tidak luput dari unsur ibadah (ta’abbudī),
bahkan menurut beliau, tidak begitu jauh jika kita sandarkan mas kawin
(mahr) itu kepada Allah subḥānahu wa ta’ālā seperti ibadah mahḍah
lainnya, tujuannya adalah untuk membedakan antara transaksi

19
Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmūd Hāfidh al-Dīn al-Nasafī Abu al-Barakāt,
Madārik al-Tanzīl wa Haqāiq al-Ta’wīl (Beirut: Dār Kalim, 1998) cet. 1, jilid 1, h. 334
20
Berikut adalah ayat-ayat didalam al-Qur’an yang terdapat kata “‫”ميثاق‬: Q.S. al-
Baqarah [2]: 83, Q.S. al ‘Imrān [3] :81,187, Q.S. al-Nisā [4]: 12, 90, 92, 154, Q.S. al-
Māidah [5]: 12, 70, Q.S. al-A’rāf [7]: 169, Q.S. al-Anfāl [8]: 72 Q.S. al-Ahzāb [33]: 7
21
Muhammad, ibn Muhammad Abū Hāmid al-Ghazāli, al-Wasīṭ fī al-Madhhab,
(Cairo: Dār al-Salām, 1417 H), Jilid 3, h. 10

107
mu’āmalah pada umumnya dan perzinahan 22. Maka daripada itu, jikalau
lafadh dan mas kawin (mahr) dalam akad pernikahan saja terdapat unsur
ibadah yang begitu kental yang mana menjadi pembeda antaranya dengan
transaksi mu’amalah pada umumnya, maka menurut penulis tidak jauh
juga apabila katakana bahwasannya tatacaranya dan praktek dari akad
pernikahan itu sendiri pun terdapat unsur ibadah yang tidak dapat dirubah
oleh manusia dengan sekehndaknya hanya karena dalih bahwasannya
zaman telah berubah, dan tekhnologi telah berkembang.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasannya praktik dan


tatacara akad pernikahan online yang dilakukan dengan menggunakan
jaringan internet dengan segala jenisnya akan berindikasi kepada
hilangnya unsur ibadah (ta’abbudī) dalam akad pernikahan itu sendiri,
dan jika itu terjadi, akan merusak tatanan maqāṣid al-sharī’ah yang
paling utama yaitu hifẓ al-dīn (menjaga agama).

Kedua, dari sudut pandang hifẓ al-nafs (menjaga jiwa), fatwa


keabsahan pernkahan online menjadi sebuah solusi untuk keberlangsungan
hidup beberapa orang khususnya di negara-negara yang sedang berada
dalam konflik seperti suriah, dimana dengan kondisi mereka yang tidak
dimungkinkan untuk bertemu satu dengan yang lainnya, mengharuskan
untuk melaksanakan akad pernikahan online. Sebab utama inilah yang
menjadikan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī untuk bertindak dan menerbitkan
fatwa keabsahan pernikahan online bagi beberapa orang yang tidak dapat
bertemu dan melangsungkan akad pernikahan seperti biasanya, ataupun
dengan cara mewakilkan, dan terpaksa untuk melangsungkan akad
pernikahan demi terjaga dan terlindunginya hak-hak penduduk suriah23.

Ketiga lembaga fatwa (Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah, Ḍār al-Iftā Al-


‘Irāqiyah dan al-Majlis al-Islamī al-Sūrī) dalam fatwanya yang
mengesahkan akad pernikahan online inipun memiliki ketentuan yang
begitu ketat, yang yang mana semuanya menyaratkan tidak adanya dugaan
manipulasi dari kedua belah pihak, jika saat akad diduga ada manipulasi,

22
Abdul Malik ibn Abdullah, ibn Yūsuf ibn Muhammad al-Juwaini Abu al-Ma’āli al-
Imam al-Haramain, Nihāyat al-Maṭlab fī Dirāyat al-Madhhab (T.tp: Dār al-Minhāj, 2007)
cet. 1, Jilid 13, h. 100
23
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442

108
maka akad tersebut dikatakan tidak sah, karena jika tetap dikatakan sah,
maka yang pada awalnya ingin mendatangkan maṣlaḥah di sudut pandang
hifẓ al-nafs (menjaga jiwa), bisa menjadi terbalik yang mendatangkan
mafsadah.

Ketiga, dari sudut pandang hifẓ al-‘aql (menjaga akal) fatwa akad
pernikahan online bisa mejadi sebuah jembatan untuk menjaga akal
seseorang. Hal ini dapat di ilustrasikan kepada seseorang yang sangat
membutuhkan melakukan pernikahan namun tidak dapat dilakukan karena
jarak yang memisahkan mempelai pria dan wali mempelai wanita, yang
mana apabila dibiarkan menunda pernikahan besar kemungkinan orang
tersebut jatuh dalam perbuatan yang buruk, entah itu perzinahan ataupun
meminum minuma keras demi menutupi kebutuhan biologisnya. Maka
daripada itu, ulama banyak yang menganggap dengan pernikahan akal
seseorang akan lebih sehat dan berpikir positif yang terhindar dari penyakit
gila, seperti yang telah disebutkan oleh al-Imam al-Haramain dalam
kitabnya Nihāyat al-Maṭlab fī Dirāyat al-Madhhab, beliau berkata24:

‫وهو من أسباب زوال اجلنون كما أن العزوبة من أسباب اجلنون‬

Perkawinan adalah salah satu sebab sembuhnya seseorang dari gila,


dan melajang termasuk salah sebab sebab seseorang menjadi gila

Tidak diragukan lagi, saat tiga lembaga fatwa ini membolehkan akad
pernikahan online ini karena milhat situasi dan kondisi yang bertanya,
dimana saat fatwa tersebut terbit dan dipaparkan kepada pihak yang
bersangkutan telah dikaji dan dibuat batasan-batasannya, seperti yang
dilakukan oleh muftī Ḍār al-Iftā al-Miṣriyah yang pada permulaan
fatwanya, beliau jelas-jelas menolak atas akad pernikahan via
telekonferensi yang hanya dapat disaksikan suaranya saja, dan ketika
beliau membuat pertimbangakn jika saja akad tersebut bukan hanya audio
yang dapat disaksikan, melainkan secara visual dan real time juga, maka

24
Al-Juwaini, Nihāyat al-Maṭlab, h. 43

109
pada saat itu akad tersebut dapat dikatakan sah secara hukum Islam,
dengan syarat terbebas dari dugaan manipulasi25.

Namun menurut hemat penulis, maṣlaḥah yang berkenaan dengan


hifẓ al-‘aql (menjaga akal) ini yang berupa penjagaan akal dengan cara
melakukan pernikahan via online hanya dapat terealisasikan pada
seseorang yang akan menikah dengan wanita pilihannya, dan berada dalam
satu tempat namun, tidak dapat melaksanakan akad pernikahan disebabkan
wali mempelai wanita berada di tempat yang berbeda, seperti yang terjadi
pada pasangan Sirojuddin Arif dan Halimatus Sa'diyah, yang mana kedua
pasangan ini telah berada di tempat yang sama, yaitu di Oxford- Inggris,
demi mengesahkan hubungan, calon mempelai pria terpaksa melakukan
akad pernikahan jarak jauh yang digelar di Oxford University, dengan wali
dari calon mempelai Wanita yang berada di Cirebon-Indonesia26.

Selanjutnya, rata-rata kasus yang terjadi yang telah dipaparkan pada


bab 2 adalah terpisahnya jarak mempelai wanita dan pria, yang mana
maṣlaḥah yang berrupa hifẓ al-‘aql aql (menjaga akal) tidak dapat
terealisasi. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya pria ataupun wanita
tersebut apabila telah melaksanakan pernikahan via online masih dikatakan
seperti pria dan wanita yang belum menikah, sehingga tidak bisa
melampiaskan kebutuhan biologisnya, bahkan bisa jadi kebutuhan biologis
yang terbendung sebelum menikah meningkat dan melonjak tinggi saat
setelah menikah, dan menyebabkan akal pikiran pria tersebut lebih tidak
stabil daripada sebelumnya, sehingga ditakutkan akan mendatangkan
mafsadah yang lebih besar daripada sebelumnya.

Keempat, sekilas dari sudut pandang hifẓ al-nasl (menjaga


keturunan) keberadaan fatwa akad pernikahan online mempermudah
seseorang yang hendak memperbanyak keturunannya, yang merupakan
salah satu tujuan dari pernikahan. Tidak diragukan lagi ketika seseorang
hendak melakukan pernikahan salah satu tujuannya selain kebutuhan
bilogisnya, juga karena ingin memperbanyak keturunannya, maka dari

25
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, Fatāwā Dār al Iftā’, h.500
26
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadhā, Vol. 5 no. 1 Juli
2018, h. 11

110
pada itu Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong hal tersebut
dengan bersabda27:

)‫ود فَإِِن ُم َكاثٌِر بِ ُك ُم اۡل َُم َم (رواه أبو داود‬


َ ُ‫ود الَْول‬
َ ‫تَ َزاو ُجوا الَْوُد‬

Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang dan subur, karena


saya bangga dengan jumlah kalian yang banyak (H.R. Abu Daud).

Maka daripada itu, dengan terbitnya fatwa akad pernikahan online


ini, dapat menjadi sebuah solusi bagi seseorang menjaga keturunannya agar
tetap ada dimasa depannya. Akan tetapi, maṣlaḥah hifẓ al-nasl (menjaga
keturunan) tidak terhenti pada hal tersebut, melainkan makna dari
maṣlaḥah hifẓ al-nasl (menjaga keturunan) ini lebih luas yang mencakup
juga kehormatan sebagiamana yang dijelaskan oleh al-Būṭī bahwasannya
maṣlaḥah dalam hifẓ al-‘Araḍ (menjaga kehormatan) berada pada setiap
lima komponen dari maqāṣid al-sharī’ah bukan seperti yang disebutkan
oleh sebagian ulama yang beranggapan hifẓ al-‘araḍ (menjaga kehormatan)
bagian ke enam yang terpisah dari maqāṣid al-sharī’ah28. Dapat
disimpulkan dari pendapat al-Būṭī bahwasannya setiap dari kelima maqāṣid
al-sharī’ah itu harus dilihat dari kedua sisi maṣlaḥah; pertama dari
maṣlaḥah dzāt/haqīqah penjagaan kelima maqāṣid al-sharī’ah tersebut,
dan kedua dari maṣlaḥah hifẓ al-‘araḍ (menjaga kehormatan). Oleh karena
itu, maṣlaḥah hifẓ al-nasl/al-ansāb dalam pernikahan harus disertai juga
dengan maṣlaḥah hifẓ al-‘araḍ (menjaga kehormatan).

Adapun demi mewujudkan maṣlaḥah hifẓ al-‘araḍ (menjaga


kehormatan) dalam akad pernikahan yang dilangsungkan via online, -
khususnya indonesia -menurut Miftah farid dapat menggunakan payung
hukum Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Pasal 2, Pasal 3, pasal 4 butir (e), dan pasal 5 butir (1)
dan (2), pasal 18 (2), pasal 27 (1), pasal 38 (1), pasal 40 (1) dan (2), serta

27
Sulaiman ibn al-Ash’ats ibn Ishaq Abu Dāūd, Sunan Abi Dāūd (Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabī, Tp. Th), no: 2052 h. 175
28
Saʻīd Ramāḍan al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Islāmiyah (Cairo:
Mu’assasah al-Risālah), h. 121

111
pasal 45 (pidana), atau yang lainnya.29. Dengan demikian, keraguan dan
ketakutan dari sebagian pihak akan akad pernikahan online yang mana
rentan akan manipulasi -khususnya pihak perempuan- akan teratasi dengn
payung hukum tersebut.

Dari pemaparan diatas, menurut penulis hal yang disebutkan oleh


Miftah farid dalam penelitiannya belum cukup kuat untuk menjaga
kehormatan dalam lingkup pernikahan yang mana akadnya dilakukan via
online. Karena payung hukum yang dipaparkan oleh Miftah Farid hanya
sekeda payung hukum dalam tindak pidana informasi dan transaksi
elektronik, dan dapa kenyataannya sampai saat ini belum ada undang-
undang khusus dan resmi yang menaungi hukum akad pernikahan online
ini, sehingga segala bentuk mafsadah kehormatan yang ditimbulkan setelah
pernikahan via online tidak bisa diangkat ke meja hijau, karena pada
dasarnya pernikahan tersebut tidak dapat dicatat resmi di Kantor Urusan
Agama.

Hal ini dikuatkan oleh pendapat Muhazir yang menjelaskan bahwa


Islam juga sangat memandang pencatatan pernikahan di pemerintahan
menjadi hal yang sangat penting, karena kekuatan pencatatan nikah di
negara juga dapat memberikan maṣalaḥah yang begitu besar bagi pihak
bersangkutan baik itu mempelai wanita dan pria, telebih lagi untuk
mengklaim kejelasan status anak yang dilahirkan dari kedua pasangan
tersebut30.

Dapat disimpulkan, bahwasannya akad pernikahan online jika dilihat


dari sisi hifẓ al-nasl/al-ansāb ini, memiliki sebuah maṣlaḥah didalamnya
yakni mempermudah banyaknya keturunan. Namun disisi lain, jika di ukur
dari hifẓ al-‘araḍ (mejaga kehormatan) dapat juga menimbulkan mafsadah
dikemudian hari, karena tidak adanya payung hukum yang khusus
menaungi akad pernikahan ini, sehingga dikhawatirkan akan banyak dari
hak-hak dan kehormatan salah satu pasangan yang tidak terpenuhi dan

29
Miftah Farid, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum” dalam Jurisprudentie Vol.
5 No. 1 Juni 2018, hal. 180
30
Muhazir, “Aqad Nikah Pespektif Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam” dalam Al-
Qadhâ Vol. 6, No. 2, Juli 2018, h. 32

112
tidak dapat dipertanggung jawabkan ataupun di angkat ke pengadilan.
Maka dari pada itu, sesuai dengan qāidah fiqhiyyah yang berbunyi31:

‫درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬

“menolak kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil


kemaslahatan”

menurut penulis, fatwa akan keabsahan akad pernikahan online dari


sisi hifẓ al-‘araḍ (mejaga kehormatan) yang berada dalam hifẓ al-nasl/al-
ansāb bukanlah sebuah maṣlaḥah mu’tabarah.

Kelima, dilihat dari sudut pandang hifẓ al-māl (menjaga harta),


maṣlaḥah dalam fatwa akad pernikahan online tidak terlalu tanpak pada
saat berlangsungnya akad tersebut kecuali dalam satu aspek yaitu
murahnya biaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam resepsi akad
tersebut karena hanya mengandalkan jaringan internet, namun lebih luas
dari itu, maṣlaḥah yang dimaksud pada aspek hifẓ al-māl (menjaga harta)
adalah pasca pernikahan tersebut. Dalam pernikahan, Islam menjadi pintu
masuk lahirnya aturan-aturan baru yang berkaitan dengan aspek finansial
seperti adanya kewajiban suami yang memberi mahr kepada istri sebagai
bukti bahwa dia adalah laki-laki yang serius dan bertanggung jawab. Suami
juga mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anak-
anaknya32.

Jika fatwa keabsahan akad pernikahan online ini dilakukan sebagian


orang yang tidak bertanggung jawab, bisa jadi bukan maṣlaḥah yang
timbul, melainkan sebaliknya yakni mafsadah yang timbul dari fatwa ini,
karena salah satu pihak dapat dengan mudahnya lari dari tanggung jawab
tersebut, pria yang lari dari tanggung jawab memberi nafkah,atau
sebaliknya wanita yang lari dari tanggung jawab menjaga harta suaminya,
fatwa akad pernikahan online ini seandainyapun benar mengikuti sebagian

31
Ibrāhīm Ibn Mūsá Ibn Muhammad al-Lumakhī, Al-Shāṭibī, Al-Muwāfaqāt Fī Uṣūl
al- Sharī’ah (Bairut: Dār al-Kutub al-ʻilmiyah 2003), Jilid 6, h. 446
32
Holilul Rohman, “Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Syariah,” dalam
Jurnal Of Islamic Studies and Humanities, UIN Sunan Ampel, Vol. 1, No. 1, (2016), h. 79-
82

113
pendapat ulama yang membolehkan dari segi hukum islam, namun dari sisi
maṣlaḥah kedepannya juga menjadi sebuah pertimbangan yang sangat
serius, sehingga menjaga celah apapun dari mafsadah yang timbul
dikemudian hari lebih dikedepankan daripada merauk maṣlaḥah yang
sifatnya sementara. Hal ini sesuai dengan salah satu qā’idah fiqhiyyah dari
qawā’id al-khamsah yang berbunyi 33:

‫الضرر يزال‬

“kemafsadatan/ kemaḍaaratan itu harus dihilangkan”

Maka daripada itu, penulis lebih memandang maḍarat/ mafsadah


dari sisi hifẓ al-māl (menjaga harta) dalam fatwa akad pernikahan online
lebih besar daripada maṣlaḥahnya.

2. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Qurˋān

Al-Qurˋān yang menjadi sebuah pedoman dan dalil utama dari


shari’at Islam memiliki cakupan yang begitu luas pada semua aspek
kehidupan dan permasalahan manusia, namun kendati seperti itupun,
seringkali al-Qurˋān tidak membahasnya secara mendetail. Begitu juga
dalam persoalan pernikahana (fiqh munākahāt), banyak dari dalil-dalil al-
Qurˋān yang mengenai pernikahan dijabarkan dan dibantu oleh al-Sunnah,
maka dalam tatacara akad pernikahanpun, al-Qurˋān datang hanya sebagai
dalil ijmālī, dan tidak membahasnya secara eksplisit.

Al-Qur’ān menjelaskan secara global bahwasannya pernikahan


dishari’atkan pada dasarnya dengan tujuan untuk menciptakan kehidupan
yang tentram dan harmonis antar manusia, selain juga untuk mendapatkan
keturunan yang baik dan demi menjaga kesucian nasab keluarga 34. Hal ini
tersurat dalam firman Allah subhānahū wa ta’ālā Q.S. al-Rūm ayat 21:

33
Abdurrahmān ibn Abi Bakr, al-Suyūṭī, al-Ashbāh wa al-Nadzā’ir, (Tp.tp: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1990, h. 83
34
Abdul Kholik, “Konsep Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Quraish Shihab” dalam
INKLUSIF Vol 2. No. 4 Des 2017, h. 18

114
‫اجا لِتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل‬ ِ ِ
ً ‫آايته أَ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن أَنْ ُفس ُك ْم أ َْزَو‬
ِِ ‫وِمن‬
َ ْ َ
)٢1( ‫ك َآل َايت لَِق ْوم يَتَ َف اك ُرو َن‬ ِ
َ ‫بَْي نَ ُك ْم َم َوادةً َوَر ْْحَةً إِ ان ِِف ذَل‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S.
Al-Rūm [4]: 21).

Menurut Quraish Shihab, kata sakīnah diambil dari bahasa Arab


yang terdiri dari huruf (‫ ن‬- ‫ )س – ك‬bermakna “ketenangan” lawan kata dari
kata “kegoncangan” dan pergerakan, berbagai bentuk kata yang terdiri dari
ketiga huruf tersebut semuanya memiliki sebuah persamaan makna yang
terpusat pada makna di atas yaitu sakīnah. contohnya, tempat tinggal dalam
kata bahasa arab berarti maskan, dinamai dengan kata maskan karena
tempat tersebut menjadi tempat untuk meraih ketenangan setelah
penghuninya bergerak, bahkan bisa jadi mengalami kegoncangan di luar
rumah35.

Setelah mengetahui dasar tujuannya sebuah pernikahan dapat


disimpulkan, bahwasanya segala hal yang menjadi faktor keberlangsungan
dan terealisasinya tujuan tersebut, yaitu untuk menjadikan kehidupan
seseorang lebih tentram dan harmonis, maka hal tersebut sangat dianjurkan
bahkan menjadi syarat daripada sebuah pernikahan, seperti kafā’ah
misalnya36. Sebaliknya, semua hal yang mendorong kepada kehancuran
ketentraman dan keharmonisan kehidupan pernikahan maka dikatakan

35
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 136.
36
Abdul Wahid, “Kafâ`ah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Dan
Yordania (Perspektif Teori Maslaẖah dan Kaidah Perubahan Hukum al-Bûṯy)” (Tesis S2
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021),
h. 139-141

115
sebagai mafsadah yang mana tidak dianjurkan bahkan dilarang agama,
seperti jenis pernikahan misyār37.

Bertolak dari uraian diatas, penulis berpendapat bahwasannya akad


pernikahan online walaupun disatu sisi memiliki maṣlaḥah dalam
memudahkan seseorang dalam membangun kehidupan berkeluarganya,
namun disisi lain berpotensi membuka ruang mafsadah pada kehidupan
barunya saat sudah berkeluarga, yang mana bertolak belakang dengan
tujuan mendasar dari sebuah pernikahan yang telah dijelaskan oleh Allah
subhānahu wa ta’ālā dalam al-Qurˋān Surat ar-Rūm ayat 21 diatas. Hal ini
dikarenakan pihak-pihak yang melakukan akad pernikahan online -yakni
kendala jarak jauh- akan mendapatkan kesulitan mendapatkan hak-haknya
secara langsung karena jarak yang memisahkan mereka. Kemudian status
pernikahan merekapun, yang belum bisa dicatat resmi oleh pemerintahan
menjadikan sebuah ruang untuk menghidar dari kewajiban-kewajibannya
masing-masing - seperti nafkah yang menjadi sebuah kewajiban sang
suami yang tidak dia berikan kepada istrinya - , karena tidak ada hukum
yang mengikat mereka berdua. Akad pernikahan onlinepun yang telah
terjadi saat ini adalah akada yang dialkukan oleh kedua pasangan yang
mana kedua orang tuanya belum terlalu kenal, sehingga tidak dapat
dipastikan sifat kafā’ah dari kedua pasangan tersebut, seperti yang telah
terjadi pada pasangan Sirojuddin Arif dan Halimatus Sa'diyah, yang mana
wali dari calon mempelai wanita tidak dapat bertatap muka langsung dan
melihat calon menantunya38.

3. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan al-Sunnah

Setelah membahas dan menganalisa naṣ Al-Qurˋān, maka


selanjutnya adalah al-Sunnah. Yang dimaksud pada kata al-Sunnah ini
adalah setiap perkara yang dinisbatkan kepada baginda nabi Muhammad
shallallāhu ‘alaihi wa sallam, baik itu ucapan, perbuatan ataupun taqrīr

37
Busyro, “Menyoal Hukum Nikah Misyār Dalam Potensinya Mewujudkan Maqāṣid
Al-Asliyyah Dan Al-Tabi’iyyah Dalam Perkawinan Umat Islam” dalam Al-Manāhij jurnal
kajian hukum Islam, vol. XI no. 2, Desember 2017
38
Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.
1751/P/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadhā, Vol. 5 no. 1 Juli
2018, h. 11

116
(keputusan) yang disandarkan dengan sanad39 yang mana sanad tersebut
tersambung kepada Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik itu
diriwayatkan secara mutawātir atau āḥād40.

Pada hakikatnya, dikarenakan persoalan ini (akad pernikahan via


online) merupakan problematika kontemporer dalam fiqh yang baru
muncul pada abad ke 20, maka baik itu al-Sunnah atau sekalipun al-Qurˋān
tidak akan ditemukan didalam keduanya naṣ atau teks yang sama persis
membahas dan menjelaskan permasalahan ini secara eksplisit, namun jika
kita melihat dari Analisa sebelumnya yang sangat menjadi akar dari
pertimbangan keabsahan akad pernikahan online selain daripada makna
‘ittihād al majlis, juga disebabkan kesaksian yang dilakukan secara tidak
langsung, seperti yang telah dijelaskan oleh 3 lembaga fatwa dunia
sbeelumnya. Adapun diantara sunnah qauliyyah yang menjelaskan akan
kesaksian dalam akad pernikahan adalah sebagai berikut:

‫اح‬ ِ ِ َ َ‫صلاى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلا َم ق‬ ِ َ ‫ ع ِن ا ْۡلس ِن أَ ان رس‬-


ٌ ‫ " ََّل َُي ُّل ن َك‬:‫ال‬ َ ‫ول هللا‬ َُ ََ َ
)‫اه َد ْي َع ْدل"(رواه البيهقي‬ ِ ‫إِاَّل بِوِيل وص َداق و َش‬
َ ََ َ

“Dari al-Hasan, bahwasannya Rasulallah shallallāhu ‘alaihī wa


sallam bersabda: tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan adannya
seorang wali (dari mempelai Wanita), mahr (mas kawin) dan dua
orang saksi yang adil”(H.R. al-Baihaqī) 41.

‫اح إِاَّل‬ ِ َ :‫ال‬ َ َ‫َو َسلا َم ق‬ ‫اَّللُ َعلَْي ِه‬


‫صلاى ا‬ ِ‫ول ا‬ َ ‫ َع ْن َعائِ َشةَ أَ ان َر ُس‬-
َ ‫"َّل ن َك‬ َ ‫اَّلل‬
‫ك فَ ُه َو َِب ِط ٌل‬ ِ ِ ‫بِوِيل و َش‬
‫ َوَما َكا َن ِم ْن نِ َكاح‬،‫اه َد ْي َع ْدل‬
َ ‫َعلَى َغ ِْري َذل‬ َ َ
)‫(رواه ابن حبان‬

39
Sanad adalah pemberitaan tentang silsilah sebuah isi hadits. Lihat al-Suyūṭī, tadrīb
al-Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 1 (T.tp: ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 27
40
Sunnah al- Mutawātir adalah sunnah yang dinukil dan disampaikan oleh sejumlah
perawi yang tidak mungkin dengan jumlah mereka untuk melakukan sebuah kebohongan
serentak. Sedangkan sunnah āḥād yaitu kebalikan dari mutawatir Lihat al-Suyūṭī, tadrīb al-
Rāwī fi Sharh taqrīb al-Nawāwī, jilid 2 (T.tp: Ḍār Ṭaiybah, t.t), h. 627
41
H.R. Al-Baihāqī, al-Sunan al-Kubrā, No: 13720, Jilid 7, h. 203

117
“Dari al-Hasan, bahwasannya Rasulallah shallallāhu ‘alaihī wa
sallam bersabda: tidak ada sebuah pernikahan (yang sah menurut
shara’) kecuali dengan keberadaan seorang wali dan dua orang saksi
yang adil, dan jika ada sebuah pernikahan tanpa hal tersebut, maka
pernikahan tersebut tidak sah”(H.R. Ibn Ḥibbān).42

‫ " ََّل بُ اد ِِف‬:‫صلاى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلا َم‬ ِ‫ول ا‬ ِ


َ ‫اَّلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬:‫ت‬ ْ َ‫ َع ْن َعائ َشةَ قَال‬-
)‫ااه َديْ ِن "(رواه الدارقطين‬ ِ ‫ الْوِِيل والازو ِج والش‬:‫اح ِمن أَرب عة‬ ِ
َ ْ َ َ َ َ ْ ْ ِ ‫الن َك‬

“Dari ‘Āisyah berkata: bahwasannya Rasulallah shallallāhu ‘alaihī wa


sallam bersabda: dalam pernikahan harus ada 4 hal: wali dari
mempelai wanita, mempelai pria dan dua orang saksi”(H.R. al-Dār al-
Quṭnī).43

‫الاليت‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلا َم ق‬


ِ ‫ال الْبَ غَ َااي‬ ‫صلاى ا‬ ‫ َع ِن ابْ ِن َعبااس أَ ان النِ ا‬-
َ ‫ايب‬
)‫يُْنكِ ْح َن أَنْ ُف َس ُه ان بِغَ ِْري بَيِنَة (رواه الرتمذي‬

“Dari ibn ‘Abbās, bahwasannya Nabi shallallāhu ‘alaihī wa sallam


bersabda: dalam pernikahan harus ada 4 hal: pelacur adalah Wanita-
wanita yang menikahkan dirinya sendiri tanpa disertai dengan
saksi”(H.R. Turmudzi).44

Dari keempat hadits ini, dapat diketahui bahwasannya peran dua


orang saksi menurut jumhūr ulama merupakan inti daripada akad sebuah
pernikahan dikatakan sah atau tidaknya, Madhāhib Al-Arba’ah baik itu
madhhab māliki, hanafī, shāfi’ī dan ḥanbalī semuanya sepakat bahwa
persaksian dalam akad pernikahan menjadi sebuah syarat keabsahannya 45,
bahkan Imam Shāfi’ī dikutip oleh pakar hadits imam al-Baihaqī

42
H.R. Ibn Ḥibbān, al-Ihsān fī Taqrīb ṣahīḥ ibn ḥībbān, No: 4075, Jilid 9, h. 386
43
H.R. Al-Dār al-Quṭnī, al-Sunan al-Dār al-Quṭnī , No: 3529, Jilid 4, h. 321
44
H.R. Tirmdhi, Sunan al-Tirmidhi , No: 1103, Jilid 3, h. 403
45
Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī Wa Adillatuh (Damaskus: Dār al-Fikr, 1984),
Jilid 7, h. 70

118
mengatakan bahwasannya yang membedakan antara pernikahan dan
perzinahan adalah al-shuhūd (kesaksian)46.

Berdasarkan paparan diatas, kesaksian merupakan hal yang tidak


dapat dihindarkan dan harus di jaga kebenarannya sebisa mungkin, yang
mana jika dalam sebuah akad pernikahan terjadi keraguan dalam
persaksian maka secara otomatis akad pernikahan tersebut tidak akan dapat
dikatakan sah menurut sharī’at Islam. Adapun akad pernikahan online,
seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwasannya
persaksian dalam akad tersebut sangat rentan sekali dengan yang namanya
manipulasi. Dengan berkembangnya tekhnologi hal yang sebelumnya
terlihat mustahil, pada zaman sekarang dapat menjadi nyata dengan
bantuan tekhnologi yang begitu canggih, manipulasi ini dimulai dari suara,
wajah dan waktu pun dapat terjadi, sehingga menyebabkan pembicara tidak
dapat membedakan mana yang asli dan yang palsu, seperti beberapa
software dizaman sekarang yang dapat manipulasi wajah, contohnya
deepfakes, looksery dan Avatarify47.

Oleh karena itu, menurut penulis bahwa fatwa akad pernikahan


online yang diterbitkan oleh ketiga lembaga fatwa dunia ini bertolak
belakang dengan prinsip hadits atau sunnah qauliyyah yang telah
disebutkan sebelumnya, dimana sabda Rasulallah shallallahu ‘alaihi
wasallam sangat memperhatikan kesaksian dalam sebuah pernikahan yang
menjadi salah satu syarat sahnya pernikahan tersebut, sedangkan akad
pernikahan online tidak mendukung hal tersebut. Walaupun sebetulnya dari
ketiga lembaga fatwa online ini mesyaratkan agar akad pernikahan
semacam ini dapat dikatakan sah harus tidak adanya sedikitpun manipulasi,
jika tidak maka tidak dapat dikatakn sah, dan berpindah kepada akad
pernikahan yang seperti biasa yaitu mu’āyanah (tatap muka langsung) atau
melalui cara taukīl (mewakilkan seseorang untuk melakukan akad) seperti
yang telah dijelaskan dalam fatwanya al-Majlis al-Islamī al-Sūrī48, namun

46
Ahmad ibn al-Husain Abū Bakr al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār al-
Kutub Ilmiyyah, 2003), Jilid 7, h. 202.
47
Mahardika Putera Emas, “Problematika Akad Nikah Via Daring dan
Penyelenggaraan Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19” dalam Batulis civil law
review, vol. 1 no. 1, November 2020, h. 74
48
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442

119
hemat penulis fatwa seperti ini tidak dapat dipakai dan diterbitkan di
masyarakat umum, karena dikhawatirkan akan digunakan oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab, dan menimbang bahwa unsur manipulasi yang
berada dalam akad pernikahan online tidak akan sepenuhnya hilang
sehingga kesaksisannya tidak dapat dikatakan seratus persen benar, maka
daripada itu mngambil jalan ihtiyāṭ (kehati-hatian) dalam persoalan
pernikahan itu lebih dikedepankan daripada melihat maṣlaḥahnya.

4. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan Qiyās

Qiyās menjadi poros berputarnya ijtihad para mujtahid, maka pantas


saja qiyās menjadi ḍābiṭ (batasan) dari sebuah maṣlaḥah, sehingga kita
dapat pastikan maṣlaḥah tersebut termasuk kepada golongan maṣlaḥah
mu’tabarah atau maṣlaḥah mulghāh. Menurut al-Būṭī setiap qiyās pasti
akan mempertimbangkan maṣlaḥah, namun tidak sebaliknya, yakni
pemeliharaan maṣlaḥah secara umum belum tentu berdasarkan metode
qiyās, karena metode pemeliharaan maṣlaḥah secara umum juga memiliki
bentuk lain, selain daripada qiyās, yaitu yang disebut dengan maṣlaḥah
mursalah49.

Diantara keduanya memiliki keterikatan dalam makna al-‘umūm wa


al-Khuṣūs al-muṭlaqah, dalam arti lain makna dari pemeliharaan maṣlaḥah
muṭlaqah (umum) lebih luas daripada qiyās, yang mana qiyās juga sama-
sama merupakan metode untuk memelihara sebuah maṣlaḥah seperti
halnya pemeliharaan maṣlaḥah muṭlaqah (umum), namun qiyās hanya
berputar dalam poros ‘illat (sebab) yang terdapat dalam sebuah perkara
baru/ kontemporer dan belum diketahui hukum shara’ didalamnya (far’u),
dengan menganalogikan dengan perkara yang sudah ada hukum shara’nya
(aṣlu), yang artinya maṣlaḥah yang dihasilkan dari produk qiyās lebih
khusus dibandingkan dengan maṣlaḥah secara makna umumnya.

Berikut adalah gambaran atau ilustrasi keterikatan antara qiyās dan


pemeliharaan maṣlaḥah al-Muṭlaqah dalam makna al-‘umūm wa al-Khuṣūs
al-Muṭlaqah :
49
Maṣlaḥah mursalah dipandangan mujtahid sebagai maṣlaḥah mu’tabarah, yang
mana tidak ada dalil yang menguatkannya secara khusus, ataupun hukum aṣl sehingga di
qiyāskan kepadanya, dan begitu juga tidak ada naṣ dari kitab dan al-sunnah yang
bertentangan dengannya, lihat: al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 216-217

120
Gambar 1:

ilustrasi hubungan antara qiyās dan pemeliharaan maṣlaḥah al-muṭlaqah

Pemeliharanan maṣlaḥah

Qiyās Maṣlahah
mursalah

Setelah dilakukan penelitian oleh penulis terhadap fatwa keabsahana


akad pernikahan online yang diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa dunia,
penulis tidak mendapatkan hukum-hukum qiyās yang bertentangan dengan
adanya fatwa keabsahana akad pernikahan online. Namun, didapatkan
kesimpulan bahwa lembaga-lembaga tersebut dalam fatwanya,
mengqiyāskan akad pernikahan online kepada akad pernikahan dengan
menggunakan tulisan yang telah dibolehkan oleh madhhab hanafī, dengan
dalih bahwasannya ittihād al-majlis yang dimaksud dalam akad pernikahan
online sesuai dan sama dengan makna ittihād al-majlis yang disebutkan
dalam fatwa akad pernikahan menggunakan tulisan yang dilegalkan oleh
madhhab hanafī, bahkan jika akad pernikahan online ini dilakukan dengan
menggunakan audio dan visual maka lebih pantas untuk dikatakan sah50.

50
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, Fatāwā Dār al Iftā’, h.500,lihat juga: Al-Majlis al-Islāmī
al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-sic.com/?p=7442

121
Wahbah zuhailī menjelaskan dalam bukunya al-Fiqh al-Islāmī Wa
Adillatuh bahwasannya yang dimaksud majlis akad pernikahan dalam akad
dengan menggunakan tulisan adalah majlis saat pembacaan tulisan tersebut
dihadapan para saksi, atau saat mendengar tulisan yang dibawakan oleh
pengantar surat dihadapan saksi, jika hal tersebut terealisasi maka pada saat
itulah disebut sebagai dengan ittihād al majlis51. Maka dari pada itu, akad
pernikahan yang dilangsungkan via online menurut Ḍār al-Iftā al-’Irāqiyah
tidak perlu adanya berkesinambungan antara ijāb dan qobūl52, karena
ittihād majlis yang dimaksud dalam pernikahan online diqiyaskan dengan
ittihād al majlis yang berada dalam akad pernikahan menggunakan tulisan
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Disisi lain, menurut padangan penulis, akad pernikahan online ini


walaupun diqiyāskan kepada akad pernikahan yang menggunakan tulisan,
namun masih saja belum dapat diterima sepenuhnya, hal ini dikarenakan
pijakan qiyās atau hukum aṣl yang digunakan adalah pendapat minoritas,
yaitu dalam hal ini madhhab hanafī, yang mana mayoritas ulama baik itu
madhhab maliki, shafi’ī dan hambalī berpendapat tidak sahnya akad
pernikahan yang menggunakan tulisan, maka daripada itu jika melihat dari
sudut pandang ini, akad pernikahan online walaupun tidak bertentangan
dengan hukum qiyas yang lainnya, namun dengan menerbitkan fatwa ini
belum dapat dikategorikan sebagai maṣlaḥah yang mu’tabarah, apalagi
jika dihubungkan dengan argumen-argumen sebelumnya.

5. Tidak bertentangan dan bertolak belakang dengan maṣlaḥah yang


lebih besar dan utama

Menentukan tingkatan maṣlaḥah yang harus diutamakan, al-Būṭī


memberikan sebuah konsep dan metode untuk meninjau berdasarkan nilai
dan urgensi dari bentuk maṣlaḥah tersebut. Nilai dan bobot dari maṣlaḥah
yang diakui oleh shara’ adalah maṣlaḥah yang sesuai dengan maqāṣid al-
sharī’ah, yakni penjagaan dan pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Kemudian barometer untuk menuju kepada

51
Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī, h. 50
52
Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Fatāwā Dār al Iftā’ al-Miṣriyah”, https://www.h-
iftaa.com/2019/07

122
maqāṣid al-sharī’ah adalah dengan menganalisa tingkat urgensitasnya
perkara tersebut.

Al-Būṭī menegaskan bahwa saat ada dua maṣlaḥah atau lebih


dalam satu kasus, maka maṣlaḥah yang memiliki tingkat urgensinya lebih
tinggi harus diutamakan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Būṭī
bahwasannya tingkatan urgensitas maṣlaḥah ditentukan dengan tingkatan
sebuah kebutuhan pada orang tersebut, yakni dari sudut pandang hirarki
atau tingkat kebutuhan dan pengaruhnya terhadap penetapan sebuah
hukum. Al-Būṭī membaginya menjadi tiga tingkatan, yaitu; dharūriyyāh
atau primer, ḥājiyyāh atau sekunder dan taḥsīniyyah atau tersier53. Maka
daripada itu, untuk dapat melihat keberadaaan dan posisi tingkat maṣlaḥah
dalam fatwa akad pernikahan online diharuskannya menganalisa kebutuhan
manusia terhadap sebuah pernikahan, karena dengan mengetahuinya secara
langsung dapat diketahui pula tingkat urgensitas maṣlaḥah tersebut bagi
manusia.

Untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan manusia terhadap


sebuah pernikahan, fuqahā sejak dulu telah membaginya berdasarkan
hukum shar’ī taklīfi yang berjumlah lima, yaitu; wājib, sunnah, mubāh,
makrūh dan haram. Pada dasarnya, hukum pernikahan bagi setiap orang
adalah mubāh54, dan datanglah sharī’at Islam menjadikannya hukumnya
sunnah dengan berniat mengikuti (ittibā’) kepada Baginda nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana sabda Rasulallah
shallallahu ‘alaihi wasallam55:

‫اح ِم ْن‬ ِ ِ ‫اَّللِ صلاى ا‬ ِ


ُ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلا َم الن َك‬ َ ‫ول ا‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ت ق‬ ْ َ‫َع ْن َعائ َشةَ قَال‬
‫س ِم ِين َوتَ َزاو ُجوا فَإِِين ُم َكاثٌِر بِ ُك ْم ْاۡلَُم َم‬ ِ ِ ِ
َ ‫ُسنايت فَ َم ْن َملْ يَ ْع َم ْل ب ُسنايت فَلَْي‬
.)‫(رواه ابن ماجة‬

53
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ, h. 128
54
Muhammad ibn al-Khaṭīb al-Shirbīnī, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat Ma’ānī
Alfādh al-Minhāj, (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1997) cet. 1, Jilid 3, h.170
55
Muhammad ibn Yazīd al-Qazwīnī Abu Abdillah ibn Mājah, Sunan ibn Mājah, (t.tp:
Dār al-Jīl, 1998), Nomor Hadīts 1846, Jilid 3, h. 300

123
“Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan
sunnahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena
sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang
lainnya”(H.R. Ibn Mājah).

Dipandang dari sisi tingkat atau hirarki kebutuhannya, hukum dasar


dari pernikahan ini dapat berubah-rubah menyesuaikan dengan tingkat
kebutuhan situasi dan kondisi berbeda-beda dari setiap mukallaf tersebut.
al-Khaṭīb al-Shirbīnī dalam kitabnya Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat
Ma’ānī Alfādh al-Minhāj menjelaskan bahwasannya pernikahaan dapat
menjadi wajib hukumnya bagi seseorang yang memiliki hasrat untuk
menikah, dan tidak dapat dibendung lagi, sehingga jika dibiarkan begitu
saja, orang tersebut pasti atau dimungkinkan besar akan terjerumus ke
lubang perzinahan atau kabāir (dosa besar) lainnya; pernikahan dapat juga
dihukumi sunnah bagi seseorang apabila orang tersebut dikategorikan
mampu untuk menafkahi lahir yang berupa tempat tinggal, makan minum
dan pakaian sehari-hari pasangannya dan menafkahi batinnya (jima’);
namun jika seseorang belum mampu untuk menafkahi batin sedangkan dia
memiliki hasrat untuk menikah, maka hukum pernikahan baginya adalah
khilāf aula, yang artinya sebaiknya ditunda dan menjaga diri dari
kemaksiatan dengan berpuasa; kemudian pernikahan dapat juga menjadi
makrūh hukumnya bagi seseorang yang tidak memiliki hasrat untuk
menikah dan tidak mampu untuk menafkahi lahir batin pasangannya56.

Dari ulasan hukum pernikahan tersebut, dapat ditarik kesimpulan


bahwasannya kebutuhan atas sebuah pernikahan kadangkalanya menjadi
sebuah maṣlaḥah ḍarūriyyāh atau primer, maṣlaḥah ḥājiyyāh atau
sekunder atau menjadi sebuah maṣlaḥah tahsīniyyah atau tersier. Hal ini
tergantung dan berkaitan erat dengan situasi dan kondisi setiap orang yang
berbeda-beda. Maka daripada itu, maṣlaḥah fatwa akad pernikahan online
ini besar kaitannya dengan kebutuhan manusia terhadap pernikahan
tersebut.

56
Muhammad ibn al-Khaṭīb al-Shirbīnī, Mughnī al-Muhtāj ilā ma’rifat ma’ānī alfādh
al-minhāj, (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1997) cet. 1, Jilid 3, h.168-170, lihat juga: Muṣṭafā ibn
Ahmad ibn ‘Abd Nabī, Abu Hamzah al-Shāfi’ī, Mu’nis al-Jalīs bi Sharh al-Yāqūt al-
Nafīs,(tp.tp: Dār Tsamarāt al-‘Ulūm, 2020) cet. 2, Jilid 2, h. 138-139

124
Selanjutnya, menurut penulis dari hasil penelitiannya, menghasilkan
bahwa yang melatarbelakangi terbitnya fatwa keabsahan pernikahan online
dari tiga lembaga ini adalah terdapatnya sebuah mashaqqah pada beberapa
orang dalam melaksanakan akad pernikahan secara tatap muka langsung,
sehingga terpaksa untuk melakukannya secara online. Maṣlaḥah yang
mungkin didapatkan dari akad pernikahan online ini, tidaklah bukan
kecuali untuk memudahkan seseorang melakukan akad pernikahan, tanpa
harus terhalang oleh jarak yang memisahkan kedua pihak yang akan
melakukan akad pernikahan tersebut. Apalagi pada saat pandemi seperti
ini, kasus-kasus akad pernikahan online yang sebelumnya menjadi hal yang
tabu dan jarang terjadi, namun pada masa-masa pandemic COVID-19 akad
pernikahan ini mulai sering terjadi, hal ini dikarenakan adanya peraturan
dan anjuran pemerintahan untuk tidak melakukan kerumunan yang begitu
banyak, anjuran penundaan pernikahan57, dan peraturan lainnya yang
menjadikan pertemuan tatap muka menjadi semakin sulit, membuat
sebagian kelompok terpaksa melakukan akad pernikahan via online ini.

Akad pernikahan online ini juga menjadi terasa mudah dengan


bantuan teknologi yang semakin canggih, aplikasi-aplikasi seperti zoom,
video call whatssapp, instagram, messenger dan lain sebagainya yang
dapat mengantarkan seseorang dapat berkomunikasi audio dan visual
layaknya bertatap muka secara langsung, menjadi sebuah alternatif yang
cukup efektif dan efesien bagi masyarakat zaman sekarang untuk
melakukan akad pernikahan secara online, apalagi pada saat-saat pandemi
seperti ini58.

Dari dua hal ini, yakni tingkat kebutuhan seseorang terhadap


pernikahan, dan faktor yang melatarbelakangi terbitnya fatwa keabsahan
akad pernikahan online, penulis berpendapat bahwa tingkat kebutuhan atas
maṣlaḥah yang terdapat dalam akad pernikahan online ini tidak dapat
dipukul rata menjadi satu tingkatan, hal ini dikarenakan maṣlaḥah yang
berada dalam akad pernikahan online ini berkaitan erat dengan situasi dan

57
Hari Widiyanto, “Konsep Pernikahan Dalam Islam: Studi Fenomenologis
Penundaanpernikahan Di Masa Pandemi”, dalam Islam Nusantara, Vol. 04, No. 01,
Januari-Juni 2020, h. 108
58
Wahibatul Maghfuroh, “Akad Nikah Online Dengan Menggunakan Via Live
Streaming Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah (JAS), Vol.
3 No. 1 Tahun 2021, h. 96-97

125
kondisi pelaku atau pihak yang akan melakukannya sesuai dengan tingkat
kebutuhannya terhadap pernikahan itu sendiri, seperti yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, maṣlaḥah ini bisa menjadi tingkat ḍarūriyyāh,
hājiyyah ataupun tahsīniyyah menyesuaikan dengan situasi dan kondisinya.

Hemat Penulis, maṣlaḥah dalam akad pernikahan online bisa


menjadi sebuah maṣlaḥah ḍarūriyyāh jika saja memang kebutuhan atas
pernikahan berada dalam kebutuhan ḍarūriyyāh juga, yang mana tidak
dapat tergantikan atau ditahan oleh faktor lain, dan tidak ada acara lain
untuk melakukan pernikahan tersebut kecuali melalui online. Namun pada
penerapannya juga tidak dapat dibiarkan begitu saja, melainkan harus
disertai dengan ḍawābiṭ dan syarat-syarat yang begitu ketak, sehingga
terhindar dari oknum-oknum yang memiliki niat untuk menyalahgunakan
fatwa tersebut. Hal yang paling utama diantara ḍawābiṭ yang harus
diperhatikan seperti yang telah dijelaskan oleh ketiga lembaga fatwa dunia
dalam fatwanya adalah dalam persaksian, yang mana para saksi diharuskan
benar-benar melihat dan menyaksikan berlangsungnya akad dari kedua
belah pihak tersebut hingga berakhir, selain itu tidak boleh adanya
keraguan sedikitpun akan adanya unsur manipulasi dalam akad tersebut,
sehingga apabila disinyalir manipulasi telah terjadi dalam akad tersebut,
maka akad pernikahan tersebut dianggap tidak sah. Hal ini dilakukan
karena akad pernikahan online bukanlah akad pernikahan yang benar-benar
disepakati keabsahannya, maka daripada itu jikalau terpaksa
menggunakannya, maka penggunaannya hanya berada dalam ruang
lingkup dan kelompok-kelompok yang terbatas. Sebagaimana yang telah
disebutkan oleh para ulama dalam qa’idah fiqhiyyah yang berbunyi59:

‫الضرورة تقدر بقدرها‬

“Ḍarūrat diukur sesuai dengan kadar keḍaruratannya”

Kebutuhan ḍarūriyyāh atas pernikahan ini walaupun sejatinya bukan


termasuk pada peringkat pertama dalam maqāṣid al-sharī’ah -yakni hifẓ al-
dīn- namun sebenarnya kelima dari maqāṣid al-sharī’ah ini saling

59
Muhammad Musṭafā al-Zuhailī, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Taṭbīqātuhā Fī al-
Madhāhib al- ‘Arba’ah, (Damaskus; Dār al-Fikr, 2006)

126
berkaitan seperti yang telah disebutkan oleh al-Būṭī, karena secara tidak
langsung ketika maṣlaḥah ḍarūriyyāh dalam pernikahan terpenuhi yang
merupakan daripada hifẓ nafs dan nasl, maka maṣlaḥah ḍaruriyyah dalam
hifẓ al-dīn pun terwujud, begitupun sebaliknya.

Kemudian jika kebutuhan atas pernikahan tersebut bukanlah


kebutuhan yang mendesak, yang artinya berada pada tingkatan kebutuhan
hājiyyah atau sekunder maka maṣlaḥah yang akan terwujud dalam bentuk
akad pernikahan online pun akan berada dalam peringkat maṣlaḥah
hājiyyah. Maka daripada itu, hal ini harus melihat kepada tingkat maṣlaḥah
yang ditimbulkan pasca akad pernikahan online. Pada situasi seperti ini,
peneliti memandang bahwa maṣlaḥah pasca akad pernikahan online berada
pada tingkat yang harus lebih diprioritaskan dibandingkan sebelumnya,
yang mana kaitannya dengan hak-hak suami dan istri tersebut. Mafsadah
yang akan ditimbulkan dari akad pernikahan online akan lebih besar
daripada maṣlaḥahnya, dari mulai status pernikahan tersebut, yang belum
memiliki payung hukum khusus yan berkenaan dengan akad pernikahan
online, manipulasi atau penipuan, hingga status anak yang dilahirkan hasil
dari akad pernikahan online yang mana belum dapat tercatat di
pemerintahan karena status pernikahannya pun tidak dapat dicatat di
pemerintahan.

Oleh karena itu, al-Majlis al-Islamī al-Sūrī dalam fatwanya


memberikan ḍābiṭ yang begitu ketat, lembaga tersebut menjelaskan
bahwasannya akad pernikahan online yang bisa dikatakan sah adalah akad
pernikahan online yang dilakukan secara telekonferensi dan video call,
dengan syarat kedua saksi dapat mendengar kedua belah pihak ketika
mengucapkan ijāb dan qobūl, dan dapat dipastikan oleh mereka tidak
adanya manipulasi sedikitpun dalam akad tersebut, bahkan jika ada
kemungkinan sedikit saja keraguan dalam benak para saksi, maka akad
tersebut tidak dapat dikatakan sah, dan harus diulang dengan melakukan
cara lain, baik itu wakālah ataupun menunggu hingga dapat melakukan
akad secara tatap muka langsung60.

60
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, diakses pada hari
Minggu 12 Februari 2021 melalui http://sy-sic.com/?p=7442

127
Pandangan penulis ini sesuai dengan qā’idah fiqhiyyah yang
berbunyi61:

‫درء املفاسد أوَّل من جلب املصاحل‬

“mencegah kehancuran (mafsadah) lebih diutamakan


daripada meraih maṣlaḥah”

Terakhir, jika kebutuhan atas pernikahan tersebut berada dalam


tingkatan tahsīniyyah atau tersier, yang mana pada tingkatan ini, seseorang
tidak membutuhkan kepada pernikahan, baik itu dia mampu untuk
menafkahi lahir batin pasangannyaataupun tidak, maka maṣlaḥah dari
melakukan akad pernikahan secara online baginya juga berada dalam
tingkatan maṣlaḥah tahsīniyyah. Maka pada situasi seperti ini, menurut
hemat penulis mafsadah yang akan ditimbulkan dari akad pernikahan
online ini akan lebih besar daripada maṣlaḥah yang didapatkannya, terlebih
jika kita melihat bahwa masih ada maṣlaḥah yang harus lebih di
prioritaskan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi seperti ini menjaga datangnya
mafsadah yang dimungkinkan akan ditimbulkan oleh akad pernikahan via
online lebih diutamakan daripada mengambil maṣlaḥahnya, dan karena
kemaḍaratan atau mafsadah itu sebesar apapun kemungkinannya harus
dihilangkan, sesuai dengan qā’idah fiqhiyyah yang berbunyi62:

‫الضرر يزال‬

“kemafsadatan/ kemaḍaaratan itu harus dihilangkan”

Untuk memperjelas skema Pembagian maṣlaḥah perspektif tingkat


urgensitas kebutuhan manusia terhadap pernikahan yang diaplikasikan
terhadap akad pernikahan online, penulis menyajikannya dalam bentuk
tabel berikut ini :

61
Abdurrahmān ibn Abū Bakr al-Suyūṭī, al-Ashbāh wa al-Nadzā’ir, (Tp.tp: Dār al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1990, h. 87
62
Al-Suyūṭī, al-Ashbāh, h. 83

128
Tabel 2

Pembagian maṣlaḥah perspektif tingkat urgensitas kebutuhan manusia


terhadap pernikahan yang diaplikasikan terhadap akad pernikahan online

Tingkatan
Kebutuhan maṣlaḥah
Hukum Akad
manusia berdasarkan Qā’idah
pernikahan
terhadap urgensi Fiqhiyyah
online
pernikahan kebutuhan
manusia
Wājib dan sah
dengan syarat
tidak dapat

melakukan akad
‫الضرورة‬
Tidak dapat di pernikahan secara
tunda lagi, jika tatap muka ‫تقدر بقدرها‬
ditunda akan langsung atau
Ḍarūriyyah
terjerumus dalam wakālah, dan
perzinahan dan tidak adanya
maksiat lainnya keraguan
sedikitpun akan
adanya unsur
manipulasi saat
akad dilaksanakan
hingga berakhir.
Memiliki Tidak sah, karena
raghbah (hasrat) berbenturan
untuk menikah, dengan maṣlaḥah ‫درء املفاسد‬
dan mampu ḍaruriyyah yang
untuk menafkahi lebih utama, yaitu
‫أوىل من‬
Hājiyyah
lahir dan batin, menjaga hak dan ‫جلب‬
dan jika ditunda keturunan yang
tidak akan dimungkinkan ‫املصال‬
menyebabkan hilang karena
terjerumus dalam status pernikahan

129
perzinahan dan yang belum resmi
maksiat lainnya dan tidak ada
payung hukum
yang menaunginya
secara khusus
Tidak sah, dan
bahkan bisa
menjadi haram,
Tidak memiliki
raghbah (hasrat) Tahsīniyyah
karena tidak ada
‫الضرر يزال‬
maṣlaḥah
untuk menikah.
mu’tabarah yang
dituju dalam akad
tersebut.

Selanjutnya, tidak kalah penting yang menjadi bahan pertimbangan


penulis dalam menentukan dan menyimpulkan bahwa akad pernikahan
online ini berbenturan dengan maṣlaḥah yang lebih utama yaitu sisi hukum
pemerintah dan kasus-kasus yang telah terjadi hingga saat ini, yang mana
akad semacam ini belum memiliki undang-undaang pemerintah yang
khusus menaunginya, sehingga kemungkinan mafsadah dan maḍarat yang
akan ditimbullkan pasca akad pernikahan online ini lebih besar dari pada
maṣlaḥahnya. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan salah satu lembaga fatwa,
yakni al-Majlis al-Islamī al-Sūrī, pada akhir fatwanya mengharapkan
adanya kelanjutan dari pemerintahan Suriah untuk mengatur perundang-
undangan atas akad pernikahan online ini, dikarenakan banyak beberapa
fakta-fakta yang terkait dengan penduduk Suriah dalam beberapa tahun
terakhir, bahwasanya akad pernikahan yang tidak berdokumen resmi telah
menyebabkan banyak masalah, kehilangan hak, dan kebingungan, terutama
dalam kasus perceraian, keluhan atau perselisihan di antara pasangan, dan
seringkali tidak mungkin untuk mengumpulkan saksi atau membuktikan
akad pernikahan tersebut dikarenakan ketidakstabilan yang dialami warga
Suriah63.

63
Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Fatāwā Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī”, http://sy-
sic.com/?p=7442

130
Berdasarkan uraian di atas, maka Keberadaan fatwa akad pernikahan
online yang diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa ini telah bertentangan
dengan maṣlaḥah yang lebih utama, sehingga tidak bisa dikategorikan
sebagai maṣlaḥah yang haqīqī perspektif al-Būṭī.

131
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian tentang Aplikasi Konsep maṣlaḥah


Al-Būṭī Atas fatwa tiga lembaga fatwa dunia (Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah, Ḍār
Al-Iftā al-‘Irāqiyah, al-Majlis al-Islamī al-Sūrī) tentang akad pernikahan
online, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Akad Pernikahan online, merupakan permasalahan fiqh kontemporer


yang disebut dengan fiqh nawāzil, muncul oleh dua faktor utama; (i)
perkembangan tekhnologi yang semakin canggih, yang menjadi alternatif
dan alat bantu dalam semua aspek kehidupan, khususnya komunikasi dan
transaksi, sehingga jarak yang berjauhan bukan lagi sebuah kendala bagi
masyarakat, yang mana pada saat ini setiap orang dapat melakukan semua
transaksinya tanpa harus merasa takut untuk tertipu. (ii), kondisi yang
begitu pelik, seperti pada saat pandemi COVID-19, yang mana
masyarakat sulit untuk melakukan kegiatan secara tatap muka langsung,
tidak terkecuali pernikahan, sehingga terpaksa untuk melakukan akad
pernikahan secara online.
2. Fatwa akad pernikahan online yang diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa
dunia memiliki keputusan yang sama, yaitu mengesahkan akad
pernikahan online dengan syarat tidak adanya unsur manipulasi
didalamnya. Fatwa tersebut diterbitkan oleh tiga lembaga fatwa dunia; (i),
Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah pada tahun 1997 dibawah naungan mufti
‘Āṭiyyah Ṣaqr dalam fatwa nomor ke-9069. (ii) Ḍār Al-Iftā al-‘Irāqiyah
pada tahun 2019 dibawah naungan mufti Dr. Mahdī ibn Ahmad al-
Ṣamaida’ī, dalam fatwa nomor ke-1343. (iii) al-Majlis al-Islamī al-Sūrī
pada tahun 2018 dibawah naungan 19 anggota dewan, dalam fatwa
nomor ke-21.
3. Ketiga lembaga fatwa ini, dalam memutuskan fatwa tentang akad
pernikahan online memiliki latar belakang madhhab dan argumentasi
yang berbeda-beda. Latar belakang Ḍār Al-Iftā al-Miṣriyah yaitu al-
Madhāhib al-Arba’ah (Hanafī, Mālikī, Shāfi’ī dan Hambalī), dengan
penguat argumentasi dalam fatwanya yaitu dengan dalil qiyas dan

132
qawā’id al fiqhiyyah yang berbunyi: “‫املمنوع‬ ‫”إذا زال املانع عاد‬ (apabila

māni’(penghalang) hilang, maka hukum asal (yang dihalangi oleh māni’)


kembali). Adapun latar belakang Ḍār Al-Iftā al-‘Irāqiyah yaitu Madhhab
Hambalī dengan penguat argumentasinya adalah qiyas. Terakhir adalah
al-Majlis al-Islamī al-Sūrī latar belakangnnya seperti Ḍār Al-Iftā al-
Miṣriyah yakni al-Madhāhib al-Arba’ah (Hanafī, Mālikī, Shāfi’ī dan
Hambalī), dengan penguat argumentasinya adalah qiyās (Mafhūm
Aulawy).
4. Aplikasi konsep maṣlaḥah al-Būṭī terhadap fatwa akad pernikahan online
yang diterbitkan oleh ketiga lembaga fatwa dunia (Ḍār Al-Iftā al-
Miṣriyah, Ḍār Al-Iftā al-‘Irāqiyah, al-Majlis al-Islamī al-Sūrī)
menghasilkan kesimpulan bahwasannya fatwa tersebut tidak sesuai
dengan maṣlaḥah yang mu’tabarah menurut shari’at islam. Hal ini dilihat
dari dua poin utama; (i) lima pilar ḍhābit (batasan) maṣlaḥah al-Būṭī,
secara garis besar maṣlaḥah fatwa akad pernikahan online bertentangan
dengan maqāṣid sharī’ah yang bermuara pada tingkataan hiẓ al-dīn
(menjaga agama). Menurut jumhūr ulama dalam proses akad sebuah
pernikahan bukan hanya dipandang dari sisi mu’āmalah, melainkan juga
dari sudut pandang ibādah, yang mengharuskan sesuai dengan ajaran
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan akad pernikahan
online yang sifatnya dibantu oleh tekhnologi canggih, tidak bertempat
dalam satu majlis (ittihād al-majlis) dan tidak bertatap muka secara
langsung (mu’āyanah), dimana hal ini bertolak belakang dengan proses
akad pernikahan biasanya yang disyaratkan ittihād al-majlis dan
mu’āyanah (tatap muka secara langsung). (ii) Tingkat urgensi maṣlaḥah
akad pernikahan online, hal ini berkaitan dengan tingkat kebutuhun setiap
orang terhadap pernikahan. Jika kebutuhan terhadap sebuah pernikahan
berada pada tingkat ḍarūriyyah, yakni tidak dapat ditunda lagi dan jika
ditunda akan terjerumus dalam perzinahan dan maksiat lainnya, maka
hukum dalam melaksanakan akad pernikahan online menjadi wajib
apabila tidak dapat melakukan akad pernikahan secara tatap muka
langsung atau wakālah, dan tidak adanya keraguan sedikitpun akan
adanya unsur manipulasi saat akad dilaksanakan hingga berakhir. Jika
kebutuhan terhadap sebuah pernikahan berada pada tingkat hājiyyah,
yakni memiliki raghbah (hasrat) untuk menikah, mampu untuk
menafkahi lahir dan batin, namun ketika harus ditunda, tidak akan

133
menyebabkan terjerumus dalam perzinahan dan maksiat lainnya, maka
akad pernikahan via online dalam keadaan ini tidak sah, karena
berbenturan dengan maṣlaḥah ḍaruriyyah yang lebih utama, yaitu
menjaga hak dan keturunan yang mana dimungkinkan hilang karena
status pernikahan yang belum resmi dan tidak ada payung hukum yang
menaunginya secara khusus. Selanjutnya, terakhir apabila kebutuhan
terhadap sebuah pernikahan berada pada tingkat tahsīniyyah, yakni tidak
tidak memiliki raghbah (hasrat) untuk menikah, maka akad pernikahan
via online tidak dapat dikatakan sah, dan bahkan hukum
melaksanakannya bisa mnejadi haram hal ini dikarenakan tidak ada
maṣlaḥah mu’tabarah yang dituju dalam akad tersebut.

B. Saran

Penelitian telah mencapai hasil dan kesimpulan. Berikut ini adalah


saran penulis terkait fatwa akad pernikahan online :

1. Saran teoritis

Kepada seluruh akademisi dan peneliti untukk melakukan


pengkajian yang lebih intensif terhadap hukum atas permasalah fiqh
nawāzil (kontemporer), khususnya akad pernikahan online yang tidak
terbatas pada kajian maṣlaḥah, melainkan juga dengan merujuk kepada
ilmu uṣul fiqhnya secara meluas baik itu qowā’id uṣūliyyah ataupun
fiqhiyyah, sehingga dalam menghasilkan penelitian yang lebih
komprehensif.

2. Saran Praktis

Pemerintah harus segera bertindak dalam menaungi permasalahan-


permasalah kontemporer, khususnya pada kasus akad pernikahan online,
yang mana semakin hari semakin banyak terjadi, khususnya pada saat
kondisi pandemi seperti ini. Sehingga segala macam jenis manipulasi
dapat terhindar atau setidaknya ada payung khusus yang mengatur akad
pernikahan semacam ini, agar pada saat seseorang yang terlanjur
melakukan akad pernikahan ini dan mengalami sebuah masalah dalam
keluarganya, mendapatkan perlindungan hak-haknya melalui jalur
pemerintahan.

134
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

‘Ālim, Yūsuf Ḥāmid, al-Maqāṣid al-‘Āmmah li al-Sharīʻah al-Islāmiyyah,


(Riyāḍ : Maʻhad ‘Ālī al-Fikr al-Islāmī, 1994)

Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-


interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. ke-1

Abu Dāūd, Sulaiman ibn al-Ash’ats ibn Ishaq, Sunan Abi Dāūd (Beirut: Dar
al-Kitab al-‘Arabī, Tp. Th)

Abu Hamzah al-Shāfi’ī, Muṣṭafā ibn Ahmad ibn ‘Abd Nabī, Mu’nis al-Jalīs bi
Sharh al-Yāqūt al-Nafīs,(tp.tp: Dār Tsamarāt al-‘Ulūm, 2020)

Al-‘Aṭṭār , ‘Alī ibn Ibrāhīm ibn Dāud ‘Alā al-Dīn, Tuhfah al-Ṭālibīn fī
Tarjamah al-Imam Muhyiddīn (Yordania – al-Dār al-Atsariyyah, 2007)

al-‘Aṭṭār, Hasan ibn Muhammad ibn Mahmūd, hāsyiat al-‘aṭṭar al jam’ul


jawāmi’ (t.tp – Dār al-Kutub al’ilmiyyah, t.t)

al-Bahūtī, Manṣūr ibn Yūnus ibn Idrīs Kashshāf al-Qinā’ sharh ‘an matn al-
Iqnā’ (Beirut : ālam a-Kutub, 1983)

Al-Baihaqī, Ahmad ibn al-Husain Abū Bakr, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār
al-Kutub Ilmiyyah, 2003)

Al-Baihaqī, Ahmad Ibn al-Husain al-Khurasānī, Al-Sunan Al-Kubrā, (t.tp: Dār


al-Fikr, t.tt )

Al-Bājūrī, Ibrāhīm Ibn Muhammad, Hāshiah ʻala Sharh Ibn Qāsim al-Ghazzi,
Jilid 2 ( Libanon: Nūr al-Ṣabāh, 2015) cet. 1

Al-Bukhārī, Muhammad bin Ismā’īl, al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-


Mukhtaṣar min umūr Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jilid 1
(T.tp : Dār Ṭouq al-Najāh : 1422H) cet. 1

Al-Būṭī, Muẖammad Saʻīd Ramaḍān , Al-Hubb fī Al-Qur’an wa Daur


al-Hubb fī Hayāh al-Insān, (Damaskus: Dār al-Fikr, 2009)

Al-Būṯī, Muẖammad Saʻīd Ramaḍān Hadzā, Wālidī al-Qissah al-Kāmilah


liẖayāh al-Shaikh Mullā Ramaḍān al-Būṯī min Wilādatih ilā Wafātih,
(Lebanon: Dār al-Fikr, t.t.)

135
Al-Būṭī, Saʻid Ramāḍan, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah Fī al-Sharī’at al-Īslāmiyyah
(Cairo: Mu’assasah al-Risālah)

Al-Dār al-Quṭnī, Ali Ibn ‘Umar Abu al-Hasan al-Baghdādī, Sunan al-Dār al-
Quṭnī, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1966)

Al-Dhahabī, Shamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsman,


Siar A’lām al-Nubalā (Mesir – Dār al-Hadīts, 2006)

Al-Fayyūmī, Ahmad ibn Muhammad al-Misbāh al-Munīr Fī Gharīb Sharh al-


Kabīr (Beirut; al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.)

Al-Ghausyī, Hisyām ʻAlyawan dan Fadī, al-Būṭī: al-Daʻwah wa al-Jihād wa


al-Islām al-Siyāsī, (Beirūt: Markaz al-Haḍārah Litanmiyah al-Fikr al-
Islāmī, 2012)

Al-Ghazālī, Abū Hāmid Muḥammad, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, (Beirūt:


Dār al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980)

Al-Ghazāli, Muhammad, ibn Muhammad Abū Hāmid, al-Wasīṭ fī al-


Madhhab, (Cairo: Dār al-Salām, 1417 H)

Al-Ghazzī, Muhammad Ṣhidqī ibn Ahmad Abu Al-Hārits, Mausū’ah al-


Qawā’id al-Fiqhiyyah (Beirut – al-Muassasah al-Risālah 2003)

Al-Jīzāny, Muhammad ibn Husen ibn Hasan, Ma’ālim Uṣūl Al-Fiqh ‘Inda Ahl
Al-Sunnah Wa Al-Jamā’ah (t.tp - Dār Ibn al-Jauzy,1427 H)

Al-Juwaini Abu al-Ma’āli, Abdul Malik ibn Abdullah, ibn Yūsuf ibn
Muhammad, Nihāyat al-Maṭlab fī Dirāyat al-Madhhab (T.tp: Dār al-
Minhāj, 2007) cet. 1

Al-Nasāˋī, Aḥmad bin Syuʻaib, Sunan al-Nasāˋī (Beirūt: Dār al-Kutub al-
ʻIlmiyyah, 1971), No. 5005, Jilid 4

Al-Nasafī Abu al-Barakāt, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmūd Hāfiẓ al-Dīn,
Madārik al-Tanzīl wa Haqāiq al-Ta’wīl (Beirut: Dār Kalim, 1998)

Al-Nawawī Abu Zakariya, Yahyā ibn Sharaf, Rauḍah al-Ṭalibīn Wa ‘Umdah


al-Muftīn (Beirut – al-Maktab al-Islāmy, 1991)

Al-Nawawī, Muhammad ibn Umar Murāh Labīd li kashf ma’nā al-Qur’ān al-
Majīd (Beirut, Dār al-kutub al-ilmiyyah, 1417 H)

136
Al-Qazwīny, Ahmad ibn Fāris, Hilyat al- Ulamā (United Distribution
Company - Beirut)

Al-Qolyūbī, Ahmad Salāmah dan Ahmad al-Burlusī ʻUmairah, Hāshiatā al-


Qolyūbī wa Ahmad ʻUmairah Jilid 3 (Bairut: Dār el-Fikr, 1995)

Al-Raisūnī, Aḥmad & Muḥammad Jamāl Bārūt, Al-Ijtihād: al-Nas, al-


Wāqiʻ, al- Maslaḥah (Beirūt: Dār al-Fikr al-Muʻāsir, 2000)

Al-Shāṭibī, Ibrāhīm Ibn Mūsá Ibn Muhammad al-Lumakhī, al-Iʻtiṣām, (Beirūt:


Dār al-Kutub al-ʻIlmiyyah, t.th.)

Al-Shāṭibī, Ibrāhīm Ibn Mūsá Ibn Muhammad al-Lumakhī, al-Muwāfaqāt fī


uṣūl al- Sharī’ah (Bairut: Dār al-Kutub al-ʻilmiyah 2003)

Al-Shāṭibī, Ibrāhīm Ibn Mūsá Ibn Muhammad al-Lumakhī, Al-Muwāfaqāt Fī


Uṣūl al- Sharī’ah (Bairut: Dār al-Kutub al-ʻilmiyah 2003)

Al-Shatirī, Saʻd ibn Nāsir, Syarḥ Qawāʻid al-Usūl wa Maʻāqid al-Fusūl,


(Riyāḍ: Dār Kunūz Ishbīliyā, 2006), Cet. Ke-1

Al-Shaukānī, Muḥammad ibn ‘Alī, Irshād al-Fuḥūl ilā Taḥqīq al-Haq min
ˋIlm al- Uṣūl (Beirūt: Dār al-Kutub al-ˋIlmiyyah, 1999), Jilid 2

Al-Shirbīnī, Muhammad ibn al-Khaṭīb, Mughnī al-Muhtāj ilā Ma’rifat Ma’ānī


Alfādh al-Minhāj, (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1997)

Al-Suyūṭī, Abdurrahman bin Kamaluddin Jalāluddin, tadrīb al-Rāwī fi Sharh


taqrīb al-Nawāwī, jilid 1 (T.tp: ḍār Ṭaiybah, t.t)

Al-Suyūṭī, Abdurrahmān ibn Abi Bakr, al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir, (Tp.tp: Dār


al-Kutub al-Ilmiyyah)

Al-Ṭabarānī, Sulaimān bin Aḥmad, al-Muʻjam al-Kabīr, (Beirūt: Dār al-Kutub


al- ʻIlmiyyah, 1971), Nomor Hadīts 9891, Jilid 5

Al-Tirmdhī, Muhammad Ibn ‘Īsā, Al Sunan al-Tirmidhī, (Mesir: Sharikah Wa


Maktabah wa Maṭba’ah Musṭafā al-Bābī al-Halabī, 1975)

Al-Zabīdī, Muhammad ibn Muhammad Murtaḍā Tāj al-Arūs Min Jawāhir al-
Qāmūs (Dar al- Hidāyah)

Al-Ziruklī, Khoiruddīn ibn Mahmūd ibn Muhammad ibn ‘Alī ibn Fāris al-
Dimashqī, al-‘Alām, jilid 7 (T.tp : Dār Ilmī li al-Malāyīn, 2002)

137
Al-Zuhailī, Muhammad Musṭafā, al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Taṭbīqātuhā Fī
al-Madhāhib al- ‘Arba’ah, (Damaskus; Dār al-Fikr, 2006)

Al-Zuhailī, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī Wa Adillatuh (Damaskus: Dār al-Fikr,


1984)

Al-Zuḥailī, Wahbah, Usūl al-Fiqh al-Islāmī, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986),


Cet. Ke- 1, h. 1022-1023

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011)

Basri, Helmi, Epistemologi Fiqih Nawazil Metode Penyelesaian Problematika


Kontemporer, (T,tp.: Guepedia The First On-Publisher in Indonesia,
2020)

Creswell, John W., Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing


Among Five Traditions, (Thousand Oaks, London & New Delhi : Sage
Publication, 1998)

Fajar, Muhammad, dkk., Bunga Rampai Pandemi; Menyikapi Dampak-


Dampak Sosial Kemasyarakatan COVID-19(Sulsel : IAIN Parepare
Nusantara Press, 2020)

Hubaib, Sa’dī Abu, al-Qāmūs al-Fiqhī Lughatan wa Istilāḥan, (Damaskus:


Dār al-Fikr, 1988)

Ibn ‘Ᾱshūr, Muḥammad Ṭāhir, Maqāsid al-Syarīʻah al-Islāmiyyah, (Yordania:


Dār al- Nafāis, 2001)

Ibn Ḥibbān, Muhammad al-Dārimī, al-Ihsān fī Taqrīb ṣahīḥ ibn ḥībbān,


(Beirut, al-Muassah al-Risālah, 1988)

Ibn Mājah, Muhammad ibn Yazīd al-Qazwīnī Abu Abdillah, Sunan ibn
Mājah, (t.tp: Dār al-Jīl, 1998)

Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Maʻārif, t.t.)

Ibn Manẓūr, Muḥammad ibn Mukrom, lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Maʻārif,
t.t.), Jilid 27

Jamal al-Bannā, Ahmad al-Dīn, Naḥwa Fiqh Jadīd, (Kairo: Dār al-Fikr al-
Islāmī, 1997)

138
Khalāf, Abdul Wahhāb, ʻIlm Usūl Fiqh wa Khulasah al-Tasyrīʻ al-
Islāmī, (Kairo: Dār al-Fikr al-ʻArabī, 1996)

Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004)

Nasution, Harun‚ “Pemikiran Najmuddin Tufi tentang Konsep Maslahah


Sebagai Teori Istinbat Hukum islam”, dalam ISYROQI, Vol. 5, No. 1,
2009

Shalabī, Muḥammad Mustafā, Taʻlīl al-Aḥkām (Beirūt: Dār al-Nahḍah al-


‘Arābiyah, 1981)

Shalbī, Muhammad Muṣtafā, Ahkām al-Usrah fi al-Islām Ḍirāsat Muqārnah


Baina Fiqh al-Madhāhib al-Sunniyyah Wa al-Madhhab al-Ja’farī Wa
al-Qonūn (Beirut - al-Dār al-Jāmi’iyyah, 1983 M)

Shihab, M. Quraish, Menabur Pesan Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 2006)

Tim Akademi Intelektual Muda, Imam Mohamed Said Ramadan al-Bouti


dalam Kenangan, (Sabah: Publishing House, 2015)

B. Makalah Seminar/Konferensi/Laporan/Skripsi, Tesis, dan Disertasi

Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī, “Biografi Al-Majlis al-Islāmī al-Sūrī” (Dewan


Islam Suriah), Dokumen ini diakses melalui https://sy-
sic.com/?page_id=2330

Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah, “Biografi Dār al Iftā’ al-‘Irāqiyah” diakses melalui


website resminya pada hari Selasa 23 Maret 2021 melalui
https://www.h-iftaa.com/

Dār al Iftā’ al-Miṣriyah, “Biografi Dār al Iftā’ al-Miṣriyah”Artikel ini diakses


diakses melalui website resminya pada hari Selasa 30 Agustus 2021
melalui https://www.dar-alifta.org/AR/aboutdar.aspx?ID=101

Kementrian Kesehatan RI, “COVID-19 dalam angka”, diakses pada 27


oktober 2020 dari https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/covid%20dalam%20angka/covid-19-dalam-angka-17-oktober-
2020.pdf

Nur, Syamsiah, “Pemikiran Fikih Satria Effendi Tentang Teknologi Informasi


Dalam Perwalian Akad Pernikahan” (Disertasi S3 Program Studi

139
Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,
2020)

Wahid, Abdul, “Kafâ`ah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia


Dan Yordania (Perspektif Teori Maslaẖah dan Kaidah Perubahan
Hukum al-Bûṯy)” (Tesis S2 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021)

World Health Organization (WHO), Retrieved from WHO Director-General's


opening remarks at the media briefing on COVID-19- 11 March 2020,
Dokumen ini diakses melalui
https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-
opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020

Yulianah, Yuyun & dkk., Urgensi Perkawinan Dimasa Pandemi COVID-19


Yang Dikaji Menurut Hukum islam Dan Hukum Adat Sunda: Prosiding
Seminar Nasional online & Call For Papers, (Fakultas Hukum
Universitas Suryakancana 2020)

C. Jurnal Ilmiah

Abbas, Nurlaelah, “Muhammad Abduh: Konsep Rasionalisme Dalam Islam”,


Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 1, Juni 2014

Abd al-Nāṣir, Ḥamzah, “‘Aqd al-Zawāj ʻAbr Wasā’il al-Ittiṣāl al-Hadīthiyah”


(al-Jazā’ir: al-Bahth al-‘ilmī fī kulliyat al-Aḥwāl al-Shakhṣiyah Qism
al-Ḥuqūq 2013-2014)

Aiman, Andi Muhammad, & dkk, “Ramadhan Al-Buti, Riwayat Hidup Dan
Beberapa Aspek Sumbangan Pemikirannya”, dalam At-Tahkim, Vol. 8,
No. 23, Juli 2018

Alwi, Muhammad dan Asep Saepudin, “Dinamika Hukum Akad Nikah Via
Telekonferensi di Indonesia”, dalam Indo Islamika, Volume 10, No 2,
Thn 2020.

Amin, M. Misbahul, ”Studi Analisis Akad Nikah Menggunakan Video Call


Perspektif Maqashid al-Sharīʻah dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan” dalam Usratuna, Vol. 3, No 2, Juni 2020.

Anshori, Teguh “Menuju Fiqh Progresif (Fiqh Modern Berdasarkan Maqashid


Al Syariah Perspektif Jaser Auda)” dalam e-Journal al-syakhsiyyah:
Journal of Law 7 Family studies, vol. 2 No.1 Juni 2020

140
Arfan, Abbas, “Maṣlaḥah dan Batasan-Batasannya Menurut Al-Būṭī de jure”,
dalam Jurnal Syarīʻah dan Hukum, Vol. 5 No.1, Juni 2013.

Ashar, “Akad Nikah Via Internet” dalam Mazahib Jurnal Pemikiran Islam,
Vol. 11 No. 1 Juni 2013

Asnawi, Habib Shulton, “Pernikahan Melalui telepon dan Reformasi Hukum


islam di Indonesia”, dalam al-Mazahib Vol. 1 No 1 Thn 2012.

Az Zafi, Anny Nailatur rohmah dan Ashif “Jejak Eksistensi Mazhab Syafi`i di
Indonesia” dalam Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Vol. 8 No. 1, Juli 2020

Busyro, “Menyoal Hukum Nikah Misyār Dalam Potensinya Mewujudkan


Maqāṣid Al-Asliyyah Dan Al-Tabi’iyyah Dalam Perkawinan Umat
Islam” dalam Al-Manāhij jurnal kajian hukum Islam, vol. XI no. 2,
Desember 2017

Emas, Mahardika Putera, “Problematika Akad Nikah Via Daring dan


Penyelenggaraan Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19” dalam
Batulis civil law review, vol. 1 no. 1, November 2020

Farid, Miftah, “Nikah Online Dalam Perspektif Hukum Islam” dalam jurnal
Jurisprudentie, vol.5 no.1, juni 2018

Fauzi, Ahmad, “Al-Maṣlaḥah Al-Syar’iyah Sebagai Sumber Hukum islam:


Kajian Kitab Dawabith al-Mashlahah Syeh Saʻīd Ramadan Buti”, dalam
Tribakti, vol. 27 No.2, September 2016.

Firdaus, Mohamad Anang “Maqashid Al-Syari’ah Kajian Mashlahah


Pendidikan dalam Konteks UN Sustainable Development Goals”,
dalam, JRTIE : Journal of Research and Thought of Islamic Education
Vol. 1, No. 1, 2018

Iqbal, Muhammad, “Urgensi Kaidah-Kaidah Fikih Terhadap Reaktualisasi


Hukum Islam Kontemporer” dalam Jurnal EduTech Vol. 4 No. ,
September 2018

Khalaf, Muhammad, “Mashrūʻiyah ʻUqūd al-Zawāj bi al-Kitābah ʻAbr al-


Internet” dalam al-Jāmi’ah al-Islāmiyah kulliyah al-Dirāsāt al-
Islāmiyah, Vol. 23 No. 2, thn 2014

Kholik, Abdul, “Konsep Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Quraish Shihab”


dalam INKLUSIF Vol 2. No. 4 Des 2017

141
Machsun, Muhammad, “Urgensi Maqasid Syariah Dalam Merespon
Perubahan Di Era Revolusi Industri 4.0” dalam jurnal Contemplate:
Jurnal Ilmiah Studi Islam Vol. 1 No. 01 Januari-Juni 2020

Maghfuroh, Wahibatul, “Akad Nikah Online Dengan Menggunakan Via Live


Streaming Perspektif Hukum Islam”, dalam Jurnal Ilmiah Ahwal
Syakhshiyyah (JAS), Vol. 3 No. 1 Tahun 2021

Mudzhar, M. Atho “Tantangan Studi Hukum islam di Indonesia Dewasa Ini”


dalam Indo-Islamika, Vol. 2, No. 1, Thn 2012

Mufid, Mohammad “Nalar Ijtihad Fiqh Muhammad Saʻid Romadhon al-


Buthy”, (Banjarmasin: Antasari Press, 2013)

Muhajir, “Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.


1751/1989 Tentang Perkawinan Melalui Telepon” dalam Al-Qadha
Vol. 5, No 1, Juli Thn 2018.

Muhazir, “Aqad Nikah Pespektif Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam” dalam
Al-Qadhâ Vol. 6, No. 2, Juli 2018

Novayani, Irma, “Pernikahan Melalui Video Conference” dalam Jurnal At-


Tadbir : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 1, no. 1, Januari 21, 201

Nuroniyah, Wardah “Analisis Akad Nikah Via Telekonferensi Menurut Fiqh


Mazhab Dan Hukum Positif Indonesia”, dalam Mahkamah, Jurnal
Kajian Hukum islam. Vol. 2, No.1, Juni 2017.

Rohman, Holilul, “Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Syariah,”


dalam Jurnal Of Islamic Studies and Humanities, UIN Sunan Ampel,
Vol. 1, No. 1, 2016

Sarif, Akbar & dkk., “Konsep Maṣlaḥah Dalam Kompilasi Hukum islam
(Khi): Satu Tinjauan Syarak Ke Atas Larangan Pernikahan Antara
Agama Malasyian”, dalam Journal of Syariah and Law, Vol. 6
Desember 2017.

Widiyanto, Hari, “Konsep Pernikahan Dalam Islam: Studi Fenomenologis


Penundaan pernikahan di Masa Pandemi, dalam Islam Nusantara”, Vol.
04, No. 01, Januari-Juni 2020.

Yasrony, Muhammad Aniq “Akad Nikah Via Telekonferensi perspektif


Maṣlaḥah al-Mursalah”, dalam al-Hukama, The Indonesian Journal of
Islamic Family Law, Vol. 07, No. 01 Juni 2017.

142
D. Majalah dan Surat Kabar

Fuad, Ahmad Akbar Viral Sepasang Pengantin Menikah via Video Call gara-
gara Virus Corona”, artikel diakses pada 21 November 2021 dari
https://www.liputan6.com/regional/read/4211432/viral-sepasang-
pengantin-menikah-via-video-call-gara-gara-virus-corona

Al Ansori, Ade Nashihudin, “Daftar Negara yang Kembali Lockdown dan


Pengetatan Aturan COVID-19”, Artikel ini diakses pada hari Selasa 23
Maret 2021 melalui
https://www.liputan6.com/health/read/4450203/daftar-negara-yang-
kembali-lockdown-dan-pengetatan-aturan-covid-19

Antara, “Saat Pandemi Covid-19, Jumlah Pasangan yang Menikah Turun


Drastis”, dalam Jawa pos diakses dari https://www.jawapos.com/jpg-
today/16/06/2020/saat-pandemi-covid-19-jumlah-pasangan-yang-
menikah-turun-drastis/

Anz-Pojok Bahasa, Padanan istilah online dan offline?, Badan Pengembangan


dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Budaya, Artikel
ini diakses pada hari Jum’at 19 Maret 2021 melalui
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/search/node/Online

Azanella, Lutfhia Ayu, “Peringkat Indonesia di Dunia Terkait Covid-19”,


artikel diakses pada 27 okotober 2020 dalam Kompas, diakses dari
https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/26/190100765/peringkat-
indonesia-di-dunia-terkait-covid-19--total-kasus-kesembuhan-
dan?page=all

Hengki, Ferdiansyah, Jasser Auda: Imam al-Ghazali Masa Kini, diakses pada
Jum’at 19 Februari 2021 dari
http://www.muslimedianews.com/2016/08/jasser-auda-imam-al-
ghazali-masa-kini.html ,

Iswinarno, Chandra “Nekat Gelar Pesta Pernikahan di Masa Pandemi,


Berujung Dibubarkan Polisi”, Artikel di akses pada hari Jum’at 18
Desember 2020 dari
https://jabar.suara.com/read/2020/07/16/135619/nekat-gelar-pesta-
pernikahan-di-masa-pandemi-berujung-dibubarkan-polisi

Gunadha, Reza “Viral Pernikahan Online Malasyia – Lombok, Akad Nikah


Lewat Video Call”, artikel di akses pada 21 November 2021 melalui
https://www.suara.com/news/2020/07/06/161518/viral-pernikahan-
online-malaysia-lombok-akad-nikah-lewat-video-call?page=all

143
Saoisa, Hellena “Terpisah Ribuan Kilometer Karena Pandemi Corona,
Pasangan Indonesia Australia Tetap Menikah Lewat Zoom”, diakses
pada hari Jum’at, 18 Desember 2020 dari
https://www.abc.net.au/indonesian/2020-07-01/pasangan-indonesia-
dan-australia-menggelar-akad-nikah-lewat-zoom/12407008

Wismabrata, Michael Hangga “Pesta Pernikahan Anaknya Dibubarkan Polisi,


Ini Komentar Kepala BPBD Limapuluh Kota” di akses pada hari
Jum’at 18 Desember 2020 dari
https://regional.kompas.com/read/2020/11/22/14530041/pesta-
pernikahan-anaknya-dibubarkan-polisi-ini-komentar-kepala-
bpbd?page=all

144

Anda mungkin juga menyukai